Anda di halaman 1dari 3

Budaya Bali Darurat Komersialisasi

Oleh: Ni Komang Yuko Utami

Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam serta tradisi
dan budaya. Jika menelaah dari segi budaya tak ada habis-habisnya untuk menjadi topik bahasan.
Pasalnya menurut times Indonesia, kiranya sudah 17 budaya serta tradisi Indonesia yang telah
diakui oleh UNESCO. Bahkan jumlah tersebut bisa bertambah lagi seiring perkembangan zaman
dan meningkatnya eksistensi Indonesia di mata dunia. Tentunya hal tersebut sangat berharga
bagi bangsa Indonesia sendiri. Mengingat budaya dan tradisi tersebut dapat dipertontonkan di
berbagai seni pertunujukan., sehingga mengundang minat wisatawan manca negara untuk datang
ke Indonesia. Hal itu akan berdampak pada perekonomian negeri, dimana devisa negara akan
terus meroket. Sehigga dapat mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

Budaya dan tradisi nusantara tidak hanya sebatas seni tari dan gamelan. Hal itu dapat
dilihat dari pengertian budaya sendiri, yakni suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik,
adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni (wikipedia). Dari pengertian
itu, dapat dibayangkan bahwa betapa banyaknya budaya itu sejatinya. Akibatnya, seiring
berkembangnya zaman, masyarakat Indonesia semakin kreatif dan inovatif untuk mengusahakan
budaya dan tradisi agar dapat memberi penghasilan. Hal tersebut mengakibatkan semakin
melesatnya usaha kecil dan menengah yang berkembang di negara kita saat ini serta tetap
mengutamakan kerifan lokal.

Menjurus lebih ke inti, sejatinya pemanfaatan budaya dan tradisi sebagai sumber
penghasilan adalah hal yang sah-sah saja. Namun, rasa tamak dan pikiran instan menjadi kabut
kelam yang menyelimuti esensi serta estetika budaya kita sendiri. Diantara sekian ribu pulau di
Indonesia, Bali menjadi salah satu primadona wisatawaqn untuk dikunjungi. Bali sebagai
destinasi wisata berhasil menduduki peringkat pertama untuk destinasi wisata terbaik se-dunia
versi Trip Advisor Travellers' Choice Awards 2017 (Kompas.com). selain memiliki keindahan
alam dan keramah-tamahan, Bali juga kaya akan budaya dan tradisi, sperti tarian, gamelan,
tempat suci (pura), dan masih banyak lagi. Sekian banyaknya budaya dan tradisi membuat
wisatawan tertarik. Apalagi, dengan adanya paket wisata murah nan komplit semakin
menggugah wisatawab untuk menginjakkan kakinya di pualu dewata ini.

Sekian banyaknya paket wisata yang ditawarkan, liburan mengunjungi tempat-tempat suci masih
menjadi jempolan. Bagaimana tidak? Sekian ribu jumlah pura dengan berbagai jenis serta ciri
khas mengundang rasa penasaran untuk mengulik sejarahnya dan sekedar ber-swa foto ria. Pura
sendiri merupakan tempat suci umat Hindu yang digunakan untuk mengadakan ritual agama dan
persembahyangan. Pura sendiri memiliki 3 bagian, dimana untuk orang yang sedang dalam masa
cuntaka (tidak bersih/suci) tidak boleh memasuki bagian utama pura. Berdasar pada asta kosala-
kosali bagian pura tersebut diantaranya Nista Mandala (terluar, bagian yang boleh dimasuki
orang yang cuntaka), Madya Mandala (ditengah), Utama Mandala (bagian utama). Mengenai
cuntaka, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) pun telah mengatur dalam Keputusan
Seminar ke-IV tentang Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu tanggal 17 s/d 20
April 1978. Yang mana mengaskan bahwa larangan masuk ke Pura bagi orang-orang seperti
berikut:

1. Dalam keadaan datang bulan (wanita), baru melahirkan atau aborsi yang belum selesai
masa cuntaka/ sebel – nya.
2. Berhalangan kematian atau cuntaka karena sebab lain
3. Tidak mentaati ketentuan masuk Pura
4. Menderita cacat fisik yang permanen.
5. Berpakaian tidak sopan atau menonjolkan bentuk tubuh/ aurat.
6. Bercumbu, berkelahi, bertengkar, berkata kasar/ memaki, bergosip, menyusui bayi,
meludah, buang air, mencorat-coret pelinggih-pelinggih, dan lain-lain.
7. Yang tidak mempunyai kepentingan bersembahyang atau yang berkaitan dengan acara/
upacara di Pura.
PHDI dalam Keputusan Nomor: 11/Kep/I/PHDIP/1994 tanggal 25 Januari 1994
mengeluarkan Bhisama tentang kesucian Pura, di mana ditetapkan bahwa kawasan suci
meliputi: gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai-sungai), pantai, laut.
Sayangnya, laranga tersebut tak diindahkan oleh beberapa wisatawan. Entah wisatawan
yang tak paham atau oknum pengelola pura yang hanya ingin meraup keuntungan semata.
Kerap terlihat bahwa oknum pengelola pura tetap mengizinkan wisatwan masuk meskipun ia
telah mengetahui bahwa wisatwan itu sedang berhalangan. Tarif yang dibandrol pun ditambah
agar dapat memasuki bagian pura yang berupa madya dan utama. Hal ini kerap kali terjadi di
pura-pura yang sudah eksis di Bali. Uang mengalahkan iman. Kalimat tersebut layak untuk
menjadi perumpamaan pada kasus ini. Pekerjaan kotor tersebut dikerjakan dengan bersih,
sehingga tak banyak yang mengtahui realita yang memilukan ini. Budaya bali khususnya
tempat-temnpat suci di Bali benar-benar menjadi korban komersialisasi yang dapat diartikan
sebagai perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan. Pura benar-benar dijadikan
barang dagangan murni oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Sehingga, makna, estetika,
serta fungsi sejati dari pura itu sendiri pun dilupakan. Solusi yang dapat diberikan adalah tak
hanya sebatas pemasangan pamflet terkait larangan memasuki pura semata. Namun, ini bisa
dikembangkan kembali, dimana dalam setiap pura, pihak berwajib yang benar-benar diseleksi
untuk menuntaskan oknum-oknum itu. Serta kerjasama aparat hukum dengan dusun setempay
juga penting agar tidak ada lagi oknum yang seperti itu. Hukum pun juga perlu ditegakkan
terkait permaslahan ini. Karena siapa lagi yang akan menjaga kalau bukan kita? Bangun dan
sadarlah!

Anda mungkin juga menyukai