Anda di halaman 1dari 13

Anggota Kelompok 3 PGSD 4A:

Benedicta Elvirra Dheylamasta (18108241091)


Danty Annastasya (18108244025)
Dika Afianti (18108241015)
Isnaini Nur Auliannisa (18108241110)
Rakha Yasin Ardyan (18108241075)

KONSEP DASAR PENELITIAN KUALITATIF

A. Pengertian Penelitian Kualitatif


Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada
filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,
(sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci,
pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik
pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan
hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2013:
15). Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data terdalam. Data yang pasti
mengandung makna dan merupakan suatu nilai di balik data yang tampak.
Definisi yang lebih komprehensif diberikan oleh Lichtman (2013:7), sebagai
berikut: Qualitative research is a general term. It is a way of knowing in which a researcher
gathers, organizes, and interprets information obtained from humans using his or her eyes
and ears as filters. It often involves in-depth interviews and/or observations of humans in
natural, online, or social settings. It can be contrasted with quantitative research, which
relies heavily on hypothesis testing, cause and effect, and statistical analyses.
Diterjemahkan secara bebas, dapat diartikan bahwa penelitian kualitatif merupakan
suatu istilah yang umum (generik), yang mengandung pengertian bahwa itu (penelitian
kualitatif) adalah suatu cara untuk mengetahui (sesuatu) di mana seorang peneliti
mengumpulkan, mengorganisasikan, dan menginterpretasi informasi yang diperoleh dari
manusia dengan menggunakan mata atau telinga sebagai penyaring. Seringkali penelitian
itu melibatkan wawancara-wawancara mendalam dan/atau observasi-observasi terhadap
manusia dalam situasi (setting) yang alamiah, online, atau sosial. Itu dapat dikontraskan
dengan penelitian kuantitatif, yang mengandalkan secara kuat pada pengetesan hipotesis,
sebab dan akibat, dan analisis-analisis statistik.
Penelitian kualiatif merupakan prosedur pengambilan data yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis dari fenomena dan perilaku tertentu. Suatu pendekatan
penelitian yang diarahkan pada latar dan individu secara alami dan holistik (utuh) sehingga
tidak ‘mengisolasi’ individu atau organisasi kedalam sebuah variabel/ hipotesis.
Pengumpulan data pada suatu latar ilmiah, dan dilakukan oleh peneliti yang tertarik
mengumpulkan data secara alamiah. Penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka
serta dilengkapi dengan pengamatan yang mendalam untuk memahami sikap, pandangan,
perasaan, dan perilkau seseorang atau sekelompok orang tentang suatu hal atau kasus
tertentu. Pengumpulan data pada suatu latar ilmiah dengan pendekatan yang ada, untuk
mencari pemahaman tentang sebuah fenomena dalam suatu latar yang memiliki konteks
khusus. Penelitian yang menghasilkan data yang tidak menggunakan prosedur analisis
statistik ataupun prosedur kuantifikasi lainnya untuk mengolah hasil temuannya. Penelitian
yang memungkinkan peneliti menemukan fakta baru yang tidak terpikirkan sebelumnya
(finding another fact). Penelitian yang bertujuan memahami sebuah fenomena secara apa
adanya (khususnya dari prespektif subjek) yang di deskripsikan delam bentuk kata dan
kalimat pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai
pendekatan yang terdapat di dalamnya.
Menurut Moleong (2010: 6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dipahami oleh subyek penelitian, misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memamfaatkan berbagai metode ilmiah.

Sedangkan defiinisi pendekatan kualitatif menurut Sugiyono (2011: 9) bahwa:


Metode penelitian kualitatif adalah metode yang berdasarka pada filsafat
postpositivisme, sedangkan untuk meneliti pada objek alamiah, dimana peneliti
adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara
triangulasi (gabungan). Analisis data bersifat induktif atau kualitatif, dan hasil
penelitian lebih menekankan makna daripada generalisasi.

Berdasarkan dua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan kualitatif


adalah pendekatan yang dilakukan secara utuh kepada subjek penelitian dimana terdapat
sebuah peristiwa dimana peneliti menjadi instrumen kunci dalam penelitian, kemudian
hasil pendekatan tersebut diuraikan dalam bentuk kata-kata yang tertulis data empiris yang
telah diperoleh dan dalam pendekatan ini pun lebih menekankan makna daripada
generalisasi.

Danial dan Nanan (2009: 60) mengemukakan pendekatan kualitatif bahwa:


Pendekatan kualitatif berdasarkan penomenologis menuntut pendekatan yang
holistik, artinya menyeluruh, mendudukkan suatu kajuan dalam suatu konstruksi
ganda. Melihat suatu objek dalam suatu konteks ‘natural’ alamiah apa adanya bukan
parsial.
Menurut Nasution (2003: 5) bahwa “Penelitian kualitatif pada hakikatnya ialah
mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha
memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya”.
Adanya dua definisi di atas menjelaskan bahwa pendekatan kualitatif yaitu
pendekatan yang dilakukan dalam suatu objek alamiah atau natural, melihat objek
penelitian itu senatural mungkin, apa adanya dan menyeluruh.

Nasution (2003: 18) mengemukakan bahwa:


Penelitian kualitatif disebut juga penelitian naturalistik. Disebut kualitatif
karena sifat data yang dikumpulkan bercorak kualitatif, bukan kuantitatif, karena
tidak menggunakan alat-alat pengukur. Disebut naturalistik karena situasi lapangan
penelitian bersifat “natural” atau wajar sebagaimana adanya, tanpa dimanipulasi,
diatur dengan eksperimen atau test.

Pendapat Nasution di atas menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan dengan


pendekatan kualitatif tidak menggunakan alat-alaat pengukur. Selain itu, situasi penelitian
bersifat natural dalam artian tidak ada manipulasi di dalamnya. Untuk mendapatkan hasil
penelitian digunakan tes berupa instrumen penelitian.
Menurut Creswell (2010: 4), penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk
mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok
orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.
Creswell (2010: 20) menerangkan bahwa metodologi kualitatif dapat dilakukan
dengan berbagai pendekatan antara lain: penelitian partisipatoris, analisis wacana,
etnografi, grounded theory, studi kasus, fenomenologi, dan naratif.
Menurut Kirk dan Miller (1986: 15), penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada
manusia, baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang lebih mengutamakan pada masalah


proses dan makna/ presepsi, di mana penelitian ini diharapkan dapat mengungkap berbagai
informasi kualitatif dengan deskripsi-analisis yang teliti dan penuh makna, yang juga tidak
menolak informasi kuantitatif dalam bentuk angka maupun jumlah. Pada tiap-tiap obyek
akan dilihat kecenderungan, pola pikir, ketidakteraturan, serta tampilan perilaku dan
integrasinya sebagaimana dalam studi kasus genetik (Muhadjir, 1996: 243).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian


kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang dilakukan untuk mengungkap gejala secara
holistik-kontekstual yang menghasilkan data deskriptif pada suatu konteks khusus dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah dan bergantung pada pengamatan.

B. Karakteristik Penelitian Kualitatif


1. Natural Setting (kondisi seperti apa adanya)
Pada topik riset kualitatif diarahkan pada kondisi asli subjek penelitian
berada. Kondisi subjek sama sekali tidak dijamah oleh perlakuan (treatment) yang
dikendalikan oleh peneliti seperti halnya di dalam penelitian eksperimental. Peneliti
menjelajahi kancah dan menghabiskan waktunya dalam mengumpulkan data secara
langsung. Penelitian ini cenderung mengarahkan kajiannya pada perilaku manusia
sehari-hari dalam keadaanya yang rutin secara apa adanya (Van Maanen, 1984).
Kondisi subjek berjalan alami tanpa adanya keterlibatan atau pun keterlibatan aktif
peneliti di lapangan.
2. Permasalahan Masa Kini
Penelitian kualitatif mengarahkan kegiatannya secara dekat pada masalah
kekinian (current event). Kepentingan pokoknya diletakkan pada peristiwa nyata
dalam dunia aslinya, bukan sekedar pada laporan yang ada Subjek peristiwa yang
diteliti adalah subjek masa kini dan bukan subjek masa lampau seperti dalam
kebanyakan riset historis (Yin, 1987).
3. Memusatkan pada Deskripsi
Penelitian kualitatif melibatkan kegiatan ontologis. Data yang dikumpulkan
berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih daripada sekedar
angka atau frekuensi. Peneliti menekankan catatan yang menggambarkna situasi
sebenarnya guna mendukung penyajian data. Jadi dalam mencari pemahaman riset
kualitataif tidak memotong halaman ceritera dan data lainnya dengan symbol-
simbol angka. Peneliti mencoba menganalisis data dengan semua kekayaan
wataknya yang penuh nuansa, sedekat mungkin dengan bentuk aslinya seperti pada
waktu dicatat. Tidak seperti halnya riset kuantitatif yang menggunakan bahasa
proposisi yang bersifat “de facto” (Eisner, 1983), yang cenderung meruapakan
reduksi kualitas dan realitas yang penting diketahui. Bahasa proposisi adalah suatu
“gross indicator” atas kualitas yang tidak mampu menangkap beragam nuansa
perbedaan. Padahal dalam hubungan antar manusia, nuansa adalah segala-galanya.
Sifat kualitatif lebih cocok untuk menghadapi realitas yang jamak, multiprespektif.
Sifat penelitian semacam ini mampu memperlihatkan secara langsung hubungan
transaksi antara peneliti dengan yang diteliti yang memudahkan pencarian
kedalaman makna. Sifat semacam ini lebih peka dan dapat disesuaikan dengan
pengkajian bentuk pengaruh dan pola nilai-nilai yang mungkin dihadapi peneliti
(Sutopo, 1996).
4. Peneliti sebagai Alat Utama Riset (Human Instrument)
Walaupun berbagai alat pengumpulan data yang biasa kita kenal ada
dimungkinkan untuk digunakan, namun alat penelitian utamanya adalah
penelitinya sendiri. Penggunaan instrument yang kaku seperti halnya di dalam
penelitian kuantitatif sangat menyulitkan bagi terjadinya kelenturan sikap
penelitian kualitatif yang selalu siap terbuka dan menyesuaikan diri dengan kondisi
yang baru dan mungkin berubah setiap waktu dengan beragam realitas yang juga
mungkin dijumpai. Perlu ada keyakinan bahwa hanya manusia yang mampu
menggapai dan menilai makna dari berbagai interaksi (Sutopo, 1996).
5. Purposive Sampling
Penelitian kualitatif tidak memilih sampling (cuplikan) yang bersifat acak
(random sampling). Teknik cuplikannya cenderung bersifat “purposive” karena
dipandang lebih mampu menangkap kedalaman data di dalam menghadapi realitas
yang tidak tunggal. Cuplikan ini memberikan kesempatan maksimal pada
kemampuan peneliti untuk menyusun teori yang dibentuk dari lapangan (grounded
theory) dengan sangat memperhatikan kondisi lokal dengan kekhususan nilai-
nilainya (idiografis). Teknik cuplikan di dalam riset kualitatif sering juga
dinyatakan sebagai “internal sampling” karena sama sekali bukan dimaksudkan
untuk mengusahakan generalisasi tetapi untuk memperoleh kedalaman studi di
dalam suatu konteks tertentu (Yin, 1987).
6. Pemanfaatan “Tacit Knowledge”
Penelitian kualitatif mendukung memanfaatkan pengetahuan yang bersifat
intuitif dan dirasakan, sebagai tambahan pengetahuan yang bersifat proposional
atau pengetahuan yang dapat diekspresikan dalam bentuk bahasa karena seringkali
nuansa realitas yang tidak tunggal dapat difahami hanya dengan cara ini, dan
kebanyakan interaksi peneliti dengan yang diteliti terjadi pada tingkat ini.
Pengetahuan jenis ini juga mencerminkan secara adil dan akurat nilai-nilai
penelitinya. Oleh karena itu dalam pengumpulan data, peneliti kualitatif tidak
hanya mencatat apa yang dinyatakan secara formal, tetapi juga mencatat berbagai
hal yang dirasakan dan ditangkap secara intuitif oleh penelitinya. Semuanya itu
akan tercermin dalam data pada bagian deskriptif dan reflektifnya.
7. Lebih Mementingkan Proses daripada Produk
Penekanan kualitatif pada proses secara khusus telah memberi manfaat pada
riset pendidikan dalam menjelaskan tentang “ramalan pencapaian diri” mengenai
pandangan tentang penampilan kognitif para siswa di sekolah yang ternyata
dipengaruhi oleh harapan gurunya terhadap mereka. Riset kuantitatif memang telah
mampu menunjukkan bahwa perubahan para siswa telah terjadi dengan
menggunakan “pretest dan posttest”.
8. Makna sebagai Perhatian Utama Riset
Dalam hal penemuan makna, peneliti berminat pada bagaimana cara orang
memberi makna pada kehidupannya sendiri. Dengan kata lain, peneliti memusatkan
pada yang disebut “participant’s perspective” atau “people’s point of view”,
sehingga terhindari perumusan maksud sesuatu di dalam konteksnya berdasarkan
pandangan penelitiannya sendiri. Di dalam mengumpulkan beragam informasi,
peneliti memperhatikan proses bagaimana sesuatu terjadi, karena makna mengenai
sesuatu sangat ditentukan oleh proses bagaimana sesuatu itu terjadi. Jika dalam
penelitian kuantitatif dituntut untuk tidak melebihi fakta dan mencari hubungan
kausalitas, maka dalam penelitian kualitatif adalah mencari makna di balik fakta.
9. Analisis Induktif
Penelitian kualitatif mengungkap data khusus, detail, untuk menemukan
kategori, dimensi, hubungan penting dan asli, dengan pertanyaan terbuka (Nana,
2010: 95).
10. Holistik
Totalitas fenomena dipahami sebagai sistem yang kompleks, keterkaitan
menyeluruh tak dipotong padahal terpisah, dan sebab-akibat (Nana, 2010: 95).

Bila dibandingkan dengan penelitian kuanitatif, jelaslah bahwa karakteristik riset


kualitatif sangat berbeda, terutama dari segi kompleksitasnya. Dengan pemahaman
karakteristik tersebut, peneliti akan lebih sadar mengenai apa yang harus dilakukan di
dalam pelaksanaan risetnya, mulai dari penyusunan 6 proposalnya, pelaksanaan kegiatan
di lapangan studinya, sampai dengan penyusunan laporan penelitiannya secara lengkap.
Selanjutnya, karakteristik tersebut tampak terwujud di dalam beragam teknik dan langkah
pelaksanaan penelitian secara lengkap.

C. Paradigma Penelitian Kualitatif


Paradigma adalah kumpulan tentang asumsi, kosep atau proposisi yang secara logis
dipakai peneliti.
1. Positivisme dan Non-Positivisme
Ada dua pandangan besar dalam kegiatan penelitian yang menyangkut metode
yaitu pandangan positivistik dan non positivistik. Dalam paham positivistik, segala
sesuatu atau gejala itu dapat diukur secara positif atau pasti sehingga dapat
dikuantifikasikan. Hal tersebut tidak hanya berlaku dalam ilmu alam saja, tetapi juga
pada ilmu sosial. Dalam ilmu alam, paham positivistik tersebut tidak banyak menemui
kendala karena objeknya adalah materi atau benda. Tetapi ketika diterapkan pada ilmu
sosial, maka bukan saja sulit dilakukan, tetapi juga banyak ditentang oleh ilmuwan-
ilmuwan sosial. Penganut paham positivistik tersebut berpendapat bahwa segala
sesuatu itu tidak boleh melebihi fakta. Dalam paham nonpositivistik, kebenaran tidak
hanya berhenti pada fakta, melainkan apa makna di balik fakta tersebut. Dalam ilmu
sosial, di mana kajiannya adalah manusia bukannya benda, maka pandangannya lebih
didominasi oleh pandangan non-positivistik. Dalam konsepsi ini, paham positivistik
diidentifikasikan dengan kegiatan riset kuantitatif, sedangkan paham nonpositivistik
diidentifikasikan sebagai kegiatan riset kualitatif. Namun demikian, perbedaan paham
tersebut berdampak positif terutama dijadikan sebagai ajang dialog dalam rangka untuk
mengembangkan keilmuan baik sosial maupun alam, untuk saling melengkapi kedua
paradigma tersebut.
Positivisme dibidani oleh dua pemikir Prancis, yaitu Henry Sain Simon (1760 -
1825) dan muridnya Auguste Comte (1798 – 1857)
 Studi ilmiah terhadap masyarakat berdasarkan prinsip studi ilmu-ilmu alam.
 Kontrarevolusioner terhadap proyek pencerahan yang masih bersifat
metafisika.
Tedapat tiga kategori positivisme, yaitu Positivisme Sosial (Auguste Comte),
Positivisme Evolusioner, dan Positivisme Logis.
a. Positivisme Social
Merupakan fenomena sosial hanya bisa dipahami melalui penerapan ilmu-ilmu
positif.
b. Positivisme Evolusioner
Hampir sama dengan positivisme sosial. Perbedaannya hanya pada cara
pandang mereka terhadap kemajuan. Positivisme sosial memangdang kemajuan
berlangsung berdasarkan ilmu pengetahuan, sedangkan positivisme evolusioner
memandang bahwa penentu kemajuan adalah interaksi manusia dengan alam
semesta.
c. Positivisme Logis
Berkembang pada tahun 1920-an. Pengaturan masyarakat secara rasional harus
dilandasi kesatuan pengetahuan, dan kesatuan pengetahuan hanya dapat dicapai
bila dikembangkan satu bahasa ilmiah yg berlaku pada semua bidang ilmu
pengetahuan.

Paradigma Post-Positivis

 Muncul pada tahun 1970/1980an


 Tokohnya adalah Karl R. Popper
 Memiliki perbedaan dengan paradigma positivis dalam memandang
realitas. Paradigma positivis memandang realitas yg diamati sebagaimana
adanya. Sedangkan post-positivis memandang adanya peran serta subjek yg
menentukan ada tidaknya realitas. Oleh karena itu, kaum post-positivis
mengakui realitas yg beragam.

Ciri Utama Post-Positivisme

a. Ontologi Post Positivisme


Critical Realism. Realitas memang ada dalam kenyataan tetapi suatu hal yg
mustahil bila peneliti dapat melihat realitas itu secara benar.
b. Epistemologi Post Positivisme
Objektivisme yg dimodifikasi. Mendasari pada kausalitas dan keteraturan,
namun relasi kausal tidak sederhana tetapi multiplisitas factor.
c. Aksiologi Post Positivisme
Tidak bebas nilai. Hubungan antara peneliti dan objek yg diteliti tidak bisa
dipisahkan. Peneliti dapat melihat kebenaran apabila berinteraksi dengan objek
yg diteliti.

2. Sejarah Paradigma Interpretif


 Berkembang pada abad 20an.
 Paradigma ini lahir sebagai kritikan pada paradigma post positivis. Paradigma
post positivis dipandang terlalu umum, terlalu mekanis, dan tidak mampu
menangkap keruwetan,nuansa dan kompleksitas dari interaksi manusia.
 Sebuah pemahaman dari kehidupan sosial harus memperhitungkan
subjektivitas dan makna pribadi dari individu.
 Paradigma ini dibentuk oleh fenomenologi, hermeuneutika, dan interaksi
simbolik.

3. Fenomenologi
Tokohnya Edmund Husserl (Fenomenologi Transedental) dan Alfred Schutz
(Fenomenologi Sosial).
Ciri utama :
a. Pengetahuan tidak dapat ditemukan pada pengalaman eksternal tetapi dalam
diri kesadaran individu---pemahaman subjektif.
b. Makna adalah derivasi dari potensialitas sebuah objek atau pengalaman yg
khusus dalam kehidupan pribadi.
c. Hermeunetika Objek dari ilmu sosial adalah simbol yg muncul dalam
percakapan dan tindakan (pikiran, perasaan dan keinginan).
d. Fenomena khas manusia adalah bahasa. Oleh karena itu untuk memahami
manusia maka pahamilah bahasanya.
4. Paradigma Konstruktivisme
Pencetus Paradigma Kontruktivis (1973) adalah Karl Poper.
 Objektivitas tidak dapat dicapai dalam dunia fisik tetapi hanya melalui
pemikiran manusia.
 Gagasan Kontruktivis mengenai Pengetahuan (Von Glasersferld dan Kitchener,
1987)
 Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi
selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
 Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu
untuk pengetahuan.
 Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi
membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan
pengalaman-pengalaman seseorang atau realitas bergantung pada konstruksi
pikiran.

Gagasan utama Paradigma Konstruktivis

 Ontologi: Relativism
Realitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran realitas bersifat relatif,
berlaku konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.
 Epistemologi: Transactionalist/Subjectvist
Pemahaman realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaski
peneliti dengan objek yg diteliti.
 Aksiologi: Facilitator
Nilai, etika, moral bagian yang tidak terpisahkan dari penelitian. Peneliti
sebagai passionate participant, fasilitator yang menjembatani keragaman
subjektivitas pelaku sosial Tujuan penelitian: rekonstruksi realitas sosial secar
dialektis antara peneliti dengan yang diteliti.

5. Paradigma Kritis
Teori ini dikembangkan oleh Mazhab Franfurt.
Mendefinisikan fenomena sosial sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha
mengungkap the real structure dibalik ilusi, yang dinampakkan dunia materi, dengan
tujuan membantu membentuk suatu kesadaran sosial agar memperbaiki dan merubah
kondisi kehidupan manusia.
Gagasan utama Paradigma Kritis
 Ontologi: Historical realism: Realitas semu (Virtual Reality)
yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, budaya, politik,
ekonomi, dsb.
 Epistemologi: Transactionalist/ Subjectivist
Hubungan peneliti dengan yang diteliti selalu dijembatani nilai tertentu.
 Aksiologi:
a. Activist: Nilai, etika, moral bagian yang tidak terpisahkan dari penelitian.
b. Penelit menempatkan diri sebagai transformative intelectual, advokat dan
aktivis.
c. Tujua penelitian: kritik sosial, transformasi, emansipasi dan social
empowerment.
DAFTAR PUSTAKA
Creswell, J. W. (2010). Research design: pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed.
Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar.
Danial, Endang dan Nanan Wasirah. (2009). Metode Penulisan Karya Ilmiah. Bandung:
Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan.
Kirk, J. & Miller, M.L. (1986). Reliability and Validity in Qualitative Research. Beverly Hills,
CA: Sage Publications.
Lichtman, Marilyn. (2013). Qualitative Research in Education: A User’s Guide. (Third Edition).
Los Angeles: Sage Publications, Inc.
Moleong, L. J. (1999). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Moleong, L. J. (2010). Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Muhadjir, N. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasisn.
Nasution, S.(2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sukmadinata, N. S. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sutopo, H. B. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Jurusan Seni Rupa Fakultas
Sastra UNS.
Yin, R. K. (1987). Case Study Research: design and methods. Beverly Hills, CA: Sage Publication.

Anda mungkin juga menyukai