Makalah ini dibuat untuk memenuhi nilai Ujian Akhir Semester Mata kuliah Pancasila
Disusun oleh:
Anastasya Ferliana 01041190084
Fathia Fajrina 01041190043
Vanessa Regita Jap 01033190005
Vito Setiady Wirawan 01041190007
Yussarah Melinda 01033190025
KARAWACI, TANGERANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pancasila merupakan Ideologi Negara Indonesia yang secara resmi disahkan oleh
PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum pada Pembukaan UUD 1945.
Dinamika Pancasila sebagai ideologi negara dalam sejarah berdirinya Indonesia
memperoleh pasang surut, sejak dari masa pemerintahan Presiden Soekarno hingga
sekarang. Hal ini menimbulkan beberapa perdebatan dan argumen apakah Pancasila
masih bisa dan sanggup menjadi Ideologi Negara ini. Perdebatan Pancasila sebagai
ideologi negara didasari oleh beberapa pihak yang mulai merasa bahwa Pancasila tidak
lagi relevan dengan Indonesia.
Berbagai macam gerakan separatis yang membela argumen masing-masing
mengenai pandangan mereka tentang ideologi negara. Tentu saja hal ini sangat menguji
integritas Indonesia sebagai negara kesatuan. Perdebatan Pancasila ini menimbulkan
beberapa peristiwa seperti perdebatan dalam konstituante, pemberontakan DI/TII dan
PKI, globalisasi, liberalisme, terorisme, dan lainnya yang tidak sedikit.
Pada makalah ini kami ingin membahas tentang perdebatan Pancasila sebagai
Ideologi Negara dan bagaimana relevansinya terhadap kehidupan bernegara saat ini. Dan
bagaimana kami menanggapi hal tersebut melalui opini-opini kami.
1.3.2. Untuk mengetahui relevansi setiap sub topik dengan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1. Mengetahui suatu konsep dan pandangan yang terdiri dari berbagai macam etnis,
golongan dan agama.
1.4.2 Meningkatkan pengetahuan tentang suatu bangsa
1.4.2. Meningkatkan pengetahuan tentang kehidupan bangsa dan bernegara
BAB II
LANDASAN TEORI
Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan seperti, bukankah dasar negara harus mengatasi semua
golongan dan keragaman latar belakang serta menutup rapat-rapat peluang munculnya
diskriminasi. Sehingga, "kami menolak konstitusi yang hanya memenuhi kebutuhan dari satu
golongan atau aliran saja dalam masyarakat, yaitu misalnya konstitusi nasional Islam, Kristen,
Katolik, dan lain-lain, oleh karena hal ini bertentangan dengan arti yang sewajarnya daripada res
publica", demikian kata Ir. Sakirman dari Fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI) (Khairul, h.5)
Soedjatmoko pernah mengingatkan bahwa tujuan dasar negara adalah untuk menciptakan
keadilan, kemanusiaan, dan kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh bangsa. Hal ini hanya
bisa diciptakan dalam mekanisme demokrasi modern yang dengan argumentasi serupa
dibangunlah Demokrasi Pancasila (Khairul, h.9). Demokrasi bukan berarti kesempatan bagi
sekelompok elit agama dan pengikutnya untuk memaksakan kehendaknya seperti halnya tampak
dalam kasus akhir-akhir ini di Indonesia lewat Islamisasi Perda maupun RUU AP yang sepihak.
Karena itulah nilai etik dan moral Pancasila mesti dipahami berasal dari nilai-nilai tradisi dan
agama yang tentu saja perlu disempurnakan dengan imbangan nilai-nilai kemanusiaan modern
seperti yang dimaktub dalam deklarasi HAM (Khairul, h.10).
Konstituante melakukan pembahasan mengenai mengenai HAM empat kali. Diskusi pertama
berlangsung dalam sidang pleno tanggal 20 Mei hingga 13 Juni 1958 bersama dengan diskusi
mengenai materi yang akan dimasukan ke dalam UUD. Diskusi kedua berlangsung di dalam
Panitia Persiapan Konstusi dan Subkomisi HAM yang dibentuk oleh Panitia persiapan Kostitusi
(Sedik, h.22).
Pada tanggal 4 November 1957 mendiskusikan dibentuk Panitia Perumus untuk menyimpulkan
hasil perdebatan tentang HAM dan merumuskan rancangan keputusan tentaug HAM yang akan
diambil oleh sidang pleno. Pada laporan tersebut akhirnya terdaftar 14 desideratumdan persoalan
HAM tambahan yang muncul dalam sidang pleno dan belum disebutkan di dalam keempat daftar
hak yang semula disusun Panitia Persiapan Konstitusi untuk dipertimbangkan di dalam
Konstituante (Sedik,h.23). Sayangnya, hak-hak tersebut tidak dibahas lebih laanjut, juga tidak
diajukan untuk diputuskan dengan pemungutan suara atau dikembalikan kepada Panitia
Persiapan Konstitusi untuk dibuat perumusan akhirnya (Sedik, h.24).
3. Kalimantan Selatan
Pemberontakan DI/TII di Provinsi Kalimantan Selatan ini dipimpin oleh
Ibnu Hajar. Dilatarbelakangi oleh kekecewaan Ibnu Hajar karena tentara
kemerdekaan yang tidak diterima sebagai Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat yang membuat Ibnu Hajar dan kelompoknya merasa diabaikan dan tidak
didengar aspirasinya. Tujuan Ibnu Hajar masuk kedalam NII (Negara Islam
Indonesia) pada Oktober 1950 adalah dengan agar aspirasi masyarakat lebih
didengar dan diperhatikan. Namun Tentara Islam Indonesia di Kalimantan Selatan
ini berhasil dilumpuhkan pada maret 1965
4. Jawa Tengah
karena banyak pengaruh DI/TII di Jawa Barat oleh Kartosuwiryo yang
mulai merambah ke daerah jawa tengah yang beberapa daerah nya berbatasan
langsung dengan jawa barat. Sehingga, pada 1950, dibawah pimpinan Amir Fatah,
jawa tengah mengemukakan pernyataan bahwa Jawa Tengah merupakan bagian
dari Jawa Barat. Tujuan gerakan ini di Jawa Tengah adalah untuk memberantas
komunisme dan sosialisme yang semakin meluas.
5. Sulawesi Selatan.
Pada 7 Agustus 1953, di bawah pimpinan Kahar Muzakar mulai
mendirikan NII dengan tujuan hampir sama seperti yang dilakukan di Kalimantan
Selatan. Kahar Muzakar merasa tidak dihargai karena banyaknya anggota Tentara
Kesatuan gerilya Sulawesi Selatan tidak diterima sebagai Tentara RI, padahal
mereka juga sudah memperjuangkan RI. namun Kahar Muzakar dan tentaranya
berhasil dilumpuhkan pada 3 februari 1965.
2.3 Globalisasi
Globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di
seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk
interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Bagi Indonesia,
proses globalisasi telah begitu terasa sekali sejak awal dilaksanakan pembangunan. Dengan
kembalinya tenaga ahli Indonesia yang menjalankan studi di luar negeri dan datangnya tenaga
ahli (konsultan) dari negara asing, proses globalisasi yang berupa pemikiran atau sistem nilai
kehidupan mulai diadopsi dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi di Indonesia. Globalisasi
secara fisik ditandai dengan perkembangan kota-kota yang menjadi bagian dari jaringan kota
dunia.
2.4 Liberalisme
2.5 Terorisme
Definisi terorisme sampai dengan saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada
ahli yang merumuskan dan juga dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan. Akan
tetapi ketiadaan definisi yang seragam menurut hukum internasional mengenai terorisme tidak
serta-merta meniadakan definisi hukum terorisme itu. Masing-masing negara mendefinisikan
menurut hukum nasionalnya untuk mengatur, mencegah, dan menanggulangi terorisme.
Kata “teroris” dan terorisme berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih berarti
membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa menimbulkan kengerian akan tetapi
sampai dengan saat ini belum ada definisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Pada
dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sensitif
karena terorisme mengakibatkan timbulnya korban warga sipil yang tidak berdosa.
Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan
kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala
lebih kecil daripada perang . Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18.
Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror ( under the terror ), berasal dari bahasa latin
”terrere” yang berarti gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut . Istilah terorisme pada
awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan
ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Istilah terorisme dan
teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang
mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari
sudut pandang yang diserang. Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal
terlibat dalam aksi terorisme. Penggunaan istilah teroris meluas dari warga yang tidak puas
sampai pada non konformis politik. Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok
orang, atau negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang
mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakan istilah positif untuk kombatan
mereka, misalnya antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot.
Hal yang harus diantisipasi oleh pemerintah maupun aparat ialah bahwa teroris memiliki
keleluasan dalam memperbesar pengaruh basis yang mendukung aksi dari pergerakan mereka
bila kewaspadaan pemerintah dan aparat melemah. Kemudahan dan kebebasan tersebut dapat
menjadi suatu kemudahan bagi para teroris dalam memperoleh senjata, persembunyian yang
aman, dan kemudahan untuk berinteraksi dengan pendukung serta kemudahan memperoleh
fasilitas penyerang.
Dengan demikian, dalam menanggulangi terorisme yang ada di Indonesia, ada dua hal
yang perlu diperhatikan. Pertama, penanggulangan terorisme tidak cukup dengan hanya
melakukan penangkapan. Namun, juga harus ada upaya preventif agar ideologi tidak terus
berkembang. Kedua, penanganan terorisme harus menyentuh sampai ke akar persoalan yang
substansial yaitu memutus ideologi dengan paham jihad yang keliru.
Pancasila sebagai sistem filsafat mengalami dinamika dari masa ke masa terutama berkaitan
dengan masa pemerintahan atau era di Indonesia dari mulai orde lama sama sampai era reformasi
sebagai berikut:
Pada era pemerintahan Soekarno, Pancasila sebagai sistem filsafat dikenal dengan istilah
“Philosofische Grondslag”. Gagasan tersebut merupakan perenungan filosofis Soekarno atas
rencananya berdirinya negara Indonesia merdeka. Ide tersebut dimaksudkan sebagai dasar
kerohanian bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara. Ide tersebut ternyata mendapat sambutan
yang positif dari berbagai kalangan, terutama dalam sidang BPUPKI pertama, persisnya pada 1
Juni 1945. Namun, ide tentang Philosofische Grondslag belum diuraikan secara rinci, lebih
merupakan adagium politik untuk menarik perhatian anggota sidang, dan bersifat teoritis. Pada
masa itu, Soekarno lebih menekankan bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang
diangkat dari akulturasi budaya bangsa Indonesia.
Pada era Soeharto, kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat berkembang ke arah yang
lebih praktis (dalam hal ini istilah yang lebih tepat adalah weltanschauung). Artinya, filsafat
Pancasila tidak hanya bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tetapi juga digunakan
sebagai pedoman hidup sehari-hari. Atas dasar inilah, Soeharto mengembangkan sistem filsafat
Pancasila menjadi penataran P-4. Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem filsafat kurang
terdengar resonansinya. Namun, Pancasila sebagai sistem filsafat bergema dalam wacana
akademik, termasuk kritik dan renungan yang dilontarkan oleh Habibie dalam pidato 1 Juni
2011. Habibie menyatakan bahwa:
“Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tidak lagi relevan
untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif
bangsa Indonesia. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam
konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti
tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang
semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik” (Habibie, 2011: 1--2).
Selain itu sebagaimana disebutkan dimuka pada era reformasi Pancasila dipersoalkan dan
dijadikan kambing hitam dari berbagai keterpurukan yang dialami oleh bangsa ini. Pancasila
yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparatdan aparat pelaksana
negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak Dari keadaan
tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai gerakan
masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya reformasi disegala bidang
politik, ekonomi dan hukum.
Hakikat (esensi) pancasila sebagai sistem filsafat terletak pada hal-hal sebagai berikut:
Pertama hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa Tuhan
sebagai prinsip utama dalam kehidupan semua makhluk. Artinya,setiap makhluk hidup, termasuk
warga negara harus memiliki kesadaran yang otonom (kebebasan, kemandirian) di satu pihak,
dan berkesadaran sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang akan dimintai
pertanggungjawaban atas semua tindakan yang dilakukan. Artinya,kebebasan selalu dihadapkan
pada tanggung jawab, dan tanggung jawab tertinggi adalah kepada Sang Pencipta.
Kedua Hakikat sila kemanusiaan adalah manusia monopluralis, yang terdiri atas tiga
monodualis, yaitu susunan kodrat (jiwa, raga), sifat kodrat (makhluk individu, sosial), kedudukan
kodrat (makhluk pribadi yang otonom dan makhluk Tuhan).
Ketiga hakikat sila persatuan berkait dengan semangat kebangsaan. Rasa kebangsaan
terwujud dalam bentuk cinta tanah air, yang dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu tanah air real,
tanah air formal, dan tanah air mental. Tanah air realadalah bumi tempat orang dilahirkan dan
dibesarkan, bersuka adalah bumi tempat orang dilahirkan dan dibesarkan, bersuka,dan berduka,
yang dialami secara fisik sehari-hari.
Keempat hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah.Artinya,keputusan yang
diambil lebih didasarkan atas semangat musyawarah untuk mufakat, bukan membenarkan begitu
saja pendapat mayoritas tanpa peduli pendapat minoritas.
Kelima hakikat sila keadilan terwujud dalam tiga aspek, yaitu keadilan distributif, legal, dan
komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan bersifat membagi dari negara kepada warga
negara. Keadilan legal adalah kewajiban warga negara terhadap negara atau dinamakan keadilan
bertaat. Keadilan komutatif adalah keadilan antara sesama warga negara.
2. Urgensi Ideologi Pancasila
● Fathia Fajrina
● Yussarah Melinda
3.2 Pembahasan
3.2.1 Relevansi Setiap Sub Topik
Perdebatan mengenai Pancasila sebagai ideologi negara dimulai sejak adanya UUDS
1950, yaitu dengan dibangunnya badan konstituante yang bertugas untuk membentuk undang-
undang dasar baru untuk menggantikan UUDS 1950. Di dalam sidang konstituante terjadi
perdebatan yang panjang tentang dasar negara kita, Pancasila. Pemerintah saat itu terbagi
menjadi dua blok yaitu blok yang memilih Pancasila kita sebagai dasar negara dirubah dan blok
yang tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang menjadikan banyak
pemberontakan di masa itu, termasuk pemberontakan DI/TII dan PKI.
Pemberontakan DI/TII mempunyai maksud merubah dasar negara Indonesia dan
menjadikannya dasar negara berlandaskan agama, yaitu dimana banyak dari golongan islam.
Mereka berfikir bahwa landasan negara Indonesia harus diganti dengan hukum islam yang
merupakan hukum yang valid. Lalu jauh sebelum itu sudah ada Partai Komunis Indonesia yang
sudah dibangun sejak tahun 1924, mereka adalah partai yang mempunyai tujuan untuk
membentuk negara dan masyarakat komunis berkiblat pada paham marxisme oleh Karl Marx.
Banyak pemberontakan yang diakibatkan oleh PKI tersebut, termaksud pemberontakan yang ada
di Madiun.
Pada pemilu tahun 1955 setelah demokrasi terpimpin diterapkan PKI mampu menempati
4 posisi besar dibawah PNI, PKI menuntun agar UU land reform diberlakukan yang memancing
konflik G30S PKI, dan pada demokrasi terpimpin ini juga globalisasi di Indonesia mulai
memudar, seperti keluarnya Indonesia dari PBB pada tahun 1965 lalu Soekarno menetapkan
Berdikari yaitu Berdiri di bawah kaki sendiri, dan tidak bergantung kepada negara lain yang
tentu sangat memberatkan Indonesia, sehingga inflasi mencapai 592%.
Namun sebelum demokrasi terpimpin pernah terjadi di Indonesia, Indonesia pernah
menganut demokrasi liberal dari tahun 1950 s.d 1959. Liberalisme ini merupakan penyatuan ide
kebebasan dan kesamaan individu dalam masyarakat, yang mengutamakan kebebasan. Tetapi
banyak yang berpendapat liberalism ini kurang cocok dengan nilai-nilai yang ada di Indonesia
seperti nilai gotong royong, tenggang rasa dan nilai saling menghormati satu sama lain. Negara
negara yang menganut liberalisme mempunyai tantangan besar seperti terorisme. Terorisme
menjadi tantangan yang lebih besar di negara liberalisme, mereka menghadapi masalah seperti
bagaimana memberantas dan mencagah terorisme yang efektif tanpa menganggu demokrasi,
aturan hukum, dan perlindungan bebas, yang dapat dibilang menciptakan keseimbangan antara
demokrasi negara dan keamanan di dalam negara.
Munculnya komunisme sebagai reaksi perkembangan kapitalisme sebagai produk
masyarakat liberal menjadikan adanya tantangan baru dalam ideologi Pancasila, komunisme
beranggapan jika sistem filsafat negara Indonesia adalah Pancasila, akan ada dominasi negara
yang berlebihan sehingga dapat menghilangkan peran rakyat dalam kehidupan bernegara.
Namun seberapa besar tantangan Pancasila menjadi ideologi Pancasila, kita semua sudah paham
hanya Pancasila yang merupakan filsafat asli Indonesia yang diangkat dari budaya bangsa
Indonesia itu sendiri. Seperti esensi dari ideologi Pancasila pada kelima sila dalam Pancasila,
semua itu dilandaskan dari budaya dan karakter masyarakat Indonesia. Lalu urgensi dari ideologi
Pancasila, kesuluruhan nilai-nilai Pancasila mempunyai dasar yang sistematis dan bersifat
rasional, lalu bersifat ekstrinsik yaitu praktis karena berupa pandangan hidup dan kebulatan
ajaran tentang berbagai bidang kehidupan masyarakat bangsa Indonesia, yang menjadikan
Pancasila sebagai nilai dasar, puncak budaya bangsa, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Contoh konkrit Pancasila sebagai ideologi negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
yaitu:
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.unila.ac.id/583/7/BAB%20II.pdf (vanes)
L., Debora Sanur. (2009). Terorisme : pola aksi dan antisipasinya, 28.
https://www.researchgate.net/publication/325988014_TERORISME_POLA_AKSI_DAN_ANTI
SIPASINYA (vanes)
Aminuddin Kasdi, Tragedi Nasional 1965 (Surabaya: UNESA University Press, 2008), 55
I Ngurah Suryawan. Jejak-jejak Manusia Merah. Yogyakarta. BB dan Elsam. 2005. Stanley dan
Aris Santoso (ed). Soe Hok Gie: Zaman Peralihan.
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/download/1063/896 (anastasya)
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tadib/article/download/563/499 (anastasya)
LAMPIRAN