Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH AGAMA

“KEMBALI KEPADA AL-QURAN DAN


HADITS”

Dosen Pembimbing:

Bapak Cecep Tatang Wijaya

Disusun Oleh:

Intan Shafa Sulistyo Aji

M. Fadli Ali Tanjung

Melinda Ade Syafitri

Nazlatul Adilah

SEKOLAH TINGGI PARIWISATA NHI

BANDUNG

2019
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................3

BAB I.......................................................................................................................4

PENDAHULUAN...................................................................................................4

A. Latar Belakang..............................................................................................4

B.     Rumusan Masalah........................................................................................4

C.    Tujuan Penulisan..........................................................................................5

BAB II.....................................................................................................................6

PEMBAHASAN.....................................................................................................6

A.    Pengertian Al-Quran dan Hadits..................................................................7

B. Makna sesungguhnya kembali ke Al-Quran dan hadits.....Error! Bookmark


not defined.

C.Kembali kepada Al-Quran dan hadits,mungkinkah ?.......................................9

BAB III..................................................................................................................13

PENUTUP.............................................................................................................13

A.    Kesimpulan.................................................................................................13

B.     Saran..........................................................................................................13

C. Daftar Pustaka……………………………………………………………14

2
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-
Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta
kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat
nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah Agama
dengan judul “KEMBALI KEPADA AL-QURAN DAN HADITS”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
khususnya kepada dosen Agama kami yang telah membimbing dalam menulis
makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bandung, 9 September 2019

3
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kembali pada Alquran dan hadis. Semangat ini belakangan ramai


digaungkan. Dengan bantuan media sosial, 'kembali pada Alquran dan
hadis' pun kian dikenal dan terus disuarakan.

Seorang muslim memang harus merujuk pada kitab pedomannya, yaitu


Alquran dan apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW
melalui riwayat-riwayat hadis.

Di sisi lain, ada yang perlu diluruskan dari ajakan ini, agar tidak terjadi
kesalahpahaman dan ketimpangan jika 'mentah-mentah' langsung
kembali pada Alquran dan sunah Nabi. Namun perlu diingat, tidak
semua orang memiliki kemampuan kembali pada Alquran dan hadis,
terutama bagi awam yang sedang semangat-semangatnya belajar
agama.

Maka, bagi orang awam, penting untuk mendengarkan firman Allah


berikut ini. 'Fas aluu ahladzdzikri inkuntum la ta'lamuun'. Bertanyalah
kalian kepada orang-orang yang ahli, yaitu para ulama jika kalian tidak
cukup mengerti.

B. Rumusan Masalah
     

Berdasarkan latar belakang di atas, maka berikut ini rumusan


masalah yang akan dikaji dalam makalah ini, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan “Al-quran dan Hadits” ?
2. Jenis jenis kembali ke Al-Quran dan Hadits?
3. Bagaimanakah cara kembali ke Al-Quran dan Hadits?
4. Bagaimana kedudukan para ulama saat mukmin kembali ke Al-Quran
dan Hadits dalam Islam?
5.      Bagaimana pengaruh kembali ke Al-Quran dan Hadits dalam kehidupan
seorang muslim?

4
C. Tujuan Penulisan
    

Adapun tujuan penyusunan makalah yang berjudul kembali ke Al-Quran


dan Hadits landasan aqidah seorang muslim adalah:
1. Meningkatkan pemahaman mengenai konsep “Kembali kepada Al-Quran dan
Hadits” sebagai landasan aqidah Islamiyah
2. Mengetahui kedudukan Al-Quran dan hadits dalam Islam
3. Mengetahui bagaimana kembali kepada Al-Quran dan Hadits
4. Mengkaji pengaruh kembali ke Al-Quran dan Hadits

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Qur'an dan Hadits


1)   Pengertian Al-Qur’an
Secara bahasa, kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja
Qoro-’artinya membaca. Secara istilah, Al-Quran adalah firman atau wahyu
berbahasa Arab yang berasal dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW
dengan perantara mmalaikat jibril dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian
disampaikan secara mutawattir, membaca dan mempelajarinya
merupakan ibadah, yang diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
an-Naas.
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain
yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an diantaranya, Al-Kitab, Al-
Furqan (pembeda benar salah), Adz-Dzikr (pemberi peringatan), Al-Mau'idhah
(pelajaran/nasihat), Al-Hukm (peraturan/hukum), Al-Hikmah (kebijaksanaan),
Asy-Syifa' (obat/penyembuh), Al-Huda (petunjuk), At-Tanzil (yang diturunkan),
Ar-Rahmat (karunia), Ar-Ruh (ruh), Al-Bayan (penerang), Al-Kalam
(ucapan/firman), Al-Busyra (kabar gembira), An-Nur (cahaya), Al-Basha'ir
(pedoman), Al-Balagh (penyampaian/kabar), dan Al-Qaul (perkataan/ucapan).
2)   Pengertian Hadits
Secara bahasa, kata hadits berarti “perkataan atau percakapan”. Sedangkan secara
istilah, hadits adalah “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapannya (taqrir)”. Sinonim dari
kada hadits adalalah adalah sunnah.
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai
perawi) dan matan (redaksi). Sanad adalah suatu riwayat yang terdiri atas seluruh
penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab
hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sedangkan matan adalah redaksi atau isi dari
hadits.
B.  Nilai Penting Al-Qur’an dan Hadits Sebagai Pedoman Hidup Siswa MI
Didalam dunia pendidikan, Al-Qur’an dan Hadits adalah bagian dari mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam di Madrasah Ibtidaiyah. Madrasah Ibtidaiyah
(MI) adalah merupakan lembaga formal pendidikan yang proses pembelajarannya
berdasarkan nilai-nilai agama Islam.

6
Dengan adanya pemberian pembelajaran Al-Qur’an dan Hadits kepada siswa MI,
maka diharapkan dapat memberikan satu pemahaman tentang agama Islam kepada
siswa sejak dini. Adapun pemahaman tersebut diantaranya:
1)      Belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Allah SWT
2)      Belajar untuk memahami dan menghayati Al-Qur’an dan Hadits
3)      Menumbuhkembangkan kemampuan siswa dalam membaca dan menulis
Al-Qur’an dan Hadits
4)      Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif apa yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits
5)      Belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain sesuai tuntunan
Al-Qur’an dan Hadits
Dengan demikian, dapat diketahui bahwasanya peran pembelajaran Al-Qur’an dan
Hadits bagi siswa di MI begitu penting, sebab secara substansial mata pelajaran
Al-Qur’an dan Hadits memiliki konstribusi dalam memberikan motivasi kepada
peserta didik untuk mencintai kitab sucinya, membantu mempelajari dan
mempraktikkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits sebagai
sumber utama ajaran Islam, dan sekaligus menjadi pegangan dan pedoman hidup
dalam kehidupan sehari-hari.

B.    Makna Sesungguhnya 'Kembali pada Alquran dan Hadits

Kembali pada Alquran dan hadis. Semangat ini belakangan ramai


digaungkan. Dengan bantuan media sosial, 'kembali pada Alquran dan hadis' pun
kian dikenal dan terus disuarakan.

Seorang muslim memang harus merujuk pada kitab pedomannya, yaitu Alquran
dan apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui riwayat-
riwayat hadis.

Di sisi lain, ada yang perlu diluruskan dari ajakan ini, agar tidak terjadi
kesalahpahaman dan ketimpangan jika 'mentah-mentah' langsung kembali pada
Alquran dan sunah Nabi. Melihat fenomena ini, dosen Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Abdul Moqsith Ghazali, mengatakan pada
dasarnya ini adalah anjuran yang baik. Namun perlu diingat, tidak semua orang

7
memiliki kemampuan kembali pada Alquran dan hadis, terutama bagi awam yang
sedang semangat-semangatnya belajar agama.

Maka, bagi orang awam, penting untuk mendengarkan firman Allah berikut
ini. 'Fas aluu ahladzdzikri inkuntum la ta'lamuun'. Bertanyalah kalian kepada
orang orang yang ahli,yaitu para ulama jika kalian tidak cukup mengerti.

"Makna-makna Alquranul karim, pengertian-pengertian di dalam hadis, tidak


mudah untuk ditembus oleh kalangan awam, karena redaksi Alquran dan redaksi
hadis membutuhkan kelengkapan akademik untuk bisa memahaminya. Imam
Syafi'i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Malik adalah
deretan ulama yang dengan sendirinya memiliki kemampuan untuk kembali pada
Alquran dan sunah," urai Moqsith.

Bagi orang awam yang tidak memiliki cukup waktu untuk belajar dan tidak
memiliki kemampuan akademik intelektual, tidak secara langsung untuk kembali
kepada Alquran dan sunah, pilihannya adalah dengan mengikuti para ulama yang
memiliki kemampuan dan memiliki kapasitas untuk kembali pada Alquran dan
sunah.

"Itulah yang dimaksud dengan tradisi bermazhab di dalam hukum Islam. Tradisi
akademik untuk mengikuti pendapat dan metodologi yang telah ditetapkan oleh
para ulama sejak zaman dahulu sampai dengan akhir zaman," terang alumnus
Ma'had Aly, Situbondo, Jawa Timur, ini.

Dengan demikian, imbuh Moqsith, bermazhab mengikuti pandangan para ulama


bukanlah sesuatu yang keliru, karena itu adalah anjuran Alquran dan sunah itu
sendiri.

Masih dikatakan Moqsith, bahkan Rasulullah SAW pernah bersabda 'Ashabi


kannujum', sahabat-sahabatku itu adalah seperti bintang gemintang di langit.

8
'Biayyihim iqtadaytum ihtadaytum', dari mana saja para sahabat itu kamu ikuti,
maka dengan sendirinya akan mendapatkan petunjuk, akan mendapatkan hidayah,
serta mendapatkan arahan.

Para sahabat sudah lama meninggal dunia. Selanjutnya masuk ke dalam


generasi tabi'in. Lalu tabi'in sudah tidak ada, masuk ke generasi tabiut tabi'in.
Setelah tabiut tabi'in tidak ada, saat ini adalah generasi para ulama.

"Hari ini yang tersisa adalah para ulama, para kiai, yang memiliki kemampuan
untuk kembali kepada Alquran dan sunah. Sebuah pepatah menyatakan 'Man
qallada 'aliman, laqiyallahu saliman', barang siapa mengikuti orang alim, dia
akan menjadi orang yang selamat," tutup Moqsith.

C. Kembali kepada Al-Qur'an-Hadits, Mungkinkah?

Slogan kembali kepada Al-Qur’an dan hadits tidak boleh dimakan secara mentah.
Jika semangat kembali kepada Al-Qur’an dan hadits hanya dimaknai mengacu Al-
Qur’an dan hadits secara tekstual begitu saja, maka akan timbul aneka macam
kekacauan dalam memahami Al-Qur'an maupun hadits itu sendiri. Padahal
kekacauan dalam kedua sumber utama ajaran Islam tersebut adalah hal yang
mustahil. 

Kita bisa melihat bagaimana Al-Qur’an mengarahkan kita untuk tidak hanya
berhenti pada teks Al-Qur’an dan hadits dengan mengesampingkan peran akal
dalam arti ijtihad yang sesuai koridor disiplin keilmuan Islam. Allah berfirman:

َ‫فَاسْأَلُوا أَ ْه َل ال ِّذ ْك ِر إِ ْن ُك ْنتُ ْم اَل تَ ْعلَ ُمون‬

Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika


kamu tidak mengetahui.” (QS: An Nahl: 43)

Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy'ari mengungkapkan, mayoritas ulama


mewajibkan bagi siapa saja yang tidak sampai level mujtahid mutlak, untuk
mengikuti (taqlid) kepada salah satu dari empat imam mazhab.
 
‫وم‬ee‫ل بعض العل‬ee‫د حص‬ee‫يجب عند جمهور العلماء المحققين على من ليس له اهلية االجتهاد المطلق وان كان ق‬
‫ه‬ee‫ لقول‬،‫اء‬ee‫د أيهم ش‬ee‫ف بتقلي‬ee‫دة التكلي‬ee‫ واألخذ بفتواهم ليخرج عن عه‬e‫المعتبرة فى االجتهاد تقليد قول المجتهدين‬
‫ وذلك تقليد لعالم‬،‫ فأوجب السؤال على من لم يعلم ذلك‬.) َ‫تعالى (فَاسْأَلُوا أَ ْه َل ال ِّذ ْك ِر إِ ْن ُك ْنتُ ْم اَل تَ ْعلَ ُمون‬

Artinya: “Menurut mayoritas ulama hukumnya wajib mengikuti (taqlid) dan


mengikuti fatwa-fatwanya ulama yang kredibel di bidang ijtihad yaitu bagi siapa
saja yang tidak memiliki kapasitas ijtihad mutlak meskipun orang itu telah

9
menguasai sebagian ilmu secara mendalam. Orang ini bebas memilih ulama
mujtahid siapa yang ia kehendaki. Hal ini mengacu kepada ayat "Bertanyalah
kalian kepada orang yang berilmu jika kalian tidak  mengetahui." Di sini Allah
mewajibkan orang tidak tahu satu hal untuk bertanya kepada orang yang
menguasai di bidangnya." (Muhammad Hasyim Asy'ari, Risalah Ahlus Sunnah
wal Jama'ah  dalam Irsyadus Sari, Jombang, Maktabah Al Masruriyah, halaman
16)

Al-Qur’an tidak memonopoli untuk selalu merujuk secara tekstual Al-Qur’an dan
hadits, meskipun terdapat satu sumber hadits Baginda Nabi yang tetap disuruh
memegang teguh Al-Qur’an maupun hadits. Namun perlu kita ketahui, cara
memeganginya dengan teguh, tidak mesti harus menyentuh secara langsung. 

Ibarat orang yang akan menjadikan bara api supaya manfaat. Cara mengambil
manfaatnya tentu tidak harus dipegang tangan lalu dimasukkan ke dalam mulut.
Begitu pula Al-Qur’an, isinya sangat beragam. Ada yang bisa dimakan mentah.
Ada pula yang perlu dimasak hingga masak betul.  

Ada contoh dari Al-Qur’an yang secara sastrawi menampilkan redaksi dengan
maksud lain dari pada teks yang ditampilkan. Misalnya, dalam
ilmu balaghah (kajian sastra Arab) ada yang disebut majaz ithlaqul jam'i anil
mufrad (mengutarakan dalam bentuk plural, namun yang dikehendaki adalah
tunggal). Simak ayat berikut:
 
ُ ْ‫َحتَّى إِ َذا َجا َء أَ َح َدهُ ُم ْال َمو‬
ِ ‫ت قَا َل َربِّ ارْ ِجع‬
‫ُون‬

Artinya: (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang


kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah
aku (ke dunia). (QS: Al Mu'minun: 99) 

Dalam ayat di atas terdapat teks yang menampilkan orang berdoa kepada Allah
untuk dikembalikan ke dunia dengan kalimat ‫اِرْ ِجعُوْ ِن‬.

Jika diurai, lafadz ini tersusun dari dua kalimat, yaitu ‫ارجعو‬   (artinya: semoga
Engkau kembalikan) dan ‫ ِن‬ (yang berarti kepada kami) dengan keterangan
singkatan ijaz yang cukup panjang penjelasannya. 

Kalimat‫ارجعو‬ merupakan bentuk kalimat perintah untuk jama' (dua orang ke atas).


Sedangkan dalam konteks ayat ini, yang menjadi objek hanya satu yaitu Allah.
Bukan objek dengan jumlah di atas dua. Secara gramatikal normal, apabila objek
hanya satu, memakai kalimat ‫ارجع‬ bukan ‫ارجعو‬. Artinya, ini Al-Qur’an
menggunakan kalimat antara yang ditampilkan dengan makna yang dimaksud
tidak sama persis karena memang ada nuansa sastrawi yang cukup rumit.

Contoh semacam di atas bisa jadi mencapai ratusan. Itu baru satu bab, satu
masalah. Belum lagi memahami ayat mujmal, mutasyabihat, muqayyad  dan
segunung keilmuan yang perlu dipelajari terlebih dahulu untuk bisa menjangkau
bahasa Al-Qur’an yang begitu tinggi. 

10
Seperti orang yang belum pernah belajar ilmu kedokteran lalu ia tidak mau
mendengar keterangan dari dokter. Ia hanya mau jika mengoperasi dirinya sendiri
selayaknya dokter mahir. Ini tentu merupakan tindakan bodoh. 

Adalah sesuatu yang mustahil, orang yang tidak pernah mendalami kajian
ketatabahasaan Arab dengan 12 macam cabang keilmuan yang mengelilingi lalu
berani berteriak "mari kita kembali kepada Al-Qur’an dan hadits" dengan maksud
meninggalkan tafsir Al-Qur’an, syarah hadits, dan hanya merasa cukup dengan
terjemah saja. Wallahu a'lam. 

D. Jika Dalil Hanya Ada Dalam Qur’an dan Hadist Saja


            Tidak ada yang salah dengan jargon “kembali kepada Al Quran dan
Sunnah” sebagai sumber rujukan dalam agama. Yang salah adalah tatkala hal ini
menjadi Euforia yang meluas hingga kepada kalangan awam hingga berdampak
kepada misaplikasi dalam mengambil kesimpulan hukum.
            Secara prinsip, Al-Quran dan Sunnah adalah sumber utama dalam
pencarian dalil. Namun seiring perkembangan zaman, akan ditemukan banyak hal
baru dalam agama yang dalilnya secara eksplisit tidak ditemukan dalam kedua
sumber tersebut. Dari sini kemudian para Salafu Sholeh dari para sahabat hingga
kepada para ulama mujtahidin menyimpulkan bahwa dalil Syar’i itu tidak hanya
Quran dan Sunnah saja. Para ulama ushul kemudian mengklasifikasi dalil kepada:

1. Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ (konsensus), dan Qiyas (analogi). Sebagai dalil


yang disepakati atau muttafaq alaih
2. Maslahat Mursalah, Istishab, Istihsan, Qaul Shahabi, urf, dll. Sebagai dalil
yang masih menjadi polemik antar ulama sendiri.

Yang menjadi landasan para Salafu Shalih dalam menjadikan semua di atas
sebagai dalil syar’i adalah legalitas berijtihad yang diberikan oleh Rasulullah
SAW kepada Muadz Bin Jabal RA saat diutus ke Yaman:

َ‫ض لَ<<ك‬ َ ‫ض<ي إِنْ َع< َر‬ ِ ‫ { َك ْي<<فَ تَ ْق‬:‫س<لَّ َم قَ<<ا َل لِ ُم َع<<ا ٍذ ِحينَ بَ َعثَ<هُ إِلَى ا ْليَ َم ِن‬َ ‫ص<لَّى هللاُ َعلَ ْي< ِه َو‬ َ ‫ أَنَّ النَّبِ َّي‬, ‫عَنْ ُم َع<<ا ٍذ‬
‫ص<لى هللاُ َعلَ ْي< ِه‬ َّ ‫هَّللا‬
َ ِ ‫س<و ِل‬ ُ ‫س<نَّ ِة َر‬ َ َ
ُ ِ‫ فب‬:‫ب ِ؟ قا َل‬ ‫هَّللا‬ َ
ِ ‫ فإِنْ لَ ْم يَ ُكنْ فِي ِكتَا‬:‫ب ِ قا َل‬َ ‫هَّللا‬ ِ ‫ضي بِ َما فِي ِكتَا‬ ِ ‫ أَ ْق‬:‫ضا ٌء؟ قَا َل‬ َ َ‫ق‬
ِ ‫ ا ْل َح ْم< ُد هَّلِل‬:‫ َوقَ<<ا َل‬, ُ‫ص< ْد َره‬ َ ‫ض< َر َب‬ َ َ‫ ف‬:‫سو ِل هَّللا ِ؟ قَا َل أَ ْجتَ ِه ُد َر ْأيِي َواَل آلُو قَا َل‬ ُ ‫سنَّ ِة َر‬ ُ ‫ فَإِنْ لَ ْم يَ ُكنْ فِي‬:‫سلَّ َم قَا َل‬
َ ‫َو‬
}‫سلَّ َم‬ ‫و‬
َ َ ِ ‫ه‬ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬‫ع‬َ ُ ‫هللا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬‫ص‬ ‫هَّللا‬ ‫ل‬‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ي‬ ‫ض‬ ‫ر‬
ْ
َ ِ َ ُ َ ِ ُ َِ ِ ِ ُ َ َ ُ َ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫هَّللا‬ ‫ل‬‫و‬‫س‬ ‫ر‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ق‬َ َّ ‫ف‬ ‫و‬
َ ِ‫ي‬ ‫ذ‬ َّ ‫ل‬‫ا‬
Dari Muaz bin Jabal RA berkata: bahwa Nabi SAW bertanya kepadanya,
“Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan kepadamu?” Muadz
menjawab, “Saya akan putuskan dengan kitab Allah.” Nabi bertanya kembali,
“Bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah?”. Muadz menjawab,
“Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah.” Rasulullah bertanya kembali,
“Jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam
Kitab Allah?” Muazd menjawab, ”Saya akan berijtihad dengan akal saya dan
saya tidak akan lalai.” Lalu Rasulullah saw menepuk dadanya seraya bersabda,
”Segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan taufiq-Nya kepada utusan
Rasulullah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah. (HR. Abu Daud).[1]

11
Jadi, masih yakin bisa menentukan hukum sebuah perkara hanya dengan kembali
kepada teks Quran dan Sunnah?
Dalil para ulama  yang berpendapat tentang disyariatkannya adzan dua kali dalam
shalat jum’at, tidak ada teksnya dalam Quran dan hadist, namun dalilnya adalah
pendapat Utsman R.A yang kemudian menjadi Ijma’ sukuti saat itu[2] .
Dalil baik dari teks Quran atau Sunnah tentang dilarangnya membakar harta anak
yatim tidak akan pernah kita temukan. Karena dalilnya adalah qiyas terhadap
larangan memakan harta anak yatim yang tertera dalam Al Quran.
Begitupula Dalil dari teks al Quran dan Sunnah tentang diperintahkannya
membukukan al Quran dan Hadist. Secara eksplisit tidak akan pernah kita
temukan, karena dalilnya adalah maslahat mursalah.
Sama halnya dengan  dalil dari Qur’an tentang dilarangnya memukul orang tua.
Tidak juga akan ditemukan karena para ulama menggunakan metode qiyas
terhadap dilarangnya berkata ‘ah’ kepada orang tua sesuai dengan yang tertulis
dalam Qur’an.
Para ulama juga menggunakan metode dalalah ibarah dalam menarik kesimpulan
hukumnya, yakni penunjuk redaksi hukum atau suatu ketentuan hukum pada
perkara lain yang juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan karena
terdapatnya persamaan ‘illat antara keduanya.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
    

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:


1. Semua masalah yang tidak bias dipecahkan yang berurusan dengan agama harus
kembali merujuk ke Al-Quran dan Hadits . Di sisi lain, ada yang perlu diluruskan
dari ajakan ini, agar tidak terjadi kesalahpahaman dan ketimpangan jika 'mentah-
mentah' langsung kembali pada Alquran dan sunah Nabi. Namun perlu diingat,
tidak semua orang memiliki kemampuan kembali pada Alquran dan hadis,
terutama bagi awam yang sedang semangat-semangatnya belajar agama.
2. Maka, bagi orang awam, penting untuk mendengarkan firman Allah berikut
ini. 'Fas aluu ahladzdzikri inkuntum la ta'lamuun'. Bertanyalah kalian kepada
orang-orang yang ahli, yaitu para ulama jika kalian tidak cukup mengerti.

   

B. Saran
     

Setelah mengkaji dari materi di atas kami harapkan yang membaca bias
mengerti dari isi materi tersebut. Dan salah saat merujuk karena bagi orang awam
akan tidak akan mengerti jadi harus merujuk atau kembali kepada al-quran dan
hadits dengan benar.

13
DAFTAR PUSTAKA
 

https://islam.nu.or.id/post/read/86945/kembali-kepada-al-quran-hadits-
mungkinkahDirektorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Penididkan
Agama Islam (2016)
https://www.rumahfiqih.com/fikrah-495-kembali-kepada-al-quran-dan-hadist-
seperti-apa.html
http://kumpulantugassekolahdankuliah.blogspot.com/2014/12/pengertian-al-quran-
dan-hadits.html

14

Anda mungkin juga menyukai