Anda di halaman 1dari 46

GANGGUAN PENYALAHGUNAAN ZAT DAN

KECANDUAN NON ZAT

Disusun oleh:

Kelompok 5
Akhmad Zhauqi T. 111611133144
M. Chalil Hukama B. 111611133150
Elvia Agustya T. 111711133065
Farisa Alyani D. 111711133109
Sheila N. Maulida 111711133140
Chansa Visyahra N. 111711133146
Psikopatologi C-1

Fakultas Psikologi

Universitas Airlangga

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1

BAB I KERANGKA TEORI 3

1.1 Gangguan Penyalahgunaan Zat 3

Error! Bookmark not defined.3

Error! Bookmark not defined.10

Error! Bookmark not defined.14

Error! Bookmark not defined.18

Error! Bookmark not defined.22

1.2 Gangguan Penyalahgunaan Non-Zat 30

Error! Bookmark not defined.30

Error! Bookmark not defined.32

BAB II ANALISIS KASUS 34

2.1 Deskripsi Kasus Secara Umum 34

Error! Bookmark not defined.34

Error! Bookmark not defined.34

Error! Bookmark not defined.35

2.2 Analisis Kasus 36

Error! Bookmark not defined.36

Error! Bookmark not defined.36

1
2.3 Diagnosa Multiaksial 37

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 39

3.1 Kesimpulan 39

3.2 Saran 39

DAFTAR PUSTAKA 40

LAMPIRAN...........................................................................................................41

2
BAB I

KERANGKA TEORI

1.1 Gangguan Penyalahgunaan Zat

1.1.1 Rokok (Tobacco-Related Disorder)

1.1.1.1 Definisi Sindrom

Penggunaan atau konsumsi tembakau yang kronis diklasifikasikan sebagai


gangguan karena efek yang disebabkan oleh nikotin (yang terkandung dalam
produk-produk tembakau seperi rokok) menyebabkan penurunan atau impairment
pada aspek psikologis dan neurobiologis.

Seseorang bisa disebut mengalami tobacco use disorder apabila ia


mengalami setidaknya dua dari 11 gejala yang dialami secara berturut-turut
selama 12 bulan. Gangguan ini biasa ditemui pada orang yang mengonsumsi
rokok maupun smokeless tobacco dalam sehari-harinya serta jarang pada orang
yang tidak mengonsumsi tembakau serta orang-oarang yang menjalani
pengobatan nikotin. Secara budaya, rokok yang dianggap legal juga turut serta
berpengaruh pada tingginya angka individu yang mangalami gangguan ini.

Nikotin menimbulkan efek kesenangan sementara di otak, yang membuat


seseorang ketergantungan. Akibatnya orang yang kecanduan nikotin akan merasa
cemas dan mudah marah jika tiba-tiba tubuhnya tidak mendapatkan asupan
nikotin. Sementara, racun yang terkandung dalam rokok menyabkan individu
yang kecanduan nikotin memiliki resiko tinggi terkena serangan jantung, strok,
dan kanker dibanding mereka yang tidak merokok.

Toleransi terhadap tembakau ditunjukkan dengan hilangnya rasa mual dan


pusing setelah berulang kali dan secara intens menggunakan atau mengkonsumsi
rokok (lebih sering atau lebih banyak daripada saat pertama kali
mengonsumsinya.

3
1.1.1.2 Gejala

Dalam DSM-V (Diagnostic ans statistical manual of mental disorder. fifth


edition) oleh American Psychiatric Association, individu bisa dikatakan
mengalami tobacco use disorder apabila mengalami setidaknya dua gejala secara
berturut-turut selama 12 bulan dari keseluruhan gejala yang disebutkan. Gejala
dari tobacco use disorder adalah:

a) Seringkali penggunaan tembakau melebihi jumlah yang


diperbolehkan dan terus mengalami peningkatan.

b) Terdapat keinginan yang kuat serta usaha yang tidak berhasil untuk
mengurangi atau mengontrol penggunaan tembakau.

c) menghabiskan banyak wkatu untuk menggunakan tembakau.

d) Merasa lapar atau memiliki keinginan yang kuat/besar untuk


menggunakan tembakau.

e) Penggunaan tembakau yang ebrulang menyebabkan kegagalan


dalam memenuhi keperluan pekerjaan, sekolah, atau rumah (contoh:
mengalami kesulitan dalam bekerja).

f) Tetap menggunakan tembakau meskipun terdapat permasalahan


sosial atau interpersonal baik secara tetap atau sementara yang
diakibatkan oleh penggunaan tembakau (contoh: terlibat perdebatan
tentang penggunaan tembakau dengan orang lain).

g) Mengurangi bahkan menghilangkan kegiatan penting sosial,


kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kegiatan
rekreasional karena penggunaan tembakau.

h) Penggunaan tembakau secara berulang pada situasi yang dapat


membahayakan diri secara fisik (contoh: menggunakan tembakau di
tempat tidur).

4
i) Tetap menggunakan tembakau meskipun telah mengetahui dampak
yang ditimbulkan dapat membahayakan secar fisik maupun psikis.

j) Toleransi didefinisikan sebagai berikut:

1) Keinginan untuk meningkatkan jumlah penggunaan


konsumsi untuk mencapai efek yang diharapkan pengguna.

2) Berkurangnya dampak penggunaan tembakau dalam jumlah


penggunaan yang sama.

k) Withdrawal termanifestasi sebagai berikut:

1) Karakteristik atau ciri withdrawal syndrome untuk


tembakau.

2) Tembakau digunakan untuk meringankan atau menjauhi


gejala withdrawal.

Gejala Withdrawal

a) Penggunaan tembakau sehari-hari atau setidaknya dalam beberapa


minggu.

b) Berhenti secara tiba-tiba untuk menggunakan atau mengonsumsi tembakau


atau mengurangi jumlah konsumsi tembakau yang dalam kurun waktu 24 jam atau
lebih diikuti oleh empat atau lebih gejala berikut:

1) Mudah marah, frustrasi, gelisah

2) Cemas

3) Suslit konsentrasi

4) Nafsu makan bertambah

5) Gelisah

6) Depresi

7) Insomnia

5
c) Gejala dalam kriteria B yang menyebabkan distress klinis yang signifikan
ataupun penurunan dalam segi pekerjaan, sosial, atau fungsi penting lainnya.

d) Gejala yang muncul tidak dikarenakan oleh kondisi medis lain dan tidak
dapat dijelaskan oleh gangguan mental lainnya. Termasuk intoxication atau
withdrawal dari zat lain.

1.1.1.3 Etiologi

Dalam Cohen et al (2003), ketergantungan pada nikotin dijelaskan melalui


pendekatan biopsikososial. Begitu pula ketergantungan pada tembakau. Dalam
jurnalnya, Cohen et al menyebutkan bahwa terdapat interaksi serta hubungan
antara perilaku, emosi, serta kognitif seseorang untuk menimbulkan
ketergantungan ini. Selain itu, penggunaan zat yang sudah parah atau kronis turut
menimbulkan efek farmakologis pada otak (Rose dan Levin dalam Cohen et al
2003) dan sensitisasi pada sistem neurobiologis seseorang (Robinson dan
Berridge dalam Cohen et al 2003).

Secara umum, perilaku penggunaan tembakau yang berujung pada


tobacco use disorder ini disebabkan oleh kemampuan nikotin untuk
meningkatkan atau menambah efek yang diinginkan/desirable effects (positive
reinforcement) dan mengurangi efek yang tidak diharapkan (negative
reinforcements). Konsumsi tembakau yang berulang serta berkelanjutan atau
terus-menerus pada situasi, lingkungan, serta kondisi emosional tertentu inilah
yang selanjutnya mengarahkan pada tobacco use disorder. Contohnya, saat
seseorang mengonsumsi rokok setelah makan. Ia akan terus merokok setelah ia
memakan sesuatu, bahkan tanpa ia sadari.

a) Positive Reinforcement and Sensitization

Sistem dopamin mesolimbik yang menjadi “reward center” atau pusat


kesenangan dalam otak yang membentuk perilaku terarah (goal-directed),
termasuk penggunaan zat. Saat seseorang menggunakan atau mengkonsumsi

6
tembakau, zat nikotin yang terkandung di dalamnya mengaktifkan sistem ini
sehingga tubuh menghasilkan hormon dopamin atau hormon
kesenangan/kebahagiaan. Seiring berjalannya waktu, semakin terbiasa dengan
penggunaan tembakau ini, efek nikotin pada sistem dalam otak semakin kuat.
Sistem dopamin mesolimbik ini semakin peka pada efek yang ditimbulkan.
Apalagi, nikotin juga memberikan efek neoruadaptif di mana nikotin
menimbulkan dampak penurunan atau penumpulan kemampuan melepaskan
dopamin secara alami. Maka dari itu, individu yang mengalami tobacco use
disorder tidak bisa lepas dari rokok atau produk tembakau lain. Karena sistem
pada otak mereka telah mengalami sensitization dari efek nikotin. Para pengguna
tembakau ini tidak akan memperoleh kepusan apabila mereka belum
mengonsumsi tembakau tersebut.

Selain berdampak pada pelepasan hormon dopamin, nikotin juga


berdampak pada glutamat. Glutamat berperan dalam penguatan efek nikotin serta
membuat efek ini tersimpan pada memori jangkan panjang (long-term memory)
individu. Selanjutnya, ketika tubuh sudah terbiasa dengan kepuasan yang
ditimbulkan oleh nikotin serta kepuasan ini telah tersimpan dalam memori, hal ini
akan menjadi motivasi atau pendorong individu untuk tersut mengkonsumsi
tembakau.

b) Negative Reinforcement

Disebutkan bahwa nikotin mampu mengurangi efek yang tidak


diharapakan (negative reinforcement). Nikotin memiliki kemampuan untuk
memanipulasi jumlah serotonin (salah satu neurotransmitter dalam otak). Ketika
tubuh mengonsumsi tembakau, rokok misalnya, maka serotonin akan meningkat.
Sebaliknya, ketika seorang pengguna tembakau tidka mengkonsumsi tembakau
atau rokok yang biasa ia konsumsi, serotonin dalam otak akan menurun. Serotonin
yang memiliki andil dalam perasaan bahagia atau mood postif ini akan
berpengaruh pada regulasi emosi seseorang. Hal inilah yang menyebabkab orang
dengan tobacco use disorder menggunakan tembakau sebagai pengalihan atau
untuk mengurangi emosi-emosi negatif atau mood negatif yang ia alami saat tidak

7
mengkonsumsi rokok. Contoh, seseorang yang baisa merokok tidak memiliki
kesempatan untuk merokok dalam waktu yang lama karena alasan tertentu,
akhirnya jumlah serotonin dalam otaknya rendah akibat manipulasi jumlah yang
telah dilakukan nikotin. Ketika jumlah serotonin rendah, ia akan memiliki regulasi
emosi yang buruk, ia akan merasakan emosi-emosi negatif (misalnya gelisah,
resah, dll) dan membutuhkan rokok atau produk tembakau lain untuk
menghilangkan emosi negatif yang dialaminya. Apalagi, dengans eorong
berjalannya wkatu kemampuan pelepasan dopamin secara alami terus menurun
akibat nikotin. Sehingga harus ada nikotin yang diserap tubuh (mengkonsumsi
tembakau) untuk membahagiakan diri atau mencari kepuasan atau menghindari
emosi negatif yang dialaminya.

c) Classical Conditioning

Classical conditioning digambarkan dalam skema sebagai berikut:


konsumsi tembakau (penggunaan nikotin) sebagai unconditioned stimuli dan efek
dari nikotin sebgai unconditioned response. Ketika penggunaan nikotin ini
berpadu dengan stimulus netral akan menghasilkan respon yang terkondisi yang
akhirnya semakin memperkuat penggunaan tembakau.

Faktor lain yang menyebabkan tobacco use disorder adalah temperamen,


lingkungan serta genetik dan fisiologis.

1) Tempramen

Orang dengan externalizing personality memiliki kecenderungan untuk


menggunakan tembakau. Misalnya, anak hiperaktif atau atention-deficit, orang
dewasa yang mengalami bipolar, depresi, kecemasan, psikotik, atau gangguan
terkait lainnya memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menggunakan
tembakau dan berlanjut pada tobacco use disorder.

2) Lingkungan

Orang dengan penghasilan yang lebih rendah serta pendidikan yang lebih
rendah memiliki kemampuan untuk merokok dan memiliki intensi yang lebih

8
rndah untuk berhenti. Tidak hanya itu, kebiasaan merokok biasa dimulai dari
lingkungan. Misalnya pada kasus remaja yang memiliki teman perokok akan lebih
berisiko untuk merokok. Begitu pula dengan anak yang memiliki ayah perokok
akan lebih mungkin untuk merokok, dalam beberapa kasus, pengalaman merokok
pertama yang dialami oleh seseorang adalah saat ia mencuri rokok ayahnya.

3) Genetik, Budaya, dan Gender

Faktor genetik juga turut berpengaruh pada perkembangan tobacco use


disorder. Heritabilitas kecanduan penggunaan zat menurun sebanyak 50%, anak
kembar identik memiliki heritabilitas yang lebih tinggi (sekitar 53%)
daripada anak kembar non-identik dalam kasus tobacco use disorder.

Selain genetik, budaya serta gender juga turut berpengaruh. Misalnya,


jumlah perokok perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan yang cukup
signifikan. Hal ini karena adanya anggapa bahwa perempuan yang merokok itu
tabu. Sedangkan di negara Barat seperti Amerika, jumlah perbandingan ini tidak
begitu signifikan (Cohen, McChargue, Cortez-Garland, Prensky, & Emery, 2003)

1.1.1.4 Pengukuran dan Diagnosis

Dalam DSM-V disebutkan bahwa individu bisa dikatakan mengalami


tobacco use disoreder apabila mengalami setidaknya 2 gejala dari 11 gejala yang
telah disebutkan. Selain itu, dalam DSM-V, terdapat 3 tingkat keparahan tobacco
use disorder yaitu:

a. 305.1 (Z72.0) Ringan: terdapat 2-3 gejala

b. 305.1 (F17.200) Sedang: terdapat 4-5 gejala

c. 305.1 (F17.200) Parah: terdapat 6 atau lebih gejala

Diagnostic features pada tobacco use disorder meliputi, hilangnya rasa


pusing dan mual ketika mengulangi konsumsi tembakau serta dampak yang lebih
intens dari penggunaan awal, kebanyakan individu menggunakan tembakau untuk
mengurangi gejala withdrawal. Penggunaan tembakau ini menyebabkan

9
kegagalan dalam menyelesaikan tugas pada aspek penting, masalah sosial dan
inetrpersonal yang menonjol, serta penggunaan yang membahayakan fisik muncul
pada prevalensi menengah

Intervensi yang bisa dilakukan untuk menangani tobacco-use disorder


adalah sebagai berikut:

1) Farmakoterapi

2) Psikoterapi

1.1.2 Marijuana (Cannabis-Related Disorder)

1.1.2.1 Definisi Sindrom

Marijuana atau yang dapat disebut sebagai Cannabis merupakan salah satu
narkotika yang dapat menyebabkan halusinasi yang berasalah dari tanaman perdu
liar Cannabis Sativa. Ketika daun bagian atas, pucuk, dan batang tanaman
dipotong, dikeringkan, dan digulung menjadi rokok, produk itu biasanya disebut
ganja (marijuana) atau bhang. Hashish adalah eksudat resin kering yang
merembes dari bagian atas dan bawah daun ganja; minyak ganja adalah istilah
hashish yang terkonsentrasi. Dalam beberapa tahun terakhir, potensi bentuk lain
dari cannabis, sensimilla, telah diproduksi di Asia, Hawaii, dan California.
Cannabinoid biasanya dihisap, tetapi juga dapat diminum, biasanya dicampur
dengan teh atau makanan.

1.1.2.2 Gejala

Dalam DSM-V (Diagnostic and Statistical manual of mental disorder,


fifth edition, [American Psychiatric Association]) dijelaskan bahwa seseorang
dikatakan mengalami cannabis use disorder apabila setidaknya mengalami dua
dari beberapa gejala berikut selama 12 bulan berturut-turut, sebagai berikut:

a. Ganja sering dikonsumsi dalam jumlah yang lebih besar atau periode
yang lebih lama dari yang seharusnya.

10
b. Ada keinginan yang terus-menerus atau upaya yang gagal untuk
mengurangi atau mengendalikan penggunaan ganja.
c. Banyak waktu yang dihabiskan dalam kegiatan yang diperlukan untuk
mendapatkan ganja, menggunakan ganja, atau pulih dari dampaknya.
d. Keinginan, atau keinginan kuat atau dorongan untuk menggunakan ganja.
e. Penggunaan ganja berulang yang mengakibatkan kegagalan untuk
memenuhi kewajiban peran utama di tempat kerja, sekolah, atau rumah.
f. Penggunaan ganja terus menerus meskipun memiliki masalah sosial atau
interpersonal yang berulang yang disebabkan atau diperburuk oleh efek
kannabis.
g. Kegiatan sosial, pekerjaan, atau rekreasi penting terhenti atau berkurang
karena penggunaan kannabis.
h. Penggunaan kannabis berulang dalam situasi di mana ia berbahaya secara
fisik.
i. Penggunaan ganja dilanjutkan walaupun mengetahui masalah fisik atau
psikologis yang kemungkinan disebabkan atau diperburuk oleh ganja.
j. Tolerance, sebagaimana didefinisikan oleh salah satu dari berikut ini:

a. Kebutuhan akan jumlah ganja yang meningkat tajam untuk mencapai


efek yang diinginkan.

b. Berkurangnya efek konsumsi dengan terus menggunakan dosis ganja


yang sama.

k. Withdrawal, dinyatakan oleh salah satu dari yang berikut:

a. Karakteristik withdrawal syndrome untuk cannabis.

b. Cannabis (atau zat yang berkaitan erat) digunakan untuk


menghilangkan atau menghindari withdrawal.

1.1.2.3 Gejala Intoksikasi

a. Penggunaan cannabis beberapa waktu terakhir.

11
b. Perubahan perilaku atau psikologis yang secara klinis (seperti mengalami
gangguan koordinasi motorik, euforia, kecemasan, sensasi waktu yang
lambat, gangguan penilaian, penarikan sosial) yang dikembangkan selama,
atau setelah, penggunaan.
c. Dua (atau lebih) dari gejala berikut berkembang dalam 2 jam penggunaan:

1. Injeksi konjungtiva (mata merah)

2. Nafsu makan meningkat

3. Mulut kering.

4. Takikardi (meningkatnya denyut jantung dalam kondisi istirahat)

d. Gejala yang muncul tidak disebabkan oleh kondisi medis lain dan tidak
dapat dijelaskan oleh gangguan mental lain, termasuk keracunan dengan
zat lain.

1.1.2.3 Gejala Withdrawal

a. Penghentian penggunaan ganja tliat telah berat dan berkepanjangan (yaitu,


setiap hari atau penggunaan hampir setiap hari selama periode setidaknya
beberapa bulan).
b. Tiga (atau lebih) dari tanda dan gejala berikut berkembang dalam waktu
sekitar 1 minggu setelah Kriteria A:

1. Mudah marah, marah, atau agresi.

2. Gugup atau gelisah.

3. Kesulitan tidur.

4. Penurunan nafsu makan atau penurunan berat badan.

5.Gelisah.

12
6. Depresi.

7. Setidaknya satu dari gejala fisik berikut ini yang menyebabkan


ketidaknyamanan yang signifikan: perut sakit, gemetar / tremor,
berkeringat, demam, menggigil, atau sakit kepala.

c. Gejala pada Kriteria B menyebabkan tekanan atau gangguan klinis yang


signifikan dalam bidang sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
d. Gejala yang muncul tidak disebabkan oleh kondisi medis lain dan tidak
dapat dijelaskan oleh gangguan mental lain, termasuk keracunan atau
penarikan zat lain.

1.1.2.4 Etiologi

Penyebab penyalahgunaan marijuana dapat berasal dari:

a. Faktor Individu, adanya rasa keingintahuan yang tinggi pada individu serta
jika seseorang memiliki masalah yang tidak dapat terselesaikan.

b. Faktor Sosial Budaya, adanya ketidakharmonisan dalam keluarga,


keinginan untuk diterima dalam suatu kelompok, dan mudahnya untuk
mendapatkan marijuana.

c. Faktor Lingkungan, adanya faktor negatif dari lingkungan disertai


kurangnya perhatian dari orang tua atau orang terdekat.

1.1.2.5 Pengukuran dan Diagnosis

Tingkat keparahan terbgai menjadi:

a. 305.20 (F12.10) Ringan: adanya 2-3 gejala.


b. 304.30 (F12.20) Sedang: adanya 4-5 gejala.
c. 304.30 (F12.20) Parah: adanya 6 gejala atau lebih.

13
1.1.3 Opioid (Opioid-Related Disorder)

1.1.3.1 Definisi Sindrom

Gangguan penggunaan opioid dapat mulai terjadi pada rentang usia


berapapun, namun seringkali mulai terjadi pada masa remaja akhir atau di awal 20
tahun. Gangguan penggunaan opioid meliputi tanda-tanda dan gejala yang
berulang (kompulsif) dan berkepanjangan dalam penggunaan unsur opioid tanpa
tujuan medis yang sah atau melebihkan penggunaan dari dosis medis yang
disarankan.

Individu yang mengalami gangguan penggunaan opioid akan memiliki


tingkat toleransi yang signifikan, maksudnya individu akan terus menaikkan
jumlah opioid yang dikonsumsi untuk mencapai after-effects yang diinginkan.
Dan, individu yang mengalami gangguan ini juga akan mengembangkan
tanggapan yang terkondisi terhadap rangsangan terkait obat (drugs), contohnya
seperti munculnya keinginan yang sangat besar (cravings) saat melihat heroin
(termasuk jenis obat opioid).

1.1.3.2 Gejala

Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder- fifth edition


(DSM-V), individu dapat dikatakan mengalami Opioid-Use Disorder ketika
memiliki setidaknya dua gejala selama 12 bulan berturut-turut, sebagai berikut:

1. Opioid digunakan dalam jumlah yang lebih besar atau dalam waktu yang
lebih lama dari yang diperbolehkan untuk tujuan medis,
2. Adanya keinginan untuk terus menerus mengkonsumsi dan kegagalan
untuk mengurangi atau mengontrol penggunaan opioid,
3. Menghabiskan waktu yang banyak untuk mencari, menggunakan, atau
melakukan recovery dari efek opioid,
4. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan untuk menggunakan opioid,
5. Penggunaan opioid mengakibatkan individu tidak memenuhi kewajiban
utamanya (lingkungan kerja, sekolah, rumah),

14
6. Tetap menggunakan opioid meskipun memiliki masalah sosial
(interpersonal) yang disebabkan oleh penggunaan opioid,
7. Kegiatan sosial ataupun yang berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan
rekreasional dianggap kurang penting bahkan menghilang akibat
penggunaan opioid,
8. Menggunakan opioid sehingga dapat membahayakan fisik (overdosis),
9. Terus menggunakan opioid meskipun mengerti bahaya untuk fisik maupun
psikologis,
10. Toleransi: Keinginan untuk menambah jumlah konsumsi opioid untuk
mencapai intoksikasi, dan berkurangnya efek opioid saat mengkonsumsi
dengan jumlah yang sama,
11. Withdrawal.

Gejala Intoksikasi (Opioid Intoxication)

1. Sedang menggunakan opioid,


2. Mengalami permasalahan perilaku atau perubahan psikologis yang
signifikan secara klinis yang terjadi selama atau tepat setelah
menggunakan opioid.
3. Penyempitan pupil (atau pelebaran pupil akibat anoksia— kondisi tubuh
yang kehabisan oksigen— yang disebabkan oleh overdosis opioid) dan
mengalami satu atau lebih gejala yang terjadi selama atau tepat setelah
penggunaan opioid:
a. Kantuk atau koma,
b. Berbicara dengan tidak jelas,
c. Penurunan pada atensi dan memori.

4. Tanda-tanda atau gejala yang bukan disebabkan oleh kondisi medis lain
dan tidak dijelaskan pada gejala gangguan mental lainnya, termasuk
intoksikasi dari zat lain.

15
Gejala Opioid Withdrawal

A. Mengalami hal berikut:


1. Penghentian atau pengurangan opioid yang berat dan
berkepanjangan (beberapa minggu atau lebih).
2. Penggunaan zat antagonis— zat yang dapat melawan efek dari
penggunaan opioid— setelah menggunakan opioid.

B. Mengalami tiga atau lebih gejala dibawah ini yang berkembang beberapa
menit atau beberapa hari setelah mengalami gejala dalam kriteria A:

1. Perasaan tidak tenang atau gelisah (Disphoryc mood).


2. Mual atau muntah.
3. Nyeri otot.
4. Lakrimasi atau rhinorrhea.
5. Pelebaran pupil, piloerection, atau berkeringat.
6. Diare.
7. Menguap.
8. Demam.
9. Sulit tidur (insomnia).

C. Tanda-tanda atau gejala dalam kriteria B yang menyebabkan distress klinis


yang signifikan atau penurunan fungsi pada lingkup sosial, pekerjaan, atau
fungsi dalam aspek penting lainnya.

D. Tanda-tanda atau gejala yang bukan disebabkan oleh kondisi medis dan
tidak dijelaskan pada gejala gangguan mental lainnya, termasuk intoksikasi
dan withdrawal dari zat lain.

1.1.3.3 Etiologi

Penyebab penyalahgunaan zat opioid dapat berasal dari:

16
a. Faktor psikologis, komorbiditas psikiatri seperti bipolar, major
depression, PTSD, kecemasan, atau gangguan kepribadian akan
meningkatkan resiko penyalahgunaan zat, termasuk opioid [ CITATION
Kra98 \l 1033 ].

b. Faktor fisiologis, memiliki gangguan medis seperti kanker yang menjalani


pengobatan opioid secara berkepanjangan akan meningkatkan resiko
kemungkinan mengalami Opioid-Use Disorder.

c. Faktor sosial, seperti adanya tekanan dari teman sebaya, keadaan keluarga
yang bermasalah, serta sejarah atau pengalaman dalam lingkungan sekitar
terkait penggunaan opioid.

d. Faktor genetik, juga berperan pada peningkatan resiko ketergantungan zat,


termasuk opioid.

1.1.3.4 Pengukuran dan Diagnosis

Zat opioid dapat terdeteksi melalui tes urin sekitar 12-36 jam setelah
penggunaan. Pengawasan dalam penggunaan opioid dapat dilakukan melalui tes
urin secara rutin.

Pengukuran dapat dilakukan melalui proses interview, berupa wawancara


terstruktur atau pengisian kuesioner berdasarkan pedoman Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder- fifth edition (DSM-V) yang didalamnya
terdapat 11 gangguan terkait penggunaan opioid seperti yang telah kami sebutkan
pada materi gejala (sub-bab 1.1.3.2). Individu dapat dikatakan mengalami
ketergantungan opioid jika memiliki gejala dua diantaranya dalam waktu 12
bulan. Selain itu, dapat diklasifikasikan lebih lanjut bahwa individu memiliki
ketergantungan ringan (mild) jika memiliki 2-3 gejala, ketergantungan sedang
(moderate) jika memiliki 4-5 gejala, dan ketergantungan berat (severe) jika
memiliki 6 atau lebih gejala.

17
Selain itu, dapat melakukan asesmen terhadap klien yang mencakup aspek
psikologis, fisiologis, dan faktor sosial yang bertujuan untuk mengetahui
penyebab klien menggunakan opioid. Asesmen ini dapat berupa interview klinis
dan self-report.

1.1.4 Stimulan (Stimulant-Related Disorder)

1.1.4.1 Definisi Sindrom

Gangguan penggunaan stimulan terjadi yang disebabkan dengan


menggunakan zat atau obat-obatan yang dapat meningkatkan aktivitas pada sistem
saraf pusat dan menimbulkan efek jika menggunakannya dengan cara yang
berlebihan. Zat atau obat-obatan yang digunakan berupa amfetamin, kokain,
nikotin, kafein, hidroklorida metamfetamin. Zat amfetamin termasuk dengan zat
pengganti struktur feniletilamin dan metamfetamin, zat metamfetamin merupakan
zat yang dikonsumsi melalui rute hidung dan juga terdapat cara dengan
disuntikkan ketika disuntikkan atau dihisap tersebut akan menimbulkan efek yang
berupa perasaan yang nyaman secara instan, kepercayaan diri, dan euforia Jenis
amfetamin ada yang alami yang berasal dari tumbuhan stimulan seperti khat.
Amfetamin dan zat stimulan lainnya dapat diperoleh dengan resep dokter untuk
pengobatan obesitas, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), dan
narkolepsi. Ketika Obat-obatan tersebut juga tersedia di pasar ilegal sehingga hal
itu menyebabkan seseorang untuk rentan menggunakan dosis tersebut secara
berlebihan.

1.1.4.2 Gejala

Pola zat jenis amfetamin, kokain, atau penggunaan stimulan lainnya


mengarah ke gangguan atau tekanan klinis yang signifikan, seperti yang
dimanifestasikan dua dari gejala-gejala berikut ini yang terjadi dalam periode 12
bulan:

18
1. Stimulan sering dikonsumsi dalam jumlah yang lebih besar atau dengan
periode yang lama dari yang sudah dianjurkan.
2. Ketika stimulan dikonsumsi dengan dosis yang tinggi dengan dihisap,
dicerna, atau diberikan secara intravena akan menyebabkan perilaku
agresif dan kekerasan.
3. Adanya keinginan secara terus-menerus untuk menggunakannya dan
adanya upaya yang gagal dalam mengurangi dan mengendalikan
penggunaan stimulan.
4. Banyaknya waktu yang dihabiskan pada kegiatan yang diperlukan untuk
mendapatkan stimulan, menggunakan stimulan, atau pulih dari efek
stimulan
5. Dorongan secara kuat untuk menggunakan stimulan.
6. Penggunaan stimulan yang secara berulang atau terus menerus dan
mengakibatkan kegagalan untuk melakukan kewajiban peran utama di
tempat kerja, sekolah, dan rumah.
7. Kegiatan sosial, pekerjaan, atau rekreasi dihentikan atau dikurangi yang
disebabkan pada penggunaan stimulan.
8. Penggunaan stimulan secara terus menerus sehingga membahayakan
kondisi fisiknya
9. Penggunaan stimulan dilanjutkan meskipun sudah mengetahui bahwa
penggunaan stimulan yang berulang akan memberikan dampak buruk bagi
fisik maupun psikologis.
10. Tolerance, sebagaimana didefinisikan sebagai berikut ini:
a. Kebutuhan terhadap jumlah stimulan yang sangat meningkat untuk
mencapai efek yang diinginkan
11. Withdrawal, sebagaimana didefinisikan sebagai berikut ini:
a. Stimulan yang digunakan untuk menghilangkan atau menghindari
penarikan gejala.

Gejala Intoksikasi

19
a. Penggunaan amfetamin, kokain, atau stimulan lainnya dalam waktu
belakangan ini.
b. Perubahan perilaku secara klinis atau perubahan psikologis (euforia atau
ketumpulan afektif, perubahan dalam kemampuan sosial, hypervigilance,
sensitif secara interpersonal, kecemasan, tekanan darah tinggi atau marah,
stereotyped behavior, dan gangguan penilaian) hal tersebut berkembang
setelah penggunaan stimulan.
c. Munculnya dua atau lebih gejala berikut ini selama atau setelah
penggunaan stimulan:
1) Takikardi atau bradikardi
2) Pelebaran pupil
3) Naik-turunnya tekanan darah
4) Keringat dingin
5) Mual atau muntah
6) Penurunan berat badan
7) Agitasi atau retardasi psikomotor
8) Otot melemah, frekuensi pernapasan menurun, rasa sakit di dada, atau
detak jantung tidak teratur
9) Kebingungan, kejang, dyskinesias, dystonias, atau koma
d. Gejala-gejala tersebut yang muncul bukan disebabkan oleh sindrom lain
dan tidak dapat dijelaskan oleh gangguan mental lainnya.

Gejala Withdrawal

a. Penggunaan amfetamin, kokain, atau stimulan lainnya dalam waktu


belakangan ini.
b. Dysphoric mood dan dua (atau lebih) perubahan psikologis yang
berkembang beberapa jam hingga beberapa hari setelah kriteria A:
1) Kelelahan
2) Mimpi buruk
3) Insomnia atau hypersomnia

20
4) Nafsu makan bertambah
5) Agitasi atau retardasi psikomotor
c. Gejala dalam kriteria B yang menyebabkan ditress klinis yang signifikan
atau penurunan dalam bidang pekerjaan, sosial, atau fungsi penting
lainnya.
d. Gejala-gejala tersebut yang muncul bukan disebabkan oleh sindrom lain
dan tidak dapat dijelaskan oleh gangguan mental lainnya.

1.1.4.3 Etiologi

a. Faktor Biologis

Kokain befungsi untuk mengurangi rasa sakit, bekerja menghambat


pengembalian dopamine di berbagai daerah mesolimbik yang dianggap
sebagai kondisi yang menyenangkan, dopamine tetap berada dalam sinaps
sehingga memfasilitasi transmisi neural dan menghasilkan beberapa
perasaan positif, dan juga zat stimulan meningkatkan hasrat seksual,
percaya diri, dan tidak lelah

b. Faktor Sosial

Dapat terjadi penyalahgunaan zat stimulan yang secara berlebihan


dikalangan sosial yang mendukung penyebaran dosis zat yang ilegal
sehingga hal tersebut dapat mempengaruuhi individu dalam menggunakan
zat stimulan dengan dosis tinggi.

1.1.4.4 Pengukuran dan Diagnosis

Pengukuran dapat dilakukan melalui proses tes dengan berupa tes


urin dan tes medis, yang juga termasuk dengan berupa proses wawancara
dan observasi dengan pedoman Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder- fifth edition (DSM-V) yang terkadung dengan gejala
penyalahgunaan zat stimulant. Setidaknya memilki dua atau lebih dari

21
gejala yang sudah dijelaskan di sub bab 1.1.4.2. Asesmen dilakukan
mencakup aspek psikologis, fisiologis dan faktor social melalui interview
klinis, dan self-report.

Tingkat Keparahan Stimulan (Stimulant-Related Disorder)

Ringan: Kehadiran 2-3 gejala.

305.70 (FI 5.10) Amphetamine-type substance

305.60 (FI 4.10) Cocaine

305.70 (F I5.10) Stimulan lain atau tidak spesifik

Sedang: Kehadiran 4-5 gejala.

304.40 (FI 5.20) Amphetamine-type substance

304.20 (FI 4.20) Cocaine

304.40 (F15.20) Stimulan lain atau tidak spesifik

Parah: Kehadiran 6 gejala atau lebih.

304.40 (FI 5.20) Amphetamine-type substance

304.20 (FI 4.20) Cocaine

304.40 (FI 5.20) Stimulan lain atau tidak spesifik

1.1.5 Halusinogenik (Hallucinogen-Related Disorder)

1.1.5.1 Definisi Sindrom

Ketergantungan pada halusinogen disebut juga dengan Halucinogen


Related Disorder. Kecanduan terhadap halusinogen dapat dikategorikan sebagai
sebuah gangguan karena dapat menyebabkan hendaya maupun penderitaan dari
sisi psikologis maupun neurobiology. Halusinogen dapat menghasilkan perubahan
persepsi yang sejenis, suasana hati, dan kognisi pengguna.

22
Halusinogen terdiri dari berbagai kelompok zat yang memiliki struktur
kimia yang berbeda dan mungkin melibatkan mekanisme molekuler yang berbeda,
menghasilkan perubahan persepsi, suasana hati, dan kognisi yang sama pada
pengguna. Pada DSM-V, penggolongan gangguan penggunaan halusinogen secara
umum dibagi menjadi 2, yaitu gangguan penggunaan phencyclidine dan gangguan
penggunaan halusinogen lainnya.

Ekstasi dan LSD (Lysergic Acid Diethylamide) merupakan dua zat yang
termasuk dalam halusinogen. Halusinogen biasanya digunakan secara oral,
meskipun beberapa bentuk dihisap atau secara intranasal atau dengan injeksi
(suntikan).

1.1.5.2 Gejala

Pola penggunaan phencyclidine (atau zat yang serupa secara farmakologis)


yang mengarah pada gangguan klinis yang signifikan, dimanifestasikan oleh
setidaknya dua gejala dari beberapa gejala berikut yang terjadi dalam kurun waktu
12 bulan:

1. Phencyclidine sering kali dikonsumsi dalam jumlah yang lebih


besar atau jumlahnya yang terus meningkat dan digunakan dalam
kurun waktu yang lebih lama dari yang telah ditentukan.
2. Munculnya keinginan yang terus menerus atau usaha yang tidak
berhasil untuk mengurangi atau mengontrol penggunaan
phencyclidine.
3. Banyak waktu yang dihabiskan dalam kegiatan yang diperlukan
untuk mendapatkan phencyclidine, menggunakan phencyclidine,
dan proses memulihkan efek phencyclidine.
4. Adanya keinginan dan dorongan kuat untuk menggunakan
phencyclidine.
5. Penggunaan phencyclidine secara berulang kali dapat
mengakibatkan kegagalan untuk memenuhi kebutuhan utama, baik
di tempat kerja, sekolah, ataupun rumah (misalnya, absen berulang

23
kali selama bekerja, kinerja kerja yang buruk, diskors atau
dikeluarkan dari sekolah, dan mengabaikan anak-anak atau rumah
tangga).
6. Penggunaan phencyclidine yang terus menerus meskipun sedang
mengalami masalah sosial atau interpersonal yang berulang kali
yang disebabkan atau diperburuk oleh efek samping dari
penggunaan phencyclidine (misalnya, berdebat dengan pasangan
tentang konsekuensi dari intoksikasi atau perkelahian fisik).
7. Kegiatan sosial, pekerjaan, atau rekreasi yang penting terhambat
karena penggunaan phencyclidine.
8. Penggunaan phencyclidine berulang dalam situasi dimana ia secara
fisik berbahaya (misalnya, mengendarai mobil atau
mengoperasikan mesin saat mengalami efek samping dari
phencyclidine).
9. Tetap menggunakan phencyclidine meskipun mengetahui
bagaimana dampaknya yang dapat ditimbulkan, baik secara
fisiologis maupun psikologis
10. Tolerance, sebagaimana didefinisikan oleh salah satu dari berikut
ini:

a. Kebutuhan dalam membah jumlah dosis phencyclidine untuk


mencapai efek yang diinginkan.

b. Berkurangnya efek konsumsi stimulan karena dosis konsumsi


yang sama.

Seseorang yang mengalami intoksikasi phencyclidine memiliki beberapa


gejala yang muncul, yaitu adanya perubahan perilaku bermasalah yang signifikan
secara klinis (misalnya, agresif, penyerangan, impulsif, tidak dapat diprediksi,
agitasi psikomotor, gangguan penilaian) yang berkembang, baik selama, tak lama
kemudian, dan setelah penggunaan phencyclidine.

24
Tanda atau gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis lain dan tidak
dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan mental lain, termasuk keracunan
dengan zat lain. Dalam satu jam, dua (atau lebih) dari tanda atau gejala berikut
akan muncul (bila obat dihisap, "didengus," atau digunakan secara intravena,
onsetnya mungkin sangat cepat) :

1. Nystagmus vertikal atau horizontal


2. Hipertensi atau takikardia.
3. Mati rasa atau berkurangnya respons terhadap rasa sakit.
4. Ataxia.
5. Dysarthria.
6. Kekakuan otot.
7. Kejang atau koma.
8. Hyperacusis.

Selain phencyclidine, dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorder (DSM-5, 2013) juga disebutkan terkait gejala gangguan
penggunaan halusinogen selain phencyclidine, yaitu:

Gejala Hallucinogen-Use Disorder

Pola penggunaan halusinogen (selain phencyclidine) yang mengarah pada


penurunan atau gangguan klinis yang signifikan, ditunjukkan oleh setidaknya dua
gejala dari gejala-gejala berikut, dalam kurun waktu 12 bulan :

1. Penggunaan halusinogen sering kali dalam jumlah yang lebih besar dan
digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama dari yang sudah
ditetapkan
2. Adanya keinginan untuk menggunakannya secara terus-menerus atau
upaya yang gagal untuk mengurangi atau mengontrol penggunaan
halusinogen.

25
3. Menghabiskan banyak waktu untuk melakukan kegiatan yang diperlukan,
seperti untuk mendapatkan halusinogen, menggunakan halusinogen, atau
pulih dari penggunaan halusinogen.
4. Adanya keinginan atau dorongan yang kuat untuk menggunakan
halusinogen.
5. Penggunaan halusinogen secara berulang dapat mengakibatkan
kegagalan untuk memenuhi kewajiban peran utama di tempat kerja,
sekolah, atau rumah (misalnya, absen berulang kali saat bekerja atau
performa kerja yang buruk, diskors atau dikeluarkan dari sekolah, dam
mengabaikan anak atau rumah tangga)
6. Penggunaan halusinogen yang terus-menerus meskipun memiliki
masalah sosial atau interpersonal yang disebabkan oleh efek penggunaan
halusinogen (misalnya, berdebat dengan pasangan mengenai konsekuensi
dari intoksikasi atau perkelahian fisik)
7. Kegiatan sosial, pekerjaan, atau rekreasi yang penting terhambat karena
penggunaan halusinogen.
8. Penggunaan halusinogen berulang dalam situasi dimana ia secara fisik
berbahaya (misalnya, mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin
saat mengalami efek samping dari halusinogen).
9. Tetap menggunakan halusinogen meskipun mengetahui bagaimana
dampaknya yang dapat ditimbulkan, baik secara fisiologis maupun
psikologis
10. Tolerance, didefinisikan oleh sebagai berikut:
a. Kebutuhan dalam membah jumlah dosis halusinogen untuk
mencapai efek yang diinginkan.
b. Berkurangnya efek konsumsi stimulan karena dosis
konsumsi yang sama.

Gejala Intoksikasi

Sedangkan pada seseorang yang mengalami intoksikasi halusinogen,


terdapat beberapa gejala yang muncul. Gejala tersebut adalah adanya masalah

26
perubahan perilaku atau psikologis yang signifikan secara klinis pada pengguna
zat halusinogen, seperti kecemasan atau depresi, ide, ketakutan mengenai
kehilangan akal atau kehilangan sesuatu yang pernah dia miliki, paranoid, dan
adanya kesalahan terhadap penilaian yang berkembang pada saat penggunaan
maupun setelah penggunaan zat halusinogen.

Perubahan persepsi yang terjadi pada saat keadaan terjaga penuh (sadar)
dan waspada seperti depersonalisasi, derealisasi, ilusi, halusinasi, sinestetis yang
berkembang pada saat penggunaan maupun setelah penggunaan zat halusinogen.

Gejala yang tidak disebabkan oleh kondisi medis lain lebih baik tidak
dijelaskan oleh gangguan mental lain, termasuk intoksikasi zat lain. Dua (atau
lebih) dari tanda-tanda berikut akan muncul pada saat penggunaan maupun setelah
penggunaan zat halusinogen :

a. Pelebaran pupil
b. Takikardia
c. Berkeringat
d. Palpitasi
e. Pandangan kabur
f. Tremor
g. Susah atau tidak adanya koordinasi

1.1.5.3 Etiologi

a. Faktor Psikologis

Suatu rangkaian aspek yang ada dalam diri seseorang yaitu sikap, ekspektasi,
dan motivasi dalam menggunakan halusinogen secara luas dianggap sebagai suatu
penentu penting atas reaksinya terhadap lingkungan. Pengguna halusinogen
menentukan jika zat tersebut dapat meningkatkan keintiman insight, hubungan
interpersonal, mood, dan rasa percaya diri.

27
a. Faktor Gender

Perempuan memiliki intensitas resiko lebih kecil daripada laki-laki dalam


mengalami kecanduan halusinogen dan jenis kelamin perempuan dapat dikaitkan
dengan peningkatan kemungkinan gangguan penggunaan halusinogen lainnya.

b. Faktor Lingkungan

Lingkungan yang buruk cenderung mendukung penggunaan obat-obatan


terlarang, yang salah satunya berupa halusinogen. Teman sebaya juga dapat
dinilai sebagai faktor yang sangat mempengaruhi dalam penggunaan halusinogen.

c. Faktor Komorbiditas

Seseorang dengan gangguan kecanduan halusinogen seringkali memiliki


kecanduan pada zat lainnya seperti cannabis, alcohol, nikotin, dan sebagainya.
Selain itu, gangguan ini seringkali juga muncul disertai dengan gangguan
kepribadian berupa antisosial.

1.1.5.4 Pengukuran dan Diagnosis

Pada gangguan penggunaan phencyclidine dan halusinogen lainnya,


terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan diagnosa.
Meskipun beberapa penyebab maupun efek yang ditunjukkan memiliki kesamaan
dengan gangguan lainnya, tetapi tetap perlu diperhatikan juga apa saja perbedaan
diagnosa antara gangguan halusinogen dan gangguan lainnya. Berikut merupakan
perbedaan diagnosa pada gangguan penggunaan phencyclidine:

a. Kelainan penggunaan zat lainnya

Membedakan efek phencychdine dari zat- yang lainnya merupakan hal yang
penting, karena bisa jadi efek yang muncul adalah efek aditif biasa untuk zat
lainnya (misalnya, ganja dan kokain).

b. Skizofrenia dan gangguan mental lainnya

28
Beberapa efek dari phencychdine dan penggunaan zat terkait mungkin menyerupai
gejala gangguan kejiwaan lainnya, seperti psikosis (skizofrenia), mood atau
suasana hati yang rendah (major depressive disorder), perilaku agresif yang kasar
(gangguan perilaku atau membuat masalah dan gangguan kepribadian antisosial).
Membedakan apakah perilaku ini terjadi sebelum asupan obat adalah hal yang
penting dalam diferensiasi akut efek obat dari gangguan mental yang sudah ada
sebelumnya. Gangguan psikotik yang diakibatkan oleh phencyclidine harus
diperhatikan apabila terdapat pengujian realitas, dimana individu yang mengalami
gangguan dalam persepsi akibat dari mengkonsumsi phencyclidine.

Tingkat keparahan kecanduan terhadap phencyclidine:

305.39 (FI 6.10) Ringan: Adanya 2-3 gejala.

304.60 (F16.20) Sedang: Adanya 4-5 gejala.

304.60 (F16.20) Berat: Adanya 6 atau lebih gejala.

Selain perlunya memperhatikan perbedaan diagnosa pada gangguan


penggunaan phencyclidine, perlu memperhatikan juga perbedaan diagnosa pada
gangguan penggunaan halusinogen. Berikut merupakan perbedaan diagnosanya:

a. Kelainan penggunaan zat lainnya.

Efek dari halusinogen harus dibedakan dari zat lain (misalnya amfetamin),
terutama karena kontaminasi halusinogen dengan obat lain relatif umum.

b. Skizofrenia.

Skizofrenia juga harus dikesampingkan, karena beberapa individu yang terkena


(misalnya, individu dengan skizofrenia yang menunjukkan paranoia) bisa saja
salah mengaitkan gejala penggunaan halusinogen pada diri mereka.

c. Gangguan mental atau kondisi medis lainnya.

Gangguan atau kondisi potensial lainnya yang perlu dipertimbangkan termasuk


gangguan panik, gangguan depresi dan bipolar, alkohol atau obat penenang, dan

29
sebagainya. Catatan penggunaan obat secara hati-hati, laporan jaminan dari
keluarga dan teman (jika mungkin), usia, riwayat klinis, fisik pemeriksaan, dan
laporan toksikologi dapat digunakan hingga pada penentuan keputusan diagnostik
akhir.

Tingkat keparahan kecanduan terhadap halusinogen:

305.30 (FI 6.10) Ringan: Adanya 2-3 gejala.

304.50 (F16.20) Sedang: Adanya 4-5 gejala.

304.50 (F16.20) Berat: Adanya 6 atau lebih gejala.

Pengukuran dapat dilakukan memalui proses interview, berupa wawancara


terstruktur atau bisa juga dengan cara pengisian kuesioner. Proses interview dan
pengisian kuesioner dilakukan dengan menggunakan Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder (DSM) sebagai pedoman.

Seseorang akan dikatakan berada dalam keadaan Hallucinogen-Related


Disorders jika mengalami minimal dua hingga enam gejala dalam kurun waktu 12
bulan secara berturut-turut.

1.2 Gangguan Kecanduan Non Zat

1.2.1 Judi (Gambling Disorder)

1.2.1.1 Definisi Sindrom

Judi merupakan suatu aktivitas yang dilakukan individu dengan cara


bertaruh apa yang dia punya, misalnya uang ataupun barang yang dimilikinya
untuk mendapat apa yang menjadi tujuan individu tersebut. Seiring
berkembangnya zaman makin banyak jenis-jenis judi saat ini dari slot machine,
judi kartu, judi bola, dan masih banyak lagi judi lainnya.

30
Sedangkan gambling disorder merupakan salah satu gangguan perilaku
yang merupakan akibat melakukan judi tersebut yang mengakibatkan individu
tersebut mengalami distress yang di indikasikan oleh minimal 4 dari gejala yang
ada.

1.2.1.2 Gejala

Individu yang mengalai gambling disorder memiliki gejala-gejala sebagai


berikut dengan jangka waktu 12 bulan, yaitu :

1. Kebutuhan untuk melakukan judi dengan meningkatkan jumlah uang yang


ditaruhkan untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
2. Merasa gelisah dan tersinggung jika ketika ingin berhenti untuk berjudi
lagi.
3. Telah gagal berulang kali ketika mencoba berhenti berjudi.
4. Terlalu sering dan asik berjudi.
5. Berjudi ketika merasa tertekan ( menjadikan judi sebagai coping).
6. Ketika kalah dalam berjudi, individu tersebut akan berjudi lagi untuk
membalas kekalahannya.
7. Berbohong mengenai keterlibatan dalam berjudi.
8. Terancam kehilangan suatu pekerjaan, hubungan, dan peluang dalam
berkarir dikarenakan berjudi.
9. Bergantung kepada orang lain dalam menyediakan uang untuk
meringankan beban finansial yang disebabkan judi.

1.2.1.3 Etiologi
Pada buku DSM-V, ada beberapa faktor yang menyebabkan perilaku
gambling disorder yaitu, adanya faktor lingkungan yang tidak sehat atau
banyaknya orang yang bermain judi di lingkungan sekitar dapat mendorong
individu tersebut melakuka judi, faktor genetik pun bisa jadi pemicunya, perikalu
judi sejak kecil juga bisa mengakibatkan gambling disorder ketika individu
tersebut beranjak dewasa.

31
1.2.1.4 Pengukuran dan Diagnosis

Dalam diagnosisnya, setidaknya dibutuhkan setidaknya 4 dari 9 perilaku


yang muncul dalam jangka waktu 12 bulan. Pada buku DSM-V jika 4 hingga 5
perilaku muncul maka dapat dikategorikan mild severity, jika 6 hingga 7 perilaku
yang mucul dapat digolongkan kepada moderate severity, dan jika 8 hingga 9
perilaku yang muncul maka dapat digolongkan sebagai severe severity

1.2.2 Game Online (Internet Gaming Disorder)

1.2.2.1 Definisi Sindrom

Di DSM-V Internet Gaming Disorder dikategorikan sebagai condition for


further study, dalam hal ini menyebabkan internet gaming disorder belum dapat
dikategorikan sebagai gangguan. Menurut WHO dalam ICD-11, adalah perilaku
bermain game yang dilakukan secara terus-menerus dan dapat mengakibatkan
gangguan fungsi pribadi, keluarga, dan sosial. The International Classification
Diseases adalah dasar untuk identifikasi tren dan statistik dalam bidang kesehatan
secara global dan berstandar international. Pada DSM-V Internet Gaming
Disorder merupakan pola yang berkepanjangan dan berlebihan dari aktivitas
game online yang mengakibatkan gejala kognitif dan perilaku, seperti toleransi,
tingkat emosi, dan lainnya.

1.2.2.2 Gejala

Dalam buku DSM V individu akan mengalami beberapa gejala dalam


jangka waktu 12 bulan, untuk mengindikasikan individu tersebut mengalami
gangguan game online, setidaknya individu tersebut akan mengalami lima atau
lebih dari perilaku di bawah ini disertai distress, perilaku tersebut adalah:

a) Dalam aktivitas sehari-hari, bermain game online betul-betul mendominasi.

b) Ketika game online diambil, individu mengalami gejala withdrawal, seperti


cemas, mudah marah, dan merasa sedih.

32
c) Adanya keinginan untuk meningkatkan waktu untuk bermain game.

d) Kegagalan untuk berusaha berhenti bermain game.

e) Kehilangan minat pada kegemaran sebelumnya.

f) Terus menerus melanjutkan bermain game walaupun sudah mengetahui


masalah psikosisal akibat game.

g) Menipu anggota keluarga, terapis, atau orang lain terkait kuantitas dalam
bermain game.

h) Bermain game online sebagai upaya melepaskan stress.

i) Kehilangan atau membahayakan pekerjaan, pendidikan, dan karir.

1.2.2.3 Etiologi

Pada dasarnya kecanduan bermain game online paling sering diakibatkan


oleh lingkungan. Banyak remaja saat ini yang bermain game online dikarenakan
diajak oleh teman mainnya namun juga ada beberapa orang yang menjadikan
bermain game online ini sebagai pelarian mereka dari stressnya dunia nyata.

1.2.2.4 Pengukuran dan Diagnosis

Setidaknya ada 5 gejala dalam jangka waktu selama 12 bulan atau 1 tahun
sebelum individu dinyatakan internet gaming disorder.

33
BAB II

ANALISA KASUS

2.1 Deskripsi Kasus secara Umum

2.1.1 Penampakan Fisik Kasus

Seorang artis berinisial ST, ditangkap polisi karena narkoba. Ini


merupakan kedua kalinya ST berurusan dengan hukum yang sebelumnya terjerat
kasus penggelapan dana. Kasus penggelapan dana tersebut menjerat ST pada
tahun 2015 dan dinyatakan bersalah pada April 2016. Dua tahun berselang ST
kembali terjerat kasus hukum yaitu penggunakan narkotika jenis sabu.
Berdasarkan berita dan keterangan yang diberikan oleh kepolisian, alasan ia
menggunakan narkoba jenis sabu adalah karena sedang galau. Hasil tes urin pun
juga menunjukkan bahwa dia positif menggunakan narkoba. Berdasarkan
informasi yang diterima polisi dari dua tersangka lain, yaitu IF dan RM sebagai
penyuplai sabu. IF menyebutkan bahwa ST memesan sabu dua hari sekali
sebanyak setengah gram selama setahun terakhir ini.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, Sandy Tumiwa sudah pernah


berurusan berurusan dengan polisi sebelumnya dan mengaku sedang galau
sehingga ia menggunakan narkoba jenis sabu tersebut. Ini berkaitan dengan
lingkungan sekitar nya dan pribadi nya. Ia diajak oleh temannya menggunakn
narkoba dan dia juga ingin lari dari masalah pribadi yang menyebabkan dia galau.

2.1.2 Gejala-Gejala yang Tampak dalam Kasus Observasi

Berdasarkan berita yang beredar di media massa baik di Koran maupun di


sosial media telah terdengar kasus politisi dan aktor terjerat penggunaan zat
adiktif yaitu Sandy Tumiwa dan Andi Arief. Saking maraknya narkoba di
Indonesia pemerintah hingga sekarang masih menerapkan status darurat narkoba
hukuman mati menanti bagi mereka yang terbukti bersalah. Sandy tumiwa
ditangkap polisi pada jumat (1/3) karena terbukti mengkonsumsi narkoba. Dari

34
hasil penangkapan polisi menyita sabu 0,23 gram sebagai barang bukti. Alasan
Sandy Tumiwa menggunakan zat adiktif dari perilakunya yaitu karena lagi galau.
Yang dinikmati oleh pengguna adalah sabu-sabu yang menyebabkan gejala yang
tampak dari pengguna adalah :

1. Terdapat keinginan yang kuat mendorong untuk mengkonsumsi zat psikoaktif,


bahkan sejak dan setelah menjalani proses hukum aktor Sandy Tumiwa
menggunakan sabu-sabu hanya kadang-kadang memakainya dan di saat lagi galau
serta Sandy masih di introgasi polisi sejak kapan menggunakan sabu-sabu.

2. Terbukti adanya penggunaan zat adiktif masih bisa diatasi dan mengontrol
penggunanya, sejak galau pemakaian dosis penggunaan semakin meningkat.

3. Secara progresif mengabaikan menikmati kesenangan atau minat lain yang


disebabkan pengguna zat psikoaktif.

4. Tetap mengkonsumsi zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang merugikan


kesehatan.

5. Memesan sabu dua hari sekali, sebanyak setengah gram selama setahun
terakhir.

2.1.3 Perawatan yang Diterima Kasus Selama Ini

Aktor Sandy Tumiwa tidak pernah menjalani rehabilitasi sehingga ia


belum pernah menerima perawatan apapun terkait penyalahgunaan dan
ketergantungannya pada narkoba, pada kasus terakhir ia sempat mengajukan diri
untuk ingin direhabilitasi karena lagi galau dengan menggunakan narkoba. Akan
tetapi Sandy dipidana dan tidak sempat di rehabilitasi.

35
2.2 Analisa Kasus

2.2.1 Analisis Etiologi Gejala Kasus menurut Literature Review

Analisa etiologi dari kasus narkotika yang dialami oleh Sandy Tumiwa
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah faktor dari diri
pribadi. Sandy Tumiwa menjelaskan bahwa alasan dari ia mengkonsumsi
narkotika tersebut adalah karena ia merasa jika kondisi dirinya pada saat itu
sedang galau atau kurang kuat yang disebabkan oleh masalah pribadi. Faktor yang
kedua adalah lingkungan sekitar. Sandy Tumiwa juga menjelaskan jika dirinya
hanya diajak oleh temannya untuk mengkonsumsi narkotika tersebut.

Adlin (2003) menjelaskan bahwa seseorang yang kondisi kepribadiannya


kurang kuat dapat dengan mudah dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti teman
sebaya dan lingkungan. Rasa ingin tahu dan ingin mencoba seringkali muncul
karena adanya pengaruh dari teman sebagai tanda penerimaan dengan
menunjukkan rasa solidaritas dalam sebuah kelompok, sehingga persepsi individu
ikut berkontribusi dalam opini bahwa dirinya resisten dengan zat tertentu.

2.2.2 Rancangan Intervensi yang Perlu Dilakukan

Pada kasus yang terjadi pada Sandy Tumiwa, terdapat rancangan


intervensi yang harus dilakukan dalam kasus tersebut. Kasus yang terjadi pada
Sandy Tumiwa dibuktikan bahwa dirinya memakai narkoba dengan jenis Sabu
dan menurut Wakapolres Jakarta Pusat AKBP Arie Ardian Rishadi
mengungkapkan Sandy Tumiwa sudah menggunakan sabu kurang lebih satu
tahun dan menggunakannya setiap dua hari sekali.

Rancangan intervensi yang perlu dilakukan untuk Sandy Tumiwa yang


pertama dilakukannya rehabilitasi. Tetapi, faktanya yang terjadi bahwa Sandy
Tumiwa belum mengajukan diri untuk proses rehabilitasi. Pentingnya proses
rehabilitasi yang tepat untuk Sandy Tumiwa tersebut bertujuan untuk
menghentikan perilakunya dalam mengkonsumsi narkoba yang secara belebihan
itu. Rehabilitasi tersebut harus dilakukan dari orang yang ahli dalam menangani
pencegahan Sandy Tumiwa dalam menggunakan narkoba kembali dan perlu juga

36
peran keluarga dan lingkungannya dalam memberikan support kepada Sandy
Tumiwa dalam menjalani rehabilitasi tersebut. Pada proses rehabilitasi akan
diperlukannya proses konseling sebagai salah satu cara untuk mengetahui apa
yang dirasakan dan dipikirkan oleh Sandy Tumiwa saat mengkonsumsi sabu
selama kurang lebih satu tahun tersebut. Selain rehabilitasi sebagai salah satu
proses intervensi, juga diperlukannya intervensi terhadap keluarga Sandy Tumiwa
sebagai salah satu yang memberikan dampak positif berupa support dengan hal
tersebut perlu memberikan edukasi kepada keluarganya terhadap betapa
pentingnya peran keluarga, sehingga dengan memperbaiki hubungan atau
membangun kedekatan terhadap Sandy Tumiwa memungkinkan untuk
memberikan perubahan yang baik dan positif bagi Sandy Tumiwa.

2.3 Diagnosa Multiaksial

Berdasarkan berita yang tersebar terkait kasus Sandy Tumiwa, kami dapat
mengambil beberapa poin untuk melakukan diagnosa multiaksial. Pertama, Sandy
kerap menggunakan sabu-sabu selama setahun terakhir ini dan jika sedang galau
ia mengkonsumsi sabu dengan dosis yang meningkat, bahkan Sandy memesan
sabu dua hari sekali sebanyak setengah gram. Sandy juga secara progresif
mengabaikan kesenangan atau minat lain diluar penggunaan sabu-sabunya.
Selanjutnya, Sandy memilih untuk tetap mengkonsumsi sabu-sabu meskipun ia
menyadari bahwa akan ada akibat yang merugikan kesehatannya. Kriteria-kriteria
ini termasuk dalam gejala dan menjadi dasar kami untuk mendiagnosis Sandy
Tumiwa mengalami Stimulant-Related Disorder (F15).

Kedua, akibat penggunaan metamfetamin, Sandy Tumiwa memiliki sifat


impulsif yang terus mendorong ia mengkonsumsi sabu-sabu. Namun tidak ada
diagnosis pada aksis II, karena kebiasaan memakai zat psikoaktif yang berlebihan
tidak termasuk dalam gangguan kebiasaan dan impuls (F63). Sandy tidak
dijelaskan memiliki riwayat penyakit apapun, sehingga tidak ada diagnosis pada
aksis III.

37
Pada aksis IV, istri Sandy mengaku bahwa Sandy sedang jenuh dalam
pekerjaan dan Sandy sendiri mengaku sedang galau serta memiliki masalah
pribadi dan juga karena ajakan teman sehingga ia mengkonsumsi sabu-sabu. Pada
aksis V, penilaian terhadap Sandy menggunakan skala Global Assessment of
Functioning (GAF) terkait fungsi dalam kehidupannya. Hasil skor GAF adalah
80-71 (gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial dan
pekerjaan).

Pencatatan Diagnosis Multiaksial

Aksis I (Gangguan Klinis)

F15 Stimulant-Related Disorder

Aksis II (Gangguan Kepribadian)

Z 03.2 Tidak ada diagnosis

Aksis III (Kondisi Medik Umum)

Tidak ada diagnosis

Aksis IV (Masalah Psikososial dan Lingkungan)

Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial

Masalah pekerjaan

Aksis V (Skala Penilaian Fungsi secara Global)

GAF = 80-71 (gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam
sosial dan pekerjaan)

38
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Pada kasus yang ada pada Bab II, aktor yang bernama Sandy Tumiwa
mengalami ketergantungan terhadap narkotika jenis sabu. Pada kasus diatas aktor
Shandy Tumiwa menimbulkan 5 gejala dari 11 yang ada. Bisa diartikan bahwa
Shandy tumiwa termasuk moderate severity dalam tingkat keparahan
ketergantungan narkotika tersebut.

3.2 Saran

Minimnya informasi dari pihak yang berwajib dan juga dari pihak pelaku
menjadikan kasus ini kurang memiliki data yang banyak untuk gejala-gejala yang
timbul pada korban dan detil tentang bagaimana korban bisa kecanduan terhadap
narkotika tersebut. Diharapkan media yang meliput tentang kasus ini dapat
menjaga etika berbahasa supaya meminimalisir dugaan-dugaan yang tidak
seharusnya terjadi. Dan juga diharapkan pihak berwajib yang menangani kasus ini
paham betul pentingnya rehabilitasi untuk pelaku yang sudah kecanduan terhadap
narkotika tersebut dikarenakan, jika hanya dihukum sesuai dengan pasal yang
berlaku nantinya ketika telah keluar dari penjara kemungkinan untuk memakai
narkotika tersebut masih besar. Setidaknya dengan rehabilitasi bisa meminimalisir
kemungkinan tersebut.

39
DAFTAR PUSTAKA

Association, A. P. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders


5th Edition. Arlington: American Psychiatric Association.

Adlin. (2003). Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika. Jakarta: Balai


Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Proyek Pengkajian
Pendidikan Agama.

Krausz, Degkwitz, & Kuhne. (1998). Comorbidity of Opiate Dependence and


Mental Disorders. Addict Behav, 767-783.

Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: PT. Nuh Jaya.

40
LAMPIRAN

Dokumentasi berita yang dijadikan kasus, diambil dari:

https://m.detik.com/news/berita/d-4450859/ditangkap-karena-sabu-sandy-
tumiwa-berpesan-jauhi-narkoba

https://m.detik.com/news/berita/d-4450546/sandy-tumiwa-ditangkap-polisi-
karena-narkoba

https://m.detik.com/news/berita/d-4451453/nasib-sandy-tumiwa-nangis-di-kasus-
penggelapan-kini-galau-pakai-narkoba

https://m.detik.com/news/berita/d-4450731/polisi-sandy-tumiwa-pesan-sabu-2-
hari-sekali

https://m.detik.com/health/berita-detikhealth/d-4451639/sandy-tumiwa-ngaku-
galau-ini-kemungkinan-psikologis-menggunakan-narkoba

41
42
43
44
45

Anda mungkin juga menyukai