Anda di halaman 1dari 21

Mata Kuliah Dosen Pembimbing

Ulumul Qur’an Ahmad Faisal, M. Pd

KONSEP TILAWAH DAN IQRA MENURUT AL-QUR’AN

Oleh :

Kelompok 1

NAMA NPM
Dede Maria 19.12.4729
Hipzi 19.12.4759
Muhammad Arpani 19.12.4807
Nursyifa 19.12.5004

FAKULTAS TARBIYAH

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

KONSENTRASI QUR’AN HADITS

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM MARTAPURA

2021
2
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
‫الحمد هلل رب العالمين والصالة والسالم على اشرف األنبياء والمرسلين سيدنا وموالنا محمد وعلى اله‬
‫ اما بعد‬. ‫وصحبه اجمعين‬:
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada penyusun makalah sehingga berhasil menyelesaikan makalah
pada mata kuliah Ulumul Qur’an yang berjudul Konsep Tilawah dan Iqra
dalam Al-Qur’an

Shalawat dan salam tak lupa kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad saw beserta keluarga, sahabat dan para pengikut beliau dari dulu dan
sekarang hingga akhir zaman.
Kami selaku penyusun makalah menyampaikan ucapan terimakasih kepada
dosen pengampu kami Bapak Ahmad Faisal, M. Pd yang telah memberikan
tugas pembuatan makalah ini, serta semua yang telibat dalam penyelesaian tugas
makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penyusun
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca dalam belajar dan hasilnya dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.

Martapura, 7 Oktober 2021


Penyusun Makalah,

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................1
C. Tujuan Penelitian.................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................2
PEMBAHASAN...............................................................................................................2
A. Pengertian Tilawah..............................................................................................2
B. Pengertian Iqra’...................................................................................................4
C. Konsep Tilawah dalam Al-Qur’an......................................................................5
D. Konsep Iqra’ dalam Al-Qur’an...........................................................................8
BAB III...........................................................................................................................16
PENUTUP.......................................................................................................................16
A. Kesimpulan.........................................................................................................16
B. Saran...................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan istilah dari bahasa arab yang memiliki arti
bacaan. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah melalui malaikat jibril. Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur di kota besar Mekkah dan Madinah sejak
tahun 610 M sampai kematian Nabi Muhammad yaitu pada tahun 632
M.Istilah Al-Qur’an berasal dari kata Qara’a yang artinya membaca. Istilah
Al-Qur’an juga tertulis dalam Al-Qur’an itu sendiri, bahkan istilah Al-Qur’an
muncul sebanyak 70 kali.
Secara bahasa, kata 'tahsin' artinya memperbaiki, atau menghiasi,
atau membaguskan, atau memperindah, atau membuat lebih baik dari semula
Lalu kata 'tilawah' artinya membaca atau bacaan. Adapun tilawah secara
istilah adalah membaca Al Qur'an dengan bacaan yang menampakkan huruf-
hurufnya dan berhati-hati dalam melafadzkannya agar lebih mudah untuk
memahani makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Dari dua definisi tersebut, bisa disimpulkan bahwa makna tahsin
tilawah adalah upaya memperbaiki atau membaguskan bacaan Al Qur'an
dengan baik dan benar. Maka dari itu kami pemakalah akan membahas
mengenai konsep Tilawah dan Iqra’ dan Al-Qur’an
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Tilawah ?
2. Apa pengertian Iqra’ ?
3. Bagaimana konsep Tilawah dalam Al-Qur’an ?
4. Bagaimana konsep Iqra’ dalam Al-Qur’an ?
C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan apa pengertian Tilawah !
2. Menjelaskan apa pengertian Iqra’ !
3. Menjelaskan bagaimana konsep Tilawah dalam Al-Qur’an !
4. Menjelaskan bagaimana konsep Iqra’ dalam Al-Qur’an !

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tilawah
Tilawah Al-Qur’an berasal dari kata Tilawah dan Al-Qur’an, Tilawah
menurut kamus besar bahasa indonesia memiliki arti pembacaan (ayat Al-
Qur’an) dengan baik dan indah.1
Dalam kamus Al-Munawwir, kata Tilawati artinya bacaan.2
Begitupun dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia Tilawati artinya
membaca.3 Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengertian tilawah menurut bahasa
adalah bacaan atau membaca.
Tilawaħ menurut istilah seperti yang diungkapkan Ziad Khaled
Moh al-Daghameen dalam tulisannya “Al-Qur’an: Between The Horizons of
Reading and Recititation,” yang dikutip oleh Harun, menyebutkan bahwa
tilawah adalah mengikuti petunjuk dan aturan-aturan kitab suci. Ini berarti
keharusan berkesinambungan dalam memahami makna dan kebenaran-
kebenaran-Nya dalam hati. Berbeda dengan tilawaħ lebih dikhususkan untuk
Al-Qur’an saja.4
Tilawah Al-Qur’an adalah bagian dari ibadah paling utama yang
disyari’atkan oleh nabi Muhammad dan menjadi ibadah paling agung yang
menjadi sarana khusus mendekatkan diri kepada Allah. Tilawah Al-Qur’an
juga merupakan salah satu bentuk dzikir kepada Allah.
Nabi Muhammad bersabda dalam hadist: Artinya: “Dari Abu Sa’id
r.a. berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “Allah berfirman, barang siapa
mengunggulkan dzikir atas-Ku dan membaca kitab-Ku (Tilawah Al-Qur’an)
dalam rangka meminta (berdo’a) kepada-Ku, maka aku akan memberikan

1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), h. 935
2
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 138
3
Muhdlor, Atabik Ali Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta: Multi
Karya Grafika, 1998), h. 141
4
Romli Usup, Anwar Saepul, “Konsep Taklim Dalam Al-Qur’an.” Jurnal Pendidikan Agama
Islam- Ta’lim, Vol. 11 No 1 (2013), h. 18

2
kepadanya seutama-utamanya perkara yang aku berikan kepada orang-orang
yang memohon kepada-Ku dan keutamaan kalam Allah di atas seluruh
perkataan adalah seumpama keutamaan Allah atas makhluk-Nya.” (HR.
Tirmidzi, Darami, dan Baihaqi).
Tilawah Al-Qur’an kadang dikaitkan dengan seni baca Al-Qur’an,
yaitu sebutan untuk yang lebih lazim dikenal di Indonesia. 5 Dalam membaca
Al-Qur’an, ada yang dibaca biasa dan ada yang memakai lagu. Dalam
melagukan bacaan Al-Qur’an ada istilah khusus yang dipakai yang disebut
“Nagham.” Seni baca Al-Qur’an atau dikenal dengan nama An-Naghom fil
Qur’an maksudnya adalah memperindah suara pada Tilawah Al-Qur’an.
Sedangkan ilmu Nagham adalah mempelajari cara atau metode di dalam
menyenandungkan atau melagukan atau memperindah suara pada Tilawah
Al-Qur’an.6
Pengertian Seni baca Al-Qur’an adalah bacaan-bacaan yang
bertajwid yang diperindah oleh irama lagu.7 Hal ini akan mudah dipahami
apabila seorang yang mempelajari seni baca Al-Qur’an telah memahami teori
seni bernyanyi atau tausyeh dengan baik, dan telah memahami ilmu tajwid
dan bisa membaca Al-Qur’an dengan tartil yang semua itu tidak lepas dari
nafas, suara dan lagu.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengertian Tilawah Al-Qur’an
secara istilah adalah membaguskan bacaan Al-Qur’an dengan memperhatikan
kaidah tajwid, fashahah, lagu, suara, dan nafas serta memahami isi kandungan
Al-Qur’an dan menerapkan ketetapan hukumnya dengan cara menunaikan
perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah.

B. Pengertian Iqra’
5
Moh. Hikam Rofiqi, ANTIQ (Aturan Tilawah Al-Qur’an), (Kediri: Ponpes Lirboyo, 2011), h. 1
6
Ahmad Munir dan Sudarsono, Ilmu Tajwid dan Seni Baca Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta,
1994), h. 9
7
Sholihah Khodijatus, Perkembangan Tilawah Al-Qur’an dan Qiro’ah sab’ah, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1983), h. 7

3
Membaca dalam Kamus besar Bahasa Indonesia adalah melihat
serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya
dalam hati), mengeja, atau melafalkan apa yang tertulis, mengucapkan,
mengetahui, meramalkan, menduga, dan memperhitungkan.
Menurut Quraish Shihab, kata Iqra‟ mempunyai arti membaca,
menelaah, menyampaikan, dan sebagainya. Karena objeknya bersifat umum,
maka objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau, baik ia
merupakan bacaan yang suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik
ia menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Membaca
dalam ajaran Islam merupakan perintah Allah swt.
Kata qira'at jamak dari qira'ah. ia merupakan mashdar dari kata
qara'a, yang berarti membaca. maka qira'ah secara harfiah berarti bacaan dan
ilmu qira'at berarti ilmu tentang bacaan.
Menurut muhasyin qira'at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara
menuturkan atau menyampaikan kata-kata (kalimat) Al-qur'an, baik yang
disepakati maupun yang di perbedakan sesuai dengan jalan orang yang
menukilkannya.
Definisi diatas menggambarkan bahwa al-qur'an sebagai kitab yang
datang dari allah mempunyai cara tersendiri dalam membacanya, ia tidak
sama dengan buku-buku lainnya; ia mempunyai tempat waqaf dan
pengulangan bacaan, ia mempunyai ketentuan idgham, mad, dan lain
sebagainya yang terangkum dalam suatu kajian yang disebut dengan ilmu
tajwid.
Membaca mempunyai arti yang sangat luas yaitu, membaca dalam
arti membaca teks al-Qur‟an atau tulisan dan membaca yang mencakup
menelaah alam seisinya. Iqra‟, biasa diterjemahkan dengan “bacalah”,
merupakan kata pertama dari wahyu yang disampaikan Tuhan kepada Nabi
Muhammad saw. Tentu saja hal ini mengherankan bagi Nabi, karena beliau
adalah seorang buta huruf. Apa yang harus dibaca?, “Ma aqra?”, demikian
pertanyaan balik Nabi setelah berulang-ulang Jibril menyampaikan perintah
tersebut. Kita juga tidak menemukan penjelasan tentang apa obyek yang

4
harus dibaca dari kata iqra‟ ini, oleh sebab itu terdapat berbagai macam
pendapat para ahli tafsir.
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa iqra yang berarti membaca,
menganalisa, mendalami, merenungkan, menyampaikan, meneliti, dan lain
sebagainya, mencakup obyek apa saja yang dapat dijangkau oleh kata
tersebut. Baik itu “membaca” ayat ayat yang “membaca” hasil karya manusia
seperti buku-buku dan koran. Termasuk disini adalah meneliti, menganalisa
dan merenungkan alam semesta, dinamika masyarakat dan diri pribadi. Iqra
mengandung padanan arti Murattal atau Tartil yang memiliki arti dasar
sesuatu yang terpadu (ittisaq), tersistem (intizham), dan secara konsisten
(istiqomah). Selain itu juga bermakna Tilawah yang memiliki arti mengikuti
(tabi‟a atau ittiba‟a) secara langsung dengan tanpa pemisah, yang secara
khusus berarti mengikuti kitab-kitab Allah baik dengan cara Qira‟ah
(intelektual) atau menjalankan apa yang ada didalamnya (Ittiba‟). Mengikuti
ini secara fisik dan bisa juga secara hukum.8
Suatu kata yang terdapat dalam Al-Qur'an dibaca lebih dari satu
cara, sesuai dengan yang pernah diajarkan nabi. Dia menegaskan:
1. Qira'at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-qur'an yang di
lakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan
imam-imam lainnya.
2. Cara pelafalan ayat al-qur'an itu berdasarkan atas riwayat yang
bersambung kepada nabi. jadi, bersifat taufiqi, bukan ijtihadi.
3. Ruang lingkup perbedaan qira'at itu menyangkut persoalan lughat,
hadzat, i'rab, itsbat, fashi dan washl.
C. Konsep Tilawah dalam Al-Qur’an
Telah kita ketahui sebelumnya bahwa kata tilāwah beserta
derivasinya tersebar hampir disetiap surat di dalam al-Quran. Pada pemaparan
sebelumnya juga telahdijelaskan bahwa kata tilāwah secara istilah memiliki
8
Mustolehuddin, “Tradisi baca tulis dalam Islam” Kajian terhadap teks Al-Quran surah Al-Alaq
ayat 1-5

5
arti membaca. Namun di dalam al-Quran kata baca/membaca tidak hanya
diistilahkan dengan kata tilāwah,akan tetapi ada kata lain yang juga
mengandung makna membaca yakni iqra’. Dari hal tersebut muncul sebuh
pertanyaan, “mengapa di sisi lain Allah menggunakan iqra’ (yang bentuk
maşdar (nomina verba)-nya adalah qirâ’ah,sementara di tempat lain
menggunakan kata tilāwah? Lalu apa konsep yangterkandung dari kata
tilāwah dalam al-Quran?9
Dari hasil pemahaman penulis, didapatkan gambaran umum
mengenai konsep tilāwah yang terdapat dalam al-Quran. Diantaranya adalah
bahwa kata tilāwah dengan berbagai turunannya di dalam al-Qur’an hampir
selalu digandengkan dengankitab suci. Baik itu kitab suci umat-umat sebelum
Islam, maupun kitab suci umat Islam, yakni al-Qur’an. Hal tersebut
tergambar pada firman Allah surat Ali Imran ayat 113:
  َ‫ت هّٰللا ِ ٰان َۤا َء الَّ ْي ِل َوهُ ْم يَ ْس ُج ُدوْ ن‬
ِ ‫ب اُ َّمةٌ قَ ۤا ِٕٕىِˆ َمةٌ يَّ ْتلُوْ نَ ٰا ٰي‬
ِ ‫لَ ْيسُوْ ا َس َو ۤا ًء ۗ ِم ْن اَ ْه ِل ْال ِك ٰت‬
“Mereka itu tidak sama; di antara ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku
lurus[221], mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di
malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang)”. (QS Ali Imran [3]
: 113)
Dari ayat di atas memberikan penejalasan bahwa kata tilāwah
digunakan secara spesifik untuk ayat-ayat qauliyah bukan ayat kauniyah
seperti iqra (qira’ah) yang objeknya ayat-ayat al-Quran dan selainnya. Hal ini
sebagaiman dijelaskan oleh Asyafah (2010, hal. 119) bahwa istilah tilāwaħ
(membaca) hanya dapat digunakan dalam konteks ayat-ayat al-Quran.
Sejalan dengan makna dasar dari asal katanya yakni “mengikuti”,
konsep tilāwah yang terkandung dalam al-Quran secara keseluruhan memiliki
makna bahwa kegiatan membaca haruslah mengikut sertakan semua jiwa,
hati, pikiran, lidah dan anggota badan. Maksudnya, ketika mambaca al-Quran
antara alasan dan perasaan harus melebur menjadi satu. Sehingga ketika lidah
mengucapkan kata-kata(membaca), akan diikuti dengan pikiran yang
mempertimbangkan, hati yang merenungkan, meresap ke dalam jiwa, dan

9
Usup Romli Dan Saepul Anwar. Konsep Tilâwah dalam Alquranl,( 11 No. 1 – 2013)

6
akhirnya air mata berderai di pipi, hati bergetar, kulit dan hati melunak, tidak
ada perbedaan antara dualisme yang ada (Asyafah, 2010, hal. 120). Hal ini
merupakan gambaran umum dari firman Allah dalam al-Quran surat al-Isra
ayat 107 sebagai berikut: ‫قُلْ ٰا ِمنُوْ ا بِ ٖ ٓه اَوْ اَل تُ ْؤ ِمنُوْ ۗا اِ َّن الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِع ْل َم ِم ْن قَ ْبلِ ٖ ٓه اِ َذا يُ ْت ٰلى َعلَ ْي ِه ْم‬
‫ان ُس َّجد ًۙا‬
ِ َ‫يَ ِخرُّ وْ نَ لِاْل َ ْذق‬
Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah
beriman(sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi
pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka
mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud”. (QS Al-Isra’[17] :
107)
Dari deskripsi di atas menjelaskan bahwa tilāwah bukan hanya sebatas
membacasaja, melainkan melahirkan kebaruan dalam diri sehingga pada
akhirnya mampu teraplikasi dalam kehidupan keseharian. Sebagaimana
firman surat Fathir ayat 29: ‫ب هّٰللا ِ َواَقَا ُموا الص َّٰلوةَ َواَ ْنفَقُوْ ا ِم َّما َر َز ْق ٰنهُ ْم ِس ًّرا‬
َ ‫اِ َّن الَّ ِذ ْينَ يَ ْتلُوْ نَ ِك ٰت‬
‫َّو َعاَل نِيَةً يَّرْ جُوْ نَ تِ َجا َرةً لَّ ْن تَبُوْ ۙ َر‬
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan
mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang kami
anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan,
mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi (QS
Fathir[35] : 29)
Ayat di atas menjelaskan makna tilāwah yang sebenarnya, yakni
teraplikasinya apa yang dibaca dengan amal, yakni mendirikan shalat fardhu
dan shalat sunat,serta menafkahkan sebagian rezeki yang diperoleh (Al-
Qurtubi, 2009, hal. 825).Deskripsi di atas sejalan dengan sabda Rasulullah
‫خيركم من تعلم القرآن وعلمه‬ 
“Sebaik-baiknya kalian adalah yang mempelajari al-Quran dan
mengamalkannya”
Tilāwah pada hakikatnya merupakan aktifitas manusia agar
terjadinya hubungan (komunikasi) antara bahasa ucapan dan lambang-
lambang tulisan (al-Quran). Dalam konteks lain tilāwah juga memilki makna
sebagai usaha berinteraksi dengan al- Quran. Dalam berinteraksi dengan al-

7
Quran ada beberapa tata cara (fī kaifiyaħ talaqi al-Quran) yang harus
dilakukan yakni tilāwah, tafahum (al-A’raf: 179), tadabur (alMu’minun: 68),
taţbiq (pengimplementasian), dan taqtisy (Pengevaluasian). Dari proses
interaksi di atas, tilāwah berada pada urutan yang pertama, ini memberi
penguat dan penjelasan bahwa tilāwah pada finalnya harus mampu mencapai
ke tahapan taţbiq dan taqtisy. Tilāwah yang dimaksud ialah haqqa
tilāwatih,sebagaimana firman Allah surat al-Baqarah ayat 121 sebagai beriku
ٰۤ ُ ٰۤ ُ
َ‫ك هُ ُم ْال ٰخ ِسرُوْ ن‬
َ ˆِ‫ول ِٕٕى‬ ‫ك ي ُْؤ ِمنُوْ نَ بِ ٖه ۗ َو َم ْن يَّ ْكفُرْ بِ ٖه فَا‬
َ ˆِ‫ول ِٕٕى‬ ‫ق تِاَل َوتِ ٖ ۗه ا‬ َ ‫اَلَّ ِذ ْينَ ٰاتَ ْي ٰنهُ ُم ْال ِك ٰت‬
َّ ‫ب يَ ْتلُوْ نَهٗ َح‬
Orang-orang yang Telah kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka
membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman
kepadanya. dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, Maka mereka Itulah
orang-orang yang rugi. (QS Al Baqarah [2] : 121)
Menurut Shihab (2007, hal. 311), makna dari haqqa tilāwatih
dalam ayat di atas adalah mengikuti tuntunannya secara baik dan sempurna
serta sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (orisinilitas), tanpa melakukan
atau mempercayai perubahan yang ada. Al-Maragi (1993: 376) menambahkan
bahwa maksud dari Qur’an Surat al-Baqaraħ ayat 121 yakni diantara ahli
kitab ada yang mempelajari Kitab Taurat dengan penuh pengertian, hingga
mampu memahami secara detail. Mereka juga menjaga kefasihan kata-
katanya dan memikirkan makna yang dikandung, disamping memahami
hukum dan rahasia-rahasia.Adapun salah satu cara tiawah al-Quran yang
benar ialah dengan tartil, hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat al-
Muzammil ayat 4 sebagai berikut ‫اَ ۡو ِز ۡد َعلَ ۡي ِه َو َرتِّ ِل ۡالقُ ۡر ٰانَ ت َۡرتِ ۡياًل‬
dan Bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan (tartil)”. (QS. Al
Muzammil [73 : 4)
D. Konsep Iqra’ dalam Al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an, wahyu yang pertama kali turun terdapat di
dalam (QS. Al-Alaq [96]: 1-5).
‫ عَلَّ َم ٱإْل ِ ن ٰ َسنَ َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم‬, ‫ ٱلَّ ِذى عَلَّ َم بِ ْٱلقَلَ ِم‬, ‫ ٱ ْق َر ْأ َو َربُّكَ ٱأْل َ ْك َر ُم‬, ‫ق‬
ٍ َ‫ق ٱإْل ِ ن ٰ َسنَ ِم ْن َعل‬ َ َ‫ٱ ْق َر ْأ بِٱس ِْم َربِّكَ ٱلَّ ِذى َخل‬
َ َ‫ خَ ل‬, ‫ق‬

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia


telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah

8
yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Iqra secara bahasa ialah bacaan, yang mana didalam alqur'an,
dikatakan qira'at alqur'an yang berarti suatu ilmu atau pengetahuan yang
membahas tentang macam-macam membaca alqur'an. Perbedaan qira'at itu
bermula dari cara seorang guru membacakan qira'at itu kepada murid-
muridnya. Kalau diruntut, cara membaca alquran yang berbeda-beda itu,
sebagaimana dalam kasus umar dan hisyam, diperbolehkan oleh nabi saw.
beberapa ulama mencoba merangkum.
1. bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan al-quran
a. Perbedaan dalam i'rab harakat kalimat tanpa perubahan makna dan
bentuk kalimat. Misalnya pada firman Allah :
َ َّ‫الَّ ِذ ْينَ يَ ْب َخلُوْ نَ َويَأْ ُمرُوْ نَ الن‬
‫اس بِ ْالب ُْخ ِل‬
Artinya : yaitu orang-orang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat
kikir. (QS. An-nisa:37)
Kata al bakhl yang berarti kikir disini dapat dibaca fathah pada huruf
ba' nya sehingga dibaca "bi al-bakhli", dapat pula dibaca dhammah
pada ba' nya sehingga menjadi "bi al-bukhli".
b. Perbedaan pada i'rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah
maknanya. Misalnya pada firman Allah :
ِ َ‫َربَّنَا ٰب ِع ْد بَ ْينَ اَ ْسف‬
‫ارنَا‬
Artinya: “ya tuhan kami, jauhkan lah jarak perjalanan kami”. (QS.
Saba’:19)
Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah ba'id
karena statusnya sebagai fi'il amr, boleh juga dibaca ba'ada yang
berarti kedudukannya menjadi fi'il madhi, sehingga artinya telah jauh.
c. Perbedaan pada perubahan huruf antara perubahan i'rab dan bentuk
tulisannya, sementara makna nya berubah. Misalnya pada firman
Allah:
‫َوا ْنظُرْ اِلَى ْال ِعظَ ِام َك ْيفَ نُ ْن ِش ُزهَا‬

9
Artinya: “ dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian
kami menyusunnya kembali”. ( QS. Al Baqarah: 259)
Kata nunsyizuha (kami menyusun kembali) yang ditulis dengan
menggunakan huruf zay (‫ )ز‬diganti dengan huruf (‫ )ر‬sehingga menjadi
berbunyi nunsyiruha yang berarti "kami hidupkan kembali".
d. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya,
tetapi maknanya tidak berubah. Misalnya pada firman Allah : ُ‫َوتَ ُكوْ ن‬
ِ ۗ ْ‫ْال ِجبَا ُل َك ْال ِع ْه ِن ْال َم ْنفُو‬
‫ش‬
Artinya: “dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-
hamburkan”. (QS. Al Qari'ah:5)
Beberapa qira'at mengganti kata ka "al-'ihin" dengan ka"ash-shuff"
sehingga yang mulanya bermakna "bulu-bulu" berubah menjadi "bulu'-
bulu domba". Perubahan seperti ini, berdasarkan ijma' ulama tidak
dibenarkan, karena bertentangan dengan mushaf utsmani.
e. Perbedaan pada kalimat dimana bentuk dan maknanya berubah pula.
Misalnya pada ungkapan thal'in mandhud menjadi thalhin mandhud.
Perbedaan pada mendahulukan dan mengakhirkannya. Misalnya pada
ّ ‫ت بِ ْال َح‬
firman Allah : ‫ق‬ ْ ‫َو َج ۤا َء‬
ِ ْ‫ت َس ْك َرةُ ْال َمو‬
Artinya : “dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya”.
(QS. Qaf:19)
Menurut suatu riwayat, abu bakar pernah membacanya menjadi wajah
sakral al-haq di Al maut Abu Bakar menggeser kata al-maut ke
belakang, sementara kata Al Haq dimajukan ke tempat yang ia geser
kebelakang titik Setelah mengalami pergeseran ini, bila diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia, kalimat ini menjadi:" dan datanglah
sekarat yang benar-benar dengan dengan kematian." Qiraat semacam
ini, juga tidak dipakai koma karena jelas menyalahi ketentuan yang
berlaku.
f. Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf, seperti pada
ٍ ّ‫َج ٰن‬
firman Allah: ‫ت تَجْ ِريْ ِم ْن تَحْ تِهَا ااْل َ ْن ٰه ُر‬

10
Artinya : “surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”
(QS. al-baqarah: 25)
kata min pada ayat ini dibuang. Dan pada ayat serupa yang tanda min
justru ditambah.
2. Sebab-sebab perbedaan qiraat
Diantara sebab- sebab munculnya beberapa qira'at yang berbeda
adalah sebagai berikut:
a. Perbedaan qira'at nabi. Artinya, dalam mengajarkan Alquran kepada
para sahabatnya, nabi memakai beberapa apa versi qiraat. Misalnya,
nabi pernah membaca surah as-sajadah:17 sebagai berikut:
‫فَاَل تَ ْعلَ ُم نَ ْفسٌ َّمٓا اُ ْخفِ َي لَهُ ْم ِّم ْن قُ َّر ِة اَ ْعيُ ٍٍۚˆۚن‬
Qira’ah versi mushaf Utsmani adalah:
‫فَاَل تَ ْعلَ ُم نَ ْفسٌ َما اُ ْخفِ َي لَهُ ْم ِّم ْن قُ َّر ِة اَ ْعيُ ٍٍۚˆۚن‬
b. Pengakuan dari nabi terhadap berbagai qira'at yang berlaku di
kalangan kaum muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek di
antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam Alquran.
Contohnya:
1) Ketika seorang huadzail membaca di hadapan Rasul atta hin (‫َعتَّى‬
‫ ) ِح ْي ٍن‬padahal Ia menghendaki Hatta Hin (‫)حتَى ِحي ٍن‬
َ , Rasul pun
membolehkannya sebab Memang begitulah orang hudzail
mengucapkan dan menggunakannya.
2) ketika orang Asadi membaca di hadapan Rasul tiswaddu wujuh (
ٌ‫ ْوه‬K‫ َو ُد ُو ٌج‬K ‫س‬
ْ ِ‫)ت‬huruf "ta" pada kata "tiswaddu" dikasrahkan. Dan
Alam i'had ilaiku(‫ )اَلَ ْم اِ ْع َه ْد اِلَ ْي ُك ْم‬, huruf "hamzah" pada kata "i'had"
(dikasrahkan), rasul pun membolehkannya, sebab memang
demikianlah orang Asadi menggunakan dan mengucapkannya.
3) ketika seorang Tamim mengucapkan Hamzah pada suatu kata
yang tidak diucapkan orang Quraisy, rasulpun membolehkannya
sebab memang demikianlah orang Tamim menggunakan dan
mengucapkannya.

11
4) ketika seorang qari' membaca wa idza qila lahum dan ghidha al-
ma'u dengan menggabungkan domah kepada katsrah, rasulpun
membolehkannya sebab memang demikianlah iya menggunakan
dan mengucapkannya.
c. adanya riwayat dari para sahabat nabi menyangkut berbagai versi
qiraat yang ada.
d. adanya adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab
pada masa turunnya Alquran.
3. Macam-macam qira'at
a. Dari segi kuantitas
1) qira'at sab'ah (qira'at tujuh). Maksud sab'ah adalah imam-imam
qira'at yang tujuh mereka adalah: Abdullah bin Katsir Ad-Dari,
Nafi' bin Abdurrahman bin Abu Na'im, Abdullah Al-Yahshibi,
Abu Amar, Ya'qub, Hamzah, Ashim.
2) Qira'at Asyarah (Qira'at sepuluh). Yang dimaksud qira'at sepuluh
adalah qira'at tujuh yang telah disebutkan diatas ditambah dengan
tiga qira'at, yaitu: Abu Ja'far, Ya'qub (w. 205 H).
3) Qira'at Arba'at Asyrah (Qira'at empat belas). Yang dimaksud
Qira'at empat belas adalah Qira'at sepuluh yang telah disebutkan
diatas ditamvah dengan empat Qira'at yaitu: Al-Hasan Al-Bashri,
Muhammad bin Abdirrahman, Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi
An-Nahwi Al Baghdadi, Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad
Asy-Syanbudy.
b. Dari segi kualitas
Berdasarkan penelitian al-jazari, berdasarkan kualitas,
qira'at dapat dikelompokkan dalam lima bagian:
1) Qiraah Mutawatir, yakni yang disampaikan kan sekelompok
orang mulai dari sampai akhir sanat, yang tidak mungkin
bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qiraah yang ada ada
masuk ke dalam bagian ini.

12
2) qiraah Masyhur, yakni yang memiliki sanad Shahih, tetapi tidak
sampai pada kualitas Mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa
Arab dan tulisan mushaf Utsmani, masyhur di kalangan Qurra',
dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari dan
tidak termasuk qira'ah yang keliru dan menyimpang.
Umpamanya, qira'ah dari Imam 7 yang disampaikan melalui jalur
berbeda-beda. sebagian perawi, misalnya, meriwayatkan dari
Imam 7 itu, sementara yang lainnya tidak. Qira'ah semacam ini
banyak digambarkan dalam kitab-kitab Qira'ah, misaknya At-
Taisir karya Ad-Dani, Qashidah karya Asy-Syathibi, Au'iyyah
An-Nasyr fi Al-Qira'ah Al-Asyr, dan An-Nasyr (kedua kitab yang
terakhir ditulis Ibn Al-Jazari).
3) Qira’ah Ahad, yakni yang memiliki sanad Shahih, tetapi
menyalahi tulisan mushaf Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak
memiliki kemasyhuran, dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan
yang telah ditetapkan al-jazari. Al-tirmidzi dalam kitab jami'nya
dan al-hakim dalam mustadrak nya menempatkan qira'ah seperti
ini dalam bahasan khususnya. Diantaranya riwayat yang
dikeluarkan Al Hakim melalui Azhim Al-Jahdiri.
Dari Abu Hurairah Al Hakim mengeluarkan riwayat bahwa nabi
ٌ ‫فَاَل تَ ْعلَ ُم نَ ْف‬
membaca ayat: ‫ۚن‬Kٍٍۚ ُ‫س َّمٓا اُ ْخفِ َي لَ ُه ْم ِّمنْ قُ َّر ِة اَ ْعي‬
artinya: “seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan
untuk mereka, yaitu bermacam-macam nikmat yang
menyebabkan pandangan mata”. (QS. Sajadah:17)
ٌ ‫فَاَل تَ ْعلَ ُم نَ ْف‬
Qira'ah versi Mushaf Utsmani : ‫ۚن‬Kٍٍۚ ُ‫س َما اُ ْخفِ َي لَ ُه ْم ِّمنْ قُ َّر ِة اَ ْعي‬
4) Qira'at Syadz (menyimpang), yakni yang sanadnya tidak Shahih.
Telah banyak Kitab yang ditulis untuk jenis qira’at ini. Diantara
َ َ‫ٰمل‬
ِ ‫ك َي ْو ِم ال ِّدي‬
macam qiraat adalah: ‫ْن‬
artinya: “yang menguasai Hari pembalasan”. (QS. Al-Fatihah:4)
ِ ‫ٰملِكِ َي ْو ِم ال ِّدي‬
Qira’at mushaf Utsmani: ‫ْن‬
5) qiraat maudhu palsu, seperti qiraat Al-Khazzani.

13
6) Qira'at yang menyerupai hadis madraj (sisipan), yakni adanya
sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Umpamanya,
qira'at Abi Waqqash yang : ‫ت ِم ْن اُ ٍّم‬
ٌ ‫َولَهٗ اَ ٌخ اَوْ اُ ْخ‬

Artinya : tetapi mempunyapu seorang saudara laki-laki (seibu


saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) (QS.An-Nisa:
ٌ ‫َولَهٗ اَ ٌخ اَوْ اُ ْخ‬
12) Qira'at mushar Utsmani: ‫ت‬ 10
.
4. Syarat-syarat Qira'at Shahih
Suatu bacaan dianggap Shahih dan boleh diikuti haruslah
memenuhi tiga syarat yaitu sebagai berikut:
a. Bacaan itu sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, jangan
bertentangan dengannya.
b. Diterima dan sampai kepada kita secara Mutawatir. Ini menurut para
ahli usul, muhadditsin, dan mazahib Al arba'ah. menurut Imam lainnya,
qira'at yang tidak Mutawatir tetapi boleh diikuti.
c. Sesuai dengan bahasa Arab. Artinya, jangan bacaan itu bertentangan
dengan kaidah bahasa Arab.
Apabila suatu qiraat telah memenuhi syarat-syarat ini maka qira'at
itu dianggap benar atau shahih dan boleh diikuti, bahkan tidak boleh
diingkari.Akan tetapi, jika ada di antara syarat ini yang kurang maka
qira'atnya dianggap tidak shahih dan tidak boleh diikuti.
5. Hikmah banyaknya bentuk bacaan
Bervariasinya qira'at mempunyai faedah dan manfaat bagi umat
Islam. Al-qaththan menyebutkan empat macam faedah, yaitu sebagai
berikut:
a. Meringankan dan memudahkan umat Islam membaca Alquran, Suatu
lafal yang sulit diucapkan dapat diganti dengan lafal yang mudah.
b. Menunjukkan betapa terjaganya kitab Allah ini dari perubahan dan
penyimpangan.

10
Rosihon Anwar, "Ulum Al-Qur'an", CV Pustaka Setia, Jawa Barat, 2013, Hal 148-155.

14
c. Sebagai bukti kemukjizatan Alquran dari segi kepadatan maknanya
karena suatu qira'at menunjukkan suatu hukum syara' tertentu tanpa
pengulangan lafal.
d. Menjelaskan hal-hal yang mungkin belum jelas dalam qiraat yang
lain.11

11
Kadar, M. Yusuf, "Studi Al Quran", Amzah, Jakarta, 2012, Hal 50-51

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengertian tilawah menurut bahasa adalah bacaan atau membaca.
Pengertian Tilawah Al-Qur’an secara istilah adalah membaguskan bacaan Al-
Qur’an dengan memperhatikan kaidah tajwid, fashahah, lagu, suara, dan nafas
serta memahami isi kandungan Al-Qur’an dan menerapkan ketetapan
hukumnya dengan cara menunaikan perintah-perintahNya dan menjauhi
larangan-laranganNya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Iqra yang berarti membaca, menganalisa, mendalami, merenungkan,
menyampaikan, meneliti, dan lain sebagainya, mencakup obyek apa saja yang
dapat dijangkau oleh kata tersebut. Baik itu “membaca” ayat ayat yang
“membaca” hasil karya manusia seperti buku-buku dan koran. Termasuk
disini adalah meneliti, menganalisa dan merenungkan alam semesta,
dinamika masyarakat dan diri pribadi. Iqra mengandung padanan arti
Murattal atau Tartil yang memiliki arti dasar sesuatu yang terpadu (ittisaq),
tersistem (intizham), dan secara konsisten (istiqomah).
Konsep tilāwah yang terdapat dalam al-Quran. Diantaranya adalah
bahwa kata tilāwah dengan berbagai turunannya di dalam al-Qur’an hampir
selalu digandengkan dengankitab suci. Baik itu kitab suci umat-umat sebelum
Islam, maupun kitab suci umat Islam, yakni al-Qur’an.
Apabila suatu qiraat telah memenuhi syarat-syarat tertentu maka
qira'at itu dianggap benar atau shahih dan boleh diikuti, bahkan tidak boleh
diingkari.Akan tetapi, jika ada di antara syarat ini yang kurang maka
qira'atnya dianggap tidak shahih dan tidak boleh diikuti.
B. Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih
terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan
memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta
kritik yang membangun dari para pembaca.

16
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2008)

Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997)

Atabik Ali Ahmad Zuhdi, Muhdlor. Kamus Kontemporer Arab Indonesia,

(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998)

Anwar Saepul, Romli Usup. “Konsep Taklim Dalam Al-Qur’an.” Jurnal

Pendidikan Agama Islam- Ta’lim, Vol. 11 No 1 (2013)

Rofiqi Moh. Hikam. ANTIQ (Aturan Tilawah Al-Qur’an), (Kediri: Ponpes

Lirboyo, 2011)

Sudarsono dan Ahmad Munir. Ilmu Tajwid dan Seni Baca Al-Qur’an, (Jakarta:

Rineka Cipta, 1994)

Khodijatus Sholihah, Perkembangan Tilawah Al-Qur’an dan Qiro’ah sab’ah,

(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983)

Anwar Rosihon, "Ulum Al-Qur'an", CV Pustaka Setia, Jawa Barat, 2013.

Yusuf Kadar, M, "Studi Al Quran", Amzah, Jakarta, 2012.

Mustolehuddin, “Tradisi baca tulis dalam Islam” Kajian terhadap teks Al-Quran
surah Al-Alaq ayat 1-5

17

Anda mungkin juga menyukai