Anda di halaman 1dari 38

Problematika Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia

Diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah PPKn

Dosen Pembimbing: Muhamad Ibrahim Adiraharja,S.P.d

Disusun Oleh:

Kelompok 4

Afifa Nur Khasanah

Ayi Riani

Dimas Aji Fuady Rokhman

Kholik Zaenudin Ashar

Nenda Putri Suciaty

Kelas Malam B

TEKNIK INFORMATIKA

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI WASTUKANCANA

PURWAKARTA

2019-2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Problematika Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Bapak Muhamad Ibrahim Adiraharja,S.P.d pada mata kuliah Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan di bidang studi Teknik Informatika. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Muhamad Ibrahim


Adiraharja,S.P.d, selaku dosen matakuliah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Purwakarta, 12 Desember 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..…………………………………………………. i

DAFTAR ISI………………………………………………………………. ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………...... 1

I.1 Latar Belakang……………………………………………….. 1

I.2 Rumusan Masalah…………………………………………..... 2

I.3 Tujuan …................................……………………………….. 2

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………….... 3

II.1 Sejarah

II.2 Peran Demokrasi dan Partai Politik

II.3 Permasalahan dan Isu-Isu Pemilihan Kepala Daerah

II.4 Solusi Permasalahan dan Isu-Isu Pemilihan Kepala Daerah

BAB III PENUTUP……………………………………………………...

III.1 Kesimpulan…………………………………………………

III.2 Saran………………………………………………………..

DATAR PUSTAKA……………………………………………………….
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara demokrasi.Demokrasi adalah prinsip bangsa atau


negara ini dalam menjalankan pemerintahannya.Semenjak awal bergulirnya era
reformasi, demokrasi kian marak menjadi perbincangan seluruh lapisan bangsa
ini.Demokrasi menjadi kosa kata umum yang digunakan masyarakat untuk
mengemukakan pendapatnya.Hal ini didasarkan pada pengertian demokrasi
menurut Abraham Lincoln.Demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Salah satu perwujudan dari sistem demokrasi di Indonesia adalah otonomi


daerah.Otonomi daerah adalah hal, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Otonomi
daerah dipandang perlu dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik dalam
dan luar negeri, serta tantangan persaingan global.Otonomi daerah memberikan
kewenangan yang luas dan nyata, bertanggung jawab kepada daerah secara
proposional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan kemanfaatan
sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.Itu semua
harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran masyarakat,
pemerataan, keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah yang
dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penyelenggaraan Otonomi di daerah didasarkan pada isi dan jiwa yang


terkandung dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya.
Menurut Hukum Tata Pemerintahan Negara atau Hukum Administrasi Negara
Otonomi Daerah merupakan suatu kewenangan daerah untuk menjalankan
pengaturan, penetapan, penyelenggaraan, pengawasan, pertanggungjawaban
Hukum dan Moral dan Penegakan Hukum Administrasi di daerah untuk
terciptanya pemerintahan yang taat hukum, jujur, bersih, dan berwibawa
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Otonomi daerah sebagai
suatu kebijakan Desentralisasi ini diberlakukan dikarenakan Otonomi Daerah
diharapkan dapat menjadi solusi terhadap problema ketimpangan pusat dan
daerah, disintegrasi nasional, serta minimnya penyaluran aspirasi masyarakat
local. Otonomi merupakan solusi terpenting untuk menepis disintegrasi.

Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah
provinsi dan daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang
masing-masing sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi,
kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi
pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD. Kepala Daerah
adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun
kabupaten/kota yang merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD
merupakan lembaga legislatif di daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota.
Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah
(Pasal 40 UU No. 32/2004) .

Sejalan dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala


Daerah dilaksanakan secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat
dilaksanakannya pilkada adalah koreksi terhadap sistem demokrasi tidak langsung
(perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat
(pemilih). Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan
suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara
dalam memilih kepala daerah.

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip


demokrasi.Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara
demokratis. Dalam UU NO.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diatur
mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara
langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol.
Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun
2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari
dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di
Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinya good governance
karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini
merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program desentralisasi. Daerah
telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah
sampai pada taraf otonomi individu. Selain semangat tersebut, sejumlah
argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pilkada yaitu:

Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah


yang memiliki kualitas dan akuntabilitas.

Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan


efektivitas pemerintahan di tingkat lokal.

Ketiga, dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kualitas


kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya
pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan atau daerah.

Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang


dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya
waktu yang sangat panjang, sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran, belum
lagi biaya yang begitu besar , baik dari segi politik (issue perpecahan internal
parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk
penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi) , social (issue tentang
disintegrasi social walaupun sementara, black campaign dll.) maupun financial.
Hal ini kita lihat pada waktu pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti
di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di Sulawesi Selatan, pemilihan gubernur
langsung diselenggarakan sebanyak dua putaran karena ketidak puasan salah satu
calon atas hasil penghitungan suara akhir.
Masalah pemenangan Pilkada mengandung latar belakang
multidimensional. Ada yang bermotif harga diri pribadi (adu popularitas); Ada
pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait juga kehormatan
Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri
untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk
memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa
difahami, karena “politics is the struggle over allocation of values in society”
(Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di dalam
masyarakat). Pemenangan perjuangan politik seperti pemilu legislatif atau pilkada
eksekutif sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan
budget dan kebijakan dalam proses pemerintahan (the process of government) .

Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat, batgaining and


compromise” seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam Undang-undang
tentang Partai Poltik UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan UU No.2 Tahun
2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya
sistem perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat
transaksional, dan hanya orang-orang yang mempunyai modal financial besar,
serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang
sangat besar untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat
dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang
calon, serta banyak Perda-Perda yang bermasalah, memberatkan masyarakat dan
iklim investasi. Oleh karena itu, perlu diketahui berbagai masalah dan isu-isu apa
dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (PILKADA) dan bagaimana solusi untuk
memecahkan masalah tersebut.
I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sistem serta peran demokrasi dan partai politik?


2. Bagaimana tentang pemilu umum di Indonesia?
3. Apa permasalahan dan isu-isu pemilihan kepada daerah (PILKADA)?
4. Apa solusi permasalahan dan isu-isu pemilihan kepada daerah
(PILKADA)?

I.3 Tujuan

1. Dapat mengetahui sistem serta peran demokrasi dan partai politik


2. Mengetahui tentang pemilu umum di Indonesia?
3. Mengetahui permasalahan dan isu-isu pemilihan kepada daerah
(PILKADA)
4. Dapat mengetahui solusi permasalahan dan isu-isu pemilihan kepada
daerah (PILKADA)
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Sejarah

Dalam suatu sistem politik demokrasi, kehadiran pemilu yang bebas dan adil
(free and fair) adalah suatu keniscayaan. Bahkan sistem politik apapun yang di
terapkan oleh suatu negara, seringkali menggunakan pemilu sebagai klaim
demokrasi atas sistem politik yang di bangunnya.Sistem demokrasi liberal, sistem
komunis, sistem otoriter atau sistem otorier maupun semi otoriter sebagaimana
yang banyak diterapkan dibeberapa negara dunia ketiga, hampir semuanya telah
melakukan pemilu secara periodik. Pemilihan umum telah menjadi bagian
universal dari kehidupan masyarakat politik internasional.Oleh karena itu, bisa di
pahami jika banyak ilmuwan politik yang menggunakan pemilu sebagai tolak
ukur pelaksanaan demokrasi di suatu negara. Hal ini seperti yang di kemukakan
oleh Ranney, “no free election, no democracy”.

Pemilihan umum merupakan mekanisme dimana rakyat bisa menyalurkan


aspirasi politiknya secara bebas dalam menentukan pemimpin nasional, sehingga
dalam konteks ini sebenarnya tercermin tanggung jawab warga pilihan negara.
Oleh karena itu, rakyat harus mengerti benar bahwa apapun pilihannya hal itu
mesti di dasari oleh alasan yang kuat, rasional dan kritis (rasional voter) ,bukan
sekedar pembebekan politik-asal ikut dan asal pilih (emotional voter), tentunya
harus menjadi pemilih yang cerdas dan bertanggung jawab. Karena meskipun
hanya satu suara, maka pilihan rakyat tersebut sangat berarti dan memiliki
implikasi besar yakni dapat menentukan arah nasib bangsa selama lima tahun
mendatang, sehingga kalau salah pilih, maka tentunya rakyat juga yang akan
dirugikan.

Ada beberapa alasan mengapa pemilu sangat penting bagi kehidupan


demokrasi di suatu negara, khususnya di negara-negara dunia ketiga, yaitu:
Pertama, melalui pemilu kemungkinan suatu komunitas politik melakukan
trasfer kekuasaan secara damai.Sejarah mencatat, tidak jarang peralihan
kekuasaan yang dilakukan di luar sarana pemilu menyebabkan terjadinya
kekacauan dan pertumpahan darah. Beberapa negara yang melakukan transfer
kekuasaan melalui kudeta biasanya (cendrung) menyebabkan adanya kudet pada
transfer kekuasaan berikutnya. Dalam perspektif kehidupan politik modern, jalan
satu-satunya yang paling mungkin adalah melalui pemilihan umum yang bebas
dan adil.
Kedua, melalui pemilu akan tercipta pelembagaan konflik. Diakui atau
tidak, sistem demokrasi menuntut adanya kebebasan menyuarakan kepentingan
dan konflik secara terbuka.Bahkan, Przeworski mencatat, demokrasi itu sendiri
merupakan hasil kontigen dari konflik. Persoalannya adalah bagaimana agar
konflik-konflik itu khususnya yang berkaitan dengan konflik untuk
memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan dapat diselesaikan melalui
lembaga-lembaga demokrasi yang ada, oleh karena itu bagi Robert Dahl,
demokrasi poliarki (berskala besar) memiliki dua dimensi partisipasi politik
(warga negara) yang keduanya saling tergantung serta kontestasi (elit).
Adapun fungsi dari pemilihan umum menurut Arbi Sanit, minimal ada 4
(empat) fungsi pemilihan umum, yaitu sarana legitimasi politik, perwakilan
politik, sirkulasi elit politik, dan sarana pendidikan politik. Dalam realitas sarana
legitimasi politik, perwakilan politik, dan sirkulasi elit politik. Sedangkan fungsi
yang terakhir yaitu sebagai sarana pendidikan politik kurang begitu di perankan
secara maksimal oleh partai politik.
Untuk itu menurut Eep Saifullah Fatah, menempatkan pemilu sebagai alat
demokrasi berarti memposisikan pemilu dalam fungsi asasinya sebagai wahana
pembentuk representative government yang jujur, bersih, bebas, adil, dan
kompetitif. Dengan fungsi representative government itu, maka sistem pemilihan
umum harus memenuhi tiga prinsip pokok demokrasi, yakni kedaulatan rakyat,
keabsahan pemerintahan, dan pergantian pemerintahan secara teratur. Demokrasi
merupakan sebuah konsep yang bersifat universal, tetapi ketika demokrasi hendak
di implementasikan, maka kita akan berhadapan dengan kenyataan bahwa
karakteristik sosial masyarakat akan mewarnai implementasi nilai-nilai demokrasi
yang bersifat universal tersebut.
Kemudian untuk menilai sebuah proses pemilu, maka secara konseptual
terdapat dua mekanisme yang bisa dilakukan untuk menciptakan dan sekaligus
menilai pemilihan umum yang bebas dan adil.
Pertama, electroral law yaitu sistem pemilihan dan perangkat peraturan
yang merata bagaimana pemilu dijalankan serta bagaimana distribusi hasil pemilu.
Atau oleh kalangan ilmuan politik hal itu dikategorikan sebagai sistem pemilihan
(electroral system) yaitu bagaimana menciptakan seperangkat metode atau aturan
untuk mentransfer suara pemilihan kedalam suatu lembaga perwakilan rakyat
secra adil.
Kedua, electroral process yaitu menjalankan pemilihan umum sesuai
dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi, mulai dari tahap pencalonan,
kampaye, proses pemunggutan suara dan perhitungan suara, pembagian kursi dan
penentuan calon terpilih. Dalam struktur pemilu menurutnya terdiri atas tiga
substruktur, yakni rakyat, parpol dan pengusaha. Mekanisme pertama yaitu
electroral system merupakan intervening variabel terhadap upaya untuk
menciptakan sebuah pemilihan umum yang demokratis, jujur dan adil serta
berkualitas. Karena itu mustahil menciptakan pemilu yang demokratis, jujur, adil
dan berkualitas, tanpa terlebih dahulu melakukan pembenahan terhadap perangkat
hukum terkait dengan partai politik, dan pemilihan umum yang di dalamnya
memiliki sistem pemilu, mekanisme pencalonan, kampanye, tata cara pemungutan
dan perhitungan suara serta sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi selama
proses tahapan pemilu dan penyelesaian sengketa hasil pemilu.
Sedangkan mekanisme kedua yaitu elektoral proses, harus di letakkan
sebagai dependent variable. Karena hal itu menentukan sebuah proses pemilu
tersebut berkualitas atau tidak. Artinya dari aspek kualitas proses pemilu misalnya
dari sisi penyelenggaraan pemilu : apakah mulai dari KPU Pusat, KPU daerah,
sampai dengan PPK, PPS, dan KPPS dapat menjalankan netralitasnya sebagai
penyelenggara pemilu dengan tidak melakukan kecurangan yang akan berdampak
menguntungkan ataupun merugikan parpol tertentu atau pasangan calon presiden
dan wakil presiden tertentu. Apakah mengeluarkan regulasi yang tidak berpihak
pada parpol dan pasangan calon tertentu . Dan apakah menjalankan tugas secara
profesional.
Sedangkan dari sisi peserta pemilu dalam hal ini partai politik : apakah
tidak melakukan intimidasi? Apakah tidak melakukan kekerasan? Apakah
melakukan money politics ? Apakah telah melakukan rekreutmen politik (caleg)
secara demokratis di internal partai dengan menetapkan caleg yang benar-benar
dikenal dan di kenal dengan akar rumput di daerah pemilihannya masing-masing?.
Pemilihan umum di laksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan
DPRD.Salain itu pemilihan umum juga untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden. Pemilu tahun 2009 merupakan pemilu ketiga di era reformasi yang
menerapkan sistem multi partai, yang di ikuti oleh begitu banyak partai politik di
mana sebelumnya (Era Orde Baru) hanya di ikuti oleh dua partai politik dan satu
golongan karya. Pemilu di era reformasi ini dapat berjalan relatif dengan baik,
jujur, dan adil, meskipun masih juga kita temukan adanya kecurangan, baik
kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu maupun kecurangan yang
di lakukan oleh partai politik sebagai peserta pemilu.
Pemilihan Kepala Daerah berhubungan erat dengan demokrasi. Demokrasi
yang memberikan kedaulatan berada ditangan rakyat. Istilah demokrasi sendiri
berasal dari bahasa Yunani (dēmokratía) “kekuasaan rakyat”, yang dibentuk dari
kata (dêmos) “rakyat” dan (Kratos) “kekuasaan”. Demokrasi muncul pada
pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kotaYunani Kuno, khususnya
Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau sering
disebut Pilkada, merupakan perkara wajib yang harus dilaksanakan setelah
periode untuk menjabat habis sebagaimana dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Pilkada sendiri adalah pemilihan umum untuk memilih
kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh
penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat.
Sebelum dilangsungkannya Pilkada tersebut, calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah adalah warga Negara Republik Indonesia yang harus
memenuhi syarat yang ditentukan pada Pasal 58 UU No. 32 tahun 2004. Dalam
hal ini yang disebut sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah:
1. Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi
2. Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten
3. Walikota dan wakil walikota untuk kota.

Pada awalnya pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ketika diundangkannya UU No.
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Undang-Undang ini, Pilkada
belum ditetapkan dilakukan dengan pemilihan umum (pemilu). Hingga Pilkada
pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Hingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (UU No. 22 tahun 2007) diundangkan pada tahun 2007
berlaku.Pilkada diberlakukan yang kemudian disebut “pemilihan umum kepala
daerah dan wakil kepala daerah”. Setelah UU No. 22 tahun 2007 diundangkan,
Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarakan undang-undang ini adalah
Pilkada DKI Jakarta 2007.
Namun dalam penyelenggaraannya terdapat spesialisasi dalam
Pilkada.Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh
Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas
Pemilihan Aceh (Panwaslu Aceh).
Penyelenggaraan Pilkada dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.Pilkada diselenggarakan dengan
diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan
Panwaslu Kabupaten/Kota. Keanggotaan dari Panwaslu terdiri atas unsur
kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers dan tokoh masyarakat sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 57 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004. Keanggotaan tersebut
diusulkan oleh panitia pengawas kabupaten/kota untuk ditetapkan oleh DPRD
sesuai Pasal 57 ayat (5) UU No. 32 tahun 2004.
Peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik.Hal ini sesuai dengan Pasal 56 ayat (2) UU No. 32
tahun 2004.Namun ketentuan ini diubah dengan UU No. 12 tahun 2008 yang
menyatakan bahwa “peserta Pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang”.Undang-undang ini
menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa
pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004.Sedangkan spesialisasi kembali terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam,
peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik lokal.
Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai
suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa
kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat). Dalam perkembangannya,
demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh
negara di dunia.Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut,
1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan
politik,baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
2. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
3. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip


demokrasi.Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara
demokratis. Dalam UU NO.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diatur
mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara
langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol.
Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun
2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari
dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di
Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinya good governance
karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini
merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program desentralisasi. Daerah
telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah
sampai pada taraf otonomi individu.Sejumlah argumentasi dan asumsi yang
memperkuat pentingnya pilkada adalah:
Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah
yang memiliki kualitas dan akuntabilitas.
Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan
efektivitas pemerintahan di tingkat lokal.
Ketiga, dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kualitas
kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya
pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan atau daerah.
Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang
dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya
waktu yang sangat panjang, sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran, belum
lagi biaya yang begitu besar , baik dari segi politik (issue perpecahan internal
parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk
penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi) , social (issue tentang
disintegrasi social walaupun sementara, black campaign dll.) maupun financial.
Hal ini kita lihat pada waktu pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti
di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di Sulsel, pemilihan gubernur langsung
diselenggarakan sebanyak dua putaran karena ketidakpuasan salah satu calon atas
hasil penghitungan suara akhir.
Masalah pemenangan Pilkada mengandung latar belakang
multidimensional. Ada yang bermotif harga diri pribadi (adu popularitas); Ada
pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait juga kehormatan
Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri
untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk
memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa
difahami, karena “politics is the struggle over allocation of values in society”.
(Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di dalam
masyarakat).Pemenangan perjuangan politik seperti pemilu legislative atau
pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi,
pengawasan budget dan kebijakan dalam proses pemerintahan (the process of
government). Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat,
batgaining and compromise” seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam
Undang-undang tentang Partai Poltik UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan
UU No.2 Tahun 2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik.
Masalah lainnya sistem perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur)
bersifat transaksional, dan hanya orang-orang yang mempunyai modal financial
besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya
yang sangat besar untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat
dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang
calon, serta banyak Perda-Perda yang bermasalah, dan memberatkan masyarakat
dan iklim investasi.

II.2 Peran Demokrasi dan Partai Politik

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu


negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara)
atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Demokrasi adalah
prinsip bangsa atau negara ini dalam menjalankan pemerintahannya.Sehubungan
dengan tersebut, ada yang namanya partai politik. Dimana partai politik
merupakan salah satu bentuk perwujudan kebebasan berserikat dan berkumpul
yang di jamin oleh konstitusi dan merupakan salah satu prasyarat berjalannya
demokrasi. Selain itu, partai politik salah satu wujud kongkrit dari partisipasi
masyarakat dalam mengembangkan demokrasi yang tentunya yang diharapkan
dapat menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan kebersamaan, kejujuran,sportifitas
dan keadilan. Apter ( 2007 : 201 ) memberikan 3 (tiga)ciri penting partai politik,
yaitu :
1. Peran suatu partai sering berubah apa bila kondisi politik di suatu Negara
berubah.
2. Bahwa bentuknya di tentukan sepenuhnya oleh kerangka sosio politik
masyarakat partai membutuhkan sebuah kerangka acuan konstitusional atau
rezim politik yang cocok dengan fungsi mereka.
3. Sebagai subkelompok di dalam sistem dengan sarana-sarana mereka sendiri
untuk menghasilkan kekuasaan.

Secara umum partai politik dapat di definisikan sebagi suatu kelompok


yang terorganisir yang memiliki tujuan yang sama, baik untuk mempengaruhi,
merebut maupun mempertahankan kekuasaanya yang bertujuan untuk
memperoleh jabatan-jabatan politik di pemerintahaan.berikut ini akan di
sampaikan beberapa pengertian partai politik menurut pandangan beberapa ahli
politik. Budiarjo (1991) mendefinisikan partai politik sebagai suatu kelompok
yang terorganisir anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-
cita yang sama, di mana tujuan dari kelompok ini adalah untuk memperoleh
kekuasaan politik dan berbuat kedudukan politik, biasanya dengan cara
konstitusional untuk melaksanakan program-programnya.
Kemudian bagaimana dengan pengertian partai politik di Indonesia?
berdasarkan ketentuan pasal 1 undang-undang No.31 Tahun 2002, tentang partai
politik, maka partai politik adalah organisasi yang di bentuk oleh sekelompok
warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaankehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan kehendak anggota, masyarakat, bangsa dan
Negara melalui pemilihan umum.
1. Dalam ketentuan pasal 202 ayat (1) UU No.10 tahun 2008,tentang pemilu
anggota DPR, DPD, DPRD, provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota,menyebutkan:partai politik peserta pemilu harus memenuhi
ambang atas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 % (dutia koma lima
perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk di ikutkan dalam
penentuan perolehan kursi DPR,kemudian pasal 203 ayat (1) nya
menyebutkan partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ambang batas
perolehan suara sebagai mana dimaksud dalam pasal 202 ayat (1) tidak di
ikutsertakan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.oleh
karena itu memperebutkan simpati dan dukungan dari rakyat menjadi sebuah
keharusan apabila partai politik menginginkan tetap eksis.
2. Undang-undang No.31 tahun 202, lembaran Negara RI tahun 2002 nomor:
138, tambahan LNRI nomor : 4251,yang mengatur tentang partai politik pada
pemilihan umum 2004.

Ada beberapa fungsi partai politik yang di kemukakan oleh para ahli.
Fungsi- fungsi tersebut adalah sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi
politik, sarana rekruitmen politik, pengelolaan konflik, dan fungsi artikulasi dan
agregrasi kepentingan.yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah partai
politik kita sudah menjalankan peran dan fungsinya secara optimal? jawabanya
adalah belum, karena partai politik terkadang hanya melakukan komunikasi
politik misalnya, hanya di lakukan pada saat menjelang pemilu atau pada saat
kampanye saja, padahal semestinya komunikasi partai politik dengan
konstituennya perlu dilakukan secara intens untuk melakukan fungsi artikulasi
dan sekaligus agregasi kepentingan sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat-
konstituennya. begitu juga dengan pengelolaan konflik dalam kasus tertentu justru
partai di anggap gagal mengelola konflik, tertama konflik yang di sebabkan oleh
perebutan-perebutan jabatan-jabatan penting di partai maupun jabatan-jabatan
publik lainya, misalnya konflik perebutan tiket pencalonan mejadi calon kepala
daerah dan wa kil kepala daerah di beberapa tempat.
Fungsi yang paling menonjol yang di lakukan oleh partai politik adalah
fungsi sarana rekrutmen politik-yaitu rekruitmen untuk menduduki jabatan-
jabatan di pemerintah, DPR, DPRD, dan jabatan-jabatan publik lainya di daerah.
Sementara itu,di sisi yang lain proses rekruetmen kader atau kaderisasi di partai
politik kurang berjalan secara sehat dan dinamis, tertama fenomena ini terjadi di
era reformasi, di mana begitu banyak partai politikdalam melakukan rekrutmen
kader mengandalakan kekerabatan-nepotisme, bahkan ada sebagaian kalangan
yang mengatakan sudah masuk dalam lingkaran dinastik politik, yaitu jabatan-
jabatan strategis di paratai politik di wariskan kepada anak, istri, menantu, dan
keponakannya, bahkan fenomena ini juga sudah terjadi pada penentuan jabatan-
jabatan publik di daerah, di mana suaminya tidak bisa lagi maju lagi menjadi
bupati atau walikota karna terganjal aturan sudah dua periode menjabat, kemudian
di gantikan oleh istrinya. Hal ini menjadi salah satu kelemahan proses rekrutmen
partai politik kita.
Adapun yang berkaitan dengan sistem kepartaian, secara umum terdapat
3 (tiga) sistem kepartaian yaitu sistem satu partai, sistem dua partai, dan sistem
multi partai. Sistem satu partai ialah sistem politik dalam suatu Negara yang
hanya di kuasai hanya satu partai dominan,dalam sistem ini mungkin dapat partai-
partai lain, namun kekuatanya tidak signifikan dan hanya ada satu partai yang
menguasai pemerintahan.sistem satu partai merupakan salah satu ciri Negara
otokrasi, model partai tunggal terdapat di berbagai Negara seperti Negara-negara
Afrika (Mai, Pantai gading) dan Negara-negara Eropa Timur sebelum keruntuhan
komunisme Soviet dan di Cina.
Sedangakan sistem dua partai adalah sistem politik suatu Negara yang
memiliki dua partai utama (major party) dengan kemunkinan adanya partai politik
lain, namun tidak signifikan.hanya terdapat dua partai polit yang kuatannya dua
partai politik utama terkait dengan sistem dan latar belakang sosial Negara
tertentu, contoh Negara yang menerapkan sistem ini adalah Inggris.
Sistem multi partai adalah suatu sistem politik dimana dalam suatu
Negara tidak terdapat suatu partai politik tertentu yang mungkin menjadi
mayoritas absolute untuk menguasai lembaga perwakilan, atau membentuk
pemerintahan tanpa berkoalisi dengan partai lain. Sistem multi partai memiliki
kelebihan tertutama bagi Negara yang memiliki heterogen dalam masyarakatnya,
namun sistem ini di pandang memiliki kelemahan dari sisi pemerintahan yang di
hasilkan yaitu, cenderung tidak stabil karena tidak ada partai yang dominan
khususnya pada sistem pemerinthan parlementer.sistem ini berkembang di
Belanda, Prancis, Swedia ,dan Indonesia. Sistem multi partai biasanya di perkuat
dengan sistem perwakilan berimbang yang member kesempatan luas bagi
pertumbuhan partai-partai kecil.
Sementara itu sistem kepartaian kita yang menerapkan sistem multi partai
yang kita terapkan sejak digulirkannya reformasi yaitu multi pemilu 1999,
meskipun kita juga sebelumnya pernah menerapkannya yaitu pada pemilu pertama
pada tahun 1995. Kelemahan dari sistem multi partai ini terletak pada stabilitas
politik dan stabilitas pemerintahan, apa lagi kita menerapkan sistem presidensial.
Sistem kepartaian multi partai hanya ideal apa bila di terapkan pada sistem
parlementer. Sedangkan ketidak cocokan sistem multipartai dengan sistem
presidensialisme dapat mengacu pada studi yang di lakukan oleh Mainwaring
(1993) yang menunjukkan dari seluruh demokrasi di dunia. Hanya Chile yang
mampu mngawinkan secara setabil presidensialisme dengan sistem multipartai.
Menurut Mainwaring penggabungan presidensialisme dengan multi partai
berpotensi menyebabkan deadlock instabilitas pemerintahan (Tanuwidjaja, 2008).
Hal ini sejalan dengan apa yang di kemukakan oleh Linz Dan Velenzuela(1994),
yang berpendapat bahwa sistem presidensial yang di terapkandi atas struktur
politik multi partai (presidensial-multipartai) cenderung melahirkan konflik antar
lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil
(Hanta Yuada, 2010).
Namun demikian bukan berarti kita lebih setuju dengan sistem kepartaian
yang di terapkan di era orde baru yang menerapkan sistem dua partai dan satu
golongan melalui fusi partai-partai politik yang sudah ada pada saat itu akan tetapi
yang paling realistis adalah kita menerapkan sistem multi partai sederhana yaitu
penyederhanaan partai bertahap melalui penerapan electoral threshold dan
parliamentarythreshold, sehingga eksistensi paratai politik akan di tenetukan
keberlangsungannya oleh rakyat melalui pemilihan umum.

II.3 Permasalahan dan Isu-Isu Pemilihan Kepala Daerah

Pesta demokrasi di Indonesia salah satunya adalah pemilihan kepala di


tiap-tiap daerah, biasanya selalu menimbulkan permasalahan dan isu-isu yang
akan menjadi pembahasan saat dan setelah pemilihan itu dilakukan, yakni sebagai
berikut :

1. Daftar Pemilih tidak akurat:


a. Sebagian besar DP4 dari Kab/Kota tidak dapat diandalkan.
b. Calon pemilih banyak yang memiliki domisili lebih dari satu tempat.
c. Calon pemilih dan Parpol bersikap pasif dalam menyikapi DPS.
d. Pelibatan RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih tidak maksimal.
e. Para pihak baru peduli atas kekurang-akuratan data pemilih ketika sudah
ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap atau ketika sudah mendekati hari

pemungutan suara.

f. Kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih tidak maksimal.

2. Proses pencalonan yang bermasalah:


a. Munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai politik.
b. Perseteruan antar kubu calon yang berasal dari partai yang sama.
c. KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon.
d. Tidak ada ruang untuk mengajukan keberatan dari pasangan calon/Parpol
terhadap penetapan pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU.
e. Terhambatnya proses penetapan pasangan calon.
f. Dalam hal terjadi konflik internal Parpol, KPU berpihak kepada salah satu
pasangan calon/pengurus parpol tertentu sehingga parpol yang sebenarnya
memenuhi syarat namun gagal mengajukan pasangan calon. Akibat lebih
lanjut, partai politik maupun konstituen kehilangan kesempatan untuk
mendapatkan kepala daerah yang merupakan preferensi mereka.

3. Pemasalahan pada Masa kampanye :


a. Pelanggaran ketentuan masa cuti.
b. Manuver politik incumbent untuk menjegal lawan politik.
c. Care taker yang memanfaatkan posisi untuk memenangkan PILKADA.
d. Money politics.
e. Pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi.
f. Kampanye negative.
g. Pelanggaran etika dalam kampanye.
h. Curi start kampanye, kampanye terselubung, dan kampanye di luar waktu
yang telah ditetapkan.

4. Manipulasi dalam penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan:


a. Belum terwujudnya transparansi mengenai hasil penghitungan suara dan
rekapitulasi penghitungan suara.
b. Manipulasi penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara dilakukan
oleh PPK, KPU Kab/kota, dan KPU Provinsi.
c. Belum lengkapnya instrument untuk mengontrol akuntabilitas PPK, KPU
Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi.
d. Keterbatasan saksi-saksi yang dimiliki oleh para pasangan calon.

5. Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral:


a. Keberpihakan anggota KPUD dan jajarannya kepada salah satu pasangan
calon.
b. Kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan pasangan calon.Tidak
adanya ruang bagi para bakal calon untuk menguji kebenaran hasil penelitian
administrasi persyaratan calon.
c. Pengambilalihan penyelenggaraan sebagian tahapan Pilkada oleh KPU di
atasnya.
d. Keberpihakan anggota Panwaslu kepada salah satu pasangan calon
e. Anggota Panwasal menjadi pembela/promotor bagi pasangan calon yang
kalah. 

6. Putusan MA dan MK yang menimbulkan kotroversi.


7. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU No. 32 Tahun
2004 dan UU No. 12 Tahun 2008.
8. Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu
pemilih.
9. Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada.
10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
11. Sistem pemilihan gubernur.
12. Sistem pemilihan wakil kepala daerah.

II.4 Solusi Permasalahan dan Isu-Isu Pemilihan Kepala Daerah.

1. Daftar Pemilih tidak akurat.

Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering


dijadikan oleh para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan.
Berdasarkan Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara lain
mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih,
daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap.
Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan
RT/RW sebagai petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang
tidak akurat akan dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling
mengetahui penduduknya.

2. Proses pencalonan yang bermasalah.

Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2


(dua) hal yaitu konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan
keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan
mengikutiPilkada.
Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan
yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti
keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang
walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki
kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali
terjadi pada saat penetapan pasangan calon yang dirugikan.
Pasal 59 ayat (5) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menyatakan, bahwa partai politik atau gabungan partai politik pada saat
mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan surat pencalonan yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang
bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di internal partai
politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik setempat berbeda
dengan calon yang direkomendasikan oleh DPP partai politik. Dalam
permasalahan ini karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan
rekomendasi DPP partai politik, kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai
politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik
sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai
politik tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan
pasangan calon. Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menyatakan bahwa penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD
bersifat final dan mengikat.Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang
disalahgunakan untuk menggugurkan pasangan calon tertentu tanpa dapat
melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang
dirugikan untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral
melaluipengadilan.
Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu
diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses
pencalonan dirugikan KPUD.

3. Pemasalahan pada Masa kampanye.

Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75


sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi
pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye,
jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-larangan selama
pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung mencari celah
pelanggaran yang menguntungkan dirinya.
Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14
(empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara",
dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi start
kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan.
Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat
pengenalan pemilih terhadap calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan
informasi yang lengkap tentang semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke
depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas
kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi
program.

4. Manipulasi penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.


Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara
dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU
Provinsi.
Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan
suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam
wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para
pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan
biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak
netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.

5. Penyelenggara Pemilu yang tidak adil dan netral.


a. KPU dan KPU Provinsi.
Keberpihakan KPU atau KPU Provinsi kepada salah satu pasangan calon
dilakukan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten dengan
memberhentikan atau membekukan para anggota KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten. Padahal pengambil-alihan baru dapat dilakukan jika KPU
dibawahnya tidak dapat melaksanakan tahapan Pilkada.
b. KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Keberpihakan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada salah satu
pasangan calon dilakukan pada tahapan proses pencalonan, penghitungan
dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
c. Panwaslu.
Keberpihakan Panwaslu kepada salah satu pasangan calon dilakukan
khususnya pada tahapan setelah hasil penghitungan suara, dengan menjadi
promoter bagi pasangan yang kalah.

Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di


tingkat grass root dan bahkan kadang sampai menimbulkan kerusuhan.Hal terjadi
karena kurangnya pemahaman para anggota KPU, KPUD, dan Panwaslu dalam
melaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta sistem seleksi para
anggota KPU, KPUD, Panwaslu belum mengetengahkan adanya kebutuhan
anggota KPU, KPUD, Panwaslu yang obyektif, netral, mempunyai integritas
tinggi, tidak mudah mengeluarkan statement, dan memiliki pemahaman yang baik
terhadap ketentuan peraturan perundang-undang Pemilu.

6. Putusan MA atau MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.

Sengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004 yang pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan
suara dapat diajukan oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda
bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan
pengadilan tinggi/Mahkamah Agung bersifat final.Setelah dikeluarkan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa pilkada
beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.

Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun Undang-


Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa
Pilkada hanya terbatas pada sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang
Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana apabila terjadi sengketa di luar hasil
penghitungan suara, selain itu beberapa putusan baik Mahkamah Agung maupun
Mahkamah Konstitusi menimbulkan kontroversi di masyarakat, akibatnya
penyelesaian Pilkada berlarut-larut.

Selama ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi
dalam Pilkada, seperti permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik
terjadinya permasalahan di internal partai politik maupun pemenuhan persyaratan
Pilkada. Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya
sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak
aturan tersebut.

7. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).

Penggabungan pelaksanaan Pilkada diperlukan selain untuk menghemat


biaya Pilkada juga untuk kejenuhan masyarakat pada Pemilu. Ada beberapa opsi
penggabungan Pilkada:

1. Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan hanya 1X:


a. Jumlah caretaker kepala daerah yang akan ada 278 kepala daerah, sehingga
jalannya pemerintah daerah menjadi kurang optimal.
b. Aparat keamanan harus menggelar pasukan secara serentak di seluruh
Indonesia.
c. Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d. Dari segi biaya akan dapat dihemat.
2. Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan 2 X, yaitu dimulai tahun
2013 dan tahun 2015.
a. Jumlah caretaker kepala daerah yang akan ada 57 kepala daerah, sehingga
jalannya pemerintah daerah menjadi sedikit kurang optimal.
b. Aparat keamanan harus menggelar pasukan secara serentak di seluruh
Indonesia.
c. Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d. Dari segi biaya akan dapat dihemat.
3. Pilkada dilaksanakan secara bersamaan di masing-masing wilayah provinsi 1X
sesuai jadwalnya:
a. Jumlah caretaker kepala daerah yang akan ada 225 kepala daerah, sehingga
jalannya pemerintah daerah menjadi kurang optimal.
b. Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda.
c. Isu Pilkada merupakan isu lokal.
d. Dari segi biaya akan dapat dihemat.
4. Kepala daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara
bersamaan:
a. Jumlah caretaker kepala daerah kecil dan dalam waktu singkat, sehingga
pemerintah daerah masih berjalan normal.
b. Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda atau Polres.
c. Isu Pilkada merupakan isu lokal.
d. Dari segi biaya akan dapat dihemat.

8. Sistem pemilihan gubernur.

Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan


tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi
sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatan sepenuhnya
dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung
oleh rakyat.

Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah


sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang
besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu
dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:

a. Tinjauan yuridis.
1. Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2. Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3. Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "setiap warga
negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",

Bahwa tidak ada perintah pemilihan gubernur dipilih secara langsung, sehingga
pemilihan gubernur dilakukan melalui system perwakilan tidak bertentangan dengan
konstitusi.
b. Tinjauan filosofis.
1. Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem
perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah
dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk
dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2. Dari sisi ruang partisipasi rakyat untuk dipilih, baik sistem pemilihan secara
langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan
bagi kedua sstem tersebut sama.
3. Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah
(provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi
operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas
kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4. Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat
dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD,
Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan
memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin
terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga
harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan
oleh DPRD.
5. Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin
dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota,
maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai
wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih
langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6. Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur
dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim,
tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi
penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi
dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c. Tinjauan Politis.
1. Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia
menganut bentuk Negara Kesatuan.Sistem ini bertujuan untuk menghindari
daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah
otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang
kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat
dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan
dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya
gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan
dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan
memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2. Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan
bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota
sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang
besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat
daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai
kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan
gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka
sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d. Tinjauan Sosiologis.
1. Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan
kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum
mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara
langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam
menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui
pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon
bersaing secara sehat.
2. Menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa
kemajuan daerah.
Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi,
dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk
menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa
kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat
setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas
pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.

d. Tinjauan efektifitas dan efisiensi

Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan


pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan
melalui Pilkada secara langsung.
Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem
pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan
dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.

9. Sistem pemilihan wakil kepala daerah.


UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis".Tidak ada amanat dalam UUD
Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara
berpasangan dengan kepala daerah.Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara
langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian
dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan.Akan tetapi
dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai
sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat
membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan
yang saling melemahkan.Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala
daerah yang juga syarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara
kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan
terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan.
Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu
dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak
mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan
wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
Dari kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa system demokrasi pada
umumnya dan system pilkada pada khususnya harus jujur diakui masih
mengalami kendala sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait pemahaman tentang
“legal system” sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann, bahwa sub-
sistem hukum terdiri atas substansi hukum (legal substance) berupa berbagai
produk legislative yang mendasari system hukum tersebut; kemudian struktur
hukum (legal structure) berupa kelembagaan yang menangani system tersebut dan
budaya hukum (legal culture) berupa kesamaan pandangan, sikap, perilaku dan
filosofi yang mendasari sistem hukum tersebut.
Dalam ketiga sub-sistem tersebut demokrasi dan termasuk pilkada masih
memerlukan konsolidasi. Warna transksional dan pragmatism masih menonjol ,
belum lagi munculnya multi tafsir dan sikap mendua (ambiquitas) dalam berbagai
hal. Apalagi apabila budaya hukum semacam ini menghinggapi para pemangku
kepentingan, termasuk tokoh-tokoh partai politik yang sering disebut sebagai
“legal culture of the insider”.
BAB III
PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Pelaksanaan Pilkada/Pemilukada yang telah berlangsung sejak Juni 2005


s/d saat ini secara umum telah berlangsung secara aman, tertib, dan demokratis
dengan tingkat partisipasi yang cukup tinggi. Meskipun demikian dalam
penyelenggaraan Pilkada ke depan masih perlu dilakukan berbagai
penyempurnaan untuk memperbaiki beberapa kekurangan yang terjadi dalam
penyelenggaraan Pilkada, yaitu :
1. Peningkatan akurasi daftar pemilih.
Dari segi regulasi, pengaturan data pemilih yang ada dalam Pasal 70 ayat
(1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 sebetulnya sudah cukup memadai. Kunci
penyelesaian dari daftar pemilih yang kurang akurat adalah pelibatan RT/RW
secara resmi dan intensif baik dalam up dating data penduduk maupun perbaikan
data pemilih.
2. Peningkatan akuntabilitas proses pencalonan.
Dari segi regulasi, pengaturan tahapan pencalonan yang ada dalam Pasal
59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum cukup
memadai. Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan pasangan calon perlu diberi
ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan
dirugikan KPUD.
3. Masa kampanye yang lebih memadai.
Dari segi regulasi, pengaturan mengenai kampanye yang diatur dalam
pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum
member! waktu yang cukup, yaitu hanya 14 (empat belas) hari, sehingga tidak
cukup bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi lengkap para calon. Untuk
itu perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas
kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi
program.
4. Peningkatan akuntabilitas penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Dari segi regulasi, pengaturan mengenai penghitungan dan rekapitulasi
hasil penghitungan suara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 96 s/d Pasal 101
UU No. 32 Tahun 2004 masih mengandung celah terjadi manipulasi pada
pembuatan berita acara dan sertifikat penghitungan suara yang tidak sama dengan
hasil penghitungan suara yang disaksikan oleh masyaakat, karena tidak semua
peserta Pilkada menempatkan saksi di setiap TPS dan keterbatasan jangkauan
Panwaslu mengawasi penghitungan suara di setiap TPS. Selain itu pengumuman
hasil penghitungan suara yang dipasang di setiap TPS hanya selama TPS ada
(tidak lebih dari sehari), sehingga para saksi peserta Pilkada kesulitan untuk
mengakses hasil penghitungan suara di setiap TPS.Untuk itu perlu pengaturan
yang memungkinkan adanya kontrol dari masyarakat/para saksi calon untuk
mengakses hasil penghitungan suara di TPS maupun hasil rekapitulasi hasil
penghitungan suara di setiap tingkatan.
5. Peningkatan penyelenggara Pemilu yang adil dan netral
Keberpihakan penyelenggara pemilu kepada salah satu pasangan calon
terjadi karena kriteria dalam sistem seleksi para anggota penyelenggara pemilu
baru belum menjangkau sikap mental yang diperlukan bagi penyelenggara pemilu
yang antara lain harus netral, obyektif, mempunyai integritas tinggi,
kesukarelaan/keterpanggilan dalam tugas, dan tidak tidak mudah mengeluarkan
statement. Untuk itu dalam revisi UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilu perlu penambahan kriteria sikap mental dimaksud dalam system seleksi
anggota penyelenggara pemilu.
6. Minimalisasi Putusan MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Meskipun UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 telah
membatasi kewenangan pengadilan/mahkamah dalam sengketa Pilkada hanya
sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak
aturan tersebut dan menimbulkan kontroversi. Untuk itu dalam revisi Undang-
Undang yang terkait dengan Pilkada masalah ini masalah kontroversi putusan
Mahkamah Konstitusi perlu dicarikan jalan keluarnya.
7. Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12
Tahun 2008 terkait dengan pelaksanaan Pilkada.
 Putusan MK Nomor 072-073/PUU-ii/2004 telah menganulir Pasal-pasal
yang ada dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 sebagai berikut:
1) Pasal 57 ayat (1) sepanjang anaka kalimat "...yang bertanggung jawab kepada
DPRD",
2) Pasal 66 ayat (3) huruf e"...meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas
KPUD",
3) Pasal 67 ayat (1) huruf e sepanjang anak kalimat"... kepada DPRD",
4) Pasal 82 ayat (2) Sepanjang anak kalimat "... oleh DPRD". b. Putusan MK
Nomor No 22/PUU-VII/2009 membatalkan Pasal 58 huruf o Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004.

Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam revisi Undang-Undang yang


terkait dengan Pilkada masalah ini masalah substansi yang telah dibatalkan
tersebut untuk tidak diatur lagi.
8. Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu
pemilih dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden.
Berkenaan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 dalam pemberian suara sudah
tidak lagi mencoblos tapi menconteng serta penggunaan KTP juga sebagai kartu
pemilu, maka untuk tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat perlu
dilakukan penyerasian. Untuk itu ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait
dengan tata cara pemberian suara dan penggunaan kartu pemilih dalam
pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD,
dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
9. Minimalisasi politisasi birokrasi oleh kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent
dalam Pilkada.
Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas
Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala daerah/wakil kepala daerah
yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
harus aktif.
10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
Optimasi penggabungan Pilkada di Indonesia yang paling optimal berdasar
kriteria kontinuitas jalannya pemerintahan daerah, kesiapan aparat keamanan,
dampak isu yang akan muncul terhadap dan efisiensi biaya didapat alternatif yang
memiliki skor terbaik, yaitu : "Kepala daerah yang berakhir dalam tahun yang
sama dilaksanakan Pilkada secara bersamaan".
11. Peninjauan sistem pemilihan Gubernur.
Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah
sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang
besar, maka berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis
sistem pemilihan gubernur secara langsung sudah dapat dipertahankan lagi dan
akan lebih efektif jika pemilihannya dilakukan melalui sistem perwakilan.
12. Peninjauan sistem pemilihan wakil kepala daerah.

Pemilihan wakil kepala daerah dilakukan secara langsung berpasangan


dengan kepala daerah, pada banyak daerah telah menimbulkan hubungan yang
tidak sinergi dalam menjalankan tugas dan fungsi.Hal terjadi karena latar
belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik
menjadikan kedua belah saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik
yang saling menjatuhkan.Berkenaan dengan tersebut perlu dilakukan perumusan
ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala
daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
III.2. Saran

1. Untuk itu merupakan kewajiban kita bersama untuk melakukan


pengawasan, khususnya lebih mengefektifkan fungsi-fungsi pengawasan yang di
lakukan oleh Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), mulai dari pusat sampai di
tingkat kecamatan dan kelurahan/desa serta lembaga-lembaga pemantauan
pemilu, sehingga pemilu benar-benar berkualitas baik dari sisi proses maupun
outputnya. Hal ini akan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang benar- benar
aspiratif dan kapabel serta dapat mendapatkan pemimpin nasional yang peka
terhadap realitas kehidupan rakyatnya.

2. Evaluasi pelaksanaan Pilkada ini dilakukan seoptimal mungkin dalam


rangka menyempurnaan pelaksanaan Pilkada yang telah berjalan lebih dari 5
tahun. Hasil evaluasi Pilkada ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam
rangka penyempurnaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
DAFTAR PUSTAKA

Dirjen Otda Depdagri, 2009, Evaluasi Pemilu Kepala Daerah Periode 2005-2008.

Sentosa Sembiring, 2009, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik

Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda), Bandung, Nuansa Aulia

Nugroho Dewanto, 2006, Pancasila dan UUD 1945, Bandung, Nuansa Aulia.

Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Jogjakarta, Gradien Mediatama.

Ari Pradhanawati, 2005, Pilkada Langsung, Tradisi Baru Demokrasi Lokal,


Surakarta, KOMPIP.

OC.Kaligis, 2009, Perkara-Perkara Politik dan Pilkada di Pengadilan, Bandung,


PT. Alumni.

Jurnal Intelijen & Kontra Intelijen, 2008, vol.1 No.25, Center For The Study Of
Intelligence And Counterintelligence.

Anda mungkin juga menyukai