Anda di halaman 1dari 5

Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan penyakit yang terjadi

setelah berbagai macam penyakit yang merusak masa nefron ginjal sampai

pada titik keduanya tidak mampu untuk menjalankan fungsi regulatorik

dan ekstetoriknya untuk mempertahankan homeostatis (Lukman et al.,

2013). Gagal gijal kronik secara progresif kehilangan fungsi ginjal

nefronnya satu persatu yang secara bertahap menurunkan keseluruhan

fungsi ginjal (Sjamsuhidajat & Jong, 2011).

Setiap tahun penderita penyakit gagal ginjal meningkat, di

Amerika serikat pada tahun 2002 sebanyak 34.500 penderita, tahun 2007

80.000 penderita, dan tahun 2010 mengalami peningkatan yaitu 2 juta

orang yang menderita penyakit ginjal. Sedangkan di Indonesia menurut

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia jumlah yang menderita

penyakit gagal ginjal kronik sekitar 50 orang per satu juta penduduk

(Lukman et al., 2013). Data Dinkes Jawa tengah (2008) bahwa angka

kejadian kasus gagal ginjal di Jawa Tengah yang paling tinggi adalah Kota

Surakarta dengan 1497 kasus (25.22 %) dan di posisi kedua adalah

Kabupaten Sukoharjo yaitu 742 kasus (12.50 %).

Tindakan medis yang dilakukan penderita penyakit gagal ginjal

adalah dengan melakukan terapi dialisis tergantung pada keluhan pasien

dengan kondisi kormobid dan parameter laboratorium, kecuali bila sudah

ada donor hidup yang ditentukan, keharusan transplantasi terhambat oleh

langkanya pendonor. Pilihan terapi dialisis meliputi hemodialisis dan

peritoneal dialisis (Hartono, 2013).

Hemodialisis (HD) merupakan salah satu terapi untuk mengalirkan

darah ke dalam suatu alat yang terdiri dari dua kompartemen yaitu darah
dan dialisat. Pasien hemodialisis mengalami kecemasan karena takut

dilakukan tindakan terapi hemodialisis. Menurut Soewandi (2002)

gangguan psikiatrik yang sering ditemukan pada pasien dengan terapi

hemodialisis adalah depresi, kecemasan, hubungan dalam perkawinan dan

fungsi seksual, serta ketidakpatuhan dalam diet dan obat-obatan.

Mengatasi masalah kecemasan pada pasien yaitu dapat berupa

tindakan mandiri oleh perawat, contoh seperti teknik relaksasi dan

distraksi (Potter, 2006). Teknik yang digunakan untuk mengatasi

kecemasan pada pasien adalah dengan terapi relaksasi progresif, karena

relaksasi progresif merupakan teknik merelaksasikan otot dalam pada

bagian tubuh tertentu.

Penelitian yang dilakukan oleh junait (2003) di RS Dokter Karyadi

Semarang menunjukan tingkat kecemasan pasien yang mengalami terapi

Hemodialisis didapatkan penderita dengan cemas berat 6 orang, cemas

sedang 15 orang, cemas ringan 4 orang, tidak cemas 6 orang. Dari

penelitian tersebut 80% penderita mengalami kecemasan.

Hasil studi pendahuluan pada tanggal 27 Februari 2014 jam 09.00

di ruangan hemodialisa RSUD Kabupaten Sukoharjo pada bulan

November 2013 - Januari 2014 terdapat 82 pasien gagal ginjal kronik baru.

Setiap hari ada 40 pasien yang melakukan terapi hemodialisis dan dari

pengkajian menggunakan Instrumen HRS-A pada 10 pasien. Terdapat 3

pasien mengalami cemas ringan, 4 pasien cemas sedang dan 3 pasien

cemas berat.

Definisi Gagal Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan


etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang

progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal

ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi

ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi

pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.8,9

Gagal ginjal kronis (chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal

progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan

limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya

jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal. Gagal ginjal kronis

(GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal

yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,

menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam

darah).10,12

A.2. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit

yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang

terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan

hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving

nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul

vasoaktif seperti sitokinin dan growth faktor. Hal ini mengakibatkan

terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan

aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan penurunan
fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit

dasarnya sudah tidak aktif lagi.

Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron


intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,

sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin- angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh transforming growth

factor β (TGF-β). Beberapa hal juga yang dianggap berperan terhadap

terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,

hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas

interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun

tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik,

terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana

basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara

perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif,

yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin seru

Latar belakang

BPH merupakan kelainan pembesaran kelenjar yaitu hiperplasia yang

mendesak jaringan asli keporifer. Pada pasien BPH usia lanjut sangat

memerlukan tindakan yang tepat untuk mengantisipasinya. Sebagai salah satu

tindakan yang akan dilakukan adalah dengan operasi prostat atau

prostatektomi untuk mengangkat pembesaran prostat. Dari pengangkatan

prostat, pasien harus dirawat inap sampai keadaannya membaik, guna

mencegah komplikasi lebih lanjut. (Suwandi, 2007)

Menurut Silva (2007), BPH dianggap menjadi bagian dari proses

penuaan yang normal. Walaupun demikian, jika menimbulkan gejala yang

berat dan tidak segera ditangani dapat menimbulkan komplikasi yang


mungkin terjadi pada penderita BPH yang dibiarkan tanpa pengobatan adalah

pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat sisa urin setelah buang air

kecil, sehingga terjadi pengendapan batu. Bila tekanan intra vesika yang

selalu tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter

dan hidronefrosis yang akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.

Di Dunia, dapat dilihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an,

kemungkinan seseorang itu menderita penyakit ini adalah sebesar 40%, dan

setelah meningkatnya usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya meningkat

menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisa

Anda mungkin juga menyukai