Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PERPAJAKAN II

Rekonsiliasi Fiscal

Kelompok 2

Kelas : E – Akuntansi S1

Disusun Oleh :

Dias Aditya Nugraha (0115101537)

Amadea Putri F (0117101182)

Yuni Iswari (0117101194)

Nur Aini Saffanah (0117101195)

Anggita Dwi R (0117101209)

Gebbi Zulfikar (0117101210)

Prodi Akuntansi S1

Universitas Widyatama

Tahun Ajaran 2019 – 2020


A. Latar Belakang
Dalam membuat laporan keuangan ada beberapa perbedaaan pengakuan
pendapatan dan biaya antara Standar Akuntansi Keuangan dengan Ketentuan perpajakan
menghasilkan jumlah angka yang berbeda antara laba komersial dan laba fiskal.
Perbedaan inilah yang menyebabkan perlunya dilakuan Rekonsiliasi Fiskal, yaitu suatu
mekanisme untuk menyesuaikan laporan keuangan komersial perusahaan menjadi sesuai
dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Rekonsiliasi fiskal yang tujuannya adalah
agar laporan keuangan komersial sebelum datanya dimasukkan dalam SPT Tahunan PPh
terlebih dahulu disesuaikan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Rekonsiliasi
fiskal perlu dilakukan karena terdapat beberapa perbedaan perlakuan baik itu mengenai
pengakuan penghasilan maupun mengenai biaya atau beban.

B. Pengertian Rekonsiliasi
Rekonsiliasi fiskal pada hakikatnya adalah merupakan proses untuk mendapatkan
angka laba fiskal atau laba kena pajak dengan melakukan penyesuaian- penyesuaian
terhadap laba komersial atau laporan laba rugi. Proses rekonsiliasi fiskal ini umumnya
dilakukan oleh Wajib Pajak yang berbentuk perusahaan. Rekonsiliasi yang dilakukan
akan menghasilan koreksi fiskal yang akan mempengaruhi besarnya laba kena pajak serta
Pajak Penghasilan (PPh) terutang. Rekonsiliasi dilakukan terhadap pos-pos biaya dan
pos-pos penghasilan dalam Laporan keuangan Komersial, antara lain:
1. Rekonsiliasi terhadap penghasilan yang dikenakan PPh Final
2. Rekonsiliasi terhadap penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
3. Wajib Pajak mengeluarkan biaya-biaya yang sebenarnya tidak boleh menjadi
pengurang penghasilan bruto
4. Wajib pajak menggunakan metode pencatatan yang berbeda dengan ketentuan
pajak
5. WP mengeluarkan biaya-biaya yang dikeluarkan bersama-sama untuk
mendapatkan pendapatan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan yang
bukan Objek Pajak serta pendapatan yang dikenakan PPh non Final
C. Perbedaan SAK dan UU Perpajakan
Dalam perpajakan adalah untuk menghitung penghasilan neto fiskal atau rugi
fiskal berdasarkan ketentuan perpajakan. Dalam penjelasan pasal 28 ayat 7 UU KUP
Tahun 2007 dijelaskan bahwa pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem
yang lazim dipakai di Indonesia yaitu berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK),
kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain. Penjelasan ini
menegaskan bahwa Wajib Pajak tidak perlu membuat dua pembukuan, cukup satu
pembukuan yaitu berdasarkan SAK tersebut yang kemudian dilakukan penyesuaian fiskal
berdasarkan ketentuan pajak yang berlaku.
 Metode Pencatatan.
Terdapat 2 (dua) jenis metode pencatatan akuntansi yaitu basis kas dan basis
akrual dengan pengertian sebagai berikut :
1. Basis Kas (Cash Basis)
Adalah teknik pencatatan ketika transaksi terjadi di mana uang benar-
benar diterima atau dikeluarkan. Sehingga pengertian Akuntansi Basis Kas
adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa
lainnya pada saat kas atau setara kas yang diterima atau dibayar yang
digunakan untuk pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan.
Contoh :
RAP menjual produknya namun uang pembayaran belum diterima, maka
pencatatan pendapatan tersebut tidak dilakukan, jika kas telah diterima maka
transaksi tersebut baru akan dicatat. Hal ini berlaku untuk semua transaksi
yang dilakukan dan berpengaruh terhadap laporan keuangan.
2. Basis Akrual (Accrual Basis)
Adalah teknik pencatatan di mana transaksi sudah dapat dicatat karena
transaksi sudah memiliki implikasi uang masuk atau keluar di masa depan.
Artinya pencatatan dilakukan pada saat terjadinya transaksi walaupun uang
belum benar-benar diterima atau dikeluarkan. Maka pengertian Akuntansi
Basis Akrual  adalah mengakui pengaruh transaksi dan perisrtiwa lainnya
pada saat transaksi atau peristiwa itu terjadi tanpa memperhatikan saat kas
atau setara kas diterima atau dibayar.
Contoh :
RAP menjual produknya namun uang pembayaran belum diterima, maka
pencatatan pendapatan tersebut dilakukan, Walaupun kas belum diterima
maka transaksi tersebut tetap dicatat. Hal ini berlaku untuk semua transaksi
yang dilakukan dan berpengaruh terhadap laporan keuangan.
Contoh Basis Kas dan Basis Akrual
Remapra menyelesaikan suatu proyek pada tanggal 30 Desember 2014,
namun PT. Remapra baru menerima pembayaran pada tanggal 12 Januari
2015 atas jasa yang telah dilakukan. Dalam metode Basis Kas seorang
akuntan  mencatat pendapatan kas tersebut dibulan Januari tahun 2015 (yaitu
pada saat kas diterima) bukan pada tanggal 30 Desember 2014 saat proyek
selesai dikerjakan.
Sedangkan dalam metode Basis Akrual seorang akuntan mencatat
pendapatan pada saat Produk terkirim atau jasa telah dilakukan, bisa pada saat
kas diterima, dan atau pada saat kas akan diterima pada masa yang akan
datang. Dalam contoh di atas pencatatan dilakukan pada saat dilakukan yaitu
pada bulan Desember 2014, pada saat proyek selesai dikerjakan bukan pada
saat kas diterima begitu pula dengan pencatatan beban perusahan. Mengacu
pada PSAK yang berlaku umum di Indonesia, perusahaan harus melakukan
pencatatan menggunakan metode basis kas dan basis akrual (Pasal 28 ayat (5)
UU KUP Tahun 2007). Namun secara umum laporan keuangan yang ada di
Indonesia di catat berdasarkan metode Basis Akrual.

Dasar kas yang digunakan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak adalah
dasar kas campuran bahkan mendekati dasar akrual, sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 28 ayat (5) KUP:
1. Penjualan meliputi seluruh penjualan baik yang tunai maupun yang bukan
tunai (kredit), hal ini sama dengan dasar akrual.
2. Harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian ( tunai
atau kredit ) dan persediaan ( awal dan akhir ), hal ini sama dengan
accrual.
3. Harta yang dapat disusutkan dan hak – hak yang dapat diamortisasi,
pembebanannya tidak boleh sekaligus tapi harus dilakukan melalui
penyusutan dan amortisasi; hal ini sama dengan metode akrual.
4. Pasal 6 UU.PPh – 1984, dalam menentukan biaya yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto tidak dibedakan antara dasar accrual dan dasar kas.
5. KEP – 273/PJ/1998; diganti KEP.184/PJ/2002 mulai berlaku 2001.
Penghasilan bunga yang bersumber dari kredit non performing ( kurang
lancar, diragukan dan macet ) diakui sebagai penghasilan pada saat bunga
tersebut diterima bank (dasar kas), hal ini sama dengan PSAK No. 13 butir
02.

Sedangkan pada akuntansi fiskal dengan merujuk ketentuan perpajakan hanya


menetapkan dua metode penyusutan yang harus dilaksanakan wajib pajak
berdasarkan pasal UU No. 36 tahun 2008 pasal 11 tentang Pajak Penghasilan
yaitu berdasarkan metode garis lurus dan metode saldo menurun yang
dilaksanakan secara konsisten, kemudian aktiva (harta berwujud) dikelompokkan
berdasarkan jenis harta dan masa manfaat. Adapun rinciannya tertuang pada
peraturan menteri keuangan No. 96/PMK.03/2009.

D. Jenis – jenis Perbedaan Rekonsiliasi Fiscal


Terdapat perbedaan dalam perlakuan penetapan pendapatan dan biaya menurut
Undang-Undang Perpajakan Nomor 17 Tahun 2000 dengan Standar Akuntansi Keuangan
sebagai akibat dari adanya beda tetap dan beda sementara; perlakuan akuntansi terhadap
perbedaan tersebut perlu dilakukan rekonsiliasi antara laporan keuangan komersil dengan
laporan keuangan fiskal; dan pengaruh perbedaan tersebut terhadap laporan keuangan
yaitu pada besarnya jumlah pajak terutang dan jumlah laba usaha.
1. Beda Tetap (Permanent Different)
Beda Tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara
akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya permanen.
Artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena
pajak tahun pajak berikutnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa beda tetap ini secara
permanent,
Ketika tahun atau periode sekarang suatu penghasilan/biaya tidak dapat diakui
sebagai penghasilan/biaya menurut undang-undang. Maka pada tahun atau periode
yang akan datang juga tidak dapat diakui sebagai penghasilan/biaya di dalam laporan
laba/rugi.
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan penghasilan/biaya tidak boleh diakui di
dalam laporan laba/rugi.
Berdasarkan UndangUndang No 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat 2 tentang beberapa
penghasilan yang tergolong final diantaranya adalah sebagai berikut:
 Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi.
 Penghasilan berupa hadiah undian.
 Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura.
 Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
 Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.

Ketika di dalam laporan laba/rugi terdapat penghasilan yang disebutkan di atas maka
harus dilakukan koreksi/penyesuaian. Selain itu Pajak PPh Pasal 4 (2) di dalam
undang-undang pajak penghasilan ini termasuk juga biaya yang tidak boleh
mengurangi penghasilan bruto.
2. Beda Waktu (Time Different)
Selain Beda tetap ada satu beda yang disebut dengan beda waktu. Beda Waktu
merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara
akuntansi komersial dengan ketentuan. Undang-undang PPh yang sifatnya
sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba
kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya. Jadi ketika suatu penghasilan atau biaya
pada periode tahun/periode sekarang tidak dapat diakui di dalam laporan
laba/rugi, namun kemungkinan akan dapat diakui pada periode tahun/periode
yang akan datang. Ada beberapa sebab atau kondisi dimana terjadi beda waktu.
Beda waktu ini sebagian besar disebabkan karena asumsi atau metode yang
digunakan di dalam akuntansi komersial.
Berbeda dengan akuntansi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
sekarang ini di Indonesia. Metode/asumsi ini akan berdampak pada penilaian
akun-akun di dalam laporan keuangan.
Contoh: Persediaan, Piutang Dagang, Aktiva tetap, Investasi, dan lain-lain.
Selain itu dalam akuntansi komersial, pengakuan penghasilan/ biaya berdasarkan
system cash basis atau accrual basis untuk lebih dari satu tahun. Dimana
penghasilan/biaya tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya
sesuai dengan prinsip matching cost with revenue. Namun sedangkan menurut
Undangundang PPh, penghasilan/biaya tersebut harus diakui sekaligus pada saat
diterima atau dikeluarkan. Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu
terjadi karena perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undangundang
PPh metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo
menurun:
 Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang
PPh metode penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-
rata dan FIFO.
 Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang undang
Penyisihan piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-
usaha tertentu dan sebagainya.
a. Persediaan
Persediaan merupakan barang yang diperoleh untuk dijual kembali atau bahan
untk diolah menjadi barang jadi atau barang jadi yang akan dijual atau barang
yang akan digunakan. Di dalam akuntansi konvensional, ada dua metode
pencatatan persediaan yaitu metode fisik dan metode perpetual. Sedangkan
metode penilaian yang biasa digunakan oleh perusahaan dan sering dipelajari ada
3 Metode yaitu:
 Metode First In First Out (FIFO): barang yang masuk terlebih dahulu
dianggap yang pertama kali dijual/keluar sehingga persediaan akhir akan
berasal dari pembelian yang termuda/terakhir.
 Metode Last In First Out (FIFO): barang yang terakhir masuk dianggap
yang pertama kali keluar, sehingga persediaan akhir terdiri dari pembelian
yang paling awal.
 Metode Average (Rata-Rata): pengeluaran barang secara acak dan harga
pokok barang yang sudah digunakan maupun yang masih ada ditentukan
dengan cara dicari rata-ratanya.
b. Piutang
Piutang merupakan salah satu jenis asset perusahaan yang timbul karena transaksi
penjualan secara kredit. Contohnya adalah: piutang dagang, piutang karyawan,
dan piutang lain-lain). Piutang ini akan menjadi kas jika mampu ditagih atau
dibayar oleh konsumen/pelanggan. Ketika konsumen/ pelanggan tidak mampu
membayar maka piutang ini termasuk di dalam piutang bermasalah atau disebut
piutang yang tak tertagih. Menurut akuntansi komersial, piutang yang tak tertagih
ini dapat diakui sebagai biaya dengan pencatatan secara langsung atau tidak
langsung atau pencadangan.
Jika menggunakan metode secara langsung. Menurut peraturan perpajakan tidak
semua piutang tak tertagih dapat dibiayakan, hanya piutang tak tertagih tertentu
yang memenuhi syarat yang boleh di akui sebagai biaya.
Menurut UU PPh disebutkan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
dengan syarat:
 Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
 Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
 Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan
dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur
bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.

Jika di dalam laporan laba rugi terdapat biaya kerugian piutang namun tidak
memenuhi syarat di atas maka harus dikoreksi fiskal.

c. Aktiva Tetap
Menurut Abdul Halim dan Bambang Supomo (2001: 154) aktiva tetap adalah
“Aktiva tetap adalah kekayaan yang dimiliki dan digunakan untuk beroperasi dan
memiliki masa manfaat dimasa yang akan datang lebih dari satu periode anggaran
serta tidak dimaksudkan untuk dijual.” Dari definisi aktiva tetap dapat
disimpulkan bahwa ada 3 unsur yang terkait dengan aktiva tetap diantaranya
adalah:
 Aktiva tetap tersebut mempunyai masa manfaat lebih dari satu periode
akuntansi.
 Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam kegiatan normal perusahaan.
 Mempunyai manfaat di masa yang akan datang.

Aktiva yang digunakan dalam operasi perusahaan digolongkan ke dalam dua


kategori yaitu aktiva berwujud dan aktiva tidak bewujud. Berdasarkan
penggolongan tersebut, umur ekonomis aktiva tersebut disusutkan dengan dua
bentuk yaitu Metode Depresiasi (Garis Lurus, Saldo Menurun, Angka Tahun,
Unit Produksi, dan lain-lain), dan Metode Amortisasi (Garis Lurus, Saldo
Menurun). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penentuan Beban Penyusutan
yaitu Harga peolehan, Umur kegunaan, dan Nilai sisa. Satu perusahaan
dengan perusahaan lainnya kemungkinan akan menilai suatu aktiva yang
sama, namun akan menghasilkan nilai yang berbeda.

E. Harmonisasi Standar Akuntansi Keuangan


Cara pendekatan yang diungkapkan oleh kelompok kerja standar akuntansi OECD
(Organization For Economic Co-operation and Development), dalam laporanseri
harmonisasi standar akuntansi, sebagai solusi Antara akuntansi dan ketentuan peraturan
perundang undangan perpajakan, dilakukan sebagai berikut:
1. Dalam hal ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan secara dominan
mewarnai praktek akuntansi, walaupun telah disusun laporan keuangan berdasarkan
standar akuntansi keuangan, laporan keuangan fiscal hendaknya ialah
diselenggarakan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan tanpa
eksepsi terhadap ketidaksamaan standar misalnya praktik akuntansi pajak di
Norwegia, secara tegas mengharuskan agar akuntansi pajak diselenggarakan persis
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan tanpa toleransi
sedikitpun dengan akuntansi keuangan sebagai prosuk praktik komersial. Hal ini
menunjukan bahwa akuntansi pajak merupakan kesatuan yang otonom, terpisah
seluruhnya atau sebgaian dari akuntansi keuangan,yang berarti akan terdapat
pembukuan ganda dalam perusahaan, yaitu satu perangkat untuk penyelenggaraan
akuntansi pajak dan satu perangkat lainnya untuk akuntansi keuangan.
2. Dalam hal ketentuan perundang undangan perpajakan merupkan standar independen
yang terpisah dari standar akuntansi keuangan, maka laporan keuangan dapat disusun
berdasarkan standar akuntansi keuanagn dan pelaporankeuangan fiscal disusun secara
terpisah diluar jaringan pembukuan melalui rekonsiliasi. Misalnya praktik akuntansi
pajak di Belanda dengan menempatkan kegiatan akuntansi pajak diluar praktik
akuntansi keuangan dan laporan keuangan fiscal merupakan by product dari akuntansi
komersial. Melihatpraktik tersebut,akuntansi pajak lebihcenderung mendekati
akuntansimanajemen dengan konsep different statements for different purpose.
Laporan keuangan fiscal diperoleh melalui rekonsiliasi dengan penyesuaian ketentuan
peraturan perundang undangan perpajakan terhadap laporan keuangan komersialnya.
3. Ketentuan peraturan perundang undanganperpajakan merupakan “sisipan” dari
standar akuntansi keuangan yang disebut sebagai konsep “common basis” yang
menyatakan bahwa pada umumnya ketentuan akuntansi pajak menggaris bawahi
(mengikuti) prinsipakuntansi keuangan, karena prinsip akuntansi keuangan telah
dirumuskan dalam bentuk undang undang. Misalnya praktik akuntansi pajaknya.
Demikian juga evaluasi kepatuhan penyelenggaraannya juga diukur berdasarkan
ketentuan peraturan perundang undangannya.

Kecuali pendekatan (1), perbedaan pendekatan Antara (2) dan (3) tidak begitu jelas
terungkap, akan tetapi perlu dicatat disini walaupun ekstensi kedua pendekatan terakhir
adalah independen, tidaklah berarti bahwa konsideran pajak kurang diperhatikan, sebab
acapkali konsideran pajak mempengaruhi praktek akuntansi, terutama yang menyangkut
benefit pajak yang tersedia bagi wajib pajak.

Secara ekonomi pendekatan (1) menyebabkan bertambahnya biaya berentuk


“compliance cost” bagi masyarakat dan terdapat pula pemborosan sumber daya dengan
adanya dua perangkat pembukuan yang harus diproses sejak awal sampai akhir. Dalam
praktik di Indonesia umunya perusahaan yang bersangkutan meyelenggaraka pembukuan
berdasarkan standar akuntansi keuangan yang disusun oleh ikatan akuntan Indonesia dan
menyusun laporan keuangan fiscal secara ekstra komptabel melalui proses rekonsiliasi
seperti ayng diungkapkan oleh OECD dalam seri harmonisasi standar akuntansi poin (2).

Masalah rekoniliasi tersebut telah dinyataka oleh direktur jenderal pajakdalam pasal 2
surat keputusan direktur jenderal pajak Nomor; Kep 214/PJ/2001, dengan tegas
dinyatakan bahwa salah satu dokumen lain yang harus dilampirakan salam surat
pemberitahuan,adalah rekonsiliasi laba rugi fiscal baik pada surat pemberitahuan tahunan
pajak penghasilan wajib pajak badan maupunsurat pemberitahuan pajak penghasilan
wajib pajak orang pribadi lengkapnyakeputusan direktur jenderal pajak Nomro Kep.
214/PJ./2001 tersebut, berbunyi sebagai berikut:
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG KETERANGAN DAN
ATAU DOKUMEN LAIN YANG HARUS DILAMPIRKAN DALAM SURAT
PEMBERITAHUAN

Pasal 1

Dalam keputusan direktur jenderal pajak ini, yang dimaksud dengan wajib pajak adalah
orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan perturan perundang undangan
perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak
atau pemotong pajak tertentu.

Pasal 2

Keterangan dan atau dokumen lain yang harus dilampirkan pada surat pemberitahuan
tahuananpajak penghasilan wajib pajak badan adalah:

1. Neraca dan laporan laba rugi tahun pajak yang bersangkutan dari wajib pajak itu
sendiri (buksn neraca dan laporan laba rugi konsolidasi grup) beserta rekonsiliasi
laba rugi fiscal
2. Daftar penghitungan penyusutan dan amortisasi fiscal
3. Penghitungan kompensasi kerugian dalam hal terdapat sisa kerugian tahun tahun
sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan
4. Surat setoran pajak penghasilan pasal 29 yang seharusnya dalam hal terdapat
kekurangan pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk mengangsur dan
menunda pembayaran pajak penghasilan pasal 29
5. Surat kuasa khusus, dalam hal surat pemberitahuan tahunan ditandatangani oleh
bukan wajib pajak
6. Lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan
penghitungan besarnya penghasilan kena pajak atau besarnya pajak penghasilan
pasal 25

Anda mungkin juga menyukai