Anda di halaman 1dari 13

KONSEP MARKETING MIX SYARIAH

Muhammad Kholilu Rochman1


Muntita Elia Putri2
Novita Wulansari3

Program Studi Manajemen


STIE Widya Gama Lumajang
Corresponding author: 29novitawulansari@gmail.com

Abstrak

Inti permasalahan yang akan diuraikan dalam penulisan ini yaitu konsep marketing mix yang
sesuai dengan syariah. Penilaian konsep marketing mix yang sudah sesuai dengan syariah
dengan menilai variable Product (Produk), Price (Harga), Place (Tempat), Promotion
(Promosi). Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mencapai meningkatkan penjualan serta
menarik pelanggan dengan konsep marketing mix syariah dan sebagai sumbangsih
pengetahuan yang berkaitan mengenai marketing mix syariah. Teori yang dipakai yakni teori
marketing, marketing mix, dan teori mengenai muamalah yang singkron dengan syariah.
Batasan penelitian ini berfokus terhadap evaluasi marketing mix dengan ketentuan muamalah
dalam Islam. Metode penelitian yang dipakai yakni kajian teori yang berasal dari buku,
maupun jurnal, namun mengenai aspek evaluasi yakni dirujuk dari Al-Qur’an, Hadist, Ijtihad
serta karya tulis ilmiah yang berhubungan dengan penelitian. Luaran penelitian ini
memperoleh konsep marketing mix yang sudah sesuai dengan syariah yang berkaitan dengan
variable produk, harga, tempat, dan promosi yang sudah disinkronkan dengan kebijakan-
kebijakan mengenai muamalah Islam, penelitian ini sebagai masukan untuk para pengusaha
yang ingin mengelola bisnisnya sesuai dengan syariat Islam. Sehingga konsep marketing mix
syariah ini tidak sama dengan marketing mix yang ada pada umumnya sebab telah disesuaikan
dengan kebijakan muamalah yang ditentukan dalam Islam.

Kata kunci: marketing, marketing mix, marketing mix syariah

1. PENDAHULUAN
Kegiatan jual beli tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia saat ini karena
manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan
yang lain. Dalam perkembangannya, aktifitas ekonomi semakin lengkap dan kompleks sejalan
dengan perkembangan zaman dan teknologi saat ini dan salah satunya pada bidang marketing.
"Ilmu marketing hadir sebagai respon dari pasca revolusi industri dimulai, lebih tepatnya pada
saat perkembangan teknologi produksi selama revolusi industri" (Kotler, Kertajaya &
Setiawan, 2010:5).
Peran marketing dalam kegiatan ekonomi sangat penting terutama bagi perusahaan,
karena sejatinya marketing berperan untuk menjual produk ke konsumen sebagai salah satu
tujuan perusahaan. Untuk mencapai tujuan perusahaan dalam meningkatkan penjualan serta
menarik pelanggan, diperlukan strategi untuk menarik pelanggan dan pada ilmu marketing
strategi yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan melakukan
marketing mix (bauran marketing). Faktor perusahaan menggunaan marketing mix tidak
terlepas oleh perubahan budaya di masyarakat yang selalu berubah sejalan dengan
perkembangan zaman. "Hal ini disebabkan munculnya teknologi internet dan globalisasi,”
((Kotler, Kertajaya & Setiawan, 2010:5).
Sehingga dengan berkembangnya teknologi dan globalisasi membuat permintaan
komsumen juga berubah dan beragam.
Menurut Tjiptono (2004:30) “Konsep marketing mix yang diperkenalkan terdiri dari
beberapa unsur, meliputi product (produk), price (harga), place (tempat), dan promotion
(promosi),”. Tetapi dalam menerapkan strategi marketing mix ini setiap aspek harus di
perhatikan, sebab sering muncul masalah dari empat unsur variabel tersebut. Dari segi produk,
banyaknya produsen yang menciptakan produk dan persaingan seringkali diterpa isu-isu
miring yang menandai persaingan antar usaha menjadi tidak sehat. Selain itu ada masalah lai,
yaitu terkait dengan produk non halal yang membuat umat Muslim merasa was-was sehingga
membuat Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal pada tahun 2014.
Dari segi price, masalah yang sering timbul adalah terkait harga yang terkadang memberatkan
konsumen dan bahkan merugikan konsumen. Segi place juga ada masalah, dalam place
iniberkenaan dengan penempatan lokasi perusahaan yang strategis untuk memasarkan
produknya, lalu dalam saluran distribusi diperlukan akses yang cepat dan aman.
Dari segi promotion, masalah yang dihadapi berupa bentuk iklan yang melebih-
lebihkan dari fakta yang ada, menjelek-jelekkan produk pesaing, iklan yang mengandung
kebohongan kepada khalayak publik, dan juga iklan melanggar norma kesopanan. Salah satu
contohnya adalah iklan Mie Sedap yang bermasalah pada tahun 2011.
Islam adalah agama yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia, islam tidak hanya
terfokus pada aspek ibadah yang berhubungan dengan hal spiritual saja, tapi juga aspek
muamalah yang berkaitan erat dengan hubungan antar individu dengan individu lain termasuk
kegiatan ekonomi di dalamnya. Segala aspek muamalah diboleh kecuali jika ada dalil yang
mengharamkannya, hal ini mengacu pada kaidah fiqih "Al ashlu fil muamalah al ibahah, illa
ayyadulladdaliilu 'ala tahrimihi". Islam membebaskan manusia untuk bermuamalah selama
tidak melanggar syariat. Aturan muamalah Islam merupakan peringatan bagi setiap muslim
dalam melakukan kegiatan ekonomi, karena acuan muamalah Islam ini berasal dari Al-Quran
dan As-Sunnah, selain itu juga ijtihad para ulama tentang muamalah bisa dijadikan rujukan
bagi seluruh muslim dalam menjalankan kegiatan muamalahnya. Poin penting dari muamalah
adalah melarang segala bentuk jenis transaksi bathil yang bisa menimbulkan mudharat bagi
orang lain seperti transaksi riba, penipuan dan yang lainnya. Selain itu juga transaksi yang
dilakukan harus jelas dan transparan.
Marketing mix merupakan bagian dari ilmu marketing. Marketing bisa diartikan
sebagai suatu kegiatan ekonomi, kegiatan ekonomi tidak terlepas dari aturan Islam, jauh
sebelum munculnya teori ilmu marketing modern, Rasulullah telah mengajarkan marketing
dengan melakukan transaksi yang baik dan tidak melenceng dari agama islam. Kesuksesan
beliau dalam berdagang layak menjadi acuan dalam bertransaksi.Para Ulama juga banyak
yang menyampaikan ijtihadnya tentang muamalah Islam dan terkadang secara tidak langsung
juga membahas tentang marketing syariah seperti pendapat Imam Al-Ghazali yang
mengemukakan teori prinsip untung sedikit, penjualan banyak yang menjadi salah satu
terobosan ekonomi modern, (Bashri,2007:131).

2. KAJIAN TEORI

2.1 MARKETING
Marketing adalah salah satu cabang dalam ilmu ekonomi, marketing muncul sebagai
jawaban dari permasalahan kebutuhan manusia yang semakin berkembang, hal ini menjadi
peluang perusahaan untuk menambah pelanggan melalui strategi pemasaran produk.
Mengutip dari Kotler & Amstrong (1997:6), “Marketing merupakan suatu proses sosial dan
manajerial yang membuat individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan
serta inginkan lewat penciptaan dan pertukaran timbal balik produk dan nilai dengan orang
lain,”. Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa marketing ialah proses kegiatan sosial
yang berhubungan dengan kegiatan produksi dan jual beli produk dengan orang lain dengan
konsumen.Menurut Kotler & Amstrong (1997:5), “Fungsi marketing pada umumnya, yaitu
melakukan penjualan produk dan juga memuaskan kebutuhan pelanggan,”. Sejalan dengan
perkembangan zaman fungsi marketing menjadi lebih beragam. Diantaranya yaitu menjual
produk ke pelanggan, memuaskan pelayanan kepada konsumen, mengkomunikasikan nilai-
nilai perusahaan, membangun citra perusahaan dan lain sebagainya.

2.2 MARKETING MIX

Mengutip dari Stanton (1991:78), “Marketing mix merupakan kombinasi dari empat
variabel dari kegiatan inti dalam sistem pemasaran yang meliputi produk, tingkat harga,
promosi dan juga sistem distribusi,”. Sedangkan menurut Tjiptono (2004:30) Menyatakan,
“Marketing mix sebagai seperangkat alat yang dapat digunakan pemasar untuk membentuk
karakteristik barang atau jasa yang ditawarkan kepada pelanggan,”. Berdasarkan dua
pernyataan diatas disimpulkan bahwa marketing mix merupakan penggunaan beberapa unsur
variabel pemasaran yang berbeda untuk dapat meraih tujuan perusahaan.
Berikut penjabaran secara rinci dari empat variabel di atas :
.2.1 Products (Produk)
Mengutip dari pernyataan Kotler & Amstrong (1997:274), “Produk Sebagai segala
sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, dibeli, dipergunakan
atau dikonsumsi dan yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan,”. Dari pernyatan di
atas diketahui produk adalah sesuatu yang dihasilkan perusahaan dengan tujuan untuk
dipasarkan kepada konsumen sebagai alat pemenuhan kebutuhannya. Komponen untuk
melakukan strategi bauran produk meliputi:
1. Atribut produk, terdiri dari beberapa unsur seperti mutu produk dan sifat produk yang
akan dijual ke konsumen.
2. Penentuan merek, merek merupakan nama, istilah, ataupun tanda dalam membedakan
produk perusahaan dengan produk pesaing kepada konsumen.
3. Kemasan, yaitu merancang dan membuat wadah atau pembungkus suatu produk yang
bertujuan untuk menarik minat konsumen.
4. Pembuatan label, label mempunyai fungsi sebagai identitas produk atau merek kepada
konsumen.
5. Pelayanan pendukung produk, merupakan penambahan pada produk aktual, (hal. 278-
298).
.2.2 Price (Harga)
Harga ialah salah satu unsur dalam marketing mix. “Harga didefinisikan sebagai
jumlah uang yang ditagihkan untuk suatu produk atau jasa. Lebih luasnya yaitu jumlah dari
nilai yang dipertukarkan konsumen untuk manfaat memiliki atau menggunakan produk atau
jasa,” (Kotler & Amstrong, 1997:340).
2.2.3 Place (Penempatan)Place adalah unsur yang digunakan dalam strategi marketing
mix. “Place Merupakan gabungan antara lokasi dan keputusan atas saluran distribusi dalam
hal ini berhubungan dengan bagaimana cara penyampaian produk kepada konsumen dan
dimana lokasi yang strategis lokasi berhubungan dengan dimana perusahaan melakukan
kegiatan operasional,” (Lupiyoadi, 2001:61).
.2.4 Promotion (Promosi)
Menurut Madura (2007:272), “Promosi adalah tindakan menginformasikan atau
mengingatkan pelanggan mengenai suatu produk atau merek tertentu,”. Lupiyoadi (2001)
berpendapat bahwa Aktivitas periklanan atau promosi dibagi ke beberapa macam jenis, antara
lain:
1. Advertising (periklanan), merupakan bentuk dari komunikasi impersonal yang
digunakan oleh perusahaan untuk menarik minat konsumen.
2. Personal selling, jenis iklan ini sering digunakan perusahaan dengan target pemasaran
yang sebenarnya bukanlah calon konsumen, namun target pasar ini adalah calon
pembeli yang potensial.
3. Sales promotion, promosi ini menggunakan jasa sales untuk menyampaikan pesan
perusahaan dalam kepada konsumen.
4. Public relation, jenis promosi ini dilakukan melalui kegiatan yang bersifat publik
seperti banner dan baliho.
5. Word of mouth, promosi ini dilakukan dari customer ke customer lain, customer yang
menerima kepuasan suatu produk akanmenyampaikan keunggulan produk tersebut
kepada yang lain hingga orang yang mendengar keunggulan produk tersebut tertarik
dan membeli produk tersebut.
6. Direct marketing, direct marketing merupakan jenis promosi yang langsung
disampaikan kepada konsumen.

2.3 MUAMALAH DALAM PANDANGAN ISLAM

Islam merupakan agama yang disempurnakan, sebab Islam yaitu agama yang rahmatan lil
alamin, rahmat bagi seluruh alam. Setiap segala sesuatu yang ada di kehidupan umat manusia
tidak lepas dari peraturan agama Islam. Kegiatan muamalah merupakan bagian dari aturan
hokum Islam. “Hukum muamalah islam bersumber dari kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah,
karena kedua sumber teladan dari dasar yang ma’shum dimana Al-Qur’an sebagai sumber
yang pertama dan As-Sunnah sebagai sumber kedua”. (Qaradhawi,2002:355).
Pengertian muamalah terdiri dari dua segi, yang pertama dari segi bahasa yang artinya
saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan. Kedua dari segi istilah muamalah
dibagi dua yaitu muamalah dalam arti luas dan sempit. Muamalah dalam arti sempit yaitu
peraturan Allah swt yang mengatur hubungan manusia dengan manusai dalam berusaha untuk
mendapatkan keperluan jasmani dengan cara baik, sedangkan dalam arti luas muamalah
berarti peraturan Allah swt yang harus ditaati dan meneladani dalam hidup bermasyarakat
untuk menjaga kepentingan manusia dalam urusan dengan hal duniawi dalam pergaulan
sosial. Muamalah dilandasi dengan beberapa asas diantaranya :
1. Asas Keadilan
Penerapan prinsip keadilan dalam bidang muamalah yang bertujuan agar harta tidak
hanya dimiliki oleh beberapa orang, tetapi dibagian secara merata diantara masyarakat
dengan tujuan dasar sebagai hukum zakat, shodaqoh dan infaq.
2. Asas Mu’awanah
Asas ini mewajibkan seluruh umat muslim untuk saling tolong menolong dan
membuat kerjasama untuk mendapatkan keuntungan bersama dengan prinsip saling
percaya dan bekerjasama dalam suatu bisnis.
3. Asas Musyarakah
Menghendaki di setiap bentuk kerjasama antar pihak yang menguntungkan.
4. Asas Manfaah
Segala bentuk aktivitas muamalat harus memberikan keuntungan dan manfaat bagi
pihak yang terlibat.
5. Asas Antaradhin (suka sama suka)
Setiap bentuk muamalat antar individu harus berdasarkan keikhlasan untuk masing-
masing invidu atau kelompok.
6. Asas Adamul Gharar
Asas ini di dalam setiap bentuk tidak boleh ada tipu daya yang menyebabkan salah
satu pihak kecewa atau dapat di rugikan oleh pihak lainnya, sehingga mengakibatkan
hilangnya rasa keikhlasan di salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi.
7. Kebebasan Membuat Akad
Prinsip hukum yang mengungkapkan bahwa di setiap orang dapat membuat akad jenis
apapun tanpa terikat pada undang-undang syariah dengan pengecualian tidak berakibat
merugikan orang lain.
8. Ash-shiddiq
Setiap umat muslim diperintahkan untuk selalu menjunjung kejujuran dan kebenaran,
jika dalam bermuamalah tidak mengedepankan kejujuran dan kebenaran makan akan
berpengaruh terhadap kepercayaan dalam suatu perjanjian.
Muamalah dalam hal ini diperbolehkan untuk berijtihad, ijtihad di benarkan selama
kegunaan yang tidak bertentangan dengan ketetapan syariat. Ijtihad bisa saja terjadi di setiap
hukum dimana dasarnya berasal dari kebiasaan, tradisi dan faedah. Hal yang terjadi
dipengaruhi oleh banyaknya kondisi baru yang menuntut ijtihad baru. (Az-Zuhaili,1993:20).
Prinsip-prinsip muamalah menurut Haroen (2007) sebagai berikut:
1. Prinsip dasar dalam persoalan muamalah merupakan perwujudan faedah umat manusia
dengan mengendalikan dan mempertimbangkan situasi maupun kondisi yang berkaitan
dengan manusia.
2. Jenis muamalah hukumnya boleh sama tidak ada dalil yang mengharamkan, hal ini di
dasari pada kaidah fiqih sebagai berikut :
a. Seluruh perbuatan muamalah tidak terlepas dari nilai-nilai ketuhanan.
b. Seluruh perbuatan muamalah tidak lepas dari nilai-nilai kemanusiaan dan dilakukan
dengan mengemukakan akhlak yang terpuji sesuai dengan kedudukan manusia
sebagai pemimpin di muka bumi.
c. Melaksanakan pertimbangan atas kegunaan pribadi dan kegunaan masyarakat.
d. Segala keburukan itu haram, baik berupa perkataan ataupun perlakuan. Seperti
pemerasan, pembunuhan dan sebagainya.

2.4 PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian terdahulu dari beberapa penelitian yaitu penelitian Ita Nurcholifah (2014)
dengan judul penelitian “Strategi Marketing Mix dalam Tinjauan Syariat” Hasil penelitian
menyatakan bahwa marketing mix sesuai syariah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.
Penelitian Darmawati (2013) dengan judul “Hukum Dagang Dalam Islam” Hasil penelitian
bahwa hukum dagang dari sudut marketing mix yang dikaitkan dengan Al-Qur’an dan Hadits
dan bentuk muamalah terlarang dalam islam. Perbedaan penelitian terdahulu dan sekarang
yaitu marketing mix sesuai dengan syariah lebih rinci, karena penelitian ini menilai marketing
mix berdasarkan Al-Qur’an, Hadits, Ijtihad Ulama dan penelitian yang berkaitan dengan
penulisan ini.

3. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif, sedangkan
metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini melalui studi pustaka, baik melalui
buku, jurnal dan sumber penelitian lainnya yang berhubungan dengan penulisan.

4. PEMBAHASAN
Marketing mix ialah salah satu elemen dari ilmu marketing, marketing berkaitan
dengan bidang sosial. Dalam agama Islam hubungan sosial terdapat ketentuan yang mengikat,
sehingga strategi marketing mix syariah tidak terlepas dari ketentuan syariat Islam.
Marketing mix syariah yang sesuai dengan kaidah syariat islam ialah :
4.1. Produk (Products)
Agama Islam mengatur tentang produk dengan memperhatikan beberapa sudut yang
membahas tentang suatu produk. As-Syaibani menyatakan bahwa aktivitas pembuatan produk
di dalam agama Islam tidak seluruhnya dianggap sebagai kegiatan produksi, sebab kegiatan
tersebut berhubungan dengan halal tidaknya suatu produk. Islam melihat suatu produk
dengan syarat harus memiliki nilai manfaat dan memuat unsur faedah atau kemaslahatan yang
terdapat lima aspek inti kehidupan, yakni melindungi agama, melindungi jiwa, melindungi
akal dan melindungi keturunan dan melindungi harta (Karim, 2004:234).
Strategi produk yang menganut sistem syariah yakni:
1. Produk Harus Halal
Produk yang sesuai dengan syariat Islam ialah produk yang sudah terbukti halal
menurut syara. Allah Swt memerintahkan untuk memakan atau meminum yang halal
sesuai dengan firmanNya Q.S Al-Maidah:88 yang mengandung inti bahwa seseorang
muslim diperintahkan untuk bertakwa dan beriman kepada Allah Swt serta
mengkosumsi makanan dan minuman yang halal serta baik dari rizeki yang telah
dianugerahkan kepadanya. Sedangkan berdasarkan pendapat Quthb (2004:321)
menyatakan bahwa setiap hal yang baik dihalalkan oleh Allah Swt, sebab hal-hal yang
baik sangat dibutuhkan manusia dalam kehidupan dirinya dan kemaslahatannya. Hal
tersebut ialah salah satu bagian dari fitrah manusia dan Allah tidak lalai satupun
terhadap kepentingan fitrah manusia tersebut. Dari makna ayat tersebut dapat
dipahami bahwa Allah mewajibkan memakan dan meminum yang halal dan baik bagi
setiap muslim, karena kehalalan tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat
diganggu gugat dan diabaikan dalam menentukan strategi produk. Sebelum produsen
memasarkan sebuah produk, maka produsen harus memastikan kehalalan produk
tersebut untuk kemaslahatan konsumen. Produk makanan dan minuman yang halal
berdasarkan pendapat Samori, Ishak & Kassan (2014:483) yakni produk yang
berbahan baku halal, harus diproses secara halal dan tidak memadukan antara yang
halal dengan yang haram.
Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa barang-barang halal dan haram dapat
dikategorikan menjadi 2 jenis, yakni haram akibat hakekat benda itu sendiri dan kedua
akibat ciri dan proses barang itu sendiri (Sucipto, 2012:118). Sehingga dapat dipahami
bahwa benda yang halal dapat dilihat dari dua perspektif, pertama yakni dari segi
dzatnya (aspek pokok produk itu sendiri) dan yang kedua yakni dari segi sumber
perolehannya atau dari segi pemrosesannya. Dua perspektif ini sangat berarti untuk
dipahami dalam Islam.
Perspektif pertama yakni halal berdasarkan dzatnya. Unsur produk yang haram
berdasarkan dzatnya dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 3
ditafsirkan oleh Quthb (2004:169) dengan pernyataan bahwa Allah Swt
mengharamkan objek karena dapat mengakibatkan kejelekan atau keburukan tertentu
pada kelangsungan hidup manusia. Contohnya yakni darah, daging, bangkai, burung
bercakar tajam, tikus, kalajengking dan burung elang.
Sedangkan perspektif kedua yakni dari segi sifatnya atau cara mendapatkannya,
yakni produk tersebut bukan berasal dari cara yang haram, misalkan curian,
selundupan atau barang yang bersifat tidak resmi.
2. Produk Harus Memberikan Faedah atau Kemaslahatan
Perspektif yang signifikan terhadap kemaslahatan dan nilai guna suatu produk
menurut pendapat As-Syaibani yakni tercukupinya kelima aspek berikut, yakni aspek
agama, aspek jiwa, aspek akal, aspek keturunan dan aspek harta (Karim,
2004:320).Pertimbangan aspek strategi bauran produk yang memperhatikan kelima
unsur pokok diatas meliputi:
a. Produk yang dihasilkan wajib memiliki tujuan dan kegunaan yang jelas untuk
konsumen, maknanya dalam memproses produk, perusahaan ataupun penjual
wajib mempunyai tujuan dan kegunaan suatu produk untuk konsumen yang
menjadi sasaran.
b. Produk tidak memuat hal-hal yang mengancam jiwa konsumen. Hal ini berarti,
produk yang dihasilkan tidak boleh membayakan dan menyebabkan hal-hal
yang tidak diinginkan ketika dikosumsumsi. Hal ini sisebut juga sebagai
aplikasi dari menjaga jiwa atau yang disebut hifdzu an-nafs.
c. Produk yang dihasilkan bukan digunakan sebagai media kemaksiatan,
misalkan fee sex. Allah Swt melarang zina dan hal-hal yang mendekati zina,
sebab hal tersebut ialah perbuatan yang buruk dan keji seperti yang tertuang
dalam Q.S. Al-Israa’:32), sebab syaitan
d. Produk yang dihasilkan tidak digunakan sebagai pendayagunaan terhadap
kerakusan dan keserakahan manusia, dengan makna produk yang dihasilkan
sasarannya tidak untuk konsumerisme berlebihan. Seperti Firman Allah Swt
Q.S Al-Isra ayat 26-27 yang menjelaskan bahwa pemborosan merupakan
saudara syaitan, dan syaitan itu sangat ingkar kepada Allah Swt.
4.2. Harga (Price)
Keadilan ekonomi dan kemaslahatan harus melandasi marketer islami dalam
mengambil keputusan. Makna dari sikap keadilan ekonomi yakni sikap untuk menjadikan
individu memperoleh haknya yang setimpal dengan peran masing-masing kepada setiap
individu atau masyarakat sehingga tidak terikat dengan pendayagunaan individu lainya,
sehingga segala bentuk yang merugikan bagi orang lain diharamkan dalam Islam (Kertajaya
& Sula, 2006:14).
Pengkajian mengenai harga dalam Islam menggunakan berbagai pendapat syariah
serta pendapat ulama kurang rinci mengenai strategi penetapan harga. Biasanya penetapan
harga dalam Islam mengikuti mekansime pasar, sebab di dalam Islam harga ialah sunnatullah.
Pembahasan mengenai harga berdasarkan pendapat Ibnu Taymiyah yaitu iwad al mitsl yang
bermakna kompensasi yang adil dan tsaman al mitsl yang bermakna harga yang adil.
Kompensasi yang sama akan ditakar dan dihitung berdasarkan hal-hal yang sama pula, dam
itulah yang disebut hakikat daro keadilan (nafs al-adl) (Amalia, 2010:210). Strategi
penentuan harga dalam agama Islam yakni bebas, selama masih wajar, adil dan terdapat
keikhlasan antara pembeli dan penjual serta tidak mengakibatkan kedzaliman. Hal tersebut
berpedoman pada hadits Rasullullah Saw yang bersabda dengan makna

“jual beli itu tidak lain dengan sama-sama rela,” (H.R. Ahmad).

Sehingga sah saja jika seumpama ada pedagang atau perusahaan menentukan harga,
namun Islam mengharamkan penentuan harga yang dapat merugikan orang lain, sebab Islam
mengharamkan kedzaliman dan mengutamakan kemaslahatan. Terdapat beberapa hal yang
dianjurkan menurut Islam, yakni:
1. Menetapkan Keuntungan yang Proporsional atau Wajar dan Diharamkan Melakukan
Ghabn.
Dalam menentukan harga harus seimbang dengan keadaan barang yang dijual
dan harus adil dan tetap memperhatikan kemaslahatan, (Darmawati, 2013:155). Islam
mengharamkan aktivitas pengambilan keuntungan yang berisi unsur gharar dan
memerintahkan untuk menetapkan keuntungan dengan wajar. Ghabn ialah bentuk
gharar dari harga. Ghabn yakni membeli sesuatu dengan harga yang lebih rendah atau
lebih tinggi dari harga umum pasaran. Hal ini tidak diperbolehkan dalam Islam sebab
memuat unsur pendustaan yang dapat menimbulkan mudarat bagi orang lain. (An-
Nabhani, 2009:203).
Ghabn pada umumnya terjadi ketika konsumen tidak mengetahui pada harga
atau tujuan perusahaan yang menginginkan keuntungan tinggi. Misalkan Risma
menggunggah kwitansi yang berisi harga makanan yang dibelinya pada sebuah
restoran di Lumajang. Dalam kwitansi tersebut tertera tujuh menu makanan dan
minuman yang dia pesan beserta harganya. Dua ikan bakar berharga Rp 450.000, 1
cumi saos tiram Rp 180.000, 3 cah kangkung 250.000, 1 bakso sapi Rp 40.000, 3 nasi
putih Rp 150.000, 2 lalap dan sambal 35.000, 1 es teh Rp 90.000. Sehingga total
pesanan yang harus dibayarkan ialah Rp 1.195.000.
Ghabn yang tidak diperbolehkan dalam Islam yakni ghabn fahisy (ghabn
dalam jumlah yang banyak), sedangkan ghabn dalam jumlah yang sedikit
diperbolehkan dalam Islam, (Karim, 2007:153). Imam Al-Ghazali mengajarkan untuk
menetapkan keuntungan yang kecil dan puas dengan tingkat laba yang rendah, karena
dengan hal tersebut muamalah yang akan diterima akan berkembang banyak (banyak
konsumen dan pelanggan) dan nantinya akan berujung pada keuntungan yang banyak
juga (Bashri, 2007:131).
2. Tidak Diperbolehkan Melakukan Persaingan Harga antara Sesama Penjual.
Islam mengajarkan untuk menetapkan strategi harga dengan tidak mengandung
mudharat pada penjual lainnya atau menimbulkan persaingan yang tidak sehat.
Sehingga agar tidak kalah dalam persaingan, penjual harus menetapkan harga yang
kompetitif,tetapi tetap dilarang untuk membanting harga dengan maksud untuk
menjatuhkan pesaing (Yusanto & Widjajakusuma, 2002:96).
Mengenai persaingan harga, Rasullullah Saw bersabda yang diriwayatkan oleh
Abdullah bin Umar artinya: “Janganlah kamu menjual menyaingi penjualan
saudaramu” (H.R Bukhari).
Perang harga dalam Islam tidak dipernolehkan, sebab dapat menimbulkan
perpecahan dan konflik antar penjual. Sehingga persaingan yang diperbolehkan dalam
hal pelayanan, kualitas, dan nilai tambah produk. Hal ini berpedoman terhadap hadist
Rasullullah mengenai larangan dalam penetapan harga komoditi (Gunara & Sudibyo
2007:62-63).
4.3. Place (Penempatan)
Islam mengajarkan tentang pemilihan tempat yang betul harus melihat etika dan
menjauhkan dari wujud kedzaliman. Berikut merupakan hal-hal yang harus diperhatikan:
1. Penentuan Lokasi Usaha yang Strategis
Dalam menentukan lokasi yang strategis, marketer atau penjual harus
memahami informasi pasar untuk dapat menentukan tempat yang cocok. Karena
berdasarkan penjelasan tentang suatu riwayat dalam buku Antonio, 2009:86-87)
menjelaslan bahwa salah satu penyebab kesuksesan Nabi dalam perdagangan yakni
pemilihan tempat yang tepat dan kemampuan dalam menguasai informasi pasar.
Dalam Islam pemilihan lokasi yang strategis harus memperhatikan segi kegunaan dan
manfaat, dalam arti harus sehat, bersih, nyaman dan baik. Islam menentukan aturan
mengenai lokasi usaha yang strategis yakni:
a. Menghindari unsur kedzaliman dan memperhatikan kemaslahatan.
b. Lokasi usaha tidak membahayakan dan mengganggu masyarakat sekitar.
c. Pentingnya informasi pasar mengenai lokasi yang strategis.
2. Diijinkan Memakai Perantara
Islam mengizinkan untuk menggunakan perantara atau saluran distribusi.
Samsarah dapat dimaknai sebagai agen atau makelar. Perlaku samsarah disebut
sebagai simsar. Simsar yakni orang yang bekerja menjualkan atau membelikan untuk
orang lain dengan upah tertentu. Pekerjaan ini diizinkan dalam syara (An-Nabhani,
2009:178). Samsarah diizinkan dalam Islam, sebab Rosulullah saw juga sempat
melakukannya. Praktik samsarah mempunyai batasan-batasan tertentu yang harus
dipahami, pertama : harus sama-sama dipahami kerjanya baik kerja yang dikontrak
untuk menjual maupun membeli. Kedua: pihak samsarah tidak diijinkan untuk
mengambil laba dari penjualan atau pembelian tanpa adanya izin dari pihak yang
mengutusnya, karena laba penjualan maupun pembelian tersebut merupakan hak dari
orang yang mengutus agen tersebut. (An-Nabhani, 2009:78-79)
3. Diharamkannya Ihtikar
Ihtikar yakni tindakan penimbunan barang. Penimbunan ini pada umumnya
dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang lebih atau berlipat ganda
yang biasanya dilakukan oleh orang-orang tertentu.

Nabi Muhammad Saw bersabda” Tidak akan melakukan penimbunan selain


orang yang salah,” (H.R. Muslim).

Ihtikar atau penimbunan harta ialah dosa. Penimbunan ini bermotif menumpuk
barang-barang pada suatu tempat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan lebih.
Jadi ketika harga barang yang ditimbun tinggi, maka barang tersebut akan dikeluarkan
dan dijual dengan keuntungan yang besar.
4.4 Promosi atau Promotion
Islam tidak mengikat segala bentuk promosi asalkan tetap sesuai dengan syariat Islam.
Berikut merupakan promosi yang sesuai dengan syariat:
1. Mendahulukan Prinsip Akhlak
Promosi yakni media perusahaan untuk berkomunikasi dengan menjual
produknya kepada produsen. Promosi berkaitan dengan hubungan sosial, yang mana
Islam telah mengajarkan melalui Al-Qur’an dan Hadits mengenai hubungan sosial
yang baik. Hal pokok yang wajib diperhatikan ketika melakukan promosi yakni
akhlak, sebab saat perusahaan mempromosikan dan memasarkan produk kepada
konsumen maka saat itu pula sifat perusahaan akan terlihat ke publik. Penjual harus
memahami dan mentauladani sistem perdagangan yang dilakukan Rasullullah Saw.
Beliau mengajarkan untuk mendahulukan akhlak pemasaran produk daripada
memaksimumkan laba dengan menghalalkan semua cara, sebab sangat umum terjadi
adanya iklan modern yang tidak mempedulikan etika didalamnya
Umum sekali terjadi produsen menggunakan promosi dengan melakukan
sumpah atau promosi yang berlebihan untuk meyakinkan konsumen. Hal tersebut
umumnya dilakukan oleh produsen yang kurang percaya terhadap produk dan
pelayanannya sendiri sehingga condong berlebihan dalam melakukan promosi dan
nampak profesionalismenya rendah. Aplikasi sumpah ini seharusnya jangan sampai
dilakukan, sebab akan melanggar prinsip-prinsip syariah.
Promosi yang dilakukan sesuai syariah harus berpegang teguh pada kejujuran,
mencegah adanya deskripsi produk yang tidak benar, tidak menggunakan dan
mencampur dengan produk haram dan tidak memakai wanita sebagai model iklan,
sebab akan cenderung menampilkan unsur seksualitas, kecanikan dan pornografi di
dalamnya.
2. Diharamkan Melakukan Penipuan atau Tadlis.
Islam memiliki ketentuan tersendiri mengenai pengembangan harta. Bentuk
muamalah yang tidak terbuka dan penuh kebohongan atau yang disebut sebagai tadlis
atau penipuan sangat dilarang dalam Islam, sebab dapat menyebabkan kedzaliman dan
kemudharatan bagi produsen maupun konsumen (An-Nabhani, 2009:206). Bentuk
tadlis misalkan, ada produsen yang menjual barang dengan kondisi yang cacat atau
ada beberapa kerusakan, namun produsen tersebut mengatakan bahwa barang tersebut
dalam kondisi bagus dan tidak ada kecacatan sama sekali kepada konsumen, sehingga
konsumen setuju untuk membelinya sebab terbujuk oleh produsen tersebut. Tapi saat
konsumen mengetahui keadaan barang tersebut memiliki kecacatan, maka konsumen
merasa rugi. Bentuk tersebut ialah salah satu contoh perbuatan tadlis yang dilakukan
oleh produsen. Penipuan bukan hanya dalam bentuk menyembunyikan kerusakan atau
kecacatan barang, namun dapat pula berbentuk promosi berlebihan yang tidak sesuai
dengan kualitas produk yang sebenarnya.
Menurut Imam Al-Ghazali dalam Bashri (2007) mengungkapkan bahwa iklan
komersial harus mempedulikan hal-hal:
a. Produsen tidak boleh berbohong dalam menjelaskan produk. Sebab jika hal ini
terjadi maka produsen akan berdosa dan telah melakukan zalim kepada
konsumen.
b. Dilarang menyembunyikan kekurangan barang, sebab jika hal tersebut
dilakukan maka sama prodesen telah menipu konsumen (taghrir).
c. Menguraikan manfaat produk dengan tidak berlebihan.

Keterbukaan dalam jual beli barang harus dilakukan, karena hal ini akan
mencegah terjadinya kerugian pada pihak lain dan orang yang melakukan hal tersebut
bukan merupakan golongan umat Nabi Muhammad saw. Berdasarkan pendapat
Chairiawaty (2012:162-163) berpendapat bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam melakukan promosi atau iklan yakni:
1) Kerelaan atau keikhlasan
2) Uswah
3) Tha’ah
4) Kejujuran
5) Persaudaraan
6) Pendidikan dan rendah hati.
Sehingga sebagai pelaku pasar, marketer muslim harus mengutamakan akhlak
dan mencegah terjadinya penipuan dalam pemasarannya.
5. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pembahasan diatas, dapat dipahami bahwa konsep marketing mix
yang menganut sistem syariah yakni pertama yakni produk, (a)Produk harus halal, baik halal
dalam sudut sifatmya maupun dzatnya (b) Produk harus memberikan faedah atau
kemaslahatan, dengan makna bahwa produk yang dihasilkan wajib memiliki tujuan dan
kegunaan yang jelas untuk konsumen dan penjual serta tidak melanggar terhadap muqashid
syariah. Kedua, aspek harga, yakni (a) Menetapkan keuntungan yang proporsional atau wajar
dan diharamkan melakukan ghabn, maknanya harga yang ditentukan harus sinkron dengan
kondisi pasar dan dilarang berbuat semena-mena mengenai harga; dan (b) Tidak
diperbolehkan melakukan persaingan harga antara sesama penjual, maknanya penjual dilarang
untu melakukan persaingan harga, namun hal lain selain harga diijinkan.
Ketiga, tentang tempat, yakni (a)Penentuan lokasi usaha yang strategis, maksudnya
dalam islam pemilihan lokasi yang strategis harus memperhatikan segi kegunaan dan manfaat,
dalam arti harus sehat, bersih, nyaman dan baik. (b)Diijinkan Memakai Perantara, maknanya
Islam mengizinkan untuk menggunakan perantara atau saluran distribusi atau yang bisa
disebut samsarah. (c) Diharamkannya Ihtikar, maknanya Ihtikar yakni tindakan penimbunan
barang. Penimbunan ini pada umumnya dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan yang lebih atau berlipat ganda yang biasanya dilakukan oleh orang-orang
tertentu.Keempat, dari sudut promosi, yakni (a)Mendahulukan prinsip akhlak, maksudnya
promosi berkaitan dengan hubungan sosial, yang mana Islam telah mengajarkan melalui Al-
Qur’an dan Hadits mengenai hubungan sosial yang baik. (b) Diharamkan melakukan
penipuan atau tadlis, sebab bisa menimbulkan kerugian bagi orang lain.

6.DAFTAR PUSTAKA

Amalia, D. (2010). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok: Gramata PublishingAz-


An-Nabhani, T. (2009). Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Persfektif Islam. Surabaya:
Risalah Gusti.
Antonio, S. (2009). Muhammad Super Leader Super Manager. Jakarta: Pro LM Centre &
Tazkia Publishing
Bashri, I. A. (2007). Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik. Solo: Aqwam.
Chairiawaty. (2012). Branding Identity Sebuah Tinjauan Mengenai Etika Bisnis Islam. Jurnal
Ilmu Komunikasi, 151-166.
Darmawati. (2013). Hukum Dagang Islam. Jurnal Al-Risalah, 13(1), 147162. Karim, A.
(2004). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Grafindo.
Gunara, T., & Sudibyo, U. H. (2007). Marketing Muhammad. Bandung: Madani Prima.
Karim, A. (2007). Ekonomi Mikro Islami Edisi Ketiga. Jakarta: Grafindo.
Kartajaya, H., & Sula, M. S. (2006). Marketing Syariah. Bandung: Mizan.
Kotler, P., &Amstrong, G. (1997). Dasar-Dasar Pemasaran Edisi Indonesia Jilid Satu.
Jakarta: PT Prehallindo.
Kotler, P., Kartajaya, H., & Setiawan, I. (2010). Marketing 3.0. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Lupiyoadi, R. (2001). Manajemen Pemasaran Jasa. Jakarta: Salemba Empat.
Madura, J. (2007). Pengantar Bisnis Edisi Keempat Jilid 2. Jakarta: PT Salemba Empat.
Qaradhawi, Y. (2002). Pengantar Kajian Islam. Jakarta: Pustaka Al Kautsar
Quthb, S. (2004). Tafsir Fi Zhilalil Qur'an Jilid 3. Jakarta: Gema Insani.
Samori, Z., Ishak, A. H., & Kassan, N. H. (2014). Understanding the Development of Halal
Food Standard Suggestion for Future Research. international journal of science and
humanity, 4(6), 482-486.
Stanton, W. (1991). Prinsip Pemasaran. Jakarta: Erlangga.
Sucipto. (2012). Halal dan Haram Menurut Al-Ghazali dalam Kitab Mau'idotul Mukminin.
Jurnal Asas, 4(1), 116-127. Ar
Tjiptono, F. (2004). Pemasaran Jasa . Malang: Bayumedia Publishing
Yusanto, M. I., & Widjajakusuma, M. K. (2002). Menggagas Bisnis Islami. Jakarta: Gema
Insani Press.
Zuhaili, W. (1993). Al-Quran Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta: Mustaqim.

Anda mungkin juga menyukai