Anda di halaman 1dari 18

Perdebatan Tentang Pancasila Sebagai Ideologi Negara

Makalah ini dibuat untuk memenuhi nilai Ujian Akhir Semester Mata kuliah Pancasila

Disusun oleh:
Anastasya Ferliana 01041190084
Fathia Fajrina 01041190043
Vanessa Regita Jap 01033190005
Vito Setiady Wirawan 01041190007
Yussarah Melinda 01033190025

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Noveliza Rudyolindy Theodora Tepy, S.Pd, M.Pd

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

KARAWACI, TANGERANG

2020

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pancasila merupakan Ideologi Negara Indonesia yang secara resmi disahkan oleh
PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum pada Pembukaan UUD 1945.
Dinamika Pancasila sebagai ideologi negara dalam sejarah berdirinya Indonesia
memperoleh pasang surut, sejak dari masa pemerintahan Presiden Soekarno hingga
sekarang. Hal ini menimbulkan beberapa perdebatan dan argumen apakah Pancasila
masih bisa dan sanggup menjadi Ideologi Negara ini. Perdebatan Pancasila sebagai
ideologi negara didasari oleh beberapa pihak yang mulai merasa bahwa Pancasila tidak
lagi relevan dengan Indonesia.
Berbagai macam gerakan separatis yang membela argumen masing-masing
mengenai pandangan mereka tentang ideologi negara. Tentu saja hal ini sangat menguji
integritas Indonesia sebagai negara kesatuan. Perdebatan Pancasila ini menimbulkan
beberapa peristiwa seperti perdebatan dalam konstituante, pemberontakan DI/TII dan
PKI, globalisasi, liberalisme, terorisme, dan lainnya yang tidak sedikit.
Pada makalah ini kami ingin membahas tentang perdebatan Pancasila sebagai
Ideologi Negara dan bagaimana relevansinya terhadap kehidupan bernegara saat ini. Dan
bagaimana kami menanggapi hal tersebut melalui opini-opini kami.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1.2.1. Bagaimana pendapat anggota kelompok mengenai perdebatan Pancasila sebagai


dasar negara?
1.2.2. Bagaimana relevansi setiap sub topik dengan kehidupan berbangsa dan bernegara?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:

1.3.1. Untuk mengetahui pendapat anggota mengenai perdebatan – perdebatan Pancasila


sebagai dasar negara.

1.3.2. Untuk mengetahui relevansi setiap sub topik dengan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1. Mengetahui suatu konsep dan pandangan yang terdiri dari berbagai macam etnis,
golongan dan agama.
1.4.2 Meningkatkan pengetahuan tentang suatu bangsa
1.4.2. Meningkatkan pengetahuan tentang kehidupan bangsa dan bernegara
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Perdebatan dalam Konstituante


Badan Konstituante adalah lembaga negara Indonesia yang ditugaskan untuk membentuk
undang-undang dasar atau konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950. Pembentukan UUD
baru ini diamanatkan dalam Pasal 134 UUDS 1950 yang menyatakan, bahwa Badan
Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang- Undang
Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS 1950 (Sedik, h.23).
Sidang Majelis Konstituante berlangsung sejak 11 November hingga 6 Desember 1950,
yang membahas masalah Dasar Negara bahwa pembahasan mengenai Pancasila baik melalui
persidangan maupun di luar Gedung Konstituante, semakin membuat bingung para
penentangnya (Khairul, h.6), menjadikan kalangan elite terbagi menjadi dua blok, yaitu blok
islam dan blok Pancasila.

Banyak perdebatan-perdebatan yang muncul dalam perdebatan di Konstituante seperti


perdebatan tentang dasar negara kita ini, Menurut Suratno (2006) ada ironi yang terjadi di era
reformasi ini, yakni munculnya perjuangan besar yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
bermuara pada obsesi mengganti Pancasila sebagai dasar negara, melalui banyak varian bentuk,
ide, gagasan dan cita-cita yang dikembangkannya. Varian tersebut antara lain pendirian khilafah
Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya (Khairul, h.8).

Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan seperti, bukankah dasar negara harus mengatasi semua
golongan dan keragaman latar belakang serta menutup rapat-rapat peluang munculnya
diskriminasi. Sehingga, "kami menolak konstitusi yang hanya memenuhi kebutuhan dari satu
golongan atau aliran saja dalam masyarakat, yaitu misalnya konstitusi nasional Islam, Kristen,
Katolik, dan lain-lain, oleh karena hal ini bertentangan dengan arti yang sewajarnya daripada res
publica", demikian kata Ir. Sakirman dari Fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI) (Khairul, h.5)

Soedjatmoko pernah mengingatkan bahwa tujuan dasar negara adalah untuk menciptakan
keadilan, kemanusiaan, dan kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh bangsa. Hal ini hanya
bisa diciptakan dalam mekanisme demokrasi modern yang dengan argumentasi serupa
dibangunlah Demokrasi Pancasila (Khairul, h.9). Demokrasi bukan berarti kesempatan bagi
sekelompok elit agama dan pengikutnya untuk memaksakan kehendaknya seperti halnya tampak
dalam kasus akhir-akhir ini di Indonesia lewat Islamisasi Perda maupun RUU AP yang sepihak.
Karena itulah nilai etik dan moral Pancasila mesti dipahami berasal dari nilai-nilai tradisi dan
agama yang tentu saja perlu disempurnakan dengan imbangan nilai-nilai kemanusiaan modern
seperti yang dimaktub dalam deklarasi HAM (Khairul, h.10).

Konstituante melakukan pembahasan mengenai mengenai HAM empat kali. Diskusi pertama
berlangsung dalam sidang pleno tanggal 20 Mei hingga 13 Juni 1958 bersama dengan diskusi
mengenai materi yang akan dimasukan ke dalam UUD. Diskusi kedua berlangsung di dalam
Panitia Persiapan Konstusi dan Subkomisi HAM yang dibentuk oleh Panitia persiapan Kostitusi
(Sedik, h.22).

Pada tanggal 4 November 1957 mendiskusikan dibentuk Panitia Perumus untuk menyimpulkan
hasil perdebatan tentang HAM dan merumuskan rancangan keputusan tentaug HAM yang akan
diambil oleh sidang pleno. Pada laporan tersebut akhirnya terdaftar 14 desideratumdan persoalan
HAM tambahan yang muncul dalam sidang pleno dan belum disebutkan di dalam keempat daftar
hak yang semula disusun Panitia Persiapan Konstitusi untuk dipertimbangkan di dalam
Konstituante (Sedik,h.23). Sayangnya, hak-hak tersebut tidak dibahas lebih laanjut, juga tidak
diajukan untuk diputuskan dengan pemungutan suara atau dikembalikan kepada Panitia
Persiapan Konstitusi untuk dibuat perumusan akhirnya (Sedik, h.24).

2.2 Pemberontakan DI/TII dan PKI

2.2.1. Pemberontakan DI/TII


Lahirnya DI/TII tidak lepas dari peran pendiri dan pemimpin tertingginya yaitu
Kartosuwiryo. Gerakan ini mengusahakan NKRI mengganti ideologinya dari Pancasila
menjadi ideologi berlandaskan agama. Hal ini dimulai pada 7 Agustus 1949 di
Tasikmalaya, Jawa Barat. Kelompok ini mengakui bahwa syariat islam merupakan
hukum yang valid.
Dalam perkembangannya, Darul Islam (DI) menyebar ke beberapa wilayah di
Indonesia. Seperti Aceh, Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan tentu
saja Jawa Barat. Berikut ini merupakan pergerakan DI/TII di berbagai daerah.
1. Jawa Barat
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat ini merupakan pelopor dari
pemberontakan DI/TII di 4 wilayah lainnya. Mulai 7 Agustus 1949, di bawah
pimpinan Kartosuwiryo, Tentara Islam Indonesia mulai menggencarkan aksinya
dengan tujuan awalnya untuk menolak Perjanjian Renville yang menyatakan
bahwa Jawa Barat bukan merupakan bagian dari NKRI, tentunya itu sangat
mengecewakan masyarakat Jawa Barat, sehingga Kartosuwiryo berpikir untuk
membentuk negara islam, karena menurutnya bahwa mendirikan negara islam
akan menyelesaikan masalah-masalah negara. Dia menganggap hal itu karena
hukum/syariat islam mutlak dan valid.
2. Aceh
20 Maret 1953 merupakan awal mula pemberontakan DI/TII di Aceh, hal
itu bermula karena pada saat itu Provinsi Aceh digabung dengan Provinsi
Sumatera Utara yang beribukota di Medan. Hal itu membuat tokoh pimpinan
masyarakat Aceh kecewa karena merasa tidak dihargai atas kerja keras mereka
memperjuangkan NKRI. tokoh pimpinan pemberontakan DI/TII di Aceh adalah
Daud Beureuh.

3. Kalimantan Selatan
Pemberontakan DI/TII di Provinsi Kalimantan Selatan ini dipimpin oleh
Ibnu Hajar. Dilatarbelakangi oleh kekecewaan Ibnu Hajar karena tentara
kemerdekaan yang tidak diterima sebagai Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat yang membuat Ibnu Hajar dan kelompoknya merasa diabaikan dan tidak
didengar aspirasinya. Tujuan Ibnu Hajar masuk kedalam NII (Negara Islam
Indonesia) pada Oktober 1950 adalah dengan agar aspirasi masyarakat lebih
didengar dan diperhatikan. Namun Tentara Islam Indonesia di Kalimantan Selatan
ini berhasil dilumpuhkan pada maret 1965

4. Jawa Tengah
karena banyak pengaruh DI/TII di Jawa Barat oleh Kartosuwiryo yang
mulai merambah ke daerah jawa tengah yang beberapa daerah nya berbatasan
langsung dengan jawa barat. Sehingga, pada 1950, dibawah pimpinan Amir Fatah,
jawa tengah mengemukakan pernyataan bahwa Jawa Tengah merupakan bagian
dari Jawa Barat. Tujuan gerakan ini di Jawa Tengah adalah untuk memberantas
komunisme dan sosialisme yang semakin meluas.

5. Sulawesi Selatan.
Pada 7 Agustus 1953, di bawah pimpinan Kahar Muzakar mulai
mendirikan NII dengan tujuan hampir sama seperti yang dilakukan di Kalimantan
Selatan. Kahar Muzakar merasa tidak dihargai karena banyaknya anggota Tentara
Kesatuan gerilya Sulawesi Selatan tidak diterima sebagai Tentara RI, padahal
mereka juga sudah memperjuangkan RI. namun Kahar Muzakar dan tentaranya
berhasil dilumpuhkan pada 3 februari 1965.

2.2.2 Pemberontakan PKI


Partai Komunis Indonesia (PKI) ditetapkan tahun 1924. Dari namanya
sudah jelas bahwa partai ini beraliran komunis dan memiliki tujuan untuk
membentuk masyarakat komunis, baik secara parlementer maupun revolusioner.
PKI berkiblat pada paham Marxisme oleh Karl Marx, dan berlandaskan class
conflict.
PKI yang awalnya merupakan suatu organisasi yang menentang semua
kebijakan pemerintah, kemudian mulai melakukan pemberontakan ke berbagai
daerah. Pada 1948 PKI melakukan pemberontakan di Madiun selama satu bulan,
sehingga pada 18 September itu telah terlaksana pemberontakan di Madiun.
Setelah Madiun berhasil dikuasai, kemudian PKI/Muso segera menduduki
tempat-tempat strategis di sekitar Madiun, seperti Lapangan Terbang Maospati,
Magetan, dan daerah-daerah sekitarnya. Bahkan di Pagokan dan Gorang goreng
mereka melakukan penangkapan terhadap lawan politiknya dan para pejabat
Pamong Praja.
Di daerah Ponorogo yang merupakan pusat konsentrasi komunis ini juga
terjadi kerusuhan dan pembunuhan kejam, sebagaimana di Madiun. Di daerah ini
orang-orang komunis menggunakan“warok-warok Ponorogo”. Warok-warok ini
kebanyakan terkena hasutan-hasutan PKI, yang kemudian dipakai sebagai tukang
PKI untuk menindak dan menakut-nakuti mereka yang bandel terhadap kekuasaan
PKI. Banyak terjadi penculikan dan penganiayaan. Di sana-sini terdapat mayat
yang menjadi korban keganasan PKI, yang kebanyakan terdiri atas pejabat
Pamong Praja dan orang-orang beragama.
Penumpasan terhadap pemberontak Musso terus dilakukan oleh Divisi
Siliwangi. Setelah 10 hari bertempur kelompok pemberontak terdesak dan keluar
Madiun. Tanggal 31 Musso tewas dalam pertempuran. Amir Syarifudin ditangkap
oleh pasukan Divisi Siliwangi. Mantan Mentri Pertahanan sekaligus Perdana
Menteri dihukum mati. Tawanan lain adalah Sudjono, Soeripna, Hardjono, Oei
Gee Hwat, Djoko Soedjono, Katamhadi, dan Setiadjit. Dengan matinya Musso
dan Amir Syarifudin maka pemerintah waktu itu menyatakan kasus Madiun
selesai. Semua adalah putra terbaik nasion Indonesia. Semua hanya mau rakyat
hidup bahagia sejahtera. Dengan adanya Madiun affair maka ini menjadi tonggak
perang antara PKI dan tentara.
Namun usaha PKI tidak berhenti hanya sampai pemberontakan Madiun
atau bahkan hanya sampai Muso tewas, karena PKI telah dihancurkan namun
tidak dilarang, berbeda kondisinya seperti pada masa kolonial Belanda pada 1927
dimana organisasi ini dilarang sehingga tidak menimbulkan keributan.
Pemberontakan 1927 melahirkan Musso, maka tahun 1948 Aidit, Lukman,
Sudisman dan Nyoto. Mereka yang membangun PKI, sehingga tahun 1951 Aidit
dibantu ketiga rekannya itu mulai membangun basis yang diorganisasikan melalui
SOBSI (Sentral Serikat Buruh Seluruh Indonesia).
PKI dalam pemilu tahun 1955 mampu menempati posisi 4 besar dibawah
PNI, Mayumi, dan NU. PKI mulai mendapat angin setelah demokrasi terpimpin
mulai diterapkan dan PKI terus mendukung Soekarno. Strategi PKI mulai berubah
dari defensif menjadi ofensif untuk mendapat kekuasaan. Tahun 1963 PKI
menuntut agar UU land reform segera diberlakukan. Aksi ini memancing konflik
antara santri dan kaum abangan yang dipengaruhi PKI terjadi lagi.
Situasi semakin memanas, tanggal 30 September 196540 malam Letnan
Kolonel Untung yang mendengar akan ada kudeta oleh Dewan Jendral mencoba
mendahuluinya dengan membuat kelompok dengan nama Gerakan 30 September.
Terjadilah penculikan terhadap Panglima Angkatan Darat Letjen. A. Yani,
Brigjen Panjaitan, Mayjen S. Parman, Brigjen Sutoyo, Mayjen Suprapto dan Lettu
Tendean serta Nasution tetapi ia dapat meloloskan diri.
1 Oktober 1965 Soeharto mengambil alih komando atas angkatan
bersenjata. Kemudian Untung mengumumkan melalui radio bahwa Gerakan 30
Setember adalah kelompok militer yang bertindak untuk melindungi presiden
Soekarno. Kemudian berdasarkan hipotesis Yoga Sugomo, Soeharto
mengumumkan PKI sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Senjata
Soeharto adalah Super Semar. Ia mengeluarkan Kepres untuk membubarkan dan
menghabisi PKI beserta simpatisannya. Terjadilah pembantaian massal 1965 di
Jawa Tengah, Bali yang dilakukan atas prakarsa

2.3 Globalisasi

Globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di
seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk
interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Bagi Indonesia,
proses globalisasi telah begitu terasa sekali sejak awal dilaksanakan pembangunan. Dengan
kembalinya tenaga ahli Indonesia yang menjalankan studi di luar negeri dan datangnya tenaga
ahli (konsultan) dari negara asing, proses globalisasi yang berupa pemikiran atau sistem nilai
kehidupan mulai diadopsi dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi di Indonesia. Globalisasi
secara fisik ditandai dengan perkembangan kota-kota yang menjadi bagian dari jaringan kota
dunia.

2.4 Liberalisme

Liberalisme merupakan paradigma berfikir dan kebudayaan yang tengah menjadi


mainstream dunia. Dimana atmosfer pemikiran maupun konstelasi kemanusiaan kontemporer
didominasi paradigma liberal ini. Berbagai perubahan yang melahirkan idiom-idiom global,
seperti kebebasan pers, pasar bebas, serta demokrasi, tampaknya tidak dapat dilepaskan dari
liberalisme sebagai titik tolaknya. Idiom-idiom tersebut secara imperatif memaksakan perubahan
di berbagai kawasan dunia, tidak hanya dalam hal tatanan politik dan ekonomi, melainkan juga
pada budaya, bahkan agama sekalipun. Liberalisme ini berusaha menyatukan ide kebebasan dan
kesamaan individu dalam masyarakat. Pemerintah dibutuhkan untuk meredistribusikan nilai nilai
sosial dalam melaksanakan dan mencapai kebebasan dan kesamaan individu-individu dalam
masyarakat. Perbedaan terpenting antara liberalisme dan libertarianisme adalah pandangan
tentang kebebasan individu. Menurut libertarianisme, kebebasan yang menjadi hak individu
merupakan satu bentuk properti privat, tidak seorang pun atau apa pun yang dapat merampas dan
mencabutnya dari seseorang tanpa dianggap telah melanggar hak orang tersebut. Seperti
libertarianisme, liberalisme juga mengutamakan kebebasan. Kebebasan menurut liberalisme
tidak dapat dikorbankan untuk nilai yang lain, untuk nilai ekonomi, sosial dan politik. Kebebasan
hanya dapat dibatasi dan dikompromikan ketika ia konflik dengan kebebasan dasar yang lain
yang lebih luas. Karenanya, kebebasan menurut liberalisme bukan sesuatu yang absolut,
kebebasan hanya dapat dibatasi demi kebebasan itu sendiri.

2.5 Terorisme

Definisi terorisme sampai dengan saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada
ahli yang merumuskan dan juga dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan. Akan
tetapi ketiadaan definisi yang seragam menurut hukum internasional mengenai terorisme tidak
serta-merta meniadakan definisi hukum terorisme itu. Masing-masing negara mendefinisikan
menurut hukum nasionalnya untuk mengatur, mencegah, dan menanggulangi terorisme.
Kata “teroris” dan terorisme berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih berarti
membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa menimbulkan kengerian akan tetapi
sampai dengan saat ini belum ada definisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Pada
dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sensitif
karena terorisme mengakibatkan timbulnya korban warga sipil yang tidak berdosa.

Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan
kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala
lebih kecil daripada perang . Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18.
Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror ( under the terror ), berasal dari bahasa latin
”terrere” yang berarti gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut . Istilah terorisme pada
awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan
ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Istilah terorisme dan
teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang
mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari
sudut pandang yang diserang. Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal
terlibat dalam aksi terorisme. Penggunaan istilah teroris meluas dari warga yang tidak puas
sampai pada non konformis politik. Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok
orang, atau negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang
mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakan istilah positif untuk kombatan
mereka, misalnya antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot.
Hal yang harus diantisipasi oleh pemerintah maupun aparat ialah bahwa teroris memiliki
keleluasan dalam memperbesar pengaruh basis yang mendukung aksi dari pergerakan mereka
bila kewaspadaan pemerintah dan aparat melemah. Kemudahan dan kebebasan tersebut dapat
menjadi suatu kemudahan bagi para teroris dalam memperoleh senjata, persembunyian yang
aman, dan kemudahan untuk berinteraksi dengan pendukung serta kemudahan memperoleh
fasilitas penyerang.
Dengan demikian, dalam menanggulangi terorisme yang ada di Indonesia, ada dua hal
yang perlu diperhatikan. Pertama, penanggulangan terorisme tidak cukup dengan hanya
melakukan penangkapan. Namun, juga harus ada upaya preventif agar ideologi tidak terus
berkembang. Kedua, penanganan terorisme harus menyentuh sampai ke akar persoalan yang
substansial yaitu memutus ideologi dengan paham jihad yang keliru.

2.6 Argumen Tentang Dinamika dan Tantangan dari Ideologi

1. Dinamika Ideologi Pancasila

Pancasila sebagai sistem filsafat mengalami dinamika dari masa ke masa terutama berkaitan
dengan masa pemerintahan atau era di Indonesia dari mulai orde lama sama sampai era reformasi
sebagai berikut:

Pada era pemerintahan Soekarno, Pancasila sebagai sistem filsafat dikenal dengan istilah
“Philosofische Grondslag”. Gagasan tersebut merupakan perenungan filosofis Soekarno atas
rencananya berdirinya negara Indonesia merdeka. Ide tersebut dimaksudkan sebagai dasar
kerohanian bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara. Ide tersebut ternyata mendapat sambutan
yang positif dari berbagai kalangan, terutama dalam sidang BPUPKI pertama, persisnya pada 1
Juni 1945. Namun, ide tentang Philosofische Grondslag belum diuraikan secara rinci, lebih
merupakan adagium politik untuk menarik perhatian anggota sidang, dan bersifat teoritis. Pada
masa itu, Soekarno lebih menekankan bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang
diangkat dari akulturasi budaya bangsa Indonesia.

Pada era Soeharto, kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat berkembang ke arah yang
lebih praktis (dalam hal ini istilah yang lebih tepat adalah weltanschauung). Artinya, filsafat
Pancasila tidak hanya bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tetapi juga digunakan
sebagai pedoman hidup sehari-hari. Atas dasar inilah, Soeharto mengembangkan sistem filsafat
Pancasila menjadi penataran P-4. Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem filsafat kurang
terdengar resonansinya. Namun, Pancasila sebagai sistem filsafat bergema dalam wacana
akademik, termasuk kritik dan renungan yang dilontarkan oleh Habibie dalam pidato 1 Juni
2011. Habibie menyatakan bahwa:

“Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tidak lagi relevan
untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif
bangsa Indonesia. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam
konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti
tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang
semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik” (Habibie, 2011: 1--2).

Selain itu sebagaimana disebutkan dimuka pada era reformasi Pancasila dipersoalkan dan
dijadikan kambing hitam dari berbagai keterpurukan yang dialami oleh bangsa ini. Pancasila
yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparatdan aparat pelaksana
negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak Dari keadaan
tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai gerakan
masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya reformasi disegala bidang
politik, ekonomi dan hukum.

2. Tantangan Ideologi Pancasila


Beberapa bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat muncul dalam
bentuk-bentuk sebagai berikut:
Pertama berkaitan dengan kapitalisme, yaitu aliran yang meyakini bahwa kebebasan
individual pemilik modal untuk mengembangkan usahanya dalam rangka meraih keuntungan
sebesar-besarnya merupakan upaya untuk mensejahterakan masyarakat. Salah satu bentuk
tantangan kapitalisme terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat adalah meletakkan kebebasan
individu secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti
monopoli, gaya hidup konsumerisme, dan lain-lain.
Kedua berkaitan dengan komunisme yaitu sebuah paham yang muncul sebagai reaksi atas
perkembangan kapitalisme sebagai produk masyarakat liberal. Komunisme merupakan aliran
yang meyakini bahwa kepemilikan modal dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat secara
merata. Salah satu bentuk tantangan komunisme terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat ialah
dominasi negara yang berlebihan sehingga dapat menghilangkan peran rakyat dalam kehidupan
bernegara.

2.7 Esensi dan Urgensi dari Ideologi

1. Esensi (hakikat) Ideologi Pancasila

Hakikat (esensi) pancasila sebagai sistem filsafat terletak pada hal-hal sebagai berikut:
Pertama hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa Tuhan
sebagai prinsip utama dalam kehidupan semua makhluk. Artinya,setiap makhluk hidup, termasuk
warga negara harus memiliki kesadaran yang otonom (kebebasan, kemandirian) di satu pihak,
dan berkesadaran sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang akan dimintai
pertanggungjawaban atas semua tindakan yang dilakukan. Artinya,kebebasan selalu dihadapkan
pada tanggung jawab, dan tanggung jawab tertinggi adalah kepada Sang Pencipta.
Kedua Hakikat sila kemanusiaan adalah manusia monopluralis, yang terdiri atas tiga
monodualis, yaitu susunan kodrat (jiwa, raga), sifat kodrat (makhluk individu, sosial), kedudukan
kodrat (makhluk pribadi yang otonom dan makhluk Tuhan).
Ketiga hakikat sila persatuan berkait dengan semangat kebangsaan. Rasa kebangsaan
terwujud dalam bentuk cinta tanah air, yang dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu tanah air real,
tanah air formal, dan tanah air mental. Tanah air realadalah bumi tempat orang dilahirkan dan
dibesarkan, bersuka adalah bumi tempat orang dilahirkan dan dibesarkan, bersuka,dan berduka,
yang dialami secara fisik sehari-hari.
Keempat hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah.Artinya,keputusan yang
diambil lebih didasarkan atas semangat musyawarah untuk mufakat, bukan membenarkan begitu
saja pendapat mayoritas tanpa peduli pendapat minoritas.
Kelima hakikat sila keadilan terwujud dalam tiga aspek, yaitu keadilan distributif, legal, dan
komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan bersifat membagi dari negara kepada warga
negara. Keadilan legal adalah kewajiban warga negara terhadap negara atau dinamakan keadilan
bertaat. Keadilan komutatif adalah keadilan antara sesama warga negara.
2. Urgensi Ideologi Pancasila

Berdasarkan pendekatan ontologis nilai-nilai Pancasila mengandung sifat intrinsik dan


ekstrinsik. Bersifat intrinsik, nilai-nilai Pancasila berwujud filsafati, keseluruhan nilai-nilai
dasarnya sistematis dan rasional. Berupa sistem pemikiran, yang dijadikan dasar bagi manusia
dalam mengkonsepsikan realitas alam semesta, sang pencipta, manusia, makna kehidupan,
masyarakat, bangsa dan negara. Bersifat ekstrinsik (praktis) karena berupa pandangan hidup, di
dalamnya mengandung sistem nilai, kebenaran yang diyakini, merupakan kebulatan ajaran
tentang berbagai bidang kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Ajaran filsafat mempengaruhi
cara pandang mengenai arti hidup dan kehidupan masyarakat dan negara. Sebagai manifestasinya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai Pancasila diyakini sebagai nilai dasar, dan
puncak budaya bangsa, jiwa dan kepribadian bangsa.
Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan pancasila sebagai sistem filsafat meliputi
hal-hal sebagai berikut :
Pertama,meletakkan pancasila sebagai sistem filsafat dapat memulihkan harga diri bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dalam politik, yuridis, dan juga merdeka dalam
mengemukakan ide-ide pemikirannya untuk kemajuan bangsa, baik secara materiil maupun spiritual.
Kedua,pancasila sebagai sistem filsafat membangun alam pemikiran yang berakar dari nilai-nilai
budaya bangsa Indonesia sendiri sehingga mampu dalam menghadapi berbagai ideologi dunia.
Ketiga,pancasila sebagai sistem filsafat dapat menjadi dasar pijakan untuk menghadapi
tantangan globalisasi yang dapat melunturkan semangat kebangsaan dan melemahkan sendi-sendi
perekonomian yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak.
Keempat,pancasila sebagai sistem filsafat dapat menjadi way of life sekaligus way of thinking
bangsa Indonesia untuk menjaga keseimbangan dan konsistensi antara tindakan dan pemikiran.
Bahaya yang ditimbulkan kehidupan modern dewasa ini adalah ketidakseimbangan antara cara
bertindak dan cara berpikir sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan dan mental dari suatu
bangsa.
BAB III
HASIL DISKUSI DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Diskusi


3.1.1 Pendapat dari Masing-Masing Kelompok Terhadap Topik
● Anastasya Ferliana

● Fathia Fajrina

● Vanessa Regita Jap

● Vito Setiady Wirawan

Nilai-nilai pancasila adalah nilai-nilai luhur yang dibuat mengikuti karakter


bangsa kita sendiri dan merupakan pedoman yang sangat tepat dan sangat cocok untuk
menjadikan kehidupan dan bernegara bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Pancasila
sudah mengalami jalan yang panjang dan berbagai tantangan untuk bisa mencapai
demokrasi pancasila yang kita gunakan saat ini, untuk itu kita harus menjaga nilai-nilai
pancasila yang terkadang mulai luntur di setiap sisi-nya.

● Yussarah Melinda

3.1.2 Analisis Terhadap Topik Berdasarkan Diskusi Kelompok

3.2 Pembahasan
3.2.1 Relevansi Setiap Sub Topik
Perdebatan mengenai Pancasila sebagai ideologi negara dimulai sejak adanya UUDS
1950, yaitu dengan dibangunnya badan konstituante yang bertugas untuk membentuk undang-
undang dasar baru untuk menggantikan UUDS 1950. Di dalam sidang konstituante terjadi
perdebatan yang panjang tentang dasar negara kita, Pancasila. Pemerintah saat itu terbagi
menjadi dua blok yaitu blok yang memilih Pancasila kita sebagai dasar negara dirubah dan blok
yang tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang menjadikan banyak
pemberontakan di masa itu, termasuk pemberontakan DI/TII dan PKI.
Pemberontakan DI/TII mempunyai maksud merubah dasar negara Indonesia dan
menjadikannya dasar negara berlandaskan agama, yaitu dimana banyak dari golongan islam.
Mereka berfikir bahwa landasan negara Indonesia harus diganti dengan hukum islam yang
merupakan hukum yang valid. Lalu jauh sebelum itu sudah ada Partai Komunis Indonesia yang
sudah dibangun sejak tahun 1924, mereka adalah partai yang mempunyai tujuan untuk
membentuk negara dan masyarakat komunis berkiblat pada paham marxisme oleh Karl Marx.
Banyak pemberontakan yang diakibatkan oleh PKI tersebut, termaksud pemberontakan yang ada
di Madiun.
Pada pemilu tahun 1955 setelah demokrasi terpimpin diterapkan PKI mampu menempati
4 posisi besar dibawah PNI, PKI menuntun agar UU land reform diberlakukan yang memancing
konflik G30S PKI, dan pada demokrasi terpimpin ini juga globalisasi di Indonesia mulai
memudar, seperti keluarnya Indonesia dari PBB pada tahun 1965 lalu Soekarno menetapkan
Berdikari yaitu Berdiri di bawah kaki sendiri, dan tidak bergantung kepada negara lain yang
tentu sangat memberatkan Indonesia, sehingga inflasi mencapai 592%.
Namun sebelum demokrasi terpimpin pernah terjadi di Indonesia, Indonesia pernah
menganut demokrasi liberal dari tahun 1950 s.d 1959. Liberalisme ini merupakan penyatuan ide
kebebasan dan kesamaan individu dalam masyarakat, yang mengutamakan kebebasan. Tetapi
banyak yang berpendapat liberalism ini kurang cocok dengan nilai-nilai yang ada di Indonesia
seperti nilai gotong royong, tenggang rasa dan nilai saling menghormati satu sama lain. Negara
negara yang menganut liberalisme mempunyai tantangan besar seperti terorisme. Terorisme
menjadi tantangan yang lebih besar di negara liberalisme, mereka menghadapi masalah seperti
bagaimana memberantas dan mencagah terorisme yang efektif tanpa menganggu demokrasi,
aturan hukum, dan perlindungan bebas, yang dapat dibilang menciptakan keseimbangan antara
demokrasi negara dan keamanan di dalam negara.
Munculnya komunisme sebagai reaksi perkembangan kapitalisme sebagai produk
masyarakat liberal menjadikan adanya tantangan baru dalam ideologi Pancasila, komunisme
beranggapan jika sistem filsafat negara Indonesia adalah Pancasila, akan ada dominasi negara
yang berlebihan sehingga dapat menghilangkan peran rakyat dalam kehidupan bernegara.
Namun seberapa besar tantangan Pancasila menjadi ideologi Pancasila, kita semua sudah paham
hanya Pancasila yang merupakan filsafat asli Indonesia yang diangkat dari budaya bangsa
Indonesia itu sendiri. Seperti esensi dari ideologi Pancasila pada kelima sila dalam Pancasila,
semua itu dilandaskan dari budaya dan karakter masyarakat Indonesia. Lalu urgensi dari ideologi
Pancasila, kesuluruhan nilai-nilai Pancasila mempunyai dasar yang sistematis dan bersifat
rasional, lalu bersifat ekstrinsik yaitu praktis karena berupa pandangan hidup dan kebulatan
ajaran tentang berbagai bidang kehidupan masyarakat bangsa Indonesia, yang menjadikan
Pancasila sebagai nilai dasar, puncak budaya bangsa, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.

3.2.2 Relevansi Topik dengan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Contoh konkrit Pancasila sebagai ideologi negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
yaitu:

1. Menjaga sikap torelansi dengan tidak membedakan antar umat beragama


Negara kita adalah negara dengan berbagai macam suku, ras dan juga agama. Banyak perbedaan
yang terjadi di negara kita sehingga menimbulkan banyak rasisme antar umat beragama yang
terjadi di negara kita. Seperti dengan mendukung kegiatan beragama satu sama lain itu sudah
menjaga sikap toleransi atas satu sama lain.

2. Melestarikan kekayaan budaya Indonesia


Macam ragam budaya Indonesia dan kerajinan-kerajinan yang membuatnya. Dengan mencoba
membeli dan memakai produk dalam negeri adalah salah satu cara kita melestarikan budaya
Indonesia, dan memakai batik jika ada acara maupun tidak adalah langkah lebih yang kita bisa
lakukan untuk melestarikan budaya Indonesia.
3. Berani untuk memperjuangkan keadilan
Jika kita melihat ada tindakan tidak adil di sekitar kita atau tindakan kriminalitas yang terjadi
kita sudah semestinya berani untuk berbicara tentang itu karna masih banyak orang yang takut
untuk memperjuangkan keadilan mereka
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Sedik, F. N. (2012). PERAN BADAN KONSTITUANTE PADA MASA PEMERINTAHAN


DEMOKRASI LIBERAL. 22-24.
Khairul, E. K. (2008). Pancasila dan Islam. Baur Publishing.

http://digilib.unila.ac.id/583/7/BAB%20II.pdf (vanes)

L., Debora Sanur. (2009). Terorisme : pola aksi dan antisipasinya, 28.
https://www.researchgate.net/publication/325988014_TERORISME_POLA_AKSI_DAN_ANTI
SIPASINYA (vanes)

Wirawan, Wahyu. 2007. AKSI PARTAI KOMUNIS INDONESIA 1926-1965.


www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal

Aminuddin Kasdi, Tragedi Nasional 1965 (Surabaya: UNESA University Press, 2008), 55

Suratmin, Kronik Peristiwa Madiun PKI 1948, 35-36.

Baskara T. Wardaya.2006. Bung KARNO MENGGUGAT! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian


Massal ’65 hingga G30S. Yogyakarta. Galang Press..

I Ngurah Suryawan. Jejak-jejak Manusia Merah. Yogyakarta. BB dan Elsam. 2005. Stanley dan
Aris Santoso (ed). Soe Hok Gie: Zaman Peralihan.

http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/download/1063/896 (anastasya)

https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tadib/article/download/563/499 (anastasya)

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai