Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUKUM DAN ETIK KEPERAWATAN DI RUANG ICU DAN EVIDENCE


BASED PRACTICE

Ditujukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

DISUSUN OLEH :

Kelompok 3

1. Candra Kresna Dwipayana (4002200022)


2. Erni Laela Sari (4002200130)
3. Irpan Santosa (4002200126)
4. Indah Noormediani (4002200044)
5. Retna Wulan (4002200069)
6. Suciyati Nur Khofifah (4002200100)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN NON REGULER

STIKES DHARMA HUSADA BANDUNG

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang telah memberi taufik dan hidayah-Nya
kepada kami. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya,
para sahabatnya dan mudah-mudahn sampai kepada kita selaku umatnya. Amiin
Makalah ini menyajikan pembahasan mengenai Hukum Dan Etik Keperawatan Di Ruang
Icu Dan Evidence Based Practice dimana laporan ini disusun sebagai salah satu pemenuhan
tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis. Tim penyusun menyadari masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu Tim Penyusun berharap adanya kritik dan saran
yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Seiring dengan berakhirnya penyusunan makalah ini, Tim Penyusun mengucapkan terima
kasih kepada Dosen Mata Kuliah Keperawatan Kritis, berbagai pihak yang telah turut membantu
dalam penyusunan makalah ini. Tim Penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kami
khususnya dan umumnya bagi masyarakat luas.

Bandung, Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

halaman
KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Hukum dan etik...............................................................................................................................6
B. Evidence Based Practice................................................................................................................10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................................................15
B. Saran..............................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Etika merupakan pedoman untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan
merupakan kesepakatan dari nilai-nilai positif untuk menghasilkan kebaikan guna
perkembangan individu dan masyarakat, dan aturan apa saja yang kita butuhkan untuk
mencegah manusia berbuat jahat (Suhaemi, 2003). Etika keperawatan adalah nilai-nilai
dan prinsip-prinsip yang diyakini oleh profesi keperawatan dalam melaksanakan
tugasnya yang berhubungan dengan pasien, masyarakat, teman sejawat maupun dengan
organisasi profesi, dan juga dalam pengaturan praktik keperawatan itu sendiri. Prinsip-
prinsip etika ini oleh profesi keperawatan secara formal dituangkan dalam suatu kode etik
yang merupakan komitmen profesi keperawatan akan tanggung jawab dan kepercayaan
yang diberika oleh masyarakat (Berger & Williams, 1999).
` Pasien yang dirawat diruang ICU (Intencive Care Unit) mengalami keadaan gawat
yang mengancam kehidupan. Untuk itu perawat diruang ICU cenderung cepat dan cermat
serta kegiatannya dilakukan secara terus menerus dalarn 24 jam. Perawatan diruang ICU
sering menggunakan alat-alat canggih yang asing bagi pasien maupun keluarga. Keadaan
tersebut dapat menimbulkan krisis dalam keluarga, terutama jika sumber krisis
merupakan stimulus yang belum pernah dihadapi oleh keluarga sebelumnya. Selain itu
peraturan di ICU cenderung ketat, keluarga tidak boleh menunggu pasien secara terus
menerus sehingga hal ini akan menimbulkan kecemasan bagi keluarga pasien yang
dirawat di ICU mengingat keluarga adalah suatu system terbuka dimana setiap ada
perubahan atau gangguan pada salah satu system dapat mengakibatkan perubahan atau
gangguan pada salah satu system dapat mengakibatkan perubahan atau gangguan bagi
seluruh system tersebut. Keluarga yang mengerti di ICU pun mengalami kecemasan
apalagi keluarga yang tidak mengerti perawatan di ICU akan semakin memperberat
kecemasan. Oleh karena itu kecemasan yang dialami oleh salah satu keluarga
mempengaruhi seluruh keluarga lain. (Kusuma, 2007).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum dan etik keperawatan intensif?
2. Apa yang dimaksud dengan evidence based practice?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui hukun dan etik keperawatan intensif.
2. Mengetahui evidence based practice.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Hukum dan etik
Pelayanan intensif merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan
untuk menangani kondisi kritis pasien. Di Indonesia, pelayanan ini sebagian besar
dilakukan oleh dokter spesialis anestesi dan diberikan di instalasi Intensive Care
Unit (ICU). Pelayanan intensif ditujukan untuk memberikan terapi dan perawatan
intensif. Biaya pelayanan yang sangat tinggi membutuhkan rasionalisasi pelayanan agar
dapat memenuhi hak setiap orang yang membutuhkan.

Hak atas kesehatan adalah hak intrinsik dari setiap manusia untuk memperoleh
akses serta layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas. Bukan semata-mata hak
setiap manusia untuk menjadi sehat. Kondisi sumber daya kesehatan adalah terbatas,
sedangkan kebutuhan akan kesehatan adalah tidak terbatas. Dalam menghadapi kondisi
yang demikian, dibutuhkan rasionalisasi kesehatan agar dapat memenuhi hak atas
kesehatan bagi seluruh masyarakat.

Pedoman pengelolaan pelayanan intensif di ICU yang dikeluarkan dalam


Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1778 tahun 2010 telah memberikan panduan
prioritasisasi bagi pasien yang akan masuk ke dalam ICU, namun belum memberikan
petunjuk yang rinci bagi pasien yang akan keluar. Hal itu menimbulkan dilema etik bagi
dokter yang akan mendistribusikan pelayanan intensif di ICU pada pasien yang sudah
tidak lagi akan mendapatkan manfaat dari tindakan medis (futile). Futilitas atau kesia-
siaan tindakan kedokteran merupakan permasalahan etik yang dapat menimbulkan
masalah hukum. Dilema tersebut dapat diatasi melalui penyusunan sebuah pedoman
rasionalisasi pelayanan intensif yang memenuhi trias tanggung jawab etikolegal, yang
terdiri dari responsibility, accountability, dan liability.
1. Maksud dan Tujuan aspek etik dalam keperawatan intensif

Secara umum, tujuan Kode Etik Keperawatan adalah sebagai berikut (Kozier. Erb.
1990)

a. Sebagai aturan dasar terhadap hubungan perawat dengan perawat, pasien dan
anggota tenaga kesehatan lainnya.
b. Sebagai standar dasar untuk mengeluarkan perawat jika terdapat perawat
yang melakukan pelanggaran berkaitan kode etik dan untuk membantu
perawat yang tertuduh suatu permasalahan secara tidak adil.
c. Sebagai dasar pengembangan kurikulum pendidikan keperawatan dan untuk
mengorientasi lulusan keperawatan dalam memasuki jajaran praktik
keperawatan professional
d. Membantu masyarakat dalam memahami perilaku keperawatan professional.

2. Prinsip moral dalam praktik keperawatan


Prinsip moral yang sering digunakan dalam keperawatan (Johnstone, 199, Baird et, at
1991, PPNI, 2015).
a. Autonomi (Otonomi)/ Respek.
b. Beneficience (Berbuat Baik)
c. Justice (Keadilan)
d. Confidentiality (Kerahasiaan)
e. Veracity (Kejujuran)
f. Avoiding Killing/ Non Maleficience (Tidak merugikan)
g. Fidelity (Menepati janji)
h. Akuntabilitas
3. Informed Consent
Adalah suatu proses komunikasi yang efektif secara dokter dan pasien dan
bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan
terhadap pasien. Informed Consent perlu diberikan karena tidak semua kejadian
dalam pengobatan berlangsung seperti diharapkan tidak ada kepastian dan jaminan
yang pasti dalam ilmu kedokteran karena setiap kasus bagaikan teori permutasi
kombinasi. Tiga Element Informed Consent
a. Threshold Element
Sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslan seseorang
yang kompeten(mampu), artinya sebagai kepasitas untuk membuat
keputusan medis.
b. Information element
Element ini terdiri dari 2 bagian yaitu : Disclosure (pengungkapan) dan
Understanding (Pemahaman).
c. Consent element
Element ini terdiri dari 2 bagian yaitu Voluntariness (Kesukarelaan,
kekebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengahruskan
tidak ada tipuan, misrepresentasi atau pun paksaan. Pasien juga harus
bebas dari “tekanan” yang dilakukan oleh tenaga medis yang bersikap
seolah-olah akan “dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.

4. Pengertian Hukum Dalam Keperawatan Intensif


Aspek aturan keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai
lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan,
termasuk hak dan kewajibannya yang diatur dalam undang-undang keperawatan
Maksud dan tujuan aspek legal dalam keperawatan intensif yaitu:
a. Memberikan kerangka untuk menetukan tindakan keperawatan mana yang
sesuai dengan hukum
b. Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi lain
c. Membantu menentukan batas – batas kewenangan tindakan keperawatan
mandiri
d. Membantu memertahankan standar praktik keperawatan dengan
meletakkan posisi perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum
e. Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seseorang , perawat
berwenang melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan yang
ditujukan untuk penyelamatan jiwa

5 Masalah Legal Dalam Praktik Keperawatan Intensif


Aspek legal Keperawatan sesuai dengan UU No. tahun 2014 pada
kewenangan formalnya adalah izin yang memberikan kewenangan kepada
penerimannya untuk melakukan praktik profesi perawat yaitu Surat Tanda
Registrasi (STR), bila bekerja di dalam suatu institusi pelayanan.
Kewenangan itu hanya di berikan kepada mereka yang memiliki
kemampuan, namun memiliki kemampuan tidak berarti memiliki kewenangan.
Seperti juga kemampuan yang di dapat secara berjenjang, kewenangan yang
diberikan juga berjenjang.
Kompetensi dalam keperawatan berarti kemampuan khusus perawat dalam
bidang tertentu yang dimiliki tingkat minimal yang harus dilampaui.
Dalam profesi kesehatan hanya kewenangan yang bersifat umum saja yang diatur
oleh Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di bidang
kesehatan dan kedokteran atau kesehatan tertentu diserahkan kepada profesi
masing-masing
Dilema Etik Dan Legal Keperawatan Intensif
a. Pulang paksa
Pulang paksa adalah istilah yang digunakan apabila pasien tidak mau
lagi melanjutkan/menjalani rawat inap lebih lama dan minta dipulangkan,
tetapi secara medis belum cukup stabil untuk menjalani perawatan dirumah.
b. Do Not Resuscitate (DNR): With Holding/ With Drawal
With Holding adalah menunda terapi atau bantuan hidup pada pasien
yang dianggap sudah tidak punya harapan hidup lagi, sedangkan With Drawal
artinya menghentikan bantuan hidup pada pasien yang biasanya terpasang alat
bantu penunjang kehidupan seperti ventilasi mekanik, alat pacu jantung, dll.
Baik With Holding maupun With Drawal dilakukan pada pasien yang secara
medis tidak punya harapan hidup lagi. Keputusan melakukan ini harus
dikomunikasikan dengan keluarga setelah tim medis mendiskusikannya
dengan tim lain.

c. Eutanasia
Kematian pada umumnya disepakati sebagai berhentinya kehidupan,
meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran
yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan atau denyut jantung
seseorang telah berhenti.
Ketika pasien belum dapat dinyatakan mati, dokter melakukan
tindakan secara aktif menghentikan kehidupannya, maka ia dapat dinyatakan
sebagai melakukan pembunuhan. Sebaliknya apabila pasien sudah dapat
dinyatakan mati, tetapi dokter masih melakukan tindakan terapeutik maka ia
dapat di nyatakan melanggar profesi karena melakukan tindakan medik pada
mayat.

B. Evidence Based Practice


a. Pengertian
Evidence based practice (EBP) adalah sebuah proses yang akan membantu
tenaga kesehatan agar mampu uptodate atau cara agar mampu memperoleh informasi
terbaru yang dapat menjadi bahan untuk membuat keputusan klinis yang efektif dan
efisien sehingga dapat memberikan perawatan terbaik kepada pasien (Macnee, 2011).
Sedangkan menurut (Bostwick, 2013) evidence based practice adalah
starategi untuk memperolah pengetahuan dan skill untuk bisa meningkatkan tingkah
laku yang positif sehingga bisa menerapakan EBP didalam praktik. Dari kedua
pengertian EBP tersebut dapat dipahami bahwa evidance based practice merupakan
suatu strategi untuk mendapatkan knowledge atau pengetahuan terbaru berdasarkan
evidence atau bukti yang jelas dan relevan untuk membuat keputusan klinis yang
efektif dan meningkatkan skill dalam praktik klinis guna meningkatkan kualitas
kesehatan pasien.
Oleh karena itu berdasarkan definisi tersebut, Komponen utama dalam
institusi pendidikan kesehatan yang bisa dijadikan prinsip adalah membuat keputusan
berdasarkan evidence based serta mengintegrasikan EBP kedalam kurikulum
merupakan hal yang sangat penting. Namun demikian fakta lain dilapangan
menyatakan bahwa pengetahuan, sikap, dan kemampuan serta kemauan mahasiswa
keperawatan dalam mengaplikasikan evidence based practice masih dalam level
moderate atau menengah.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan konsep pendidikan keperawatan
yang bertujuan untuk mempersiapkan lulusan yang mempunyai kompetensi dalam
melaksanakan asuhan keperawatan yang berkualitas. Meskipun mahasiswa
keperawatan atau perawat menunjukkan sikap yang positif dalam mengaplikasikan
evidence based namun kemampuan dalam mencari literatur ilmiah masih sangat
kurang. Beberapa literatur menunjukkan bahwa evidence based practice masih
merupakan hal baru bagi perawat. oleh karena itu pengintegrasian evidence based
kedalam kurikulum sarjana keperawatan dan pembelajaran mengenai bagaimana
mengintegrasikan evidence based kedalam praktek sangatlah penting (Ashktorab et
al., 2015).
Pentingnya evidence based practice dalam kurikulum undergraduate juga
dijelaskan didalam (Sin&Bleques, 2017) menyatakan bahwa pembelajaran evidence
based practice pada undergraduate student merupakan tahap awal dalam menyiapkan
peran mereka sebagai registered nurses (RN). Namun dalam penerapannya, ada
beberapa konsep yang memiliki kesamaan dan perbedaan dengan evidence based
practice. Evidence based practice atauevidence based nursing yang muncul dari
konsep evidence based medicinememiliki konsep yang sama dan memiliki makna
yang lebih luas dari RU atauresearch utilization(Levin & Feldman, 2012).

b. Tujuan EBP
Tujuan utama di implementasikannya evidance based practice di dalam
praktek keperawatan adalah untuk meningkatkan kualitas perawatan dan
memberikan hasil yang terbaik dari asuhan keperawatan yang diberikan. Selain
itu juga, dengan dimaksimalkannya kualitas perawatan tingkat kesembuhan
pasien bisa lebih 20 cepat dan lama perawatan bisa lebih pendek serta biaya
perawatan bisa ditekan (Madarshahian et al., 2012).
Dalam rutinititas sehari-hari para tenaga kesehatan profesional tidak hanya
perawat namun juga ahli farmasi, dokter, dan tenaga kesehatan profesional
lainnya sering kali mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul
ketika memilih atau membandingkan treatment terbaik yang akan diberikan
kepada pasien/klien, misalnya saja pada pasien post operasi bedah akan muncul
pertanyaan apakah teknik pernapasan relaksasi itu lebih baik untuk menurunkan
kecemasan dibandingkan dengan cognitive behaviour theraphy, apakah teknik
relaksasi lebih efektif jika dibandingkan dengan teknik distraksi untuk
mengurangi nyeri pasien ibu partum kala 1 (Mooney, 2012).
a. Komponen kunci EBP
Evidence atau bukti adalah kumpulan fakta yang diyakini kebenarannya.
Evidence atau bukti dibagi menjadi 2 yaitu eksternal evidence dan 24 internal
evidence. Bukti eksternal didapatkan dari penelitian yang sangat ketat dan dengan
proses atau metode penelitian ilmiah. Pertanyaan yang sangat penting dalam
mengimplementasikan bukti eksternal yang didapatkan dari penelitian adalah
apakah temuan atau hasil yang didapatkan didalam penelitian tersebut dapat
diimplementasikan kedalam dunia nyata atau dunia praktek dan apakah seorang
dokter atau klinisi akan mampu mencapai hasil yang sama dengan yang
dihasilkan dalam penelitian tersebut. Berbeda dengan bukti eksternal bukti
internal merupakan hasil dari insiatif praktek seperti manajemen hasil dan proyek
perbaikan kualitas (Melnyk & Fineout, 2011).
Dalam (Grove et al., 2012) EBP dijelaskan bahwa clinical expertise yang
merupakan komponen dari bukti internal adalah merupakan pengetahuan dan skill
tenaga kesehatan yang 25 profesional dan ahli dalam memberikan pelayanan. Hal
atau kriteria yang paling menunjukkan seorang perawat ahli klinis atau clinical
expertise adalah pengalaman kerja yang sudah cukup lama, tingkat pendidikan,
literatur klinis yang dimiliki serta pemahamannnya terhadap research. Sedangkan
patient preference adalah pilihan pasien, kebutuhan pasien harapan, nilai,
hubungan atau ikatan, dan tingkat keyakinannya terhadap budaya. Melalui proses
EBP, pasien dan keluarganya akan ikut aktif berperan dalam mengatur dan
memilih pelayanan kesehatan yang akan diberikan. Kebutuhan pasien bisa
dilakukan dalam bentuk tindakan pencegahan, health promotion, pengobatan
penyakit kronis ataupun akut, serta proses rehabilitasi.
b. Model-model EBP
Dalam memindahkan evidence kedalam praktek guna meningkatkan
kualitas kesehatan dan keselamatan (patient safety) dibutuhkan langkahlangkah
yang sistematis dan berbagai model EBP dapat membantu perawat atau tenaga
kesehatan lainnya dalam mengembangkan konsep melalui pendekatan yang
sistematis dan jelas, alokasi waktu dan sumber yang jelas, sumber daya yang 28
terlibat, serta mencegah impelementasi yang tidak runut dan lengkap dalam
sebuah organisasi (Gawlinski & Rutledge, 2008).
Namun demikian, beberapa model memiliki keunggulannya
masingmasing sehingga setiap institusi dapat memilih model yang sesuai dengan
kondisi organisasi. Beberapa model yang sering digunakan dalam
mengimplementasikan evidence based practiceadalah Iowa model (2001), stetler
model (2001), ACE STAR model (2004), john hopkinsevidence-based practice
model(2007), rosswurm dan larrabee’s model, serta evidence based practice
model for stuff nurse (2008). Beberapa karakteristik tiap-tiap model yang dapat
dijadikan landasan dalam menerapkan EBP yang sering digunakan yaitu IOWA
model dalam EBP digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan,
digunakan dalam berbagai akademik dan setting klinis. Ciri khas dari model ini
adalah adanya konsep “triggers” dalam pelaksanaan EBP. Trigers adalah masalah
klinis ataupun informasi yang berasal dari luar organisasi.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi EBP
Dalam (Ashktorab et all., 2015) menyatakan bahwa ada beberapa faktor
yang akan mendukung penerapan evidence based practice oleh mahasiswa
kepearawatan, diantaranya adalah intention (niat), pengetahuan, sikap, dan
perilaku mahasiswa keperawatan. Dari ketiga faktor tersebut sikap mahasiswa
dalam menerapkan EBP merupakan faktor yang sangat menunjang penerapan
EBP. Untuk mewujudkan hal tersebut pendidikan tentang EBP merupakan upaya
yang harus dilakukan dalam meningkatkan pengetahuan mahasiswa ataupun sikap
mahasiswa yang akan menjadi penunjang dalam penerapannya pada praktik
klinis. Sedangkan didalam (Ryan, 2016) dijelaskan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan EBP dalam mahasiswa keperawatan berkaitan dengan
faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terkait erat dengan intention
atau sikap serta pengetahuan mahasiswa sedangkan faktor ekstrinsik erat
kaitannya dengan organizational atau institutional support seperti kemampuan
fasilitator atau mentorship dalam memberikan arahan guna mentransformasi
evidence kedalam praktek, ketersedian fasilitias yang mendukung serta dukungan
lingkungan.
d. Langkah-langkah dalam proses EBP
Berdasarkan (Melnyk et al., 2014) ada beberapa tahapan atau langkah
dalam proses EBP. Tujuh langkah dalam evidence based practice (EBP) dimulai
dengan semangat untuk melakukan penyelidikan atau pencarian (inquiry)
personal. Budaya EBP dan lingkungan merupakan faktor yang sangat penting
untuk tetap mempertahankan timbulnya pertanyaan-pertanyaan klinis yang kritis
dalam praktek keseharian. Langkah-langkah dalam proses evidance based practice
adalah sebagai berikut:
a) Menumbuhkan semangat penyelidikan (inquiry)
b) Mengajukan pertanyaan PICO(T) question
c) Mencari bukti-bukti terbaik
d) Melakukan penilaian (appraisal) terhadap bukti-bukti yang ditemukan
e) Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan pilihan pasien untuk
membuat keputusan klinis terbaik
f) Evaluasi hasil dari perubahan praktek setelah penerapan EBP
g) Menyebarluaskan hasil (disseminate outcome).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pelayanan intensif merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan yang
ditujukan untuk menangani kondisi kritis pasien. Di Indonesia, pelayanan ini
sebagian besar dilakukan oleh dokter spesialis anestesi dan diberikan di
instalasi Intensive Care Unit (ICU). Pelayanan intensif ditujukan untuk
memberikan terapi dan perawatan intensif. Biaya pelayanan yang sangat tinggi
membutuhkan rasionalisasi pelayanan agar dapat memenuhi hak setiap orang
yang membutuhkan.

Evidence based practice (EBP) adalah sebuah proses yang akan


membantu tenaga kesehatan agar mampu uptodate atau cara agar mampu
memperoleh informasi terbaru yang dapat menjadi bahan untuk membuat
keputusan klinis yang efektif dan efisien sehingga dapat memberikan perawatan
terbaik kepada pasien (Macnee, 2011).

B. Saran
Beberapa kesimpulan yang telah diuraikan di atas, dapatlah diajukan saran
sebagai berikut:

1. Bagi aparat penegak hukum, baik Penyidik, Penuntut Umum, dan


Hakim diharapkan proaktif dan jeli dalam melihat indikasi-indikasi medis.
Penyuluhan tentang kesehatan pun perlu diikuti supaya dapat menambah
pengetahuan dan terdapat pandangan yang sama dalam menegakkan kasus
malpraktek, agar tercipta kepastian hukum dan keadilan di masing-masing pihak.

2. Bagi perawat atau tenaga kesehatan yang lain, diharapkan dapat


menjalankan tugasnya lebih hati-hati dan mematuhi etika atau standar profesinya.
Selain itu, penyuluhan hukum pun perlu diikuti supaya lebih memahami dan
mengerti hukum. Peran lembaga pengawasan terhadap pelanggaran kode etik
perlu ditingkatkan dan diharapkan bertindak secara objektif.
3. Bagi pasien, diharapkan dapat mengikuti berbagai penyuluhan hukum
dan kesehatan supaya menambah pengetahuannya dan lebih bisa memahami hak
dan kewajibannya. Masyarakat pun harus aktif dalam membantu aparat penegak
hukum, seperti dengan memberi dukungan kepada pasien yang mengalami
tindakan malpraktek supaya penegakan hukum dapat berjalan sebagaimana
mestinya
DAFTAR PUSTAKA

Hendrik, 2011. Etika dan hukum kesehatan, penerbit buku kedokteran, EGC.
Hudak dan Galo, 1997, Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik Vol I.
PPNI, 2010. Pedoman Etika Keperawatan.
Modul Pelatihan, 2014. Keperawatan Intensif Dasar, Penerbit In Media, Cetakan ke-3, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai