DIRGA ARDIANSA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Spasial untuk Sebaran
Suara dan Perolehan Kursi Partai Politik pada Pemilu Legislatif 2009 di Wilayah
DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dirga Ardiansa
G152080204
ABSTRACT
DIRGA ARDIANSA. Analisis Spasial Untuk Sebaran Suara dan Perolehan Kursi
Partai Politik pada Pemilu Legislatif 2009 di Wilayah DKI Jakarta dan Jawa
Barat.
Dibimbing oleh ANIK DJURAIDAH dan UTAMI DYAH SYAFITRI
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS SPASIAL UNTUK SEBARAN SUARA DAN
PEROLEHAN KURSI PARTAI POLITIK PADA PEMILU
LEGISLATIF 2009
DI WILAYAH DKI JAKARTA DAN JAWA BARAT
DIRGA ARDIANSA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Statistika Terapan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. M. Nur Aidi, M.S.
Judul Tesis : Analisis Spasial untuk Sebaran Suara dan Perolehan Kursi Partai
Politik pada Pemilu Legislatif 2009 di Wilayah DKI Jakarta dan
Jawa Barat
Nama : Dirga Ardiansa
NIM : G152080204
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Dr. Ir. Anik Djuraidah, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia Nya
sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Terima Kasih penulis ucapkan
kepada Ibu Dr. Ir. Anik Djuraidah, MS dan Ibu Utami Dyah Syafitri, M.Si selaku
pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. M. Nur Aidi, MS yang telah memberikan saran
selaku penguji. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pimpinan
dan seluruh dosen Departemen Statisitika beserta para staf yang telah memberikan
sumbangsih ilmu yang mendukung penyelesaian studi di IPB. Ungkapan terima
kasih tentunya saya haturkan kepada ayah (alm), ibu, istri dan seluruh keluarga.
Semoga karya ini dapat memberikan manfaat.
Dirga Ardiansa
RIWAYAT HIDUP
PENDAHULUAN........................................................................... 1
Latar Belakang....................................................................... 1
Tujuan Penelitian.................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 3
Sistem Pemilu........................................................................ 3
Daerah Pemilihan (Dapil)...................................................... 3
Penghitungan Perolehan Kursi.............................................. 4
Asosiasi Spasial..................................................................... 4
Local Indicator of Spatial Association (LISA)............................. 5
Indeks Global Moran dan Indeks Local Moran........................... 6
Matriks Pembobot Spasial............................................................ 6
Pengujian Hipotesis ..................................................................... 8
Morans Scatterplot....................................................................... 8
Halaman
Halaman
1 Penggunaan Matrik Contiguity Dengan Langkah Ratu…………….. 7
Halaman
1 Hasil Penghitungan Kursi Partai di DKI Jakarta dan Jawa Barat……… 32
2 Local Indicators Spatial Association (LISA) Administrasi DKI............. 33
3 Local Indicators Spatial Association (LISA) Administrasi JABAR....... 34
4 Local Indicators Spatial Association (LISA) Daerah Pemilihan DKI.... 37
5 Local Indicators Spatial Association (LISA) Daerah Pemilihan JABAR 38
6 Hasil Penghitungan Sisa Kursi DKI Jakarta………………………........ 39
7 Hasil Penghitungan Sisa Kursi Jawa Barat…………………………….. 40
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemilu merupakan mekanisme sistematis dan berkesinambungan dalam
sistem politik Indonesia sebagai satu-satunya proses yang sah bagi partai politik
dalam meraih kekuasaan. Pemilu legislatif tahun 2009 adalah sebuah proses
memilih wakil rakyat yang akan duduk di 560 kursi parlemen RI untuk mewakili
seluruh rakyat Indonesia. Proses perebutan 560 kursi wakil rakyat tersebut
bukanlah proses yang sederhana karena dibutuhkan aturan dan mekanisme yang
cukup kompleks dalam regulasi pemilu. Selayaknya sebuah kompetisi tentunya
setiap kontestan memiliki strategi masing-masing untuk meraih suara dan kursi
yang maksimal. Hal ini mendorong partai untuk berhitung berdasarkan aspek
spasial dalam memetakan kekuatan dukungan masyarakat yang terdistribusi di
setiap kabupaten.
Dalam pelaksanan pemilu, perilaku masyarakat di berbagai wilayah sangat
beragam dan menghasilkan respon pilihan partai politik dominan yang berbeda-
beda. Hal tersebut mengindikasikan ada pengaruh spasial dalam pilihan politik
masyarakat disamping variabel atau faktor lain yang melekat pada individu.
Tingkat perolehan suara yang diperoleh partai politik di suatu kabupaten diduga
berpengaruh pula pada kabupaten lain. Selain itu, hal lain yang menarik adalah,
perubahan daerah pemilihan (penggabungan wilayah kabupaten) sebagai faktor
spasial besar kemungkinan menyebabkan akumulasi suara yang berbeda sehingga
berdampak pada perolehan kursi dan hasil pemilu.
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah faktor- faktor
yang berpengaruh terhadap sebaran suara dan perolehan jumlah kursi partai
politik pada pemilu legislatif 2009 dilihat dari 2 aspek. Aspek pertama, adalah
pengaruh pola spasial berupa hubungan yang bersifat asosiatif antar kabupaten.
Aspek ini dilihat dari data wilayah yang meliputi garis batas administrasi dalam
analisis kebertetanggaan. Aspek kedua, adalah pengaruh mekanisme dan aturan
teknis pemilu. Hal ini meliputi mekanisme pembagian daerah pemilihan dan
ketentuan alokasi kursi yang dilakukan. Sehingga penelitian ini akan berusaha
2
membuktikan adanya pengaruh dua aspek di atas dalam hasil perolehan suara dan
kursi partai politik pada pemilu legislatif 2009.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi asosiasi spasial dan
sebaran suara partai pemenang pada pemilu legislatif 2009 di wilayah DKI Jakarta
dan Jawa Barat; (2) Mengidentifikasi pengelompokan wilayah (clustering) bagi
partai berdasarkan nilai perolehan suara; (3) Mensimulasikan pengaruh perubahan
spasial (dapil) terhadap perolehan suara dan kursi partai.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Pemilu
Pelaksanaan pemilu di Indonesia mengadopsi sistem proporsional, yang
artinya sebuah negara akan dibagi menjadi beberapa daerah pemilihan (distrik),
dari setiap daerah pemilihan dipilih beberapa orang wakil yang akan
merepresentasikan rakyat sebagai anggota legislatif. Jumlah wakil di setiap daerah
pemilihan bergantung dari proporsi jumlah penduduknya. Secara ontologis tujuan
dari penerapan sistem proporsional menekankan pada aspek keterwakilan
berbagai lapisan kelompok, karena dari setiap daerah pemilihan tidak hanya
diwakili oleh satu orang terpilih saja (Reynolds, 2001). Oleh karena itu sistem
proporsional identik dengan karakter negara yang masyarakatnya heterogen.
Pemilu 2009 lalu merupakan pemilu dengan sistem proporsional. Proses
terdiri dari beberapa tahap yang diawali dengan menentukan angka kuota kursi,
angka tersebut berfungsi untuk menentukan alokasi dan distribusi kursi untuk tiap
propinsi. Angka ini diperolah dari total populasi penduduk Indonesia dibagi
dengan 560 (kursi DPR-RI). Secara lengkap proses alokasi kursi dijelaskan dalam
langkah-langkah berikut. Langkah pertama, adalah mendistribusikan 560 kursi
untuk tiap propinsi. Proporsi total jumlah penduduk suatu propinsi dibagi dengan
angka kuota kursi. Langkah kedua, adalah menentukan alokasi kursi untuk tiap
kabupaten/kotamadya dengan cara memproporsikan total penduduk
kabupaten/kotamadya dengan angka kuota kursi. Langkah ketiga adalah
membentuk daerah pemilihan (dapil), yang merupakan gabungan dari beberapa
kabupaten/kotamadya dalam suatu propinsi.
Daerah Pemilihan
Daerah Pemilihan (dapil) merupakan wilayah pertarungan partai
politik/calon legislatif dalam memperoleh suara yang bertujuan memenangkan
jatah kursi yang tersedia dalam daerah pemilihan tersebut. Dalam konteks pemilu
2009 di Indonesia, daerah pemilihan merupakan kabupaten/kota atau gabungan
beberapa kabupaten/kota. Berdasarkan UU, tiap daerah pemilihan (dapil) terdiri
antara 3-10 kursi. Jika suatu kabupaten/kotamadya memperoleh alokasi kursi
4
Asosiasi Spasial
Asosiasi spasial di beberapa literatur tidak dibedakan dengan sebutan
autokorelasi spasial, karena pada dasarnya secara definisi memang mengacu pada
pemaknaan yang sama yaitu terdapatnya suatu kemiripan objek di dalam suatu
ruang yang saling berhubungan. Hanya saja penggunaan asosiasi lebih
menekankan pada data yang bersifat kategorik sedangkan korelasi mengacu pada
hubungan data numerik. Pada kasus spasial, penggunaan istilah asosiasi mengacu
pada data berbasis area (polygon) dan memiliki hubungan yang bersifat
kebertetanggaan. Sedangkan istilah korelasi dalam konteks spasial, digunakan jika
5
data berbasis titik (point patern) dan memiliki hubungan yang mengacu pada
jarak. Tetapi dalam penelitian ini tidak akan dibedakan antara penggunaan istilah
asosiasi ataupun korelasi spasial, hal ini karena beragam literatur yang peneliti
gunakan. Lebih jauh Silk (1979) dalam bukunya menjelaskan tentang autokorelasi
berbasis pada data area ada yang bersifat positif dan negatif. Dikatakan positif,
jika dalam suatu daerah yang saling berdekatan mempunyai nilai yang mirip dan
bersifat menggerombol. Sedangkan dikatakan negatif, jika dalam suatu daerah
yang berdekatan nilainya berbeda dan tidak mirip.
Dengan merupakan fungsi dari dan , dan adalah nilai observasi dari
wilayah ke- , sedangkan adalah nilai observasi dari wilayah lain ke- dari
area . Ada beberapa asumsi dan metode yang dikombinasikan dalam LISA yaitu
penggunaan matriks contiguity sebagai pembobot spasial, penghitungan Indeks
Global dan Local Moran, Moran’s Scatterplot, serta penggunaan simulasi Monte
Carlo.
6
Patas = Pbawah =
merupakan jumlah simulasi untuk hasil statistik lebih besar dari hasil
observasi, merupakan jumlah simulasi untuk hasil statistik lebih kecil dari
hasil observasi, sementara merupakan total dari simulasi Monte Carlo
yang dilakukan. Sementara pengujian hipotesis dirumuskan sebagai berikut.
H0 : Tidak ada asosiasi antara nilai observasi pada lokasi dengan nilai observasi
pada area sekitar lokasi.
H1: Terdapat asosiasi dengan lokasi terdekat memiliki nilai yang mirip atau
berbeda (jauh), baik bernilai positif atau negatif.
I=
dengan, dan
adalah nilai hasil standarisasi dari peubah yang diamati pada lokasi ke- ,
Sedangkan adalah nilai hasil standarisasi dari peubah yang diamati pada lokasi
ke- dan lokasi lain ke – . Sementara merupakan nilai pengamatan pada lokasi
ke- , adalah nilai pengamatan pada lokasi lain ke – , adalah nilai rataan dari
variabel pengamatan, dan adalah ukuran pembobot antara wilayah ke- dan
wilayah ke- , serta merupakan nilai kolom ke- dan ke- .
≈ ;
adalah Indeks Moran, dengan adalah nilai statistik uji dari Indeks Moran.
Sementara merupakan nilai harapan dari Indeks Moran. adalah
simpangan baku dari Indeks Moran dan mengacu pada banyaknya area.
8
Morans Scatterplot
Morans Scatterplot menyediakan suatu analisis eksplorasi secara visual
untuk mendeteksi autokorelasi spasial (Anselin, 1995). Hasil yang ditampilkan
adalah data yang telah distandarisasikan dalam z-score, dan bukan menggunakan
data aslinya. Perolehan z-score ini merupakan beda nilai antara pengamatan
dengan nilai (rataan) harapan dari peubah. Standarisasi mengacu pada simpangan
baku z-score berdistribusi normal dan memiliki persamaan sebagai berikut.
z =
x
III (LL) II (HL)
LH HH
LL LH
b. Visualisasi Peta
Kuadran pertama, terletak di kanan atas yang disebut juga kuadran high-
high. Artinya memiliki autokorelasi positif, karena nilai pengamatan lokasi
tersebut tinggi dan dikelilingi oleh area sekitar yang juga tinggi. Pola visual yang
terbentuk adalah pola gerombol (cluster) antara area bernilai pengamatan tinggi
dan dilambangkan dengan warna merah tua. Kuadran kedua, terletak di kanan
bawah yang disebut kuadran high-low. Artinya memiliki autokorelasi negatif,
karena nilai pengamatan lokasi tersebut tinggi dan dikelilingi oleh area sekitar
yang memiliki nilai rendah. Pola visual yang terbentuk adalah pola outliers
dengan nilai pengamatan tinggi (hotspot) dilambangkan dengan warna merah
muda. Kuadran ketiga, terletak di kiri bawah yang disebut kuadran low-low.
Artinya memiliki autokorelasi positif, karena nilai pengamatan lokasi tersebut
rendah dan dikelilingi oleh area sekitar yang juga rendah. Pola visual yang
terbentuk adalah pola gerombol (cluster) antara area pengamatan yang rendah.
Dilambangkan dengan warna biru tua. Kuadran keempat, terletak di kiri atas yang
disebut kuadran low-high. Artinya memiliki autokorelasi negatif, karena nilai
pengamatan lokasi tersebut rendah dan dikelilingi oleh area yang tinggi.
Pengamatan nilai rendah (coldspot) yang dilambangkan dengan warna biru muda.
11
Bahan
Bahan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data yang digunakan
adalah data dari KPU dan Bakosurtanal. Terdapat dua jenis data yang didapat dari
KPU. Data pertama, merupakan data jumlah penduduk dan data jumlah pemilih
dari KPU. Data kedua, merupakan data hasil akhir rekapitulasi perolehan suara
pada pemilu legislatif 2009 di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sementara
data dari Bakosurtanal berupa peta digital batas wilayah administrasi DKI Jakarta
dan Jawa Barat.
Metode
Analisis bertujuan untuk membandingkan antara 2 pendekatan wilayah,
berdasarkan administratif dan daerah pemilihan. Metode analisis dilakukan
mengikuti beberapa tahapan.
1. Membuat dan menghitung matriks contiguity dan menetapkan pembobotan
berdasarkan langkah ratu untuk semua lokasi, dalam hal ini setiap
kabupaten/kota di DKI dan JABAR.
2. Melakukan standarisasi nilai pengamatan (z-score) sebagai dasar dalam
menghitung nilai indeks global dan local moran. Standarisasi dilakukan
terhadap peubah penjelas (x) yaitu perolehan suara 4 partai politik yaitu
Demokrat, Golkar, PDIP, dan PKS (dalam bentuk persentase). Dalam
analisis spasial jumlah pengamatan (n) adalah jumlah area/lokasi, dalam
hal ini seluruh kabupaten/kota di DKI Jakarta yang berjumlah 6 area dan
Jawa Barat yang berjumlah 26 area.
3. Mengidentifikasi asosiasi spasial menggunakan metode Indeks Moran
global berdasarkan nilai peubah yang sudah distandarisasi, baik
berdasarkan wilayah administrasinya maupun pembagian wilayah
berdasarkan dapil.
4. Analisis LISA dilakukan melalui penghitungan indeks local moran, moran
scatterplot dan penyajian peta tematik. Dalam mengolah data,
menggunakan metode Simulasi Monte Carlo yaitu suatu proses untuk
12
JABAR
Kota Bandung Jabar 1 6 1,122,625
Kota Cimahi Jabar 1 1 236,661
Kab. Bandung Jabar 2 7 1,429,955
Kab. Bandung Barat Jabar 2 3 680,609
Kab. Cianjur Jabar 3 6 871,345
Kota Bogor Jabar 3 3 413,808
Kab. Sukabumi Jabar 4 5 992,738
Kota Sukabumi Jabar 4 1 145,373
Kab. Bogor Jabar 5 9 1,857,028
Kota Bekasi Jabar 6 4 869,714
Kota Depok Jabar 6 3 671,778
Kab. Purwakarta Jabar 7 2 343,862
Kab. Karawang Jabar 7 4 922,385
Kab. Bekasi Jabar 7 4 885,253
Kab. Cirebon Jabar 8 5 879,675
Kab. Indramayu Jabar 8 4 759,418
Kota Cirebon Jabar 8 0 125,333
Kab. Majalengka Jabar 9 3 570,485
Kab. Sumedang Jabar 9 2 577,703
Kab. Subang Jabar 9 3 705,315
Kab. Ciamis Jabar 10 4 824,607
Kab. Kuningan Jabar 10 3 477,144
Kota Banjar Jabar 10 0 90,798
Kab. Garut Jabar 11 5 1,065,195
Kab. Tasikmalaya Jabar 11 4 824,224
Kota Tasikmalaya Jabar 11 1 308,573
Total 91 18,651,604
14
Indeks Moran
Hasil pengujian asosiasi spasial global terhadap wilayah DKI Jakarta
menggunakan Indeks Moran dibagi atas dua wilayah, yaitu berdasarkan daerah
administrasi dan daerah pemilihan. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Partai Demokrat
z mean neighbor
- 0
(1,00) - 1,00 -1,5 -0,5 0,5 1,5
(1,00) -1
Pada plot yang ditunjukkan pada Gambar 3a menunjukkan pola titik yang
berada pada satu kuadran yang sama. Dalam konteks LISA yang berbasis pada
area lokal maka level signifikansi diukur pada masing-masing titik pada plot
maupun area pada peta. Titik dan area pada Gambar 3a dan Gambar 3c
17
Partai Golkar
1 1
z mean neighbor
z mean neighbor
0,5 0,5
0 0
-1 0 1 -2 -1 0 1 2
-0,5 -0,5
-1 -1
pola spasial, yang artinya sebaran suara partai Golkar di seluruh wilayah
kabupaten/kotamadya merata. Sedangkan berdasarkan pembagian daerah
pemilihan tampak di tiga wilayah daerah pemilihan adanya asosiasi spasial.
Terlihat pada Gambar 4d, dengan konfigurasi 2 dapil berada pada kategori high
(warna Merah) yaitu DKI 1 (Jakarta Timur) dan DKI 3 (Jakarta Barat, Utara, Kep.
Seribu) Sementara itu satu wilayah teridentifikasi sebagai low yaitu wilayah DKI
2 (Jakarta Pusat dan Selatan). DKI 2 merupakan outliers/coldspot, karena nilai
pengamatannya rendah dibanding wilayah lainnya dan berbeda signifikan.
1 1
z mean neighbor
z mean neighbor
0,5 0,5
0 0
-1,0 0,0 1,0 2,0 -2 -1 0 1 2
-0,5 -0,5
-1 -1
0,8 0,8
0,6
z mean neighbor
0,6
z mean neighbor
0,4
0,4 0,2
0,2 0
-2 -1 -0,2 0 1
0
-0,4
-1 -0,2 0 1 2
-0,6
Pada kategori wilayah administratif plot dan peta tematik titik dan area
berwarna abu-abu menunjukkan tidak signifikan, sedangkan warna biru muda
menunjukkan nilai signifikan. Berdasarkan keberadaan titik itu di kuadran 4 maka
dikategorikan sebagai low-high yang artinya wilayah titik tersebut (Jakarta Pusat)
20
Indeks Moran
Penghitungan Indeks Moran secara global menunjukkan hasil berdasarkan
dua pendekatan, administratif dan daerah pemilihan selengkapnya ada di Tabel 4.
Tabel 4. Global Spatial Association (Indeks Moran) JABAR
Wilayah Partai Politik Moran’s I P-Value
(global)
pola asosiasi spasial antar wilayah daerah pemilihan (dapil). Sedangkan untuk 2
partai lain yaitu Partai Golkar dan PKS tidak teridentifikasi memiliki pola asosiasi
spasial.
kedua berupa outliers, ketika suatu wilayah terdeteksi memiliki nilai pengamatan
rata-rata yang berbeda baik lebih kecil (warna biru muda) atau lebih besar (warna
merah muda). Kedua hal ini dapat dideteksi dengan lebih jelas dengan bantuan
visualisasi plot dan peta.
Partai Demokrat
Tampak pada daerah timur yang berbatasan dengan wilayah Jawa Tengah
terjadi penggerombolan (clustering) antara 6 kabupaten/kotamadya yaitu Kab.
Subang, Kab. Indramayu, Kab. Cirebon, Kab. Majalengka, Kab. Kuningan, dan
Kab. Ciamis (Gambar 7c) Proses ini dideteksi dari nilai signifikansi pengujian,
yang secara lebih mudah dilihat berdasarkan kesamaan warna kategori legenda
peta. Warna biru yang tedapat di 6 kabupaten/kotamadya mengindikasikan low-
low, yang artinya wilayah tersebut berkorelasi secara positif membentuk cluster
dengan nilai observasi yang dibawah rata-rata dibanding wilayah lain.
Sementara pada wilayah Kota Bandung dan Kota Cimahi terjadi proses
penggerombolan yang bersifat sebaliknya dari 6 wilayah yang disebutkan
sebelumnya. Kategori kedua wilayah perkotaan tersebut teridentifikasi sebagai
kategori high-high (Gambar 7a dan 7c), yang artinya wilayah tersebut berkorelasi
positif membentuk cluster dengan nilai observasi yang tinggi di atas rata-rata
wilayah lain.
Proses penggabungan wilayah adminstrasi menjadi daerah pemilihan
(Gambar 7d) tidak mempengaruhi kategori yang dilabelkan pada beberapa
wilayah suara Demokrat di Jawa Barat. Pada wilayah timur Jawa Barat yang
berbatasan dengan Jawa Tengah yaitu Jabar 8, Jabar 9 (Kab. Majalengka, Kab.
Sumedang, Kab. Subang) dan Jabar 10 (Kab. Ciamis, Kab. Kuningan, Kota
Banjar) penggerombolan wilayah tetap teridentifikasi sebagai low clustering. Hal
ini sejalan dengan analisis berdasarkan daerah administrasi, low clustering
23
teridentifikasi pada wilayah Kab. Subang, Kab. Indramayu, Kab. Cirebon, Kab.
Majalengka, Kab. Kuningan, Kab. Ciamis. Sehingga proses penggabungan
wilayah yang mengelompokkan beberapa wilayah berkategori low tidak
mengubah secara signifikan pola spasial perolehan suara Demokrat.
Administrasi Daerah Pemilihan
1,5 1
1
z mean neighbor
z mean neighbor
0,5
0,5
0
0
-2,0 -0,5 0,0 2,0 4,0
-4 -2 -0,5 0 2 4
-1 -1
-1,5 -1,5
Partai Golkar
Pada kasus Partai Golkar berdasarkan wilayah administratif (Gambar 8.c)
secara umum tidak terdeteksi asosiasi spasial yang terjadi di wilayah Jawa Barat.
Sehingga perolehan suara Partai Golkar di Jawa Barat relatif merata. Hanya saja
ada satu hal yang sangat menarik, bahwa terdapat satu kabupaten yang ternyata
nilai pengamatannya terdeteksi sebagai outliers yang bersifat rendah. Artinya
pada wilayah tersebut merupakan titik terlemah Golkar dibandingkan wilayah
24
lain. Warna biru muda, mengindikasikan low-high yang artinya wilayah tersebut
rendah dibandingkan wilayah disekitarnya. Wilayah tersebut adalah kabupaten
Subang. Sedangkan penggabungan wilayah administrasi menjadi daerah
pemilihan, pada kasus Partai Golkar, memunculkan fenomena yang menarik
(Gambar 8.d). Pada analisis berdasarkan wilayah administrasi terhadap suara
partai Golkar teridentifikasi adanya outliers pada Kabupaten Subang. Sementara
pada proses penggabungan menjadi daerah pemilihan (dapil) Kabupaten Subang
bergabung dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Sumedang membentuk
dapil Jabar 9. Kemudian ketika analisis dilakukan, output pada peta tampak Jabar
9 terdidentifikasi tetap sebagai outliers low (coldspot). Sehingga tampak
Kabupaten Subang pada dapil Jabar 9 teridentifikasi sebagai coldspot.
Administrasi Daerah Pemilihan
z mean neighbor
1
z mean neighbor
0,5
0,5
0
0
-2,0 0,0 2,0 4,0
-2 -0,5 0 2 4 -0,5
-1 -1
z mean neighbor
1,5
z mean neighbor
1
1
0,5
0,5
0
0
-2,0 -0,5 0,0 2,0
-2 -0,5 0 2 4
-1 -1
Fenomena yang terjadi pada PDIP sangat menarik (Gambar 9c), karena
jika dibandingkan dengan pola yang terjadi pada Partai Demokrat tampak
berkebalikan meskipun tidak beririsan secara persis. Pada wilayah
kabupaten/kotamadya yang berbatasan dengan wilayah Jawa Tengah terjadi
proses penggerombolan wilayah (clustering) yang melibatkan 3
kabupaten/kotamadya yaitu Kab. Indramayu, Kab. Majalengka, Kab. Cirebon, dan
Kab. Kuningan. Proses penggerombolan antar wilayah terbentuk karena korelasi
yang bersifat positif antar keempat kebupaten tersebut. Label high-high yang
diberikan untuk wilayah berwarna merah mengindikasikan bahwa wilayah-
26
wilayah tersebut memiliki nilai pengamatan yang tinggi dibanding wilayah lain
disekitar cluster yang terbentuk. PDIP di wilayah Jawa Barat tampak kekuatan
konstituennya lebih condong pada wilayah timur Jawa Barat. Untuk kasus
penggabungan wilayah (Gambar 9d) PDIP menghasilkan pola spasial yang
menarik, terutama pada wilayah Jabar 10 (Kab. Ciamis, Kab. Kuningan, Kota
Banjar) yang teridentifikasi sebagai high clustering yang artinya bahwa
Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Banjar yang secara parsial sebelumnya tidak
teridentifikasi sebagai high, kini bergabung dengan Kabupaten Kuningan
(sebelumnya teridentifikasi high) membentuk high cluster pada dapil Jabar 10.
Sementara pada wilayah Jabar 8 (Kab. Cirebon, Kab. Indramayu, Kota Cirebon)
sebelumnya Kota Cirebon secara parsial tidak teridentifikasi sebagai high, kini
bergabung dalam cluster high pada dapil Jabar 8. Untuk Majalengka yang
sebelumnya teridentifikasi high, pada analisis berdasarkan wilayah, setelah
bergabung dalam dapil Jabar 9 (Kab. Majalengka, Kab. Sumedang, Kab. Subang)
tidak lagi teridentifikasi high dalam analisis berdasarkan daerah pemilihan.
2 1
z mean neighbor
z mean neighbor
0,5
1
0
0 -2,0 -0,5 0,0 2,0 4,0
-2 0 2 4
-1 -1
DKI Jakarta
Pemilu legislatif di Wilayah DKI Jakarta berdasarkan Pasal 22 UU No.10
Tahun 2008 diputuskan untuk dibagi menjadi 3 daerah pemilihan. Analisis di
bawah akan memperlihatkan perbandingan skema hasil pemilu berdasarkan
wilayah administratif maupun penggabungan wilayah.
hasil pemilu, terutama perolehan kursi yang mampu diakumulasi oleh partai
politik.
Jawa Barat
Menurut Pasal 22 UU No.10 Tahun 2008, daerah pemilihan anggota DPR adalah
provinsi atau bagian provinsi. Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR
paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi. Ketetapan
alokasi kursi dan pembagian daerah pemilihan terdapat pada UU Pemilu No.10
Tahun 2008 menetapkan Jawa Barat terbagi menjadi 11 daerah pemilihan.
Total
Suara 18,651,604 91 Kursi 91 Kursi
38 Partai
30
Kesimpulan
Sebaran suara partai politik dalam proses pemilu memiliki karakteristik
yang unik, karena bergantung pada aspek spasialnya. Melalui analisis LISA yang
bertujuan mengidentifikasi asosiasi antar kabupaten, dihasilkan output berbeda
antara wilayah administratif dengan daerah pemilihan. Berdasarkan wilayah
administratifnya, di DKI Jakarta tidak terdapat asosiasi spasial dari perolehan
suara keempat partai politik (Demokrat, Golkar, PDIP, dan PKS). Satu-satunya
hal menarik adalah teridentifikasinya coldspot dari sebaran suara PKS di wilayah
Jakarta Pusat, yang artinya wilayah tersebut merupakan titik lemah PKS di
wilayah DKI. Sementara pada penggabungan wilayah administratif menjadi 3
daerah pemilihan, terbentuk asosiasi spasial yang terjadi pada keempat partai
politik di seluruh dapil. Pada daerah pemilihan di DKI, asosiasi spasial
membentuk pola hubungan yang bersifat negatif dan berlaku bagi keempat partai
politik. Hanya saja konfigurasi dapil yang ada pada ketegori high dan low berbeda
pada setiap partai politik.
Pada propinsi Jawa Barat berdasarkan wilayah administratif, asosiasi
spasial terjadi pada sebaran suara partai Demokrat, PDIP, dan PKS. Sementara
Golkar relatif tidak terjadi asosiasi spasial. Artinya sebaran suara Golkar merata
di seluruh kabupaten, hanya saja untuk wilayah Kabupaten Subang teridentifikasi
sebagai coldspot. Sedangkan pada analisis berdasarkan daerah pemilihan, terdapat
pola asosiasi spasial pada sebaran suara partai Demokrat, PDIP dan PKS. Pada
wilayah Jawa Barat penggerombolan terjadi pada wilayah yang berbatasan dengan
Jawa Tengah. Untuk partai Demokrat dan PKS wilayah yang berbatasan dengan
Jawa Tengah ada pada kategori low, sementara bagi PDIP ada pada kategori high.
Perubahan spasial dalam bentuk penggabungan wilayah administratif
berpengaruh terhadap pola asosiasi yang terbentuk di Jawa Barat sama halnya
dengan yang terjadi di DKI Jakarta. Hal ini disebabkan sifat akumulasi nilai
pengamatan membuat sebaran suara berubah dari tersebar menjadi menggerombol
dan sebaliknya. Dampaknya secara politik terjadi perbedaan hasil pemilu
mengacu pada perolehan kursi partai politik.
32
Saran
Mendorong dilakukannya studi lanjutan yang lebih komprehensif, untuk
mendeteksi faktor determinan yang menentukan pilihan politik masyarakat selain
aspek spasial. Salah satunya dengan studi regresi spasial untuk membentuk
pemodelan serta mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi sebaran suara
partai politik.
33
Daftar Pustaka
Lampiran 1. Hasil Penghitungan Kursi Partai di DKI Jakarta dan Jawa Barat
Suara Suara Suara
Observasi Dapil Sah Kursi BPP PD % Kursi PD Suara PG % Kursi PG Suara PDIP % Kursi PDIP PKS % Kursi PKS
Jakarta Timur DKI 1 1.124.602 6 187433,6667 407.344 36,22 2,173 73.181 6,51 0,390 105.439 9,38 0,563 214541 19,08 1,14462361
Jakarta Selatan DKI 2 824.435 5 164887 274.529 33,30 1,665 49.925 6,06 0,303 75.991 9,22 0,461 164574 19,96 0,99810173
Jakarta Pusat DKI 2 411.006 2 205503 145.495 35,40 0,708 21.463 5,22 0,104 50.029 12,17 0,243 71665 17,44 0,3487297
Jakarta Barat DKI 3 786.819 4 196704,75 285.640 36,30 1,452 44.252 5,62 0,225 113.178 14,38 0,575 122544 15,57 0,62298445
Jakarta Utara DKI 3 630.654 4 157663,5 212.101 33,63 1,345 44.179 7,01 0,280 78.292 12,41 0,497 121933 19,33 0,77337494
Kep. Seribu DKI 3 10.553 0 1.785 16,91 2.260 21,42 945 8,95 1449 13,73
Kota Bandung Jabar 1 1.122.625 6 187104,1667 442.769 39,44 2,366 103.006 9,18 0,551 115.778 10,31 0,619 186596 16,62 0,99728404
Kota Cimahi Jabar 1 236.661 1 236661 84.855 35,86 0,359 28.362 11,98 0,120 16.426 6,94 0,069 44310 18,72 0,18722984
Kab. Bandung Jabar 2 1.429.955 7 204279,2857 436.420 30,52 2,136 210.080 14,69 1,028 208.128 14,55 1,019 152208 10,64 0,74509757
Kab. Bandung Barat Jabar 2 680.609 3 226869,6667 169.282 24,87 0,746 99.806 14,66 0,440 126.877 18,64 0,559 70153 10,31 0,30922159
Kab. Cianjur Jabar 3 871.345 6 145224,1667 223.892 25,69 1,542 125.964 14,46 0,867 126.756 14,55 0,873 71046 8,15 0,4892161
Kota Bogor Jabar 3 413.808 3 137936 150.358 36,34 1,090 38.134 9,22 0,276 41.024 9,91 0,297 64358 15,55 0,4665787
Kab. Sukabumi Jabar 4 992.738 5 198547,6 269.380 27,14 1,357 144.662 14,57 0,729 122.955 12,39 0,619 85574 8,62 0,43099992
Kota Sukabumi Jabar 4 145.373 1 145373 42.044 28,92 0,289 20.890 14,37 0,144 13.775 9,48 0,095 23915 16,45 0,16450785
Kab. Bogor Jabar 5 1.857.028 9 206336,4444 553.302 29,80 2,682 254.193 13,69 1,232 227.866 12,27 1,104 193649 10,43 0,93851089
Kota Bekasi Jabar 6 869.714 4 217428,5 269.862 31,03 1,241 73.240 8,42 0,337 109.922 12,64 0,506 171341 19,70 0,78803377
Kota Depok Jabar 6 671.778 3 223926 208.964 31,11 0,933 58.323 8,68 0,260 52.980 7,89 0,237 131636 19,60 0,58785492
Kab. Purwakarta Jabar 7 343.862 2 171931 68.245 19,85 0,397 93.849 27,29 0,546 25.746 7,49 0,150 23308 6,78 0,13556601
Kab. Karawang Jabar 7 922.385 4 230596,25 209.263 22,69 0,907 150.021 16,26 0,651 163.371 17,71 0,708 80493 8,73 0,34906465
Kab. Bekasi Jabar 7 885.253 4 221313,25 190.200 21,49 0,859 118.377 13,37 0,535 108.098 12,21 0,488 142921 16,14 0,64578601
Kab. Cirebon Jabar 8 879.675 5 175935 164.567 18,71 0,935 87.769 9,98 0,499 218.977 24,89 1,245 74429 8,46 0,42304828
Kab. Indramayu Jabar 8 759.418 4 189854,5 64.018 8,43 0,337 302.778 39,87 1,595 120.501 15,87 0,635 45426 5,98 0,23926744
Kota Cirebon Jabar 8 125.333 0 34.526 27,55 18.255 14,57 19.464 15,53 14670 11,70
Kab. Majalengka Jabar 9 570.485 3 190161,6667 70.730 12,40 0,372 61.890 10,85 0,325 118.272 20,73 0,622 46831 8,21 0,2462694
Kab. Sumedang Jabar 9 577.703 2 288851,5 83.097 14,38 0,288 105.991 18,35 0,367 108.337 18,75 0,375 36818 6,37 0,12746342
Kab. Subang Jabar 9 705.315 3 235105 129.990 18,43 0,553 70.005 9,93 0,298 182.048 25,81 0,774 54933 7,79 0,23365305
Kab. Ciamis Jabar 10 824.607 4 206151,75 170.575 20,69 0,827 135.809 16,47 0,659 166.598 20,20 0,808 74054 8,98 0,35922082
Kab. Kuningan Jabar 10 477.144 3 159048 100.034 20,97 0,629 59.163 12,40 0,372 120.228 25,20 0,756 47998 10,06 0,30178311
Kota Banjar Jabar 10 90.798 0 12.217 13,46 32.022 35,27 13.003 14,32 9049 9,97
Kab. Garut Jabar 11 1.065.195 5 213039 264.577 24,84 1,242 138.227 12,98 0,649 99.080 9,30 0,465 86462 8,12 0,40585057
Kab. Tasikmalaya Jabar 11 824.224 4 206056 144.249 17,50 0,700 118.522 14,38 0,575 89.278 10,83 0,433 61820 7,50 0,30001553
Kota Tasikmalaya Jabar 11 308.573 1 308573 71.859 23,29 0,233 26.684 8,65 0,086 34.817 11,28 0,113 31752 10,29 0,10289948
Lampiran 3. Lanjutan
Partai Test KOTA KOTA KOTA KOTA KOTA
KOTA BEKASI BOGOR CIMAHI CIREBON DEPOK SUKABUMI
Demokrat (Z) Score 0.922 1.625 1.561 0.462 0.933 0.643
(Z) Mean Neighbor 0.451 0.760 0.999 -0.706 0.841 0.408
(Z) Ii 0.416 1.235 1.560 -0.326 0.785 0.262
High/Low Not Not Not Not Not
significant significant High-high significant significant significant
P-Value 0.211 0.231 0.088 0.259 0.214 0.38
Lampiran 3. Lanjutan
Partai Test SUMEDANG TASIKMALAYA
Demokrat (Z) Score -1.279 -0.866
(Z) Mean Neighbor -0.593 -0.652
(Z) Ii 0.758 0.565
High/Low Not Not
significant significant
P-Value 0.12 0.129
Sisa Kursi
Sisa (PD) Sisa (PG) Sisa (PDIP) Sisa (PKS) (Gerindra) Sisa (PPP) sisa 1 2 3 4
0.173 0.390 0.562 0.144 0.308 0.276 3 PDIP GOLKAR GERINDRA
0.664 0.302 0.460 0.998 0.321 0.348 4 PKS Demokrat PDIP PPP
0.707 0.104 0.243 0.348 0.119 0.091 2 Demokrat PKS
0.452 0.224 0.575 0.622 0.222 0.154 3 PKS PDIP Demokrat
0.345 0.280 0.496 0.773 0.232 0.100 3 PKS PDIP Demokrat
Observasi Alokasi Kursi terdistribusi Sisa Kursi Demokrat Sisa Kursi Golkar Sisa Kursi PDIP Sisa Kursi PKS
Kota Bandung 6 2 0,366 0,550 0,619 0,997
Kota Cimahi 1 0 0,358 0,119 0,069 0,187
Kab. Bandung 7 4 0,136 0,028 1,019 0,745
Kab. Bandung Barat 3 0 0,746 0,439 0,559 0,309
Kab. Cianjur 6 1 0,541 0,867 0,873 0,489
Kota Bogor 3 1 0,090 0,276 0,297 0,467
Kab. Sukabumi 5 1 0,356 0,728 0,619 0,431
Kota Sukabumi 1 0 0,289 0,143 0,095 0,165
Kab. Bogor 9 4 0,681 0,231 1,104 0,939
Kota Bekasi 4 1 0,241 0,336 0,506 0,788
Kota Depok 3 0 0,933 0,260 0,237 0,588
Kab. Purwakarta 2 0 0,396 0,545 0,150 0,136
Kab. Karawang 4 0 0,907 0,650 0,708 0,349
Kab. Bekasi 4 0 0,859 0,534 0,488 0,646
Kab. Cirebon 5 1 0,935 0,498 1,245 0,423
Kab. Indramayu 4 1 0,337 0,594 0,635 0,239
Kota Cirebon 0
Kab. Majalengka 3 0 0,371 0,325 0,622 0,246
Kab. Sumedang 2 0 0,287 0,366 0,375 0,127
Kab. Subang 3 0 0,552 0,297 0,774 0,234
Kab. Ciamis 4 0 0,827 0,658 0,808 0,359
Kab. Kuningan 3 0 0,628 0,371 0,756 0,302
Kota Banjar 0 0
Kab. Garut 5 1 0,241 0,648 0,465 0,406
Kab. Tasikmalaya 4 0 0,700 0,575 0,433 0,300
Kota Tasikmalaya 1 0 0,232 0,086 0,113 0,103