Disusun Oleh:
Kelompok 4
Ayi Riani
Kelas Malam B
TEKNIK INFORMATIKA
PURWAKARTA
2019-2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Problematika Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Bapak Muhamad Ibrahim Adiraharja,S.P.d pada mata kuliah Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan di bidang studi Teknik Informatika. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..…………………………………………………. i
DAFTAR ISI………………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………...... 1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………….... 3
II.1 Sejarah
III.1 Kesimpulan…………………………………………………
III.2 Saran………………………………………………………..
DATAR PUSTAKA……………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
I.3 Tujuan
PEMBAHASAN
II.1 Sejarah
Dalam suatu sistem politik demokrasi, kehadiran pemilu yang bebas dan adil
(free and fair) adalah suatu keniscayaan. Bahkan sistem politik apapun yang di
terapkan oleh suatu negara, seringkali menggunakan pemilu sebagai klaim
demokrasi atas sistem politik yang di bangunnya.Sistem demokrasi liberal, sistem
komunis, sistem otoriter atau sistem otorier maupun semi otoriter sebagaimana
yang banyak diterapkan dibeberapa negara dunia ketiga, hampir semuanya telah
melakukan pemilu secara periodik. Pemilihan umum telah menjadi bagian
universal dari kehidupan masyarakat politik internasional.Oleh karena itu, bisa di
pahami jika banyak ilmuwan politik yang menggunakan pemilu sebagai tolak
ukur pelaksanaan demokrasi di suatu negara. Hal ini seperti yang di kemukakan
oleh Ranney, “no free election, no democracy”.
Pada awalnya pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ketika diundangkannya UU No.
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Undang-Undang ini, Pilkada
belum ditetapkan dilakukan dengan pemilihan umum (pemilu). Hingga Pilkada
pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Hingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (UU No. 22 tahun 2007) diundangkan pada tahun 2007
berlaku.Pilkada diberlakukan yang kemudian disebut “pemilihan umum kepala
daerah dan wakil kepala daerah”. Setelah UU No. 22 tahun 2007 diundangkan,
Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarakan undang-undang ini adalah
Pilkada DKI Jakarta 2007.
Namun dalam penyelenggaraannya terdapat spesialisasi dalam
Pilkada.Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh
Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas
Pemilihan Aceh (Panwaslu Aceh).
Penyelenggaraan Pilkada dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.Pilkada diselenggarakan dengan
diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan
Panwaslu Kabupaten/Kota. Keanggotaan dari Panwaslu terdiri atas unsur
kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers dan tokoh masyarakat sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 57 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004. Keanggotaan tersebut
diusulkan oleh panitia pengawas kabupaten/kota untuk ditetapkan oleh DPRD
sesuai Pasal 57 ayat (5) UU No. 32 tahun 2004.
Peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik.Hal ini sesuai dengan Pasal 56 ayat (2) UU No. 32
tahun 2004.Namun ketentuan ini diubah dengan UU No. 12 tahun 2008 yang
menyatakan bahwa “peserta Pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang”.Undang-undang ini
menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa
pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004.Sedangkan spesialisasi kembali terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam,
peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik lokal.
Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai
suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa
kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat). Dalam perkembangannya,
demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh
negara di dunia.Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut,
1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan
politik,baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
2. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
3. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
Ada beberapa fungsi partai politik yang di kemukakan oleh para ahli.
Fungsi- fungsi tersebut adalah sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi
politik, sarana rekruitmen politik, pengelolaan konflik, dan fungsi artikulasi dan
agregrasi kepentingan.yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah partai
politik kita sudah menjalankan peran dan fungsinya secara optimal? jawabanya
adalah belum, karena partai politik terkadang hanya melakukan komunikasi
politik misalnya, hanya di lakukan pada saat menjelang pemilu atau pada saat
kampanye saja, padahal semestinya komunikasi partai politik dengan
konstituennya perlu dilakukan secara intens untuk melakukan fungsi artikulasi
dan sekaligus agregasi kepentingan sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat-
konstituennya. begitu juga dengan pengelolaan konflik dalam kasus tertentu justru
partai di anggap gagal mengelola konflik, tertama konflik yang di sebabkan oleh
perebutan-perebutan jabatan-jabatan penting di partai maupun jabatan-jabatan
publik lainya, misalnya konflik perebutan tiket pencalonan mejadi calon kepala
daerah dan wa kil kepala daerah di beberapa tempat.
Fungsi yang paling menonjol yang di lakukan oleh partai politik adalah
fungsi sarana rekrutmen politik-yaitu rekruitmen untuk menduduki jabatan-
jabatan di pemerintah, DPR, DPRD, dan jabatan-jabatan publik lainya di daerah.
Sementara itu,di sisi yang lain proses rekruetmen kader atau kaderisasi di partai
politik kurang berjalan secara sehat dan dinamis, tertama fenomena ini terjadi di
era reformasi, di mana begitu banyak partai politikdalam melakukan rekrutmen
kader mengandalakan kekerabatan-nepotisme, bahkan ada sebagaian kalangan
yang mengatakan sudah masuk dalam lingkaran dinastik politik, yaitu jabatan-
jabatan strategis di paratai politik di wariskan kepada anak, istri, menantu, dan
keponakannya, bahkan fenomena ini juga sudah terjadi pada penentuan jabatan-
jabatan publik di daerah, di mana suaminya tidak bisa lagi maju lagi menjadi
bupati atau walikota karna terganjal aturan sudah dua periode menjabat, kemudian
di gantikan oleh istrinya. Hal ini menjadi salah satu kelemahan proses rekrutmen
partai politik kita.
Adapun yang berkaitan dengan sistem kepartaian, secara umum terdapat
3 (tiga) sistem kepartaian yaitu sistem satu partai, sistem dua partai, dan sistem
multi partai. Sistem satu partai ialah sistem politik dalam suatu Negara yang
hanya di kuasai hanya satu partai dominan,dalam sistem ini mungkin dapat partai-
partai lain, namun kekuatanya tidak signifikan dan hanya ada satu partai yang
menguasai pemerintahan.sistem satu partai merupakan salah satu ciri Negara
otokrasi, model partai tunggal terdapat di berbagai Negara seperti Negara-negara
Afrika (Mai, Pantai gading) dan Negara-negara Eropa Timur sebelum keruntuhan
komunisme Soviet dan di Cina.
Sedangakan sistem dua partai adalah sistem politik suatu Negara yang
memiliki dua partai utama (major party) dengan kemunkinan adanya partai politik
lain, namun tidak signifikan.hanya terdapat dua partai polit yang kuatannya dua
partai politik utama terkait dengan sistem dan latar belakang sosial Negara
tertentu, contoh Negara yang menerapkan sistem ini adalah Inggris.
Sistem multi partai adalah suatu sistem politik dimana dalam suatu
Negara tidak terdapat suatu partai politik tertentu yang mungkin menjadi
mayoritas absolute untuk menguasai lembaga perwakilan, atau membentuk
pemerintahan tanpa berkoalisi dengan partai lain. Sistem multi partai memiliki
kelebihan tertutama bagi Negara yang memiliki heterogen dalam masyarakatnya,
namun sistem ini di pandang memiliki kelemahan dari sisi pemerintahan yang di
hasilkan yaitu, cenderung tidak stabil karena tidak ada partai yang dominan
khususnya pada sistem pemerinthan parlementer.sistem ini berkembang di
Belanda, Prancis, Swedia ,dan Indonesia. Sistem multi partai biasanya di perkuat
dengan sistem perwakilan berimbang yang member kesempatan luas bagi
pertumbuhan partai-partai kecil.
Sementara itu sistem kepartaian kita yang menerapkan sistem multi partai
yang kita terapkan sejak digulirkannya reformasi yaitu multi pemilu 1999,
meskipun kita juga sebelumnya pernah menerapkannya yaitu pada pemilu pertama
pada tahun 1995. Kelemahan dari sistem multi partai ini terletak pada stabilitas
politik dan stabilitas pemerintahan, apa lagi kita menerapkan sistem presidensial.
Sistem kepartaian multi partai hanya ideal apa bila di terapkan pada sistem
parlementer. Sedangkan ketidak cocokan sistem multipartai dengan sistem
presidensialisme dapat mengacu pada studi yang di lakukan oleh Mainwaring
(1993) yang menunjukkan dari seluruh demokrasi di dunia. Hanya Chile yang
mampu mngawinkan secara setabil presidensialisme dengan sistem multipartai.
Menurut Mainwaring penggabungan presidensialisme dengan multi partai
berpotensi menyebabkan deadlock instabilitas pemerintahan (Tanuwidjaja, 2008).
Hal ini sejalan dengan apa yang di kemukakan oleh Linz Dan Velenzuela(1994),
yang berpendapat bahwa sistem presidensial yang di terapkandi atas struktur
politik multi partai (presidensial-multipartai) cenderung melahirkan konflik antar
lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil
(Hanta Yuada, 2010).
Namun demikian bukan berarti kita lebih setuju dengan sistem kepartaian
yang di terapkan di era orde baru yang menerapkan sistem dua partai dan satu
golongan melalui fusi partai-partai politik yang sudah ada pada saat itu akan tetapi
yang paling realistis adalah kita menerapkan sistem multi partai sederhana yaitu
penyederhanaan partai bertahap melalui penerapan electoral threshold dan
parliamentarythreshold, sehingga eksistensi paratai politik akan di tenetukan
keberlangsungannya oleh rakyat melalui pemilihan umum.
pemungutan suara.
Selama ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi
dalam Pilkada, seperti permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik
terjadinya permasalahan di internal partai politik maupun pemenuhan persyaratan
Pilkada. Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya
sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak
aturan tersebut.
a. Tinjauan yuridis.
1. Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2. Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3. Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "setiap warga
negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
Bahwa tidak ada perintah pemilihan gubernur dipilih secara langsung, sehingga
pemilihan gubernur dilakukan melalui system perwakilan tidak bertentangan dengan
konstitusi.
b. Tinjauan filosofis.
1. Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem
perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah
dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk
dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2. Dari sisi ruang partisipasi rakyat untuk dipilih, baik sistem pemilihan secara
langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan
bagi kedua sstem tersebut sama.
3. Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah
(provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi
operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas
kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4. Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat
dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD,
Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan
memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin
terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga
harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan
oleh DPRD.
5. Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin
dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota,
maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai
wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih
langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6. Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur
dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim,
tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi
penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi
dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c. Tinjauan Politis.
1. Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia
menganut bentuk Negara Kesatuan.Sistem ini bertujuan untuk menghindari
daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah
otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang
kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat
dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan
dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya
gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan
dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan
memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2. Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan
bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota
sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang
besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat
daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai
kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan
gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka
sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d. Tinjauan Sosiologis.
1. Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan
kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum
mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara
langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam
menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui
pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon
bersaing secara sehat.
2. Menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa
kemajuan daerah.
Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi,
dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk
menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa
kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat
setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas
pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
III.1. Kesimpulan
Dirjen Otda Depdagri, 2009, Evaluasi Pemilu Kepala Daerah Periode 2005-2008.
Nugroho Dewanto, 2006, Pancasila dan UUD 1945, Bandung, Nuansa Aulia.
Jurnal Intelijen & Kontra Intelijen, 2008, vol.1 No.25, Center For The Study Of
Intelligence And Counterintelligence.