Anda di halaman 1dari 22

HALAMAN JUDUL

MAKALAH

KASUS KECELAKAAN KERJA DI RUMAH SAKIT


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kesehatan dan Kesalamatan
Kerja

DISUSUN OLEH

KELAS K3

KELOMPOK 3 :

1. NUR RISKA ANWAR J1A117097


2. NURHADISA J1A117102
3. REGITHA PRICILLIA J1A117116
4. TRY SAPUTRA HABIBIE J1A117142
5. SILVI TRISTYA PRATIWI J1A117131
6. RIRY NOVIYANTI R.A.MUSA J1A117261
7. ASNA HARIANI J1A117298
8. UMUL HIDAYAT J1A117340

KONSENTRASI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
2020

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas
segala karunia, rahmat, maupun hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini berisi tentang “Kasus Kecelakaan Kerja
Di Rumah Sakit”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen mata
kuliah bersangkutan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen
mata kuliah, karena dengan tugas ini wawasan serta pengetahuan dapat
bertambah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian tugas ini. Akhir kata, penulis mengharapkan
perbaikan dan penyempurnaan agar tugas ini dapat berguna bagi pembaca lain.

Kendari, 13 Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Conte nts

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 5

2.1 Etika ......................................................................................................... 5

2.2 Delegasi Wewenang ................................................................................. 7

2.3 Kalaborosi .............................................................................................. 10

2.4 Peran Institusi Pendidikan dalam Meningkatjan Mutu Pelayanan di ICU 12

2.5 Perbaikan SOP ....................................................................................... 14

2.6 Safety Pemberian Obat ........................................................................... 15

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 20

3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 20

3.2 Saran ........................................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 22

iii
4

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Manajer-manajer RS sedag menghadiri rapat Pimpinan yang membahas


masalah Kematian Tn. X di ruang ICU. Rapat tersebut dihadiri pula oleh
KaRu ICU, untuk memperleh gambaran yang sebenarnya mengenai kejadian
tsb. Dari KaRu ICU diperoleh informasi bahwa:

1. Jumlah perawat yang berdinas pada saat kejadian, berkurang dari


semestinya karena banyak yang cuti.
2. Pada saat kejadian jumlah pasien 6 orang, sedangkan perawat yang dinas
pada malam kejadian Tn. X meninggal sebanyak 6 orang (2 orang berasal
dari bangsal lain yang diperbantukan di ICU dan 2 orang mahasiswa
PSIK sedangkan perawat dari ICU sendiri hanya 2 orang)
3. Banyaknya keluhan mengenai kesulitan menghubungi Dokter Penaggung
Jawab ICU.
4. Pasien meninggal karena pemakaian Heparin Three Way yang tidak
sesuai, karena pemberian heparin yang berlebih, sehingga terjadi
pendarahan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Sebagai manajer Rumah Sakit, masalah etik Apa yang terjadi?


2. Bagaimana system pendelegaisian wewenang?
3. Bagaimana Kaloborasi antara Petugas Kesehatan?
4. Bagaimana Peran Institusi Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu
Pelayanan di Ruang ICU?
5. SOP apa saja yang harus diPerbaiki ?
6. Bagaimana Prosedur Patient Safety dalam Pemberian Obat ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etika

Perilaku yang pantas adalah perilaku yang mendukung kepentingan


pasien, membantu pelaksanaan asuhan pasien, dan ikut serta berperan
mendukung keberhasilan pelaksanaan kegiatan perumahsakitan. Setiap tenaga
kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus mengikuti kode etik perilaku
yang tercantum dalam peraturan internal staf rumah sakit (PERSI, 2015).

Kode etik perilaku merupakan seperangkat peraturan yang dijadikan


pedoman perilaku di rumah sakit. Kode etik perilaku bertujuan membantu
menciptakan dan mempertahankan integritas, membantu menciptakan
lingkungan kerja yang aman, sehat, nyaman, dan dimana setiap orang
dihargai dan dihormati martabatnya setara sebagai anggota tim asuhan pasien
(PERSI, 2015).

Pada pelaksaan pelayanan kesehatan Tn. X, banyak keluhan menengai


kesulitan menghubungi Dokter Penannggung Jawab ICU. Sehingga dalam
pengobatan tidak sesuai dan berlebihan. Ini merupakan salah satu perilaku
yang tidak pantas karena tidak mampu bekerjasama dengan anggota tim
asuhan pasien atau pihak lain tanpa alasan yang jelas.

Berikut ini jenis-jenis perilaku berdasarkan Kodek Etik Rumah Sakit


(PERSI, 2015):

a. Perilaku yang pantas.


Tenaga kesehatan tidak dapat dikenakan sanksi jika berperilaku
pantas, sebagaimana contoh-contoh di bawah ini.
1. Penyampaian pendapat peribadi atau profesional pada saat diskusi,
seminar, atau pada situasi lain:
2. Penyampaian pendapat untuk kepentingan pasien kepada pihak lain
(dokter, perawat, atau direksi rumah sakit) dengan cara yang pantas

5
dan sopan yaitu pandangan profesional dan penyampaian pendapat
pada saat diskusi kasus.
3. Penyampaian ketidaksetujuan atau ketidakpuasan atas kebijakan
melalui tata cara yang berlaku di rumah sakit tersebut.
4. Menyampaikan kritik konstruktif atau kesalahan pihak lain dengan
cara yang tepat, tidak bertujuan untuk menjatuhkan atau
menyalahkan pihak tersebut.
5. Menggunakan pendekatan kooperatif untuk menyelesaikan masalah.
6. Menggunakan bahasa yang jelas, tegas, dan langsung sesuai dengan
kebutuhan situasi dan kondisi pasien, misalnya penanganan pasien
gawat darurat.
b. Perilaku yang tidak pantas
Tenaga kesehatan dapat dikenakan sanksi jika berperilaku tidak
pantas, sebagaimana contoh-contoh di bawah ini:
1. Merendahkan atau mengeluarkan perkataan tidak pantas kepada
pasien, dan atau keluarganya.
2. Dengan sengaja menyampaikan rahasia, aib, atau keburukan orang
lain.
3. Menggunakan bahasa yang mengancam, menyerang, merendahkan,
atau menghina.
4. Membuat komentar yang tidak pantas tentang tenaga medis di depan
pasien atau di dalam rekam medis.
5. Tidak peduli, tidak tanggap terhadap permintaan pasien atau tenaga
kesehatan lain.
6. Tidak mampu bekerjasama dengan anggota tim asuhan pasien atau
pihak lain tanpa alasan yang jelas.
7. Perilaku yang dapat diartikan sebagai menghina, mengancam,
melecehkan, atau tidak bersahabat kepada pasien dan atau
keluarganya.
8. Melakukan pelecehan seksual baik melalui perkataan ataupun
perbuatan kepada pasien atau keluarga pasien.

6
2.2 Delegasi Wewenang

Kewenangan dokter terdapat pada pasal 35 UU No. 29 tahun 2004 yang


menyebutkan dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan
pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas
a. mewawancarai pasien
b. memeriksa fisik dan mental pasien
c. menentukan pemeriksaan penunjang
d. menegakkan diagnosis
e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien
f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
g. menulis resep obat dan alat kesehatan
h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi
i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan
j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah
terpencil yang tidak ada apotek (UU No. 29, 2004).
Namun sebagian kewenangan dokter bisa dilimpahkan kepada perawat
yang di mana terdapat pada pasal 23 Permenkes No. 2052/Menkes/
Per/X/2011 yang isinya
1. dokter atau dokter gigi dapat memberikan pelimpahan suatu tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi kepada perawat, bidan atau tenaga
kesehatan tertentu lainnya secara tertulis dalam melaksanakan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi.
2. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan di mana terdapat kebutuhan
pelayanan yang melebihi ketersediaan dokter atau dokter gigi di fasilitas
pelayanan tersebut.
3. Pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan ketentuan:

7
a. tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan
keterampilan yang telah dimiliki oleh penerima pelimpahan
b. pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah pengawasan
pemberi pelimpahan;
c. pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang
dilimpahkan sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai dengan
pelimpahan yang diberikan
d. tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk mengambil keputusan
klinis sebagai dasar pelaksanaan tindakan; dan e. tindakan yang
dilimpahkan tidak bersifat terus menerus.
Pelimbahan wewenang dokter kepada perawat harus secara tertulis
terdapat pada pasal 32 UU No. 38 tahun 2014 yang isinya
a. Pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e hanya dapat diberikan
secara tertulis oleh tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan
sesuatu tindakan medis dan melakukan evaluasi pelaksanaannya.
b. Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara delegatif atau mandat.
c. Pelimpahan wewenang secara delegatif untuk melakukan sesuatu
tindakan medis diberikan oleh tenaga medis kepada Perawat dengan
disertai , pelimpahan tanggung jawab.
d. Pelimpahan wewenang secara delegatif sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) hanya dapat diberikan kepada Perawat profesi atau Perawat
vokasi terlatih yang memiliki kompetensi yang diperlukan.
e. Pelimpahan wewenang secara mandat diberikan oleh tenaga medis
kepada Perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis di bawah
pengawasan. Tanggung jawab atas tindakan medis pada pelimpahan
wewenang mandat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berada pada
pemberi pelimpahan wewenang.
f. Dalam melaksanakan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1), Perawat berwenang: a.

8
melakukan tindakan medis yang sesuai dengan kompetensinya atas
pelimpahan wewenang delegatif tenaga medis; b. melakukan tindakan
medis di bawah pengawasan atas pelimpahan wewenang mandat; dan
c. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan program
Pemerintah.
Dengan pertimbangan berikut :
a. Mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan kekuatan pembuktian
karena dilindungi oleh peraturan yang berlaku;
b. Dapat berfungsi sebagai alat bukti tertulis mengenai kewenangan yang
dilimpahkan sehingga apabila terjadi perbuatan di luar kewenangan hal
tersebut menjadi tanggung jawab penerima wewenang, bukan
tanggung jawab pemberi wewenang;
c. Pelimpahan wewenang dalam keperawatan disesuaikan dengan
kemampuan profesional dan kompetensi perawat sebagai penerima
wewenang.

Pelimpahan wewenang dokter kepada perawat dapat dilakukan jika :


1. Penanganan pasien dalam jumlah banyak, sedangkan jumlah dokter
terbatas.
2. Dokter meninggalkan fasilitas kesehatan untuk jangka waktu tertentu.

Sesuai dengan kasus diatas bahwa sistem pendelegasian wewenang


dokter kepada perawat yang melakukan tindakan kedokteran tidak sesuai
dipersyaratkan Pasal 23 Permenkes No.2052/Menkes/Per/X/2011 yang
menegaskan bahwa pelimpahan kewenangan dari dokter kepada perawat
dalam bentuk tertulis, dan Pasal 10 ayat (1) Permenkes No.
HK.02.02/Menkes/148/I/2010 “Dalam keadaan darurat untuk
penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat
kejadian, perawat dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8”. Pada kasus di atas
perawat melakukan pemberian obat hal ini dilakukan karena keterbatasan

9
tenaga medis (dokter) menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat
melakukan tindakan pengobatan atau melakukan tindakan medis yang
bukan wewenangnya. Menurut analisis kami pemberian pengobatan tanpa
pendelegasian wewenang dokter kepada perawat maka pengobatan kepada
pasien tidak dalam kategori keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa,
tetapi pemberian pengobatan karena faktor dokternya berhalangan dan
apabila pasien tidak dilayani akan berdampak pada pelayanan kesehatan di
rumah sakit.
Dan pada penyerahan wewenang dokter kepada perawat tidak secara
tertulis dijelaskan dalam kasus di atas sehingga sistem pendelegasian
wewenang tidak sesuai persyaratan berdasarkan Pasal 23 Permenkes No.
2052/Menkes/Per/X/2011, dapat diketahui syarat-syarat untuk sahnya
pelimpahan kewenangan tindakan kedokteran kepada perawat, yaitu antara
lain: pelimpahan dilakukan secara tertulis. Pasal 23 sangat jelas disebutkan
bahwa bentuk pelimpahan wewenang yang diberikan dokter kepada
perawat harus dilakukan secara tertulis. Namun jika dilihat dari kasus di
atas yang dilakukan pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat tidak
dilakukan secara tertulis, padahal salah satu persyaratan perawat untuk
melakukan tindakan kedokteran adalah adanya pelimpahan kewenangan
secara tertulis dari dokter kepada perawat.

2.3 Kalaborosi

Kolaborasi perawat dan dokter dipandang sebagai faktor penting dalam


pemberian asuhan keperawatan yang berkualitas (Nelson, King & Brodine,
2008). Kolaborasi dapat berjalan baik jika setiap anggota saling memahami
peran dan tanggung jawab masingmasing profesi memiliki tujuan yang sama,
mengakui keahlian masing-masing profesi, saling bertukar informasi dengan
terbuka, memiliki kemampuan untuk mengelola dan melaksanakan tugas baik
secara individu maupun bersama kelompok. Terwujudnya suatu kolaborasi
tergantung pada beberapa kriteria, yaitu adanya saling percaya dan
menghormati, saling memahami dan menerima keilmuan masingmasing,

10
memiliki citra diri positif, memiliki kematangan professional yang setara
yang timbul dari pendidikan dan pengalaman, mengakui sebagai mitra kerja
bukan bawahan, keinginan untuk bernegoisasi. Apapun bentuk dan
tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran pandangan atau ide yang
memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator (Titania, n.d.).

Kolaborasi tidak dapat didefinisikan atau dijelaskan dengan mudah.


Kolaborasi adalah dimana dokter dan perawat merencanakan praktek bersama
sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batasanbatasan lingkup
praktek mereka dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan
menghargai terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat
individu, keluarga dan masyarakat. Praktik kolaboratif menekankan tanggung
jawab bersama dalam manajemen perawatan pasien, dengan proses embuatan
keputusan bilateral didasarkan pada pendidikan dan kemampuan praktisi
(Shortridge, 1986 dalam Paryanto, 2006).

Pelaksanaan kolaborasi tidak hanya bermanfaat bagi pasien tetapi juga


akan memberikan kepuasan kepada tenaga kesehatan karena kolaborasi akan
meningkatkan dan mengoptimalkan peran serta aktif antara perawat dan
dokter dalam pengambilan keputusan tentang pengobatan dan perawatan
berfokus pada kebutuhan pasien secara komprehensif dengan memperhatikan
kontribusi masing-masing (Herbert, 2005 & Ushiro, 2009).

Kerjasama interprofesi dokter dan perawat yang efektif memerlukan


adanya pemahaman yang benar tentang kolaborasi interprofesi dan
penguasaan kompetensi adalah inti praktek kolaborasi. Elemen dalam
koloaborasi efektif meliputi saling menghargai, komunikasi, assertive,
tanggung jawab, kerjasama, tanggung jawab dan otonomi, Melalui kolaborasi
efektif perawat-dokter dalam tim,adanya pengetahuan dan skill atau keahlian
dari dokter dan perawat akan saling melengkapi. Pasien akan mendapat
keuntungan dari koordinasi yang lebih baik melalui kolaborasi interprofesi.
Kerja sama tim dalam kolaborasi adalah proses yang dinamis yang
melibatkan dua atau lebih profesi kesehatan yang masing-masing memiliki

11
pengetahuan dan keahlian yang berbeda, membuat penilaian dan perencanaan
bersama, serta mengevaluasi bersama perawatan yang diberikan kepada
pasien. Hal tersebut dapat dicapai melalui kolaborasi yang independen,
komunikasi yang terbuka, dan berbagi dalam pengambilan keputusan
(Xyrinchis& Ream, 2008 : WHO, 2010) .

Pendekatan kolaborasi yang masih berkembang saat ini yaitu


interprofessional collaboration (IPC) sebagai wadah dalam upaya
mewujudkan praktik kolaborasi yang efektif antar profesi. Terkait hal itu
maka perlu diadakannya praktik kolaborasi sejak dini dengan melalui proses
pembelajaran yaitu dengan melatih mahasiswa Pendidikan kesehatan. Sebuah
grand design tentang pembentukan karakter kolaborasi dalam praktik sebuah
bentuk pendidikan yaitu interprofessional education (IPE) (WHO, 2010,
Department of Human Resources for Health).

IPC merupakan wadah kolaborasi efektif untuk meningkatkan pelayanan


kesehatan kepada pasien yang didalamnya terdapat profesi tenaga kesehatan
meliputi dokter, perawat, farmasi, ahli gizi, dan fisioterapi (Health
Professional Education Quality (HPEQ), 2011). Hambatan dalam kolaborasi
antar petugas kesehatan terutama antara dokter dan perawat menjadi
penyebab kejadian yang akan menimbulkan kerugian dan bahaya, bahkan
dapat mengancam jiwa pasien. Hambatan dalam kolaborasi dapat menjadi
penyebab utama terjadinya medical error, nursing error atau kejadian tidak
diharapkan (KTD) (Titania, n.d.).

2.4 Peran Institusi Pendidikan dalam Meningkatjan Mutu Pelayanan di ICU

Dalam institusi pensisikan harus memberikan arahan atau pengetahuan


untuk meningkatkan mutu pelayanan di ruang ICU yaitu dengan cara
memberikan pengetahuan tentang faktor yang mempengaruhi tingkat mutu
pelayanan

1. Pasien/masyarakat
2. Profesi kesehatan

12
3. Manajemen

Menurut Pohan, I (2003), pelayanan kesehatan yang bermutu harus


mempunyai paling sedikit tiga dimensi atau unsur, yaitu :

1. Pertama, Dimensi Konsumen, yaitu apakah pelayanan kesehatan itu


memenuhi seperti apa yang dibutuhkan dan diharapkan oleh
pasien/konsumen, yang akan diukur dengan kepuasan pasien atau keluhan
pasien/konsumen.
2. Kedua, Dimensi Profesi, yaitu apakah pelayanan kesehatan itu telah
memenuhi kebutuhan pasien/konsumen, seperti apa yang telah ditentukan
oleh profesi pelayan kesehatan, dan akan diukur dengan menggunakan
prosedur atau standar profesi, yang diyakini akan memberi hasil dan
kemudian hasil itu dapat pula diamati.
3. Ketiga, Dimensi Manajemen, atau Dimensi Proses, yaitu bagaimana
proses pelayanan kesehatan itu menggunakan sumberdaya yang paling
efisien dalam memenuhi kebutuhan dan harapan/keinginan
pasien/konsumen tersebut.

Salah satu unit pelayanan sentral di Rumah Sakit adalah unit Intensive
Care Unit (ICU). Perkembangan dalam pelayanan di ICU tidak terbatas pada
pelayanan pasien pasca bedah tetapi meliputi pasien dengan disfungsi lebih
dari satu organ. Pasien ICU dapat berasal dari Unit Gawat Darurat, Kamar
Operasi, Ruang Perawatan, ataupun kiriman dari Rumah Sakit lain. ICU
memiliki keterbatasan dalam jumlah tempat tidur tetapi diperlukan Sumber
Daya Manusian (SDM) dengan ketrampilan khusus, sumber daya dan dana
yang khusus pula. Menurut Hanafie dalam pidato pengukuhan Guru Besar
(2007) dasar pengelolaan pasien ICU adalah pendekatan multidisiplin dengan
tenaga kesehatan dari beberapa disiplin ilmu terkait yang dapat memberikan
kontribusinya sesuai dengan bidang keahliannya dan bekerja sama dalam tim,
dengan dipimpin dengan seorang intensivist sebagai ketua tim. Intensive care
unit (ICU) mempunyai 2 fungsi utama:

13
1. Pertama adalah untuk melakukan perawatan pada pasien-pasien gawat
darurat dengan potensi “reversible life thretening organ dysfunction”
2. Kedua adalah untuk mendukung organ vital pada pasien-pasien yang akan
menjalani operasi yang kompleks elektif atau prosedur intervensi dan
risiko tinggi untuk fungsi vital.

Pelayanan ICU dibandingkan dengan pelayanan rawat inap lainnya


bersifat spesifik, komponen penting yang terdapat didalamnya:

1. Pasien yang dirawat dalam kondisi kritis, yang perlu intervensi medis
segera oleh tim intensive care dan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh
secara terkoordinasi dan berkelanjutan. Sehingga dapat dilakukan
pengawasan yang konstan dan terapi titrasi untuk mencegah terjadinya
dekompensasi fisiologis.
2. Desain ruangan dan sarana bersifat khusus
3. Peralatan kesehatan berteknologi tinggi dan berharga mahal,
4. Tenaga yang memberikan pelayanan dituntut memiliki pengetahuan medis
dan ketrampilan yang khusus.

Sehingga calon perawat yang masih menempuh dunia pendidikan diajarkan


bgaimana fungsi Intensive care unit (ICU), dan kondisi pasien yang ditangani
sehingga bisa memuaskan konsumen dalam pelayanan karena mutu pelayanan
kesehatan di ruang ICU bisa diartikan kesempurnaan pelayanan rumah sakit
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat/konsumen akan pelayanan kesehatan
yang sesuai dengan standar pelayanan profesi, standar menggunakan potensi
sumber daya yang tersedia di rumah sakit secara wajar, efisien, efektif serta
aman dan memuaskan sesuai norma, etika, hukum dan sosio budaya.

2.5 Perbaikan SOP

SOP yang harus diperbaiki yaitu :

 SOP dokter jaga


 SOP perawat
 SOP Ketenagaan medis ICU

14
1. Dokter
 Dokter spesialis yang dapat memberikan pelayanan setiap
diperlukan
 Dokter jaga 24 jam dengan kemampuan ALS/ACLS/FCCS
 Perbandingan dokter : pasien = 4 : 6-8 bed

2. Perawat
Ruang ICU harus memiliki jumlah yang cukup dan lebih dari 50%
harus sudah pelatihan ICU minimal 3 bulan. Jumlah perawat ICU
ditentukan berdasarkan jumlah tempat tidur dan ketersediaan
ventilasi mekanik.
Perbandingan perawat : pasien yang menggunakan ventilasi
mekanik adalah 1:1, sedangkan perbandingan perawat : pasien
yang tidak menggunakan ventilasi mekanik adalah 1:2.

2.6 Safety Pemberian Obat

Prinsip pemberian obat yang harus diterapkan adalah Benar Obat, Benar
Dosis, Benar Pasien, Benar Rute, Benar Waktu, Benar Edukasi Klien, Benar
Dokumentasi, Benar untuk Menolak Edukasi, Benar Pengkajian dan Benar
Evaluasi (Berman et al., 2008)

1. Prisnip Benar Obat mencakup tiga kali pengecekkan untuk keselamatan


pemberian obat. Pengecekan pertama dilakukan saat membaca
Medication Administration Record (MAR) dengan membandingkan label
dan obat yang tercantum dalam MARET. Selain itu, perawat mengecek
tanggal kadaluwarsa obat dan menentukan apakah perlu melakukan
persiapan obat dengan melihat label obat dan mencocokkan dengan
MARET. Pengecekan ketiga dilakukan sebelum menyimpan kembali
persediaan obat. Prinsip Benar Dosis mencakup perhatian khusus pada
pemberian pil/tablet secara multiple atau dosis tinggi obat cair. Hal

15
tersebut dapat menjadi petunjuk bahwa dosis yang diberikan mungkin
tidak tepat/ sesuai.
2. Penghitungan kembali dosis obat pada dosis yang dipertanyakan dapat
mengurangi risiko kesalahan pemberian obat. Formula untuk dosis obat
cair harus diberikan adalah hasil bagi antara dosis yang diingikan dan
volume di tangan dengan dosis di tangan

Dosis medikasi yang harus diberikan:

Dosis yang diinginkan x volume di tangan


Dosis di tangan

3. Prinsip Benar Pasien mencakup ketepatan dalam mengidentifikasi klien


saat pemberian medikasi. Joint Commission International (2007)
menetapkan dalam Sasaran keselamatan pasien bahwa perawat perlu
menggunakan paling tidak dua identitas klien saat memberikan obat.
Identifikasi tidak dapat berupa nomor kamar klien. Identitas yang dapat
digunakan adalah nama klien, nomor medical record, foto, atau identitas
lain yang spesifik. Perawat perlu mengecek ID band klien setiap kali
memberikan obat dan mewaspadai saat terdapat pasien dengan nama
belakang yang sama di ruang rawat.
4. Prinsip Benar Rute mencakup ketepatan dan keamanan rute pemberian
medikasi bagi klien. Rute pemberian dapat berupa oral (pil, kapsul, cair),
parenteral (dengan menggunakan jarum suntik), topical (dioleskan ke
kulit atau membran mukosa), tetes (pada mata atau telinga), rectal
(supositoria atau cairan). Klien mungkin perlu asistensi dalam
memberikan posisi saat injeksi intramuskular.
5. Prinsip Benar Waktu mencakup ketepatan dan kesesuaian pemberian
medikasi dengan waktu yang telah dijadwalkan. Obat yang diberikan 30
menit sebelum atau setelah waktu yang telah dijadwalkan dapat dianggap
memenuhi standar waktu yang tepat. Perawat harus juga
mempertimbangkan kebijakan rumah sakit terkait pemberian obat.

16
Rumah sakit umumnya memiliki singkatan standar untuk proses
penggunaan obat. Perawat perlu mengetahui dan mengingat singkatan-
singkatan tersebut. Jadwal pemberian obat perlu direncanakan untuk
mempertahankan kadar obat dalam darah secara konsisten dalam upaya
meningkatkan efektifitas terapeutik. Beberapa obat (misal: insulin)
diberikan dalam kondisi perut kosong sehingga perawat harus
memberikan obat kepada klien 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan.
Di sisi lain, beberapa obat harus diberikan dengan makanan untuk
meningkatkan absorbsi dan mengurangi iritasi. Antibiotik umumnya
diberikan tiap 6, 8, 12 jam sepanjang siang dan malam untuk
mempertahankan kadarnya di dalam tubuh. Diuretik umumnya diberikan
pada siang hari dibandingkan malam hari untuk mencegah gangguan
tidur akibat urinasi yang sering. Ada pula obat yang tidak boleh diberikan
bersamaan dengan antasida. Sebelum pemberian obat Pro Re Nata (PRN,
jika perlu), perawat perlu mengecek jadwal dan dokumentasi pemberian
obat untuk memastikan bahwa obat belum diberikan oleh orang lain, atau
telah melewati interval waktu yang ditetapkan setelah pemberian obat
sebelumnya.
6. Prinsip Benar Edukasi Klien mencakup seluruh informasi yang
dibutuhkan klien terkait dengan pengobatannya. Klien membutuhkan
panduan mengenai pengobatannya. Beberapa klien khawatir terkait
dengan pengobatan yang didapatnya. Perawat dapat menenangkan klien
dan mengoreksi informasi yang dipahami oleh klien.
7. Prinsip Benar Dokumentasi mencakup pendokumentasian nama obat,
dosis, metode administrasi, dan data spesifik yang relevan, seperti nadi,
dan informasi lain yang berkaitan. Hal lain yang perlu didokumentasikan
adalah waktu pemberian obat dan tanda tangan perawat yang
memberikan. Dokumentasi dilakukan setelah perawat memberikan
medikasi, bukan sebelum memberikan medikasi. Jika waktu pemberian
obat berbeda dengan waktu yang diresepkan, perawat harus mencatat
waktu pemberian yang sebenarnya dan menjelaskan alasannya (misal:

17
farmasi menyatakan bahwa medikasi akan tersedia dalam waktu 2 jam)
dalam catatan keperawatan. Jika medikasi tidak diberikan, perawat perlu
mengikuti kebijakan Rumah sakit untuk mendokumentasikan alasannya.
8. Prinsip Benar untuk Menolak Medikasi mencakup penolakan terhadap
medikasi yang dilakukan oleh klien dewasa. Perawat perlu
mengkonfirmasi alasan penolakan pemberian medikasi. Jika defisit
pengetahuan yang mendasari alasan penolakan klien, perawat perlu
menyediakan informasi yang tepat terkait alasan pemberian medikasi.
Dokumentasi harus dilakukan apabila klien tetap menolak dan alasannya.
Perawat berperan untuk memastikan bahwa klien telah mendapat
informasi yang adekuat dan konsekuensi yang mungkin terjadi akibat
tidak mendapatkan medikasi.
9. Pengkajian kepatutan medikasi yang diresepkan untuk klien perlu
dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi klien, termasuk usia, berat
badan, patofisiologi, hasil laboratorium, tanda- tanda vital, pengetahuan
dan pemilihan konsumsi obat. Selain itu, perawat harus mengkaji adanya
alergi, sensitivitas, dan efek samping pada pengobatan sebelumnya serta
kepatutan medikasi yang diresepkan untuk klien pada situasi tertentu.
Perawat pun perlu memperhatikan efek terapi, efek samping, interaksi
obat, dan makanan yang dapat menjadi kontraindikasi dan menurunkan
absorbsi obat.
10. Prinsip Benar Evaluasi yang harus diperhatikan oleh perawat mencakup
kegiatan pada tahapan evaluasi yaitu pemantauan terhadap medikasi yang
diberikan, seperti mengenali hasil pemberian medikasi termasuk
efektivitas, efek samping, tanda- tanda terjadinya reaksi yang tidak
diharapkan, dan atau interaksi obat. Selain itu, pada tahapan evaluasi,
perawat juga perlu melakukan follow up dengan pemberi resep terkait
pertanyaan seputar medikasi, merujuk klien kepada pnyedia layanan
kesehatan terkait untuk pengkajian dan follow up lebih lanjut apabila
terjadi masalah dan belum dapat tertangani, mendokumentasikan

18
tindakan yang telah dilakukan dan tipe asistensi jika klien melakukan
sendiri pemberian medikasi.

19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

1) Kode etik perilaku merupakan seperangkat peraturan yang dijadikan


pedoman perilaku di rumah sakit. Kode etik perilaku bertujuan membantu
menciptakan dan mempertahankan integritas, membantu menciptakan
lingkungan kerja yang aman, sehat, nyaman, dan dimana setiap orang
dihargai dan dihormati martabatnya setara sebagai anggota tim asuhan
pasien (PERSI, 2015).
2) Berikut ini jenis-jenis perilaku berdasarkan Kodek Etik Rumah Sakit
(PERSI, 2015):
a. Perilaku yang pantas.
b. Perilaku yang tidak pantas
3) Kewenangan dokter terdapat pada pasal 35 UU No. 29 tahun 2004 yang
menyebutkan dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai
dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas
a. mewawancarai pasien
b. memeriksa fisik dan mental pasien
c. menentukan pemeriksaan penunjang
d. menegakkan diagnosis
e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien
f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
g. menulis resep obat dan alat kesehatan
h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi
i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan
j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di
daerah terpencil yang tidak ada apotek (UU No. 29, 2004).
4) Kolaborasi perawat dan dokter dipandang sebagai faktor penting dalam
pemberian asuhan keperawatan yang berkualitas (Nelson, King & Brodine,

20
2008). Kolaborasi dapat berjalan baik jika setiap anggota saling
memahami peran dan tanggung jawab masingmasing profesi memiliki
tujuan yang sama, mengakui keahlian masing-masing profesi, saling
bertukar informasi dengan terbuka, memiliki kemampuan untuk mengelola
dan melaksanakan tugas baik secara individu maupun bersama kelompok.
5) Dalam institusi pensisikan harus memberikan arahan atau pengetahuan
untuk meningkatkan mutu pelayanan di ruang ICU yaitu dengan cara
memberikan pengetahuan tentang faktor yang mempengaruhi tingkat
mutu pelayanan
1. Pasien/masyarakat
2. Profesi kesehatan
3. Manajemen
6) SOP yang harus diperbaiki yaitu :
 SOP dokter jaga
 SOP perawat
 SOP Ketenagaan medis ICU

7) Prinsip pemberian obat yang harus diterapkan adalah Benar Obat, Benar
Dosis, Benar Pasien, Benar Rute, Benar Waktu, Benar Edukasi Klien,
Benar Dokumentasi, Benar untuk Menolak Edukasi, Benar Pengkajian dan
Benar Evaluasi (Berman et al., 2008)

3.2 Saran
Diharapkan kepada pihak manajemen Rumah Sakit dalam memperhatikan
resiko-resiko yang dapat terjadi di segala aspek rumah sakit, terkhusus ruang ICU.

Diharapkan komunikasi dan kaloborasi antar tenaga kesehatan dijaga lebih


biak hingga tidak menimbulkan korban.

21
DAFTAR PUSTAKA

Berman, A.J., Shirlee, S., Barbara, J., Kozier, & Glenora, E. (2008). Kozier &
Erb’s Fundamentals of nursing: Concepts, process, and practice (8th Ed.).
New Jersey: Prentice Hall.
Indracahyani, Agustin. 2010. Keselamatan Pemberian Medikasi. Jurnal
Keperawatan Indonesia, 13(2), pp. 105-111
Joint Commission Internasioanl. 2007. Accreditation standards for hospital (3rd
Ed.). Illinois: Joint Commission Resources.
PERSI. (2015). KODE ETIK RUMAH SAKIT INDONESIA. Jakarta.
Titania, E. L. (n.d.). PENTINGNYA KOLABORASI ANTAR TENAGA
KESEHATAN DALAM MENERAPKAN KESELAMATAN PASIEN.

22

Anda mungkin juga menyukai