Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Tingkat merokok jauh lebih tinggi di antara orang dengan masalah

kesehatan mental dibandingkan pada populasi umum. Sebuah survei nasional

morbiditas kejiwaan antara lebih dari 8.000 orang dalam populasi umum

menemukan bahwa orang dengan gangguan neurotik seperti episode depresi,

fobia atau gangguan obsesif kompulsif dua kali lebih mungkin untuk

merokok (Combs et al., 2000). Memiliki lebih dari satu gangguan neurotik

(gangguan neurotik komorbiditas) juga dikaitkan dengan perokok berat

(NHS, 2004).

Kebiasaan merokok ini dapat meningkatkan kecepatan metabolisme

obat obat antipsikotik karena adanya aktivasi dari neuron dopamin yang

dipengaruhi oleh nikotin (Kumari, et al., 2005). Menurut Krishnadas (2012),

Efek induksi nikotin dapat menimbulkan penurunan gejala negatif dan

perbaikam kemampuam kognitif pada pasien Gangguan Jiwa. sehingga pasien

sengaja merokok untuk mengurangi efek samping dari obat antipsikotik

sehingga pada terapi berikutmya dibutuhkan dosis antipsikotik yang lebih

tinggi.

Namun perlu diketahui beberapa alasan mengapa kita harus

mengetahui status merokok pada pasien – pasien psikiatri. Dimana tinggi nya

insensitas pasien Gangguan Jiwa dalam merokok dapat menyebabkan

perubahan hingga perburukan suasana dan mood pada kehidupan sehari hari

sehingga pasien psikotok menjadi tidak stabil (Warbuton, et al., dalam Huges,

1
et al, 1989). Menurut Miller (1977), merokok juga dapat menurunkan efek

terapi dan memperburuk efek samping beberapa obat antipsikotik. Merokok

juga dapat mempengaruhi hubungan antara penyakit jiwa dan relative

motality (Jancar, 1987).

Sehingga pada makalah referat ini, penulis akan membahas tentang

bahaya merokok terhadap pasien Gangguan Jiwa, kerugian bagi pasien jika

tidak segera berhenti merokok, dan memahami cara berhenti merokok pada

pasien Gangguan Jiwa. Diharapkan makalah referat ini dapat menjadi bahan

belajar khususnya tentang hubungan merokok terhadap pasien Gangguan

Jiwa.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Rokok

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19

tahun 2003 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan menyatakan bahwa

rokok ialah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk

lainnya yang dihasilkan dari nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan

spesies lainnya atau sintesis yang mengandung nikotin dan tar dengan atau

tanpa bahan tambahan.

Rokok adalah gulungan tembakau yang disalut dengan daun nipah

(Alwi, 2002). Merokok adalah suatu kata kerja yang berarti melakukan

kegiatan atau aktifitas menghisap, sedangkan perokok adalah orang yang

suka merokok (Alwi, 2002).

B. Kandungan Rokok

Rokok merupakan zat adiktif, yaitu zat yang dapat menyebabkan

seseorang menjadi ketergantungan dan membahayakan kesehatan

dengan ditandai adanya perubahan perilaku, kognitif, dan fenomena

fisiologis, berkeinginan kuat untuk mengkonsumsi zat tersebut

meningkatnya toleransi, dan dapat menyebabkan gejala putus obat (PP.

RI. No. 109, 2012).

Rokok mengandung banyak bahan kimia yang baerbahaya bagi

perokok aktif maupun pasif. Terdapat lebih dari 7000 bahan kimia yang

3
terkandung didalamnya. Sedikitnya, 250 senyawa telah diketahui

membahayakan bagi tubuh seperti hidrogen sianida, karbon monoksida

dan amonia. Bahan 69 dari bahan berbahaya tersebut dapat

menyebabkan kanker, seperti asetaldehid, amin aromatik, arsenik,

benzena, dan masih bayak lagi. Rokok mengandung beberapa bahan

kimia yang dapat membahayakan kesehatan dan bersifat

karsinogenetik. Beberapa contoh zat berbahaya yang terkandung didalam

rokok, yaitu :

1. Nikotin

Nikotin merupakan senyawa pyrrolidine yang terdapat dalam

nicotina tabacum, nicotina rustica dan spesies lainnya yang dapat

menyebabakan seseorang ketergantungan pada rokok (PP. RI. No.109,

2012). Nikotin mulai berkembang saat dosis pertama, oleh karena itu

perokok akan terus menambah dosis nikotin untuk mempertahankan efek

tenang dan rileks (Sudiono, 2008). Nikotin dikenal salah satu racun yang

paling kuat. Nikotin membuat seseorang ketagihan tembakau. Tidak

adanya tembakau dapat mengakibatkan gelaja-gejala perasaan yang

tidak menyenangkan. Gejala-gejala ini dapat terjadi pada seseorang yang

mencoba untuk berhenti merokok. Nikotin merangsang pelepasan

hormon adrenalin kedalam darah. Hormon adrenalin menyebabkan

peningkatan detak jantung dan peningkatan tekanan darah. Dalam jangka

waktu lama, tekanandarah yang tinggi dapat menyebabkan masalah yang

4
berkaitan dengan sistem peredaran darah. Masalah tersebut misalnya

penyakit jantung.

2. Karbon monoksida

Karbon monoksida adalah gas tidak berbau, tidak berwarna, tidak

berasa dan tidak mengiritasi, namun sangat berbahaya (beracun). Gas ini

merupakan hasil pembakaran yang tidak sempurna dari kendaraan

bermotor, alat pemanas, peralatan yang mengandung bahann api

berasaskan karbon dan nyla api. Gas CO akan sangat berbahaya jika

terhirup, karena hal gas CO akan menggantikan posisi oksigen untuk

berikatan dengan hemoglobin dalam darah (Infopom, 2015)

3. Tar

Tar merupakan salah satu bahan kimia yang terdapat didalam

rokok. Dalam bentuk kondesat tar merupakan zat yang lengket

berwarna coklat yang dapat menyebabkan gigi kuning pada perokok

(ASH Fact Sheeet, 2014). Tar terkumpul diparu-paru karena asap rokok

akan mendingin setelah diisap Dan masuk kedalam paru-paru. Tar

akan bercampur dengan bahan-bahan kimia bercampur yang lain.

Beberapa diantaranya merupakan karsinogenik (suatu substansi penyebab

kanker).

C. Tahap – Tahap Prilaku Merokok

Laventhal dan Clearly (Komalasari & Helmi, 2000)

mengungkapkan empat tahap dalam perilaku merokok, yaitu :

5
1. Tahap Preparatory

Seseorang mendapatkan gambaran yang menyenangkan mengenai

merokok dengan cara mendengar, melihat, atau dari hasilbacaan,

sehingga menimbulkan niat untuk merokok.

2. Tahap Initiation

Tahap perintisan merokok, yaitu tahap apakah seseorang akan

meneruskan ataukah tidak terhadap perilaku merokok.

3. Tahap Becoming A Smoker

Apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak empat

batang per hari maka mempunyai kecenderungan menjadi perokok.

4. Tahap Maintaining Of Smoking

Pada tahap ini merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara

pengaturan diri (self regulating). Merokok dilakukan untuk

memperoleh efek yang menyenangkan.

D. Dampak Merokok Pada Pasien dengan Gangguan Jiwa

Merokok dapat mengganggu beberapa obat, sehingga pasien mungkin

harus menggunakan dosis yang lebih tinggi daripada jika tidak merokok. Jadi,

jika berhenti merokok, jumlah beberapa obat dalam darah bisa naik dalam

beberapa hari. Dokter mungkin perlu untuk mengurangi dosis beberapa obat,

seperempat pada minggu pertama, dan mungkin bahkan lebih dalam tiga

minggu berikutnya.

Namun, jika mulai merokok lagi, mungkin perlu untuk kembali ke

dosis obat lama. Hal ini karena tembakau berinteraksi dengan beberapa obat

6
psikiatris sehingga kerja obat kurang efektif. Beberapa obat-obatan

dipengaruhi oleh rokok, diantaranya termasuk:

 Antidepresan (trisiklik lama seperti amitriptyline dan mirtazapin baru)

 Antipsikotik (terutama clozapine, olanzapine dan haloperidol)

 Benzodiazepin (misalnya diazepam)

 Opiat (misalnya metadon)

Hal yang sama diungkapkan oleh NHS (2004), perokok umumnya

diresepkan dosis neuroleptik yang lebih tinggi, yang mungkin disebabkan

karena merokok meningkatkan metabolisme obat neuroleptik. Asap rokok

menginduksi enzim P450-1A2 (CYP1A2) yang bertanggung jawab untuk

aktivasi beberapa procarcinogens dan juga untuk metabolisme banyak obat.

Ketika seorang perokok berhenti, induksi enzim ini hilang, sehingga ada

metabolisme lebih lambat dari obat yang menyebabkan kenaikan tingkat.

Obat dimetabolisme oleh CYP1A2 (Bazire, 2003). Sebaliknya, jika pasien

telah berhenti merokok dan kemudian mulai lagi (misalnya ketika mereka

keluar dari rumah sakit), tingkat plasma sebelumnya dari terapi obat bisa

turun seperti turunnya induksi enzim. Zat-zat yang dapat terhambat efeknya

karena merokok, yaitu:

 Caffeine

 Clozapine

 Diazepam

 Fluvoxamine (partly)

 Haloperidol (partly)

7
 Mirtazapine (partly)

 Olanzapine (partly)

 Paracetamol

 Perphenazine

 Propranolol

 Tamoxifen

 Theophylline

 Verapamil

 Warfarin-R (major)

 Zotepine Tricyclics–tertiary (eg amitriptyline, clomipramine, desipra-

mine, imipramine)

Levin et al (1996) juga menyatakan merokok juga dapat membantu

mengurangi beberapa efek samping yang berhubungan dengan obat

antipsikotik, misalnya beberapa efek samping pengobatan haloperidol pada

orang yang didiagnosis dengan skizofrenia.

Dalam berbagai tinjauan penelitian berbasis imunoneuropatobiologis

menunjukkan bahwa neurotransmiter berperanan sangat penting dalam

gangguan perilaku dan gangguan psikiatrik. Neurotransmiter yang

berpengaruh pada terjadinya gangguan perilaku dan pskiatrik diantaranya

adalah dopamin, norepinefrin, serotonin, GABA, glutamat dan asetilkolin.

Selain itu, penelitian-penelitian juga menunjukksan adanya kelompok

neurotransmiter lain yang berperan penting pada timbulnya mania, yaitu

golongan neuropeptida, termasuk endorfin, somatostatin, vasopresin dan

8
oksitosin. Diketahui bahwa neurotransmiter-neurotransmiter ini, dalam

beberapa cara, tidak seimbang (unbalanced) pada otak individu mania

dibanding otak individu normal. GABA diketahui menurun kadarnya dalam

darah dan cairan spinal pada pasien mania. Norepinefrin meningkat kadarnya

pada celah sinaptik, tapi dengan serotonin normal. Dopamin juga meningkat

kadarnya pada celah sinaptik, menimbulkan hiperaktivitas dan asgresivitas

mania, seperti juga pada skizofrenia.

Penelitian menunjukkan bahwa zat-zat yang menyebabkan berku-

rangnya monoamin, seperti reserpin, dapat menyebabkan depresi. Akibatnya

timbul teori yang menyatakan bahwa berkurangnya ketersediaan

neurotransmiter monoamin, terutama NE dan serotonin, dapat menyebabkan

depresi. Teori ini diperkuat dengan ditemukannya obat antidepresan trisiklik

dan monoamin oksidase inhibitor yang bekerja meningkatkan monoamin di

sinap. Peningkatan monoamin dapat memperbaiki depresi (Amir, 2016).

Salah satu kandungan rokok yang berkaitan dengan kadar

neurotransmitter diantaranya adalah nikotin memacu pengeluaran zat-zat

seperti adrenalin. Zat ini merangsang denyut  jantung dan tekanan darah,

dengan cara merangsang untuk melepaskan norepinefrin melalui saraf

adrenergik dan meningkatkan katekolamin yang dikeluarkan oleh adrenal.

Hormon katekolamin yang terdiri dari zat aktif dopamin, norepinefrin dan

epinefrin lebih dikenal dengan adrenalin. Di dalam otak, sebagai respon

terhadap Nikotin, otak akan memerintahkan tubuh untuk membuat zat

endorphin lebih banyak lagi. Endorphin adalah senyawa protein yang lebih

9
tepat disebut sebagai body’s natural pain killer. Struktur kimia Endorphin

tidaklah jauh berbeda dengan painkiller kelas atas seperti morphine.

Endorhpin dapat membuat seseorang merasa relaks dan euphoria (Amir,

2016).

Nikotin sangat mempengaruhi dan dapat mengubah fungsi otak dan

tubuh kita. Nikotin membuat si perokok merasa relaks dan kemuadian merasa

lebih energik dan bersemangat, atau sebaliknya. Efek ini umum dikenal

sebagai biphase effect. Sialnya, semakin sering seseorang merokok, akan

semakin merasa ketagihan dan semakin meningkat pula jumlah rokok yang

dihisap (Sudiono, 2008).

Efek-efek relaks, berenergi, semangat tersebut hanya berlangsung

sesaat karena kecanduan yang akan terjadi bukan merupakan mekanisme

koping yang baik. Hal tersebut dikarenakan bahaya nikotin bagi penderita

gangguan jiwa bukan hanya dari gangguan hormon tetapi juga risiko

kecanduan yang lebih besar sehingga risiko penyakit dan kematian akibat

rokok akan lebih tinggi. Saat Adrenalin dilepas tubuh kita pun akan

melepaskan cadangan glukosa kedalam darah. Kemudian, insulin akan

memerintahkan sel tubuh untuk menyerap kelebihan glukosa dalam darah.

Efek ini sering disebut sebagai hyperglycaemic, yaitu tingginya kadar gula

dalam darah. Inilah alasan kenapa saat merokok, seseorang tidak merasa lapar

dan akan tahan untuk tidak makan selama berjam-jam. Lebih banyak

dijumpai perokok yang berbadan kurus dibandingkan perokok yang kelebihan

berat badan. Dalam jangka panjang, nikotin dapat meningkatkan kadar

10
kolesterol dalam darah, mengakibatkan si perokok, walaupun sudah lama

berhenti merokok, sangat rentan terhadap serangan jantung dan stroke. Ini

sebagai akibat dari rusaknya pembuluh arteri dalam darah, yang salah satu

fungsinya, mengedarkan oksigen (Sudiono, 2008).

E. Faktor Merokok Pada Pasien Gangguan Jiwa

Dalam hal ini belum sepenuhnya dipahami mengapa pasien dengan

gangguan jiwa lebih banyak mereokok. Beberapa penelitian sebelumnya

banyak penelitian meneliti hubungan antara pasien gangguan jiwa dengan

penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Dimana pasien dengan gangguan jiwa

dapat menggunakan obat-obat terlarang untuk menghilangkan beberapa gejala

positif dan negatif. Namun Hughes (1987) mengatakan ada beberapa

kemungkinan mengapa pasien dengan gangguan jiwa lebih suka merokok,

yaitu :

1. Pasien dengan gangguan jiwa akan kekurangan neurotransmitter

(seperti noradrenalin) yang mana salah satu zat yang terkandung

didalam rokok dapat meningkatkan neurotransmitter tersebut sehingga

mereka akan merasa rileks dan euphoria.

2. Pasien dengan gangguan jiwa biasanya akan lebih cepat merasa bosan

dan mereka terbiasa mengisi waktu luangya dengan merokok

3. Pasien dengan gangguan jiwa memiliki masalah dengan rasa agresif,

konsentrasi atau relaksasi, semua hal itu dapat teratasi dengan merokok

11
4. Dengan merokok pasien dengan gangguan jiwa akan merasa lebih

terbuka, impulsif atau ciri kepribadian lain yang lebih tinggi yang

berhubungan dengan merokok

5. Rokok juga dapat mengimbangi efek dari obat-obatan sedatif

6. lebih cenderung menjadi ketergantungan pada obat-obatan

Sehingga dari peneitian tersebut dapat menunjukkan bahwa hubungan

antara merokok dan gangguan jiwa memiliki suatu ciri, bukan suatu keadaan

maupun fenomena.

F. Kerugian Merokok Pada Pasien dengan Gangguan Jiwa

Tingginya prevalensi merokok pada pasien dengan gangguan jiwa

harus kita perhatiin secara khusus bagi klinis. Dimana pasien dengan

gangguan jiwa yang merokok maupun berhenti merokok dapat mengaburkan

sebuah diagnosa psikiatri. Merokok merubah sistem neurotransmitter yang

mana dapat memicu kecemasan, mood, dan kognitif. Sebagai contoh, merokok

meningkatkan fungsi kolinergik dan noradrenergic dan putus mendadak

tembakau menurunkan fungsi kolinergik dan noradrenergic. Yang mana,

merokok atau berhenti merokok pada pasien dengan gangguan jiwa dapat

mengaburkan hubungan dari sistem penyakit psikiatri (Hughes, 1987).

Beberapa hal yang mungkin terjadi jika pasien dengan gangguan jiwa

merokok maupun berhenti merokok :

1. merokok dapat meredakan gejala kecemasan

2. meningkatkan kognitif

3. menyebabkan tremor

12
4. Berhenti dari merokok dapat menyebabkan kecemasan, kesulitan tidur,

makan yang meninkat, kesulitan berkonsentrasi, gelisah, irritability, sakit

kepala, dan menurunkan tremor

5. Studi empiris menunjukan bahwa efek ini dapat mempengaruhi akurasi

dari diagnosis kelainan mayor seperti putus obat dan Parkinsonism

6. Merokok juga dapat menyebabkan efikasi dari pengobatan, sebagai

contoh, merokok menurunkan banyak kadar obat-obatan psikoaktif dalam

darah

7. merokok mengimbangi efek sedatif dari benzodiazepin dan neuroleptik.

8. Merokok dapat memperburuk efek samping neuroleptik.

13
BAB III

KESIMPULAN

Rokok merupakan zat adiktif, zat yang menyebabkan seseorang

menjadi ketergantungan dan ditandai adanya perubahan perilaku,

kognitif, dan fenomena fisiologis, berkeinginan kuat untuk mengkonsumsi

zat tersebut meningkatnya toleransi, dan dapat menyebabkan gejala putus

obat.

Merokok dapat mengganggu beberapa obat, sehingga pasien

mungkin harus menggunakan dosis yang lebih tinggi daripada jika tidak

merokok. Jadi, jika berhenti merokok, jumlah beberapa obat dalam darah

bisa naik dalam beberapa hari.

Salah satu kandungan rokok yang berkaitan dengan kadar

neurotransmitter diantaranya adalah nikotin memacu pengeluaran zat-zat

seperti adrenalin. Sehingga zat ini akan membuat merasa relaks dan

kemuadian merasa lebih energik dan bersemangat, atau sebaliknya. Efek

ini umum dikenal sebagai biphase effect.

Tingginya prevalensi merokok pada pasien psikiatri memiliki suatu

keterlibatan dengan profesi kita sebagai tenaga kesehatan yaitu kita harus mulai

menasehati pasien untuk berhenti merokok. Di mana, merokok atau berhenti

merokok pada pasien dengan gangguan jiwa dapat mengaburkan hubungan

dari sistem penyakit psikiatri.

14
Daftar Pustaka

Alwi, Hasan dkk. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Balai

Pustaka: Jakarta.

Combs, D. R. dan C. Advokat. 2000. Antipsychotic Medication and Smoking

Prevalence in Acutely Hospitalized Patients with Chronic Schizophrenia.

Schizophrenia Research. 46: 129-137.

Jancar J., 1987; Cancer in The Long Stay Hospital; Br J Psychiatri. 134: 550-551

John R. Hughes, M.D., Dorothy K. 1987; Prevalence of Smoking Among

Psychiatric Outpatients. Am J Psychiatry 143:8

Komalasari, D.,Helmi, A. F., 2000. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Merokok

pada Remaja. Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada Vol.3 No 1

Krishnadas, R., S. Jauhar, S. Telfer, S. Shivashankar, dan R. G. McCreadie. 2012

Nicotine dependence and illness severity in schizophrenia. The British

Journal of Psychiatry. 201 (4), 306-312

Kumari, V. dan P. Postma. 2005. Nicotine Use in Schizophrenia : The Self

Medication Hypotheses. Neuroscience and Biobehavioral Reviews. 29:

1021-1034.

Miller RR., 1977; Effects Of Smoking on Drug Action; Clin Pharmacol Ther 22;

749-756

Muhibbin Syah. (2003). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

NHS. 2004. Smoking and Patients with Mental Health Problem. London: Health

Development Agency.

15
Sudiono, J. 2008; Pemeriksaan Patologi Untuk Diagnosis Neoplasma Mulut;

ECG., Jakarta

16

Anda mungkin juga menyukai