Anda di halaman 1dari 57

ANALISIS SPASIAL UNTUK SEBARAN SUARA DAN

PEROLEHAN KURSI PARTAI POLITIK PADA PEMILU


LEGISLATIF 2009
DI WILAYAH DKI JAKARTA DAN JAWA BARAT

DIRGA ARDIANSA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Spasial untuk Sebaran
Suara dan Perolehan Kursi Partai Politik pada Pemilu Legislatif 2009 di Wilayah
DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

Dirga Ardiansa
G152080204
ABSTRACT

DIRGA ARDIANSA. Spatial Analysis for Votes Distribution and Number of


Seats Gathered by Political Parties on 2009 General Elections in DKI Jakarta and
West Java. Under direction of ANIK DJURAIDAH and UTAMI DYAH
SYAFITRI

In terms of election, voters behavior within a certain area varies widely


and produces various responses of party preferences. This thing indicates that
there is an influence of spatial on voters’ preferences besides other variables and
factors innate in every individual. What is interesting is that in legislative contest,
changes in districts as a spatial factor that can result in different vote
accumulations that can impact different seat gain. Therefore there is a
deterministic technical aspect to be emphasized which are the technical
mechanism and regulations of district creation. This research used Local Indicator
Spatial Association (LISA), statistical method based on Local Moran Index, to
prove the influence of those two factors on the result of party votes and seats in
the Election of 2009.

Keywords: Elections, Spatial, Local Moran, Association, LISA


RINGKASAN

DIRGA ARDIANSA. Analisis Spasial Untuk Sebaran Suara dan Perolehan Kursi
Partai Politik pada Pemilu Legislatif 2009 di Wilayah DKI Jakarta dan Jawa
Barat.
Dibimbing oleh ANIK DJURAIDAH dan UTAMI DYAH SYAFITRI

Pemilu merupakan mekanisme sistematis dan berkesinambungan dalam


sistem politik Indonesia sebagai satu-satunya proses yang sah bagi partai politik
dalam meraih kekuasaan. Pemilu legislatif tahun 2009 adalah sebuah proses
memilih wakil rakyat yang akan duduk di 560 kursi parlemen RI untuk mewakili
seluruh rakyat Indonesia. Proses perebutan 560 kursi wakil rakyat tersebut
bukanlah proses yang sederhana karena dibutuhkan aturan dan mekanisme yang
cukup kompleks dalam regulasi pemilu. Selayaknya sebuah kompetisi tentunya
setiap kontestan memiliki strategi masing-masing untuk meraih suara dan kursi
yang maksimal, hal ini mendorong partai untuk berhitung berdasarkan aspek
spasial dalam memetakan kekuatan dukungan masyarakat yang terdistribusi
disetiap kabupaten.
Dalam pelaksanan pemilu, perilaku masyarakat di berbagai wilayah sangat
beragam dan menghasilkan respon pilihan partai politik dominan yang berbeda-
beda. Hal tersebut mengindikasikan ada pengaruh spasial dalam pilihan politik
masyarakat disamping variabel atau faktor lain yang melekat pada individu.
Tingkat perolehan suara yang diperoleh partai politik di suatu kabupaten
berpengaruh pada kabupaten lain. Selain itu, hal lain yang menarik adalah,
perubahan daerah pemilihan (penggabungan wilayah kabupaten) sebagai faktor
spasial menyebabkan akumulasi suara yang berbeda sehingga berdampak pada
perolehan kursi dan hasil pemilu yang berbeda pula.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi asosiasi spasial dan
sebaran suara partai pemenang pada pemilu legislatif 2009 di wilayah DKI Jakarta
dan Jawa Barat; (2) Mengidentifikasi pengelompokan wilayah (clustering) bagi
partai berdasarkan nilai perolehan suara; (3) Mensimulasikan pengaruh perubahan
spasial (dapil) terhadap perolehan suara dan kursi partai; (4) Menyimpulkan
dampak asosiasi spasial proses penggabungan wilayah terhadap hasil pemilu
2009.
Metode analisis dilakukan mengikuti beberapa tahapan. Langkah pertama,
membuat dan menghitung matriks contiguity dan menetapkan pembobotan
berdasarkan langkah ratu untuk semua lokasi, dalam hal ini setiap kabupaten/kota
di DKI dan JABAR. Langkah kedua, melakukan standarisasi nilai pengamatan (z-
score) sebagai dasar dalam menghitung nilai indeks local moran. Langkah ketiga,
mengidentifikasi asosiasi spasial dengan metode LISA berdasarkan nilai peubah
(suara partai Demokrat, Golkar, PDIP, dan PKS) berdasarkan wilayah
administrasinya dan juga menghitung asosiasi spasial dengan peubah yang sama
jika pembagian wilayah berdasarkan dapil. Langkah keempat, memperbandingkan
hasil analisis LISA berdasarkan wilayah administrasi dengan berdasarkan daerah
pemilihan melalui moran scatterplot dan peta tematik. Langkah kelima,
menghitung secara manual perolehan kursi dalam dua skema wilayah yang
berbeda, kemudian menganalisis dampak perolehan kursi akibat pengaruh
perubahan spasial tersebut.
Hasil analisis menunjukkan berdasarkan wilayah administratifnya, di DKI
Jakarta tidak terdapat asosiasi spasial dari perolehan suara keempat partai politik.
Sementara pada penggabungan wilayah administratif menjadi 3 dapil, terbentuk
asosiasi spasial yang terjadi pada keempat partai politik di seluruh dapil. Pada
propinsi Jawa Barat, pada wilayah administratif asosiasi spasial terjadi pada
sebaran suara partai Demokrat, PDIP, dan PKS. Sedangkan pada daerah
pemilihan, terdapat pola asosiasi spasial pada sebaran suara partai Demokrat dan
PDIP.
Pada wilayah DKI pola penggerombolan terdeteksi dalam wilayah dapil
dan asosiasinya bersifat negatif . Hal tersebut berlaku bagi keempat partai. Hanya
saja konfigurasi dapil yang ada pada ketegori high dan low berbeda pada setiap
partai. Pada wilayah Jawa Barat penggerombolan terjadi pada wilayah yang
berbatasan dengan Jawa Tengah. Untuk partai Demokrat wilayah tersebut ada
pada kategori Low, sementara bagi PDIP ada pada kategori High.
Perubahan spasial dalam bentuk penggabungan wilayah adminstratif
berpengaruh terhadap pola asosiasi yang terbentuk. Karena sifat akumulasi nilai
pengamatan membuat sebaran suara berubah dari tersebar menjadi menggerombol
dan sebaliknya. Dampaknya secara politik terjadi perbedaan hasil pemilu
mengacu pada perolehan kursi partai politik. Saran untuk studi lanjutan,
melakukan studi tentang regresi spasial untuk membentuk pemodelan serta
mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi sebaran suara partai.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS SPASIAL UNTUK SEBARAN SUARA DAN
PEROLEHAN KURSI PARTAI POLITIK PADA PEMILU
LEGISLATIF 2009
DI WILAYAH DKI JAKARTA DAN JAWA BARAT

DIRGA ARDIANSA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Statistika Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. M. Nur Aidi, M.S.
Judul Tesis : Analisis Spasial untuk Sebaran Suara dan Perolehan Kursi Partai
Politik pada Pemilu Legislatif 2009 di Wilayah DKI Jakarta dan
Jawa Barat
Nama : Dirga Ardiansa
NIM : G152080204

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Anik Djuraidah, M.S. Utami Dyah Syafitri, M.Si


Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Statistika Terapan

Dr. Ir. Anik Djuraidah, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :


(30 Agustus 2010)
PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia Nya
sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Terima Kasih penulis ucapkan
kepada Ibu Dr. Ir. Anik Djuraidah, MS dan Ibu Utami Dyah Syafitri, M.Si selaku
pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. M. Nur Aidi, MS yang telah memberikan saran
selaku penguji. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pimpinan
dan seluruh dosen Departemen Statisitika beserta para staf yang telah memberikan
sumbangsih ilmu yang mendukung penyelesaian studi di IPB. Ungkapan terima
kasih tentunya saya haturkan kepada ayah (alm), ibu, istri dan seluruh keluarga.
Semoga karya ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Agustus 2010

Dirga Ardiansa
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 18 November 1981 dari ayah


Drs. M. Suharto (alm) dan ibu Herawati. Penulis merupakan putra kedua dari dua
bersaudara.
Pada tahun 2000 penulis lulus dari SMUN 68 Jakarta dan diterima melalui
UMPTN pada Departemen Ilmu Politik FISIP – Universitas Indonesia. Setelah
lulus menjadi sarjana di awal tahun 2005 penulis menjadi staf pengajar untuk
mata kuliah Perwakilan Politik dan Pemilu di Indonesia serta mata kuliah Metode
Penelitian Sosial. Saat ini selain mengajar penulis juga menjadi peneliti untuk
Pusat Kajian Politik FISIP – Universitas Indonesia.
Di tahun 2008 penulis melanjutkan studi jenjang S2 dan diterima pada
Departemen Statistika IPB untuk Program Studi Statistika Terapan.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL............................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR....................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................... xiv

PENDAHULUAN........................................................................... 1
Latar Belakang....................................................................... 1
Tujuan Penelitian.................................................................... 2

TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 3
Sistem Pemilu........................................................................ 3
Daerah Pemilihan (Dapil)...................................................... 3
Penghitungan Perolehan Kursi.............................................. 4
Asosiasi Spasial..................................................................... 4
Local Indicator of Spatial Association (LISA)............................. 5
Indeks Global Moran dan Indeks Local Moran........................... 6
Matriks Pembobot Spasial............................................................ 6
Pengujian Hipotesis ..................................................................... 8
Morans Scatterplot....................................................................... 8

BAHAN DAN METODE.......................................................................... 10


Bahan............................................................................................ 10
Metode.......................................................................................... 10

HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 11


Gambaran Wilayah Administrasi dan Daerah Pemilihan..... 11
Analisis LISA DKI Jakarta.......................................................... 12
Analisis LISA Jawa Barat............................................................ 18
Dampak Perubahan Spasial Terhadap Hasil Pemilu…………... 26

KESIMPULAN DAN SARAN................................................................ 29


DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….. 31
LAMPIRAN………………………………………………………........ 32
DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pembagian Wilayah, Alokasi Kursi, dan Jumlah Pemilih…………… 11

2 Global Spatial Association (Indeks Moran) DKI…………………... 12

3 Hasil Analisis Local Indicators Spatial Association (LISA) DKI….. 13

4 Global Spatial Association (Indeks Moran) JABAR……………… 18

5 Hasil Analisis Local Indicators Spatial Association (LISA) JABAR… 19

6 Alokasi Kursi DKI…………………………………………………… 26

7 Simulasi Perolehan Suara & Kursi DKI…………………………….. 26

8 Alokasi Kursi Jawa Barat……………………………………………. 27

9 Simulasi Perolehan Suara & Kursi Jawa Barat………………………… 27


DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Penggunaan Matrik Contiguity Dengan Langkah Ratu…………….. 7

2 Kuadran morans scatterplot................................................................ 9

3 Morans scatterplot dan peta tematik Partai Demokrat (DKI)……… 14

4 Morans scatterplot dan Peta tematik Partai Golkar (DKI)………… 15

5 Morans scatterplot dan Peta tematik PDIP (DKI)………………… 16

6 Morans scatterplot dan Peta tematik PKS (DKI)……………………. 17

7 Morans scatterplot dan Peta tematik Partai Demokrat (JABAR)…… 21

8 Morans scatterplot dan Peta tematik Partai Golkar (JABAR)……… 22

9 Morans scatterplot dan Peta tematik PDIP (JABAR)……………… 23

10 Morans scatterplot dan Peta tematik PKS (JABAR)………………. 25


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Hasil Penghitungan Kursi Partai di DKI Jakarta dan Jawa Barat……… 32
2 Local Indicators Spatial Association (LISA) Administrasi DKI............. 33
3 Local Indicators Spatial Association (LISA) Administrasi JABAR....... 34
4 Local Indicators Spatial Association (LISA) Daerah Pemilihan DKI.... 37
5 Local Indicators Spatial Association (LISA) Daerah Pemilihan JABAR 38
6 Hasil Penghitungan Sisa Kursi DKI Jakarta………………………........ 39
7 Hasil Penghitungan Sisa Kursi Jawa Barat…………………………….. 40
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pemilu merupakan mekanisme sistematis dan berkesinambungan dalam
sistem politik Indonesia sebagai satu-satunya proses yang sah bagi partai politik
dalam meraih kekuasaan. Pemilu legislatif tahun 2009 adalah sebuah proses
memilih wakil rakyat yang akan duduk di 560 kursi parlemen RI untuk mewakili
seluruh rakyat Indonesia. Proses perebutan 560 kursi wakil rakyat tersebut
bukanlah proses yang sederhana karena dibutuhkan aturan dan mekanisme yang
cukup kompleks dalam regulasi pemilu. Selayaknya sebuah kompetisi tentunya
setiap kontestan memiliki strategi masing-masing untuk meraih suara dan kursi
yang maksimal. Hal ini mendorong partai untuk berhitung berdasarkan aspek
spasial dalam memetakan kekuatan dukungan masyarakat yang terdistribusi di
setiap kabupaten.
Dalam pelaksanan pemilu, perilaku masyarakat di berbagai wilayah sangat
beragam dan menghasilkan respon pilihan partai politik dominan yang berbeda-
beda. Hal tersebut mengindikasikan ada pengaruh spasial dalam pilihan politik
masyarakat disamping variabel atau faktor lain yang melekat pada individu.
Tingkat perolehan suara yang diperoleh partai politik di suatu kabupaten diduga
berpengaruh pula pada kabupaten lain. Selain itu, hal lain yang menarik adalah,
perubahan daerah pemilihan (penggabungan wilayah kabupaten) sebagai faktor
spasial besar kemungkinan menyebabkan akumulasi suara yang berbeda sehingga
berdampak pada perolehan kursi dan hasil pemilu.
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah faktor- faktor
yang berpengaruh terhadap sebaran suara dan perolehan jumlah kursi partai
politik pada pemilu legislatif 2009 dilihat dari 2 aspek. Aspek pertama, adalah
pengaruh pola spasial berupa hubungan yang bersifat asosiatif antar kabupaten.
Aspek ini dilihat dari data wilayah yang meliputi garis batas administrasi dalam
analisis kebertetanggaan. Aspek kedua, adalah pengaruh mekanisme dan aturan
teknis pemilu. Hal ini meliputi mekanisme pembagian daerah pemilihan dan
ketentuan alokasi kursi yang dilakukan. Sehingga penelitian ini akan berusaha
2

membuktikan adanya pengaruh dua aspek di atas dalam hasil perolehan suara dan
kursi partai politik pada pemilu legislatif 2009.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi asosiasi spasial dan
sebaran suara partai pemenang pada pemilu legislatif 2009 di wilayah DKI Jakarta
dan Jawa Barat; (2) Mengidentifikasi pengelompokan wilayah (clustering) bagi
partai berdasarkan nilai perolehan suara; (3) Mensimulasikan pengaruh perubahan
spasial (dapil) terhadap perolehan suara dan kursi partai.
3

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Pemilu
Pelaksanaan pemilu di Indonesia mengadopsi sistem proporsional, yang
artinya sebuah negara akan dibagi menjadi beberapa daerah pemilihan (distrik),
dari setiap daerah pemilihan dipilih beberapa orang wakil yang akan
merepresentasikan rakyat sebagai anggota legislatif. Jumlah wakil di setiap daerah
pemilihan bergantung dari proporsi jumlah penduduknya. Secara ontologis tujuan
dari penerapan sistem proporsional menekankan pada aspek keterwakilan
berbagai lapisan kelompok, karena dari setiap daerah pemilihan tidak hanya
diwakili oleh satu orang terpilih saja (Reynolds, 2001). Oleh karena itu sistem
proporsional identik dengan karakter negara yang masyarakatnya heterogen.
Pemilu 2009 lalu merupakan pemilu dengan sistem proporsional. Proses
terdiri dari beberapa tahap yang diawali dengan menentukan angka kuota kursi,
angka tersebut berfungsi untuk menentukan alokasi dan distribusi kursi untuk tiap
propinsi. Angka ini diperolah dari total populasi penduduk Indonesia dibagi
dengan 560 (kursi DPR-RI). Secara lengkap proses alokasi kursi dijelaskan dalam
langkah-langkah berikut. Langkah pertama, adalah mendistribusikan 560 kursi
untuk tiap propinsi. Proporsi total jumlah penduduk suatu propinsi dibagi dengan
angka kuota kursi. Langkah kedua, adalah menentukan alokasi kursi untuk tiap
kabupaten/kotamadya dengan cara memproporsikan total penduduk
kabupaten/kotamadya dengan angka kuota kursi. Langkah ketiga adalah
membentuk daerah pemilihan (dapil), yang merupakan gabungan dari beberapa
kabupaten/kotamadya dalam suatu propinsi.

Daerah Pemilihan
Daerah Pemilihan (dapil) merupakan wilayah pertarungan partai
politik/calon legislatif dalam memperoleh suara yang bertujuan memenangkan
jatah kursi yang tersedia dalam daerah pemilihan tersebut. Dalam konteks pemilu
2009 di Indonesia, daerah pemilihan merupakan kabupaten/kota atau gabungan
beberapa kabupaten/kota. Berdasarkan UU, tiap daerah pemilihan (dapil) terdiri
antara 3-10 kursi. Jika suatu kabupaten/kotamadya memperoleh alokasi kursi
4

kurang dari 3 maka selanjutnya kabupaten/kotamadya tersebut harus bergabung


dengan kabupaten/kotamadya lain agar memperoleh minimal 3 kursi dan
maksimal 10 kursi. Sehingga kombinasi dari pembentukan dapil, berdasarkan
penggabungan kabupaten/kotamadya, memiliki banyak sekali kemungkinan.

Penghitungan Perolehan Kursi


Setelah proses pemilihan selesai dilakukan dan hasil perolehan suara di
setiap kabupaten direkapitulasi secara manual oleh KPU, langkah selanjutnya
adalah menentukan perolehan kursi untuk setiap partai berdasarkan setiap daerah
pemilihan. Metode penghitungan kursi di setiap dapil sebagai berikut.

Dengan merupakan Perolehan Suara Partai suatu dapil, dan adalah


Bilangan Pembagi Pemilih yang diperoleh melalui

adalah Jumlah Pemilih sah di setiap daerah pemilihan, sementara


merupakan Alokasi Kursi yang tersedia di dapil tersebut. Dengan kata lain
setara dengan harga satu kursi. Angka BPP di setiap daerah pemilihan (dapil)
besarannya berbeda. Seringkali dalam penghitungan kursi, tidak habis dibagi
dan masih menyisakan sisa suara. Kemudian sisa suara setiap partai ini akan
diurutkan dari yang terbesar hingga yang terkecil untuk dipertarungkan meraih
kursi yang tersisa.

Asosiasi Spasial
Asosiasi spasial di beberapa literatur tidak dibedakan dengan sebutan
autokorelasi spasial, karena pada dasarnya secara definisi memang mengacu pada
pemaknaan yang sama yaitu terdapatnya suatu kemiripan objek di dalam suatu
ruang yang saling berhubungan. Hanya saja penggunaan asosiasi lebih
menekankan pada data yang bersifat kategorik sedangkan korelasi mengacu pada
hubungan data numerik. Pada kasus spasial, penggunaan istilah asosiasi mengacu
pada data berbasis area (polygon) dan memiliki hubungan yang bersifat
kebertetanggaan. Sedangkan istilah korelasi dalam konteks spasial, digunakan jika
5

data berbasis titik (point patern) dan memiliki hubungan yang mengacu pada
jarak. Tetapi dalam penelitian ini tidak akan dibedakan antara penggunaan istilah
asosiasi ataupun korelasi spasial, hal ini karena beragam literatur yang peneliti
gunakan. Lebih jauh Silk (1979) dalam bukunya menjelaskan tentang autokorelasi
berbasis pada data area ada yang bersifat positif dan negatif. Dikatakan positif,
jika dalam suatu daerah yang saling berdekatan mempunyai nilai yang mirip dan
bersifat menggerombol. Sedangkan dikatakan negatif, jika dalam suatu daerah
yang berdekatan nilainya berbeda dan tidak mirip.

Local Indicator of Spatial Association (LISA)


LISA merupakan metode yang dikembangkan oleh Anselin (1995),
metode ini merupakan suatu eksplorasi data (area) untuk menguji kestationeran,
dan mendeteksi hotspot/coldspot, serta mampu menyajikannya dalam bentuk
visual. Hotspot merupakan suatu wilayah yang memiliki nilai pengamatan dengan
pengukuran tertinggi, sedangkan coldspot sebaliknya, jika dibandingkan dengan
area sekitarnya pada suatu gugus data berbasis area. Metode LISA telah
dikembangkan oleh Luc Anselin dalam suatu software yang dinamakan SpaceStat.
Tujuan analisis ini akan menghasilkan pengelompokan wilayah (clustering)
berdasarkan identifikasi terhadap wilayah hotspot dan menemukan pola hubungan
spasial yang berbasis lokal area. Maksud dari basis lokal area adalah menguji
setiap area dan pengaruhnya terhadap aspek globalnya melalui Indeks Local
Moran. Nilai ini merupakan penguraian dari nilai global spasial (Indeks Global
Moran). Secara komputasi LISA diperoleh melalui

Dengan merupakan fungsi dari dan , dan adalah nilai observasi dari

wilayah ke- , sedangkan adalah nilai observasi dari wilayah lain ke- dari
area . Ada beberapa asumsi dan metode yang dikombinasikan dalam LISA yaitu
penggunaan matriks contiguity sebagai pembobot spasial, penghitungan Indeks
Global dan Local Moran, Moran’s Scatterplot, serta penggunaan simulasi Monte
Carlo.
6

Kalkulasi nilai p untuk statistik LISA dilakukan dengan simulasi Monte


Carlo, kalkulasi tersebut untuk melihat nilai observasi lebih tinggi atau lebih
rendah dari nilai standar peluangnya.

Patas = Pbawah =

merupakan jumlah simulasi untuk hasil statistik lebih besar dari hasil
observasi, merupakan jumlah simulasi untuk hasil statistik lebih kecil dari
hasil observasi, sementara merupakan total dari simulasi Monte Carlo
yang dilakukan. Sementara pengujian hipotesis dirumuskan sebagai berikut.
H0 : Tidak ada asosiasi antara nilai observasi pada lokasi dengan nilai observasi
pada area sekitar lokasi.
H1: Terdapat asosiasi dengan lokasi terdekat memiliki nilai yang mirip atau
berbeda (jauh), baik bernilai positif atau negatif.

Indeks Global Moran


Merupakan suatu statistik yang sering digunakan dalam mendeteksi
autokorelasi spasial. Statistik Moran’s I adalah ukuran korelasi antara pengamatan
pada suatu wilayah/daerah dengan wilayah lain yang berdekatan (Anselin, 1995).
Moran’s I dapat diperoleh melalui persamaan berikut

I=

dengan adalah banyaknya pengamatan, sementara adalah nilai rata-rata dari


dari lokasi. Sedangkan merupakan nilai pada lokasi ke-i ; dan adalah
nilai pada lokasi ke-j. Kemudian adalah elemen matrik pembobot spasial
(dijabarkan lebih lanjut pada pembahasan matrik pembobot spasial).
Nilai dari statistik I merupakan koefisien korelasi yang berada pada batas
antara -1 dan 1. Nilai mendekati 1 atau -1 berarti memiliki korelasi yang tinggi.
Sedangkan mendekati nilai 0 mengartikan korelasi tidak ada.

Indeks Local Moran


Statistik Local Moran berguna untuk pendeteksian hotspot/coldspot pada
data area diskret, selain itu jika ada pengelompokkan dari beberapa
7

hotspot/coldspot akan teridentifikasi sebagai gerombol lokal (local cluster). Local


Moran dengan pembobot matrix contiguity didefinisikan sebagai berikut.

dengan, dan

adalah nilai hasil standarisasi dari peubah yang diamati pada lokasi ke- ,
Sedangkan adalah nilai hasil standarisasi dari peubah yang diamati pada lokasi
ke- dan lokasi lain ke – . Sementara merupakan nilai pengamatan pada lokasi
ke- , adalah nilai pengamatan pada lokasi lain ke – , adalah nilai rataan dari
variabel pengamatan, dan adalah ukuran pembobot antara wilayah ke- dan
wilayah ke- , serta merupakan nilai kolom ke- dan ke- .

Pengujian Hipotesis pada Indeks Global dan Local Moran


Pengujian hipotesis Indeks Global Moran dan Local Moran dilakukan
untuk menguji adanya autokorelasi spasial baik positif ataupun negatif dan
merupakan suatu pengujian satu arah. Bentuk hipotesis awal (H0) adalah
H0 : I = 0 ; Tidak terdapat autokorelasi spasial. Sementara bentuk hipotesis
alternatifnya (H1) ada dua jenis (positif atau negatif).
a. H1 : I > 0 ; Terdapat autokorelasi spasial positif. Artinya area yang
berdekatan mirip dan cenderung bergerombol dalam suatu area.
b. H1 : I < 0 ; Terdapat autokorelasi spasial negatif. Artinya area yang
berdekatan tidak mirip dan membentuk pola visual seperti papan catur.
Statistik uji pada indeks Global dan Local Moran diturunkan dari sebaran normal
baku, yaitu

≈ ;
adalah Indeks Moran, dengan adalah nilai statistik uji dari Indeks Moran.
Sementara merupakan nilai harapan dari Indeks Moran. adalah
simpangan baku dari Indeks Moran dan mengacu pada banyaknya area.
8

Matrik Pembobot Spasial


Penghitungan nilai w menggunakan matrik contiguity berdasarkan
hubungan kebertetanggaan yang bergerak berdasarkan langkah ratu (Silk, 1979),
seperti pada permainan catur (Gambar 1a). Matrik contiguity akan memberikan
nilai 1 pada daerah yang berbatasan langsung dengan lokasi pengamatan.
Sementara sisanya diberikan nilai 0 atau dikosongkan (Gambar 1b). Selanjutnya
setiap pengamatan yang bernilai 1 (berbatasan langsung), diberikan bobot pada
setiap daerah (sehingga total nilai menjadi 1). Sebagai contoh daerah 6 memiliki 8
area tetangga yang berbatasan langsung maka setiap area bernilai 1/8 (Gambar
1c).

a. Langkah Ratu b. Matriks Contiguity

c. Matrik Pembobot Contiguity


Gambar 1. Penggunaan Matrik Contiguity Dengan Langkah Ratu
9

Morans Scatterplot
Morans Scatterplot menyediakan suatu analisis eksplorasi secara visual
untuk mendeteksi autokorelasi spasial (Anselin, 1995). Hasil yang ditampilkan
adalah data yang telah distandarisasikan dalam z-score, dan bukan menggunakan
data aslinya. Perolehan z-score ini merupakan beda nilai antara pengamatan
dengan nilai (rataan) harapan dari peubah. Standarisasi mengacu pada simpangan
baku z-score berdistribusi normal dan memiliki persamaan sebagai berikut.

z =

dengan merupakan nilai dari peubah yang diamati di lokasi . Sementara


merupakan nilai rataan dari peubah pada semua lokasi dan adalah simpangan
baku dari peubah . Morans Scatterplot disajikan berbasis pada data z-score suatu
lokasi pada sumbu (x), dan nilai z-score rata-rata tetangganya pada sumbu (y).
Secara visual Morans Scatterplot terbagi atas 4 kuadran.
y
IV(LH) I (HH)

x
III (LL) II (HL)

a. Kuadran Morans Scatterplot

LH HH

LL LH

b. Visualisasi Peta

Gambar 2. Kuadran Morans Scatterplot dan Visualisasi Peta


10

Kuadran pertama, terletak di kanan atas yang disebut juga kuadran high-
high. Artinya memiliki autokorelasi positif, karena nilai pengamatan lokasi
tersebut tinggi dan dikelilingi oleh area sekitar yang juga tinggi. Pola visual yang
terbentuk adalah pola gerombol (cluster) antara area bernilai pengamatan tinggi
dan dilambangkan dengan warna merah tua. Kuadran kedua, terletak di kanan
bawah yang disebut kuadran high-low. Artinya memiliki autokorelasi negatif,
karena nilai pengamatan lokasi tersebut tinggi dan dikelilingi oleh area sekitar
yang memiliki nilai rendah. Pola visual yang terbentuk adalah pola outliers
dengan nilai pengamatan tinggi (hotspot) dilambangkan dengan warna merah
muda. Kuadran ketiga, terletak di kiri bawah yang disebut kuadran low-low.
Artinya memiliki autokorelasi positif, karena nilai pengamatan lokasi tersebut
rendah dan dikelilingi oleh area sekitar yang juga rendah. Pola visual yang
terbentuk adalah pola gerombol (cluster) antara area pengamatan yang rendah.
Dilambangkan dengan warna biru tua. Kuadran keempat, terletak di kiri atas yang
disebut kuadran low-high. Artinya memiliki autokorelasi negatif, karena nilai
pengamatan lokasi tersebut rendah dan dikelilingi oleh area yang tinggi.
Pengamatan nilai rendah (coldspot) yang dilambangkan dengan warna biru muda.
11

BAHAN DAN METODE

Bahan
Bahan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data yang digunakan
adalah data dari KPU dan Bakosurtanal. Terdapat dua jenis data yang didapat dari
KPU. Data pertama, merupakan data jumlah penduduk dan data jumlah pemilih
dari KPU. Data kedua, merupakan data hasil akhir rekapitulasi perolehan suara
pada pemilu legislatif 2009 di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sementara
data dari Bakosurtanal berupa peta digital batas wilayah administrasi DKI Jakarta
dan Jawa Barat.

Metode
Analisis bertujuan untuk membandingkan antara 2 pendekatan wilayah,
berdasarkan administratif dan daerah pemilihan. Metode analisis dilakukan
mengikuti beberapa tahapan.
1. Membuat dan menghitung matriks contiguity dan menetapkan pembobotan
berdasarkan langkah ratu untuk semua lokasi, dalam hal ini setiap
kabupaten/kota di DKI dan JABAR.
2. Melakukan standarisasi nilai pengamatan (z-score) sebagai dasar dalam
menghitung nilai indeks global dan local moran. Standarisasi dilakukan
terhadap peubah penjelas (x) yaitu perolehan suara 4 partai politik yaitu
Demokrat, Golkar, PDIP, dan PKS (dalam bentuk persentase). Dalam
analisis spasial jumlah pengamatan (n) adalah jumlah area/lokasi, dalam
hal ini seluruh kabupaten/kota di DKI Jakarta yang berjumlah 6 area dan
Jawa Barat yang berjumlah 26 area.
3. Mengidentifikasi asosiasi spasial menggunakan metode Indeks Moran
global berdasarkan nilai peubah yang sudah distandarisasi, baik
berdasarkan wilayah administrasinya maupun pembagian wilayah
berdasarkan dapil.
4. Analisis LISA dilakukan melalui penghitungan indeks local moran, moran
scatterplot dan penyajian peta tematik. Dalam mengolah data,
menggunakan metode Simulasi Monte Carlo yaitu suatu proses untuk
12

memperoleh solusi dari berbagai kemungkinan hasil (output) dengan cara


membuat sejumlah percobaan (simulasi) menggunakan variabel acak.
(Anselin, 1995). Analisis dan simulasi dilakukan dengan bantuan software
SpaceStat (versi demo/trial).
5. Sebagai langkah terakhir dilakukan penghitungan secara manual perolehan
kursi dalam dua pendekatan wilayah yang berbeda, kemudian
menganalisis perolehan kursi akibat perubahan spasial tersebut.
13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Wilayah Administrasi dan Daerah Pemilihan


Menurut Pasal 22 UU No.10 Tahun 2008, daerah pemilihan anggota DPR
adalah provinsi atau bagian provinsi. Jumlah kursi setiap daerah pemilihan
anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi.
Ketetapan alokasi kursi dan pembagian daerah pemilihan terdapat pada lampiran
UU Pemilu No.10 Tahun 2008. Berdasarkan ketentuan Undang-undang itu,
Jakarta diputuskan untuk dibagi menjadi 3 daerah pemilihan sedangkan di wilayah
Jawa Barat terbagi menjadi 11 daerah pemilihan (Tabel 1.). Sementara hasil
lengkap perolehan suara partai politik ada di Lampiran 1.

Tabel 1. Pembagian Wilayah, Alokasi Kursi, dan Jumlah Pemilih


Kabupaten / Kota Daerah Pemilihan Alokasi Kursi Jumlah Pemilih
DKI
Jakarta Timur DKI 1 6 1,124,602
Jakarta Selatan DKI 2 5 824,435
Jakarta Pusat DKI 2 2 411,006
Jakarta Barat DKI 3 4 786,819
Jakarta Utara DKI 3 4 630,654
Kep. Seribu DKI 3 0 10,553
Total 21 3,788,069

JABAR
Kota Bandung Jabar 1 6 1,122,625
Kota Cimahi Jabar 1 1 236,661
Kab. Bandung Jabar 2 7 1,429,955
Kab. Bandung Barat Jabar 2 3 680,609
Kab. Cianjur Jabar 3 6 871,345
Kota Bogor Jabar 3 3 413,808
Kab. Sukabumi Jabar 4 5 992,738
Kota Sukabumi Jabar 4 1 145,373
Kab. Bogor Jabar 5 9 1,857,028
Kota Bekasi Jabar 6 4 869,714
Kota Depok Jabar 6 3 671,778
Kab. Purwakarta Jabar 7 2 343,862
Kab. Karawang Jabar 7 4 922,385
Kab. Bekasi Jabar 7 4 885,253
Kab. Cirebon Jabar 8 5 879,675
Kab. Indramayu Jabar 8 4 759,418
Kota Cirebon Jabar 8 0 125,333
Kab. Majalengka Jabar 9 3 570,485
Kab. Sumedang Jabar 9 2 577,703
Kab. Subang Jabar 9 3 705,315
Kab. Ciamis Jabar 10 4 824,607
Kab. Kuningan Jabar 10 3 477,144
Kota Banjar Jabar 10 0 90,798
Kab. Garut Jabar 11 5 1,065,195
Kab. Tasikmalaya Jabar 11 4 824,224
Kota Tasikmalaya Jabar 11 1 308,573
Total 91 18,651,604
14

ANALISIS LISA DKI JAKARTA


Provinsi DKI Jakarta secara administratif terdiri dari 6 wilayah
administratif dengan komposisi 5 Kotamadya dan 1 Kabupaten, selanjutnya
berdasarkan variabel perolehan suara partai politik yang telah distandarisasi akan
dilakukan pengujian statistik. Langkah pertama, menguji asosiasi spasial global
menggunakan Indeks Moran untuk data berbasis wilayah administrasi dan daerah
pemilihan. Langkah kedua, menguji asosiasi spasial menggunakan metode LISA
untuk data berbasis wilayah administrasi dan data berbasis daerah pemilihan.
Kemudian hasilnya diperbandingkan dengan bantuan morans scatterplot dan peta
tematik.

Indeks Moran
Hasil pengujian asosiasi spasial global terhadap wilayah DKI Jakarta
menggunakan Indeks Moran dibagi atas dua wilayah, yaitu berdasarkan daerah
administrasi dan daerah pemilihan. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Global Spatial Association (Indeks Moran) DKI


Wilayah Partai Politik Moran’s I P-Value
(global)
DKI Jakarta Demokrat 0.174 0.158
(5 Kotamadya Golkar 0.201 0.023
+1 PDIP 0.004 0.370
Kabupaten) PKS -0.051 0.329

DKI Jakarta Demokrat -0.500 0.001


3 Dapil Golkar -0.500 0.001
(DKI1,DKI2, PDIP -0.500 0.001
DKI3) PKS -0.500 0.001

Berdasarkan wilayah administrasi, sebaran suara Partai Demokrat, PDIP,


dan PKS menunjukkan nilai yang tidak signifikan artinya tidak terdapat asosiasi
spasial antara kabupaten/kotamadya di DKI. Sementara pada suara Partai Golkar
menunjukkan nilai yang signifikan artinya terjadi asosiasi spasial antara
kabupaten/kota di DKI. Pada penghitungan berdasarkan daerah pemilihan
keempat partai politik menunjukkan pola asosiasi spasial yang signifikan.
15

Local Indicators Spatial Association (LISA)


Hasil pengujian asosiasi spasial lokal terhadap wilayah DKI Jakarta
menggunakan LISA dibagi atas dua wilayah, yaitu berdasarkan daerah
administrasi dan daerah pemilihan. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analisis LISA DKI


Basis Partai Wilayah (Z) Score (Z) Mean (Z) Ii High/Low P-Value
Data Politik Signifikan Neighbor

Adm PKS Jakarta Pusat -0.035 0.433 -0.015 Low-high 0.005

DAPIL Demokrat DKI 1 1.267 -0.633 -0.803 High-low 0.003


DKI 2 -1.176 0.588 -0.692 Low-high 0.003
DKI 3 -0.091 0.045 -0.004 Low-high 0.003

Golkar DKI 1 0.943 -0.471 -0.445 High-low 0.003


DKI 2 -1.384 0.692 -0.957 Low-high 0.003
DKI 3 0.440 -0.220 -0.096 High-low 0.003

PDIP DKI 1 -0.926 0.463 -0.429 Low-high 0.003


DKI 2 -0.462 0.231 -0.106 Low-high 0.003
DKI 3 1.388 -0.694 -0.964 High-low 0.003

PKS DKI 1 0.684 -0.342 -0.234 High-low 0.003


DKI 2 0.729 -0.364 -0.266 High-low 0.003
DKI 3 -1.413 0.706 -0.999 Low-high 0.003

Berdasarkan hasil LISA untuk wilayah administratif menunjukkan nilai


yang tidak signifikan di seluruh wilayah yang berlaku bagi partai Demokrat,
Golkar dan PDIP. Hal ini menyimpulkan bahwa peubah amatan dalam hal ini
perolehan suara masing-masing partai politik relatif merata di tiap wilayah
kabupaten/kota. Hasil pengolahan data mengartikan bahwa sebaran suara Partai
Demokrat, Partai Golkar, PDIP tidak mengindikasikan adanya
autokorelasi/asosiasi spasial antara wilayah kabupaten. Tetapi pada kasus PKS,
wilayah Jakarta Pusat terdeteksi sebagai coldspot yang artinya pada wilayah
tersebut nilai observasi berada di bawah nilai rata-rata wilayah lain.
Sementara analisis yang dilakukan berdasarkan daerah pemilihan, di
wilayah DKI tampak terjadi asosiasi spasial yang terjadi di seluruh partai politik
(Demokrat, Gokar, PDIP, dan PKS) maupun wilayah (DKI 1, DKI 2, dan DKI 3).
Pola yang terbentuk serupa yaitu proses korelasi yang bersifat berlawanan atau
negatif. Artinya ada perbedaan kategori antar masing-masing wilayah.
16

Analisis Perbandingan Wilayah


Untuk membandingkan bentuk asosiasi spasial yang terbagi berdasarkan
wilayah administrasi maupun berdasarkan daerah pemilihan, akan sangat terbantu
jika interpretasi didasarkan pada morans scatterplot dan peta tematik untuk tiap
partai politik.

Partai Demokrat

Administrasi Daerah Pemilihan

(z) score (z) score


1,00 1
z mean neighbor

z mean neighbor
- 0
(1,00) - 1,00 -1,5 -0,5 0,5 1,5

(1,00) -1

a. Morans scatterplot (adm) b. Morans scatterplot (dapil)

c. Peta tematik (adm) d. Peta tematik (dapil)

Gambar 3. Morans scatterplot dan peta tematik Partai Demokrat (DKI)

Pada plot yang ditunjukkan pada Gambar 3a menunjukkan pola titik yang
berada pada satu kuadran yang sama. Dalam konteks LISA yang berbasis pada
area lokal maka level signifikansi diukur pada masing-masing titik pada plot
maupun area pada peta. Titik dan area pada Gambar 3a dan Gambar 3c
17

menunjukkan warna abu-abu yang artinya tidak signifikan. Sementara kasus


Partai Demokrat (Gambar 3d) menunjukkan dari 3 wilayah daerah pemilihan, DKI
1 (Jakarta Timur) merupakan wilayah dengan nilai rata-rata pengamatan tertinggi
dan berkorelasi secara negatif dengan dua wilayah lain yang lebih rendah nilai
rata-rata pengamatannya yaitu DKI 2 (Jakarta Pusat & Selatan) dan DKI 3
(Jakarta Barat, Utara, dan Kep. Seribu).

Partai Golkar

Administrasi Daerah Pemilihan

(z) score (z) score

1 1

z mean neighbor
z mean neighbor

0,5 0,5

0 0
-1 0 1 -2 -1 0 1 2
-0,5 -0,5

-1 -1

a. Morans scatterplot (adm) b. Morans scatterplot (dapil)

c. Peta tematik (adm) d. Peta tematik (dapil)

Gambar 4. Morans scatterplot dan Peta tematik Partai Golkar (DKI)

Partai Golkar berdasarkan wilayah administratif, plot (Gambar 4a)


menunjukkan keberadaan titik-titik di kuadran yang sama dan berwarna abu-abu
yang menunjukkan tidak signifikan. Sementara (Gambar 4c) tidak menunjukkan
18

pola spasial, yang artinya sebaran suara partai Golkar di seluruh wilayah
kabupaten/kotamadya merata. Sedangkan berdasarkan pembagian daerah
pemilihan tampak di tiga wilayah daerah pemilihan adanya asosiasi spasial.
Terlihat pada Gambar 4d, dengan konfigurasi 2 dapil berada pada kategori high
(warna Merah) yaitu DKI 1 (Jakarta Timur) dan DKI 3 (Jakarta Barat, Utara, Kep.
Seribu) Sementara itu satu wilayah teridentifikasi sebagai low yaitu wilayah DKI
2 (Jakarta Pusat dan Selatan). DKI 2 merupakan outliers/coldspot, karena nilai
pengamatannya rendah dibanding wilayah lainnya dan berbeda signifikan.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Administrasi Daerah Pemilihan

(z) score (z) score

1 1
z mean neighbor

z mean neighbor
0,5 0,5

0 0
-1,0 0,0 1,0 2,0 -2 -1 0 1 2
-0,5 -0,5

-1 -1

a. Morans scatterplot (adm) b. Morans scatterplot (dapil)

c. Peta tematik (adm) d. Peta tematik (dapil)

Gambar 5. Morans scatterplot dan Peta tematik PDIP (DKI)


19

PDIP memiliki karakteristik spasial yang berkorelasi secara negatif dengan


terdeteksinya suatu outliers berkategori high (hotspot) pada wilayah DKI 3
(Jakarta Barat, Jakarta Utara, Dan Kep. Seribu). Hubungan antar wilayah DKI 3
membentuk pola yang berlawanan dengan DKI 1 dan DKI 2 yang berkategori low.

Partai Keadilan Sejahtera

Administrasi Daerah Pemilihan

(z) score (z) score

0,8 0,8
0,6
z mean neighbor

0,6

z mean neighbor
0,4
0,4 0,2
0,2 0
-2 -1 -0,2 0 1
0
-0,4
-1 -0,2 0 1 2
-0,6

a. Morans scatterplot (adm) b. Morans scatterplot (dapil)

c. Peta tematik (adm) d. Peta tematik (dapil)

Gambar 6. Morans scatterplot dan Peta tematik PKS (DKI)

Pada kategori wilayah administratif plot dan peta tematik titik dan area
berwarna abu-abu menunjukkan tidak signifikan, sedangkan warna biru muda
menunjukkan nilai signifikan. Berdasarkan keberadaan titik itu di kuadran 4 maka
dikategorikan sebagai low-high yang artinya wilayah titik tersebut (Jakarta Pusat)
20

rendah dibandingkan wilayah kabupaten/kotamadya lain disekitarnya (Gambar


6c.). Berdasarkan analisis pada kategori daerah pemilihan perolehan suaranya
justru terdeteksi adanya outliers berkategori low (coldspot) pada wilayah DKI 3
(Jakarta Barat, Jakarta Utara, Dan Kep. Seribu). Sementara di 2 wilayah lainnya
yaitu DKI 1 (Jakarta Timur) dan DKI 2 (Jakarta Pusat dan Selatan) memiliki rata-
rata yang lebih tinggi. Artinya wilayah DKI 1 dan DKI 2 berkorelasi negatif
dengan wilayah DKI 3.

ANALISIS LISA JAWA BARAT


Provinsi Jawa Barat secara administratif terdiri dari 26 wilayah
administratif dengan komposisi 9 Kotamadya dan 17 Kabupaten. Sedangkan
berdasarkan daerah pemilihan Jawa Barat dibagi menjadi 11 daerah pemilihan.
Melalui hasil pengujian statistik LISA akan diperbandingkan hasil hitungan
berdasarkan wilayah administratif dan berdasarkan daerah pemilihan.

Indeks Moran
Penghitungan Indeks Moran secara global menunjukkan hasil berdasarkan
dua pendekatan, administratif dan daerah pemilihan selengkapnya ada di Tabel 4.
Tabel 4. Global Spatial Association (Indeks Moran) JABAR
Wilayah Partai Politik Moran’s I P-Value
(global)

Jawa Barat Demokrat 0.550 0.001


(17Kabupaten Golkar -0.028 0.426
+9Kotamadya) PDIP 0.294 0.005
PKS 0.415 0.003

Jawa Barat Demokrat 0.432 0.009


11 Dapil Golkar -0.061 0.432
PDIP 0.329 0.027
PKS 0.145 0.134

Berdasarkan daerah administrasi tiga partai (Demokrat, PDIP, dan PKS)


menunjukkan nilai signifikan yang berarti terdapat pola asosiasi diantara
kabupaten/kotamadya di Jawa Barat. Hanya Partai Golkar yang sebaran suaranya
tidak menunjukkan adanya pola asosiasi spasial. Sementara berdasarkan wilayah
daerah pemilihan, sebaran suara Partai Demokrat dan PDIP menunjukkan adanya
21

pola asosiasi spasial antar wilayah daerah pemilihan (dapil). Sedangkan untuk 2
partai lain yaitu Partai Golkar dan PKS tidak teridentifikasi memiliki pola asosiasi
spasial.

Local Indicators Spatial Association (LISA) JABAR


Pada wilayah Jawa Barat menunjukkan data yang lebih variatif
dibandingkan dengan wilayah DKI Jakarta. Pada beberapa wilayah pengujian
Local Moran menunjukkan angka yang signifikan, yang berarti adanya korelasi
spasial antar wilayah amatan. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Analisis LISA JABAR
Basis Partai Wilayah (Z) (Z) Mean (Z) Ii High/Low P-Value
Score Neighbor
Data Politik Signifikan
Adm Demokrat Ciamis -0.444 -0.863 0.384 Low-low 0.075
Indramayu -2.066 -1.067 2.206 Low-low 0.005
Cirebon -0.706 -0.888 0.627 Low-low 0.087
Kuningan -0.407 -0.897 0.366 Low-low 0.052
Majalengka -1.541 -0.962 1.483 Low-low 0.024
Subang -0.743 -0.794 0.591 Low-low 0.092
Kota Bandung 2.035 0.841 1.712 High-high 0.081
Kota Cimahi 1.561 0.999 1.560 High-high 0.088

Golkar Subang -0.695 1.075 -0.747 Low-high 0.06

PDIP Cirebon 1.911 0.878 1.680 High-high 0.046


Indramyu 0.235 1.475 0.347 High-high 0.01
Kuningan 1.969 1.363 2.685 High-high 0.008
Majalengka 1.138 0.871 0.991 High-high 0.025

PKS Sumedang -1.144 -0.666 0.762 Low-low 0.03


Majalengka -0.703 -0.779 0.548 Low-low 0.021
Subang -0.804 -0.841 0.676 Low-low 0.012
Indramayu -1.237 -0.824 1.019 Low-low 0.012
Kota Depok 2.023 0.937 1.897 High-high 0.06
Kota Bekasi 2.047 1.015 2.079 High-high 0.096

Dapil Demokrat Jabar 8 -1.515 -1.094 1.658 Low-low 0.021


Jabar 9 -1.457 -0.559 0.814 Low-low 0.066
Jabar 10 -0.732 -1.159 0.849 Low-low 0.045

Golkar Jabar 9 -0.362 0.703 -0.254 Low-high 0.06

PDIP Jabar 8 1.288 1.617 2.084 High-high 0.066


Jabar 10 1.559 0.645 1.007 High-high 0.051

PKS Jabar 8 -0.944 -0.720 0.680 Low-low 0.047


Jabar 10 -0.455 -0.906 0.412 Low-low 0.008

Pola yang terbentuk terbagi 2, pertama membentuk cluster yang


berkorelasi positif antar wilayah (high-high) dilambangkan dengan warna merah
ataupun berkorelasi negatif (low-low) dilambangkan dengan warna biru. Pola
22

kedua berupa outliers, ketika suatu wilayah terdeteksi memiliki nilai pengamatan
rata-rata yang berbeda baik lebih kecil (warna biru muda) atau lebih besar (warna
merah muda). Kedua hal ini dapat dideteksi dengan lebih jelas dengan bantuan
visualisasi plot dan peta.

Analisis Perbandingan Wilayah


Daerah Jawa Barat menunjukkan pola asosiasi spasial yang sangat
beragam pada sebaran suara keempat partai politik. Selanjutnya akan dilakukan
perbandingan untuk setiap partai politik berdasarkan scatterplot dan peta tematik
untuk melihat perbedaan pola asosiasi yang terjadi.

Partai Demokrat
Tampak pada daerah timur yang berbatasan dengan wilayah Jawa Tengah
terjadi penggerombolan (clustering) antara 6 kabupaten/kotamadya yaitu Kab.
Subang, Kab. Indramayu, Kab. Cirebon, Kab. Majalengka, Kab. Kuningan, dan
Kab. Ciamis (Gambar 7c) Proses ini dideteksi dari nilai signifikansi pengujian,
yang secara lebih mudah dilihat berdasarkan kesamaan warna kategori legenda
peta. Warna biru yang tedapat di 6 kabupaten/kotamadya mengindikasikan low-
low, yang artinya wilayah tersebut berkorelasi secara positif membentuk cluster
dengan nilai observasi yang dibawah rata-rata dibanding wilayah lain.
Sementara pada wilayah Kota Bandung dan Kota Cimahi terjadi proses
penggerombolan yang bersifat sebaliknya dari 6 wilayah yang disebutkan
sebelumnya. Kategori kedua wilayah perkotaan tersebut teridentifikasi sebagai
kategori high-high (Gambar 7a dan 7c), yang artinya wilayah tersebut berkorelasi
positif membentuk cluster dengan nilai observasi yang tinggi di atas rata-rata
wilayah lain.
Proses penggabungan wilayah adminstrasi menjadi daerah pemilihan
(Gambar 7d) tidak mempengaruhi kategori yang dilabelkan pada beberapa
wilayah suara Demokrat di Jawa Barat. Pada wilayah timur Jawa Barat yang
berbatasan dengan Jawa Tengah yaitu Jabar 8, Jabar 9 (Kab. Majalengka, Kab.
Sumedang, Kab. Subang) dan Jabar 10 (Kab. Ciamis, Kab. Kuningan, Kota
Banjar) penggerombolan wilayah tetap teridentifikasi sebagai low clustering. Hal
ini sejalan dengan analisis berdasarkan daerah administrasi, low clustering
23

teridentifikasi pada wilayah Kab. Subang, Kab. Indramayu, Kab. Cirebon, Kab.
Majalengka, Kab. Kuningan, Kab. Ciamis. Sehingga proses penggabungan
wilayah yang mengelompokkan beberapa wilayah berkategori low tidak
mengubah secara signifikan pola spasial perolehan suara Demokrat.
Administrasi Daerah Pemilihan

(z) score (z) score

1,5 1
1
z mean neighbor

z mean neighbor
0,5
0,5
0
0
-2,0 -0,5 0,0 2,0 4,0
-4 -2 -0,5 0 2 4
-1 -1
-1,5 -1,5

a. Morans scatterplot (adm) b. Morans scatterplot (dapil)

c. Peta tematik (adm) d. Peta tematik (dapil)

Gambar 7. Morans scatterplot dan Peta tematik Partai Demokrat (JABAR)

Partai Golkar
Pada kasus Partai Golkar berdasarkan wilayah administratif (Gambar 8.c)
secara umum tidak terdeteksi asosiasi spasial yang terjadi di wilayah Jawa Barat.
Sehingga perolehan suara Partai Golkar di Jawa Barat relatif merata. Hanya saja
ada satu hal yang sangat menarik, bahwa terdapat satu kabupaten yang ternyata
nilai pengamatannya terdeteksi sebagai outliers yang bersifat rendah. Artinya
pada wilayah tersebut merupakan titik terlemah Golkar dibandingkan wilayah
24

lain. Warna biru muda, mengindikasikan low-high yang artinya wilayah tersebut
rendah dibandingkan wilayah disekitarnya. Wilayah tersebut adalah kabupaten
Subang. Sedangkan penggabungan wilayah administrasi menjadi daerah
pemilihan, pada kasus Partai Golkar, memunculkan fenomena yang menarik
(Gambar 8.d). Pada analisis berdasarkan wilayah administrasi terhadap suara
partai Golkar teridentifikasi adanya outliers pada Kabupaten Subang. Sementara
pada proses penggabungan menjadi daerah pemilihan (dapil) Kabupaten Subang
bergabung dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Sumedang membentuk
dapil Jabar 9. Kemudian ketika analisis dilakukan, output pada peta tampak Jabar
9 terdidentifikasi tetap sebagai outliers low (coldspot). Sehingga tampak
Kabupaten Subang pada dapil Jabar 9 teridentifikasi sebagai coldspot.
Administrasi Daerah Pemilihan

(z) score (z) score


1,5 1

z mean neighbor
1
z mean neighbor

0,5
0,5
0
0
-2,0 0,0 2,0 4,0
-2 -0,5 0 2 4 -0,5

-1 -1

a. Morans scatterplot (adm) b. Morans scatterplot (dapil)

c. Peta tematik (adm) d. Peta tematik (dapil)

Gambar 8. Morans scatterplot dan Peta tematik Partai Golkar (JABAR)


25

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Administrasi Daerah Pemilihan

(z) score (z) score


2,5 2
2 1,5

z mean neighbor
1,5
z mean neighbor

1
1
0,5
0,5
0
0
-2,0 -0,5 0,0 2,0
-2 -0,5 0 2 4
-1 -1

a. Morans scatterplot (adm) b. Morans scatterplot (dapil)

c. Peta tematik (adm) d. Peta tematik (dapil)

Gambar 9. Morans scatterplot dan Peta tematik PDIP (JABAR)

Fenomena yang terjadi pada PDIP sangat menarik (Gambar 9c), karena
jika dibandingkan dengan pola yang terjadi pada Partai Demokrat tampak
berkebalikan meskipun tidak beririsan secara persis. Pada wilayah
kabupaten/kotamadya yang berbatasan dengan wilayah Jawa Tengah terjadi
proses penggerombolan wilayah (clustering) yang melibatkan 3
kabupaten/kotamadya yaitu Kab. Indramayu, Kab. Majalengka, Kab. Cirebon, dan
Kab. Kuningan. Proses penggerombolan antar wilayah terbentuk karena korelasi
yang bersifat positif antar keempat kebupaten tersebut. Label high-high yang
diberikan untuk wilayah berwarna merah mengindikasikan bahwa wilayah-
26

wilayah tersebut memiliki nilai pengamatan yang tinggi dibanding wilayah lain
disekitar cluster yang terbentuk. PDIP di wilayah Jawa Barat tampak kekuatan
konstituennya lebih condong pada wilayah timur Jawa Barat. Untuk kasus
penggabungan wilayah (Gambar 9d) PDIP menghasilkan pola spasial yang
menarik, terutama pada wilayah Jabar 10 (Kab. Ciamis, Kab. Kuningan, Kota
Banjar) yang teridentifikasi sebagai high clustering yang artinya bahwa
Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Banjar yang secara parsial sebelumnya tidak
teridentifikasi sebagai high, kini bergabung dengan Kabupaten Kuningan
(sebelumnya teridentifikasi high) membentuk high cluster pada dapil Jabar 10.
Sementara pada wilayah Jabar 8 (Kab. Cirebon, Kab. Indramayu, Kota Cirebon)
sebelumnya Kota Cirebon secara parsial tidak teridentifikasi sebagai high, kini
bergabung dalam cluster high pada dapil Jabar 8. Untuk Majalengka yang
sebelumnya teridentifikasi high, pada analisis berdasarkan wilayah, setelah
bergabung dalam dapil Jabar 9 (Kab. Majalengka, Kab. Sumedang, Kab. Subang)
tidak lagi teridentifikasi high dalam analisis berdasarkan daerah pemilihan.

Partai Keadilan Sejahtera


PKS memiliki sebuah pola yang unik (Gambar 10c), berdasarkan hasil
pengamatan dan uji statistik terhadap perolehan suara di wilayah Jawa Barat.
Terdapat dua pola penggerombolan yang terjadi dengan karakteristik wilayah
yang berbeda meskipun korelasi kedua pola ini bersifat positif. Pola pertama
adalah penggerombolan yang terjadi pada wilayah yang berbatasan dengan
wilayah DKI Jakarta yaitu pada wilayah Kota Depok dan Kota Bekasi, kategori
penggerombolannya masuk dalam high-high yang berarti memiliki nilai
pengamatan yang tinggi sebagai hotspot. Dari sisi wilayah administratif, 2
wilayah tersebut ada dalam kategori perkotaan. Sementara pola kedua, muncul
pada wilayah utara Jawa barat yang berbatasan dengan Jawa Tengah yang
melibatkan 4 kabupaten yaitu Kab. Indramayu, Kab. Subang, Kab. Sumedang, dan
Kab. Majalengka. Pengelompokan tersebut berbeda dengan yang pertama, kali ini
masuk pada kategori low-low dan berkorelasi secara positif dalam
mengelompokkan wilayah dengan kriteria nilai rata-rata pengamatan yang rendah.
27

Administrasi Daerah Pemilihan

(z) score (z) score

2 1

z mean neighbor
z mean neighbor

0,5
1
0
0 -2,0 -0,5 0,0 2,0 4,0
-2 0 2 4
-1 -1

a. Morans scatterplot (adm) b. Morans scatterplot (dapil)

d. Peta tematik (dapil)


c. Peta tematik (adm)

Gambar 10. Morans scatterplot dan Peta tematik PKS (JABAR)

Pada proses penggabungan wilayah administrasi menjadi daerah pemilihan


(Gambar 10d), fenomena dapil Jabar 10 agak unik karena kemudian membentuk
wilayah berkategori low. Dikatakan unik karena pada dapil Jabar 10 (Kab. Ciamis,
Kab. Kuningan, Kota Banjar), sebelumnya pada analisis berdasarkan tiap wilayah
administrasi, ketiga wilayah tersebut tidak teridentifikasi sebagai wilayah low
tetapi setelah ketiga wilayah tersebut bergabung dalam dapil Jabar 10, akumulasi
perolehan suara membentuk suatu wilayah berkategori low.
28

Dampak Perubahan Spasial Terhadap Hasil Pemilu

DKI Jakarta
Pemilu legislatif di Wilayah DKI Jakarta berdasarkan Pasal 22 UU No.10
Tahun 2008 diputuskan untuk dibagi menjadi 3 daerah pemilihan. Analisis di
bawah akan memperlihatkan perbandingan skema hasil pemilu berdasarkan
wilayah administratif maupun penggabungan wilayah.

Tabel 6. Alokasi Kursi DKI


Alokasi Kursi Alokasi Kursi
No Wilayah DAPIL (Adm) (Dapil)
1 Jakarta Timur DKI 1 6 6
2 Jakarta Pusat DKI 2 2 7
3 Jakarta Selatan DKI 2 5
4 Jakarta Barat DKI 3 4
5 Jakarta Utara DKI 3 4 8
6 Kep. Seribu DKI 3 0

Total 21 Kursi 21 kursi

Dengan pembagian daerah pemilihan seperti dijelaskan di atas diperoleh


hasil perolehan suara dan kursi seperti terlihat pada Tabel 6. Jika diamati maka
tingkat persentase akumulasi kursi partai lebih besar dari persentase perolehan
suara partai, hanya saja peningkatan di tiap partai berbeda-beda.

Tabel 7. Simulasi Perolehan Suara & Kursi DKI


Persentase Kursi (Dapil)
Partai Politik Suara Suara Kursi (Adm)
Demokrat 1,326,894 35% 9 7
PDIP 423,874 11% 4 3
Golkar 235,260 6% 1 3
PKS 696,706 18% 5 4
Gerindra 216,323 6% 1 3
PPP 174,375 5% 1 1

Total Suara 3,788,069 21 Kursi 21 Kursi


Berdasarkan hasil di atas terlihat bahwa proses penggabungan beberapa
wilayah administrasi menjadi suatu daerah pemilihan (dapil), memiliki asosiasi
spasial. Selain itu dari segi politik praktis tentunya berdampak sangat besar pada
29

hasil pemilu, terutama perolehan kursi yang mampu diakumulasi oleh partai
politik.

Jawa Barat

Tabel 8. Alokasi Kursi Jawa Barat


No Wilayah DAPIL Kursi (Adm) Kursi
1 Kota Bandung Jabar 1 6
7
2 Kota Cimahi Jabar 1 1
3 Kab. Bandung Jabar 2 7
10
4 Kab. Bandung Jabar 2 3
5 Kab. Cianjur Jabar 3 6
9
6 Kota Bogor Jabar 3 3
7 Kab. Sukabumi Jabar 4 5
6
8 Kota Sukabumi Jabar 4 1
9 Kab. Bogor Jabar 5 9 9
10 Kota Bekasi Jabar 6 4
7
11 Kota Depok Jabar 6 3
12 Kab. Purwakarta Jabar 7 2
13 Kab. Karawang Jabar 7 4 10
14 Kab. Bekasi Jabar 7 4
15 Kab. Cirebon Jabar 8 5
16 Kab. Indramayu Jabar 8 4 9
17 Kota Cirebon Jabar 8 0
18 Kab. Majalengka Jabar 9 3
19 Kab. Sumedang Jabar 9 2 8
20 Kab. Subang Jabar 9 3
21 Kab. Ciamis Jabar 10 4
22 Kab. Kuningan Jabar 10 3 7
23 Kota Banjar Jabar 10 0
24 Kab. Garut Jabar 11 5
25 Kab. Tasikmalaya Jabar 11 4 10
26 Kota Tasikmalaya Jabar 11 1
Total 91 Kursi 91 kursi

Menurut Pasal 22 UU No.10 Tahun 2008, daerah pemilihan anggota DPR adalah
provinsi atau bagian provinsi. Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR
paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi. Ketetapan
alokasi kursi dan pembagian daerah pemilihan terdapat pada UU Pemilu No.10
Tahun 2008 menetapkan Jawa Barat terbagi menjadi 11 daerah pemilihan.

Tabel 9. Simulasi Perolehan Suara & Kursi Jawa Barat


Partai Kursi (Dapil)
Politik Suara Persentase Suara Kursi (Adm)*

Demokrat 4,629,275 24.8% 24 29


PDIP 2,750,305 14.7% 18 16
Golkar 2,676,022 14.3% 16 15
PKS 2,025,750 10.8% 11 12

Total
Suara 18,651,604 91 Kursi 91 Kursi
38 Partai
30

Jika dicermati data pada Tabel 9 menguatkan temuan sebelumnya pada


wilayah DKI Jakarta (Tabel 6) bahwa perubahan daerah pemilihan berdampak
pada akumulasi perolehan kursi yang berbeda. Sehingga hal ini akan menjadi
suatu permasalahan kelak ketika proses pembagian daerah pemilihan merugikan
satu atau lebih Partai Politik.
31

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Sebaran suara partai politik dalam proses pemilu memiliki karakteristik
yang unik, karena bergantung pada aspek spasialnya. Melalui analisis LISA yang
bertujuan mengidentifikasi asosiasi antar kabupaten, dihasilkan output berbeda
antara wilayah administratif dengan daerah pemilihan. Berdasarkan wilayah
administratifnya, di DKI Jakarta tidak terdapat asosiasi spasial dari perolehan
suara keempat partai politik (Demokrat, Golkar, PDIP, dan PKS). Satu-satunya
hal menarik adalah teridentifikasinya coldspot dari sebaran suara PKS di wilayah
Jakarta Pusat, yang artinya wilayah tersebut merupakan titik lemah PKS di
wilayah DKI. Sementara pada penggabungan wilayah administratif menjadi 3
daerah pemilihan, terbentuk asosiasi spasial yang terjadi pada keempat partai
politik di seluruh dapil. Pada daerah pemilihan di DKI, asosiasi spasial
membentuk pola hubungan yang bersifat negatif dan berlaku bagi keempat partai
politik. Hanya saja konfigurasi dapil yang ada pada ketegori high dan low berbeda
pada setiap partai politik.
Pada propinsi Jawa Barat berdasarkan wilayah administratif, asosiasi
spasial terjadi pada sebaran suara partai Demokrat, PDIP, dan PKS. Sementara
Golkar relatif tidak terjadi asosiasi spasial. Artinya sebaran suara Golkar merata
di seluruh kabupaten, hanya saja untuk wilayah Kabupaten Subang teridentifikasi
sebagai coldspot. Sedangkan pada analisis berdasarkan daerah pemilihan, terdapat
pola asosiasi spasial pada sebaran suara partai Demokrat, PDIP dan PKS. Pada
wilayah Jawa Barat penggerombolan terjadi pada wilayah yang berbatasan dengan
Jawa Tengah. Untuk partai Demokrat dan PKS wilayah yang berbatasan dengan
Jawa Tengah ada pada kategori low, sementara bagi PDIP ada pada kategori high.
Perubahan spasial dalam bentuk penggabungan wilayah administratif
berpengaruh terhadap pola asosiasi yang terbentuk di Jawa Barat sama halnya
dengan yang terjadi di DKI Jakarta. Hal ini disebabkan sifat akumulasi nilai
pengamatan membuat sebaran suara berubah dari tersebar menjadi menggerombol
dan sebaliknya. Dampaknya secara politik terjadi perbedaan hasil pemilu
mengacu pada perolehan kursi partai politik.
32

Saran
Mendorong dilakukannya studi lanjutan yang lebih komprehensif, untuk
mendeteksi faktor determinan yang menentukan pilihan politik masyarakat selain
aspek spasial. Salah satunya dengan studi regresi spasial untuk membentuk
pemodelan serta mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi sebaran suara
partai politik.
33

Daftar Pustaka

Agresti A. 2007. An Introduction to Categorical Data Analysis. New Jersey:


Wiley Publication.
Anselin L. 1995. Local Indicators of Spatial Association. Research Paper 9331
Regional Research Institute West Virginia.
Evans AJ. 2004. Voters and Voting. London: Sage Publication.
Goodchild M. 2004. Spatially Integrated Social Science. New York: Oxford
University Press.
Kartawidjaja PR.2003.Alokasi Kursi. Jakarta:Elsam
LeSage JP. RK Pace. 2004. Spatial and Spatiotemporal Econometrics,
Advanced in Econometrics. Vol. 18, 1-32.
Lloyd C D. 2007. Local Models for Spatial Analysis. Boca Raton: CRC Press.
Poole KT. 2005. Spatial Model of Parliamentary Voting. Cambridge: Cambridge
University Press.
Reynolds A.2001. Merancang Sistem Pemilihan Umum. terj. Rahmani Astuti.
Bandung: Mizan,LIPI,Ford Foundation
Roland G. 2004. Understanding Institutional Change. Studies in
Comparative International Development Vol. 38 Number 44.
Shofield N. 2008. Spatial Model of Politics. New York: Routledge.
Silk J. 1979. Statistical Concept in Geography. London: George Allen & Unwin.
34

Lampiran 1. Hasil Penghitungan Kursi Partai di DKI Jakarta dan Jawa Barat
Suara Suara Suara
Observasi Dapil Sah Kursi BPP PD % Kursi PD Suara PG % Kursi PG Suara PDIP % Kursi PDIP PKS % Kursi PKS
Jakarta Timur DKI 1 1.124.602 6 187433,6667 407.344 36,22 2,173 73.181 6,51 0,390 105.439 9,38 0,563 214541 19,08 1,14462361
Jakarta Selatan DKI 2 824.435 5 164887 274.529 33,30 1,665 49.925 6,06 0,303 75.991 9,22 0,461 164574 19,96 0,99810173
Jakarta Pusat DKI 2 411.006 2 205503 145.495 35,40 0,708 21.463 5,22 0,104 50.029 12,17 0,243 71665 17,44 0,3487297
Jakarta Barat DKI 3 786.819 4 196704,75 285.640 36,30 1,452 44.252 5,62 0,225 113.178 14,38 0,575 122544 15,57 0,62298445
Jakarta Utara DKI 3 630.654 4 157663,5 212.101 33,63 1,345 44.179 7,01 0,280 78.292 12,41 0,497 121933 19,33 0,77337494
Kep. Seribu DKI 3 10.553 0 1.785 16,91 2.260 21,42 945 8,95 1449 13,73
Kota Bandung Jabar 1 1.122.625 6 187104,1667 442.769 39,44 2,366 103.006 9,18 0,551 115.778 10,31 0,619 186596 16,62 0,99728404
Kota Cimahi Jabar 1 236.661 1 236661 84.855 35,86 0,359 28.362 11,98 0,120 16.426 6,94 0,069 44310 18,72 0,18722984
Kab. Bandung Jabar 2 1.429.955 7 204279,2857 436.420 30,52 2,136 210.080 14,69 1,028 208.128 14,55 1,019 152208 10,64 0,74509757
Kab. Bandung Barat Jabar 2 680.609 3 226869,6667 169.282 24,87 0,746 99.806 14,66 0,440 126.877 18,64 0,559 70153 10,31 0,30922159
Kab. Cianjur Jabar 3 871.345 6 145224,1667 223.892 25,69 1,542 125.964 14,46 0,867 126.756 14,55 0,873 71046 8,15 0,4892161
Kota Bogor Jabar 3 413.808 3 137936 150.358 36,34 1,090 38.134 9,22 0,276 41.024 9,91 0,297 64358 15,55 0,4665787
Kab. Sukabumi Jabar 4 992.738 5 198547,6 269.380 27,14 1,357 144.662 14,57 0,729 122.955 12,39 0,619 85574 8,62 0,43099992
Kota Sukabumi Jabar 4 145.373 1 145373 42.044 28,92 0,289 20.890 14,37 0,144 13.775 9,48 0,095 23915 16,45 0,16450785
Kab. Bogor Jabar 5 1.857.028 9 206336,4444 553.302 29,80 2,682 254.193 13,69 1,232 227.866 12,27 1,104 193649 10,43 0,93851089
Kota Bekasi Jabar 6 869.714 4 217428,5 269.862 31,03 1,241 73.240 8,42 0,337 109.922 12,64 0,506 171341 19,70 0,78803377
Kota Depok Jabar 6 671.778 3 223926 208.964 31,11 0,933 58.323 8,68 0,260 52.980 7,89 0,237 131636 19,60 0,58785492
Kab. Purwakarta Jabar 7 343.862 2 171931 68.245 19,85 0,397 93.849 27,29 0,546 25.746 7,49 0,150 23308 6,78 0,13556601
Kab. Karawang Jabar 7 922.385 4 230596,25 209.263 22,69 0,907 150.021 16,26 0,651 163.371 17,71 0,708 80493 8,73 0,34906465
Kab. Bekasi Jabar 7 885.253 4 221313,25 190.200 21,49 0,859 118.377 13,37 0,535 108.098 12,21 0,488 142921 16,14 0,64578601
Kab. Cirebon Jabar 8 879.675 5 175935 164.567 18,71 0,935 87.769 9,98 0,499 218.977 24,89 1,245 74429 8,46 0,42304828
Kab. Indramayu Jabar 8 759.418 4 189854,5 64.018 8,43 0,337 302.778 39,87 1,595 120.501 15,87 0,635 45426 5,98 0,23926744
Kota Cirebon Jabar 8 125.333 0 34.526 27,55 18.255 14,57 19.464 15,53 14670 11,70
Kab. Majalengka Jabar 9 570.485 3 190161,6667 70.730 12,40 0,372 61.890 10,85 0,325 118.272 20,73 0,622 46831 8,21 0,2462694
Kab. Sumedang Jabar 9 577.703 2 288851,5 83.097 14,38 0,288 105.991 18,35 0,367 108.337 18,75 0,375 36818 6,37 0,12746342
Kab. Subang Jabar 9 705.315 3 235105 129.990 18,43 0,553 70.005 9,93 0,298 182.048 25,81 0,774 54933 7,79 0,23365305
Kab. Ciamis Jabar 10 824.607 4 206151,75 170.575 20,69 0,827 135.809 16,47 0,659 166.598 20,20 0,808 74054 8,98 0,35922082
Kab. Kuningan Jabar 10 477.144 3 159048 100.034 20,97 0,629 59.163 12,40 0,372 120.228 25,20 0,756 47998 10,06 0,30178311
Kota Banjar Jabar 10 90.798 0 12.217 13,46 32.022 35,27 13.003 14,32 9049 9,97
Kab. Garut Jabar 11 1.065.195 5 213039 264.577 24,84 1,242 138.227 12,98 0,649 99.080 9,30 0,465 86462 8,12 0,40585057
Kab. Tasikmalaya Jabar 11 824.224 4 206056 144.249 17,50 0,700 118.522 14,38 0,575 89.278 10,83 0,433 61820 7,50 0,30001553
Kota Tasikmalaya Jabar 11 308.573 1 308573 71.859 23,29 0,233 26.684 8,65 0,086 34.817 11,28 0,113 31752 10,29 0,10289948

Total 22.439.673 112 5.956.169 2.911.282 3.174.179 2.722.456


35

Lampiran 2. Local Indicators Spatial Association (LISA) Wilayah Administrasi DKI


Partai Test Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Kep.
Barat Pusat Selatan Timur Utara Seribu
Demokrat (Z) Score 0.635 0.503 0.196 0.623 0.244 - 2.203
(Z) Mean Neighbor 0.314 0.424 0.587 0.314 0.587 -
(Z) Ii 0.200 0.214 0.115 0.196 0.143 -
High/Low Not Not Not Not Not Not
significant significant significant significant significant significant
P-Value 0.392 0.5 0.428 0.395 0.424 -

Golkar (Z) Score -0.525 -0.595 -0.449 -0.370 -0.283 2.224


(Z) Mean Neighbor -0.442 -0.407 -0.497 -0.442 -0.497 -
(Z) Ii 0.232 0.242 0.223 0.164 0.141 -
High/Low Not Not Not Not Not Not
significant significant significant significant significant significant
P-Value 0.193 0.35 0.306 0.283 0.5 -

PDIP (Z) Score 1.622 0.534 -0.918 -0.839 0.652 -1.051


(Z) Mean Neighbor 0.089 0.129 0.439 0.089 0.439 -
(Z) Ii 0.145 0.069 -0.403 -0.075 0.286 -
High/Low Not Not Not Not Not Not
significant significant significant significant significant significant
P-Value 0.398 0.315 0.416 0.482 0.3 -

PKS (Z) Score -0.873 -0.035 1.094 0.700 0.812 -1.698


(Z) Mean Neighbor 0.624 0.433 -0.069 0.624 -0.069 -
(Z) Ii -0.545 -0.015 -0.076 0.437 -0.056 -
High/Low Not Not Not Not Not
significant Low-high significant significant significant significant
P-Value 0.5 0.005 0.448 0.27 0.46 -
36

Lampiran 3. Local Indicators Spatial Association (LISA) Wilayah Administrasi JABAR


Partai Test BANDUNG
BANDUNG BARAT BEKASI BOGOR CIAMIS CIANJUR
Demokrat (Z) Score 0.855 0.107 -0.339 0.760 -0.444 0.216
(Z) Mean Neighbor 0.457 0.298 0.500 0.512 -0.863 0.214
(Z) Ii 0.391 0.032 -0.169 0.389 0.384 0.046
High/Low Not Not Not Not Not
significant significant significant significant Low-low significant
P-Value 0.364 0.5 0.5 0.416 0.075 0.5

Golkar (Z) Score -0.064 -0.068 -0.239 -0.196 0.171 -0.094


(Z) Mean Neighbor -0.208 -0.006 -0.316 -0.402 0.150 0.149
(Z) Ii 0.013 0.0004 0.075 0.079 0.025 -0.014
High/Low Not Not Not Not Not Not
significant significant significant significant significant significant
P-Value 0.500 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5

PDIP (Z) Score -0.009 0.750 -0.444 -0.433 1.040 -0.009


(Z) Mean Neighbor -0.282 -0.101 -0.073 -0.396 0.347 -0.262
(Z) Ii 0.002 -0.076 0.032 0.171 0.361 0.002
High/Low Not Not Not Not Not Not
significant significant significant significant significant significant
P-Value 0.500 0.5 0.475 0.5 0.5 0.5

PKS (Z) Score -0.12 -0.200 1.195 -0.172 -0.519 -0.718


(Z) Mean Neighbor 0.06 -0.101 0.432 0.631 -0.465 -0.492
(Z) Ii -0.01 0.020 0.516 -0.108 0.241 0.353
High/Low Not Not Not Not Not Not
significant significant significant significant significant significant
P-Value 0.42 0.5 0.36 0.322 0.468 0.336

Partai Test KOTA KOTA


CIREBON GARUT INDRAMAYU KARAWANG BANDUNG BANJAR
Demokrat (Z) Score -0.706 0.103 -2.066 -0.180 2.035 -1.401
(Z) Mean Neighbor -0.888 -0.268 -1.067 -0.132 0.841 -0.444
(Z) Ii 0.627 -0.027 2.206 0.023 1.712 0.623
High/Low Not Not Not
Low-low significant Low-low significant High-high significant
P-Value 0.087 0.311 0.005 0.5 0.081 0.309

Golkar (Z) Score -0.688 -0.290 3.273 0.143 -0.794 2.663


(Z) Mean Neighbor 0.563 0.039 -0.384 0.076 -0.185 0.171
(Z) Ii -0.387 -0.011 -1.257 0.010 0.147 0.457
High/Low Not Not Not Not Not Not
significant significant significant significant significant significant
P-Value 0.5 0.403 0.278 0.5 0.499 0.326

PDIP (Z) Score 1.911 -0.985 0.235 0.577 -0.797 -0.052


(Z) Mean Neighbor 0.878 0.012 1.475 -0.025 -0.228 1.040
(Z) Ii 1.680 -0.012 0.347 -0.014 0.181 -0.054
High/Low Not Not Not Not
High-high significant High-high significant significant significant
P-Value 0.046 0.475 0.01 0.5 0.5 0.322

PKS (Z) Score -0.64 -0.725 -1.237 -0.579 1.310 -0.282


(Z) Mean Neighbor -0.52 -0.714 -0.824 -0.309 0.496 -0.519
(Z) Ii 0.33 0.518 1.019 0.179 0.650 0.146
High/Low Not Not Not Not Not
significant significant Low-low significant significant significant
P-Value 0.44 0.129 0.012 0.234 0.5 0.496
37

Lampiran 3. Lanjutan
Partai Test KOTA KOTA KOTA KOTA KOTA
KOTA BEKASI BOGOR CIMAHI CIREBON DEPOK SUKABUMI
Demokrat (Z) Score 0.922 1.625 1.561 0.462 0.933 0.643
(Z) Mean Neighbor 0.451 0.760 0.999 -0.706 0.841 0.408
(Z) Ii 0.416 1.235 1.560 -0.326 0.785 0.262
High/Low Not Not Not Not Not
significant significant High-high significant significant significant
P-Value 0.211 0.231 0.088 0.259 0.214 0.38

Golkar (Z) Score -0.895 -0.789 -0.423 -0.080 -0.860 -0.106


(Z) Mean Neighbor -0.432 -0.196 -0.309 -0.688 -0.546 -0.080
(Z) Ii 0.387 0.155 0.130 0.055 0.470 0.008
High/Low Not Not Not Not Not Not
significant significant significant significant significant significant
P-Value 0.376 0.48 0.5 0.271 0.25 0.5

PDIP (Z) Score -0.364 -0.872 -1.424 0.172 -1.247 -0.952


(Z) Mean Neighbor -0.708 -0.433 -0.019 1.911 -0.399 -0.411
(Z) Ii 0.258 0.378 0.027 0.329 0.498 0.391
High/Low Not Not Not Not Not Not
significant significant significant significant significant significant
P-Value 0.328 0.371 0.466 0.12 0.293 0.456

PKS (Z) Score 2.047 1.053 1.812 0.131 2.023 1.269


(Z) Mean Neighbor 1.015 -0.172 0.329 -0.643 0.937 -0.605
(Z) Ii 2.079 -0.181 0.596 -0.084 1.897 -0.768
High/Low Not Not Not Not
High-high significant significant significant High-high significant
P-Value 0.096 0.368 0.5 0.334 0.06 0.5

Partai Test KOTA TASIK KUNINGAN MAJALENGKA PURWAKARTA SUBANG SUKABUMI


Demokrat (Z) Score -0.101 -0.407 -1.541 -0.556 -0.743 0.408
(Z) Mean
Neighbor -0.655 -0.897 -0.962 -0.149 -0.794 0.540
(Z) Ii 0.066 0.366 1.483 0.083 0.591 0.220
High/Low Not Not
significant Low-low Low-low Not significant Low-low significant
P-Value 0.165 0.052 0.024 0.375 0.092 0.5

Golkar (Z) Score -0.864 -0.367 -0.573 1.606 -0.695 -0.080


(Z) Mean
Neighbor 0.033 -0.363 0.450 -0.178 1.075 -0.132
(Z) Ii -0.028 0.133 -0.258 -0.286 -0.747 0.010
High/Low Not Not Not Not
significant significant significant Not significant Low-high significant
P-Value 0.5 0.5 0.5 0.5 0.06 0.432

PDIP (Z) Score -0.617 1.969 1.138 -1.322 2.082 -0.411


(Z) Mean
Neighbor 0.169 1.363 0.871 0.850 0.202 -0.465
(Z) Ii -0.104 2.685 0.991 -1.123 0.421 0.191
High/Low Not Not Not
significant High-high High-high Not significant significant significant
P-Value 0.407 0.008 0.025 0.205 0.5 0.5

PKS (Z) Score -0.205 -0.260 -0.703 -1.046 -0.804 -0.605


(Z) Mean
Neighbor -0.696 -0.622 -0.779 -0.575 -0.841 0.126
(Z) Ii 0.143 0.162 0.548 0.602 0.676 -0.076
High/Low Not Not Not
significant significant Low-low Not significant Low-low significant
P-Value 0.183 0.165 0.021 0.282 0.012 0.416
38

Lampiran 3. Lanjutan
Partai Test SUMEDANG TASIKMALAYA
Demokrat (Z) Score -1.279 -0.866
(Z) Mean Neighbor -0.593 -0.652
(Z) Ii 0.758 0.565
High/Low Not Not
significant significant
P-Value 0.12 0.129

Golkar (Z) Score 0.420 -0.105


(Z) Mean Neighbor 0.210 -0.227
(Z) Ii 0.088 0.023
High/Low Not Not
significant significant
P-Value 0.50 0.5

PDIP (Z) Score 0.770 -0.701


(Z) Mean Neighbor 0.358 0.269
(Z) Ii 0.276 -0.188
High/Low Not Not
significant significant
P-Value 0.5 0.5

PKS (Z) Score -1.144 -0.873


(Z) Mean Neighbor -0.666 -0.659
(Z) Ii 0.762 0.576
High/Low Not
Low-low significant
P-Value 0.0300 0.164
39

Lampiran 4. Local Indicators Spatial Association (LISA) Daerah Pemilihan DKI


Partai Test DKI 1 DKI 2 DKI 3
Demokrat (Z) Score 1.267 -1.176 -0.091
(Z) Mean
Neighbor -0.633 0.588 0.045
(Z) Ii -0.803 -0.692 -0.004
High/Low High-low Low-high Low-high
P-Value 0.003 0.003 0.003

Golkar (Z) Score 0.943 -1.384 0.440


(Z) Mean
Neighbor -0.471 0.692 -0.220
(Z) Ii -0.445 -0.957 -0.096
High/Low High-low Low-high High-low
P-Value 0.003 0.003 0.003

PDIP (Z) Score -0.92636 -0.462 1.388


(Z) Mean
Neighbor 0.463 0.231118 -0.694
(Z) Ii -0.429 -0.106 -0.964
High/Low Low-high Low-high High-low
P-Value 0.003 0.003 0.003

PKS (Z) Score 0.684423 0.729 -1.413


(Z) Mean
Neighbor -0.342 -0.364 0.706987
(Z) Ii -0.234 -0.266 -0.999
High/Low High-low High-low Low-high
P-Value 0.003 0.003 0.003
40

Lampiran 5. Local Indicators Spatial Association (LISA) Daerah Pemilihan JABAR


Partai Test JABAR 1 JABAR 2 JABAR 3 JABAR 4 JABAR 5 JABAR 6
Demokrat (Z) Score 1.950 0.483 0.544 0.289 0.642 0.825
(Z) Mean Neighbor 0.483 0.001 0.076 0.593 0.283 0.058
(Z) Ii 0.943 0.0005 0.041 0.171 0.182 0.048
High/Low Not Not Not
Not significant significant Not significant Not significant significant significant
P-Value 0.5 0.462 0.5 0.468 0.5 0.342

Golkar (Z) Score -1.218 0.137 -0.381 0.099 -0.132 -1.522


(Z) Mean Neighbor 0.137 -0.317 0.096 -0.256 -0.271 0.293
(Z) Ii -0.167 -0.043 -0.036 -0.025 0.035 -0.446
High/Low Not Not Not
Not significant significant Not significant Not significant significant significant
P-Value 0.322 0.5 0.5 0.5 0.5 0.321

PDIP (Z) Score -1.124 0.273 -0.367 -0.604 -0.545 -0.933


(Z) Mean Neighbor 0.273 -0.207 -0.419 -0.456 -0.525 -0.370
(Z) Ii -0.307 -0.056 0.154 0.275 0.286 0.345
High/Low Not Not Not
Not significant significant Not significant Not significant significant significant
P-Value 0.5 0.5 0.385 0.265 0.372 0.5

PKS (Z) Score 1.608 -0.149 -0.149 -0.398 -0.179 2.339


(Z) Mean Neighbor -0.149 -0.042 -0.282 -0.164 0.473 -0.037
(Z) Ii -0.241 0.006 0.042 0.065 -0.085 -0.088
High/Low Not Not Not
Not significant significant Not significant Not significant significant significant
P-Value 0.5 0.5 0.5 0.463 0.5 0.5

Partai Test JABAR 7 JABAR 8 JABAR 9 JABAR 10 JABAR 11


Demokrat (Z) Score -0.525 -1.515 -1.457 -0.732 -0.506
(Z) Mean Neighbor 0.207 -1.09 -0.559 -1.159 -0.290
(Z) Ii -0.109 1.658 0.814 0.849 0.1470
High/Low Not
Not significant Low-low Low-low Low-low significant
P-Value 0.5 0.021 0.066 0.045 0.5

Golkar (Z) Score 0.718 2.429 -0.362 0.575 -0.343


(Z) Mean Neighbor -0.452 0.106 0.703 0.574 -0.007
(Z) Ii -0.325 0.259 -0.254 0.330 0.002
High/Low Not Not
Not significant significant Low-high Not significant significant
P-Value 0.5 0.274 0.06 0.45 0.495

PDIP (Z) Score -0.195 1.288 1.675 1.559 -1.026


(Z) Mean Neighbor 0.020 1.617 0.379 0.645 0.785
(Z) Ii -0.003 2.084 0.636 1.007 -0.806
High/Low Not
Not significant High-high Not significant High-high significant
P-Value 0.497 0.066 0.19 0.051 0.16

PKS (Z) Score 0.103 -0.944 -0.985 -0.455 -0.788


(Z) Mean Neighbor 0.174 -0.720 -0.446 -0.906 -0.435
(Z) Ii 0.018 0.680 0.440 0.412 0.343
High/Low Not
Not significant Low-low Not significant Low-low significant
P-Value 0.5 0.047 0.23 0.008 0.357
41

Lampiran 6. Hasil Penghitungan Sisa Kursi DKI Jakarta

Sisa Kursi
Sisa (PD) Sisa (PG) Sisa (PDIP) Sisa (PKS) (Gerindra) Sisa (PPP) sisa 1 2 3 4
0.173 0.390 0.562 0.144 0.308 0.276 3 PDIP GOLKAR GERINDRA
0.664 0.302 0.460 0.998 0.321 0.348 4 PKS Demokrat PDIP PPP
0.707 0.104 0.243 0.348 0.119 0.091 2 Demokrat PKS
0.452 0.224 0.575 0.622 0.222 0.154 3 PKS PDIP Demokrat
0.345 0.280 0.496 0.773 0.232 0.100 3 PKS PDIP Demokrat

Lampiran 7. Hasil Penghitungan Sisa Kursi Jawa Barat


42

Observasi Alokasi Kursi terdistribusi Sisa Kursi Demokrat Sisa Kursi Golkar Sisa Kursi PDIP Sisa Kursi PKS
Kota Bandung 6 2 0,366 0,550 0,619 0,997
Kota Cimahi 1 0 0,358 0,119 0,069 0,187
Kab. Bandung 7 4 0,136 0,028 1,019 0,745
Kab. Bandung Barat 3 0 0,746 0,439 0,559 0,309
Kab. Cianjur 6 1 0,541 0,867 0,873 0,489
Kota Bogor 3 1 0,090 0,276 0,297 0,467
Kab. Sukabumi 5 1 0,356 0,728 0,619 0,431
Kota Sukabumi 1 0 0,289 0,143 0,095 0,165
Kab. Bogor 9 4 0,681 0,231 1,104 0,939
Kota Bekasi 4 1 0,241 0,336 0,506 0,788
Kota Depok 3 0 0,933 0,260 0,237 0,588
Kab. Purwakarta 2 0 0,396 0,545 0,150 0,136
Kab. Karawang 4 0 0,907 0,650 0,708 0,349
Kab. Bekasi 4 0 0,859 0,534 0,488 0,646
Kab. Cirebon 5 1 0,935 0,498 1,245 0,423
Kab. Indramayu 4 1 0,337 0,594 0,635 0,239
Kota Cirebon 0
Kab. Majalengka 3 0 0,371 0,325 0,622 0,246
Kab. Sumedang 2 0 0,287 0,366 0,375 0,127
Kab. Subang 3 0 0,552 0,297 0,774 0,234
Kab. Ciamis 4 0 0,827 0,658 0,808 0,359
Kab. Kuningan 3 0 0,628 0,371 0,756 0,302
Kota Banjar 0 0
Kab. Garut 5 1 0,241 0,648 0,465 0,406
Kab. Tasikmalaya 4 0 0,700 0,575 0,433 0,300
Kota Tasikmalaya 1 0 0,232 0,086 0,113 0,103

Anda mungkin juga menyukai