Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ORNAMEN
ISTANA KERAJAAN DATU LUWU
(SULAPPA EPPA)

OLEH:

KELOMPOK 2:

SUKMAWATI 1801414060
DEWI ASTUTI 1801414126
KIKI PERTIWI 1801414057
DAHNIAR 1801414078
HANISA 1801414075
SARTIKA MALA 1801414079
MEGA LAWAPADANG 1801414119
MILA IRAYANTI 1801414068
HERNI 1801414118
KASMAWATI 1801414124
NURUL MUTMAINNA 1801414125

KELAS: 4.D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO

2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah
Seni rupa dengan judul “Ornamen Istana Kerajaan Datu Luwu (Sulapa
Eppa)”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah
ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Palopo, 20 Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR.......................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................ 2
1.3 Tujuan................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................... 3
2.1 Perkembangan....................................................................... 3
2.2 Pengaruh................................................................................ 4
2.3 Makna.................................................................................... 5
2.3.1 Motif Utama................................................................ 7
2.3.2 Motif Pendukung......................................................... 8
2.3.3 Motif Isian................................................................... 10
BAB III PENUTUP.............................................................................. 11
3.1 SIMPULAN........................................................................... 11
3.2 SARAN.................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sulawesi Selatan terdiri atas tiga etnis suku bangsa, Toraja, Makassar dan
Bugis, ketiganya memiliki potensi budaya, kesenian, unsur-unsur tradisi serta
peninggalan sejarah dan prasejarah (Purbakala). Etnis Bugis adalah suku bangsa
yang memiliki populasi penduduk dan wilayah terbesar di daerah Sulawesi
Selatan, sehingga masyarakat Bugis sangat dikenal sebagai gudang ajaran-ajaran
dan norma-norma yang dipersatukan dalam kelompok masyarakatnya, seperti adat
istiadat, agama dan sistem kepercayaan, status sosial cita rasa keindahan
(estetika), serta keterampilan, yang senantiasa berpedoman kepada ajaran nenek
moyang masa lalu yang saat ini banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam. Maka
dalam setiap kebudayaan yang terkandung di dalamnya seperti norma-norma dan
nilai-nilai kehidupan tersebut sebagai menjadi pedoman bagi tiap individu
pendukung kebudayaan tersebut, sehingga ajaran-ajaran, nilainilai dan norma-
norma pada masyarakat Bugis terintegrasi menjadi unsur-unsur kearifan lokal
(lokal wisdom).
Kedudukan kearifan lokal begitu sentral, karena merupakan kekuatan yang
mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan mampu pula
berkembang untuk masa-masa mendatang. Sulawesi Selatan, khususnya pada
wilayah etnis Bugis terdapat beberapa situs peninggalan sejarah dan
kepurbakalaan yang sangat menarik, dan merefleksikan potensi budaya tersebut.
Keberadaan istana kerajaan luwu menjadi salah satu warisan kebudayaan
fisik yang juga merupakan produk kesenian masa lampau. Kesenian tidak pernah
lepas dari masyarakat sebagai salah satu unsur penting kebudayaan, dan kesenian
adalah ungkapan kreativitas (Umar Kayam, 1981:38). Oleh karena itu ada dua
aspek kesenian yang perlu diperhatikan, yaitu konteks estetika atau penyajiannya
yang mencakup bentuk dan keahlian yang melahirkan gaya. Yang kedua adalah
dalam konteks makna (meanings), yang mencakup pesan dan kaitan lambang-
lambangnya (symbolic value). Dalam rangka konteks tersebut pendekatan
masalah kesenian hendaknya dipahami. Tidak mungkin orang bicara kesenian

1
tanpa memperhatikan bentuk, wujud, dan gayanya. Begitu pun sebaliknya, tidak
mungkin orang bicara soal kesenian tanpa memperhatikan pesan-pesan yang
terkandung secara simbolis, di samping kegiatan kesenian itu sendiri merupakan
wujud fungsionalisasinya dari sub sistem kebudayaan tertentu (Budhisantoso,
1994:3). Hadirnya kesenian di tengah masyarakat adalah untuk memenuhi
kebutuhan jasmani dan rohani manusia, yang hampir di setiap aktivitas manusia
dalam memenuhi kebutuhan tersebut, senantiasa dipenuhi dengan kehadiran
bentuk kesenian. Salah satu cabang kesenian itu adalah seni rupa yang dapat
dilihat dari segi dimensi ungkapannya yaitu perpaduan antara garis, warna, serata
bidang atau ruang, dan dari sekian banyak cabang seni rupa salah satu di
antaranya adalah ornamen.
Ornamen merupakan salah satu produk kebudayaan, keberadaan ornamen
hadir seiring dengan terciptanya kebutuhan manusia. Pada awalnya ornamen
merupakan bagian dari ritual. Ornamen adalah gambaran ekspresi manusia
menaklukkan alam, dalam hal ini tumbuhtumbuhan dan binatang sebagai
cerminan pada lukisan-lukisan di dinding gua manusia purba. Ornamen juga
merupakan ungkapan rasa dari manusia akan sebuah nilai keindahan (Kosasih,
1987:16-18). Kaitannya dengan seni rupa, ornamen dapat dilihat sebagai bagian
dari sebuah kegiatan berkesenian. Esensi seni yang mengutamakan keindahan
merupakan dasar dari hadirnya budaya ornamen dan sebagai jawaban atas
kebutuhan manusia menghadirkan nilai-nilai keindahan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana perekembangan ornamen?
2. Bagaimana pengaruh ornamen?
3. Apa saja makna yang terdapat pada ornament tersebut?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan ornament.
2. Untuk mengetahui penggaruh ornament
3. Untuk mengetahui makna ornamen

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan
Aksara Bugis atau yang lebih dikenal sebagai Aksara Lontara Baru
(ᨔᨘᨑᨒᨚᨈᨑᨅᨙᨑᨘ, surat lontara' beru) adalah aksara tradisional
masyarakat Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja . Bentuk aksara lontara berasal
dari sulapa eppa wala suji. Wala suji berasal dari kata wala yang artinya
pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar
bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi)
adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan
susunan semesta, api-air-angin-tanah. Huruf lontara ini pada umumnya dipakai
untuk menulis tata aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada
daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar (kira-kira
sebesar lidi).
Orang Bugis-Makassar (juga orang Luwu', Mandar dan Toraja), mengenal
kosmologi ruang yang mencerminkan suatu pandangan terhadap dunia.
Pandangan tersebut dikenal dengan Konsep Sulappa Eppa' Wala Suji (segi empat
belah ketupat). Menurut Budayawan Mattulada, Sulapa' Eppa' diambil dari
walasuji sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat.
Sulapa Eppa dalam wacana klasik kepercayaan Bugis-Makassar memiliki banyak
makna.
Arsitektur rumah adat Makassar juga mengadopsi falsafah Sulapa' Eppa'
dimana hal itu merupakan penerjemahan terhadap lapisan konsep kosmologi. Dari
konsep ini, mengilhami bentuk struktur bola ugi yang senantiasa mengikuti model
makrokosmos, yang secara konseptual harus mengikuti model persegi empat.
Kemudian model bola ugi ini mengikuti pula struktur makrokosmos yang terdiri
atas tiga tingkatan atau lapisan dunia yakni: bagian atas (rakkeang), bagian tengah
(alle bola), dan bagian bawah (awa bola). Arsitektur rumah adat Bugis-Makassar
terbagi atas bagian paling tinggi yang disebut coppo' bola, diasosiakan sebagai
dengan alam arasy (Alam Lauh Mahfuds). Lapisan bawahnya adalah lapisan
sakral. Lapisan yang merupakan penggambaran alam bagi makluk Tuhan yang

3
suci. Lapisan tersebut pada rumah Bugis disebut Rakkeang. Rakkeang, dulunya,
di rumah kuno orang Bugis merupakan tempat penyimpanan padi. Padi, dalam
mitologi manusia Bugis, dipandang sebagai penjelmaan dari Dewi Sangiang Seri.
Selanjutnya adalah lapisan alam manusia, dan yang paling bawah adalah lapisan
alam lingkungan dan makhluk lainnya.
Dalam mitologi suku Bugis, sistem upacara yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok atau anggota masyarakat (individu) tidak boleh bertentangan
dengan prinsip-prinsip menurut sistem kepercayaan. Dalam sistem kepercayaan
attauriolong, dikenal adanya tiga unsur yang disembah dan diberi upacara.
Pertama, mereka percaya kepada dewa-dewa yang dipimpin oleh dewata seuwaE.
Kedua, mereka percaya kepada roh nenek moyang. Ketiga, mereka percaya
kepada kekuatan gaib. Hal ini terlihat misalnya, pada perayaan dan upacara saat
ingin melaut, membuat perahu, atau pada saat ingin menanam padi- pasca panen.

2.2 Pengaruh
Menurut Wikipedia Lontara ialah aksara asli masyarakat bugis-makassar.
Jadi bukan asimilasiapalagi pengaruh budaya lain, termasuk india. bentuk aksara
lontara menurut budayawan Prof Mattulada (alm) berasal dari "sulapa eppa wala
suji". Wala suji berasal dari kata wala = pemisah/pagar/penjaga dan suji = putri.
Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah
ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-
Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah.
Dari segi aspek budaya, suku bugis menggunakan dialek tersendiri dikenal
dengan "Bahasa Ugi" dan mempunyai tulisan huruf bugis yang dipanggil "Aksara
Lontara Bugis". Akasara ini telah ada sejak abad ke-12 sejak melebarnya
pengaruh Hindu di Indonesia.Aksara bugis berjumlah 23 huruf yang semuanya
disusun berdasarkan aturan tersendiri.
Aksara Lontara kabarnya adalah sistem huruf Lontara yang
disederhanakan oleh Syahbandar Kerajaan Gowa yang bernama Daeng Pamatte'.
Mattulada (1995) mengemukakan bahwa aksara Lontara berpangkal pada
kepercayaan dan pandangan mitologis orang Bugis Makassar, yang memandang
bahwa alam semesta ini sebagai Sulapa Eppa' Walasuji (segi empat belah

4
ketupat). Sarwa alam ini, adalah satu kesatuan, dinyatakan dalam simbol / s / = sa
yang berarti / esw / = seua (tunggal atau esa. = sa Simbol / s / ini menyimbolkan
mikrokosmos atau sulapa eppa'na taue (segi empat tubuh manusia). Pada puncak
huruf ini terletak kepalanya, di sisi kiri dan kanan adalah tangannya dan ujung
bawah adalah kakinya.
Huruf ini juga mengsimbolisasikan bahwa pada bagian kepala terdapat sw
yang berarti mulut atau tempat keluarnya suara. Menurut mereka, dari mulutlah
segala sesuatu dinyatakan yang berupa sd atau bunyi. Bunyi-bunyi itu selanjutnya
disusun sehingga mempunyai maknamakna (simbol) yang disebut ad = ada (kata,
sabda, titah). Dari kata ad inilah segala sesuatu yang meliputi seluruh tertib
kosmos (sarwa alam) diatur melalui ad =ada (kata atau logos). Hurupu sulapa
eppa ini juga menyimbolkan elemen-elemen kehidupan di alam semesta yaitu
Tuhan, Manusia, langit dan bumi beserta isinya. Selain itu simbol s juga
memaknakan empat sifat manusia yang di simbolkan melalui angin, air, api dan
tanah yang masing masing diwakili oleh empat warna. Warna angin kuning,
warna air putih, warna api merah dan Awarna tanah hitam. Pada acara-acara
tertentu (acara adat) dikalangan orang Bugis Makassar, biasanya disajikan empat
macam nasi ketan (songkolo) dengan empat macam warna yaitu putih, kuning,
merah dan hitam. Konon selera orang yang Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III
No. 1 Mei 2008, 001-110 22 mengambil warna songkolo tertentu mewakili
karakter yang bersangkutan.

2.3 Makna
Beberapa versi yang membahas mengenai appaka sulapa’ (empat persegi),
Ada yang beranggapan falsafah ini membawa empat unsur kehidupan yaitu Api,
Angin, Air, dan udara dalam kajian lebih lanjut kita akan mendapati Bahwa
keempat unsur tadi kemudian akan membawa sifat-sifat serta kebutuhan dalam
diri manusia.
1. Menjaga tanahnya (sifat tanah mengatakan), bagaimana menjaga mulut.
2. Menjaga angin (sifat anginnya mencium), bagaimana  menjaga
pergaulannya.
3. Menjaga apinya (sifat api melihat), membuat  diri terjaga dan saksama.

5
4. Menjaga airnya (sifat air mendengar), bagaimana memilih dan
menentukan perbuatannya.
Dalam Versi ini Appaka Sulapa juga Mengaitkan dengan Tubuh, Hati,
Nyawa, Rahasia dimana dalam empat usur ini juga dihubungkan dengan
pembuatan senjata tradisional (Badik/pisau) bagi orang Bugis/Makassar Badik
dianggap sebagai saudara yang selalu menjaganya. Pembuatan badik kemudian di
sesuaikan ukurannya dengan orang yang akan memakainya dengan mengambil
dasar hitungan dari sulapa appa.
Kemudian versi lain mengaitkan appaka sulapa’ adalah tingkatan dari Ilmu
agama Islam yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat, Ma’rifat. dalam dua versi ini kita
bisa membandingkan seperti apa kaitan atau peran Adat kepada Ilmu agama,
maka tak heran jika dalam tradisi-tradisi orang terdahulu akan di temukan hal-hal
yang terkesan dan berbau Spiritual, atau seringkali dikaitkan dengan entitas
Metafisika.
Falsapah inilah yang kemudian dijadikan bekal bagi orang Bugis/Makasar
dalam menata kehidupan dimanapun berada, hal Itulah yg menyebabkan mengapa
orang Bugis/Makassar’ mudah berassimilasi dan berintegrasi dengan kehidupan
masyarakat sekitarnya yang juga memengang teguh yang namanya Sipaka’labiri,
Sipaka’tau, sipaka’inga.
Adapun juga beranggapan falsapah SULAPA’ APPA’ itu :
1. Peneguhan seteguhnya hubungan kita dengan Sang Pencipta (Allah
SWT), 
2. Perkuat sekuat-kuatnya hubungan kita dengan sesama ummat manusia
tanpa membeda-bedakan asal usul dan latar belakang mereka,
3. Keramahan seramah-ramahnya kepada alam semesta dan lingkungan
sekitar
4. Dan bersenyawa seutuhnya dengan diri/jiwa kita sendiri.

6
2.3.1 Motif Utama

Perputaran keempat titik perlambang unsur kejadian itu menjadi simbol


kehidupan yang menciptakan alur dan simpul jejak takdir, tergambar bagaikan
jentera berlengan sama sisi yang ditekuk 90 derajat, berputar dari kiri ke kanan,
sebagaimana itu disebut di Luwu sebagai “Panji Sulapa’ PappEjeppu” dan biasa
juga disebut “Panji Kadang”.
Bukti arkeologi paling awal mendapati bahwa simbol ornamen ini
ditemukan sejauh Peradaban Lembah Indus, India Kuno. Simbol yang dikenal
dalam Agama Hindu, Budha dan Jainisme sebagai swastika ini juga telah
digunakan dalam berbagai peradaban kuno lainnya di seluruh dunia (Cina, Jepang,
Eropa, Amerika, Afrika dan Arab), didapati kesamaan pemaknaan terdalam

7
tentang rahasia alam semesta dan kehidupan didalamnya yang terlepas dari
persepsi ukuran dan skala.
Bahwa kehidupan tercipta dari garis perhubungan empat titik dengan
poros yang berputar, menciptakan garis dan alur tak terputus, sehingga itu disebut
sebagai “Singkerru’ Mulajaji, DE’ pammulangna, DE’ cappa’na, PuengngEmi
Missengngi pabbunganna” (simpul kelahiran awal mula, tiada awal, tiada akhir,
hanya Tuhan Yang Tahu titik jalinannya).

2.3.2 Motif Pendukung

Simbol “Sulapa Appa” dalam tulisan Lontara Makassa dibaca sebagai


huruf “SA”, bermakna seua, yang berarti “tunggal” atau “esa”. 
Aksara lontara ini berpangkal pada pandangan mitologis orang Bugis-
Makassar, yang mengandaikan alam semesta ini adalah Sulapa Appa’ Walasuji
(“segi empat belah ketupat”). Huruf “SA” juga melambangkan “empat unsur
alam” yang menjadi sifat manusia, yakni angin, air, api, dan tanah. Ke empat
unsur alam ini bertalian dengan warna, yaitu kuning, putih, merah dan hitam.
Lebih jauh, simbol “sa” di atas melambangkan “empat sisi tubuh manusia”. Paling
atas adalah kepala, sisi kiri dan kanan adalah kedua tangan, dan paling bawah
adalah kaki. Orang bugis-makassar juga  melihat appaka sulapa dalam segi
Pengetahuan Agama Islam  yaitu Syariat,
Tarekat, Hakikat, Ma’rifat. mengidealisasikan
manusia sulapa appa’, manusia yang menjaga

8
prinisp kesetimbangan atas-bawah (keadilan), kiri-kanan (kesetaraan). Dengan
alam, manusia sulapa appa’ mengemban tanggung jawab untuk merawat kearifan
lokal, keselarasan dalam tata kelolanya serta hubungan manusia dan sang pencipta
Allah SWT.
Jika orang yang memahami adat maka dia akan mengerti akan makna di
balik kalimat ini ” Punna ero’ko ampabajiki tallasa’nu ri lino, isseng baji’ laloi
nikanaya appaka sulapa” (jika engkau ingin kebaikan di hidupmu kenalilah
dengan baik appaka sulapa’),
Segi empat belah ketupat ditafsirkan sebagai model dari kosmos. Model kosmos
dihubungkan dengan adanya empat sarwa alam, yaitu: udara, air, api, dan tanah,
yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Keempat unsur ini adalah empat
jenis sifat yang dimiliki oleh "manusia yang berbicara".
Sifat air adalah sifat yang dapat menyesuaikan dengan lingkungannya.
Ketika air dituang ke dalam bejana segiempat, maka ia akan berbentuk segiempat,
bila ke dalam bejana bundar, maka ia pun berbentuk bundar. Sifat ini dipandang
tidak konsisten karena keputusannya tergantung dimana ia berada, sehingga tidak
memenuhi syarat sebagai pembuat keputusan. Sifat air yang tidak tetap dan
mengalir ke tempat yang paling rendah, tidak sesuai bila dimiliki seorang
pemimpin, yang seharusnya memberi bentuk kepada bawahannya.
Sifat api yaitu sifat seseorang yang gampang dikuasai oleh amarah, jika
sekali saja disinggung perasaannya, ia akan membalas dendam kapan pun bila ia
punya kesempatan. Ia tidak mempertimbangkan apa yang terbaik bagi semua
orang tetapi hanya bagi dirinya sendiri. Sifat ini akan menimbulkan perselisihan
antara dirinya dan orang yang dipimpinnya. Ia tidak memperdulikan saran dan
kemauan orang banyak, lebih banyak mementingkan diri sendiri, dan jika ada
yang melebihinya makan akan ditentangnya.
Sifat angin, yaitu orang yang tergantung pada arah angin. Jika angin
bertiup dari Barat, maka ia ikut ke Timur, jika bertiup dari Selatan, ia ke Utara. Ia
tidak memiliki sikap tegas, keputusannya tergantung pada orang banyak, bukan
pada apa yang terbaik menurut pertimbangan terbaiknya.
Sifat tanah, merupakan sifat yang terbaik, sebab ia tidak pernah goyah, ia
dapat bertahan bila dibanjiri air, dihempas angin dan terbakar api. Bila dialiri air,

9
ia menjadi lunak, dibakar dengan api ia mengeras bagai batu-bata dan bila diterpa
angin ia tak bergeming. Inilah sifat terbaik yang seharusnya dimiliki seorang
pemimpin.

2.3.3 Motif Isian

Motif isian merupakan karakteristik yang sangat Indonesia, khusunya


jawa. Dalam prose pembuatan motif, ternyata ada disebut isian atau ornament
pengisi. Ornamen ini melengkapi motif utama sebagai hiasan atau mempercantik
motif, isian dapat siterjemahkan sebagai ‘islam’

Motif isian merupakan motif untuk memperindah pola secara keseluruhan, baik
ornament utama maupun maupun ornament pendukung diberi isian berupa titik-
titik, garis-garis, gabungan titik dan garis.
Dalam ornament sulappa Eppa terdapat berbagai motif isian berupa titik,
lingkaran berwanra emas, dan kumpulan manik-maik seperti garis yang
menggantung disekitar ornament belh ketupat untuk memperindah atau
mempercantik ornament tersebut sehingga ornament ini tidak pernah lepas dari
dekorasi yang ada dalam acara suku bugis-makassar, seperti acara pernikahan.

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ornamen merupakan salah satu produk kebudayaan, keberadaan ornamen
hadir seiring dengan terciptanya kebutuhan manusia. Pada awalnya ornamen
merupakan bagian dari ritual. Ornamen adalah gambaran ekspresi manusia
menaklukkan alam, dalam hal ini tumbuhtumbuhan dan binatang sebagai
cerminan pada lukisan-lukisan di dinding gua manusia purba. Menurut
Wikipedia Lontara ialah aksara asli masyarakat bugis-makassar. Jadi bukan
asimilasiapalagi pengaruh budaya lain, termasuk india. bentuk aksara lontara
menurut budayawan Prof Mattulada (alm) berasal dari "sulapa eppa wala suji".
Wala suji berasal dari kata wala = pemisah/pagar/penjaga dan suji = putri. Wala
Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat.
Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik
yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah.

3.2 Saran
Sangat penting adanya sebagai penerus perlu memanifestasi ornamen-
ornamen pada setiap bangunan bersejarah agar kedepannya tidak buta sejarah.

11
DAFTAR PUSTAKA

https://www.kompasiana.com/komentar/wawan_supriadi/54ff46dca33311764c50f
936/mengenal-aksara-lontara-bugis
http://eprints.unm.ac.id/17115/1/Jurnal%20CD%20New.pdf
https://id.wikipedia.org/wiki/Istana_Luwu
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20393181-Bugis%20-%20makassar,
%20manusia%20dan%20kebudayaannya.pdf

12

Anda mungkin juga menyukai