Anda di halaman 1dari 14

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / Januari 2021


** Pembimbing / dr. Tumpak Saragih, Sp.KJ

PERILAKU TERKAIT PENGGUNAAN ALKOHOL DAN ROKOK


SELAMA KARANTINA DAN PSBB DI TENGAH COVID-19
DI INDONESIA

Oleh :
Anathasia Naomi Dewi S (G1A220074)
Dinda Asri Aisyah, S.Ked (G1A220123)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)


PERILAKU TERKAIT PENGGUNAAN ALKOHOL DAN ROKOK
SELAMA KARANTINA DAN PSBB DI TENGAH COVID-19
DI INDONESIA

DISUSUN OLEH

Anathasia Naomi Dewi S (G1A220074)


Dinda Asri Aisyah, S.Ked (G1A220123)

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas

Bagian Ilmu Psikiatri di Rumah Sakit Jiwa Jambi Program Studi Profesi
Dokter Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan


Dipresentasikan Jambi, Maret
2021
PEMBIMBING

dr. Tumpak Saragih, Sp.KJ


KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
clinical science session (CSS) ini dengan judul ―Perilaku Terkait Penggunaan
Alkohol dan Rokok Selama Karantina dan PSBB Di Tengah COVID-19 Di
Indonesia”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas Bagian Ilmu Psikiatri di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi. Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari
bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada dr. Tumpak Saragih, Sp. KJ selaku pembimbing yang
telah memberikan arahan sehingga laporan clinical science session (CSS) ini dapat
terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan clinical science session (CSS) ini. Penulis menyadari laporan ini
masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai penutup semoga kiranya laporan clinical
science session (CSS) ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia
kesehatan pada umumnya.
Jambi, Maret 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) pertama kali dilaporkan di Wuhan,


sebuah kota di Provinsi Hubei, China, pada akhir Desember 2019, ditandai dengan
sindrom pernapasan akut berat yang ditetapkan sebagai SARS-CoV-2. COVID-19
telah menyerang banyak orang, menyebar dengan cepat, dan mengakibatkan pandemi
dalam waktu singkat dengan meningkatnya angka kematian di seluruh dunia terutama
di kalangan lansia (pada usia rata-rata 66) dan mereka yang memiliki komorbiditas,
seperti penyakit kardiorespirasi, diabetes dan demensia. 1)(2)

COVID-19 diidentifikasi sebagai virus RNA. Angiotensin Converting


Enzyme (ACE2) diidentifikasi sebagai reseptor fungsional untuk SARS-CoV-2, yang
terdapat di beberapa organ manusia, termasuk sistem saraf, mata, ginjal, saluran
pencernaan, kardiovaskuler, kulit. Target utama COVID-19 adalah paru-paru, namun
organ lain seperti jantung, hati, ginjal, dan otak juga bisa mengalami gangguan.
Gejala sistem saraf pusat (CNS) adalah bentuk utama cedera neurologis pada pasien
dengan COVID-19.(1)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemakaian Alkohol dan Rokok
2.1.1 Definisi
Alkohol dan rokok merupakan zat adiktif yang berpengaruh psikoaktif dimana
termasuk golongan zat yang bekerja secara selektif, terutama pada otak,
sehingga dapat menimbulkan perubahan pada perilaku, emosi, kognitif,
persepsi, dan kesadaran seseorang serta mengakibatkan ketergantungan bagi
penggunanya.(3)
2.1.2 Patofisiologi Adiktif Alkohol dan Rokok
Seperti obat-obatan adiktif lainnya, alhokol diperantarai oleh mekanisme
utama aksi alkohol dalam meningkatkan inhibisi pada sinaps GABA dan
mengurangi eksitasi pada sinaps glutamat. Alkohol meningkatkan pelepasan
dopamin di neuron dopamin pada ventral tegmental area (VTA) dan aksi ini
penting untuk memperkuat adiktif alkohol. Alkohol juga beraksi pada reseptor
glutamat presinaps (mGluRs) dan kanal kalsium presinaps (VSCCs) untuk
menghambat pelepasan glutamat. Akhirnya, alkohol meningkatkan pelepasan
GABA dengan memblokade reseptor GABA B presinaps dan melalui aksi
langsung atau tidak langsung pada reseptor GABA A. Hambatan pelepasan
glutamat juga akan menyebabkan fenomena disinhibisi, yaitu penurunan
inhibisi oleh GABA karena menurunnya excitatory drive dari glutamat.
Akibat penurunan inhibisi ini, maka akan terjadi peningkatan pelepasan
dopamine oleh neuron dopaminergik di VTA.(4)
Patofisiologi adiksi rokok atau dikotin berhubungan dengan interaksi
antara nikotin dan reseptor kolinergik nicotinic acetylcholine
receptors (nAChRs) yang menyebabkan pelepasan neurotransmiter lain
termasuk dopamine, norepinefrin, dan serotonin. Nikotin akan dengan cepat
diserap melalui saluran pernapasan dan menyebabkan pelepasan
neurotransmiter. Neurotransmiter yang dilepaskan, khususnya dopamine dan
serotonin, akan menimbulkan perasaan tenang dan rileks. Namun, nikotin
akan dengan cepat dimetabolisme oleh hepar sehingga perokok akan
mengalami gejala putus zat beberapa saat setelah merokok. Setelah paparan
berulang dengan nikotin, agar terjadi upregulasi nAChRs sehingga terjadi
desensitisasi respon nikotin. Akibatnya, untuk memperoleh efek yang sama
dibutuhkan nikotin dalam dosis yang lebih besar lagi, sehingga berkembang
menjadi ketergantungan.(5)
2.1.3 Diagnosis
Gejala kecanduan alkohol yang jelas dalam bentuk fisik adalah
ketergantungan pada alkohol dan ketidakmampuan untuk berhenti walaupun
parah akibat fisik dan psikologis.
Tanda-tanda fisik penyalahgunaan alkohol, yaitu: penurunan berat
badan, sakit di perut, mati rasa di tangan dan kaki, bicara meracau,
kegoyangan sementara saat mabuk. Pada orang yang menderita
ketergantungan alkohol, yaitu: berkeringat, gemetar, mual muntah,
kebingungan dan keadaan yang ekstrem yaitu kejang-kejang, serta halusinasi.
Tanda-tanda mental meliputi peningkatan penyalahgunaan alkohol, antara
lain: mudah tersinggung, marah, gelisah, menghindar dari kegiatan yang tidak
memberikan kesempatan untuk minum, kesulitan dalam membuat keputusan;
oversleeping, berlebihan menampilkan tangisan dan emosional.(6)
Pada pasien dengan kecanduan merokok biasanya memiliki
kewaspadaan yang meningkat, bahkan terkadang bisa mencapai gambaran
manik. Pasien juga bisa terlihat iritabel, dan akan merasa lebih baik setelah
konsumsi nikotin. Depresi dan gangguan cemas juga bisa ditemukan. Efek
fisik dari nikotin adalah peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan
darah, dan penurunan berat badan. Pada pasien dengan gejala putus obat, akan
didapatkan peningkatan berat badan karena nafsu makan bertambah,
penurunan denyut jantung, dan perbaikan indra perasa dan penghidu. Pada
pemeriksaan fisik, bisa tercium bau asap rokok, terlihat bekas noda tar pada
gigi, dan penuaan prematur pada kulit.(7)
Menurut PPDGJ III, diagnosis terhadap ketergantungan dapat
ditegakkan jika ditemukan tiga atau lebih gejala dibawah ini yang dialami
dalam masa 1 tahun sebelumnya: (8)
1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa untuk
menggunakan zat psikoaktif.
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat, terutama sejak
mulainya, usaha penghentian atau pada tingkat sedang menggunakan.
3. Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian penggunaan zat atau
pengurangan, terbukti dengan adanya gejala putus zat yang khas atau orang
tersebut menggunakan zat atau golongan zat yang sejenis dengan tujuan untuk
menghilangkan atau menghindari terjadinya gejala putus zat.
4. Terbukti adanya toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang
diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan
dosis lebih rendah (contoh yang jelas dapat ditemukan pada individu dengan
ketergantungan alcohol dan opiat yang dosis hariannya dapat mencapai taraf
yang dapat membuat tak berdaya atau mematikan bagi pengguna pemula).
5. Secara progresif mengabaikan menikmati kesenangan atau minat lain
disebabkan penggunaan zat psikoaktif, meningkatnya jumlah waktu yang
diperlukan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau untuk pulih dari
akibatnya.
6. Tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang
merugikan kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum alcohol
berlebihan, keadaan depresan sebagai akibat dari suatu periode penggunaan
zat yang berat atau hendaya fungsi kognitif berkaitan dengan penggunaan zat;
upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa pengguna zat bersungguh-
sungguh, atau dapat diandalkan, sadar akan hakekat dan besarnya bahaya.
2.2 Perilaku penggunaan Alkohol dan Rokok selama Covid-19
2.2.1 Pengaruh PSBB dengan penggunaan Alkohol dan Rokok
Untuk mencegah penyebaran COVID-19, telah ditetapkan adanya
pembatasan sosial berskala besar, dimana setiap orang dianjurkan untuk
menjaga jarak dan melakukan karantina atau isolasi. Pandemi Covid-19
bukanlah penghalang buat sang perokok dan peminum alkohol untuk berhenti
atau mewaspadai bahayanya, banyak dari masyarakat yang menghabiskan
waktunya untuk merokok atau minum alkohol karena banyaknya waktu yang
kosong. Di beberapa individu, ini juga dapat menyebabkan perilaku yang
tidak menyenangkan seperti penyalahgunaan zat untuk meredakan gejala,
seperti alkohol dan rokok. Perubahan dalam tingkat peningkatan penggunaan
zat terjadi karena tekanan emosional yang meningkat, isolasi, pengangguran,
sedangkan penurunan konsumsi bisa terjadi dikarenakan ketersediaan yang
berkurang, harga yang lebih tinggi, dan penurunan pemasukan. Dari hasil
penelitian yang telah dilakukan, adanya PSBB berkorelasi dalam adanya
penurunan dalam konsumsi alkohol dan penurunan komsumsi rokok.(9)

2.2.2 The Alcohol Use Disorders Identification Test (AUDIT)


Kuesioner ini dikembangkan sebagai instrumen penyaringan untuk
mengidentifikasi efek ketergantungan alcohol, perilaku minum dan masalah
yang berhubungan dengan alcohol, yang dirancang untuk digunakan dalam
perawatan kesehatan primer, dan merupakan satu-satunya tes skrining alkohol
yang berlaku untuk penggunaan internasional. Kuesioner ini terdiri dari 10
pertanyaan yang berfokus pada penggunaan alkohol baru-baru ini; skor
berkisar antara 0 hingga 40 dengan skor 8–14 ditafsirkan sebagai penggunaan
alkohol berbahaya dan ≥15 sebagai kemungkinan ketergantungan. Studi
kolaboratif WHO menunjukkan bahwa AUDIT adalah instrumen yang valid
di enam negara (sensitivitas 92% dan kekhususan 94%) dan juga valid
disluruh jenis kelamin dan dalam berbagai kelompok ras/etnis.(10)
Menurut penelitian Hanafi dkk, nilai AUDIT yang didapatkan rendah sejalan
dengan pernyataan WHO, dengan adanya pembatan kontak fisik dan adanya
ketakutan infeksi COVID-19 sehingga memyebabkan turunnya konsumsi
alcohol di Indonesia. Namun penyataan ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya, dimana karena adanya COVID-19 memberikan efek rutinitas
pasangan dan keluarga yang menyebabkan adanya kekerasan rumah tangga
sehingga meningkatkan adanya konsumsi alkohol.(10),(11)

2.2.3 Cigarette Dependence Scale-10


Cigarette Dependence Scale ini digunakan untuk menentukan tingkat
keparahan ketergantungan pada nikotin. Setiap pertanyaan memiliki lima
jawaban pilihan ganda. Pertanyaan nomor 1 menanyakan ketergantungan
rokok dengan skor 0 sd 100 dibagi menjadi lima interval (0-20, 21-40, dst).
Pertanyaan nomor 2 menanyakan jumlah batang rokok yang dihisap dari 0
sampai lebih dari 30 batang yang dibagi dalam lima interval (0–5, 6–10, dst).
Pertanyaan nomor 3 menggunakan skala likert dengan nilai dari 1 sampai 5,
seperti “sangat mudah” sampai “tidak mungkin”. Sementara itu, Skala Likert
yang digunakan di pertanyaan lainnya adalah "sangat tidak setuju" hingga
"sangat setuju". Output kuesioner ini adalah dalam bentuk numerik tanpa
batas yang ditentukan, dan skor yang lebih tinggi menunjukkan
ketergantungan nikotin yang lebih parah. Evaluasi CDS versi bahasa
Indonesia menunjukkan bahwa modifikasi CDS dari 12 menjadi 10
pertanyaan meningkatkan nilai statistik instrumen dengan reliabilitas yang
baik (Cronbach's alpha = 0.91, ICC = 0.91) (16). Item yang dikecualikan
adalah pertanyaan nomor 3 (rokok pertama hari itu) dan 9 (terlalu banyak
merokok). Dari penelitian Hanafi E dkk, didapatkan kenaikan konsumsi rokok
berkorelasi dengan tingginya skor CDS.(10)

2.2.4 Symptom Checklist 90


Kuesioner yang dilaporkan sendiri terdiri dari 90 pernyataan yang
diberi skor pada skala Likert 5 poin, 0 (= Tidak Pernah) hingga 4 (= Selalu),
dalam 30 hari terakhir. SCL-90 versi Indonesia menunjukkan validitas yang
baik, sensitivitas 82,9%, dan spesifisitas 83,0%. Kuesioner ini digunakan
untuk menilai gejala psikopatologis, termasuk somatisasi (kesusahan terkait
masalah fisik), obsesif-kompulsif (berkaitan dengan impuls, pikiran, dan
tindakan yang tak tertahankan, berulang, dan tidak diinginkan), kepekaan
interpersonal (ekspektasi negatif, keraguan diri, dan perasaan inferior dalam
hubungan dengan orang lain), depresi (disforia, kehilangan kesenangan,
pesimisme, dll.), kecemasan (gugup, ketakutan, ketakutan, dan gemetar),
emosi (agresi, mudah tersinggung, dan marah), kecemasan fobia (irasional
atau ketakutan berlebihan yang berkaitan dengan orang, tempat, objek atau
situasi), ide paranoid (pemikiran permusuhan, kebesaran, dan kecurigaan dan
kebutuhan untuk kontrol berdasarkan rasa takut), psikotisme (gejala yang
sangat terisolasi dan inti dari skizofrenia, termasuk halusinasi dan
pengendalian pikiran), subskala tambahan (nafsu makan yang buruk,
gangguan tidur, takut mati, dan makan berlebihan), dan indeks gejala global
secara keseluruhan (GSI) (18-20) .(10)
Menurut penelitian Hanafi E dkk, pada penelitian ini penurunan
merokok hanya berkorelasi pada gejala ansietas pobik, emosi, dan psikotik,
dikarenakan rendahnya nikotin yang dikonsumsi dapat menyebabkan kadar
dopamin juga ikut menurun tidak seperti biasanya pada saat mengonsumsi
nikotin sehingga mengakibatkan efek tersebut mempengaruhi emosi
pengguna, namun secara keseluruhan tidak ada hubungan yang signifikan
antara tingkat kebiasaan merokok dengan gejala psikopatologis.(10)
2.2.5 Pittburgh Sleep Quality Index

PSQI adalah instrumen yang umum digunakan untuk menilai tidur


kualitas dalam populasi klinis atau non-klinis. Itu kuesioner terdiri dari 24
item, 20 di antaranya pertanyaan pilihan ganda dan empat adalah pertanyaan
terbuka. Selanjutnya, lima item penilaian seorang partner diperlukan atau
individu lain dalam pola tidur responden. Itu 19 pertanyaan yang dijawab
sendiri di PSQI dapat dikumpulkan menjadi tujuh komponen dan masing-
masing berbobot antara 0–3 (maksimum 21), skor> 5 menunjukkan kualitas
tidur yang buruk. Pada penelitian Hanafi E, menunjukan peningkatan
konsumsi alkohol korelasi positif dengan skor PSQI yang lebih tinggi.(10)

2.2.6 Tatalaksana Kecanduan Alkohol dan Rokok


1. Tatalaksana Kecanduan Alkohol
a. Disulfiram digunakan sebagai terapi tambahan ketergantungan alkohol.
Mengkonsumsi alkohol walaupun dalam jumlah sedikit menimbulkan
reaksi sistemik yang tidak nyaman karena akumulasi asetaldehid dalam
tubuh. Reaksi tersebut meliputi kemerahan pada wajah (flushing), nyeri
kepala, palpitasi, takikardi, mual, muntah serta pada dosis alkohol tinggi
terjadi aritmia, hipotensi dan kolaps.
Alkohol dalam jumlah kecil yang terkandung dalam obat (bentuk
cairan), sudah cukup dapat memperburuk reaksi (oleh karena itu obat
kumur yang mengandung alkohol sebaiknya dihindari).(12)
b. Benzodiazepin kerja panjang juga digunakan untuk mengurangi gejala
putus alkohol, namun obat ini sendiri memiliki potensi ketergantungan.
Untuk mengurangi ketergantungan, pemberiannya sebaiknya dibatasi
selama periode tertentu (contoh: klordiaksepoksid 10-50 mg 4 kali sehari,
dihentikan bertahap selama 7-14 hari). Benzodiazepin tidak boleh
diresepkan bila pasien cenderung untuk terus mengkonsumsi alkohol. (12)
c. Klometiazol (klormetiazol) hanya digunakan untuk program penanganan
putus alkohol pasien yang dirawat. Hal ini karena obat ini dapat
menyebabkan risiko ketergantungan dan tidak boleh diresepkan bila
pasien cenderung untuk terus mengkonsumsi alkohol. (12)
d. Akamprosat, dikombinasikan dengan program konseling, mungkin dapat
membantu dalam mempertahankan keadaan tanpa alkohol pada pasien
dengan ketergantungan alkohol. Obat ini sebaiknya diberikan segera
setelah dicapai keadaan tanpa alkohol dan obat sebaiknya tetap diberikan
bila terjadi kekambuhan. Penyalahgunaan yang terus berlangsung dapat
menurunkan manfaat terapetik akamprosat. (12)
2. Tatalaksana Kecanduan Rokok
a. Panduan terapi sulih nikotin dan bupropion dalam program berhenti
merokok 
Direkomendasikan bahwa terapi sulih nikotin dan bupropion hanya
diberikan bagi perokok yang berkomitmen untuk berhenti merokok dengan
target waktu tertentu. Perokok sebaiknya ditawarkan bantuan saran dan
dukungan dalam membantu usaha berhenti merokok.
Pemilihan terapi bantuan berhenti merokok dilakukan berdasarkan
kepatuhan perokok, ketersediaan konseling dan dukungan, pengalaman upaya
berhenti merokok sebelumnya, kontraindikasi dan efek samping dari produk,
dan pilihan atau usulan perokok itu sendiri.
Persediaan awal obat yang diresepkan sebaiknya mencukupi hingga 2 minggu
setelah tanggal target berhenti merokok; biasanya terdiri atas 2 minggu terapi
sulih nikotin atau 3-4 minggu dengan bupropion. Peresepan kedua dapat
diberikan hanya bila perokok tetap melakukan usaha berhenti merokok.
Belum ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan
kombinasi terapi sulih nikotin dengan bupropion.(13)
- Saran mengenai bupropion
Bupropion dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat kejang
atau gangguan kebiasaan makan, tumor SSP, atau mereka yang mengalami
gejala akut penghentian alcohol atau benzodiazepin. Bupropion tidak boleh
diberikan pada pasien yang mempunyai faktor risiko lain terjadi kejang,
kecuali manfaat berhenti merokok melebihi risiko tersebut. Faktor yang
meningkatkan risiko kejang termasuk pemberian berulang obat yang dapat
menurunkan ambang kejang (contoh antidepresan, antimalaria (seperti
meflokuin dan klorokuin), antihistamin sedatif, kortikosteroid sistemik,
teofilin, tramadol), penyalahgunaan alkohol, riwayat trauma kepala, diabetes
mellitus, dan penggunaan stimulan dan anorektik. (13)
DAFTAR PUSTAKA

1. Cipriani G, Danti S, Nuti A, Carlesi C, Lucetti C, Di Fiorino M. A complication of


coronavirus disease 2019: delirium. Acta Neurol Belg [Internet]. 2020;120(4):927–
32.
2. Meagher D, Adamis D, Timmons S, O’Regan NA, O’Keeffe S, Kennelly S, et al.
Developing a guidance resource for managing delirium in patients with Covid-19. Ir
J Psychol Med. 2020;3.
3. Yahya F, Fadhila NU. PENYALAHGUNAAN ZAT ADIKTIF OLEH ANAK DI
BAWAH UMUR (Studi Kasus di Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues).
LEGITIMASI: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum. 2020 Jul 8;9(1):17-45.
4. Stahl SM. Stahl’s essential psychopharmacology: neuroscientific basis and practical
application. 4th ed. Cambridge ; New York: Cambridge University Press; 2013.
5. Siqueira LM, Committee on Substance Use and Prevention. Nicotine and Tobacco as
Substances of Abuse in Children and Adolescents. Pediatrics 2017;139:e20163436.
[https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27994114]
6. Utina SS. Alkohol dan pengaruhnya terhadap kesehatan mental. Jurnal Health and
Sport. 2012 Oct 1;5(2).
7. Lande RG. Nicotine Addiction. Medscape, 2018.
8. Maslim R, 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkat Dari PPDGJ-III
dan DSM-5. Cetakan . Jakarta: PT Nuh Jaya.
9. Naresawari AD, Wijayanti E, Oktaviani FI, Santoso AP. ANALISIS PENGGUNA
ROKOK DI MASA PANDEMI COVID-19 DI KECAMATAN NOGOSARI. Prosiding
HUBISINTEK. 2020 Sep 26;1:72-.
10. Hanafi E, et al. “Alcohol- and Cigarette-Use Related Behaviors During Quarantine
and Physical Distancing Amid COVID-19 in Indonesia.” Front. Psychiatry, 2021
| https://doi.org/10.3389/fpsyt.2021.622917
11. Johnson J, Lee A, Vinson D, Seale P. “Use of AUDIT-Based Measures to Identify
Unhealthy Alcohol Use and Alcohol Dependence in Primary Care: A Validation
Study.” Alcohol Clin Exp Res, Vol 37, No S1, 2013: pp E253–E259
12. Pusat Informasi Obat Nasional (Pionas), Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) Republik Indonesia 2015,Ketergantungan Alkohol, BPOM RI, diakses 14
maret 2021. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-4-sistem-saraf-pusat/410-
ketergantungan/ketergantungan-alkohol
13. Pusat Informasi Obat Nasional (Pionas), Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) Republik Indonesia 2015,Ketergantungan Rokok, BPOM RI, diakses 14
maret 2021. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-4-sistem-saraf-pusat/410-
ketergantungan/merokok

Anda mungkin juga menyukai