Anda di halaman 1dari 33

Kontrak Bisnis Internasional

Pengantar Kontrak Bisnis Internasional

Sejak semula setiap orang memerlukan orang lain. Seseorang memerlukan orang lain
untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Dalam perkembangannya tidak hanya orang yang
mempunyai berbagai kebutuhan melainkan subjek hukum lain juga, seperti perusahaan.

Seiring dengan perkembangan zaman kebutuhan orang atau perusahaan pun semakin
beragam. Sebagian dari kebutuhan-kebutuhan itu dapat diperoleh dengan bebas tetapi sebagian
lagi tidak bebas, antara lain hanya dapat diperoleh melalui perdagangan. Sebagian dari
kebutuhan itu dapat diperoleh dengan mudah dari sekitarnya tetapi sebagian lagi hanya dapat
diperoleh dari tempat-tempat yang jauh bahkan dari negara yang berbeda.

Perdagangan yang melibatkan para pihak dari lebih satu negara disebut perdagangan
internasional (international trade) atau bisnis internasional (internatioal business). Perdagangan
internasional atau bisnis internasional terutama dilaksanakan melalui perjanjian jual beli.
Perjanjian jual beli internasional dikenal dengan sebutan perjanjian ekspor/impor, kegiatan jual
disebut ekspor dan kegiatan beli disebut impor. Pihak penjual disebut eksportir dan pihak
pembeli disebut imporir. Secara ringkas kegiatan ini disebut ekspor dan impor.

Walaupun perjanjian ekspor/impor pada hakikatnya tidak berbeda dengan perjanjian jual
beli pada umumnya yang diselenggarakan dalam suatu negara tetapi mempunyai beberapa
perberdaan, antara lain: Pembeli dan penjual dipisahkan dengan batas-batas negara, barang yang
diperjualbelikan dari satu negara ke negara lain terkena berbagai peraturan seperti kepabeanan
yang dikeluarkan masing-masing negara, diantara negara-negara yang terkait terdapat berbagai
perbedaan seperti bahasa, mata uang, kebiasaan dalam perdagangan, hukum, dan sebagainya.

Kegiatan ekspor/impor berkaitan erat dengan pembayaran. Cara pembayaran yang


dikenal dalam ekspor/impor antara lain: secara tunai (cash payment), secara rekening terbuka
(open account), dan secara penarikan wesel atau suatu Letter of Credit (L/C)[1]
Istilah Letter of Credit (L/C) ini sering juga disebut dengan Documentary Credit (Kredit
Berdokumen)[2] atau Banker Commercial Credits.[3] Di Belanda istilah yang dipakai adalah
creditbrief, di Perancis lettre de creedet, di Jerman accredietief, sedangkan di Belgia atau
Amerika Serikat istilah yang digunakan adalah crediet atau credit saja.[4]

Para pihak dalam praktik transaksi bisnis secara internasional seringkali menghadapi
kesulitan dalam memastikan hak dan kewajiban mereka karena berada di negara yang berbeda.
[5] Masalah yang sering timbul dalam jual beli internasional karena perbedaan hukum diantara
negara penjual dan pembeli adalah: Kekuatan hukum negosiasi, akseptasi yang berbeda dengan
tawaran, pembatalan suatu tawaran, perlu tidaknya suatu Consideration, keharusan kontrak
tertulis, dan waktu dianggap tercapainya kata sepakat.[6]

A. Perjanjian Ekspor/Impor
1. Pengertian Perjanjian

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di
mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[7] A contract is a promise
or a set of promises, which the law will enforce.[8] Kontrak adalah perjanjian yang dibuat secara
tertulis.[9]

Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain,
atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.[10] Berdasarkan hal yang
dijanjikan untuk dilaksanakan (prestasi), perjanjian dibagi dalam tiga macam, yaitu:

1. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang;


2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu;
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.[11]

Perjanjian ekspor/impor pada hakikatnya merupakan perjanjian yang berisi perjanjian


untuk memberikan/menyerahkan suatu barang. Di satu pihak penjual menyerahkan sejumlah
barang sesuai dengan kualitas, jumlah, dan karaketristik tertentu kepada pembeli. Sementara di
pihak lain pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada penjual sesuai dengan harga yang
disepakati.
2. Sistem Terbuka Dalam Perjanjian

Hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Sistem ini kemudian melahirkan prinsip
kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang membuka kesempatan kepada para pihak yang
membuat perjanjian untuk menentukan hal-hal berikut ini.

a. Pilihan hukum (choice of law), dalam hal ini para pihak menentukan sendiri dalam
kontrak tentang hukum mana yang berlaku terhadap interpretasi kontrak tersebut.

b. Pilihan forum (choice of jurisdiction), yakni para pihak menentukan sendiri dalam
kontrak tentang pengadilan atau forum mana yang berlaku jika terjadi sengketa di
antara para pihak dalam kontrak tersebut.

c. Pilihan domisili (choice of domicile), dalam hal ini masing-masing pihak melakukan
penunjukan di manakah domisili hukum dari para pihak tersebut.[12]

Kebebasan di atas tidak hanya berlaku untuk perjanjian yang hanya meliputi satu wilayah
negara melainkan berlaku juga dalam perjanjian yang melintasi batas-batas negara. Dalam
perjanjian ekspor impor dapat dipilih hukum yang dipakai, bisa hukum negara salah satu pihak,
hukum negara lain di luar para pihak, hukum dari suatu organisasi internasional, atau hukum
lain.

Demikian pula tentang penyelesaian sengketa jika terjadi dapat dipilih berbagai cara
penyelesaian, melalui arbitrase, pengadilan, atau cara-cara lain. Bahkan untuk suatu cara
penyelesaian sengketa dapat dirinci lagi, misalnya arbitrase yang akan digunakan ditentukan
secara pasti, di negara tertentu dari lembaga tertentu mengingat lembaga arbitrase yang ada
sekarang sudah sangat banyak.

3. Beberapa Asas Hukum Perjanjian

Dalam hukum perjanjian dikenal berbagai asas, antara lain asas konsensualisme. Kata
konsensualisme berasal dari kata latin consensus yang berarti sepakat. Arti asas konsensualisme
ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak
detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah
sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.[13] Perjanjian
menurut KUH Perdata secara umum bersifat konsensuil kecuali beberapa perjanjian tertentu
yang merupakan perjanjian riil atau formil.

Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian
telah diserahkan.[14] Contoh dari perjanjian riil adalah utang piutang, pinjam pakai, dan
penitipan barang.

Dalam perkembangan, suatu perjanjian dapat mengalami perubahan dari konsensuil


menjadi riil. Sebagai contoh perjanjian jual beli menurut KUH Perdata pada asasnya merupakan
perjanjian konsensuil. Akan tetapi perjanjian jual beli tanah menurut hukum agraria yang berlaku
sekarang merupakan perjanjian riil karena didasarkan pada hukum adat yang bersifat riil.

Selanjutnya dikenal perjanjian formil, yaitu perjanjian yang menurut undang-undang


harus dituangkan dalam bentuk atau formalitas tertentu. Misalnya perjanjian perkawinan,
perjanjian pemberian kuasa untuk memasang hipotik, atau perjanjian pendirian perseroaan
terbatas harus dituangkan dalam akta otentik. Di samping itu ada perjanjian yang cukup tertulis
saja, tidak perlu berupa akta otentik, seperti perjanjian pertanggungan.

4. Syarat Sah Perjanjian

Penjajian harus memenuhi beberapa syarat tertentu supaya dapat dikatakan sah. Dalam
KUH Perdata ditemukan ketentuan yang menyebutkan syarat sah suatu perjanjian yakni Pasal
1320. Menurut Pasal 1320 KUHP ada 4 syarat yang harus dipenuhi suatu perjanjian supaya sah,
yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-
orang atau subyek-subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir
dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari
perbuatan hukum yang dilakukan itu.[15]

Secara ringkas masing-masing syarat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat
perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-
masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tiada paksaan, kekeliruan, dan penipuan.[16]

Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum
secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu perundang-
undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.[17] Dengan kata lain orang yang tidak
cakap tidak memenuhi syarat untuk membut perjanjian. Adapun orang yang tidak cakap menurut
Pasal 1330 KUH Perdata ialah:

1. Orang-orang yang belum dewasa;


2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada
umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
persetujuan-persetujuan tertentu.

Pengertian suatu hal tertentu mengarah kepada barang yang menjadi obyek suatu
perjanjian. Menurut Pasal 1333 BW barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus
tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan
asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.[18]

Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat atau terakhir agar suatu
perjanjian sah. Mengenai syarat ini Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian
tanpa sebab atau perjanjian yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang,
tidak mempunyai kekuatan.[19] Dengan sebab (bahasa Belanda oorzaak, bahasa Latin causa)
ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Jadi, yang dimaksudkan dengan sebab atau
causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri[20]
Setiap perjanjian semestinya memenuhi keempat syarat di atas supaya sah. Perjanjian
yang tidak memenuhi keempat syarat tersebut mempunyai beberapa kemungkinan. Jika suatu
perjanjian tidak memenuhi dua syarat yang pertama atau syarat subyektif maka salah satu pihak
mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian dibatalkan. Pihak yang dapat meminta
pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang telah memberikan sepakat secara
tidak bebas. Sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif mengakibatkan
perjanjian itu batal demi hukum (null and void). Perjanjian semacam ini sejak semula dianggap
tidak pernah ada. Oleh karena itu, para pihak tidak mempunyai dasar untuk saling menuntut.

5. Unsur-unsur Perjanjian

Unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

1. Unsur essensialia
2. Unsur naturalia
3. Unsur accidentalia

Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada dalam setiap perjanjian.
Tanpa unsur ini perjanjian tidak mungkin ada. Sebagai contoh, dalam suatu perjanjian jual beli
harus ada barang dan harga yang disepakati sebab tanpa barang dan harga perjanjian jual beli
tidak mungkin dapat dilaksanakan.

Adapun unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang diatur dalam undang-undang tetapi
dapat diganti atau disingkirkan oleh para pihak. Undang-undang dalam hal ini hanya bersifat
mengatur atau menambah (regelend/aanvullend). Sebagai contoh, dalam suatu perjanjian jual
beli dapat diatur tentang kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan.

Sedangkan unsur accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak
sebab undang-undang tidak mengatur tentang hal itu. Sebagai contoh, perjanjian jual beli rumah
beserta alat-alat rumah tangga.[21]

6. Pengakhiran Perjanjian
Di dalam KUH Perdata dapat ditemukan ketentuan tentang pengakhiran perjanjian.
Secara khusus dalam Pasal 1381 disebutkan sepuluh cara untuk mengakhiri perjanjian, yaitu:
Pembayaran; Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
Pembaharuan utang (novatie); Perjumpaan utang (kompensasi); Percampuran utang; Pembebasan
utang; Musnahnya barang yang terutang; Batal/pembatalan; Berlakunya suatau syarat batal dan
Lewatnya waktu.

Cara-cara di atas belum lengkap sebab masih ada cara-cara lain yang tidak disebutkan,
seperti berakhirnya suatu ketetapan waktu (“termijn”) dalam suatu perjanjian atau meninggalnya
salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang pesero dalam
suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian dimana prestasi hanya
dapat dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang lain.[22]

Pembayaran adalah setiap pelunasan perikatan. Jadi, misalnya, pemenuhan persetujuan


kerja oleh buruh atau penyerahan barang oleh penjual. Pada umumnya dengan dilakukannya
pembayaran, perikatan menjadi hapus, tetapi ada kalanya bahwa perikatannya tetap ada dan
pihak ketiga menggantikan kedudukan kreditur semula (subrogasi).[23]

Pembayaran adalah setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arti yang sangat luas
ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian tetapi pihak penjual pun dikatakan
“membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya.[24]

Hapusnya persetujuan harus benar-benar dibedakan daripada hapusnya perikatan karena suatu
perikatan dapat hapus sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada.
[25] Dalam hal ini dapat dikemukakan contoh jual beli, pembayaran menyebabkan perikatan
mengenai pembayaran hapus tetapi persetujuan jual beli belum sebab perikatan mengenai
penyerahan barang belum berakhir jika belum dilaksanakan. Persetujuan dapat hapus karena:

a. Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak. Misalnya persetujuan akan berlaku
untuk waktu tertentu.
b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan. Misalnya menurut
Pasal 1066 ayat (3) bahwa para ahli waris dapat mengadakan persetujuan untuk
selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi
waktu persetujuan tersebut oleh ayat (4) Pasal 1066 dibatasi berlakunya hanya untuk
lima tahun.
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
tertentu maka persetujuan akan hapus. Misalnya: jika salah satu meninggal
persetujuan menjadi hapus:
– persetujuan perseroan Pasal 1646 ayat (4)
– persetujuan pemberian kuasa Pasal 1813
– persetujuan kerja Pasal 1603 j
d. pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging). Opzegging dapat dilakukan oleh
kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak. Opzegging hanya ada pada persetujuan-
persetujuan yang bersifat sementara, misalnya:
– persetujuan kerja
– persetujuan sewa menyewa
e. Persetujuan hapus karena putusan hakim.
f. Tujuan persetujuan telah tercapai.
g. Dengan persetujuan para pihak (herroeping).[26]

Dalam perjanjian ekspor/impor, para pihak dapat membuat ketentuan-ketentuan


mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan ekspor/impor, termasuk mengenai pengakhiran
perjanjian. Selanjutnya mengenai pengakhiran perjanjian pertama-tama harus memperhatikan
alasan-alasan yang tercantum dalam perjanjian. Pengakhiran dapat terjadi, baik ketika tujuan
sudah tercapai maupun ketika tujuan belum/atau tidak tercapai. Mengenai tujuan belum/tidak
tercapai tetapi perjanjian diakhiri misalnya karena satu atau semua pihak tidak lagi mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan isi perjanjian.

7. Wanprestasi

Jika ada pihak yang tidak melakukakan isi perjanjian maka pihak itu dikatakan
melakukan wanprestasi. Perkataan ini berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk
(bandingkan: wanbeheer yang berarti pengurusan buruk, wandaad perbuatan buruk).[27]
Wanprestasi dapat berupa empat macam:

a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;


b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.[28]

Adapun hukuman atau akibat-akibat wanprestasi ada empat[29], yaitu: Pertama:


membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi.
Kedua: pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; Ketiga: peralihan
risiko; Keempat: membayar biaya perkara kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

8. Force Majeur/Overmacht

Seseorang yang dituduh lalai melaksanakan suatu perjanjian dapat memberikan


pembelaan dengan berbagai alasan, yaitu:

a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur);


b. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exeptio non
adimpleti contractus);
c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi
(pelepasan hak: bahasa Belanda: rechtsverwerking). [30]

Khusus mengenai keadaan memaksa dapat dijelaskan sebagai berikut. Keadaan memaksa
atau keadaan kahar adalah:

“Keadaan yang mengakibatkan salah satu atau semua pihak tidak dapat melaksanakan
kewajiban dan/atau haknya tanpa harus memberikan alasan sah kepada pihak lainnya
untuk mengajukan klaim atau tunttan terhadap pihak yang tidak dapat melaksanakan
kewajibannya (dan/atau haknya), karena keadaan kahar itu terjadi di luar kuasa atau
kemampuan dari pihak yag tidak dapat melaksanakan kewajibannya itu.”[31]

Dengan mengajukan keadaan memaksa hendak ditunjukkan bahwa tidak terlaksananya


sesuatu yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang tidak dapat diduga sebelumnya dan
tidak dapat berbuat apa-apa terhadap hal-hal yang terjadi. Menurut Subekti, dengan perkataan
lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau keterlambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah
disebabkan karena kelalaiannya.[32]

Jika memperhatikan ketentuan dalam KUH Perdata, mengenai keadaan memaksa diatur
dalam Pasal 1244 dan 1245. Bunyi kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 1244: “Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi
dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang
tepat dilaksanakannya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu hal yang tak terduga, pun tak
dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada
padanya.”
Pasal 1255: “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan
memaksa atau karena suatu kejadian yang tak disengaja, si berutang berhalangan memberikan
atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbatan
yang terlarang.”

Kedua pasal di atas ditempatkan dalam bagian KUH Perdata mengenai gant rugi. Dasar
pemikiran pembuat undang-undang, ialah: Keadaan memaksa adalah suatau alasan untuk
dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.[33]

Mengenai keadaan memaksa dikenal dua teori, yaitu teori subyektif dan teori obyektif.
Menurut teori subyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika
pemenuhan prestasinya bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksan.akan.[34] Sementara
itu, menurut teori subyektif, terdapat keadaan memaksa jika debitur yang bersangkutan
mengingat keadaan pribadi daripada debitur tidak dapat memenuhi prestasinya.[35]

Adapun sifat dari keadaan memaksa itu dapat bersifat tetap dan sementara. Jika keadaan
memaksa bersifat tetap, perjanjian berhenti sama sekali. Misalnya barang yang diekspor terbakar
dan tidak mungkin diganti dengan barang lain.

Sedangkan jika keadaan memaksa bersifat sementara, perjanjian tidak berhenti sama
sekali melainkan hanya ditunda. Pada saat keadaan memaksa tidak ada lagi, perjanjian mulai
berlaku kembali. Misalnya larangan untuk mengekspor sesuatu barang berlaku selama jangka
waktu tertentu. Selama larangan itu berlaku perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Akan tetapi
setelah larangan tidak berlaku lagi perjanjian dapat dilanjutkan atau dilaksanakan.

9. Perjanjian Ekspor/Impor

Salah satu perjanjian yang dikenal adalah perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli adalah
suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik
atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.[36]

Perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual,
sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang
bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga
mengandung pengertian bahwa pihak yang satu “verkoopt” (menjual) sedangkan yang lainnya
“koopt” (membeli).[37]

Jual beli dapat terjadi di antara penjual dan pembeli yang berada dalam satu negara
maupun beberapa negara. Jual beli di antara penjual dan pembeli yang berada di negara yang
berbeda disebut jual beli internasional. Hukum tentang jual beli internasional akan berjalan
berbarengan dengan hukum tentang ekspor-impor.[38] Dengan demikian perjanjian
ekspor/impor adalah perjanjian jual beli di antara penjual dan pembeli yang berada di negara
yang berbeda.

Perjanjian ekspor impor adalah kesepakatan antara eksportir dan importir untuk melakukan
perdagangan barang sesuai dengan persyaratan yang disepakati bersama dan masing-masing
pihak mengikat diri untuk melaksanakan semua kewajiban yang ditimbulkannya. Pihak yang
ingkar janji akan dikenai sanksi dengan membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.[39]

Adapun hakikat dari kontrak dagang ekspor adalah rumusan kesepakatan akhir dari suatu
perundingan (negosiasi) bisnis, yang kadangkala berjalan seru dan alot serta memakan waktu
lama. Hal ini disebabkan penjual dan pembeli masing-masing mempunyai kepentingan yang
bertolak belakang. Pihak penjual secara umum akan menawarkan mutu barang apa adanya,
sedangkan pembeli menginginkan mutu barang yang sesuai dengan selera dan kebutuhannya.

Penjual menginginkan harga yang tinggi, sebaliknya pembeli menginginkan harga yang
serendah mungkin. Penjual menginginkan pengiriman barang sesuai dengan kemampuan
produksi dan penyediaan ruangan kapal, sedangkan pembeli lebih menghendaki pengiriman
barang disesuaikan dengan musim pemasaran.

Hampir semua kepentingan yang bertolak belakang (conflict of interest) ini diselesaikan
dengan cara negosiasi, sehingga tercapai kesepakatan yang akhirnya dituangkan dalam bentuk
kontrak dagang ekspor.[40]

Kontrak dagang ekspor/impor tidak timbul begitu saja melainkan melalui tahap-tahap
tertentu. Secara ringkas tahapan[41] tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Ekportir mempromosikan barang yang akan diekspor melalui berbagai cara, seperti pameran
dagang, iklan di koran, majalah, radio, televisi, atau media lain, baik di dalam negeri maupun di
luar negeri. Promosi dapat dilakukan sendiri melalui badan-badan khusus yang menangani
promosi ekspor seperti Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), Dewan Penunjang
Ekspor (DPE), Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Atase Perdagangan Kedutaan
Besar RI di luar negeri, atase perdagangan Kedutaan Besar negara-negara asing di Jakarta,
perwakilan-perwakilan dagang asing seperti American Chamber of Commerce (AMCHAM),
China External Trade Association (CETRA), Japan External Trade Organization (JETRO),
Korean Trade Agency (KOTRA), dan lain-lain.
2. Importir yang berminat terhadap promosi yang dilakukan eksportir kemudian
mengirimkan surat permintaan harga atau Letter of Inquiry kepada eksportir. Letter of
Inquiry ini berisi permintaan penawaran harga disertai keterangan mengenai mutu barang
yang diinginkan, kuantum yang ingin dibeli, harga satuan dan total harga dalam valuta
asing (US$ atau mata uang lain), waktu pengiriman (shipment date) serta nama
pelabuhan tujuan yang diingini.
3. Eksportir memenuhi permintaan importir dengan mengirimkan surat penawaran harga atau
offersheet yang berisi keterangan berdasarkan permintaan importir, seperti uraian barang,
mutu, kuantum, waktu penyerahan, harga dan tempat penyerahan barang, syarat
pembayaran, waktu pengapalan, cara pengepakan barang, brosur, dan bila perlu contoh
barang yang ditawarkan. Penawaran itu juga menyebutkan apakah penawaran bersifat
free offer atau firms offer.
4. Setelah mempelajari dengan seksama offersheet dari eksportir, kemudian importir
membuat surat pesanan dalam bentuk ordersheet atau purchase order kepada eksportir.
5. Eksportir menyiapkan kontrak jual beli ekspor (sale’s contract) sesuai dengan data dari
offersheet dan ordersheet ditambah dengan keterangan seperti force majeur clause,
klaim, syarat pengapalan seperti partial shipment, transhipment, vessel age dan lain-lain.
Kontrak tersebut ditandatangani oleh eksportir dan dikirimkan kepada importir untuk
ditandatangani pula sebagai tanda persetujuan atas sale’s contract itu. Lazimnya sale’s
contract dibuatkan dalam rangkap dua (two original).
6. Importir mempelajari sale’s contract dengan seksama, dan bila dapat menyetujuinya
kemudia ia menandatangani dan mengembalikannya kepada eksportir. Satu original copy
ditahan oleh importir sebagai dokumen asli transaksi yang lazim disebut sebagai sale’s
confirmation. Kedua sale’s confirmation copy yang asli ini mempunyai kekuatan hukum
yang sama.

Demikianlah gambaran beberapa tahap atau proses dari pembuatan perjanjian


ekspor/impor. Perbedaan dapat terjadi untuk barang yang berbeda sebab membutuhkan
perlakuan yang berbeda dalam pelaksanaan ekspor/impor, baik oleh ekportir dan importir
maupun pihak-pihak lain yang terlibat.

Sejalan dengan itu perjanjian ekspor/impor harus memenuhi tiga landasan utama suatu
perjanjian, yaitu:

a. Asas konsensus: adanya kesepakatan antara kedua belah pihak secara suka rela.
b. Asas obligatoir: mengikat kedua belah pihak untuk menjalankan semua hak dan
kewajiban masing-masing.
c. Asas penalti: bersedia memberikan ganti rugi kepada pihak lain jika tidak memenuhi
janji dalam menjalankan kewajibannya.[42]

Dalam perjanjian ekspor-impor sebagaimana perjanjian lain tentu saja memerlukan


kesepakatan dari para pihak. Perjanjian yang belum didasari suatu kesepakatan akan mengalami
kesulitan dalam pelaksaan. Akan tetapi, kesepakatan saja belum cukup melainkan perlu diikuti
dengan kesadaran para pihak untuk melaksanakan kesepakan yang telah dibuat. Dalam upaya
mendorong para pihak melaksanakan perjanjian sering dicantumkan sanksi. Meskipun demikian
sanksi seberat apapun tidak akan bermanfaat banyak jika para pihak tidak mau menaati
kesepakatan semula. Pengenai sanksi buka saja sering tidak menyelesaikan masalah melainkan
sebaliknya justerus sering memperbesar masalah yang ada bahkan menambah masalah baru.

Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian ekspor/impor dapat bervariasi antara satu
perjanjian dengan perjanjian lain tergantug kebutuhan. Untuk perjanjian ekspor/impor yang
sederhana mungkin hanya terlibat beberapa pihak. Akan tetapi, untuk perjanjian yang kebih
rumit dapat terlibat lebih banyak pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Meskipun
demikian sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa pihak-pihak yang berhubungan dalam
perjanjian ekspor/impor antara lain meliputi.

1. Hubungan hukum antara pembeli dan penjual


2. Hubungan hukum pembeli dengan issuing bank
3. Hubungan hukum issuing bank dengan advising bank
4. Hubungaan hukum issuing bank dengan penjual
5. Hubungan hukum advising bank dengan penjual[43]

Hubungan antara pembeli dan penjual dalam perjanjian ekspor/impor tidak berbeda
dengan jual beli pada umumnya. Pembeli berkewajiban membayar harga barang dan penjual
berkewajiban menyerahkan barang. Selanjutnya pembeli berhak menerima barang yang dibeli
dan penjual berhak menerima pembayaran. Hubungan ini mungkin tidak begitu jelas terlihat
dalam perjanjian ekspor/impor yang menggunakan L/C sebab pembayaran tidak langsung
dilakukan oleh pembeli kepada penjual melainkan melalui bank.

Hubungan hukum pembeli dengan issuing bank dimulai ketika pembeli atau importir
meminta bank membuka L/C untuk kepentingan penjual/elsportir. Jika bank yang dihubungi
importir (issuing bank) tidak dapat berhubungan langsung dengan eksportir karena berbagai
sebab seperti tidak/belum adanya kantor bank tersebut di negara pengekspor, bank tersebut akan
menghubungi bank lain (advising bank).

Jika advising bank sudah mempunyai kantor atau cabang di negara issuing bank,
hubungan dapat dilakukan kepada cabang tersebut. Apabila ternyata bank yang menjadi advising
bank belum mempunyai cabang di negara issuing bank, hubungan dapat dilakukan kepada kantor
advising bank di negar pengekspor atau negara lain yang paling memungkinkan.

Hubungan hukum issuing bank dengan penjual dapat terjadi secara langsung maupun
tidak langsung. Jika issuing bank mempunyai cabang di negara pengekspor atau penjual,
dimungkinkan terjadi hubungan langsung. Dalam hal ini dapat dikatakan issuing bank bertindak
untuk kepentingan pembeli dan penjual. Akan tetapi tidak selalu issuing bank mempunyai
kemampuan berhubungan langsung dengan penjual sehingga memerlukan satu atau beberapa
bank lain. Jika keadaan ini yang terjadi hubungan antara issuing bank dan penjual dapat
dikatakan sebagai hubungan yang tidak langsung.
Hubungan hukum advising bank dengan penjual terjadi dalam rangka pembayaran atas
barang yang diekspor kepada penjual. Untuk kepentingan pembayaran itu penjual harus lebih
dulu menyerahkan sejumlah dokumen sesuai dengan persyaratan yang dimuat dalam L/C.

Dalam perjanjian ekspor/impor semua pihak senantiasa perlu berkeinginan agar perjanjian dapat
dilaksanakan dengan baik. Akan tetapi karena berbagai sebab dalam perjanjian ekspor/impor
juga kadang-kadang ada pihak yang tidak taat kepada kesepakatan dalam perjanjian atau tidak
mau melaksanakan isi perjanjian. Jika ada pihak yang tidak melakukakan isi perjanjian maka
pihak itu dikatakan melakukan wanprestasi.

Sebagaimana telah disampaikan kadang-kadang ada pihak yang tidak mau melaksanakan
perjanjian, termasuk dalam ekspor/impor, baik sengaja maupun tidak sengaja, baik atas
keinginan sendiri maupun tidak atas keinginan sendiri.

Seseorang yang dituduh lalai melaksanakan suatu perjanjian dapat memberikan


pembelaan dengan berbagai alasan, yaitu: Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa
(overmacht atau force majeur); mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah
lalai (exeptio non adimpleti contractus); atau mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan
haknya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan hak: bahasa Belanda: rechtsverwerking). [44]

Demikianlah beberapa hal mengenai perjanjian yang berkaitan dengan perjanjian


ekspor/impor. Sebagian ketentuan yang berlaku secara umum berlaku juga bagi perjanjian
ekspor/impor. Akan tetapi dalam beberapa hal perjanjian ekspor/impor mempunyai kekhususan
dibandingkan dengan perjanjian lain, seperti melintasi batas-batas dua negara bahkan sering
sekali melintasi lebih dari pada dua negara.

B. Kredit Berdokumen/Letter of Credit (L/C)

1. L/C Sebagai Perjanjian

Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terahdap satu orang atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata). Kredit berdokumen dibuka
atas suatu perjanjian yang telah ditetapkan di dalam perjanjian jual beli antara pihak pembeli
dengan pihak penjual atau dapat pula ditentukan setelah waktu diadakannya perjanjian jual beli
itu sendiri, hal tersebut tergantung kepada kesepakatan diantara kedua belah pihak.

Dengan adanya janji (beding) pembukaan L/C dalam suatu perjanjian jual beli maka pada
asasnya sekaligus juga bahwa saat-saat untuk menepati prestasi dari penjual dan pembeli diatur
atau dipertegas, hal ini biasanya terjadi dengan melihat kepada akibat selanjutnya bahwa penjual
barulah akan menyerahkan barangnya setelah pembeli menyuruh bank membuka kredit untuk
kepentingan penjua.

Apabila perjanjian jual beli itu tidak memuat suatu petunjuk atau ketentuan yang tegas-tegas
atau diam-diam tentang kapankah saat pembukaan L/C, maka saat yang paling tepat adalah
tergantung pada hal yang konkrit yaitu saat penyerahan barang dari penjual diberitahukan kepada
pembeli.[45]

Suatu kredit berdokumen L/C dibuat tidak hanya berdasarkan perjanjian jual beli yang
secara tegas-tegas disebutkan, akan tetapi dianggap ada secara diam-diam (samar-samar) di
dalam perjanjian jual beli tersebut. Suatu perjanjian jual beli tetap merupakan suatu perjanjian
jual beli di dalam pengertian yang sebenarnya, yaitu bahwa perjanjian jual beli itu telah ada
segera setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan tentang barang dan harganya meskipun
benda itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar (Pasal 1458 KUH Perdata). Janji
(bedingi) atau klausula yang dimasukkan di dalam perjanjian jual beli itu tidaklah membuat
perjanjian jual beli itu menjadi suatu perjanjian dengan syarat yang digantungkan (opschotende
voorwarde).

Kewajiban pembeli atas harga pembelian tidaklah hapus hanya karena pembeli telah
menyuruh membuka L/C kepada bank untuk kepentingan penjual. Hapusnya kewajiban
membayar dari pembeli barulah ada apabila bank sungguh-sungguh telah membayar harga
pembelian itu kepada penjual. Adanya perbuatan menyuruh membuka kredit itu harus juga
mengandung suatu pengertian bahwa risiko tentang insolvabilitas dari bank tetap menajdi beban
dari pembeli atau risiko dari pembeli.
Dalam bentuknya yang paling sederhana, di dalam L/C terdapat tiga pihak, yaitu:
Pembeli, penjual, dan bank. Dengan adangan tiga pihak yang bersangkutan maka berarti juga
terdapat tiga hubungan di dalam kredit berdokumen (L/C), yaitu:

1. Hubungan hukum antara Pembeli dengan Penjual

Sebagaimana halnya transaksi jual beli pada umumnya, dalam transaksi perdagangan
internasional antara pembeli dan penjual terjadi hubungan hukum sesuai dengan definisi jual
beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata yang menyatakan bahwa jual beli adalah suatu
persetujuan dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Dalam transaksi perdagangan internasional yang menggunakan L/C antara penjual dengan
pembeli tidak terdapat hubungan langsung karena pembayaran dilakukan oleh bank. Akan
tetapi pembukaan L/C tidak menghapus hak penjual atas pembayaran dan hak itu baru hapus
jika pihak bank telah membayar harga pembelian tersebut kepada penjual.

2. Hubungan hukum antara Pembeli dengan Bank

Perjanjian yang menjadi dasar dari hubungan hukum antara pembeli dan bank merupakan
pemberian kuasa (lastgeving) dengan pemberian upah. Hubungan hukum itu lebih tepat
dipandang timbul dari suatu perjanjian yang mempunyai unsur-unsur campuran antara
perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian melakukan pekerjaan. Kewajiban dari bank adalah
membayar kepada penjual barang sesuai dengan yang diperintahkan oleh pembeli dan bank
berhak untuk menuntut penggantian dari apa yang dibayarnya kepada penjual disertai upah.
Jika pembayaran telah dilakukan oleh bank, maka pembeli wajib membayar kepada bank dan
selanjutnya berhak untuk memperoleh dokumen-dokumen yang sebelumnya telah diteliti
oleh bank.

3. Hubungan hukum antara Penjual dengan Bank

Hubungan hukum antara penjual dengan bank lahir atas dasar L/C yang diterbitkan bank
yang disetujui penjual (penerima). Persetujuan tersebut diwujudkan melalui pengajuan
kredit berdokumen yang disyaratkan L/C kepada bank tetapi penerima tidak berkewajiban
untuk menyetujui L/C yang diterbitkan oleh pihak bank dan sebelum L/C disetujui oleh
penerima maka L/C merupakan kontrak sepihak.

2. Pengertian L/C

Pengertian L/C ditemukan dalam berbagai pendapat penulis dan peraturan perundang-
undangan. A Letter of Credit (LOC) is a written instrument issued by a bank at the request of an
importer obligating the bank to pay a specific amount of money to an exporter.[46] Sementara
itu Radiks Purba menyatakan sebagai berikut: “L/C merupakan suatu surat kredit atau
pemberitahuan kredit yang dikeluarkan oleh bank pembuka L/C atas permintaan nasabahnya
yang ditujukan kepada cabangnya di tempat lain memberitahukan kepada orang atau perusahaan
yang namanya tercantum dalam L/C itu bahwa telah sedia sejumlah dana untuknya.”[47]

Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian L/C di atas dapat diringkaskan bahwa
L/C merupakan suatu perintah dari pembeli/importir kepada bank untuk membayar sejumlah
uang kepada penjual/eksportir. Dari pengertian L/C di atas didapatkan beberapa makna dari L/C,
yaitu:

1. Merupakan suatu perjanjian bank untuk menyelesaikan transaksi perdagangan


internasional.

2. Memberikan suatu bentuk pengamanan untuk semua pihak yang bersangkutan dengan
transaksi tersebut.

3. Menjamin pembayaran yang disediakan apabila syarat-syarat dan kondisi-kondisi


dalam L/C terpenuhi.

4. Bahwa setiap pembayaran yang dilakukan didasarkan hanya pada dokumen-dokumen


semata dan tidak pada barang atau jasa yang bersangkutan.[48]

Isi L/C merupakan pernyataan bahwa eksportir/penerima L/C diberi hak oleh importir
untuk menarik wesel (surat perintah untuk melunasi hutang) atas importir bersangkutan untuk
sejumlah uang yang disebut dalam surat itu. Bank yang bersangkutan menjamin untuk
mengakseptir atau menghonorir wesel yag ditarik tersebut asal sesuai dan memenuhi syarat yang
tercantum di dalam surat tersebut.
Sebagaimana telah disampaikan, L/C disebut juga kredit berdokumen. Dengan kata lain
L/C merupakan kredit. Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi credere yang berarti percaya
atau credo atau creditum yang berarti saya percaya. Jadi seseorang yang mendapatkan kredit
adalah seseorang yang telah mendapat kepercayaan dari kreditur.[49]

Dari beberapa pengertian tentang kredit dalam literatur terlihat bahwa kredit merupakan
suatu perjanjian yang objeknya dapat berupa uang atau barang, meskipun titik temu antara semua
pendapat itu akan menuju kepada pengertian peminjaman uang.[50]

3. Jenis-jenis L/C

Penjenisan L/C dapat dilakukan dengan berbagai ukuran atau kriteria. Berdasarkan sifat,
pembayaran, dan syarat. Menurut sifat L/C dapat dibagi menjadi sebagai berikut:

1. Revocable L/C, yaitu L/C yang dapat dibatalkan kembali kapan saja oleh importir
tanpa memerlukan persetujuan eksportir.

2. Irrevocable L/C, yaitu L/C yang tidak dapat dibatalkan dan opening bank mengikatkan
diri untuk melunasi wesel-wesel yang ditarik dalam jangka waktu berlakunya L/C,
kecuali dengan persetujuan semua pihak yang terlibat dalam L/C.

3. Irrevocable dan Confirmed L/C, yaitu L/C yang tidak dapat dibatalkan sepihak dan
mempunyai jaminan pelunasan berganda atas wesel atas penyerahan dokumen
pengapalan yang diberikan oleh opening bank bersama-sama dengan advising bank.
[51]

Sementara itu dari segi pembayaran L/C dapat dibagi menjadi:

1. Sight L/C, yaitu L/C yang jika semua persyaratan dipenuhi, maka negotiating bank
wajib membayar nominal L/C kepada eksportir paling lama dalam 7 hari kerja.

2. Usance L/C, yaitu L/C yang pembayarannya baru dapat dilunasi jika L/C tersebut
sudah jatuh tempo yaitu sekian hari dari tanggal pengapalan (tanggal Bill of Lading).

3. Red Clause L/C, yaitu L/C di mana pembayaran dilakukan oleh negotiating bank
kepada eksportir sebelum barang dikapalkan.[52]

Kemudian dari segi syarat-syarat, L/C dapat dibagi menjadi sebagai berikut:

1. Open L/C, yaitu suatu L/C yang memberi hak kepada eksportir penerima L/C untuk
menegosiasikan dokumen pengapalan melalui bank mana saja yang diingininya.
2. Restricted L/C, yaitu kebalikan daari open L/C di mana negotiating bank dibataasi
pada bank tertentu.
3. Documentary L/C, yaitu L/C yang mewajibkan eksportir penerima L/C untuk
menyerahkan dokumen pengapalan yang membuktikan pemilikan barang serta
dokumen pelengkap lainnya sebagai syarat untuk memperoleh pembayaran.
4. Revolving L/C, yaitu L/C di mana kredit yang tersedia dapat dipakai ulang tanpa perlu
mengadakan perubahan syarat baik dalam bentuk waktu maupun nilai uang.
5. Back to Back L/C, yaitu L/C yang dapat dibuka lagi oleh eksportit penerima L/C
pertama kepada eksportir kedua dengan menjaminkan L/C yang diterimanya. L/C ini
biasa digunakan dalam perdagangan segi tiga.[53]

Berikut ini pembagian L/C yang lebih mendetail,[54] yaitu:

a. Dari segi kekuatan berlaku


1. Revocable L/C: L/C yang dapat dibatalkan setiap saat tanpa perlu persetujuan pihak lain.
2. Irrevocable L/C: L/C yang hanya dapat dibatalkan jika disetujui oleh semua pihak yang
terkait.
3. Irrevocable and Confirmed L/C: L/C yang tidak hanya tidak dapat dibatalkan melainkan
juga diperkuat oleh confirming bank. Jika issuing bank tidak mau melakukan
pembayaran, confirmed bank yang akan melakukan pembayaran.

b. Dari segi pihak yang mengeluarkan L/C


1. Bankers L/C: L/C yang diterbitkan oleh bank atas permintaan pengimpor. Oleh karena
yang mengeluarkan L/C itu bank maka bank merupakan pihak yang akan melakukan
pembayaran bukan importir.
2. Merchant L/C: L/C dikeluarkan oleh importir bukan bank. Bank hanya meneruskan L/C
yang dibuka importir. Bank tidak bertanggungjawab atas pembayaran L/C.

c. Dari segi cara pembayaran


1. Sight L/C: L/C yang dibayarkan advising bank pada saat eksportir mengajuka wesel-wesel
dan dokumen-dokumen yang disyaratkan.
2. Usance L/C: L/C yang dibayarkan advising bank pada saat tertentu atau jatuh tempo bukan
pada saat eksportir menyerahkan dokumen-dokumen yang disyaratkan.

d. Dari segi persyaratan L/C


1. Documentary L/C: Pembayaran L/C dilakukan dengan penarikan wesel disertai dengan
dokumen-dokumen yang ditentukan oleh importir.
2. Open/clean L/C: L/C ini tidak memerlukan penyerahan dokumen-dokumen khusus pada
saat pembayaran. L/C ini dapat digunakan untuk pembayaran rutin dengan jumlah yang
tidak begitu besar.

e. Dari segi perjanjian yang dilakukan


1. Restricted/straight L/C: L/C hanya dapat dinegosiasi oleh bank khusus yang disebutkan
dalam setiap L/C. L/C harus memuat suatu klausula yang menyatakan bahwa L/C
tersebut hanya tersedia atau dibatasi atau hanya dapat dinegosiaasi oleh bank tertentu
saja.
2. General L/C: L/C yang telah diteruskan oleh advisinng bank dapat dinegosiasi oleh bank-
bank lain juga tidak terbatas hanya advising bank.

f. Dari segi hak pengekspor


1. Transferable/assignable/divisible L/C: L/C ini berarti dapat dialihkan dari beneficiary
pertama kepada beneficiary kedua.
2. Non transferable L/C: L/C yang tidak dapat dialihkan oleh beneficiary.

g. L/C khusus
1. Aflopend dan revolving L/C: L/C mempunyai jangka waktu berlaku. Jika L/C tidak
digunakan selama jangka waktu tertentu maka L/C tersebut tidak dapat digunakan lagi.
2. Back to back L/C: Negotiating bank membuka L/C baru untuk kepentingan pihak ketiga
atas permintaan beneficiary. Dengan demikian negotiating bank berubah posisi menjadi
issuing bank untuk back to back L/C.
3. Red clause L/C: Dalam L/C ini terdapat klausula yang ditulis dengan tinta merah. Klausula
itu meminta negotiating bank membayar sebagian harga kepada eksportir walaupun
barang belum dikapalkan. Pembayaran seperti ini dimaksudkan sebagai advance payment
yang akan diperhitungkan dalam seluruh pembayaran.
4. Transit L/C: Issuing bank di negara X membuka L/C atas permintaan applicant yang
berada di negara Y melalui banknya di negara Y untuk dibayar kepada beneficiary di
negara Z melalui negotiating bank di negara Z.
5. Negociering L/C: L/C ini membebankan tanggung jawab kepada issuing bank sedangkan
advising bank tidak mempunyai tanggung jawab. Negosiasi dalam L/C ini berarti issuing
bank wajib membeli wesel dengan harga sebesar jumlah yang disebut dalam wesel tanpa
diskon.
6. Travellers L/C: L/C ini merupakan pengganti uang tunai. L/C ini dapat digunakan pada
saat bepergian ke negara asing. Di negara asal seseorang meminta sebuah bank
menerbitkan L/C kepadanya dengan advising bank di negara tujuan. Untuk menjada
keamanan, nomor passport dan tanda tangan pemilik disyaratkan dalam L/C tersebut.
7. Stand by L/C: L/C yang dikeluarkan sebagai jaminan jika ada pihak dalam kontrak
wanprestasi.

Dari jenis-jenis L/C yang telah dikemukakan dapat diketahui bahwa setiap L/C
mempunyai karakteristik tertentu. Masing-masing L/C memberikan hak dan kewajiban yang
berbeda kepada eksportir, importir, bank, dan pihak-pihak lain. Oleh karena itu, sangat perlu bagi
semua pihak yang terlibat dalam L/C memahami jenis L/C yang digunakan. Jenis L/C dapat
diketahui dari isi pokok masing-masing L/C. Untuk itu pemahaman atas isi pokok setiap L/C
merupakan keharusan bagi semua pihak agar tidak muncul penyesalan pada waktu kemudian.

Adapun unsur-unsur pokok dalam L/C meliputi:

a. Credit substitution, yaitu issuing bank menggantikan (mensubstitusikan) kredibilitas


applicant dengan kredibilitasnya sendiri.

b. Promise to pay, yaitu L/C berisi jaminan pembayaran dari issuing kepada beneficiary.

c. Terms and conditions, L/C merupakan jaminan pembayaran bersyarat (conditional


guarantee), dimana akan dilakukan pembayaran sepanjang beneficiary telah
memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan dalam L/C.

d. Parties, yaitu dalam suatu L/C akan terlibat beberapa pihak antara lain, applicant,
issuing bank, beneficiary, advising bank, negotiating bank atau confirming bank (jika
L/C di confirm oleh bank lain)

e. Time, yang menyangkut expire date yaitu tanggal berakhirnya jangka waktu
berlakunya suatu L/C, latest shipment date yaitu tanggal terakhit untuk melaksanakan
pengapalan/pengiriman sesuai dengan yang ditentukan dalam L/C dan latest
presentation date, yaitu tanggal terakhir bagi beneficiary untuk penyerahan dokumen
ke bank.[55]
L/C tertentu memberikan perlindungan kepada satu pihak tetapi dapat merugikan pihak
lain. Sehubungan dengan itu, setiap pihak yang terkait dengan L/C, terutama eksportir dan
importir, perlu melakukan perundingan untuk menemukan jenis yang dapat diterima semua pihak
atau menguntungkan semua pihak sehingga tidak akan menimbulkan ketidakpuasan satu atau
beberapa pihak.

4. Dokumen-dokumen L/C

Berdasarkan ketentuan di atas dokumen yang dipersyaratkan untuk setiap L/C dapat berbeda.
Meskipun demikian secara umum syarat-syarat yang harus ditetapkan itu antara lain sebagi
berikut:

1) L/C yang akan dibuka harus merupakan Commercial Documentary Letter of credit.
2) Dokumen yang dimaksud sekurang-kurangnya harus terdiri dari dokumen-dokumen
berikut:
a. Full set of Bill of Lading (Konosemen)
b. Commercial Invoice (Faktur Perdagangan)

c. Packing List

d. Weight note

e. Measurement List

f. Insurance Certificate

g. Consular Invoice

h. Brochure/leaflet

i. Surveyor Report

j. Manufacture’s Certificate

k. Certificate of Origin

l. Processing License

m. Instruction Manual[56]
Beberapa diantara dokumen di atas yang penting dapat dijelaskan sebagai berikut: Bill of
Lading (Konosemen) merupakan dokumen pengangkutan tentang barang-barang yang diangkut
dengan kapal laut. Dalam Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dinyatakan
sebagai berikut.

“Konosemen adalah sepucuk surat yang ditanggali, dimana pengangkut menyatakan


bahwa ia telah menerima barang-barang tertentu untuk diangkutnya ke suatu tempat
tujuan yang ditunjuk dan di sana menyerahkannya kepada orang yang ditunjuk beserta
dengan klausula-klausula apa penyerahan akan terjadi.”

Konosemen dibuat oleh pengangkut. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 504 KUHD
yang menyatakan bahwa “pengirim apat menginginkan supaya oleh pengangku dengan mencabut
bukti penerimaan yang mungkin telah diberikan olehnya dikeluarkan konosemen tentang barang-
barang yang diterimanya untuk diangkut.

Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu konosemen dapat dibuat oleh pihak lain, yaitu
nakoda. Pasal 505 KUHD berbunyi demikian:

“Nakoda berwenang mengeluarkan konosemen-konosemen untuk barang-barang yang


diterima untuk dimuatkan dalam kapal yang dipimpinnya, kecuali bilamana orang lain
dibebani dengan pengeluaran itu.”

Commercial Invoice (Faktur Perdagangan) adalah surat keterangan dari eksportir mengenai
barang yang dikirim kepada importir. Faktur perdagangan berisi hal-hal berikut:

1. Nama dan alamat eksportir

2. Nama dan alamat importir

3. Jenis dan kualitas barang

4. Nama kapal

5. Nama perusahaan pelayaran pengangkut


6. Tanggal keberangkatan kapal

7. Nama pelabuhan asal

8. Nama pelabuhan tujuan

Packing List (daftar isi) dibuat oleh eksportir. Daftar ini berisi keterangan dan perincian
mengenai isi setiap peti, karung, dan lain-lain. Daftar ini sangat penting terlebih jika barang yang
dikirim tidak sejenis melainkan mempunyai perbedaan bentuk, warga, berat, dan sebagainya.

Insurance Certificate (polis asuransi) sangat penting dalam L/C. Mengenai dokumen
asuransi Pasal 34 UCP abatara lain berbunyi sebagai berikut:

a. Dokumen asuransi secara nyata harus diterbitkan atau ditandatangani oleh pejabat
perusahaan asuransi atau perusahaan penjamin (underwriter) atau agen mereka.

b. Jika dokumen asuransi menunjukkan bahwa dokumen tersebut diterbitkan lebih dari
satu dokumen asli, semua dokumen asli tersebut harus diserahkan kecuali apabila
sebaliknya diperkenankan oleh kredit.

c. “Cover notes” yang diterbitkan oleh perantara tidak akan diterima, kecuali apabila
diperkenankan secara khusus oleh kredit.

d. Kecuali ditentukan lain di dalam kredit, bank akan menerima sertifikat asuransi atau
deklarasi atas dasar suatu “open cover” yang ditandatangani terlebih dahulu oleh
perusahaan asuransi atau perusahaan penjamin atau agen mereka. Jika suatu kredit
secara khusus mensyaratkan suatu sertifkat asuransi atau deklarasi atas dasar suatu
open cover, bank-bank akan menerima suatu polis asuransi sebagai gantinya.

Memperhatikan dokumen-dokumen yang dibutuhkan dapat dikatakan pihak yang terlibat


dalam setiap pembayaran dengan L/C cukup banyak. Dengan demikian kelancaran pembayaran
L/C tergantung kepada banyak pihak juga, tidak cukup hanya eksportir dan importir. Oleh karena
itu kerja sama antara semua pihak yang terlibat sangat dibutuhkan. Pembebanan kesalahan atas
permasalahan L/C kepada eksportir dan/atau importir saja untuk beberapa kasus menjadi tidak
tepat. Sangat mungkin permasalahan bukan disebabkan oleh kesalahan eksportir dan/atau
importir melainkan pihak-pihak lain.

5. Mekanisme L/C
Dalam suatu jual beli ekspor/impor pembukaan L/C dapat dilakukan setelah ada kontrak berupa
Sales Contract atau Confirmation of Sales. Mekanisme L/C secara sederhana dapat diuraikan
sebagai berikut:

1. Diadakan kontrak jual beli antara penjual kepada pembeli dalam jual beli mana
pembeli diwajibkan membuka L/C.

2. Kemudian pembeli mengajukan aplikasi L/C kepada Bank Devisa langganannya untuk
manfaat pihak penjual.

3. Bank penerbit mengirim surat L/C kepada penikmat melalui bank korepondennya di
negara penikmat.

4. Advising bank memberitahu penikmat bahwa kepadanya telah dibuka L/C.

5. Setelah penikmat menerima L/C, dia lantas mengirim barang kepada pembeli.

6. Dokumen asli diserahkan kepada advising bank dan duplikat dikirim kepada pembeli.

7. Dilakukan pembayaran oleh advising bank setelah meneliti kelengkapan dokumen.

8. Dokumen yang telah diterima oleh advising bank kemudian dikirim ke issuing bank.

9. Setelah menerima dokumen-dokumen issuing bank membayar kepada advising bank.

10. Pembuka kredit membayar semua kewajiban kepada issuing bank setekah dinotifikasi
oleh issuing bank bahwa semua dokumen telah datang.

11. Issuing bank mengirim dokumen asli kepada pembuka kredit, berdasarkan dokumen-
dokumen mana barang-barang dapat diminta dari pengangkut.[57]

Tahapan pembayaran dengan L/C secara ringkas sebagai berikut:

a. Penjual dan pembeli di luar negeri setuju dalam sales contract bahwa payment
dilakukan menurut documentary credit.

b. Pembeli memberikan instruksi kepada bank di kediamannya (The Issuing Bank) untuk
membuka documentary credit untuk penjual.

c. The Issuing Bank mengatur dengan bank di domisili penjual (Correspondent Bank)
untuk melakukan negosiasi, menerima, atau membayar exporter draft atas penyerahan
dari dokumen pengapalan.
d. Correspondent Bank memberitahu kepada penjual untuk menegosiasi, menerima, atau
membayar exporter draft atas penyerahan dokumen pengapalan.[58]

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pembayaran dengan L/C tidak sederhana,
memerlukan waktu, biaya, dan lain-lain. Akan tetapi cara pembayaran ini tetap saja dipilih
karena lebih dapat menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak yang terlibat. Meskipun
begitu tidak berarti L/C merupakan cara pembayaran yang sempurna. Berbagai masalah masih
dapat timbul, baik disengaja maupun tidak oleh pihak tertentu. Pilihan terhadap L/C tetap
dilakukan mungkin karena belum ada cara lain yang lebih baik.

6. Pihak-pihak Dalam L/C

Sehubungan dengan jenis-jenis L/C yang dikenal saat ini, para pihak-pihak yang terkait
dapat berbeda satu sama lain. Akan tetapi secara umum pihak-pihak yang terlibat dalam L/C
adalah:

a. Pihak Pembeli

Pihak pembeli adalah pihak imporir yang membeli barang dan membuka L/C.

b. Pihak Penjual

Pihak penjual adalah pihak eksporir terhadapnya L/C dibuka.

c. Pihak Pembuka L/C

Bank pembuka L/C atau yang disebut dengan issuing bank adalah bank yang
membuka L/C setelah dimintakan oleh pihak pembeli.

d. Pihak Penerus L/C

Bank penerus L/C adalah bank yang dimintakan oleh bank pembuka L/C untuk
meneruskan L/C dan membayarkan kepada pihak penjual. Bank penerus L/C ini
disebut juga dengan Conforming Bank, Correspondent Bank, Advising Bank, Paying
Bank, atau Negotiating Bank[59].

Meskipun para pihak sudah jelas tetapi pembayaran tidak dapat serta merta dilaksanakan
sebab masih perlu melengkapi syarat-syarat tertentu. Dalam L/C lazim ditentukan syarat-syarat
yang harus dipenuhi eksportir agar dapat menerima pembayaran, antara lain:
1) L/C yang akan dibuka harus merupakan Commercial Documentary Letter of Credit.

2) Dokumen yang dimaksud sekurang-kurangnya harus terdiri dari dokumen-dokumen


berikut:

a. Full set of Bill of Lading (Konosemen)

b. Commercial Invoice (Faktur Perdagangan)[60]

Setelah para pihak jelas dan dokumen yang disyaratkan terpenuhi barulah pembayaran
dapan dilaksanakan. Kenyataan ini tidak perlu dipandang sebagai sesuatu yang negatif dari L/C.
Sebaliknya kenyataan itu justeru merupakan salah satu kelebihan L/C dalam rangka melindungi
kepentingan semua pihak yang terkait.

7. Peralihan L/C

L/C dapat dialihkan jika termasuk transferable credit. Kredit hanya bisa dialihkan jika secara
tegas ditetapkan sebagai “transferable” oleh issuing bank. Istilah-istilah seperti “divisible”,
“fractionable”, “assignable” dan “transmisible” tidak berarti kredit tersebut dapat
dipindahtangankan. Jika istilah-istilah demikian digunakan istilah-istilah tersebut akan diabaikan.

Suatu transferable credit adalah kredit atas dasar mana beneficiary (beneficiary pertama)
boleh meminta bank yang diberikan kuasa untuk membayar, menjamin pembayaran kemudian,
mengaksep atau menegosiasi (Transfering Bank) atau, dalam hal suatu kredit yang dapat
dinegosiasi secara bebas, bank yang secara khusus diberi kuasa dalam kredit sebagai
Transferring Bank, akan melaksanakan pengalihan kredit seluruhnya atau sebagian pada satu
atau beberapa beneficiary lainnya (beneficiary kedua). .

Pengalihan L/C tidak dapat dilakukan begitu saja secara bebas melainkan harus
memperhatikan beberapa pembatasan, misalnya hanya dapat dialihkan dengan persyaratan dan
kondisi sebagaimana disebutkan dalam kredit aslinya, dengan pengecualian:

1. nilai kredit,

2. harga satuan yang disebutkannya,


3. tanggal jatuh temo,

4. tanggal terakhir penyerahan dokumen sesuai dengan Pasal 43,

5. masa pengalihan,

satu atau seluruhnya boleh dikurangi atau dihapuskan.

Persentase nilai pertanggungan asuransi yang harus ditutup (untuk masing-masing


bagian) boleh dinaikkan untuk memenuhi nilai pertanggungan yang ditentukan dalam kredit
aslinya. Disamping itu, beneficiary pertama dapat menggantikan nama aplicant, tetapi jika nama
aplicant secara khusus disyaratkan oleh kredit aslinya untuk disebutkan dalam semua dokumen
kecuali faktur, persyaratan tersebut harus dipenuhi.

Kecuali jika ditentukan lain di dalam kredit suatu transferable kredit dapat dipindahtangankan
hanya sekali saja. Oleh karena itu kredit tersebut tidak dapat dipindahtangankan atas permintaan
beneficiary kedua kepada beneficiary ketiga berikutnya. Akan tetapi pengalihan kembali
(retransfer) kepada beneficiary pertama tidak dilarang.

Ketentuan pengalihan L/C hanya dapat dilakukan satu kali bukan tanpa alasan. Pembatasan ini
perlu antara lain untuk mencegah atau paling tidak mengurangi kesulitan jika timbul
permasalahan, misalnya terjadi kekurangan dokumen. Dengan pembatasan tersebut akan lebih
mudah ditemukan pihak-pihak yang terkait yang masih perlu melengkapi dokumen. Selain itu
biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu masalah dapat diharapkan tidak terlalu besar
karena pihak yang terlibat terbatas.

——–https://bnpds.wordpress.com——-

DAFTAR PUSTAKA

Amir M.S, Ekspor Impor: Teori & Penerapannya, Jakarta: PPM, 2001.

__________, Kontrak Dagang Ekspor, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1999.


Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari Perspektif Sekretaris,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.

Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, Jakarta: Gramedia


Widiasarana, 2001.

Chairul Anwar, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2001.

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat
Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996.

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Pembukaan Kredit Berdokumen, Yogyakarta: Seksi Hukum


Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1995.

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis. Transaksi Bisnis Internasional (Ekspor-
Impor), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi, Seri Hukum Perikatan. Jual Beli, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003.

Hasanuddin Rahman, Legal Drafting. Seri Keterampilan Mahasiswa Fakultas Hukum Dalam
Merancang Kontrak Perorangan/Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001.

Michael Melvin, International Money and Finance, New York: Harper Collins College
Publisher, 1995.

Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Kedua, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1999.

__________, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2003.
__________, Pengantar Hukum Bisnis. Menata Bisnis Modern di Era Global. Bandung: Citra
Aditya Bakti.

P.S Atiyah, An Introduction To The Law of Contract, Oxford: Oxford University Press, 1981.

R Setiawan Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Putra A Bardin, 1999.

Radiks Purba, Pengetahuan Perdagangan Luar Negeri Indonesia, Jakarta: Pustaka Dian, 1984.

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 1985.

Soepriyo Andhibroto, Letter of Credit Dalam Teori dan Praktek, Semarang: Dahara Prize, 1992.

Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1996.

Taryana Soenandar, Prinsip-prinsip UNIDROIT Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan


Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Vinod Kumar Garg & N.K Venkitakrishnan, Enterprise Resource Planning, Concept and
Practice, New Delhi: 2003.

Belum tersosialisasinya ekonomi syariah dengan baik adalah salah satu kendala pengembangan
ekonomi syariah di Indonesia. Kalaupun ekonomi syariah dikenal, masyarakat lebih banyak
mengenal bank syariah. Padahal ekonomi syariah tidak hanya kegiatan bisnis perbankan berbasis
syariah, tetapi sudah merambah pada sektor lain, seperti reksadana, perhotelan, asuransi
(takaful/social protection), bursa efek, multilevel marketing hingga penyiaran (broadcast).

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa sektor perbankan paling mendominasi
kegiatan ekonomi syariah. Sebuah riset yang dilakukan pengamat perbankan syariah Adiwarman
A. Karim dari Karim Business Consulting menunjukkan bahwa pasar loyalis syariah
sesungguhnya sangat terbatas. Dia membagi potensi pasar menjadi tiga kelompok besar.
Pertama, pasar loyalis syariah. Kedua, pasar mengambang yang tidak terlalu fanatik dengan
sistem perbankan. Dan ketiga adalah pasar loyalis konvensional. Kelompok ini mempunyai ciri
sangat fanatik terhadap bank bersistem konvensional. Berdasarkan riset tersebut, pasar loyalis
syariah cuma Rp 10 triliun.

Disadari bahwa sosialisasi dan pemahaman masyarakat akan produk syariah memang masih
terbatas. Meskipun penduduk Indonesia sebagian besar adalah masyarakat Islam, tetapi
pengembangan produk syariah masih dini dan belum berkembang dengan baik. Termasuk dalam
hal ini adalah produk investasi syariah selain perbankan seperti saham, reksadana, obligasi, dan
asuransi, dll.

Produk investasi syariah seperti reksadana dan saham memiliki prospek cerah. Setidaknya hal itu
bisa dilihat dari beberapa data yang ada. Menyangkut kinerja portofolio saham syariah,
berdasarkan penelitian yang dilakukan Farida Rachmawati (2002) kinerja portofolio saham
syariah memiliki prospek yang tidak mengecewakan. Selama tahun 2001-2002, kinerja
portofolio saham syariah tengah mengungguli kinerja saham konvensional untuk kriteria Sharpe
Index dan Treynor Index. Portofolio saham konvensional hanya unggul pada pengukuran dengan
Jenshen’s Alpha. Dalam hal ini portofolio saham syariah unggul pada kriteria return dan risk
(level total risiko dan risiko pasar).

Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan proses screening berdasarkan syariah memberikan
pengaruh positif terhadap kinerja portofolio saham syariah. Dari penelitian terlihat, kinerja
portofolio 22 saham syariah mampu mengungguli kinerja 23 saham konvensional selama periode
2001-2002.

Selain portofolio saham syariah, alternatif investasi yang lain seperti reksadana syariah juga
memiliki prospek yang cerah. Menurut penelitian Rinda Aystuti (2003), pada tahun 2001
reksadana syariah sampuran (PNM Syariah dan Danareksa Syariah Berimbang) memiliki kinerja
yang underperform dibandingkan dengan pasar. Namun pada tahun 2002, kinerja PNM Syariah
membaik, dengan rata-rata return yang lebih tinggi dibanding return pasar (Jakarta Islamic
Index). Namun bila dibandingkan kinerja indeks pasar konvensional (IHSG), kinerja PNM
Syariah dan Reksadana Syariah Berimbang lebih baik.

Tentu saja, ada banyak faktor yang memengaruhi kinerja investasi syariah seperti saham dan
reksadana. Faktor makroekonomi yang terus membaik akan berimbas pada prospek investasi
syariah. Kondisi perekonomian yang terus membaik, terutama sektor riil juga berdampak positif
terhadap prospek investasi syariah, sebab investasi syariah lebih banyak diinvestasikan pada
sektor-sektor riil yang sesuai dengan konsep syariah. Faktor lain yang tidak kalah penting dalam
memengaruhi kinerja portofolio investasi syariah adalah kemampuan atau profesionalisme
pengelola dana.

Sementara tantangan dan ganjalan yang dihadapi dalam investasi syariah adalah konsep bagi
hasil yang tidak mampu memberikan patokan tingkat penghasilan yang pasti. Pintar tidaknya
pengelola dana akan menjadi ukuran sekaligus berdampak pada hasil yang bisa diperoleh
investor. Disadari bahwa instrumen investasi syariah masih terbatas, sehingga kemampuan
pengelola dana dalam mengatur portofolionya juga harus piawai. Diversifikasi investasi yang
terbatas jelas akan menyulitkan pengelola dana. Oleh karena itu, investasi syariah mempunyai
risiko yang lebih tinggi.
Hal yang sama juga dialami dalam produk perbankan syariah. Dalam produk perbankan syariah,
juga didasarkan pada konsep bagi hasil sehingga patokan tingkat penghasilan juga tidak pasti.
Kemampuan pengelola atau profesionalisme yang terlibat di dalamnya akan sangat menentukan
kinerja perbankan syariah.

Jika kinerja bank syariah buruk, deposito nasabah juga tidak berkembang. Risiko inilah yang
tidak dipikul deposan bank konvensional, sehingga kendati bank mengalami kerugian, investasi
yang ditanam bisa tetap tumbuh. Ini nilai tambah produk konvensional dibanding produk
investasi syariah.

Dalam asuransi syariah juga didasarkan pada bagi hasil dan kegagalan juga berdasarkan beban
bersama (sharing the burden). Hal ini bisa dilihat dari aspek pengelolaannya. Dalam produk
asuransi konvensional, risiko dipindahkan dari klien ke perusahaan (transfer of risk), sementara
dalam asuransi syariah, risiko tersebut ditanggung bersama-sama (sharing of risk). Jadi, risiko
tidak menjadi beban perusahaan, namun tanggungan bersama.

Dengan model seperti itu, dana peserta dibagi menjadi dua, dana investasi dan dana kumpulan
peserta (tabarru’). Dana investasi murni menjadi hak peserta, sedangkan tabarru’ merupakan
penyisihan dari premi yang memang diikhlaskan untuk menjadi dana bersama. Dana inilah yang
digunakan untuk membayar klaim. Seluruh dana tersebut kemudian dikelola oleh pihak asuransi
ke berbagai bentuk investasi.

Di sinilah nilai tambah asuransi syariah dibanding asuransi konvensional. Pasalnya, ada garis
tegas yang memisahkan dana pemegang saham dengan dana peserta. Dana peserta ini kemudian
diinvestasikan. Setelah dipotong biaya usaha, hasilnya akan dibagi berdasarkan kesepakatan
awal. Cuma, umumnya porsi untuk peserta lebih besar daripada yang diperoleh pihak asuransi.

Sebagai sebuah produk syariah, investasi syariah jelas harus sesuai dengan prinsip Islam.
Tujuannya untuk menciptakan dan mencapai tata ekonomi yang lebih beretika. Misalya, Islam
melarang riba. Sebab riba merupakan praktik ekonomi yang eksploitatif karena memanfaatkan
kondisi mereka yang lemah atau dalam kondisi kesulitan. Riba juga timbul dari praktik utang
piutang dan perdagangan. Misalnya, sale and lease back dan short selling yang cenderung
spekulasi. Dalam konsep syariah, tidak boleh memperjualbelikan sesuatu yang belum tentu ada
dan mungkin saja tidak terjadi. Dengan demikian praktik investasi syariah juga harus
menghindari konsep riba. Hal inilah yang membedakan antara investasi syariah dan
konvensional.

Selain itu, prinsip investasi syariah juga harus dilakukan tanpa paksaan (ridha), adil dan
transaksinya berpijak pada kegiatan produksi dan jasa yang tidak dilarang oleh Islam, termasuk
bebas manipulasi dan spekulasi. Wallahu A’lam bi al Showab.

Anda mungkin juga menyukai