Hubungan Fisioterapis Dengan Pasien

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 4

Hubungan Fisioterapis dengan Pasien

Hubungan interpersonal tidaklah bersifat statis, tetapi selalu berubah. Untuk memelihara

dan memperteguh hubungan interpersonal, perubahan memerlukan tindakan tertentu untuk

mengembalikan keseimbangan. Ada empat factor yang penting dalam memelihara keseimbangan

yaitu: keakraban, control, respons yang tepat dan nada emosional yang tepat (Rakhmat, 2005).

Pola-pola komunikasi interpersonal mempunyai efek yang berlainan pada hubungan

interpersonal tergantung bagaimana komunikasi itu dilakukan. Faktor-faktor yang menumbuhkan

hubungan interpersonal yang baik adalah: percaya, sikap supportif. Dalam pengembangan

hubungan juga ada tidak kepastian, dengan adanya tingkat ketidakpastian yang tinggi pada

permulaan pase awal, ketika jumlah komunikasi verbal antara dua asing meningkat, tingkat

ketidakpastian dalam suatu hubungan akan menurun. Jika ketidak pastian menurun, jumlah

komunikasi verbal meningkat. Ketika ekspresi nonverbal meningkat, tingkat ketidak pastian

menurun dalam situasi interaksi awal. Kemiripan diantara orang akan mengurangi ketidak

pastian (West & Turner, 2008).

Menurut Swain dan French (1999) dalam penelitiannya pada umumnya fisioterapis

keterampilan komunikasi sangat kurang sehingga akan mengalami:

1) Kegagalan untuk menyambut pasien secara wajar, untuk memperkenalkan dirinya sendiri,

dan menjelaskan tindakan mereka.

2) Tidak siap dalam memberikan keterangan, terutama yang mencemaskan dan yang menjadi

harapan.

3) Memperoleh keterangan yang tidak tepat dan sulit mendapatkan klarifikasi.

4) Kesulitan menjawab pertanyaan dan memberi anjuran .

5) Mengelak informasi sekitar pribadi, keadaan keluarga meliputi masalahnya.


Selanjutnya dikatakan bahwa dengan meningkatkan komunikasi akan meningkatkan

pengetahuan, kepuasan, dan kepatuhan pasien sehingga cepat menentukan diagnosis yang tepat.

Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua

pihak, pasien dan fisioterapis. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi

dengan pasien hanya akan menyita waktu fisioterapis, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya

bila fisioterapis dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak

hal-hal negatif dapat dihindari. Fisioterapis dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan

keluarganya dan pasien pun percaya sepenuhnya kepada fisioterapis. Kondisi ini amat

berpengaruh pada proses penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman

ditangani oleh fisioterapis sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat fisioterapis

karena yakin bahwa semua yang dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya

bahwa fisioterapis tersebut dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatannya.

Kegagalan berkomunikasi sering menimbulkan kesalah pahaman, kerugian, dan bahkan

malapetaka. Resiko tersebut tidak hanya pada tingkat individu, tetapi juga pada tingkat lembaga,

komunitas, dan bahkan Negara (Mulyana, 2008).

Ada dua tipe yang penting dalam hubungan interpersonal (Littlejohn& dan Foss. 2009)

yaitu hubungan simetris (symmetrical relationship) dimana dua orang yang berkomunikasi saling

merespon bersama dan hubungan perlengkapan (complementary) dimana pelaku komunikasi

merespons dengan cara yang berlawanan.

Namun disadari bahwa fisioterapis di Indonesia belum disiapkan untuk melakukannya.

Dalam kurikulum fisioterapi, membangun komunikasi efektif fisioterapis-pasien belum menjadi

prioritas. Untuk itu dirasakan perlunya memberikan pedoman untuk fisioterapis guna

memudahkan berkomunikasi dengan pasien dan atau keluarganya. Melalui pemahaman tentang
hal-hal penting dalam pengembangan komunikasi fisioterapis-pasien diharapkan terjadi

perubahan sikap dalam hubungan fisioterapis-pasien.

Tujuan dari komunikasi efektif antara fisioterapis dan pasiennya adalah untuk

mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk fisioterapis, lebih

memberikan dukungan pada pasien (Swain & French, 1999).

Komunikasi berdasarkan kepentingan fisioterapis dalam usaha menegakkan diagnosis, termasuk

penyelidikan dan penalaran klinik mengenai tanda dan gejala-gejala.

Komunikasi berdasarkan apa yang dirasakan pasien tentang penyakitnya yang secara

individu merupakan pengalaman unik. Di sini termasuk pendapat pasien, kekhawatirannya,

harapannya, apa yang menjadi kepentingannya serta apa yang dipikirkannya (Ali et al.,2006).

Dengan kemampuan fisioterapis memahami harapan, kepentingan, kecemasan, serta

kebutuhan pasien akan menjalin hubungan yang lebih baik dan aka menumbuhkan kepercayaan

sehingga penanganan penyakitnya akan lebih tepat. Keberhasilan komunikasi antara fisioterapis

dan pasien pada umumnya akan melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak,

khususnya menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat

dikembangkan apabila fisioterapis memiliki ketrampilan mendengar dan berbicara yang

keduanya dapat dipelajari dan dilatih (Swain & French, 1999)..

Ada enam tingkat empati yang dikodekan dalam suatu system (Ali et al., 2006), yaitu:

Level 0: Menolak sudut pandang pasien

Level 1: Mengenali sudut pandang pasien secara sambil lalu

Level 2: Mengenali sudut pandang pasien secara implisit

Level 3: Menghargai pendapat pasien

Level 4: Mengkonfirmasi kepada pasien


Level 5: Berbagi perasaan dan pengalaman dengan pasien

Empati pada level 3 sampai 5 merupakan pengenalan fisioterapis terhadap sudut pandang pasien

tentang penyakitnya, secara eksplisit.

Pada dasarnya hubungan fisioterapis adalah interpersonal disini harus terjalin

symmetrical relationship dan complementary sehingga akan memperleh hal yang diharapkan.

Komunikasi yang efektif akan dapat dicapai dengan menciptakan rasa empati terhadap pasien.

Dengan kemampuan fisioterapis memahami harapan, kepentingan, kecemasan, serta kebutuhan

pasien akan menjalin hubungan yang lebih baik dan akan menumbuhkan kepercayaan sehingga

penanganan penyakitnya akan lebih tepat. Hal ini akan melahirkan kenyamanan dan kepuasan

bagi kedua belah pihak

Penyebab hubungan tidak seimbang tenaga kesehatan dan pasien adalah perbedaan

pengetahuan tentang sehat dan sakit, pasien pihak yang membutuhkan mennyebakan pasien

menjadi individu yang dibawah. Dalam kondisi ini pentingnya pendidikan kesehatan kepada

pasien sehingga hubungan pasien dan tenaga kesehatan dapat sederajat hanya berbeda dalam hak

dan kewajiban (Sulastomo, 2007)

Dalam interaksi komunikasi adalah merupakan hal yang penting dalam pela layanan

kesehatan , komunikasi merupakan landasan fisioterapis pada pasien untuk mendapatkan

disgnose, terapi dan pencegahan penyakit lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai