Anda di halaman 1dari 3

Chloroquine Phosphate, obat malaria yang berpotensi tangani infeksi virus corona

Klorokuin adalah obat yang telah lama digunakan untuk mengobati maupun mencegah malaria. Selain
itu, obat ini juga digunakan untuk mengobati rheumatoid arthritis dan penyakit autoimun seperti lupus.

Setidaknya ada dua penelitian yang mengamati efek terapi lain dari klorokuin. Penelitian awal yang
dilakukan 17 tahun lalu menemukan bahwa klorokuin memiliki aktivitas sebagai antivirus pada beberapa
virus seperti flavivirus, retrovirus, dan coronavirus.

Studi tahun 2017 semakin memperkuat pernyataan tersebut di mana klorokuin terbukti efektif untuk
mencegah terjadinya replikasi HIV dan juga penyakit yang disebabkan oleh virus lainnya seperti SARS
coronavirus. Atas dasar itulah, klorokuin mulai dicobakan pada pasien-pasien COVID-19 yang merupakan
jenis coronavirus terbaru.

Klorokuin diyakini dapat menghambat pertumbuhan virus setelah diamati dapat memengaruhi proses
endositosis, yang dalam konteks ini berarti proses masuknya virus ke dalam tubuh.

Pada awalnya virus akan masuk ke dalam sel yang bersifat asam, lalu klorokuin bekerja dengan
meningkatkan pH endosomal yang dapat mengganggu kemampuan virus untuk masuk ke dalam sel
inang dan mulai mereplikasi. Artinya keasaman pH pada sel akan diturunkan sehingga mengganggu
proses masuknya virus.

Obat ini juga berinteraksi dengan reseptor yang dinamakan angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2)
selular yang dapat mencegah terikatnya virus pada reseptor tubuh tersebut.

Dalam sebuah laporan konferensi yang diadakan 15 Februari 2020 lalu, pemerintah Cina bersama
dengan para peneliti mengumumkan telah menguji klorokuin fosfat pada 100 pasien di 10 rumah sakit di
Wuhan, Cina.

Hasilnya menunjukkan bahwa klorokuin fosfat efektif untuk menghambat terjadinya komplikasi
pneumonia pada pasien COVID-19. Selain itu hasil rontgen paru-paru pasien meningkat jadi lebih baik,
menghambat penyebaran virus dan memulihkan pasien lebih cepat.
Kontroversi chloroquine phosphate sebagai obat COVID-19

Organisasi kesehatan dunia, WHO, 20 Maret 2020 lalu mengumumkan program uji coba bernama
“Solidarity” terkait obat yang dapat mengatasi COVID-19. Klorokuin terdapat pada daftar yang
diujicobakan pada program tersebut. Awalnya panitia ragu untuk memasukkan obat ini ke dalam
program uji coba tersebut, karena datanya dianggap belum cukup banyak.

Mereka beranggapan bahwa mekanisme pada COVID-19 bisa saja berbeda dari coronavirus lainnya.
Pasalnya, klorokuin telah banyak diuji coba pada hewan tetapi tidak pernah berhasil pada manusia.
Dosis yang dibutuhkan untuk memberikan khasiat terapi pada manusia terlalu tinggi hingga
dikhawatirkan efek samping yang ditimbulkan pun lebih parah daripada khasiatnya.

Namun penelitian yang dilakukan di Wuhan sebelumnya membuat para ilmuwan WHO itu kemudian
mempertimbangkannya dan akhirnya memasukkan klorokuin ke dalam daftar obat yang akan diujikan.

Hingga saat ini, sudah ada 20 jurnal penelitian yang mengamati efek klorokuin terhadap COVID-19.
Namun belum ada yang membuat WHO, sebagai kiblat informasi kesehatan dunia, yakin untuk
menetapkan obat ini sebagai pengobatan utama virus corona.

Dari semua laporan studi tentang obat-obatan yang berpotensi mengobati COVID-19, WHO telah
menyimpulkan bahwa studi skala kecil yang diamati dengan metode non-acak tidak akan memberikan
hasil yang begitu efektif, termasuk beberapa studi tentang klorokuin ini. Menggunakan obat-obatan
yang tidak diuji tanpa bukti menyeluruh hanya akan memberi harapan palsu pada khalayak.

Oleh karena itu, meskipun klorokuin sudah dipakai dalam pengobatan COVID-19, klorokuin diumumkan
sebagai pengobatan lini kedua dan bukan pengobatan utama, karena nyatanya obat COVID-19 belum
ditemukan.

Klorokuin berbeda dengan pil kina yang kita kenal di pasaran

Di tengah kepanikan masyarakat akan virus yang terus mewabah ini, banyak dari mereka yang lantas
mencari obat ini di pasaran, harganya pun kian melambung. Tak hanya klorokuin yang diburu, obat
sejenis yang lebih umum ditemui di Indonesia, pil kina pun jadi incaran massa.
Padahal zat aktif kedua obat ini memiliki beberapa perbedaan.

Pil kina yang biasa kita temui di pasaran mengandung kuinin sulfat bukan klorokuin fosfat. Meskipun
memiliki dasar struktur dan mekanisme yang sama sebagai pengobatan malaria, kuinin sulfat belum
diujikan secara langsung pada pasien COVID-19. Kuinin merupakan zat aktif pil kina yang diekstrak dari
pohon kina. Saat ini kuinin masih dijadikan wacana untuk selanjutnya diteliti oleh para ilmuwan
Indonesia. Potensinya dianggap sangat besar, mengingat sumber alam Indonesia akan pohon kina ini
sangat luas.

Di tengah pandemik yang berkembang dengan cepat, para ilmuwan pun berpacu untuk menemukan
pengobatan yang paling efektif. Dari beberapa jenis metode penemuan obat baru, ada yang dinamakan
metode reverse pharmacology di mana prosesnya dibalik. Jika biasanya obat baru lahir dari
laboratorium kemudian diujikan secara klinis, untuk obat ini maka akan diujikan secara klinis kemudian
diamati kegiatan biokimianya di laboratorium.

Jadi, pil kina saat ini tidak bisa dijadikan obat untuk menangani atau mencegah COVID-19

Sampai tiba saatnya hasil penelitian tersebut dirilis, kita sebagai masyarakat umum sebaiknya tidak
gegabah menganggap pil kina dapat mengobati COVID-19 dan kemudian mengonsumsinya tanpa
anjuran dokter. Perlu diingat, klorokuin yang sudah diteliti pun digunakan untuk pengobatan dan bukan
untuk pencegahan.

Anda mungkin juga menyukai