Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH FARMAKOLOGI

“OBAT GANGLION DAN PELUMPUH OTOT”

Disusun Oleh :
Kelompok 3

1. Aas Siti Muthaharoh 33178K18001


2. Diki Nugroho 33178K18006
3. Novia Anggraini 33178K18020
4. Tia Amalia 33178K18026

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH


KUNINGAN
PRODI D-III FARMASI
SEMESTER III
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, nikmat serta karunia-
Nya yang tak ternilai dan tak dapat dihitung sehingga kami bisa menyusun dan
menyelesaikan makalah ini. Makalah yang berjudul “Obat Ganglion dan Pelumpuh Otot” ini
disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Farmakologi semester 3.

Makalah ini berisikan mengenai. Adapun, penyusunan makalah ini kiranya masih jauh
dari kata sempurna. Untuk itu, kami menghaturkan permohonan maaf apabila terdapat
kesalahan dalam makalah ini. Kami pun berharap pembaca makalah ini dapat memberikan
kritik dan sarannya kepada kami agar di kemudian hari kami bisa membuat makalah yang
lebih sempurna lagi.

Kuningan, 09 Desember 2019

Tim Penyusun
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anestesi umum yang mencakup tiga hal (trial) yaitu hilangnya kesadaran
(sedasi/hipnotik), hilangnya sensasi sakit (analgesia), dan relaksasi otot. Relaksasi otot
lurik penting dalam bidang anestesi untuk mempermudah dilakukan pembedahan atau
intubasi endotrakeal. Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesia
umum secara inhalasi, melakukan blokade saraf regional, dan memberikan pelumpuh otot.
Pendalaman anestesia beresiko depresi napas dan depresi jantung sedangkan blokade saraf
terbatas penggunaanya. Karena itu penggunaan obat pelumpuh otot menjadi penting untuk
mengurangi dosis obat anestesia sehingga dapat mengurangi resiko.

Sebelum dikenal obat penawar pelumpuh otot, penggunaan pelumpuh otot sangat
terbatas. Tetapi sejak ditemukan obat penawar pelumpuh otot dan penawar opioid, maka
penggunaannya menjadi semakin rutin. Setiap serabut saraf mmotorik mensarafi beberapa
serabut otot lurik dan sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf
otot. Maka pelumpuh otot disebut juga sebagai obat blockade neuro-muskular. Walaupun
obat pelumpuh otot bukan merupakan obat anestetik, tetapi obat ini sangat membantu
pelaksanaan anestesi umum.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja macam-macam obat pelumpuh atau pelemas otot ?


2. Bagaimana mekanisme masing-masing obat pelumpuh atau pelemas otot ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui macam-macam obat pelumpuh atau pelemas otot


2. Untuk mengetahui mekanisme masing-masing obat pelumpuh atau pelemas otot
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penggolongan Obat-obat Ganglion

1. Obat Yang Merangsang Kemudian Menghambat Ganglion


a) Nikotin
Nikotin penting bukan karena kegunaannya dalam terapi tetapi karena
terdapat dalam tembakau, bersifat toksik dan menimbulkan ketergantungan
psikis. Nikotin pertama kali diisolasi dari nikotiana tabacung oleh Posselt dan
Reiman ditahun1828, kemudian Orfila melakukan penelitian farmakologi
ditahun1843. Langley dan Dickingson di tahun1889 mendemonstrasikan bahwa
tempat kerjanya di Ganglion.
Secara kimia nikotin merupakan alkaloid alam berbentuk cairan, tidak
berwarna, suatu basa yang mudah menguap (volatile base) dengan pKa = 8,5. Zat
ini berubah warna menjadi coklat dan berbau mirip tembakau setelah bersentuhan
dengan udara. Kadarnya dalam tembakau antara 1-2%.

FARMAKODINAMIK

GANGLION. Perubahan dalam tubuh setelah pemberian nikotin sangat rumit dan
sering tidak dapat dipastikan. Hal ini disebabkan kerja nikotin yang sangat luas
terhadap ganglion simpatis maupun parasimpatis dan efek bifasiknya terhadap
ganglion (merangsang dan menghambat). Takikardia misalnya dapat terjadi
karena perangsangan ganglion simpatis atau hambatan ganglion parasimpatis, hal
yang sebaliknya mendasari terjadinya bradikardia. Selain itu nikotin dapat
merangsang medula adrenal dengan akibat pelepasan katekolamin yang
menimbulkan takikardia dan kenaikan tekanan darah. Efek yang terlihat
merupakan resultan dari berbagai mekanisme tersebut, ditambah lagi dengan
keadaan tonus jaringan suatu obat diberikan dan refleks-refleks kompensasi
tubuh.

Perangsangan ganglion terjadi dengan dosis kecil, timbul EPSP awal yang
mencapai ambang rangsang dan menimbulakn potensial aksi; kemudian dengan
dosis yang lebih besar terjadi EPSP (depolarisasi) yang persisten, yang
menimbulkan desentisasi reseptor sehingga terjadi penghambatan ganglion. Efek
bifasik ini juga terlihat pada medula adrenal yang secara embriologik merupakan
suatu ganglion simpatis.

OTOT RANGKA. Perubahan yang terlihat pada otot rangka mirip dengan apa
yang terjadi pada ganglion karena terdapat juga 2 fase. Tetapi efek perangsangan
dengan cepat tertutup oleh efek paralisis yang terjadi juga karena desensitisasi
reseptor.

SUSUNAN SARAF PUSAT, Nikotin adalah suatu perangsang SSP yang kuat
yang akan menimbulkan tremor serta konvusli pada dosis besar. Perangsangan
respirasi sangat jelas dengan nikotin; dosis besar langsung pada medula
oblongata, diikuti dengan depresi; kematian akibat paralisis pusat pernafasan dan
paralisis otot-otot pernafasan (perifer). Nikotin menyebabkan muntah melalui
kerja sentral dan perifer. Kerja sentral melalui stimulasi CTZ (Chemoreceptor
trigger zone) di area postrema dari medula oblongata. Kerja perifer melalui
stimulasi saraf sensoris jalur refleks untuk muntah. Kerja sentral diotak dan spinal
melalui penglepasan transmiter lain, yakni asam amino eksitasi, dopamin dan
amin biogenik lainnya. Penglepasan asam amino eksitasi menyebabkan kerja
stimulasi dari nikotin. Paparan kronik terhadap nikotin menyebabkan peningkatan
densitas reseptor nikotinik sebagai kompensasi terhadap desensitisasi fungsi
reseptor oleh nikotin.

SISTEM KARDIOVASKULAR. Efek pada sistem ini merupakan resultan dari


perangsangan ganglion simpatis dan medula adrenal serta pelepasan katekolamin
dari ujung saraf simpatis. Setelah pemberian nikotin biassanya tonus simpatis
lebih jelas sehingga terlihat takikardia dan vasokonstriksi. Merokok untuk jangka
waktu lama dapat menimbulkan hipertensi. Sebaliknya pada beberapa orang
tertentu dapat terjadi hipotensi; hal ini terlihat pada mereka yang mengalami
hipotensi bila merokok.

SALURAN CERNA, berlainan dengan efek terhadap sistem kardiovaskular,


nikotim menyebabkan perangsangan ganglion parasimpatis dan ujung saraf
kolinergik pada usus, sehingga tonus usus dan peristalsis meninggi. Efek
farmakodinamik ini agaknya mendasari kebiasaan merokok sebelum ke kamar
kecil pada individu tertentu. Mual, muntah, dan kadang-kadang diare terlihat pada
orang yang belum pernah terpapar nikotin sebelumnya.

KELENJAR EKSOKRIN. Salivassi yang timbul waktu merokok sebagian


diakibatkan oleh iritasi perangsangan sekresi air liur dan sekret bronkus disusul
penghambatannya.

FARMAKOKINETIK
Nikotin dapat diserap dari semua lempat termasuk kulit. Keracunan berat
dilaporkan terjadi akibat absorpsi di kulit. Absorpsl di lambung sedikit karena
siiat nifotin sebagai basa kuat. Absorpsi intestinal cukup untuk menyebabkan
keracunan per oral. Nikotin terutama mengalami metabolisme di hati, juga di paru
dan ginjal. Nikotin yang diinhalasi, dimetabolisme dalam jumlah yang berarti di
paru-paru. Metabolit utamanya ialah kotinin dan nikotinin. Masa paruh setelah
pemberian oral atau parenteral kira-kira 2 iam. Kecepatan ekskrasi melaiui urin
tergantung dari pH urin: berkurang pada pH alkali dan meningkat pada pH asam,
Nikotin diekskresi melalui air susu. Kadarnya dalam air susu pada perokok berat
dapat mencapai 0,5 mg/l.

INTOKSIKASI
INTOKSIKASI AKUT. Dilaporkan terjadi dengan insektisida yang mengandung
nikotin Juga akibat penggunaan larutan tembakau sebagai enema
untuk mengeluarkan cacing, yang mungkin dianggap tidak berbahaya.
Dosis latal pada manusia diperkirakan sekitar 60 mg. Satu batang rokok
putih mengandung 15-20 mg nikotin. Tiga hingga 4 batang rokok dalam air susah
merupakan dosis latal bila diminum sekaligus. Absorpsi nikotin dalam tembakau
per oral terjadi lambat, karena terjadi penundaan pengosongan lambung. Selain
itu, muntah yang berdasarkan efek sentral oleh fraksi yang diabsorpsi,
mengeluarkan tembakau yang tersisa di lambung.
Gejala keracunan dapat timbul cepat sekali dan kematian mungkin terjadi
dalam beberapa menit. Karena itu nikotin merupakan racun yang amat berbahaya
dan menyamai sianida dalam kecepatan kerjanya. Pertama-tama timbul mual dan
salivasi disertai dengan kolik usus, muntah dan diare. Selaniutnya timbul keringat
dingin, sakit kepala, pusing, pendengaran dan penglihatan terganggu, serta otot-
otot meniadi lemah Frekuensi napas meninggi dan tekanan darah naik; nadi pada
permulaan lambat dan akhirnya menjadi cepat. Pupil menunjukkan miosis yang
kemudian berubah menjadi midriasis. Sebelum kematian yang dapat terjadi dalam
beberapa menit, tekanan darah turun dan pernapasan menjadi dangkal akibat
depresi sentral dan kelumpuhan otot respirasi.
Tidak ada obat spesilik untuk keracunan nikotin, karena itu tindakan
mengatasinya bersifat simtomatik. Bila diduga racun masih tertinggal dilambung,
bilas lambung penting sekali dilakukan Untuk ini iapat dipakai larutan kalium
permanganat 1 : 10.000 untuk mengoksidasi nikotin, sedangkan zat alkali tidak
dianjurkan karena akan meningkatkan absorpsi nikotin. Bila pernapasan buatan
dapat dilakukan, ada kemungkinan ekskresi melalui ginjal dapat mengakhiri
keracunan. Tidak dibenarkan menggunakan obat perangsang sentral untuk
mengatasi depresi napas.

INTOKSIKASI KRONIK, Keadaan ini biasanya terjadi pada perokok berat.


Dalam asap rokok, nikotin tidak diserap dengan sempurna sehingga sebagian
kecil saja mencapai aliran darah. Selain nikotin, masih terdapat kira-kira 500 jenis
zat kimia yang berefek buruk yang dihasilkan pada pembakaran tembakau,
diantaranya : piridin, asam-asam yang mudah menguap, bahan-bahan ter dan
fenol, CO, HCN, dan sebagainya. Bahan-bahan ini tentu menambah sifat toksik
dari asap rokok. Perangsangan terhadap saluran napas menyebabkan penderita
mudah terserang penyakit saluran napas seperti faringitis, dan sindrom
pernapasan perokok (smo-ker's rcspiratory syndrome).
Frekuensi karsinoma bronkus jelas lebih besar pada pecandu rokok
dibanding bukan perokok dengan perbandingan 11 : 1. Asap rokok merangsang
kelenjar air liur dan mengurangi rasa lapar. Terhadap jantung, merokok dapat
menyebabkan ekstrasistol dan takikardi atrium paroksismal pada beberapa
penderita; frekuensi serangan nyeri jantung dapat meningkat pada perokok.
Penyakit Buerger mempunyai hubungan yang amat jelas dengan merokok.
Vasokonstriksi perifer terutama di daerah kulit menyebabkan perasaan dingin dan
ini mungkin disebabkan oleh efek terhadap ganglion simpatis. Perangsangan
sentral oteh nikotin berupa tremor dan insomnia. Hal yang terakhir ini mungkin
terlihat pada mereka yang merokok banyak sekali pada malam hari.
2. Obat Penghambat Ganglion
Dalam golongan ini termasuk : heksametonium (C6), pentolinium (CS),
tetraetilamonium (TEA), klorisondamin, mekamilamin dan trimetafan. Berbeda
dengan penghambatan oleh nikotin dan metakolin, efek penghambatan obat-obat
tersebut tidak didahului oleh suatu perangsangan. Hambatan ini terjadi secara
kompetitif dengan menduduki reseptor asetilkolin. pelepasan asetilkolin dari ujung
serat prasinaps tidak diganggu.

FARMAKODINAMIK
Kerja C6 dan obat-obat lain dalam golongan ini pada alat tubuh hampir
semuanya Dapat diterangkan dengan penghambatan pada ganglion simpatis dan
parasimpatis. Hasil penghambatannya bergantung pada tonus otonom semula; tonus
yang dominan akan dihambat lebih jelas (Tabel 8-1). Heksametonium adalah prototip
golongan ini. Apa yang dikatakan mengenai heksametonium umumnya berlaku juga
pada obat yang langsung menghambat ganglion lainnya, termasuk trimetafan yang
saat ini paling sering digunakan di klinik.

TABEL DOMINASI TONUS OTONOM DAN EFEK PENGHAMBAT


GANGLION DI BERBAGAI ORGAN.
Efek Penghambat
Tempat Dominasi Tonus Otonom
Ganglion
Kardiovaskular
 Arteriol Simpatis Vasodilatasi, peningkatan
aliran darah dan hipotensi
 Vena Simpatis Veodilatasi, pengumpulan
darah di vena, penurunan
alir balik vena, penurunan
curah jantung.
 Jantung : nodus SA Parasimpatis takikardia
Mata
 Iris Parasimpatis Midriasis
 Otot siliar Parasimpatis sikloplegia
Saluran Cerna parasimpatis Tonus dan motilitas
menurun, konstipasi,
sekresi lambung dan
pancreas menurun.
Kandung Kemih Parasimpatis Retensi urin
Kelenjar liur Parasimpatis Xerostomia
Kelenjar keringat Sipatis Anhidrosis
Organ Luar Kelamin Pria
 Pembuluh darah Parasimpatis dan simpatis Vasodilatasi berkurang
 ejakulasi simpatis Berkurang

SISTEM KARDIOVASKULAR. Arteri dan vena didominasi oleh tonus simpatis,


sehingga heksametonium menghambat lebih nyata ganglion simpatis dan
menyebabkan vasodilatasi serta pengurangan alir balik vena. Tekanan darah dalam
sikip berdiri dapat menurun dan menimbulkan hipotensi ortostatik. Dalam sikap
berbaring, tekanan darah tidak begitu banyak dipengaruhi.
Perubahan denyut jantung setelah pemberian penghambat ganglion tergantung
tonus semula. Umumnya, Terjadi takikardi ringan karena jantung didominasi tonus
parasimpatis. Tetapi bradikardia dapat terjadi bila sebelumnya denyut jantung linggi.
Pada pengobatan hipertensi dengan C6 umumnya terjadi takikardi ringan yang timbul
sebagai elek kompensasi, sehubungan vasodilatasi yang terjadi. Curah jantung
biasanya berkurang sebagai akibat terhambatnya alir balik vena, tetapi pada gagal
jantung, curah jantung dapat bertambah akibat berkurangnya tahanan periler. Selain
itu alir balik vena yang sedikit, dapat mengurangi beban pada jantung kanan.
Tahanan periler sistemik lotal menurun, perubahan aliran darah dan tahanan
periler berbeda pada masing-masing pembuluh darah. Temperatur kulit meningkat
terutama di anggota badan, Penurunan sirkulasi ke otak hanya terjadi bila tekanan
darah turun di bawah 60 mmHg. Aliran darah ke otol rangka tidak berubah. Aliran
darah ke alat dalam dan ginjal menurun disertai peningkatan tahanan vaskular ginjal
dan penurunan laju liltrasi glomerulus.
Vasodilatasi oleh trimetalan sebagian diduga berdasarkan elek langsung terhadap
pembuluh darah.

SALURAN CERNA DAN SALURAN KEMIH. Sekresi lambung jelas berkurang


sesudah pengobatan dengan C6; begitu juga sekresi pankreas serla air liur. Tonus dan
peristalsis lambung, usus kecil serta kolon dihambat sehingga keinginan untuk
defekasi tidak ada. lni merupakan elek samping yang sangat mengganggu pada
pengobatan dengan obat golongan
ini. Penghambatan ganglion vagal juga mengurangi tonus kandung kemih dan
menambah kapasitasnya sehingga teriadi retensi urin dan kesukaran berkemih.

EFEK LAIN. Pupil umumnya akan mengalami midriasis karena tonus parasimpatis
yang lebih dominan dalam pengaturan lebar pupil. Pada pengobatan dengan
heksametonium, hasilnya ialah suatu midriasis yang moderat. Kelenjar keringat
dihambat, dan pada dosis yang lebih besar, terlihat juga elek kurarilorm terhadap
sambungan saraf-otot. Trimetalan dapat menyebabkan penglepasan histamin sehingga
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien alergi.

FARMAKOKINETIK
teratur karena senyawa-senyawa tersebut tergolong dalam amonium kuaterner
yang sukar melewati membran sel. Selain itu hambatan pengosongan lambung dapat
memperlambat absorpsi diseling dengan episode penyerapan dalam jumlah besar
akibat beberapa dosis obat sekaligus masuk usus halus dari lambung. Oleh karena itu
dosis sukar sekali ditetapkan. Pengecualian untuk ini ialah mekamilamin yang diserap
secara lengkap oleh usus, terutama karena sebagian obat ini diekskresi dalam lumen
usus melalui empedu dan diserap kembali. Selain itu mekamilamin bukan suatu
amonium kuartener sehingga dapat melewati sawar darah otak dan sawar, uri.
Walaupun absorpsi mekamilamin lebih baik, tetap ada bahaya penurunan aktivitas
usus dengan akibat paralisis usus. Kadar tinggi mekamilamin terkumulasi di hati dan
ginjal dan masa kerjanya relatil lama.
Sebagian besar obat gangliolitik diekskresi oleh ginjal dalam bentuk asal
sehingga akumulasi dapat timbul pada gagal ginjal.
EFEK SAMPING
Karena efek larmakodinamiknya yang luas, maka obat ganglionik
menimbulkan elek samping yang sangat mengganggu. Reaksi yang paling
mengganggu dan mungkin berbahaya ialah hipotensi ortostatik, sembelit dengan
kemungkinan ileus paralitik dan retensi urin. Hipotensi orlostatik pada pengobatan
hipertensi berat dapat mencetuskan gagal jantung kiri yang latal. Efek inijuga
berbahaya pada penderita insulisiensi koroner dan ginjal, Hipotensi ortostatik
demikian beratnya sehingga hampir tidak memungkinkan pemberian penghambat
ganglion pada penderita yang berobat jalan.
Efek samping lain yang lebih ringan ialah midriasis dan kesukaran akomodasi,
mulut kering, impotensi, sukar berkemih, obstipasi diseling dengan diare, mual,
anoreksia dan sinkop. Gejala-gejala ini biasanya berkurang bila pengobalan
diteruskan, atau diberi obat adrenergik atau kolinergik, terganlung dari elek otonom
mana yang dihambat. Hal ini mungkin karena penghambatan terjadi di ganglion
sehingga sel elektor masih dapat dirangsang. Biasanya elek obat adrenergik atau
kolinergik justru menjadi sangat jelas karena penghambatan ganglion merupakan
sualu denervasi. Jadi epinelrin dapat mengatasi efek hipotensi dari C6 dengan mudah,
dan karbakol dapat menghilangkan gejala obstipasi.

SEDIAAN DAN POSOLOGI


Mekamilamin klorida hanya lerdapat dalam bentuk tablet 2,5 mg dan 10 mg.
Dosis permulaan adalah dua kali 2,5 mg sehari, yang sesudah 48 jam ditambah sampai
tercapai efek yang diingini. Trimetafan kamsilat tersedia sebagai suntikan 50 mg/ml
dengan masa kerjanya kira-kira 10 menit. Obat ini "diberikan dengan cara tetes
intravena sebagai larutan 0,1% dalam 5% dekstrose.

INDKASI
Kegunaan penghambat ganglion sebagai obat antihipertensi termasuk krisis
hipertensi sudahusang dan telah digantikan oleh obat-obat yang lebih aman. Satu-
satunya indikasi penghambat ganglion dalam hipertensi ialah pada acute dissecting
aorta aneurism. Pada gangguan ini penghambat ganglion tidak saja menurunkan
tekanan darah tetapi juga menghambat refleks simpatis dan dengan demikian
mengurangi peningkatan tekanan di tempat lesi. Dalam situasi tersebut trimetafan
diberikan 0,3-3 mg/menit sambil dipantau tekanan darah penderita.
lndikasi lain ialah untuk mengontrol tekanan darah dalam rangka mengurangi
perdarahan sewaktu pembedahan sebagai pengganti atau dalam kombinasi dengan
natrium nitroprusid, karena beberapa pasien resisten terhadap obat yang disebut
belakangan.
Trimetafan dapat digunakan untuk mengatasi hiperrefleksi otonom
sehubungan dengan kerusakan medula spinalis bagian atas yang disertai aktivitas
simpatis berlebihan. Hiperrelleksi otonom umumnya lerjadi akibat distensi kandung
kemih sehubungan dengan kateterisasi dan irigasi kandung kemih, sistoskopi atau
reseksi prostat lransuretral. Karena inhibisi refleks secara sentral tidak ada, Refleks
spinal menjadi dominan.

B. Penggolongan Obat Pelumpuh Otot

Berdasarkan tempat hambatannya, pelumpuh otot dibagi atas dua golongan besar, yakni :
1. Penghambat transmisi neuromuskuler
Obat dalam golongan ini menghambat transmisi neuromuskuler sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini
dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu :
a) Obat penghambat kompetitif yang menstabilkan membran, misalnya d-
tubokurarin
b) Obat penghambat secara depolarisasi persisten misalnya suksinilkolin
1) Farmakodinamik
a. Otot Rangka
ACh yang dilepaskan dari ujung saraf motorik akan
berinteraksi dengan reseptor nikotinik otot (NM) di lempeng akhir saraf
(endplate) pada membran sel otot rangka dan menyebabkan
depolarisasi lokal (endplate potensial,EPP) yang bila melewati ambang
rangsang (Et) akan menghasilkan potensialaksi otot (rnuscle action
potential, MAP). Selanjutnya, MAP akan menimbulkan kontraksi otot.
d-Tubokurarin dan penghambat kompetitif lainnya mempunyai cara
kerja yang sama, yaitu menduduki reseptor nikotinik otot (NM)
Sehingga menghalangi interaksinya dengan ACh. Akibatnya EPP
menurun, dan EPP yang menurun sampai kurang dari 70% tidak
mencapai Er sehingga tidak menghasilkan MAP dan kontraksi otot
tidak terjadi. Tetapi stimulasi listrik langsung pada ototnya dapat
menimbulkan kontraksi. lmpuls dalam akson tidak terganggu (Gambar
7-1).
Berbeda dengan penghambat kompetitil, C10 dan suksinilkolin
menghambat dengan cara menimbulkan depolarisasi persisten pada
lempeng akhir saraf (EPP persisten di atas Er) karena obat-obat ini
bekerja sebagai agonis ACh tetapi tidak segera dipecah seperti halnya
dengan ACh. Jadi, hambatan ini menyerupai efek ACh dalam dosis
besar sekali atau seperti pemberian antikolinesterase. Pada mulanya
EPP menghasilkan beberapa MAP yang menyebabkan terjadinya
fasikulasi otot selintas. Kemudian membran otot mengalami
akomodasi terhadap rangsangan yang persisten dari EPP sehingga
tidak lagi membentuk MAP, keadaan ini disebut blok fase I. Kejadian
ini disusul dengan repolarisasi EPP walaupun obat masih terikat pada
reseptor NM. Keadaan desensitisasi reseptor terhadap obat ini disebut
blok fase II (Gambar 7-2).
Sifat relaksasi otot rangka :
Kurare menyebabkan kelumpuhan dengan urutan tertentu. pertama
ialah otot rangka yang kecil dan bergerak cepat seperti otot ekstrinsik
mata, jari kaki dan tangan. Kemudian disusul oleh otot yang lebih
besar seperti otot-otot tangan, tungkai, leher dan badan. Selanjutnya
otot interkostal dan yang terakhir lumpuh adalah diafragma. Kematian
dapat dihindarkan dengan memberikan napas buatan sampai otot-otot
pernapasan berfungsi kembali (masa kerja d-Tc kira-kira l/2 jam).
Penyembuhan terjadi dengan urutan terbalik, dengan demikian
diafragma yang pertama sekali sembuh dan otot-otot kecil yang paling
akhir.
Suksinilkolin mempunyai perbedaan penting dengan obat
pelumpuh otot yang lain dalam kecepatan dan lama kerjanya (Tabel 7-
2). Dengan sifatnya ini, derajat relaksasi otot rangka dapat diubah
dalam 1/2-1 menit setelah pengubahan kecepatan infus. Setelah
penghentian infus, efek relaksasi hilang dalam 5 menit.
b. Susunan saraf Pusat
Semua pelumpuh otot, kecuali β-eritroidin, adalah senyawa
amonium kuartener maka tidak menimbulkan efek sentral karena tidak
dapat menembus sawar darah-otak. β-eritroidin yang merupakan amin
tersier adalah satu-satunya pelumpuh otot yang dapat menyebabkan
depresi SSP. Smith, seorang ahli anestesia melakukan percobaan yang
mengesankan yaitu menyuntik dirinya dengan d-tubokurarin sebanyak
2 1/2 kali dosis yang diperlukan untuk menghambat otot-otot respirasi.
Pernapasan buatan telah dipersiapkan dengan sempurna. Pada
eksperimen ini, Smith mencatat semua yang dialaminya, yaitu bahwa
kesadaran, ingatan, sensorium, rasa sakit dan EEG tidak terganggu.
c. Ganglion Otonom
Seperti nikotin, suksinilkolin atau C10 mempunyai efek bifasik
terhadap ganglion otonom, perangsangan diikuti dengan
penghambatan. Perangsangan ganglion parasimpatis (menimbulkan
bradikardi) dan ganglion simpatis (menimbulkan peningkatan tekanan
darah) lebih sering terjadi pada pemberian suksinilkolin. Pada dosis
yang tinggi sekali, dapat terjadi penghambatan ganglion. Hanya d-Tc
yang memperlihatkan efek penghambatan ganglion (takikardi dan
penurunan tekanan darah) yang cukup besar. Tetapi dosis d-Tcyang
diperlukan untuk menghambat ganglion, termasuk medula adrenal,
jauh lebih besar daripada untuk menghambat hubungan saraf-otot,
sehingga dalam pemakaian terapi, penghambatan ganglion tidak
merupakan masalah. Galamin pada dosis terapi memblok N. vagus di
jantung pada reseptor muskarinik (menimbulkan takikardi).
Pankuronium, alkuronium dan metokurin kurang memperlihatkan
penghambalan ganglion pada dosis klinis yang lazim. Atrakurium dan
vekuronium lebih selektif lagi.
d. Penglepasan Histamin
d-Tubokurarin dapat menimbulkan histamine wheal pada
penyuntikan intradermal, selain itu ditemukan juga efek histamin lain
seperti spasme bronkus, hipotensi serta hipersekresi bronkus dan
kelenjar ludah. Gejala-gejala ini dapat dicegah dengan pemberian
antihistamin, sedangkan atropin tidak dapat mencegahnya.
Suksinilkolin, metokurin, dan atrakurium juga mempunyai potensi
untuk melepaskan histamin, tetapi lebih kecil dibanding d-Tc.
Dekametonium, galamin, pankuronium, alkuronium dan vekuronium
kurang melepaskan histamin, baik pada penyuntikan intradermal
maupun injeksi sistemik.

e. Kardiovaskuler
d-Tubokurarin tidak menimbulkan efek langsung terhadap
jantung maupun pembuluh darah. Hipotensi timbul karena vasodilatasi
perifer akibat penglepasan histamin dan penghambatan ganglion, dan
ini terjadi pada pemberian lV yang cepat dengan dosis besar.
Kehilangan tonus otot rangka mempengaruhi alir balik vena, dan ini
dapat memperburuk kolaps kardiovaskuler. Sebaliknya pankuronium
bila disuntikkan dengan cepat dapat menaikkan tekanan darah,
mungkin akibat stimulasi ganglia. Atrakurium dan vekuronium hanya
sedikit mempengaruhi tekanan darah dan denyut jantung.
f. Lain-lain
Berkurangnya tonus dan motilitas gastrointestinal terutama
akibat penghambatan ganglion. Obat penghambat secara depolarisasi
persisten dapat melepaskan K* dengan cepat dari dalam sel. Hal ini
dapat menyebabkan memanjangnya apnea pada penderita dengan
gangguan elektrolit. Obat-obat inijuga harus dihindarkan pada
penderita dengan luka bakar atau trauma jaringan lunak yang luas,
mereka ini seringkali membutuhkan dosis obat penghambat kompetitif
yang lebih tinggi. Sebaliknya, neonatus mungkin lebih sensitif
terhadap penghambat kompetitif dan lebih resisten terhadap
penghambat depolarisasi persisten.
2) Farmakokinetik
Semua pelumpuh otot tidak diserap dengan baik melalui usus kecuali
β-eritroidin, yang merupakan amin tersier. d-Tubokurarin yang merupakan
bahan aktif dalam racun panah tidak menyebabkan keracunan jika daging
hewan yang mati terpanah itu dimakan oleh orang lndian. Namun tubokurarin
diserap dengan baik melalui penyuntikan IM. Pada manusia, 2/3 dari dosis d-
tubokurarin diekskresi utuh dalam urin. Walaupun efek paralisis mulai
menghilang dalam waktu 20 menit setelah suntikan IV, beberapa gejala masih
terlihat sampai 2-4 jam atau lebih. Distribusi, eliminasi dan masa kerja
metokurin sama dengan tubokurarin. Pankuronium sebagian mengalami
hidroksilasi di hati, tetapijuga mempunyai masa kerja yang sama. Atrakurium
dikonversi oleh esterase plasma dan secara spontan menjadi metabolit yang
kurang aktlf, hal ini menyebabkan masa kerjanya setengah dari masa kerja
pankuronium (sekitar 30 menit). Vekuronium sebagian mengalami
metabolisme, masa kerjanya juga setengah masa kerja pankuronium, dan
tidakmemperlihatkan kumulasi pada pemberian berulang. Galamin dan C10
hampir seluruhnya diekskresi utuh melalui ginjal. Suksinilkolin dengan cepat
dihidrolisis oleh pseudokolinesterase yang banyak terdapat dalam hepar dan
plasma, sehingga masa kerjanya sangat pendek. Di antara penderita dengan
apne yang berkepanjangan setelah pemberian suksinilkolin, sebagian
mempunyai kolinesterase plasma yang atipik atau defisiensi enzim tersebut
akibat kelainan genetik, penyakit hati atau gangguan gizi, tetapi pada beberapa
orang, aktivitas esterase plasma normal.
3) Interaksi dengan Obat Lain
a. Anestetik Umum
Eter, halotan, metoksifluran, isofluran, enfluran, siklopropan
dan fluroksen memperlihatkan efek stabilisasi membran pascasinaps,
maka bekerja sinergistik dengan obat-obat penghambat kompetitif.
Oleh karena itu, pada penggunaan bersama anestetik umum tersebut
diatas, dosis pelumpuh otot kompetitif harus dikurangi. Terutama pada
penggunaan bersama eter, dosis pelumpuh otot kompetitif 1/3-1/2 kali
dosis biasanya.
b. Antibiotik
Golongan aminoglikosida (streptomisin, gentamisin dan lain-
lain) menyebabkan hambatan neuromuskuler melalui hambatan
penglepasan ACh dari ujung saraf motorik (karena
berkompetisidengan ion Ca) dan juga melalui sedikit stabilisasi
membran pascasinaps. Hambatan ini dapat diantagonisasi oleh ion Ca.
Golongan tetrasiklin juga menghambat transmisi neuromuskuler,
mungkin karena membentuk kelat (chelate) dengan ion Ca. Hambatan
inijuga dapat diantagonisasi dengan ion Ca. Golongan peptida
(polimiksin B, kolistin), linkomisin dan klindamisin memblok
transmisi neuromuskuler melalui mekanisme yang belum diketahui.
Oleh karena itu, pada penderita yang sedang diobati dengan salah satu
antibiotik tersebut di atas, pemberian pelumpuh otot harus disertai
pertimbangan tentang (1) besarnya dosis dan (2) penggunaan garam
kalsium bila pernapasan spontan tidak segera kembali.
c. Kalsium Antagonis
Golongan obat ini juga meningkatkan blok neuromuskuler oleh
penghambat kompetitif maupun depolarisasi persisten. Mekanismenya
tidak jelas apakah akibat hambatan penglepasan ACh dari ujung saraf
motorik atau melalui stabilisasi membran pascasinaps.
d. Antikolinesterase
Neostigmin, piridostigmin dan edrofonium dapat
mengantagonisasi hambatan kompetitif pada sambungan saraf-otot
melalui preservasi ACh endogen maupun efek langsungnya. Oleh
karena itu, obat-obat tersebut dapat digunakan sebagai antagonis pada
keracunan obat-obat pelumpuh otot kompetitif. Neostigmin atau
edrofonium juga digunakan untuk mempercepat pulihnya penderita
dari efek pelumpuh otot kompetitif sehabis operasi. Atropin diberikan
bersama untuk mencegah perangsangan reseptor muskarinik. Telah
disebutkan bahwa antikolinesterase bekerja sinergistik dengan obat-
obat pelumpuh otot secara depolarisasi persisten sehingga akan
meningkatkan hambatan neuromuskuler.
e. Lain-lain
Obat-obat lain yang juga berinteraksi dengan pelumpuh otot
golongan 1 atau golongan 2 adalah trimetafan, analgesik opiat,
prokain, lidokain, kuinidin, lenitoin, propranolol, kortikosteroid,
glikosida jantung, klorokuin, katekolamin, diuretik, garam Mg++, dan
fenelzin.
4) INTOKSIKASI
Efek toksik yang ditimbulkan oleh obat golongan ini disebabkan dosis
berlebih atau sinergisme dengan berbagai macam obat. Yang paling sering
dialami ialah apne yang lerlalu lama, kolaps kardiovaskular dan akibat
penglepasan histamin. Paralisis pernapasan harus diatasi dengan napas buatan
tekanan positif dengan O2dan pemasangan pipa endotrakeal sampai napas
kembali normal. Bila digunakan obat penghambat kompetitil, pulihnya napas
dapat dipercepat dengan pemberian neostigmin metilsulfat (0,5-2 mg IV) atau
edrofonium (10 mg IV, dapat diulangi bila perlu), bersama atropin untuk
menghambat perangsangan muskarinik. Neostigmin atau edrofonium hanya
mengantagonisasi kelemahan otot, sedangkan hipotensi atau bronkospasme
dapat diperburuk. Kolaps kardiovaskuler dapat diatasi dengan pemberian obat
simpatomimetik dan merebahkan penderita dengan kepala lebih rendah untuk
membantu kembalinya darah ke jantung dari otot yang lumpuh. Efek dari
histamin yang dilepaskan dapat dicegah dengan pemberian antihistamin
sebelumnya. Pemberian halotan bersamasuksinilkolin dapat menimbulkan
hipertermia maligna, suatu kelainan genetik dengan insidens antara 1 : 15.000
dan 1 :50.000, berupa kelakuan otot yang luasdanpeningkatan produksi panas
oleh otot, dan dapat berakibat fatal. Pengobatan berupa pendinginan yang
cepat, inhalasi 100 % O2,pengendalian asidosis yang terjadi, dan pemberian
dantrolen IV. Dantrolen menghambat penglepasan Ca++ dari retikulum
sarkoplasma sehingga mengurangi tonus otot dan produksi panas.
5) SEDIAAN DAN POSOLOGI
Pelemas otot diberikan parenteral dan hampir selalu secara IV. Obat
golongan ini hanya digunakan oleh ahli anestesiologi dan klinisi lain yang
berpengalaman dan di tempat yang dilengkapi dengan sarana untuk
pernapasan buatan dan resusitasi kardiovaskuler. d-Tubokurarin klorida
tersedia sebagai larutan mengandung 3 mg/ml untuk suntikan IV. Karena
menimbulkan hipotensi, penggunaannya makin berkurang. Untuk anestesia
bedah ringan, obat ini diberikan sebagai dosis tunggal 6-9 mg IV pada orang
dewasa. Bila perlu, 1/2 dosis ini dapat diberikan lagi setelah 3-5 menit.
Dengan anestetik umum tertentu (halotan, isofluran, dan enfluran), harus
digunakan dosis yang lebih rendah. Metokurin yodida tersedia sebagai larutan
2 mg/ml. Preparat ini 2 kali lebih kuat daripada d-tubokurarin. Dosis cukup,
setengah dosis. Galamin trietyodida tersedia sebagai larutan 20 mg/ml. Dosis
biasanya ialah 1,0 mg/kg IV, dan bila perlu dapat diulangi setelah 30-40 menit
dengan dosis 0,5-1,0 mg/kg. Suksinilkolin klorida tersedia sebagai bubuk steril
0,5-1,0 gram, dan dalam larutan untuk suntikan IV yang mengandung 20, 50
atau 100 mg/ml. Untuk prosedur bedah yang singkat pada orang dewasa, dosis
IV biasanya 0,6 mg/kg, tetapi dosis optimal bervariasi antara 0,3-1,1 mg/kg.
Untuk prosedur yang lebih lama, obat ini diberikan sebagai infus dengan dosis
yang bervariasi antara 0,5-5,0 mg atau lebih per menit. Derajat relaksasi otot
dapat diatur dengan kecepatan infus. Dekametonium (Cl0) tersedia sebagai
larutan steril, berisi 1 mg/ml. Dosis awal: 0,5-3,0 mg IV dengan kecepatan 0,5
mg/menit, dapat ditambah setelah 10-30 menit. Pankuronium bromida tersedia
sebagai larutan 1-2 mg/ml. Dosis IVawal biasanya0,04-0,10 mg/kg.
Vekuronium bromida tersedia dalam vial berisi 10 mg. Dosis IV awal
biasanya 0,08-0,1 mg/ kg, bila perlu ditambah dengan 0,01-0,015 mg/kg.
Atrakurium besilat tersedia sebagai larutan 10 mg/ml, Dosis awal IV
0,4-0,5 mg/kg. Dosis penunjang seperlima dosis awal. Alkuronium klorida
tersedia sebagai larutan 5 mg/ml. Dosis awal IV 0,2-0,3 mg/kg.
Heksafluorenium bromida ialah suatu inhibitor selektil kolinesterase plasma
dengan silat pelumpuh otot kompetitif yang lemah. Obat ini diberikan untuk
memperpanjang efek suksinilkolin dan mengurangi fasikulasi awal akibat
suksinilkolin. Tersedia sebagai larutan 20 mg/ml. Setelah dosis
heksafluronium 0,4 mg/kg IV (maksimal 36 mg), dosis awal suksinilkolin 0,2
mg/kg IV (maksimum 18 mg) mempunyai masa kerja 20-30 menit.
Fazadinium bromid digunakan di Eropa sebagai penghambat kompetitif yang
kerjanya cepat. Mula kerjanya cepat dan dimetabolisme oleh hati pada
penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
6) INDIKASI
Kegunaan klinis utama pelumpuh otot ialah sebagai adjuvan dalam
anestesia untuk mendapatkan relaksasi otot rangka terutama pada dinding
abdomen sehingga manipulasi bedah lebih mudah dilakukan. Dengan
demikian operasi dapat dilakukan dengan anestesia yang lebih dangkal. Hal
tersebut menguntungkan karena risiko depresi napas dan kardiovaskuler akibat
anestesia dikurangi. Selain itu masa pemulihan pasca-anestesia dipersingkat.
Relaksasi otot juga berguna pada waktu reposisi tulang yang patah atau
dislokasi sendi. Pelumpuh otot yang kerjanya singkat juga digunakan untuk
mempermudah intubasi pipa endotrakeal dan sewaktu melakukan
laringoskopi, bronkoskopi dan esofagoskopi dalam kombinasi dengan
anestesia umum. Pelumpuh otot juga digunakan untuk mencegah trauma pada
terapi syok dengan listrik (elektroshock) pada penderita kelainan jiwa, karena
terapi ini akan menimbulkan kejang-kejang yang dapat menyebabkan dislokasi
atau fraktur. Untuk ini, suksinilkolin paling banyak dipakai karena masa
kerjanya yang singkat. Untuk tujuan diagnostik, kurare dapat digunakan untuk
mendeteksi rasa nyeri akibat kompresi akar saraf yang tertulup oleh rasa nyeri
akibat spasme otot pada liksasi.

2. Penghambat excitation-contraction coupling


1. DANTROLEN
a) Farmakodinamik
Dantrolen menyebabkan kelumpuhan otot rangka dengan cara
menghambat penglepasan ion Ca dari retikulum sarkoplasmik.
Kekuatan kontraksi otot menurun paling banyak 75-80%. Dalam dosis
terapi, obat ini tidak mempengaruhi saraf, otot jantung, maupun otot
polos, dan juga tidak mempunyai kerja GABA-ergik.
b) Farmakokinetik dan Sediaan
Absorpsi oral lebih dari 70%, kadar puncak dicapai setelah 1-4 jam.
Metabolit utamanya, 5-hidroksidantrolen, aktif tetapi lebih lemah
dibanding dantrolen sendiri. Waktu paruh dantrolen 6-9 jam,
sedangkan waktu paruh 5-hidroksidantrolen 15,5 jam. Kadarnya
meningkat dengan peningkatan dosis sampai 200 mg sehari, tetapi
tidak dengan dosis 400 mg sehari (karena terbatasnya kapasitas
absorpsi atau ikatan protein). Tidak ada hubungan antara kadar obat
dalam darah dengan perbaikan klinik. Dosis oral melebihi 100 mg
sehari seringkali tidak meningkatkan efek obat.
Dantrolen tersedia dalam bentuk kapsul 25,50 dan 100 mg, dan
bubuk steril 20 mg untuk dilarutkan menjadi 70 ml larutan IVyang
mengandung 0,32 mg dantrolen/ml.
c) Intoksikasi dan Efek Samping
Obat ini tidak boleh diberikan pada penderita dengan
kelemahan otot, karena dapat memperburuk keadaan tersebut. Efek
samping yang paling sering terjadi berupa kelemahan otot, mengantuk,
pusing, malaisedan diare. Yang paling berat ialah reaksi
hipersensitivitas berupa kerusakan hati yang dapat berakibat fatal.
Risiko terjadinya reaksi ini paling tinggi pada wanita di atas 35 tahun,
dan paling sering setelah 3-12 bulan pengobatan. Kebanyakan kasus
reversibel bila obat dihentikan. Obat ini dikontraindikasikan pada
penyakit hati yang aktif.
d) Indikasi dan Posologi
Dantrolen digunakan untuk mengurangi spasme otot akibat
kerusakan medula spinalis dan otak, atau lesi sentral lainnya, misalnya
sklerosis multipel, palsi serebral, dan mungkin stroke, yang disertai
rasa nyeri. Manfaat berkurangnya kekakuan otot harus ditimbang
terhadap kemungkinan berkurangnya kekuatan otot. Penderita dengan
kekuatan otot yang borderline, akan merasa lelah atau lemah.
Dantrolen tidak diindikasikan untuk fibrositis, spondilitis reumatik,
bursitis, artritis, atau spasme otot akut setempat. Pada orang dewasa,
obat ini diberikan dengan dosis awal 25 mg 1-2 kali sehari. Dosis dapat
ditingkatkan menjadi 25 mg 3-4 kali sehari, kemudian 50-100 mg 4
kali sehari. Setiap dosis harus diperlahankan selama 4-7 hari untuk
melihat responsnya. Biasanya respons yang memuaskan sudah dicapai
dengan dosis 100-200 mg sehari. Pada anak, digunakan dosis yang
sama, dimulai dengan 0,5 mg/kg 1-2 kalisehari (maksimum, 100 mg 4
kali sehari atau 3 mg/kg 4 kali sehari). Dantrolen IV diberikan sewaktu
operasi bila diperkirakan adanya hipertermia maligna, dan juga untuk
profilaksis pada penderita dengan riwayat penyakit ini. Dantrolen IV
juga digunakan untuk pengobatan sindrom neuroleptik maligna, heat
stroke, dan kekakuan otot akibat keracunan kokain, karbon monoksida,
dan zat-zat lain dan untuk mengurangi nyeri akibat exercise pada
distrofi otot Duchenne.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai