Anda di halaman 1dari 20

ANALISIS SPASIAL UNTUK SEBARAN SUARA DAN PEROLEHAN

KURSI PARTAI POLITIK PADA PEMILU LEGISLATIF 2009


DI WILAYAH DKI JAKARTA DAN JAWA BARAT

Oleh:
ZULFA PUTRI ASMAWI

H051171305

PROGRAM STUDI STATISTIKA

DEPERTEMEN STATISTIKA FMIPA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR
2019/2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan


atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penyusunan
proposal yang berjudul “Analisis Spasial Untuk Sebaran Suara dan Perolehan Kursi
Partai Politik Pada Pemilu Legislatif 2009 Di Wilayah Dki Jakarta Dan Jawa Barat”
ini dapat diselesaikan guna menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah Kapita
Selekta. harapannya dapat memberikan wawasan dan mengenalkan penerapan ilmu
statistika dalam hal pengolahan data.
Penyelesaian Proposal ini tidak terlepas dari bantuan, arahan, dan bimbingan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis bermaksud
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen Kapita
Selekta Drs. Raupong, M.Si. dan Dr. Georgina Maria Tinungki,M.Si.
Penulis menyadari bahwa Proposal ini sangat jauh dari
kesempurnaan, sehingga sangat diharapkan adanya saran dan
kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan proposal
selanjutnya. Semoga proposal ini ada manfaatnya bagi para
mahasiswa, khususnya bagi Mahasiswa Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Statistika dan bagi Perguruan
Tinggi, Lembaga/Institusi maupun masyarakat luas pada umumnya.

ii
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................iii
BAB I............................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian.........................................................................................................................3
1.4 Batasan Masalah..........................................................................................................................3
1.5 Manfaat Penelitian......................................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................................................5
2.1 Sistem Pemilu..............................................................................................................................5
2.2 Daerah Pemilihan........................................................................................................................5
2.3 Penghitungan Perolehan Kursi.....................................................................................................6
2.4 Asosiasi Spasial............................................................................................................................6
2.5 Local Indicator of Spatial Association (LISA).................................................................................7
2.6 Indeks Global Moran....................................................................................................................8
2.7 Indeks Local Moran......................................................................................................................8
2.8 Pengujian Hipotesis pada Indeks Global dan Local Moran...........................................................9
2.9 Matrik Pembobot Spasial...........................................................................................................10
2.10 Moran Scatterplot......................................................................................................................11
BAB III........................................................................................................................................................14
METODOLOGI PENELITIAN........................................................................................................................14
3.1 Jenis dan Sumber Data..............................................................................................................14
3.2 Metode Analisis.........................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemilu merupakan mekanisme sistematis dan berkesinambungan dalam sistem politik
Indonesia sebagai satu-satunya proses yang sah bagi partai politik dalam meraih kekuasaan.
Pemilu legislatif tahun 2009 adalah sebuah proses memilih wakil rakyat yang akan duduk di 560
kursi parlemen RI untuk mewakili seluruh rakyat Indonesia. Proses perebutan 560 kursi wakil
rakyat tersebut bukanlah proses yang sederhana karena dibutuhkan aturan dan mekanisme yang
cukup kompleks dalam regulasi pemilu. Selayaknya sebuah kompetisi tentunya setiap kontestan
memiliki strategi masing-masing untuk meraih suara dan kursi yang maksimal, hal ini
mendorong partai untuk berhitung berdasarkan aspek spasial dalam memetakan kekuatan
dukungan masyarakat yang terdistribusi disetiap kabupaten.
Dalam pelaksanan pemilu, perilaku masyarakat di berbagai wilayah sangat beragam dan
menghasilkan respon pilihan partai politik dominan yang berbeda-beda. Hal tersebut
mengindikasikan ada pengaruh spasial dalam pilihan politik masyarakat disamping variabel atau
faktor lain yang melekat pada individu. Tingkat perolehan suara yang diperoleh partai politik di
suatu kabupaten berpengaruh pada kabupaten lain. Selain itu, hal lain yang menarik adalah,
perubahan daerah pemilihan (penggabungan wilayah kabupaten) sebagai faktor spasial
menyebabkan akumulasi suara yang berbeda sehingga berdampak pada perolehan kursi dan hasil
pemilu yang berbeda pula.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi asosiasi spasial dan sebaran suara
partai pemenang pada pemilu legislatif 2009 di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat; (2)
Mengidentifikasi pengelompokan wilayah (clustering) bagi partai berdasarkan nilai perolehan
suara; (3) Mensimulasikan pengaruh perubahan spasial (dapil) terhadap perolehan suara dan
kursi partai; (4) Menyimpulkan dampak asosiasi spasial proses penggabungan wilayah terhadap
hasil pemilu 2009.
Metode analisis dilakukan mengikuti beberapa tahapan. Langkah pertama, membuat dan
menghitung matriks contiguity dan menetapkan pembobotan berdasarkan langkah ratu untuk

1
semua lokasi, dalam hal ini setiap kabupaten/kota di DKI dan JABAR. Langkah kedua,
melakukan standarisasi nilai pengamatan (z-score) sebagai dasar dalam menghitung nilai indeks
local moran. Langkah ketiga, mengidentifikasi asosiasi spasial dengan metode LISA berdasarkan
nilai peubah (suara partai Demokrat, Golkar, PDIP, dan PKS) berdasarkan wilayah
administrasinya dan juga menghitung asosiasi spasial dengan peubah yang sama jika pembagian
wilayah berdasarkan dapil. Langkah keempat, memperbandingkan hasil analisis LISA
berdasarkan wilayah administrasi dengan berdasarkan daerah pemilihan melalui moran
scatterplot dan peta tematik. Langkah kelima, menghitung secara manual perolehan kursi dalam
dua skema wilayah yang berbeda, kemudian menganalisis dampak perolehan kursi akibat
pengaruh perubahan spasial tersebut.
Hasil analisis menunjukkan berdasarkan wilayah administratifnya, di DKI Jakarta tidak
terdapat asosiasi spasial dari perolehan suara keempat partai politik. Sementara pada
penggabungan wilayah administratif menjadi 3 dapil, terbentuk asosiasi spasial yang terjadi pada
keempat partai politik di seluruh dapil. Pada propinsi Jawa Barat, pada wilayah administratif
asosiasi spasial terjadi pada sebaran suara partai Demokrat, PDIP, dan PKS. Sedangkan pada
daerah pemilihan, terdapat pola asosiasi spasial pada sebaran suara partai Demokrat dan PDIP.
Pada wilayah DKI pola penggerombolan terdeteksi dalam wilayah dapil dan asosiasinya
bersifat negatif . Hal tersebut berlaku bagi keempat partai. Hanya saja konfigurasi dapil yang ada
pada ketegori high dan low berbeda pada setiap partai. Pada wilayah Jawa Barat penggerombolan
terjadi pada wilayah yang berbatasan dengan Jawa Tengah. Untuk partai Demokrat wilayah
tersebut ada pada kategori Low, sementara bagi PDIP ada pada kategori High.
Perubahan spasial dalam bentuk penggabungan wilayah adminstratif berpengaruh
terhadap pola asosiasi yang terbentuk. Karena sifat akumulasi nilai pengamatan membuat
sebaran suara berubah dari tersebar menjadi menggerombol dan sebaliknya. Dampaknya secara
politik terjadi perbedaan hasil pemilu mengacu pada perolehan kursi partai politik. Saran untuk
studi lanjutan, melakukan studi tentang regresi spasial untuk membentuk pemodelan serta
mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi sebaran suara partai.

2
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana identifikasikan asosiasi spasial dan sebaran suara partai pemenang
pada pemilu legislatif 2009 di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat ?
1.2.2 Bagaimana identifikasikan pengelompokan wilayah (clustering) bagi partai
berdasarkan nilai perolehan suara ?
1.2.3 Bagaimana simulasikan pengaruh perubahan spasial (dapil) terhadap perolehan
suara dan kursi partai ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengidentifikasikan asosiasi spasial dan sebaran suara partai pemenang pada
pemilu legislatif 2009 di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat.
1.3.2 Mengiidentifikasikan pengelompokan wilayah (clustering) bagi partai
berdasarkan nilai perolehan suara.
1.3.3 Mensimulasikan pengaruh perubahan spasial (dapil) terhadap perolehan suara dan
kursi partai.

1.4 Batasan Masalah


Adapun batasan masalah dalam penelitian ini dibedakan menjadi tiga yaitu batasan
spasial, batasan temporal, dan batasan masalah. Dalam batasan spasial penelitian ini
dilaksanakan di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Batasan temporal dalam penelitian ini
yaitu pada tahun 2009. Batasan masalah ini mengacu pada latar belakang Analisis spasial untuk
sebaran suara dan perolehan kursi partai politik pada pemilu legislatif 2009 di wilayah dki
jakarta dan jawa barat.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Penulis


Mengetahui gambaran umum dari kondisi penyebaran suara pemilu dan
menambah wawasan tentang hasil analisis pengemlompokan wilayah bagi partai
berdasarkan nilai perolehan suara.
1.5.2 Bagi Mahasiswa

3
Penulisan Proposal penelitian ini bisa bermanfaat sebagai bahan rujukan dan
pengembangan pembelajaran mengenai analisis spasial.
1.5.3 Bagi Pemerintah dan Masyarakat
Memberikan informasi mengenai perkembangan hasil perolehan suara dari
wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat dengan mengelompokkan wilayah dalam
penyebaran suara pemilu.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Pemilu

Pelaksanaan pemilu di Indonesia mengadopsi sistem proporsional, yang artinya sebuah


negara akan dibagi menjadi beberapa daerah pemilihan (distrik), dari setiap daerah pemilihan
dipilih beberapa orang wakil yang akan merepresentasikan rakyat sebagai anggota legislatif.
Jumlah wakil di setiap daerah pemilihan bergantung dari proporsi jumlah penduduknya. Secara
ontologis tujuan dari penerapan sistem proporsional menekankan pada aspek keterwakilan
berbagai lapisan kelompok, karena dari setiap daerah pemilihan tidak hanya diwakili oleh satu
orang terpilih saja[ CITATION ARe011 \l 1033 ]. Oleh karena itu sistem proporsional identik dengan
karakter negara yang masyarakatnya heterogen.
Pemilu 2009 lalu merupakan pemilu dengan sistem proporsional. Proses terdiri dari
beberapa tahap yang diawali dengan menentukan angka kuota kursi, angka tersebut berfungsi
untuk menentukan alokasi dan distribusi kursi untuk tiap propinsi. Angka ini diperolah dari total
populasi penduduk Indonesia dibagi dengan 560 (kursi DPR-RI). Secara lengkap proses alokasi
kursi dijelaskan dalam langkah-langkah berikut. Langkah pertama, adalah mendistribusikan 560
kursi untuk tiap propinsi. Proporsi total jumlah penduduk suatu propinsi dibagi dengan angka
kuota kursi. Langkah kedua, adalah menentukan alokasi kursi untuk tiap kabupaten/kotamadya
dengan cara memproporsikan total penduduk kabupaten/kotamadya dengan angka kuota kursi.
Langkah ketiga adalah membentuk daerah pemilihan (dapil), yang merupakan gabungan dari
beberapa kabupaten/kotamadya dalam suatu propinsi.

2.2 Daerah Pemilihan

Daerah Pemilihan (dapil) merupakan wilayah pertarungan partai politik/calon legislatif


dalam memperoleh suara yang bertujuan memenangkan jatah kursi yang tersedia dalam daerah
pemilihan tersebut. Dalam konteks pemilu 2009 di Indonesia, daerah pemilihan merupakan
kabupaten/kota atau gabungan beberapa kabupaten/kota. Berdasarkan UU, tiap daerah pemilihan

5
(dapil) terdiri antara 3-10 kursi. Jika suatu kabupaten/kotamadya memperoleh alokasi kursi
kurang dari 3 maka selanjutnya kabupaten/kotamadya tersebut harus bergabung dengan
kabupaten/kotamadya lain agar memperoleh minimal 3 kursi dan maksimal 10 kursi. Sehingga
kombinasi dari pembentukan dapil, berdasarkan penggabungan kabupaten/kotamadya, memiliki
banyak sekali kemungkinan.

2.3 Penghitungan Perolehan Kursi

Setelah proses pemilihan selesai dilakukan dan hasil perolehan suara di setiap kabupaten
direkapitulasi secara manual oleh KPU, langkah selanjutnya adalah menentukan perolehan kursi
untuk setiap partai berdasarkan setiap daerah pemilihan. Metode penghitungan kursi di setiap
dapil sebagai berikut.

PSP
KURSI =
BPP

Dengan PSP merupakan Perolehan Suara Partai suatu dapil, dan BPP adalah Bilangan
Pembagi Pemilih yang diperoleh melalui

JP
BPP=
AK

JP adalah Jumlah Pemilih sah di setiap daerah pemilihan, sementara AK merupakan


Alokasi Kursi yang tersedia di dapil tersebut. Dengan kata lain BPP setara dengan harga satu
kursi. Angka BPP di setiap daerah pemilihan (dapil) besarannya berbeda. Seringkali dalam
penghitungan kursi, PSP tidak habis dibagi BPP dan masih menyisakan sisa suara. Kemudian
sisa suara setiap partai ini akan diurutkan dari yang terbesar hingga yang terkecil untuk
dipertarungkan meraih kursi yang tersisa.

2.4 Asosiasi Spasial


Asosiasi spasial di beberapa literatur tidak dibedakan dengan sebutan autokorelasi
spasial, karena pada dasarnya secara definisi memang mengacu pada pemaknaan yang sama
yaitu terdapatnya suatu kemiripan objek di dalam suatu ruang yang saling berhubungan. Hanya
saja penggunaan asosiasi lebih menekankan pada data yang bersifat kategorik sedangkan korelasi
mengacu pada hubungan data numerik. Pada kasus spasial, penggunaan istilah asosiasi mengacu

6
pada data berbasis area (polygon) dan memiliki hubungan yang bersifat kebertetanggaan.
Sedangkan istilah korelasi dalam konteks spasial, digunakan jika data berbasis titik (point
patern) dan memiliki hubungan yang mengacu pada jarak. Tetapi dalam penelitian ini tidak akan
dibedakan antara penggunaan istilah asosiasi ataupun korelasi spasial, hal ini karena beragam
literatur yang peneliti gunakan. Lebih jauh Silk (1979) dalam bukunya menjelaskan tentang
autokorelasi berbasis pada data area ada yang bersifat positif dan negatif. Dikatakan positif, jika
dalam suatu daerah yang saling berdekatan mempunyai nilai yang mirip dan bersifat
menggerombol. Sedangkan dikatakan negatif, jika dalam suatu daerah yang berdekatan nilainya
berbeda dan tidak mirip.

2.5 Local Indicator of Spatial Association (LISA)


LISA merupakan metode yang dikembangkan oleh Anselin (1995), metode ini
merupakan suatu eksplorasi data (area) untuk menguji kestationeran, dan mendeteksi
hotspot/coldspot, serta mampu menyajikannya dalam bentuk visual. Hotspot merupakan suatu
wilayah yang memiliki nilai pengamatan dengan pengukuran tertinggi, sedangkan coldspot
sebaliknya, jika dibandingkan dengan area sekitarnya pada suatu gugus data berbasis area.
Metode LISA telah dikembangkan oleh Luc Anselin dalam suatu software yang dinamakan
SpaceStat. Tujuan analisis ini akan menghasilkan pengelompokan wilayah (clustering)
berdasarkan identifikasi terhadap wilayah hotspot dan menemukan pola hubungan spasial yang
berbasis lokal area. Maksud dari basis lokal area adalah menguji setiap area dan pengaruhnya
terhadap aspek globalnya melalui Indeks Local Moran. Nilai ini merupakan penguraian dari nilai
global spasial (Indeks Global Moran). Secara komputasi LISA diperoleh melalui

Li=f ( y i , y ji )

Dengan f merupakan fungsi dari y i dan y ji , dan y i adalah nilai observasi dari wilayah
ke-i, sedangkan y ji adalah nilai observasi dari wilayah lain ke- j dari area i. Ada beberapa asumsi
dan metode yang dikombinasikan dalam LISA yaitu penggunaan matriks contiguity sebagai
pembobot spasial, penghitungan Indeks Global dan Local Moran, Moran’s Scatterplot, serta
penggunaan simulasi Monte Carlo.

7
Kalkulasi nilai p untuk statistik LISA dilakukan dengan simulasi Monte Carlo, kalkulasi
tersebut untuk melihat nilai observasi lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai standar
peluangnya.

NGE+1 NLE+ 1
Patas= Pbawah=
Nruns +1 Nruns+1

NGEmerupakan jumlah simulasi untuk hasil statistik lebih besar dari hasil observasi,
NLE merupakan jumlah simulasi untuk hasil statistik lebih kecil dari hasil observasi, sementara
Nrunsmerupakan total dari simulasi Monte Carlo yang dilakukan. Sementara pengujian hipotesis
dirumuskan sebagai berikut.
H0 : Tidak ada asosiasi antara nilai observasi pada lokasi dengan nilai observasi pada area
sekitar lokasi.
H1: Terdapat asosiasi dengan lokasi terdekat memiliki nilai yang mirip atau berbeda (jauh), baik
bernilai positif atau negatif.

2.6 Indeks Global Moran


Merupakan suatu statistik yang sering digunakan dalam mendeteksi autokorelasi spasial. Statistik
Moran’s I adalah ukuran korelasi antara pengamatan pada suatu wilayah/daerah dengan wilayah
lain yang berdekatan[ CITATION LAn951 \l 1033 ]. Moran’s I dapat diperoleh melalui persamaan
berikut

n n

][ ]
n
∑ ∑ w ij ( x i−x́ ) ( x j−x́ )

[
i j
I= n n n

∑ ∑ w ij ∑ ( x i− x́ )2
i j i

dengan adalah banyaknya pengamatan, sementara adalah nilai rata-rata dari dari lokasi.
Sedangkan merupakan nilai pada lokasi ke-i ; dan adalah nilai pada lokasi ke-j. Kemudian adalah
elemen matrik pembobot spasial (dijabarkan lebih lanjut pada pembahasan matrik pembobot
spasial).
Nilai dari statistik I merupakan koefisien korelasi yang berada pada batas antara -1 dan 1. Nilai
mendekati 1 atau -1 berarti memiliki korelasi yang tinggi. Sedangkan mendekati nilai 0
mengartikan korelasi tidak ada.

8
2.7 Indeks Local Moran
Statistik Local Moran berguna untuk pendeteksian hotspot/coldspot pada data area
diskret, selain itu jika ada pengelompokkan dari beberapa hotspot/coldspot akan teridentifikasi
sebagai gerombol lokal (local cluster). Local Moran dengan pembobot matrix contiguity
didefinisikan sebagai berikut.

I i=z i ∑ wij z ij
j

c ij
Dengan, w ij = ∑ c dan z ij=( y i− ý ) ( y j− ý )
ij
j

z i adalah nilai hasil standarisasi dari peubah yang diamati pada lokasi ke-i, Sedangkan z ij
adalah nilai hasil standarisasi dari peubah yang diamati pada lokasi ke-i dan lokasi lain ke– j.
Sementara y i merupakan nilai pengamatan pada lokasi ke-i, y j adalah nilai pengamatan pada
lokasi lain ke – j, ý adalah nilai rataan dari variabel pengamatan, dan w ij adalah ukuran
pembobot antara wilayah ke-i dan wilayah ke- j, serta c ij merupakan nilai kolom ke-i dan ke- j.

2.8 Pengujian Hipotesis pada Indeks Global dan Local Moran

Pengujian hipotesis Indeks Global Moran dan Local Moran dilakukan untuk menguji
adanya autokorelasi spasial baik positif ataupun negatif dan merupakan suatu pengujian satu
arah. Bentuk hipotesis awal (H0) adalah
a. H0 : I = 0 ; Tidak terdapat autokorelasi spasial. Sementara bentuk hipotesis alternatifnya
(H1) ada dua jenis (positif atau negatif).
b. H1 : I > 0 ; Terdapat autokorelasi spasial positif. Artinya area yang berdekatan mirip dan
cenderung bergerombol dalam suatu area.
c. H1 : I < 0 ; Terdapat autokorelasi spasial negatif. Artinya area yang berdekatan tidak
mirip dan membentuk pola visual seperti papan catur.
Statistik uji pada indeks Global dan Local Moran diturunkan dari sebaran normal baku, yaitu

I −E ( I )
z ( I )=
σ (I )

9
1
E ( I ) ≈− ;
n−1

I adalah Indeks Moran, dengan z ( I ) adalah nilai statistik uji dari Indeks Moran. Sementara E ( I )
merupakan nilai harapan dari Indeks Moran. σ ( I ) adalah simpangan baku dari Indeks Moran dan
n mengacu pada banyaknya area.

2.9 Matrik Pembobot Spasial

Penghitungan nilai w menggunakan matrik contiguity berdasarkan hubungan


kebertetanggaan yang bergerak berdasarkan langkah ratu [ CITATION JSi791 \l 1033 ], seperti pada
permainan catur (Gambar 1a). Matrik contiguity akan memberikan nilai 1 pada daerah yang
berbatasan langsung dengan lokasi pengamatan. Sementara sisanya diberikan nilai 0 atau
dikosongkan (Gambar 1b). Selanjutnya setiap pengamatan yang bernilai 1 (berbatasan langsung),
diberikan bobot pada setiap daerah (sehingga total nilai menjadi 1). Sebagai contoh daerah 6
memiliki 8 area tetangga yang berbatasan langsung maka setiap area bernilai 1/8 (Gambar 1c).

a. Langkah Ratu b. Matriks Contiguity

10
Gambar 1. Penggunaan Matriks Contiguity Dengan Langkah Ratu

2.10 Moran Scatterplot


Morans Scatterplot menyediakan suatu analisis eksplorasi secara visual untuk mendeteksi
autokorelasi spasial [ CITATION LAn951 \l 1033 ]. Hasil yang ditampilkan adalah data yang telah
distandarisasikan dalam z-score, dan bukan menggunakan data aslinya. Perolehan z-score ini
merupakan beda nilai antara pengamatan dengan nilai (rataan) harapan dari peubah. Standarisasi
mengacu pada simpangan baku z-score berdistribusi normal dan memiliki persamaan sebagai
berikut.

xi −x́
z i=
sx

dengan x i merupakan nilai dari peubah yang diamati di lokasi i . Sementara x́ merupakan
nilai rataan dari peubah pada semua lokasi dan s x adalah simpangan baku dari peubah . Morans
Scatterplot disajikan berbasis pada data z-score suatu lokasi pada sumbu (x), dan nilai z-score
rata-rata tetangganya pada sumbu (y). Secara visual Morans Scatterplot terbagi atas 4 kuadran.

y
IV (LH) I (HH)
x
III (LL) II (HL)

11
a. Kuadran Moran Scatterplot

LH HH

LL
LH

Gambar 2. Kuadran Morans Scatterplot dan Visualisasi Peta


Kuadran pertama, terletak di kanan atas yang disebut juga kuadran high-high. Artinya
memiliki autokorelasi positif, karena nilai pengamatan lokasi tersebut tinggi dan dikelilingi oleh
area sekitar yang juga tinggi. Pola visual yang terbentuk adalah pola gerombol (cluster) antara
area bernilai pengamatan tinggi dan dilambangkan dengan warna merah tua. Kuadran kedua,
terletak di kanan bawah yang disebut kuadran high-low. Artinya memiliki autokorelasi negatif,
karena nilai pengamatan lokasi tersebut tinggi dan dikelilingi oleh area sekitar yang memiliki
nilai rendah. Pola visual yang terbentuk adalah pola outliers dengan nilai pengamatan tinggi
(hotspot) dilambangkan dengan warna merah muda. Kuadran ketiga, terletak di kiri bawah yang
disebut kuadran low-low. Artinya memiliki autokorelasi positif, karena nilai pengamatan lokasi
tersebut rendah dan dikelilingi oleh area sekitar yang juga rendah. Pola visual yang terbentuk
adalah pola gerombol (cluster) antara area pengamatan yang rendah. Dilambangkan dengan
warna biru tua. Kuadran keempat, terletak di kiri atas yang disebut kuadran low-high. Artinya
memiliki autokorelasi negatif, karena nilai pengamatan lokasi tersebut rendah dan dikelilingi

12
oleh area yang tinggi. Pengamatan nilai rendah (coldspot) yang dilambangkan dengan warna biru
muda.

13
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data penelitian ini berupa data sekunder. Data yang digunakan adalah data dari KPU dan
Bakosurtanal. Terdapat dua jenis data yang didapat dari KPU. Data pertama, merupakan data
jumlah penduduk dan data jumlah pemilih dari KPU. Data kedua, merupakan data hasil akhir
rekapitulasi perolehan suara pada pemilu legislatif 2009 di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Sementara data dari Bakosurtanal berupa peta digital batas wilayah administrasi DKI Jakarta dan
Jawa Barat.

3.2 Metode Analisis


Analisis bertujuan untuk membandingkan antara 2 pendekatan wilayah, berdasarkan
administratif dan daerah pemilihan. Metode analisis dilakukan mengikuti beberapa tahapan.

1. Membuat dan menghitung matriks contiguity dan menetapkan pembobotan berdasarkan


langkah ratu untuk semua lokasi, dalam hal ini setiap kabupaten/kota di DKI dan
JABAR.
2. Melakukan standarisasi nilai pengamatan (z-score) sebagai dasar dalam menghitung nilai
indeks global dan local moran. Standarisasi dilakukan terhadap peubah penjelas (x) yaitu
perolehan suara 4 partai politik yaitu Demokrat, Golkar, PDIP, dan PKS (dalam bentuk
persentase). Dalam analisis spasial jumlah pengamatan (n) adalah jumlah area/lokasi,
dalam hal ini seluruh kabupaten/kota di DKI Jakarta yang berjumlah 6 area dan Jawa
Barat yang berjumlah 26 area.
3. Mengidentifikasi asosiasi spasial menggunakan metode Indeks Moran global berdasarkan
nilai peubah yang sudah distandarisasi, baik berdasarkan wilayah administrasinya
maupun pembagian wilayah berdasarkan dapil.
4. Analisis LISA dilakukan melalui penghitungan indeks local moran, moran scatterplot dan
penyajian peta tematik. Dalam mengolah data, menggunakan metode Simulasi Monte
Carlo yaitu suatu proses untuk memperoleh solusi dari berbagai kemungkinan hasil
(output) dengan cara membuat sejumlah percobaan (simulasi) menggunakan variabel

14
acak. (Anselin, 1995). Analisis dan simulasi dilakukan dengan bantuan software
SpaceStat (versi demo/trial).
5. Sebagai langkah terakhir dilakukan penghitungan secara manual perolehan kursi dalam
dua pendekatan wilayah yang berbeda, kemudian menganalisis perolehan kursi akibat
perubahan spasial tersebut.

15
DAFTAR PUSTAKA

Agresti, A. (2007). An Introduction to Categorical Data Analysis. New Jersey: Wiley


Publication.

Anselin, L. (1995). Local Indicators of Spatial Association. Research Paper 9331: Regional
Research Institute West Virginia.

Evans, A. (2004). Voters and Voting. London: Sage Publication.

Goodchild, M. (2004). Spatially Integrated Social Science. New York: Oxford University Press.

Kartawidjaja, P. (2003). Alokasi Kurs. Jakarta: Elsam.

Lloyd, C. D. (2007). Local Models for Spatial Analysis. Boca Raton: CRC Press.

Pace, J. L. ( 2004). Spatial and Spatiotemporal Econometrics. Advanced in Econometrics.

Poole, K. (2005). Spatial Model of Parliamentary Voting. Cambridge: Cambridge University


Press.

Reynolds, A. (2001). Merancang Sistem Pemilihan Umum. Bandung: Mizan,LIPI,Ford


Foundation.

Roland, G. (2004). Understanding Institutional Change. Studies in Comparative International


Development.

Shofield, N. (2008). Spatial Model of Politics. New York: Routledge.

Silk, J. (1979). Statistical Concept in Geography. London: George Allen & Unwin.

16

Anda mungkin juga menyukai