Oleh :
Anathasia Naomi Dewi S (G1A220074)
Dinda Asri Aisyah, S.Ked (G1A220123)
DISUSUN OLEH
Bagian Ilmu Psikiatri di Rumah Sakit Jiwa Jambi Program Studi Profesi
Dokter Universitas Jambi
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemakaian Alkohol dan Rokok
2.1.1 Definisi
Alkohol dan rokok merupakan zat adiktif yang berpengaruh psikoaktif dimana
termasuk golongan zat yang bekerja secara selektif, terutama pada otak,
sehingga dapat menimbulkan perubahan pada perilaku, emosi, kognitif,
persepsi, dan kesadaran seseorang serta mengakibatkan ketergantungan bagi
penggunanya.(3)
2.1.2 Patofisiologi Adiktif Alkohol dan Rokok
Seperti obat-obatan adiktif lainnya, alhokol diperantarai oleh mekanisme
utama aksi alkohol dalam meningkatkan inhibisi pada sinaps GABA dan
mengurangi eksitasi pada sinaps glutamat. Alkohol meningkatkan pelepasan
dopamin di neuron dopamin pada ventral tegmental area (VTA) dan aksi ini
penting untuk memperkuat adiktif alkohol. Alkohol juga beraksi pada reseptor
glutamat presinaps (mGluRs) dan kanal kalsium presinaps (VSCCs) untuk
menghambat pelepasan glutamat. Akhirnya, alkohol meningkatkan pelepasan
GABA dengan memblokade reseptor GABA B presinaps dan melalui aksi
langsung atau tidak langsung pada reseptor GABA A. Hambatan pelepasan
glutamat juga akan menyebabkan fenomena disinhibisi, yaitu penurunan
inhibisi oleh GABA karena menurunnya excitatory drive dari glutamat.
Akibat penurunan inhibisi ini, maka akan terjadi peningkatan pelepasan
dopamine oleh neuron dopaminergik di VTA.(4)
Patofisiologi adiksi rokok atau dikotin berhubungan dengan interaksi
antara nikotin dan reseptor kolinergik nicotinic acetylcholine
receptors (nAChRs) yang menyebabkan pelepasan neurotransmiter lain
termasuk dopamine, norepinefrin, dan serotonin. Nikotin akan dengan cepat
diserap melalui saluran pernapasan dan menyebabkan pelepasan
neurotransmiter. Neurotransmiter yang dilepaskan, khususnya dopamine dan
serotonin, akan menimbulkan perasaan tenang dan rileks. Namun, nikotin
akan dengan cepat dimetabolisme oleh hepar sehingga perokok akan
mengalami gejala putus zat beberapa saat setelah merokok. Setelah paparan
berulang dengan nikotin, agar terjadi upregulasi nAChRs sehingga terjadi
desensitisasi respon nikotin. Akibatnya, untuk memperoleh efek yang sama
dibutuhkan nikotin dalam dosis yang lebih besar lagi, sehingga berkembang
menjadi ketergantungan.(5)
2.1.3 Diagnosis
Gejala kecanduan alkohol yang jelas dalam bentuk fisik adalah
ketergantungan pada alkohol dan ketidakmampuan untuk berhenti walaupun
parah akibat fisik dan psikologis.
Tanda-tanda fisik penyalahgunaan alkohol, yaitu: penurunan berat
badan, sakit di perut, mati rasa di tangan dan kaki, bicara meracau,
kegoyangan sementara saat mabuk. Pada orang yang menderita
ketergantungan alkohol, yaitu: berkeringat, gemetar, mual muntah,
kebingungan dan keadaan yang ekstrem yaitu kejang-kejang, serta halusinasi.
Tanda-tanda mental meliputi peningkatan penyalahgunaan alkohol, antara
lain: mudah tersinggung, marah, gelisah, menghindar dari kegiatan yang tidak
memberikan kesempatan untuk minum, kesulitan dalam membuat keputusan;
oversleeping, berlebihan menampilkan tangisan dan emosional.(6)
Pada pasien dengan kecanduan merokok biasanya memiliki
kewaspadaan yang meningkat, bahkan terkadang bisa mencapai gambaran
manik. Pasien juga bisa terlihat iritabel, dan akan merasa lebih baik setelah
konsumsi nikotin. Depresi dan gangguan cemas juga bisa ditemukan. Efek
fisik dari nikotin adalah peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan
darah, dan penurunan berat badan. Pada pasien dengan gejala putus obat, akan
didapatkan peningkatan berat badan karena nafsu makan bertambah,
penurunan denyut jantung, dan perbaikan indra perasa dan penghidu. Pada
pemeriksaan fisik, bisa tercium bau asap rokok, terlihat bekas noda tar pada
gigi, dan penuaan prematur pada kulit.(7)
Menurut PPDGJ III, diagnosis terhadap ketergantungan dapat
ditegakkan jika ditemukan tiga atau lebih gejala dibawah ini yang dialami
dalam masa 1 tahun sebelumnya: (8)
1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa untuk
menggunakan zat psikoaktif.
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat, terutama sejak
mulainya, usaha penghentian atau pada tingkat sedang menggunakan.
3. Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian penggunaan zat atau
pengurangan, terbukti dengan adanya gejala putus zat yang khas atau orang
tersebut menggunakan zat atau golongan zat yang sejenis dengan tujuan untuk
menghilangkan atau menghindari terjadinya gejala putus zat.
4. Terbukti adanya toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang
diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan
dosis lebih rendah (contoh yang jelas dapat ditemukan pada individu dengan
ketergantungan alcohol dan opiat yang dosis hariannya dapat mencapai taraf
yang dapat membuat tak berdaya atau mematikan bagi pengguna pemula).
5. Secara progresif mengabaikan menikmati kesenangan atau minat lain
disebabkan penggunaan zat psikoaktif, meningkatnya jumlah waktu yang
diperlukan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau untuk pulih dari
akibatnya.
6. Tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang
merugikan kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum alcohol
berlebihan, keadaan depresan sebagai akibat dari suatu periode penggunaan
zat yang berat atau hendaya fungsi kognitif berkaitan dengan penggunaan zat;
upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa pengguna zat bersungguh-
sungguh, atau dapat diandalkan, sadar akan hakekat dan besarnya bahaya.
2.2 Perilaku penggunaan Alkohol dan Rokok selama Covid-19
2.2.1 Pengaruh PSBB dengan penggunaan Alkohol dan Rokok
Untuk mencegah penyebaran COVID-19, telah ditetapkan adanya
pembatasan sosial berskala besar, dimana setiap orang dianjurkan untuk
menjaga jarak dan melakukan karantina atau isolasi. Pandemi Covid-19
bukanlah penghalang buat sang perokok dan peminum alkohol untuk berhenti
atau mewaspadai bahayanya, banyak dari masyarakat yang menghabiskan
waktunya untuk merokok atau minum alkohol karena banyaknya waktu yang
kosong. Di beberapa individu, ini juga dapat menyebabkan perilaku yang
tidak menyenangkan seperti penyalahgunaan zat untuk meredakan gejala,
seperti alkohol dan rokok. Perubahan dalam tingkat peningkatan penggunaan
zat terjadi karena tekanan emosional yang meningkat, isolasi, pengangguran,
sedangkan penurunan konsumsi bisa terjadi dikarenakan ketersediaan yang
berkurang, harga yang lebih tinggi, dan penurunan pemasukan. Dari hasil
penelitian yang telah dilakukan, adanya PSBB berkorelasi dalam adanya
penurunan dalam konsumsi alkohol dan penurunan komsumsi rokok.(9)