Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI LINGKUNGAN

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NABATI

Oleh:
Carolin Valentine (01113170018)
Fiona Valletta (01113170026)
Nathania Calista Putri (01113170008)
Steven Anggawinata (01113170004)
Vivian Litanto (01113170029)

Pengajar:
Elbert Hartosuwignyo Nugroho, S. Si.
Milka Theresia Supandi, S. Si.

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring berkembangnya zaman, kebutuhan manusia semakin banyak,
terutama akan bahan bakar kendaraan. Di Indonesia, bahan bakar kendaraan
biasanya diproduksi sendiri, namun lama kelamaan hal itu tidak mampu menutupi
kebutuhan manusia sehingga Indonesia mengimpor BBM dari negara asing.
Indonesia sendiri sudah dikenal sebagai ​net oil importer​. Selain itu, bahan bakar
kendaraan terbuat dari minyak bumi yang merupakan sumber daya alam yang
tidak dapat diperbarui. Minyak bumi juga sudah mulai langka karena
penggunaannya yang cukup banyak. Maka dari itu, pemerintah pun mulai
mengambil tindakan untuk mengurangi impor BBM, yakni dengan biodiesel
(Sa’adah ​et al.​ , 2017).
Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang dapat diperbarui karena
berasal dari minyak nabati maupun hewani. Biodiesel diproduksi dengan proses
transesterifikasi, yakni proses kimiawi antara minyak dan alkohol. Biodiesel
bersifat tidak beracun dan ​biodegradable.​ Namun, biaya produksi biodiesel cukup
mahal dikarenakan harga minyak melonjak di pasaran sehingga pemerintah
menganjurkan untuk mengisi BBM dengan campuran biodiesel dan solar. Maka
dari itu, biodiesel diperlukan untuk mengurangi impor BBM dari negara asing
(Julianti ​et al​., 2014).
1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk membuat biodiesel dari minyak nabati baru
dan bekas, serta menguji kualitas biodiesel yang dihasilkan.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biodiesel
Biodiesel adalah energi bersih terbarukan karena dapat diproduksi dari
minyak nabati atau lemak hewan. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif
yang dihasilkan melalui proses kimia dari minyak nabati atau lemak hewani
dengan alkohol rantai pendek. Biodiesel memiliki banyak kelebihan, seperti
biodegradable​, tidak beracun, memiliki profil emisi rendah (termasuk potensi
karsinogen), dan merupakan sumber daya terbarukan. Berbagai faktor yang
berkontribusi terhadap biaya biodiesel antara lain bahan baku, reaktan lain, sifat
pemurnian, dan penyimpanannya. Namun, faktor utama yang menentukan biaya
produksi biodiesel adalah bahan baku, yaitu sekitar 80% dari total biaya operasi
(Fukuda ​et al​., 2001).
2.2 Transesterifikasi
Pembuatan diesel secara konvensional menggunakan proses
transesterifikasi. Transesterifikasi merupakan proses pertukaran gugus organik R”
pada suatu ester dengan gugus organik R’ dari alkohol. Di antara semua metode
transesterifikasi saat ini, reaksi berbasis katalis basa dan asam yang bersifat
homogen, misalnya H​2​SO​4​, NaOH, dan KOH.

Gambar 2.1 Proses transesterifikasi


Sumber: European Technology and Innovation Platform Bioenergy (2020)

Proses pembuatan biodiesel ini memiliki beberapa kekurangan, yaitu


sensitif terhadap kandungan ​free fatty acid (FFA) pada minyak. Kandungan FFA
yang terlalu banyak akan berpengaruh buruk terhadap kualitas biodiesel dan akan

2
menyebabkan terbentuknya produk samping berupa sabun, pemisahan produk
biodiesel yang dihasilkan oleh katalis sulit untuk dilakukan, dan adanya limbah
alkali yang dihasilkan sehingga memerlukan proses lanjut yang kompleks serta
membutuhkan energi yang cukup besar. Dengan demikian nilai ekonomis
biodiesel semakin tinggi . Kekurangan tersebut dapat diatasi menggunakan katalis
heterogen (padat) yaitu ZnO, SiO, TiO​2 atau ZrO​2​. Dengan menggunakan katalis
heterogen, pemisahan produk biodiesel dengan katalis cukup mudah, katalis dapat
diregenerasi dan digunakan kembali. Sehingga, biaya produksi biodiesel lebih
murah (Harrington dan Arcy-Evans, 1985; Julianti ​et al​., 2014).
Biodiesel yang dihasilkan melalui beberapa reaksi tidak dapat langsung
digunakan karena masih mengandung zat pengotor dan sisa-sisa reaksi yang dapat
membahayakan. Zat pengotor tersebut antara lain sabun, gliserol, asam lemak
bebas, sisa metanol, katalis, dan air. Metode ​water washing dapat digunakan
sebagai metode pemurnian (​Atadashi, 2015).
Water washing merupakan proses pemurnian biodiesel dengan
menambahkan air hangat ke dalam biodiesel, lalu didiamkan sampai air pencuci
terpisah dari biodiesel, kemudian air tersebut dibuang. Proses ini dilakukan
berulang kali sampai air terlihat bersih atau jernih. Air panas yang ditambahkan
ke dalam biodiesel dapat melarutkan zat pengotor yang terkandung dalam
biodiesel. Hal ini terjadi karena kepolaran zat pengotor sama seperti air (​Atadashi,
2015).
2.3 Uji Kualitas Biodiesel
2.3.1 Uji Kejernihan
Untuk mengetahui kualitas dari biodiesel dapat dilakukan inspeksi secara
visual, yaitu dengan cara membaca koran melalui segelas biodiesel. Warna dari
biodiesel bukan tolak ukur dari kualitas biodiesel. Dari beberapa biodiesel
memiliki warna coklat tua, tetapi masih sangat jernih dan mempunyai kualitas
yang tinggi. Sebaliknya, mungkin biodiesel memiliki warna kuning muda tetapi
memiliki kejernihan yang buruk dan tidak memiliki kualitas yang baik. Biodiesel
yang memiliki kualitas yang baik dilihat dari kejernihannya. Semakin jernih hasil

3
biodiesel, maka biodiesel semakin terbebas dari zat pengotor (Springbroad
Biodiesel, 2020).
Inspeksi secara visual merupakan bagian dari tes ASTM (​American
Society for Testing and Materials​). Tes ASTM adalah analisis untuk
membuktikan bahwa biodiesel memiliki tingkat kinerja yang tinggi dan kualitas
yang terjamin. Tes ini memperhatikan beberapa sifat-sifat dari biodiesel seperti
bebas dari air yang berlebihan, bebas gliserin, sabun, partikulat, dan pertumbuhan
mikroba (ASTM International 2020; Springboard Biodiesel, 2020)
2.3.2 Uji Kadar Sabun
Dalam proses transesterifikasi yang tidak sempurna, akan terbentuk
pemisahan antara gliserin dengan biodiesel kasar yang merupakan lapisan yang
terbentuk dari sabun (kalium oleat). Sabun terbentuk karena reaksi antara katalis
yang digunakan KOH dengan asam lemak dan air. Kadar air sabun tidak
dinyatakan dalam standar biodiesel, tetapi sabun harus tetap dihilangkan karena
dapat menyumbat injektor bahan bakar dan menambah deposit pada sistem
pembakaran kendaraan bermotor. Apabila kadar asam lemak bebas semakin
tinggi, maka semakin tinggi pula kandungan sabun dalam biodiesel, dan begitu
juga sebaliknya. Minyak bekas mengandung lebih banyak asam lemak bebas
daripada minyak baru. Kadar sabun dapat dinyatakan dalam ppm (​part per
million)​ (Wardah, 2015; Institut Pertanian Bogor, 2020).
2.3.3 Uji Kadar Air
Uji kadar air dilakukan karena air merupakan suatu masalah yang dapat
menyebabkan korosi pada bagian mesin dari sistem injeksi bahan bakar dan air
dapat memicu pertumbuhan mikroba pada bahan bakar. Menurut Standar Nasional
Indonesia, kadar air maksimum yang diperbolehkan dalam biodiesel sebesar
0,05% (Wardah, 2015; Institut Pertanian Bogor, 2020).
Menurut ​Atadashi (2015)​, biodiesel mungkin mengandung sedikit air.
Biodiesel bersifat hidrofobik, tetapi dapat juga bersifat higroskopik disaat titik
kelembaban atmosfer jenuh. Biodiesel dapat menyerap air karena terdapat ikatan
mono dan digliserida yang tidak mencapai reaksi tak sempurna. Molekul ini dapat

4
bertindak sebagai pengemulsi, sehingga air dapat bercampur dengan biodiesel. Air
dapat menjadi residu pada tahap proses atau hasil akhir yang terkondensasi di
tangki penyimpanan.
2.3.4 Uji Kadar Bebas Gliserol (Trigliserida)
Gliserol merupakan hasil samping dari proses transesterifikasi. Metanol
akan bereaksi dengan trigliserida akan menghasilkan biodiesel dan gliserol.
Gliserol dibagi menjadi tiga jenis yakni gliserol total, gliserol bebas, dan gliserol
terikat. Gliserol total merupakan jumlah dari gliserol bebas dan gliserol terikat
dalam suatu sampel biodiesel. Menurut Standar Nasional Indonesia kadar gliserol
total yang diperbolehkan terkandung dalam biodiesel sebesar 0,24%-b. Gliserol
bebas merupakan hasil lain dari proses transesterifikasi yang sempurna, sehingga
tidak berikatan lagi dengan asam-asam lemak membentuk mono, di, atau
trigliserida. Menurut Standar Nasional Indonesia kadar gliserol bebas yang
diperbolehkan terkandung dalam biodiesel sebesar 0,02%-b. Gliserol terikat
merupakan hasil samping proses transesterifikasi yang tidak sempurna dan masih
berikatan dengan asam lemak sehingga membentuk mono, di, atau trigliserida.
Tidak ditemukan batasan standar nilai gliserol terikat pada Standar Nasional
Indonesia (Wardah, 2015; Institut Pertanian Bogor, 2020).
 
 

5
BAB III
METODE

3.1 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah botol duran, labu
erlenmeyer, gelas beaker, ​hot plate​, kain, pipet mikro, mikrotips, pipet tetes, pipet
volumetrik, dan ​bulb pump.​
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah isopropil alkohol,
reagen ​phenolphthalein (​ PP), larutan NaOH, larutan H​2​SO​4 pekat, larutan HCl,
metanol, akuades, kertas, dan ​bromophenol blue.​
Sampel yang digunakan dalam praktikum ini adalah minyak goreng baru
dan bekas.
3.2 Cara Kerja
3.2.1 Pembersihan Minyak Bekas
Minyak bekas dipanaskan dengan ​hot plate hingga suhu mencapai 35°C,
lalu disaring dengan kain bekas. Minyak dipanaskan lagi hingga suhu 60°C
kemudian dibiarkan selama 24 jam. Minyak yang sudah terpisah dituang ke
wadah lain.
3.2.2 Pengukuran Kadar ​Free Fatty Acid ​(FFA) dalam Minyak
Isopropil alkohol 91% sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam beaker.
Minyak sebanyak satu mL dimasukkan ke dalam beaker, lalu enam tetes reagen
PP ditambahkan. 0,1% NaOH dimasukkan ke dalam campuran tersebut dan
diaduk hingga campuran berubah warna menjadi merah muda yang bertahan
minimal selama 30 detik. Jumlah NaOH yang ditambahkan ke dalam campuran
dicatat.
3.2.3 Perhitungan Jumlah Katalis
Jumlah katalis NaOH dapat dihitung dengan cara hasil titrasi ditambah
dengan 5,5. Sedangkan, jumlah katalis H​2​SO​4 pekat dihitung dengan jumlah titrasi
dikali 0,15. Perbandingan antara metanol dan minyak yang dibutuhkan adalah satu
banding lima.
3.2.4 Pembuatan Biodiesel

6
500 mL minyak dimasukkan ke dalam botol duran dan dipanaskan hingga
suhu 60°C. Campuran 60% total metanol dan H​2​SO​4 pekat ditambahkan ke dalam
minyak. Campuran dikocok selama semenit. Lalu, campuran sisa metanol dan
NaOH dimasukkan ke dalam duran dan dikocok selama 5 menit. Campuran
tersebut dibiarkan selama semalam hingga terbentuk biodiesel dan gliserin. Air
distilasi hangat dimasukkan ke dalam biodiesel dengan rasio 1:1 kemudian
di-agitasi secara perlahan.
3.2.5 Uji Kualitas Biodiesel
3.2.5.1 Uji Kejernihan
Biodiesel dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu diletakkan di atas kertas
berisi tulisan. Biodiesel dianggap jernih jika tulisan pada kertas dapat terbaca.
3.2.5.2 Uji Kadar Sabun
Sebanyak 100 mL isopropil alkohol (99%) atau aseton dimasukkan k​ e
dalam gelas ​beaker.​ ​Bromophenol blue ditambahkan hingga menjadi warna biru.
Kemudian, 12 mL biodiesel ditambahkan sehingga campuran akan menjadi
berwarna hijau. Titrasi dengan HCl 0,01 N dilakukan hingga larutan berubah
menjadi warna kuning dan catat jumlah HCl yang digunakan. Kadar sabun yang
ada dihitung dengan cara jumlah HCl dikali dengan 304.
3.2.5.3 Uji Kandungan Air
Biodiesel dituang ke dalam wajan lalu wajan dipanaskan dengan ​hot plate.​
Jika kandungan air dalam biodiesel masih tinggi maka akan dihasilkan
gelembung, uap, serta ​crackles​.
3.2.5.4 Uji Sisa Trigliserida (27/3 test)
Sebanyak 3 mL biodiesel dicampur dengan 27 mL metanol. Kedua larutan
harus berada pada suhu 20 hingga 22°C. Campuran dikocok selama 30 detik
kemudian didiamkan selama 5 menit. Endapan yang terbentuk diamati.

7
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada praktikum ini, dilakukan pembuatan biodiesel dari minyak baru dan
minyak bekas. Dilakukan pengukuran kadar ​free fatty acid (FFA) dalam minyak
dan pengujian kualitas biodiesel. Hasil pengukuran kadar FFA dalam minyak baru
dan bekas dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil pengukuran kadar FFA dalam minyak baru dan bekas
Minyak NaOH H​2​SO​4 % FFA

Minyak baru 12,55 g/500 mL 1,47 mL/500 mL 0,39

Minyak bekas 18,6 g/500 mL 2,3775 mL/500/mL 0,64

Minyak bekas mengandung FFA yang lebih tinggi daripada minyak baru.
Semakin tinggi kadar FFA yang terkandung, semakin sedikit kandungan biodiesel
yang terbentuk dan semakin banyak sabun yang dihasilkan, karena minyak yang
bercampur dengan katalis NaOH akan menghasilkan sabun (Ribeiro ​et al​., 2011).
Dengan demikian, kadar sabun pada biodiesel dari minyak bekas akan lebih tinggi
dibandingkan biodiesel dari minyak baru. Kadar sabun yang rendah
mengindikasikan kualitas biodiesel yang lebih baik, karena sabun dapat
menyumbat injektor bahan bakar dan menambah deposit pada sistem pembakaran
kendaraan bermotor. Sabun terbentuk akibat minyak yang bercampur dengan air
dan katalis (Wardah, 2015; Institut Pertanian Bogor, 2020).
Pengujian kualitas biodiesel terdiri atas uji kejernihan, uji kandungan air,
dan uji sisa trigliserida. Hasil uji kualitas biodiesel dapat dilihat pada Tabel 4.2.

8
Tabel 4.2 Hasil uji kualitas biodiesel dari minyak baru dan minyak bekas
Parameter Biodiesel dari Minyak Baru Biodiesel dari Minyak Bekas

Kejernihan

Tulisan pada kertas dapat terbaca Tulisan pada kertas tidak terbaca

Kandungan air Tinggi (ada gelembung, uap, dan Rendah (tidak ada gelembung, uap,
crackles)​ dan ​crackles​)

Sisa trigliserida

Ada endapan Ada endapan

Berdasarkan pengamatan, biodiesel dari minyak baru lebih jernih


dibandingkan biodiesel dari minyak bekas. Kualitas biodiesel dapat dilihat dari
kejernihannya. Semakin jernih hasil biodiesel, maka biodiesel semakin terbebas
dari zat pengotor (Springbroad Biodiesel, 2020).
Berdasarkan uji kandungan air, biodiesel dari minyak baru memiliki
kandungan air yang lebih tinggi dibanding biodiesel dari minyak bekas.
Kandungan air yang lebih rendah mengindikasikan kualitas biodiesel yang lebih
baik karena kadar air yang tinggi dapat menyebabkan korosi pada bagian mesin
dari sistem injeksi bahan bakar dan memicu pertumbuhan mikroba pada bahan
bakar (Wardah, 2015; Institut Pertanian Bogor, 2020).
Pada uji sisa trigliserida, endapan yang terbentuk pada biodiesel dari
minyak baru lebih jernih dibandingkan pada biodiesel dari minyak bekas.

9
Endapan yang jernih menunjukkan gliserol bebas yang merupakan hasil proses
transesterifikasi yang sempurna, sehingga tidak berikatan lagi dengan asam lemak
membentuk mono, di, atau trigliserida. Sementara endapan yang lebih keruh
menunjukkan proses transesterifikasi yang tidak sempurna dan masih berikatan
dengan asam lemak sehingga membentuk mono, di, atau trigliserida (Wardah,
2015; Institut Pertanian Bogor, 2020).

10
BAB V

KESIMPULAN

Secara keseluruhan, kualitas biodiesel dari minyak baru lebih baik


dibandingkan biodiesel dari minyak bekas karena mengandung FFA yang lebih
sedikit dan menghasilkan biodiesel yang lebih jernih, kadar sabun lebih rendah,
dan sisa trigliserida lebih sedikit daripada biodiesel dari minyak bekas.

11
DAFTAR PUSTAKA
ASTM International. (2020). ​Biodiesel.​ Retrieved from ASTM International:
https://www.astm.org/STATQA/biodiesel.htm​ (1 Maret 2020).
Atadashi, I. M. (2015). ​Purification of crude biodiesel using dry washing and
membrane technologies. Alexandria Engineering Journal, 54​(4),
1265–1272.​doi:10.1016/j.aej.2015.08.005.
European Technology and Innovation Platform Bioenergy. (2020).
Transesterification to Biodiesel.​ Retrieved from European Technology and
Innovation Platform:
http://www.etipbioenergy.eu/value-chains/conversion-technologies/conventio
nal-technologies/transesterification-to-biodiesel​ (6 Maret 2020).
Fukuda, H., Kondo, A., & Noda, H. (2001). Biodiesel fuel production by
transesterification of oils. ​Journal of Bioscience and ​Bioengineering
92:405–16.
Harrington, K. J & Arcy-Evans, C. (1985). A comparison of conventional and in
situ methods of transesterification of seed oil from a series of sunflower
cultivars. ​Journal of the American Oil Chemists’ Society​ 62.pp: 1009-1013
Institut Pertanian Bogor. (2020). ​Bab IV Hasil dan Pembahasan.​ Retrieved from
Institut Pertanian Bogor:
https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/61879/4/BAB%20IV%
20Hasil%20dan%20Pembahasan.pdf​ (6 Maret 2020)
Julianti, N. K., Wardani, T. K., Gunardi, I., & Roesyadi, A. (2014). Pembuatan
Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit RBD dengan Menggunakan Katalis
Berpromotor Ganda Berpenyangga γ-Alumina (CaO/MgO/ γ-Al2O3) dalam
Reaktor Fluidized Bed. ​Jurnal Teknik Pomits​, 3(2) : 143-148.
Otera, J. (1993). Transesterification. ​Chemical Reviews 93​(4):1449–1470.
doi​:​10.1021/cr00020a004
Sa'adah, A. F., Fauzi, A., & Juanda, B. (2017). Peramalan Penyediaan dan
Konsumsi Bahan Bakar Minyak Indonesia dengan Model Sistem Dinamik.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 17(​ 2) : 118-137.
Springbroad Biodiesel. (2020). ​Testing for Small-Scale Biodiesel Quality.​
Retrieved from Springbroad Diesel:
http://www.springboardbiodiesel.com/testing-small-scale-biodiesel-quality (1
Maret 2020)
Ribiero, A., Castro, F., Carvalho, J. (2011). ​Influence of Free Fatty Acid Content
in Biodiesel Production on Non-Edible Oils​. Retrieved from: University of
Minho, WASTES: Solutions, Treatments and Opportunities.
Wardah, K. (2015). ​SNI Biodiesel.​ Retrieved from Balai Teknologi Bahan Bakar
dan Rekayasa Disain:
https://btbrd.bppt.go.id/index.php/services/26-pojok-biodiesel/94-sni-biodies
el​ (6 Maret 2020).

12

Anda mungkin juga menyukai