Anda di halaman 1dari 32

RANCANG BANGUN FUNCTIONAL ELECTRICAL STIMULATOR

UNTUK PENDERITA STOKE EKSTREMITAS ATAS USIA 30-60 TAHUN

PROPOSAL SKRIPSI
KONSENTRASI ELEKTRONIKA

Ditujukan untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

ACHMAD MAULUDIN HELDIYANTO


NIM. 165060301111002

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS TEKNIK

MALANG

2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................i

DAFTAR TABEL...................................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................5

PENDAHULUAN....................................................................................................5

1.1. Latar Belakang..............................................................................................5

1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................7

1.3. Batasan Masalah............................................................................................7

1.4. Tujuan...........................................................................................................8

1.5. Manfaat.........................................................................................................8

BAB II......................................................................................................................9

TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................9

2.1. Stroke............................................................................................................9

2.2. Gangguan Ekstremitas Atas pada Penderita Stroke....................................12

2.3. Mekanisme Kontraksi Otot.........................................................................14

2.4. Potensial Aksi Motor Unit..........................................................................16

2.5. Potensial Aksi Serabut Otot........................................................................18

BAB III...................................................................................................................28

METODE PENELITIAN.......................................................................................28

3.1. Prosedur Penelitian......................................................................................28

3.2. Perancangan Alat.......................................................................................29

3.3. Perancangan Sistem Perangkat Keras (Hardware)......................................30

3.5. Jadwal Faktual Kegiatan...............................................................................1

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................2

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Otot Ekstremitas Atas (Sobotta,2003)....................................................9

Gambar 2 Gerakan Pergelangan Tangan (Lupita,2014).........................................9

Gambar 3 Anatomi Otot Fleksor Pergelangan Tangan (Floyd, 2007)..................10

Gambar 4 Mekanisme Penghantaran Impuls Kontraksi Otot...............................14

Gambar 5 Fase Stimulus Saraf (Guyton dan Hall, 2006)......................................16

Gambar 6 Kanal Ion K+ dan Na+ Pada Membran (Guyton dan Hall, 2006)........17

Gambar 7 Mekanisme Kontraksi Serabut Otot (Campbell, 2000)........................18

Gambar 8 Model Efek Stimulasi Listrik Perifer dengan FES (Popovic, 2014)....19

Gambar 9 Pola Gelombang Functional Electrical Stimulator...............................20

Gambar 10 Bentuk Pulsa Spike (Astuti, 2015).....................................................24

Gambar 11 Board Arduino Uno (Arduino Store USA, 2016)..............................25

Gambar 12 Diagram Alir Prosedur Penelitian......................................................27

Gambar 13 Blok Diagram alat Functional Electrical Stimulator..........................28

Gambar 14 Flowchart Pembangkit Pulsa PWM Monophasic Square..................30

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Klasifikasi Nilai MMT (Conable,2011)...................................................12

Tabel 2 16 Pin Konektor LCD 2x16 (Andrianto, 2008).......................................25

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Menurut laporan dari WHO (World Health Organization), stroke menjadi penyebab
kedua kematian di dunia, dengan jumlah total 6,7 juta kematian pada tahun 2012 baik di
negara maju maupun berkembang. Penderita stroke di Indonesia sebagai negara
berkembang juga selalu mengalami peningkatan terbukti dari jumlah penderita stroke
yang meningkat dari 8,3 per 1000 orang (2007) menjadi 12.1 per 1000 orang (Riskesdas,
2013). Stroke adalah suatu kondisi patologi yang disebabkan karena adanya gangguan
suplai darah ke otak baik karena iskemia (gangguan pembuluh darah) maupun
perdarahan internal sehingga dapat menyebabkan gangguan fungsi saraf akut dan
kehilangan fungsi otak lokal di daerah yang terganggu. Sebagian besar penderita stroke
yang telah sembuh mengalami kelumpuhan atau kecacatan pasca stroke. Majalah ilmiah
Cambridge University menyebutkan stroke merupakan penyebab kecacatan kedua
terbanyak di seluruh dunia pada individu berumuur 60 tahun. Selain itu, sepertiga dari
penderita stroke yang bertahan mengalami cacat yang signifikan (Cambridge University
Press, 2005).

Setiap penderita stroke akan mengalami kecacatan yang berbeda-beda tergantung dari
klasifikasi jenis stroke yang diderita. Terdapat suatu metode pengukuran kecacatan
pasca stroke terhadap efektivitas fungsi gerak tubuh

(motorik) yaitu dengan melakukan manual muscle testing (MMT) dengan range 0- 5
yang menunjukkan sejauh mana kemampuan fungsi gerak yang masih dapat dilakukan
oleh pasien. Semakin besar nilai MMT menunjukkan semakin banyak pula fungsi gerak
yang dapat dilakukan oleh pasien atau dengan kata lain tingkat keparahan pasien semakin
rendah (Conable, 2011).

Telah banyak usaha yang dilakukan untuk dapat mengembalikan fungsi motorik
pasien pasca stroke. Salah satunya adalah dengan upaya rehabilitasi dan terapi secara
berkala. Umumnya rehabilitasi dilakukan dalam jangka waktu yang lama terutama untuk
pasien dengan nilai MMT relatif kecil yaitu antara range 1-2. Kasus yang mulai banyak
berkembang saat ini stroke tidak hanya diderita oleh individu berusia rentah saja, banyak
pula penderita stroke usia produktif dikarenakan gaya hidup yang tidak sehat. Karena
masih dalam usia produktif inilah dibutuhkan suatu upaya rehabilitasi yang efektif untuk
4
mempercepat kembalinya fungsi motorik pasca stroke. Selain rehabilitasi terapi
konvensional, rehabilitasi dengan menggunakan stimulasi listrik telah banyak diteliti dan
diterapkan pada dunia medis akhir-akhir ini. Terapi dengan menggunakan stimulasi
listrik atau yang lebih dikenal sebagai functional electrical stimulator (FES) bertujuan
untuk menginduksi kontraksi otot.

Uraian di atas menjadi dasar penulis untuk melakukan penelitian mengenai functional
electrical stimulator (FES) sebagai terapi pasien pasca stroke. Functional electrical
stimulator (FES) merupakan stimulasi listrik yang akan merangsang saraf tepi (perifer)
sebagai bantuan dinamis untuk mengembalikan fungsional tubuh, baik ekstremitas atas
dan ektremitas bawah. Macam-macam gerakan tersebut yaitu gerakan fleksi,
ekstensi, abduksi, adduksi, dan hiperekstensi (Floyd, 2007). Dasar yang menjadi
acuan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Addawiyyah (2015) yaitu
rancang bangun FES untuk membantu fungsi ekstremitas atas penderita stroke dengan
menggunakan gelombang square monophasic. Penelitian yang telah dilakukan tersebut
ternyata mampu memberikan efek positif sesuai dengan tujuan perancangan, namun
berdasarkan teori yang ada, gelombang spike diyakini lebih baik atau lebih nyaman
digunakan untuk terapi pasien daripada gelombang square dikarenakan nilai tegangan
efektif gelombang spike lebih kecil daripada gelombang square (Tri Anggono, dkk,
2012). Pada penelitian ini akan dibuat rancang bangun FES dengan menggunakan
gelombang monophasic spike. Selain itu penelitian ini juga dianggap lebih mudah dalam
hal pembangunan program pada Arduino karena menggunakan input PWM daripada
penelitian sebelumnya yang menggunakan input DAC.

FES yang akan dirancang pada penelitian ini akan lebih difokuskan untuk
mengembalikan fungsional ekstremitas atas khususnya daerah flexor group pergelangan
tangan untuk membantu gerakan fleksi pasien pasca stroke. Lum et al, 2009 menyebutkan
dari beberapa penelitian 65% individu stroke tidak dapat menggunakan fungsi ekstremitas
atas dalam kehidupan sehari-hari. FES dirancang dengan menggunakan gelombang spike
monophasic berbasis Arduino Uno. Arduino berfungsi sebagai pembangkit pulsa yang
sesuai dengan parameter masukan: amplitudo, frekuensi, dan lebar pulsa. Selain itu,
arduino juga berfungsi sebagai pengolah data dari keypad ke lcd. Parameter
electrical stimulation menurut Erick et al adalah amplitude 20-200 V. Untuk mencapai
tegangan 200 V. dibutuhkan sumber tegangan yang juga besar. Namun dengan sumber
tegangan yang kecil saja dapat membangkitkan tegangan sebesar 200 V dengan
5
menggunakan rangkaian penguat tegangan. Hal ini dilakukan karena tujuan perancanagan
FES ini adalah sebagai alat bantu yang diharapkan dapat dibawa kemana saja (portable)
sehingga tidak memungkinkan jika menggunakan sumber tegangan yang besar.

Alasan pertimbangan perancangan FES portable ini adalah melihat banyaknya pasien
pasca srtoke yang harus mengantri untuk mendapat terapi di instalasi rehabilitasi medik
RSUD Dr. Soetomo Surabaya, maka dari itu penulis mencoba merancang suatu alat terapi
FES portable sehingga nantinya diharapkan pasien pasca stroke tidak perlu lagi datang ke
rumah sakit dan mengantri untuk mendapatkan terapi, namun cukup melakukan sendiri
terapi di rumah dengan bantuan perawat atau operator sehingga proses terapi akan
menjadi lebih efisien. Tegangan keluaran alat diberikan melalui keypad oleh user yang
akan mengaktifkan pembangkitan pulsa dengan keluaran yang sama dengan masukan
pengguna. Terdapat beda potensial antara elektroda dengan kulit dan juga hambatan kulit
(resistastansi kulit) sehingga arus yang timbul akan masuk ke dalam tubuh. Dalam
penelitian ini akan dianalisa pengaruh variasi frekuensi terhadap efektivitas dari FES
dalam mengembalikan fungsi motorik fleksi ekstremitas atas pasien pasca stroke.

1.2. Rumusan Masalah

Dari permasalahan yang mengacu pada latar belakang, maka rumusan masalah dapat
disusun sebagai berikut:

1. Bagaimana rancangan Functional Electrical Stimulator (FES) yang akan dibuat?

2. Berapa nilai kuantitatif amplitudo, frekuensi, dan lebar pulsa yang diberikan
untuk dapat melakukan fungsi ekstremitas atas gerakan fleksi pada pasien pasca
stroke ?

3. Apa makna dari nilai kuantitatif amplitude, frekuensi, dan lebar pulsa yang diberikan
terhadap pasien pasca stroke ?

1.3. Batasan Masalah

Penelitian ini akan dibatasi oleh berbagai aspek, yaitu:

1. Pasien pasca stroke dengan rentang usia 30-70 tahun

2. Pasien pasca stroke dengan nilai MMT 0, MMT 1, dan MMT 3

3. Pengujian FES dilakukan pada otot ekstremitas atas otot fleksor sekitar pergelangan
tangan.

6
4. Frekuensi yang dipilih untuk pengujian stimulus yaitu 22, 24, 25, 26, 30, 33, 36, 48,
dan 50 Hz.

1.4. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Membuat rancang bangun Functional Electrical Stimulator (FES)

2. Mengetahui nilai kuantitatif amplitudo, frekuensi, dan lebar pulsa yang diberikan
untuk dapat melakukan fungsi ekstremitas atas gerakan fleksi pada pasien pasca
stroke.

3. Membantu dokter untuk mengetahui perkembangan pasien pasca stroke berdasarkan


nilai kuantitatif amplitudo, frekuensi, dan lebar pulsa yang diberikan sehingga dokter
dapat menentukan metode rehabilitasi yang sesuai guna mempercepat pengembalian
fungsi ekstremitas atas pasien pasca stroke.

1.5. Manfaat

1. Bagi dunia medis, berguna untuk pengembangan teknologi dalam


rehabilitasi medis sebagai alat bantu mengembalikan fungsi ekstremitas atas pasien
stroke.

2. Bagi dunia pendidikan, sebagai referensi ilmu pengetahuan untuk mengetahui


efektivitas Functional Electrical Stimulator (FES) untuk membantu mengembalikan
fungsi ekstremitas atas pasien pasca stroke berdasarkan variasi frekuensi.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stroke

Stroke didefinisikan sebagai gangguan fungsi saraf yang disebabkan terjadinya


gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak dan cepat dengan
gejala atau tanda-tanda sesuai dengan daerah yang terganggu. Menurut WHO (World
Health Organization) stroke didefinisikan sebagai terjadinya gangguan fungsional otak
fokal maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam
akibat gangguan aliran darah pada otak. Stroke dapat disebabkan oleh beberapa faktor
seperti sumbatan bekuan darah, penyempitan pembuluh darah, sumbatan dan
penyempitan atau pecahnya pembuluh darah. Semua faktor tersebut menyebabkan
kurangnya pasokan darah yang memadai (Irfan, 2010).
Kelumpuhan merupakan salah satu gejala umum yang dialami pasien stroke,
kelumpuhan dapat berupa hemiparesis atau hemiplegia yaitu kelumpuhan dapat terjadi
pada seluruh tubuh ataupun salah satu sisi tubuh yang berlawanan dengan sisi otak yang
mengalami kerusakan akibat stroke. Kondisi ini dapat mempengaruhi wajah, lengan dan
kaki atau seluruh sisi tubuh sehingga pasien mengalami kesulitan dalam melakukan
kegiatan sehari hari seperti berjalan atau memegang benda (National Institut of
Neurological Dissorder and Stroke
[NINDS], 2008 ).
Kasus yang paling sering dialami oleh pasien pasca stroke adalah kelumpuhan
ekstremitas baik atas maupun bawah. Ekstremitas atas merupakan fungsional gerak
bagian atas yang terdiri dari pundak, siku, tangan, dan pergelangan tangan. Gambar 2.1
menunjukkan anatomi otot-otot permukaan (surface anatomy) dalam posisi posterior dan
interior. Gerakan ekstremitas atas dibagi menjadi beberapa macam gerakan yaitu fleksi,
ekstensi, abduksi, dan adduksi. Ada pula gerakan ekstensi yang berlebihan yang biasa
disebut hyperekstensi. Gambar 2.2 menunjukkan macam-macam gerakan pergelangan
tangan. Otot-otot ekstremitas atas yang bekerja tergantung dari jenis gerakan yang
diinginkan. Sebagai contoh untuk menghasilkan gerakan fleksi pergelangan tangan, otot-
otot yang bekerja antara lain flexor carpi radialis, flexor carpi ulnaris dan Palmaris
longus (Floyd, 2007). Gambar 2.3. menunjukkan anatomi otot fleksor tangan kanan
dalam posisi ventral.

8
Gambar 1 Otot Ekstremitas Atas (Sobotta,2003)

Gambar 2 Gerakan Pergelangan Tangan (Lupita,2014)

9
Gambar 3 Anatomi Otot Fleksor Pergelangan Tangan (Floyd, 2007)

Stroke disebabkan oleh banyak faktor. Sebagian besar dari faktor-faktor

tersebut sebenarnya bisa dikendalikan. Virgil Brown, MD, dari Emory University,

Atlanta, menyebutkan bahwa stroke merupakan akibat dari life style (gaya hidup)

manusia modern yang tidak sehat seperti mengonsumsi makanan yang tinggi

10
kolesterol dan rendah serat, kurang dalam aktivitas fisik serta berolahraga, akibat
stress/kelelahan, konsumsi alkohol berlebihan, dan kebiasaan merokok. Berbagai faktor
risiko itu selanjutnya akan berakibat pada pengerasan pembuluh arteri (arteriosklerosis),
sebagai salah satu pemicu stroke (Dewanto, 2009).

2.2. Gangguan Ekstremitas Atas pada Penderita Stroke

Kematian jaringan otak yang dialami pasien stroke dapat menyebabkan

berkurang atau bahkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan tersebut,

salah satu gejala yang paling sering timbul adalah kelemahan otot pada anggota

gerak tubuh (Wiwit, 2010). Gangguan fisik stroke seperti kelemahan otot, nyeri,

dan spastisitas dapat menyebabkan penurunan kemampuan untuk menggunakan

ekstremitas atas dalam aktivitas sehari-hari, keadaan ini membuat seseorang

menghindari menggunakan lengan dan tangan yang terkena stroke. Berkurangnya

penggunaan fungsi lengan dan tangan ini secara berangsur dapat menyebabkan

kelemahan atau kehilangan kekuatan otot, penurunan rentang gerak dan

keterampilan motorik halus. Selain itu, pasien pasca stroke juga seringkali

mengalami kekakuan otot yang mengakibatkan penderita pasca stroke mengalami

kesulitan dalam melakukan aktivitas seharihari. Kekakuan otot juga dapat

menyebabkan rasa sakit, ankilosis, tendon retraction yang dapat menjadi

hambatan potensi keberhasilan rehabilitasi (Thibaut et al, 2013).

Sejauh ini pedoman klinis untuk menentukan kekuatan otot pasien stroke

adalah melakukuan pengukuran dengan Manual Muscle Testing (MMT). MMT

memiliki range pengukuran dari 0-5. Justifikasi nilai MMT dilakukan oleh

dokter.

ahli di bidang rehabilitasi medis dengan melakukan pemeriksaan secara manual

pada bagian tubuh pasien yang lumpuh. Menurut Kendall dan Kendall dan

11
American Medical Association (AMA) yang dikemukakan oleh Conable pada

tahun 2011, terdapat kalsifikasi nilai MMT sebagaimana yang tertulis pada Tabel

2.1

American Medical Association


Nilai Kendall dan Kendall
(AMA)
0 Tidak ada kontraksi otot Tidak ada kontraksi otot

1 Kontraksi otot dapat


Kontraksi otot dapat dirasakan, tapi
dirasakan, tapi tidak ada
tidak ada gerakan
gerakan
2 Gerakan sebagian anggota
Gerakan sebagian anggota tubuh
tubuh tanpa kemampuan
tanpa kemampuan melawan gravitasi
melawan gravitasi
3 Otot dapat memegang suatu

bagian pada tes posisi

melawan resistansi gravitasi


Otot dapat memegang suatu bagian
tapi tidak dapat memegang
pada tes posisi melawan gravitasi
jika ditambahkan tekanan

meskipun kecil
4 Otot dapat memegang suatu Pasien dapat bergerak dengan

bagian pada tes posisi gerakan penuh melawan beberapa

melawan beberapa tekanan resistansi

namun melepaskannya

12
5 Pasien dapat bergerak dengan
Otot dapat melalui uji tes
gerakan penuh melawan resistansi
posisi dengan tekanan penuh
penuh
Tabel 1 Klasifikasi Nilai MMT (Conable,2011)

Ektremitas atas memiliki peran penting dalam melakukan aktivitas sehari- hari
seperti makan, mandi, kebersihan diri, toileting, dan lain-lain. Ekstremitas atas
merupakan bagian tubuh yang paling aktif, sehingga gangguan atau lesi pada bagian otak
seperti stroke yang mengakibatkan kelemahan akan sangat menghambat dan menggangu
kemampuan dan aktivitas sehari-hari seseorang.

2.3. Mekanisme Kontraksi Otot

.Jaringan otot (muscle tissue) terdiri atas sel-sel yang disebut serabut otot

yang bersifat kontraktil, yaitu mampu berkontraksi ketika dirangsang oleh implus

saraf. Sifat kontraktilitas ini disebabkan sel-sel otot memiliki protein kontraktil,

yaitu aktin dan miosin. Otot merupakan jaringan yang paling banyak terdapat

pada sebagian besar tubuh manusia (Campbell, 2000).

Kontraksi otot terjadi akibat adanya potensial aksi yang berasal dari Motor

Unit Action Potential (MUAP). Proses ini diawali dengan adanya pengiriman

impuls dari sistem saraf pusat melalui neuron motoric ke motor unit pada

otot.

yang proses inervasinya seperti pada Gambar 2.4 (Guyton dan Hall, 2006).

Implus pada motor unit selanjutnya akan diteruskan ke otot. Selain potensial

aksi, terdapat beberapa proses lain yang saling berkaitan sehingga menyebabkan

otot dapat berkontraksi seperti potensial membran istirahat, keluarnya ion

Ca2+ ke sitosol, dan interaksi filamen aktin dan miosin.

13
Gambar 4 Mekanisme Penghantaran Impuls Kontraksi Otot

14
2.4. Potensial Aksi Motor Unit

Terdapat tiga fase untuk menstimulus saraf yaitu fase istirahat,

depolarisasi, dan repolarisasi seperti yang tertera pada Gambar 2.5. Dalam

keadaan istirahat atau polarisasi, antara sisi dalam dan luar membran sel terdapat

suatu beda potensial yang disebut dengan potensial istirahat sel (cell resting

potential). Beda potensial tersebut disebabkan oleh perbedaan konsentrasi

membran antara membrane dalam dan luar. Potensial ini berpolaritas negative

pada membran di sisi dalam dan positif di sisi luar membran sel. Konsentrasi ion

membran (K+) di sisi dalam membran sekitar 35 kali lebih tinggi dibandingkan

konsentrasi di sisi luar. Sebaliknya, konsentrasi ion sodium (Na+) di sisi luar

membran sel sekitar 10 kali lebih tinggi dibandingkan konsentrasi di sisi dalam.

Adanya perbedaan konsentrasi ion di sisi dalam dan luar membran ini mendorong

terjadinya difusi ion-ion tersebut menembus membran sel. Besarnya beda

potensial istirahat pada membrane berkisar antara -80 mV sampai -90 mV

(Guyton dan Hall, 2006).

15
Gambar 5 Fase Stimulus Saraf (Guyton dan Hall, 2006)

Depolarisasi terjadi ketika beda potensial antara ekstrasel dan intrasel mengalami
perubahan. Pada fase ini, ion (Na+) dapat berdifusi masuk ke dalam membran karena
membran menjadi lebih permeable terhadap ion sodium (Na+)

karena teraktivasinya voltage-gated sodium channel yang ada pada membrane. Aktivasi

atau terbukanya voltage-gated sodium channel terjadi ketika potensial membran menjadi

lebih tidak positif dari keadaaan istirahat yaitu pada saat beda potensial naik menjadi -70

mV hingga -50 mV. Kondisi ini akan meningkatkan permeabilitas membran terhadap

ion sodium (Na+) sebesar 500 hingga 5000 kali (Guyton dan Hall, 2006).

Repolarisasi adalah suatu kondisi tertutupnya kanal sodium (Na+) dan terbukanya

kanal potasium (K+) sehingga ion K+ keluar melintasi membran. Bagian membran

yang paling berperan menyebabkan repolarisasi adalah voltage- gated potassium

channel. Aktivasi voltage-gated potassium channel terjadi ketika membran potensial

mulai naik dari -90 mV hingga 0 mV bersamaan dengan terbukanya voltage-gated

sodium channel, proses akstivasi voltage-gated potassium channel akan melambat

sehingga gerbang potasium mulai terbuka penuh saat gerbang sodium mulai tertutup

sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.6 (Guyton dan Hall, 2006).

Repolarisasi menyebabkan keadaan membran berkebalikan dengan pada saat


potensial istirahat, polaritas dalam membran lebih positif di sisi dalam membran dan
lebih negatif di sisi luarnya. Selanjutnya akan terjadi transport aktif untuk kedua ion
sehingga konsentrasi kedua ion kembali sebagaimana pada keadaan potensial istirahat
(Lopez, 2012).

16
Gambar 6 Kanal Ion K+ dan Na+ Pada Membran (Guyton dan Hall, 2006)

Aktivitas sel dari keadaan polarisasi (istirahat) menjadi depolarisasi d an

kemudian kembali ke polarisasi lagi (repolarisasi) disertai dengan terjadinya perubahan-

perubahan pada potensial membran sel. Perubahan tersebut adalah perubahan polaritas

dari negatif di sisi dalam berubah menjadi positif dan kemudian kembali lagi menjadi

negatif. Perubahan ini menghasilkan suatu impuls tegangan yang disebut potensial aksi

(action potential). Potensial aksi pada saraf tidak akan terjadi selama beda potensial

tidak terdistribusi merata sepanjang membran. Potensial membran yang dibutuhkan

untuk mencapai potensial aksi adalah 15 mV-30 mV. Durasi terjadinya potensial aksi

pada otot skeletal adalah antara 1-5 ms dengan kecepatan konduksi sebesar 3-5 m/s.

2.5. Potensial Aksi Serabut Otot

Guyton dan Hall dalam Texbook Medical Physiology tahun 2006

menjabarkan keseluruhan proses kontraksi serabut otot sbagai berikut, potensial

aksi saraf merambat pada seluruh ujung saraf (terminal akson) akan menyebabkan

voltage gated calcium pada sinaps saraf terbuka sehingga ion kalsium (Ca2+) dapat

masuk ke dalam akson. Kalsium didalam akson akan menyebabkan Acethylcoline

keluar dari membran saraf menuju gerbang reseptor Acethylcoline pada membran
17
otot. Keluarnya Acethylcoline dari membrane saraf ini menyebabkan kanal

Acethylcoline terbuka sehingga ion Na+ dapat masuk ke dalam membran otot.

Perubahan beda potensial di luar dan di dalam membran menimbulkan potensial

listrik pada area end plate sebesar 50 mV-75 mV yang disebut dengan potensial

end plate. Perubahan tersebut juga menyebabkan keluarnya ion Ca2+ ke sitosol

yang kemudian berikatan dengan troponin C pada aktin sehingga tropomiosin

melepas ikatannya dengan active site aktin. Active site aktin yang terbuka

selanjutnya berikatan dengan kepala miosin (binding site). Proses ini disebut

sliding yang menyebabkan otot berkontraksi. Gambar 2.7 menunjukkan

keseluruhan proses kontraksi serabut otot.

Gambar 7 Mekanisme Kontraksi Serabut Otot (Campbell, 2000)

2.6 Functional Electrical Stimulator (FES)

18
Electrical stimulator merupakan suatu instrumen elektronik yang dapat
menghasilkan rangsangan yang berupa gelombang listrik dengan bentuk gelombang,
frekuensi dan daya tertentu. Electrical stimulator banyak digunakan dalam bidang medis
terutama untuk fisioterapi yang berfungsi sebagai perbaikan dan pemulihan
keseimbangan biopotensial di dalam tubuh manusia. FES berperan sebagai stimulus pada
jalur aferen yang selanjutnya akan memberi potensial aksi pada sum-sum tulang
belakang. Hal tersebut akan menyababkan gerak refleks (Popovic, 2014). Model efek
stimulasi listrik perifer dengan FES ditunjukkan pada Gambar 2.8.

Gambar 8 Model Efek Stimulasi Listrik Perifer dengan FES (Popovic, 2014)

2.6.1. Prinsip Kerja Functional Electrical Stimulator (FES)

Functional Electrical Stimulation (FES) merupakan Electrical Stimulation

yang dikendalikan oleh kontroler untuk merangsang sistem saraf perifer dengan

tujuan memberikan bantuan dinamis dalam kegiatan fungsional, seperti berjalan

atau fungsi gerak ekstremitas atas. FES digunakan terutama pada pasien yang
19
mengalami cedera tulang belakang atau menderita stroke untuk mencapai pola

gerakan tertentu. Berdasarkan bentuknya, gelombang Functional Electrical

Stimulator terbagi menjadi tiga macam yaitu sinus, square dan spike. Ketiga pola

gelombang tersebut dapat menghasilkan suatu gelombang keluaran berupa

monophasic, biphasic dan polyphasic sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.10

(Prentice, 2002). Adapun parameter untuk dapat menghasilkan stimulus pada

Functional Electrical Stimulator adalah sebagai berikut :

a. Amplitudo 20-200 Vp (Cheng et al, 2004)

b. Lebar pulsa 500µs (Hummelsheim, 1997)

c. Frekuensi dari 20-50 Hz (De kroon, 2005)

Gambar 9 Pola Gelombang Functional Electrical Stimulator

(Prentice, 2002)

20
2.6.2. Mekanisme Kerja Functional Electrical Stimulator (FES)

Dalam penggunaan electrical stimulator dianjurkan untuk memakai

gelombang siku dan gelombang spike. Gelombang sinusoid kurang dianjurkan

karena dapat menimbulkan panas di jaringan sehingga dikhawatirkan akan dapat

membakar daerah yang diterapi. Rangkaian Functional Electrical Stimulator

terdiri dari rangkaian osilator, rangkaian penguat tegangan, dan pengatur tegangan

(Ni’matulillah, 2012). Rangkaian osilator berperan sebagai pembagkit pulsa spike

yang kemudian dikuatkan dengan rangkaian penguat untuk menaikkan tegangan.

Pengatur tegangan berguna untuk membagi nilai amplitudo tegangan menjadi

beberapa level tegangan.

Terapi dengan menggunakan electrical stimulator menggunakan arus

listrik. Arus listrik yang digunakan adalah arus searah (DC) atau arus bolak-balik

(AC). Arus searah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu arus searah tetap (smooth

DC) atau arus searah pulsasi (pulsating DC). Arus bolak-balik merupakan arus

yang berpulsasi dan memiliki gelombang positif dan negatif (Kenyon, 2003).

Penelitian ini menggunakan sumber tegangan atau arus AC. Gelombang

monophasic tidak selalu sinusoidal dan siklusnya halus (smooth cycle) terdiri dari

pulsa, yang dapat berbentuk persegi atau persegi panjang, gigi gergaji, tringular,

atau spike trapesium, eksponensial dan sebagainya. Masing -masing bentuk

tersebut memiliki rise time yang berbeda dan karakteristik waktu peluruhan yang

berbeda pula. Pulsa terdiri dari fase bipolar yang kontinu, atau dipisahkan oleh

interval pendek. Untuk pulsa persegi panjang total waktu untuk pulsa lengkap

disebut sebagai durasi pulsa dan masing-masing bentuk pulsa memiliki durasi fase

sendiri. Waktu antara pulsa disebut sebagai interval interpulse. Untuk bentuk

21
gelombang non-rectangular, pulsa durasi didefinisikan sebagai durasi pada 50%

dari amplitudo maksimum (Ni’matulillah, 2012).

Frekuensi gelombang diukur dalam satuan yang disebut Hertz (Hz), atau siklus

per detik. Dalam konteks stimulator listrik frekuensi rendah adalah

frekuensi yang kurang dari 10 siklus per detik (<10 Hz), dan frekuensi tinggi

adalah sekitar 5-200 Hz, disesuaikan dengan tujuan perangsangan. Dalam

penelitian ini elektro stimulator yang akan dibuat menggunakan frekuensi sedang

yaitu antara 20–50 Hz, sesuai dengan parameter Functional Electrical Stimulator

yang diungkapkan oleh De Kroon pada tahun 2005.

Cara perangsangan dari Functional Electrical Stimulator ke tubuh manusia dapat

dilakukan melalui elektroda atau dengan melalui jarum. Bila melalui jarum, harus

diperhatikan mana jarum yang dihubungkan dengan elektroda positif dan mana jarum

yang dihubungkan dengan elektroda negatif. Bila tidak menggunakan jarum, biasanya

menggunakan suatu lempengan elektroda yang berbeda-beda diameternya tergantung

kebutuhan (Ni’matulillah, 2012).

2.6.3. Efektivitas Functional Electrical Stimulator


(FES)

Efektivitas FES berkaitan dengan ketepatan dari pemberian stimulus terhadap tujuan

perancangan stimulator yang ingin dicapai. Efektivitas suatu terapi menggunakan

gelombang listrik bergantung pada bentuk gelombang, frekuensi, intensitas, serta dosis

energi listrik.

2.6.4. BentukGelombang

22
Sebagaimana telah dijelaskan pada latar belakang penelitian ini, bentuk gelombang

spike lebih dianjurkan untuk terapi karena lebih nyaman digunakan ke tubuh pasien.

Bentuk gelombang elektrostimulator merupakan kurva tegangan terhadap waktu.

Pada umumnya gelombang yang dihasilkan elektrostimulator adalah pulsa monofase

dengan lebar pulsa relatif kecil (spike-potential).

Pemilihan lebar pulsa yang relatif kecil memudahkan analisis respon sel terhadap

rangsangan, karena artefak yang relatif tipis/tajam.

2.6.5. Frekuensi

Pemilihan besar frekuensi untuk terapi dengan menggunakan

elektrostimulator harus tepat disesuaikan dengan tujuan terapi. Penelitian ini akan

lebih difokuskan pada pemilihan variasi frekuensi FES untuk menganalisa

keefektivan FES yang dirancang terhadap perubahan nilai MMT pasien pasca

stroke. Tujuan penggunaan frekuensi rendah adalah untuk meningkatkan energi

atau tonifikasi, frekuensi tinggi sering digunakan untuk melemahkan atau

menghancurkan zat-zat endapan dalam tubuh, serta tujuan penggunaan frekuensi

yang lebih tinggi dapat digunakan untuk memperoleh efek anastesi (Astuti, 2015).

2.6.6. Intensitas

Intensitas elektrostimulator berhubungan dengan besarnya kecilnya

tegangan yang dihasilkan oleh perangkat elektrostimulator. Pemberian tegangan

listrik pada tubuh manusia akan menimbulkan aliran arus listrik. Hal ini

dikarenakan tubuh manusia memiliki resistansi dan impedansi tertentu. Semakin

tinggi tegangan yang diberikan, maka energi listrik yang dialirkan ke dalam tubuh

pasien terapi juga akan semakin meningkat. Namun perlu diketahui, pemberian
23
energi listrik dengan intensitas yang berlebihan akan beresiko menyebabkan

terjadinya ionisasi pada daerah pemasangan elektroda (Astuti, 2015).

2.6.7. Dosis Energi

Ketepatan dalam penentuan dosis energi yang diberikan selama proses terapi

elektrostimulator juga sangat penting. Karena penelitian ini menggunakan gelombang

spike seperti pada Gambar 2.10, maka perhitungan dosis energi listrik terapi

menggunakan peninjauan persamaan dosis energi listrik gelombang spike berikut ini.

Gambar 10 Bentuk Pulsa Spike (Astuti, 2015)

2.6.8. Arduino

Arduino adalah suatu pengendali mikro single board yang dirancang untuk memudahkan
penggunaan elektronik dalam berbagai bidang yang bersifat open source. Arduino
merupakan kombinasi dari hardware, bahasa pemprograman dan Integrated Development
Environtment (IDE) yang canggih. IDE adalah sebuah software yang berperan untuk
menulis program, meng-compile menjadi kode biner serta meng-upload ke dalam
memori mikrokontroler 8 bit yang merupakan komponen utama dalam board arduino
dengan merk Atmega yang dibuat oleh perusahaan Atmel Corporation. Mikrokontroler
ini diprogram menggunakan bahasa pemrograman arduino yang hampir serupa dengan
bahasa pemrograman C. Berbagai board arduino menggunakan tipe Atmega yang
berbeda-beda tergantung dari spesifikasinya, misalnya Arduino Uno menggunakan
Atmega328 sedangkan Arduino Mega 2560 yang lebih canggih menggunakan

24
Atmega2560 (Feri Djuandi, 2011). Board arduino ditunjukkan pada Gambar 2.11
sedangkan tampilan IDE ditunujukkan pada Gambar 2.12.

Gambar 11 Board Arduino Uno (Arduino Store USA, 2016)

Liquid Crystal Display (LCD)

LCD atau Liquid Cristal Display adalah salah satu komponen elektronika yang berfungsi
sebagai tampilan suatu data, baik karakter, huruf ataupun grafik sesuai dengan program
yang telah dibuat. Modul LCD dapat dengan mudah dihubungkan dengan
mikrokontroler (Andrianto, 2008). LCD yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah LCD yang memiliki lebar tampilan 2 baris.

16 kolom atau biasa disebut sebagai LCD karakter 2x16 ini memiliki 16 pin konektor,

Tabel 2 16 Pin Konektor LCD 2x16 (Andrianto, 2008)

Pin Keterangan Fungsi

1 Vss Groun voltage

2 Vcc -5V

3 VEE Contrast voltage

25
4 RS Register select

0 = Instruction register

1 = Data register
5 RW Read/Write

0 = Write mode

1 = Read mode
6 E Enable

26
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan untuk menyelesaikan rumusan masalah dalam
penyusunan proposal ini adalah menguraikan blok diagram kinerja sistem, flowchart
kinerja sistem, dan pengujian sistem alat serta jadwal kegiatan perancangan alat.

3.1. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian “Rancang Bangun Functional Electrical Stimulator Dengan

Pulsa Monophasic Spike Untuk Membantu Mengembalikan Fungsi Motorik

Ekstremitas Atas Pasien Pasca Stroke” terbagi atas 5 tahapan yang diagram alirnya

sebagaimana tertulis pada Gambar 3.1.

Gambar 12 Diagram Alir Prosedur Penelitian

27
3.2. Perancangan Alat

ada perancangan alat ini akan dibagi menjadi dua tahapan yaitu tahap

perancanagan perangkat keras (hardware) dan perancangan perangkat lunak (software).

Gambar 3.2 menunjukkan diagram skematik sistem Functional Electrical Stimulator

(FES). Perangkat sistem FES terdiri dari rangkaian button switch, Arduino sebagai

pusat pengaturan, rangkaian power supply dan rangkaian penguat.

Secara singkat mekanisme kerja Functional Electrical Stimulator yang akan dibuat
adalah dimulai dengan pemilihan menu frekuensi pada tombol button switch yang
berfungsi sebagai selector yang dihubungkan pada Arduino. Pada Arduino selanjutnya
akan dilakukan aktivasi stimulus yang berupa gelombang pulsa pwm dengan lebar
pulsa yang diinginkan serta pengaturan frekuensi. Rangkaian power supply berfungsi
sebagai sumber tegangan. Output Arduino akan berupa pulsa pwm monophasic
square dengan lebar pulsa serta frekuensi tertentu namun dengan amplitudo yang
relatif kecil yang dihubungkan ke rangkaian penguat. Selanjutnya pulsa output dari
Arduino tersebut akan masuk ke rangkaian penguat untuk dikuatkan tegangannya
sekaligus untuk merubah pulsa pwm menjadi monophasic spike. Rangkaian penguat
ini berupa transformator yang dikendalikan transistor daya. Tegangan keluaran
transformator ini diharapkan berbentuk pulsa spike, dengan lebar pulsa sangat sempit
tetapi tinggi pulsa sangat tinggi. Tegangan keluaran transformator berupa pulsa sempit
dan tajam, kemudian dialirkan ke tubuh pasien dengan menggunakan elektroda
sebagai penghubung.

Gambar 13 Blok Diagram alat Functional Electrical Stimulator

28
3.3. Perancangan Sistem Perangkat Keras (Hardware)

3.3.1. Rangakaian Button Switch

Button Switch digunakan sebagai selector aktivasi stimulus yang berupa pengaturan
frekuensi dan timer yang terhubung pada Arduino Uno. Pada saat button switch ditekan,
artinya pin konektor terhubung dengan vcc sehingga keluaran button switch adalah 1
atau high. Sebaliknya ketika button switch tidak di tekan, artinya pin konektor
terhubung dengan ground sehingga keluaran button switch adalah 0 atau low. Nilai
tersebut adalah nilai yang menjadi input arduino. Pengaturan frekuensi dan timer pada
button switch berupa tombol start, timer, up dan down. Pilihan frekuensi antara 20-50
Hz, sedangkan pilihan timer yaitu 10-20 menit.

3.3.2. Rangkaian Power Supply

Rangkaian power supply berfungsi sebagai sumber tegangan untuk

rangkaian Functional Electrical Stimulator (FES). Rangkaian power supply

tersusun atas beberapa komponen yaitu trafo CT, diode 1N4002, kapasitor

220uF/16v, dan regulator LM7812.

3.3.3. Rangkaian Penguat

Rangkaian penguat digunakan untuk menaikkan tegangan keluaran maksimal dari


Arduino Uno hingga mencapai tegangan maksimal sesuai dengan parameter
electro stimulator yang telah disebutkan pada tinjauan pustaka. Rangkaian
penguat terdiri dari transistor dan transformator. Untuk memperkuat tegangan
amplitude pulsa keluaran dari Arduino. Selain itu pada rangkaian penguat ini pulsa
dari keluaran Arduiono yang berupa pulsa pwm monophasic square akan diubah
menjadi pulsa monophasic spike karena adanya ggl induksi. Selain sebagai pelipat
tegangan dan pembentuk pulsa spike, transformator sekaligus berfungsi sebagai
rangkaian isolasi. Sistem demikian menjamin keamanan terapi, karena tidak ada
arus DC sistem elektronik yang mengalir pada pasien. Hasil dari keluaran
transformator adalah sinyal monophasic spike sesuai dengan tujuan dan parameter
FES yang digunakan dalam penelitian ini.

29
3.4. Perancangan Perangkat Lunak (Software)

Karena pada penelitian ini menggunakan software mikrokontroler

Arduino, maka perancangan perangkat lunak (software) menggunakan IDE

Arduino. Pemrograman arduino yang dibaut meliputi program penghasil

gelombang pwm dengan lebar pulsa yang diinginkan serta program variasi

frekuensi. Gelombang yang dibangkitkan adalah gelombang pwm monophasic

berbentuk kotak dengan menggunakan data dalam sebuah library. Variasi

frekuensi yang diinginkan dipilih melalui aktivasi button switch Algoritma

pemrogaman dari inisialisasi button switch hingga diperoleh gelombang keluaran

pwm (square)

Gambar 14 Flowchart
Pembangkit Pulsa PWM
Monophasic Square

30
3.5. Jadwal Faktual Kegiatan

Kegiatan penyusunan tugas akhir ini akan dikerjakan dalam waktu lima bulan
dengan kegiatan setiap bulannya sebagai berikut.

Kegiatan Bulan I Bulan II Bulan III Bulan IV Bulan V

Studi Literatur                                        
Pengumpulan
Bahan Baku                                        
Pembuatan
Sistem Alat                                        
Pengujian
Sistem Alat                                        
Evaluasi                                        
Penyusunan
Laporan                                        

DAFTAR PUSTAKA
Adawwiyah, Robi’ah. 2016. Rancang Bangun Functional Electrical

Stimulator untuk Membantu Fungsi Ekstremitas Atas Pada


Penderita Stroke. Surabaya : Skripsi tidak diterbitkan. Jurusan

Teknobiomedik FST UNAIR.

Allen, K, Goodman, C. 2014. Using Electrical Stimulation: A Guideline

for Allied Health Professionals. Sydney, Australia: Sydney Local

Health District and Royal Rehabilitation Centre

Anggono, Tri Prijo dan Welina RK. 2012. Kajian Biofisika Terapi

Akupuntur dengan Elektrostimulator dalam Prosiding Seminar

Nasional Fisika Terapan III Departemen Fisika. Surabaya :

Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga.

Astuti, Suryani Dyah. 2015. Laporan Program Pengabdian Kepada

Masyarakat Pelatihan Komunitas; Pembuatan Desain

Peralatan Fisika Medis di SMA Negeri 1 Pacitan. Surabaya :

Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga.

Anda mungkin juga menyukai