Anda di halaman 1dari 113

26

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Permintaan Uang Keynes

Uang menurut Keynes merupakan salah satu bentuk kekayaan yang

dimiliki seseorang misalnya kekayaan dalam bentuk tabungan, saham atau surat

berharga lainnya. Keputusan masyarakat untuk membentuk kekayaan mereka

menjadi uang kas, tabungan atau surat berharga akan menentukan tingginya

tingkat bunga. Untuk menyederhanakan modelnya Keynes hanya membagi

susunan komponen kekayaan dalam dua bentuk, yakni uang kas dan surat

berharga (obligasi). Keuntungan yang didapat apabila kekayaan diwujudkan

dalam bentuk uang kas adalah kemudahan dalam melakukan transaksi, sebab uang

kas merupakan alat pembayaran yang paling likuid. Likuid diukur dengan

kecepatan menukar kekayaan dalam bentuk alat pembayaran (untuk transaksi)

tanpa adanya kerugian nilai. Tetapi kekayaan dalam bentuk uang kas tidak dapat

menghasilkan pendapatan misalnya berupa bunga. Keynes, dalam teorinya tentang

permintaan akan uang kas, membedakan antara motif transaksi, berjaga-jaga serta

spekulasi.

Keynes menyatakan, bahwa permintaan uang kas untuk tujuan transaksi ini

tergantung dari pendapatan. Makin tinggi pendapatan, maka makin besar

keinginan akan uang kas untuk transaksi. Seseorang atau masyarakat yang tingkat

pendapatannya tinggi, biasanya melakukan transaksi yang lebih banyak dibanding


27

dengan yang pendapatannya lebih rendah. Ketergantungan permintaan uang untuk

transaksi terhadap pendapatan dapat dijelaskan pada Gambar 2.1 sebagai berikut,

Gambar 2.1 Permintaan Uang Untuk Motif Transaksi


Sumber : Reksoprayiotno (2008).

Pada saat pendapatan sebesar Y0, permintaan uang untuk transaksi

sebanyak M0. Dan pada saat pendapatan naik menjadi Y1, permintaan uang untuk

transaksi sebanyak M1. Dari sini jelas bahwa Keynes mengikuti jejak kaum klasik

(Marshall) bahwa permintaan uang untuk transaksi tergantung dari pendapatan.

Banyak sedikitnya permintaan uang untuk berjaga-jaga juga ditentukan oleh

pendapatan. Semakin tinggi pendapatan, semakin banyak uang yang diperlukan

untuk berjaga-jaga. Hal ini digambarkan dalam kurva pada Gambar 2.2 sebagai

berikut.
28

Gambar 2.2 Permintaan Uang Untuk Motif Berjaga-Jaga


Sumber : Nopirin (2010).

Dari Gambar 2.2 tampak bahwa saat pendapatan sebesar Y0, permintaan

uang untuk berjaga-jaga sebanyak M0. Ketika pendapatan naik menjadi Y1,

permintaan uang untuk berjaga-jaga juga naik sebanyak M1. Namun Keynes

berbeda dengan kaum klasik dalam hal penekanan pada motif spekulasi dan

peranan tingkat bunga dalam menentukan permintaan uang untuk spekulasi.

Keynes juga menyadari bahwa masyarakat menghendaki jumlah uang kas yang

melebihi untuk keperluan transaksi, karena keinginan untuk menyimpan

kekayaannya dalam bentuk yang paling lancar (uang kas). Uang kas yang

disimpan ini memenuhi fungsi uang sebagai alat penimbun kekayaan (store of

value). Dalam istilah yang lebih modern sering disebut permintaan uang untuk

menimbun kekayaan (asset demand for money).


29

Permintaan uang untuk tujuan spekulasi ini, menurut Keynes ditentukan

oleh tingkat bunga. Makin tinggi tingkat bunga makin rendah keinginan

masyarakat akan uang kas untuk tujuan atau motif spekulasi. Alasannya, pertama

apabila tingkat bunga naik, berarti ongkos memegang uang kas (opportunity cost

of holding money) makin besar atau tinggi, sehingga keinginan masyarakat akan

uang kas akan semakin rendah, begitu juga sebaliknya. Kedua hipotesa Keynes

bahwa masyarakat menganggap akan adanya tingkat bunga normal berdasarkan

pengalaman, terutama pengalaman tingkat bunga yang baru-baru terjadi.

Ketergantungan permintaan uang kas untuk spekulasi terhadap tingkat bunga

dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.3 Permintaan Uang Untuk Motif Spekulasi


Sumber : Reksoprayiotno (2008).

Pada saat suku bunga sebesar r0, permintaan uang untuk berspekulasi

sebanyak M0. Dan ketika suku bunga bertambah atau meningkat menjadi r1,

permintaan uang untuk spekulasi turun menjadi M1.


30

r (Suku Bunga)
L2

rL L2

L2
0
Gambar 2.4 Liquidity Trap Keynes
Sumber : Nopirin (2010).

Gambar 2.4 menunjukkan adanya liquidity trap bagian horisontal dari

permintaan uang kas pada tingkat bunga rL. Liquidity trap menggambarkan bahwa

pada tingkat bunga yang begitu rendah, elastisitas permintaan uang kas menjadi

tak terhingga besarnya. Masyarakat tidak akan memegang surat berharga pada

tingkat bunga ini (rL) karena mereka memperkirakan bahwa keuntungan dari

memegang surat berharga pada tingkat rL lebih rendah dari pada kerugian yang

timbul akibat kenaikan tingkat bunga di masa yang akan datang. Masyarakat

memperkirakan bahwa dikemudian hari tingkat bunga akan naik, sebab tingkat

bunga rL sudah begitu rendah, tidak mungkin turun lagi.

Implikasi dari adanya hipotesa liquidity trap ini bahwa tingkat bunga rL

tidak bisa turun lagi, padahal mungkin rL ini dirasa terlalu tinggi untuk menunjang

tingkat kesempatan kerja penuh (full employment). Dalam keadaan demikian

output dan kesempatan kerja akan tetap berada di bawah kesempatan kerja penuh.

Lebih lanjut kebijakan moneter yang berupa penambahan jumlah uang beredar
31

tidak dapat menurunkan tingkat bunga rL. Sehingga dengan demikian investasi

tidak bertambah, akibatnya output tetap tidak berubah. Hal tersebut dapat

diartikan bahwa terjadi kondisi dimana tidak bergairahnya iklim usaha

dikarenakan masyarakat enggan berinvestasi yang berimbas pada menurunnya

produktifitas.

2.2 Teori Jumlah Uang Beredar (Penawaran Uang)

Keynes kurang memberikan perhatian mengenai mekanisme (proses)

kenaikan jumlah uang beredar. Dalam teorinya mengenai pasar uang, jumlah uang

beredar atau penawaran uang dianggap langsung terjadi di pasar uang. Sekali lagi,

bahkan sampai zaman keynes pun, teori penawaran uang masih belum

berkembang dan masih dalam bentuk sederhana. Teori penawaran uang modern

dikembangkan oleh para ekonom setelah keynes. Pada hakikatnya, penawaran

uang adalah jumlah uang yang tersedia dalam suatu perekonomian. Penawaran

uang secara umum disebut sebagai jumlah uang yang beredar yang diartikan

sebagai semua uang kartal dan uang giral yang ada di tangan masyarakat bukan

bank, atau jumlah uang kartal dan uang giral di luar sistem moneter yang dimiliki

sektor swasta domestik. Menurut Iswardono yang tercantum dalam Ening (2011),

jumlah uang beredar dianggap bisa ditentukan secara langsung oleh penguasa

moneter tanpa mempersoalkan hubungannya dengan uang inti, yang terdiri dari

uang kartal ditambah dengan cadangan yang dimiliki oleh perbankan secara

umum.
32

Uang kartal adalah uang tunai yang dikeluarkan oleh pemerintah atau

Bank Sentral yang langsung dibawah kekuasaan masyarakat umum untuk

menggunakannya. Uang kertas atau uang logam Bank Sentral yang disimpan di

dalam lemari besi bank tidak termasuk uang kartal. Jadi yang disebut uang kartal

hanya uang yang dikeluarkan Bank Sentral yang berada diluar Bank Umum dan

Bank Sentral. Jumlah uang kartal ini besar kecilnya tidak dipengaruhi oleh

variabel lain kecuali oleh kebijakan pemerintah. Sedangkan uang giral adalah

uang yang diciptakan oleh Bank Umum karena memberi kredit kepada nasabah.

Kredit yang diberikan dalam bentuk giro setiap saat dapat diambil dan digunakan

oleh pemiliknya untuk kebutuhan (transaksi, berjaga-jaga, spekulasi). Seperti

halnya uang kartal, maka giro dapat diartikan sebagai uang yang dalam hal ini

pembayarannya dilakukan dengan cek.

Perubahan jumlah uang beredar secara garis besar dipengaruhi oleh uang

inti dan pelipat uang. Besarnya uang inti sangat tergantung pada tindakan-

tindakan yang ditentukan oleh pemerintah khususnya Bank Sentral. Pelipat uang

di lain pihak disamping dipengaruhi oleh perilaku Bank Sentral, juga ditentukan

oleh perilaku agen-agen ekonomi lainnya seperti Bank Umum dan masyarakat

domestik. Sesuai dengan cakupan uang beredar yang beragam maka yang

dimaksud dengan jumlah uang beredar di Indonesia adalah nilai keseluruhan

uang yang berada ditangan masyarakat. Pengertian jumlah uang beredar dibagi

dua yaitu jumlah uang beredar dalam arti sempit dan dalam arti luas. Jumlah uang

beredar dalam arti sempit (Narrow money atau M1) adalah jumlah uang beredar

yang terdiri dari uang kartal dan uang giral. Pengertian jumlah uang beredar dalam
33

arti sempit dinyatakan sebagai M1 yang merupakan jumlah seluruh uang kartal

yang dipegang anggota masyarakat (the nonpublic) dan (demand deposit) yang

dimiliki oleh perseorangan pada lembaga perbankan yang dapat ditulis dalam

bentuk persamaan sebagai berikut,

(M1 = K + D)...............................................(2.1)

Pengertian lain mengenai jumlah uang beredar atau permintaan uang

didasarkan atas anggapan bahwa, sebenarnya bukan hanya uang tunai dan saldo

giro saja yang bisa digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Uang

milik masyarakat yang disimpan di bank dalam bentuk deposito berjangka atau

tabungan juga memiliki ciri yang mendekati uang tunai. Kedua simpanan ini bisa

diubah tanpa banyak kesulitan menjadi uang tunai untuk pembayaran transaksi

sehingga sering disebut dengan istilah quasi money atau near money, yaitu sesuatu

yang mendekati ciri dari uang. Menurut pengertian yang kedua ini uang yang

beredar adalah narrow money + quasi money,

(M2 = K + D + T) ...........................................(2.2)

dimana T adalah saldo deposito berjangka dan tabungan milik masyarakat pada

perbankan. Konsep uang yang beredar ini disebut uang beredar dalam arti luas

(broad money) (Mankiw, 2006)

Keterangan

M1 = Jumlah Uang Beredar dalam Arti Sempit


M2 = Jumlah Uang Beredar dalam Arti Luas
K = Uang Kartal (Uang Kertas dan Uang Logam)
T = Tabungan
D = Demand Deposit (Uang Giral atau Cek)
34

Kedua konsep tersebut mana yang lebih baik tergantung dari tujuan analisa

aspek keadaan yang ingin digambarkan. Dalam keadaan normal biasanya narrow

money dan broad money berkembang sejalan satu sama lain, sehingga salah satu

bisa dipakai untuk menggambarkan keadaan moneter. Dalam perkembangan

selanjutnya pengertian jumlah uang beredar telah berubah sejalan dengan

pertumbuhan ekonomi, perkembangan sektor keuangan dan perbankan di masing-

masing negara. Secara garis besar dapat disebutkan beberapa faktor yang

mempengaruhi perubahan uang beredar antara lain, tingkat pendapatan

masyarakat, suku bunga dan kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh otoritas

moneter, serta faktor-faktor lain yang mencerminkan kekuatan struktur dan

perkembangan ekonomi suatu negara.

Banyak sedikitnya penawaran uang atau jumlah uang yang beredar

ditentukan oleh pemerintah (Bank Sentral) melalui kebijakan-kebijakan yang

jumlahnya tetap dalam jangka waktu tertentu. Kebijakan moneter ekspansif

bertujuan menambah penawaran uang yang dilakukan untuk meningkatkan daya

beli masyarakat pada saat perekonomian mengalami resesi. Kebijakan moneter

kontraktif bertujuan untuk mengurangi penawaran uang yang dilakukan pada saat

inflasi. Oleh karena itu, kurva penawaran uang merupakan kurva inelastis

sempurna yang berbentuk garis tegak lurus. Perubahan dalam penawaran uang

ditunjukkan oleh pergerakan-pergerakan kurva. Pergerakan-pergerakan kurva ke

kiri menunjukkan penawaran uang yang berkurang, dan pergerakan kurva ke

kanan menunjukkan penawaran uang yang bertambah untuk lebih jelasnya kurva

penawaran uang dapat dilihat pada Gambar 2.5.


35

Gambar 2.5 Jumlah Uang Beredar (Penawaran Uang)


Sumber : Mankiw (2006).

Pergerakan kurva penawaran uang dari MS0 ke MS2 menunjukkan bertambahnya

penawaran uang. Sebaliknya, pergerakan kurva penawaran uang dari MS0 ke MS1

menunjukkan berkurangnya penawaran uang.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat penawaran uang dalam

suatu perekonomian antara lain adalah,

1). Tingkat Bunga

Merupakan faktor utama yang mempengaruhi jumlah uang beredar dalam

perekonomian. Jika tingkat bunga terlalu tinggi, dunia usaha akan lesu dan

penawaran uang akan menjadi berkurang.

2). Tingkat Inflasi

Inflasi yang tinggi mengakibatkan daya beli masyarakat menjadi rendah dan

perusahaan tidak dapat menjual barang yang ditawarkannya. Hal tersebut

akan berpengaruh terhadap berkuranganya jumlah uang yang beredar


36

dimasyarakat. Namun disamping hal tersebut, inflasi juga mempunyai

dampak positif yaitu perputaran barang lebih cepat, produksi barang

bertambah, kesempatan kerja bertambah, pendapatan nominal bertambah,

tetapi pendapatan riil berkurang, karena kenaikan pendapatan kecil.

3). Tingkat Produksi dan Pendapatan Nasional

Bila tingkat produksi dan pendapatan nasional rendah, pemerintah mungkin

akan memperbanyak jumlah uang beredar. Hal tersebut bertujuan untuk

menggairahkan dunia perbankan dan dunia usaha (melalui peningkatan suku

bunga dan peningkatan harga), sehingga jumlah uang beredar dimasyarakat

akan menjadi bertambah.

4). Kondisi Kesehatan Dunia Perbankan

Setiap bank diharuskan memiliki cadangan uang yang cukup untuk menjaga

dana nasabah agar tetap aman. Bank Indonesia menetapkan tingkat cadangan

tertentu, yang sekaligus menjadi pengukur kesehatan bank. Semakin sehat

kondisi perbankan akan berpengaruh terhadap bertambahnya porsi kredit

yang akan disalurkan sehingga penawaran kredit perbankan akan meningkat.

5). Nilai Tukar Rupiah

Jika nilai tukar rupiah menurun, pemerintah akan memberlakukan kebijakan

untuk menurunkan jumlah uang rupiah yang beredar, sehingga sesuai dengan

hukum keseimbangan permintaan dan penawaran. Hal tersebut akan berimbas

pada kenaikan tingkat bunga yang bertujuan untuk mengangkat nilai uang

rupiah (Mankiw, 2006).


37

2.3 Pendekatan IS-LM dan Kebijaksanaan Moneter

Sekitar abad ke-20 Sir Jhon Richard Hicks memberikan kontribusi yang

besar di bidang ekonomi, terutama terkait dengan model IS-LM yang bertolak dari

pandangan Keynesian. Model IS-LM menggambarkan ekonomi sebagai

keseimbangan antara tiga komuditas yaitu uang, konsumsi dan investasi. Kurva IS

singkatan dari Investasi-Saving yang merupakan representasi keseimbangan dari

pasar barang dan jasa. Sedangkan kurva LM singkatan dari Liquidity Preference-

Money yang merupakan representasi keseimbangan dari pasar uang. Pasar barang

dan jasa serta pasar uang dihubungkan oleh variabel tingkat bunga, karena tingkat

bunga mempengaruhi investasi (representasi pasar barang dan jasa) dan

mempengaruhi permintaan uang (representasi pasar uang). Model IS-LM

menyatakan bahwa titik keseimbangan perekonomian tentang suku bunga dan

pengeluaran oleh equilibrium dalam pasar barangdan pasar uang. Pada pasar

barang diwakili oleh equilibrium antara investasi dan tabungan (IS) dan pasar

uang diwakili oleh penawaran uang dan preferensi likuiditas (LM).

Kurva IS ditunjukan oleh grafik yang mencakup titik-titik dimana

investasi berada pada suku bunga tertentu, setara dengan tabungan,berdasarkan

pengeluaran. Kurva IS melandai kebawah karena pengeluaran dan suku bunga

memiliki hubungan yang berbanding terbalik di pasar barang. Apabila

pengeluaran meningkat makaakan lebih banyak uang yang ditabung, yang artinya

suku bunga harus diturunkan untuk mendorong investasi. Untuk kurva LM

arahnya melandai keatas karena suku bunga dan pengeluaran memiliki relasi

positif di pasar uang. Kurva IS menunjukan kombinasi suku bunga dan tingkat
38

pendapatan yang konsisten dengan keseimbangan dalam pasar untuk barang dan

jasa. Dapat dilihat pada Gambar 2.6 perubahan-perubahan dalam kebijakan fiskal

yang meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa menggeser kurva IS

kekanan. Perubahan-perubahan dalam kebijakan fiskal yang mengurangi

permintaan terhadap barang dan jasa menggeser kurva IS kekiri. Kurva IS

memiliki kemiringan yang negatif karena tingkat suku bunga yang tinggi

menurunkan pengeluaran investasi, dan pada akhirnya menurunkan permintaan

agregat serta tingkat pendapatan keseimbangan.

(Suku Bunga)

IS₁
IS₀
IS₂ ₀
(Investasi)
0
Gambar 2.6 Kurva IS (Pasar Barang)
Sumber : Detri Karya (2016).

Kurva LM ditunjukan oleh grafik yang mencakup titik-titik dimana pasar

uang dalam keadaan seimbang. Hubungan antara tingkat bunga dan pendapatan

yang muncul di pasar uang dinyatakan dengan kurva LM. Teori preferensi

likuiditas menyatakan bahwa tingkat bunga menyesuaikan untuk

menyeimbangkan penawaran dan permintaan untuk asset perekonomian yang

paling likuid yaitu uang. Jika M menyatakan penawaran uang dan P menyatakan
39

tingkat harga, maka M/P adalah penawaran dari keseimbangan uang riil. Teori

preferensi likuiditas mengasumsikan adanya penawaran uang riil tetap. Penawaran

uang M adalah variabel kebijakan eksogen yang dipilih oleh Bank Sentral.

Tingkat harga P juga merupakan variable eksogen dalam model ini. Asumsi ini

menunjukan bahwa penawaran uang riil adalah tetap dan biasanya tidak

tergantung pada tingkat bunga. Teori preferensi likuiditas menegaskan bahwa

tingkat bunga adalah sebuah determinan dari berapa banyak uang yang ingin

dipegang ileh masyarakat. Alasannya adalah bahwa tingkat bunga adalah biaya

peluang (opportunity cost) dari memegang uang.

Kurva LM memiliki kemiringan yang positif, kenaikan suku bunga akan

menurunkan permintaan saldo riil. Untuk mempertahankan agar tingkat

permintaan saldo riil bisa sama dengan tingkat penawaran tetap, pendapatan harus

ditingkatkan. Kurva LM menggambarkan hubungan antara tingkat pendapatan

dan bunga. Semakin tinggi pendapatan semakin tinggi permintaan terhadap

keseimbangan uang riil dan semakin tinggi bunga keseimbangan, oleh karena itu

kurva LM miring ke atas. Penurunan dalam penawaran dari keseimbangan riil

menaikan tingkat bunga yang menyeimbangkan pasar uang. Maka penurunan

dalaam keseimbangan riil menggeser kurva LM ke atas. Pada Gambar 2.7 dapat

dilihat bahwa kurva LM menunjukan kombinasi tingkat bunga dan tingkat

pendapatan yang konsisten dengan keseimbangan pasar. Penurunan penawaran

dari keseimbangan uang riil mengeser kurva LM ke kiri, dan sebaliknya kenaikan

dalam penawaran dari keseimbangan uang riil akan menggeser kurva LM

kekanan.
40

(Suku Bunga)
LM₂
LM₀
LM₁

(Jumlah Uang)
0
Gambar 2.7 Kurva LM (Pasar Uang)
Sumber : Detri Karya (2016).

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kurva IS merupakan

kurva imajiner yang menunjukan hubungan dari pendapatan dan suku bunga yang

terjadi pada saat keseimbangan di pasar barang. Hal ini ditandai dengan suku

bunga keseimbangan yang dihasilkan dari permintaan akan dana yang berupa

investasi (I) sama dengan penawaran dana yang berupa saving (S) untuk kegiatan

riil, dari terminologi S dan I inilah maka kurva ini dinamai dengan kurva IS.

Kurva LM adalah kurva imajiner yang menunjukkan hubungan dari pendapatan

(atau lebih tepatnya tingkat output keseimbangan) dan suku bunga, yang terjadi

pada saat keseimbangan di pasar uang. Hal ini ditandai dengan suku bunga

keseimbangan yang dihasilkan interseksi permintaan akan uang (Liquidity

Preference) sama dengan penawaran uang yang dikontrol spenuhnya oleh Bank

Sentral (Money supply). Dari terminologi L dan M inilah maka kurva ini dinamai

dengan kurva LM.


41

Keseimbangan pasar uang dan pasar barang dapat dijelaskan secara grafis

pada Gambar 2.8 berikut.

(Suku Bunga i)

LM₀

i₀

i₁

IS₀
(Pendapatan Y)
0 Y₁ Y₀ Y₂

Gambar 2.8 Kurva Keseimbangan IS-LM


Sumber : Detri Karya (2016).

LM0 dan IS0 adalah keseimbangan pasar uang dan pasar barang. Pada suku bunga

i1 terjadi keseimbangan antara jumlah uang beredar dan permintaan uang pada

tingkat pendapatan Y1, sedangkan keseimbangan antara permintaan dan

penawaran barang terjadi pada tingkat pendapatan Y2. Pada tingkat suku bunga i0,

pasar uang dan pasar barang berada dalam keseimbangan pada tingkat pendapatan

Y0. Suku bunga ini ditentukan oleh titik perpotongan antara kurva IS dan LM.

Menurut Bank Indonesia (2013), otoritas moneter adalah kewenangan

dalam menetapkan, melaksanakan, mengatur kebijakan moneter untuk kelancaran

sistem pembayaran dan pengawasan terhadap lembaga keuangan. Dalam rangka

melaksanakan hal tersebut, Bank Indonesia berwenang untuk melakukan

pengendalian moneter dengan cara pelaksanaan operasi pasar terbuka, penetapan

tingkat diskonto, penetapan wajib minimum, pengaturan kredit atau pembiayaan.


42

Kebijakan moneter adalah tindakan yang dilakukan otoritas moneter (Bank

Central), untuk mempengaruhi jumlah uang beredar dan kredit yang pada

akhirnya akan berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi masyarakat. Tujuan

kebijakan moneter terutama untuk stabilitas ekonomi yang dapat diukur dengan

kesempatan kerja, kestabilan harga, serta neraca pembayaran internasional yang

seimbang (Nopirin, 2010). Target jumlah uang beredar merupakan kebijakan

moneter murni, karena otoritas moneter dapat mengambil langkah-langkah di

bidang moneter yang mampu mengurangi jumlah uang beredar. Kebijakan yang

dilakukan antara lain menurunkan jumlah uang primer, menaikan cadangan wajib

dan tingkat suku bunga, sehingga pertumbuhan ekonomi dan sasaran ekonomi

makro yang lainnya juga dapat tercapai (Sudirman, 2011). Berikut pada Gambar

2.8 akan dijelaskan mengenai efek kebijakan moneter terhadap kurva IS-LM.

(Suku Bunga i)

LM₀
LM1

∆M(1/K)
i₀

IS₀
(Pendapatan Y)
0 Y0 Y1 Y₂

Gambar 2.9 Kurva Efek Kebijakan Moneter


Sumber : Reksoprayitno (2008).
43

Kurva LM bergeser sebagai akibat dari perubahan permintaan uang untuk

motif transaksi, spekulasi, berjaga-jaga dan jumlah uang beredar. Pada gambar 2.8

dapat dilihat bahwa pergeseran kurva LM disebabkan oleh adanya perubahan

jumlah uang beredar melalui kebijakan moneter. Kurva LM bergeser kekanan

sebesar ∆M(1/k) yang disebabkan oleh kenaikan jumlah uang yang beredar.

Kenaikan tingkat pendapatan dari Y0 menjadi Y1 adalah lebih kecil dari Y2-Y0

(yaitu pergeseran kurva LM). Kontraksi moneter atau pengetatan kebijakan

moneter berkaitan dengan penurunan jumlah uang beredar (penawaran uang).

Ketika terjadi peningkatan jumlah uang beredar (penawaran uang) disebut sebagai

ekspansi moneter. Kebijakan moneter tidak mempengaruhi kurva IS, tetapi hanya

mempengaruhi kurva LM. Misalnya ketika terjadi peningkatan penawaran uang,

kurva LM akan bergeser ke bawah. Ekspansi moneter akan mendorong terjadinya

peningkatan output dan penurunan tingkat suku bunga.

2.4 Sistem Keuangan Moneter

Pelaksanaan kebijakan moneter dapat berhasil dengan baik jika sarananya

berfungsi dengan baik. Sistem keuangan merupakan sarana dari kebijakan

moneter yang terdiri dari sistem keuangan moneter dan non moneter. Sistem

keuangan moneter mencakup sistem otoritas moneter, yaitu Bank Indonesia

sebagai Bank Sentral dan sistem perbankan yang mencakup Bank Umum dan

BPR, serta sistem otoritas non moneter mencakup Asuransi, Pegadaian, Leasing,

Modal Ventura dan Dana Pensiun. Otoritas monater diemban oleh Bank Indonesia

dengan kelembagaan dan kebijakannya. Dalam organisasi Bank Indonesia dapat


44

dilihat visi, misi, nilai-nilai dan sasaran strategis, struktur organisasinya, implikasi

tujuan, tugas dan wewenang organisasinya. Kebijakan Bank Indonesia adalah

khusus di bidang moneter dan sistem pembayaran. Saat ini sistem keuangan

moneter dan non moneter diawasi oleh OJK namun tetap berkoordinasi dengan

Bank Indonesia. OJK merupakan lembaga pengawas agar keseluruhan kegiatan di

sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel dan

mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan

stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen maupun masyarakat (UU

No 21 Tahun 2011)

Sistem perbankan terdiri atas Bank Umum dan BPR yang dibina oleh

Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan OJK. Bank Indonesia memiliki

otoritas dibidang moneter sehingga tidak melakukan kegiatan yang dilakukan oleh

Bank Umum dan BPR. Bank Umum dan BPR melakukan kegiatan atas dasar

pelaksanaan kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesial sehingga

Bank Umum dan BPR disebut sebagai bank pelaksana. Dengan UU No 7 Tahun

1992 tentang perbankan dan disempurnakan dengan UU No 10 Tahun 1998 yang

menyebutkan bahwa bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat untuk kesejahteraan

masyarakat. Maka pemberian kredit oleh bank merupakan wujud pelaksanaan

kebijakan moneter untuk mengubah jumlah uang beredar demi kesejahteraan

masyarakat.

Pelaksanaan suatu kebijakan moneter melalui lembaga keuangan bank

akan berhasil jika sistem perbankan berfungsi dengan baik, sehingga dari kondisi
45

tersebut dapat dilihat apakah lembaga keuangan bank mendominasi dalam suatu

perekonomian atau tidak. Dalam dominasi itu dapat dipilih struktur kepemilikan

bank (milik pemerintah, swasta atau campuran), bentuk-bentuk penghimpunan

dana bank (giro, tabungan, deposito dan sejenisnya), dan jenis penyaluran kredit

bank (modal kerja, investasi, konsumsi). Dari pilihan dominasi tersebut dapat

diketahui peran lembaga keuangan bank dalam pembangunan ekonomi suatu

Negara. Kemampuan yang tidak terbatas bagi bank dalam menghimpun dana

merupakan kemampuan yang sama dalam menyalurkan kredit, sehingga hal itu

membuktikan peran bank sebagai sarana dalam pelaksanaan kebijakan moneter.

Kebijakan Moneter merupakan upaya dalam mewujudkan stabilitas moneter

dengan cara memantau dampak pelaksanaan kebijakan oleh bank-bank seperti

perkembangan tingkat bunga, tingkat harga, neraca pembayaran dan yang lainnya.

Jadi dapat dikatakan bahwa semua ukuran kebijakan dan stablitias moneter tidak

dapat dipisahkan dari sistem keuangan dan lembaga perbankan.

2.5 Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

OJK adalah lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan UU No 21 Tahun

2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang

terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan baik di

sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank seperti

Asuransi, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan

lainnya. Secara lebih lengkap, OJK adalah lembaga independen dan bebas dari

campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
46

pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud

dalam UU No 21 tersebut. Tugas pengawasan industri keuangan non-bank dan

pasar modal secara resmi beralih dari Kementerian Keuangan dan Bapepam-LK

ke OJK pada 31 Desember 2012. Sedangkan pengawasan di sektor perbankan

beralih ke OJK pada 31 Desember 2013 dan lembaga keuangan mikro pada 2015.

Pasal 4 UU No 21 Tahun 2011 tentang OJK menyebutkan bahwa OJK

dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan

terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel dan mampu mewujudkan

sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu

melindungi kepentingan konsumen maupun masyarakat. Dengan pembentukan

OJK, maka lembaga ini diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa

keuangan secara menyeluruh sehingga meningkatkan daya saing perekonomian.

Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain meliputi

sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa

keuangan dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. OJK

dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi

independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran

(fairness).

OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan

yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

Sementara berdasarkan pasal 6 dari UU No 21 Tahun 2011, tugas utama dari OJK

adalah melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di

sektor perbankan, kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal. kegiatan jasa
47

keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan

lembaga jasa keuangan lainnya. Adapun wewenang yang dimiliki OJK adalah

sebagai berikut,

1). Terkait khusus pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan bank

yang meliputi,

(1). Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,

rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia,

merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank.

(2). Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk

hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.

(3). Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal

minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap

simpanan dan pencadangan bank, laporan bank yang terkait dengan

kesehatan dan kinerja bank, sistem informasi debitur, pengujian kredit

(credit testing), dan standar akuntansi bank.

(4). Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank,

meliputi: manajemen risiko, tata kelola bank, prinsip mengenal nasabah

dan anti pencucian uang, dan pencegahan pembiayaan terorisme dan

kejahatan perbankan serta pemeriksaan bank.

2). Terkait pengaturan lembaga jasa keuangan (bank dan non bank) meliputi:

(1). Menetapkan peraturan dan keputusan OJK.

(2). Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan.


48

(3). Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK.

(4). Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis

terhadap lembaga jasa keuangan dan pihak tertentu.

(5). Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter

pada lembaga jasa keuangan.

(6). Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,

memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban.

(7). Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa

keuangan.

3). Terkait pengawasan lembaga jasa keuangan (bank dan non bank) meliputi:

(1). Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa

keuangan.

(2). Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh

Kepala Eksekutif.

(3). Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan

konsumen dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku,

dan atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud

dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

(4). Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan atau

pihak tertentu.

(5). Melakukan penunjukan pengelola statute.

(6). Menetapkan penggunaan pengelola statute.


49

(7). Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa

keuangan.

(8). Memberikan dan atau mencabut izin usaha, izin orang perseorangan,

efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan

melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan

pembubaran dan penetapan lain.

Menurut Pasal 39 UU No 21 tahun 2011, OJK bisa berkoordinasi dengan

Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan perbankan, misalnya, dalam

hal kewajiban pemenuhan modal minimum bank ataupun kebijakan penerimaan

dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing maupun pinjaman komersial

luar negeri. Berikut ini berbagai bentuk nyata sinergi antara Bank Indonesia dan

OJK:

1). OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan

pengawasan di bidang perbankan. Hal tersebut merupakan salah satu contoh

bahwa kesatuan langkah kedua lembaga harus selalu ada. Kombinasi

kompetensi dari personel masing-masing lembaga dimaksud agar mampu

menciptakan suatu tatanan aturan perbankan yang lebih sempurna.

Penyamaan persepsi antara Bank Indonesia dan OJK dalam menentukan

kebijakan atau pengaturan perbankan akan menghasilkan tatanan sistem

perbankan yang tangguh dalam menghadapi segala kondisi.

2). Tidak hanya dalam pembuatan aturan, Bank Indonesia dan OJK juga harus

terintegrasi dalam tukar menukar informasi perbankan. Melalui


50

penggabungan sistem informasi ini, Bank Indonesia dan OJK akan lebih

mudah mengakses informasi perbankan yang disediakan masing-masing

lembaga setiap saat (timely basis). Informasi strategis yang dimiliki masing-

masing lembaga dan aksesibilitas yang mudah sangat menunjang efektivitas

pelaksanaan tugas.

3). Dalam rangka pemeriksaan bank, Bank Indonesia dan OJK juga terus

melakukan hubungan timbal balik. Bank Indonesia dalam kondisi tertentu

akan melakukan pemeriksaan khusus terhadap bank setelah berkoordinasi

dengan OJK. Begitupun sebaliknya, dalam hal OJK mengidentifikasikan bank

tertentu mengalami kondisi yang memburuk maka OJK akan segera

menginformasikan kepada Bank Indonesia. Kerja sama resiprokal yang

bermanfaat
untuk mengantisipasi dampak sistemik negatif dari suatu kondisi

perbankan. Dengan kerja sama itu pula tindakan penanganan yang tepat dapat

diambil dengan cepat.

2.6 Pengertian Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Sesuai dengan pasal 5 ayat 1 UU Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan

UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan dikatakan bahwa, menurut jenisnya

bank terdiri dari Bank Umum dan BPR. BPR adalah bank yang menerima

simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan atau dalam bentuk

lainnya yang dipersamakan dengan itu. Menurut Triandaru dan Budisantoso

(2009) usaha yang dapat dilakukan oleh BPR adalah meliputi,


51

1). Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan deposito

berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang disamakan dengan itu.

2). Memberikan kredit.

3). Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah

(bunga), sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

4). Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI),

deposito berjangka, sertifikat deposito atau tabungan pada bank lain.

BPR dalam pelaksanaan kegiatan usahanya, dilarang untuk:

1). Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran

2). Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing

3). Melakukan penyertaan modal

4). Melakukan usaha perasuransian

5). Melakukan usaha lain diluar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam

pasal 13. Sedangkan bentuk hukum dari BPR dapat berupa, Perusahaan

Daerah (PD), Koperasi, Perseroan Terbatas (PT).

BPR sebagai suatu lembaga perbankan dan juga sebagai lembaga mediasi

tentu mempunyai tujuan dan fungsi.

1) Tujuan BPR

BPR dalam rangka ikut membantu meningkatkan produktivitas dan

penghasilan masyarakat terutama golongan ekonomi lemah, mempunyai

beberapa tujuan dalam menjalankan usaha diantaranya adalah:


52

(1). Menunjang kelancaran penyediaan permodalan dalam rangka

pembangunan daerah pada umumnya dan pembangunan desa pada

khususnya.

(2). Menciptakan pemerataan dalam kesempatan berusaha untuk golongan

ekonomi rendah.

2). Fungsi BPR

(1). Menyediakan permodalan dengan sistem perkreditan yang mudah dan

mengarah pada masyarakat pedesaan.

(2). Membantu modal masyarakat yang diarahkan pada peningkatan

produksi.

(3). Melindungi masyarakat pedesaan dari pengaruh pelepas uang.

(4). Membimbing masyarakat pedesaan agar lebih mengenal dan memahami

asas ekonomi dan permodalan.

Haryati (2009) menegaskan fungsi intermediasi BPR merupakan kegiatan

perbankan yaitu menghimpun dana dari masyarakat dimana sumber dana terdiri

dari tabungan, deposito, pinjaman yang diterima dari bank lain atau pinjaman

lainnya, dan modal sendiri. Salah satu ukuran untuk melihat fungsi intermediasi

perbankan dalam menjalankan usahanya adalah LDR yang juga biasa digunakan

sebagai ukuran kinerja keuangan, likuiditas dan kesehatan bank. LDR digunakan

untuk mengukur efektivitas perbankan dalam penyaluran kredit dengan

menggunakan dana yang diterima. LDR juga dapat digunakan untuk melihat

seberapa besar perbandingan total pinjaman kredit yang disalurkan kepada

masyarakat dengan total DPK ditambah dengan dana yang diterima oleh bank.
53

Penyaluran kredit merupakan kegiatan utama bank, oleh karena itu sumber

pendapatan utama bank berasal dari kegiatan tersebut. Semakin besar penyaluran

dana kepada masyarakat dibandingkan dengan dana yang diterima oleh pihak

perbankan, membawa konsekuensi semakin besarnya risiko yang ditanggung oleh

bank (Leon & Ericson, 2007).

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa peran utama bank dalam hal ini

BPR dalam menjalankan usahanya adalah sebagai lembaga intermediasi. Dalam

menjalankan perannya tersebut indikator yang bisa dipakai untuk melihat fungsi

bank sebagai lembaga intermediasi berjalan dengan baik atau tidak adalah LDR.

Selain untuk mengukur intermediasi perbankan LDR juga dapat digunakan

sebagai instrumen penilaian kesehatan bank yang dilihat dari sisi likuiditas. Oleh

karena itu LDR menjadi salah satu rasio yang sangat penting dalam dunia

perbankan, karena dari rasio tersebut masyarakat dapat mengetahui apakah usaha

perbankan sudah berjalan dengan baik atau tidak. Bank Indonesia sebagai Bank

Sentral memberi ukuran agar pada masing-masing bank mempunyai ukuran LDR

antara 78 sampai dengan 92 persen. Jika kurang dari 78 maka kepada bank

tersebut harus lebih gencar dalam menyalurkan kredit melalui strategi pemberian

kredit yang lebih efektif dalam rangka mendorong peningkatkan produksi dan

perekonomian rakyat, tetapi bagi yang mempunyai ukuran lebih dari ukuran yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia agar lebih waspada terhadap kondisi likuiditas.

Berkaitan dengan hal tersebut maka Bank Indonesia sebagai Bank Sentral akan

memberlakukan disinsentif bagi bank yang posisi LDR tidak berada pada ranah

yang ditetapkan.
54

2.7 Credit Crunch

Istilah credit crunch muncul pada tahun 1966 sebagai suatu bentuk

fenomena dis- intermediasi yang terjadi di Amerika ketika kebijakan moneter

yang dilakukan oleh Federal Reserve menjadi sangat ketat untuk mengatasi

inflasi. Kebijakan yang sangat ketat itu telah meningkatkan suku bunga jangka

pendek meningkat jauh diatas batas atas suku bunga deposito yang diatur.

Akibatnya deposan menarik dananya dari perbankan untuk mendapatkan suku

bunga yang lebih tinggi pada aset finansial lainnya sehingga deposito perbankan

mengalami penurunan yang besar yang berakibat terhambatnya suplai kredit.

Sejak deregulasi sektor keuangan di tahun 1980an yang menghapuskan batas suku

bunga deposito, fenomena dis-intermediasi perbankan akibat peraturan seperti ini

tidak terjadi lagi (Kliesen dan Tatom, 1992).

Definisi yang lebih luas adalah bahwa pembatasan suplai kredit yang

bersifat non-harga (non-price credit constraint) sebagai akibat peraturan

perbankan yang terlalu mengikat seperti peraturan masalah modal dan legal

lending limit, atau akibat penurunan kualitas aset dan profitabilitas perbankan.

Dalam istilah yang lebih teknis, Bernanke dan Lown (1991) mendefinisikan credit

crunch sebagai pergeseran kurva suplai kredit perbankan dengan kondisi suku

bunga dan kualitas nasabah potensial tidak berubah. Definisi ini sejalan dengan

apa yang dikemukakan oleh Pazarbasioglu (1998), yang mendefinisikan credit

crunch sebagai penurunan suplai kredit akibat menurunnya kemauan bank-bank

untuk memberikan pinjaman, tanpa diikuti oleh kenaikan suku bunga pinjaman.

Definisi yang paling kuat diberikan oleh Gosh (1999) yang mengartikan credit
55

crunch sebagai quantity rationing, dimana suku bunga pinjaman tidak lagi

berfungsi dalam menyeimbangkan permintaan dan penawaran kredit. Konsep ini

terkait dengan konsep credit rationing yang dikemukakan oleh Stiglitz dan Weiss

(1981) dan Jafee dan Stiglitz (1990) yang mendefinisikan credit rationing sebagai

suatu kondisi dimana nasabah tertentu tidak mendapatkan kredit walaupun mereka

mau membayar suku bunga pinjaman yang lebih tinggi.

Dari berbagai definisi tersebut, secara umum credit crunch dapat diartikan

sebagai suatu situasi dimana terjadi penurunan suplai kredit perbankan secara

tajam sebagai akibat dari menurunnya kemauan bank dalam menyalurkan kredit

pada dunia usaha. Keengganan bank dalam menyalurkan kredit tercermin dari

meningkatnya spread yaitu selisih antara suku bunga pinjaman dan suku bunga

dana dan semakin ketatnya kriteria untuk memperoleh kredit. Dalam kondisi yang

ekstrim, credit crunch terjadi dalam bentuk credit rationing, yaitu bank menolak

memberikan kredit terhadap nasabah tertentu atau sebagian besar nasabah pada

tingkat suku bunga berapapun.

Di Amerika Serikat credit crunch terjadi pada kurun waktu 1989-1992.

Terdapat beberapa hal yang menyebabkan terjadinya penurunan kredit ini.

Pertama, beban pembayaran hutang yang tinggi dan meningkatnya problem

keuangan nasabah dan perbankan merupakan faktor utama penyebab menurunnya

kredit. Kedua, faktor-faktor penawaran kredit seperti keterbatasan modal dalam

rangka memenuhi standar BIS oleh banyak kalangan disinyalir menjadi penyebab

terjadinya credit crunch. Pada masa itu bank-bank tidak dapat menjual saham

baru karena kinerjanya yang kurang baik, sementara itu banyak juga yang
56

menurunkan laju pertumbuhan dan memperbaiki kreditnya untuk meningkatkan

rasio permodalannya (Bernanke dan Lown, 1991).

2.7.1 Permasalahan Dari Sisi Permintaan

Terganggunya pertumbuhan kredit perbankan dapat terjadi karena

lemahnya permintaan kredit, lemahnya penawaran, atau keduanya. Gangguan

pada sisi permintaan dapat berupa menurunnya kualitas nasabah kredit, tingginya

suku bunga yang melebihi kemampuan membayar nasabah, dan masih tingginya

risiko berusaha sehingga nasabah belum berani memulai usahanya. Sementara,

gangguan pada sisi penawaran dapat berupa keterbatasan permodalan bank,

ketersediaan loanable fund, permasalahan NPL bank, dan keengganan bank untuk

menyalurkan kredit yang terkait dengan tingginya risiko dunia usaha.

Pada masa resesi, penurunan kredit merupakan hal normal yang terjadi

sebagai refleksi dari turunnya permintaan untuk konstruksi baru, barang-barang

modal, dan barang-barang konsumsi tahan lama (consumer durables). Namun,

pertumbuhan kredit di Indonesia meski telah menunjukkan perbaikan

menunjukkan pola yang agak berbeda dengan kondisi normal. Dengan demikian,

penjelasan mengenai sisi permintaan kredit dalam hal ini diharapkan dapat

menerangkan perbedaan pola tersebut.

1). Menurunnya Kualitas Nasabah

Salah satu penjelasan utama terhadap lemahnya permintaan adalah

melemahnya kondisi neraca (balance sheet) perusahaan yang menjadi

nasabah kredit. Sebelum krisis, banyak perusahaan yang secara signifikan


57

meningkatkan leverage-nya, baik yang berasal dari pinjaman bank dalam

negeri maupun dari luar negeri. Krisis keuangan yang terjadi pada tahun

1997-1998 mengakibatkan depresiasi nilai tukar dan kenaikan suku bunga

yang sangat tinggi. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya kewajiban

pembayaran hutang (debt services) perusahaan sehingga semakin

meningkatkan leverage mereka. Kecenderungan semakin meningkatnya

leverage perusahaan-perusahaan juga tercermin dari masih tingginya debt to

equity ratio perusahaan-perusahaan publik. Bahkan, tingkat leverage

perusahaan-perusahaan yang bergerak pada sektor-sektor industri manufaktur,

pertanian dan properti tercatat sangat tinggi.

2). Tingginya SBK dan Risiko Berusaha

Disamping itu, kenaikan suku bunga yang begitu tinggi ketika krisis telah

menyebabkan penurunan nilai aset dan cash flow perusahaan. Sehingga,

secara umum meskipun terdapat peluang untuk investasi maka nasabah yang

dalam kondisi keuangan perusahaannya sangat lemah (perusahaan yang

leverage-nya lebih tinggi atau cash flow-nya lebih rendah) cenderung

melakukan pembenahan keuangannya terlebih dahulu daripada melakukan

ekspansi usaha. Hal ini menyebabkan rendahnya permintaan kredit yang

terjadi. Dalam hal menjelaskan masih rendahnya aplikasi terhadap kredit

perbankan, tingginya risiko berusaha merupakan salah satu faktor utama yang

mengurangi permintaan kredit. Ketidakpastian yang masih tinggi

mengakibatkan pengusaha belum berani untuk melakukan ekspansi usaha

(investasi) sehingga permintaan akan dana untuk investasi secara otomatis


58

juga akan berkurang. Selain itu, dalam kondisi resesi perusahaan biasanya

mengurangi investasi dalam persediaan barang (inventory). Berkurangnya

jumlah inventory tersebut tentunya berakibat pada menurunnya kebutuhan

modal kerja yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya permintaan

kredit modal kerja.

2.7.2 Permasalahan dari Sisi Penawaran

Sejumlah permasalahan internal perbankan (seperti kecukupan modal,

memburuknya kualitas aset, dan ketersediaan loanable fund) diduga telah

menyebabkan turunnya kemampuan bank dalam memberikan kredit. Disamping

itu, terdapat beberapa persoalan eksternal yang menimbulkan keengganan bank

untuk menyediakan pembiayaan bagi dunia usaha.

1). Kecukupan Modal

Salah satu dampak krisis adalah terjadinya penurunan modal perbankan yang

cukup tajam akibat besarnya kerugian dan turunnya kualitas aset. Sebagai

akibatnya, mayoritas bank sempat memiliki modal yang negatif. Dalam

kondisi capital constrained seperti itu, adalah sangat wajar jika bank-bank

kemudian bertahan untuk tidak menyalurkan kredit, karena kenaikan kredit

yang disalurkan akan menambah aset berisiko sehingga mengharuskan bank

menambah modal. Fenomena ini sering disebut sebagai capital crunch

(Bernanke dan Lown, 1991) untuk menggambarkan fenomena turunnya

kemampuan bank menyalurkan kredit sebagai akibat kurangnya permodalan.

Meski tingkat permodalan bank secara agregat telah positif sejalan dengan
59

telah selesainya program rekapitalisasi, kewajiban pemenuhan CAR

merupakan salah satu faktor internal yang membatasi ruang gerak perbankan

dalam memberikan kredit. Bank-bank merasa bahwa rasio kecukupan modal

sulit dicapai, sehingga bank-bank menjadi lebih berhati-hati untuk

menyalurkan kredit.

2). Kredit Bermasalah (NPL)

Selain kecukupan modal, tingginya NPL, merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan enggannya perbankan memberikan kredit. Dalam kondisi NPL

yang tinggi, perbankan lebih cenderung melakukan konsolidasi internal guna

memperbaiki kualitas aset ketimbang menyalurkan kredit. Tingginya NPL

juga berpengaruh terhadap memburuknya kondisi permodalan. Hal ini

disebabkan oleh meningkatnya PPAP yang harus dibentuk serta menurunnya

pendapatan bunga. Meskipun NPL tahun terakhir berangsur-angsur telah

menurun, tingginya kerugian akibat NPL pada periode-periode sebelumnya

menyebabkan perbankan menjadi risk-averse sehingga pertumbuhan kredit

tidak cukup signifikan.

3). Tingginya Risiko Kredit

Salah satu indikator yang mencerminkan masih tingginya risiko dunia usaha

menurut perspektif perbankan adalah dengan melihat lebarnya spread antara

suku bunga kredit dengan suku bunga dana. Menurut Bernanke dan Lown

(1991) salah satu penyebab lebarnya spread suku bunga pasca krisis adalah

besarnya komponen marjin risiko yang ditetapkan bank dalam suku bunga

kreditnya. Disamping itu, terdapat sejumlah temuan lain yang mendukung


60

bahwa masih tingginya risiko dunia usaha telah menimbulkan keengganan

bank memberikan kredit yaitu, bank cenderung untuk meminta collateral

yang likuid, bank cenderung untuk hanya berhubungan dengan debitur lama

yang telah dikenal dan terjadi perubahan organisasi kredit pada bank yang

cenderung lebih sentralistik dalam pemutusan kredit. Tingginya risiko kredit

juga tercermin dari masih tingginya leverage perusahaan seperti yang

dikemukakan sebelumnya

2.8 Konsep Loan To Deposit Ratio (LDR)

Kegiatan usaha yang paling utama dari suatu bank tidak terkecuali BPR

adalah melakukan penghimpunan dan penyaluran dana. Kegiatan penghimpunan

dana berasal dari berbagai sumber antara lain dari bank itu sendiri, dari deposan

atau nasabah, pinjaman dari bank lain maupun dari Bank Indonesia. Sedangkan

kegiatan penyaluran dana dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya

penyaluran kredit, kegiatan investasi dan dalam bentuk aktiva tetap serta

inventasris. Kegiatan penghimpunan dana bank sebagian besar bersumber dari

simpanan nasabah dalam bentuk tabungan dan deposito berjangka. Simpanan

nasabah ini sering disebut dengan DPK. DPK yang berhasil dihimpun sebagian

besar disalurkan dalam bentuk pinjaman atau kredit.

Hubungan antara DPK dan kredit ditunjukan oleh LDR. LDR merupakan

rasio untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang disalurkan dibandingkan

dengan jumlah dana masyarakat, modal sendiri serta dana yang diteriama oleh

pihak perbankan dari berbagai sumber yang digunakan. LDR dapat menjadi
61

indikator untuk menilai peran intermediasi, tingkat kesehatan, likuiditas dan

kelancaran usaha suatu bank (Kasmir, 2007). Semakin tinggi (sesuai dengan batas

aman) kredit yang disalurkan dengan menggunakan dana yang diterima serta

modal yang dimiliki sebagai sumber pendanaannya, maka peran intermediasi

perbankan berjalan dengan baik dan usaha perbankan dapat dikatakan lancar.

Sebaliknya rendahnya penyaluran kredit menggunakan dana yang diterima serta

modal yang dimiliki oleh suatu bank, menunjukan peran intermediasi tidak

berjalan dengan baik karena dana yang diterima oleh pihak perbankan tidak

disalurkan kembali kepada masyarakat, melainkan kemungkinan digunakan untuk

kepentingan lain, misalnya untuk membeli SBI, inventaris dan sebagainya.

Tingkat LDR suatu bank haruslah tetap dijaga agar tidak terlalu rendah.

Untuk itu Bank Indonesia selaku otoritas moneter menetapkan syarat LDR berada

diantara 78 sampai dengan 92 persen yang tercantum pada Peraturan Bank

Indonesia (PBI) No. 17/11/PBI/2015 tanggal 25 Juni 2015. Sanksi dari Bank

Indonesia yang LDRnya diluar kisaran tersebut adalah dikenakan denda sebesar

0,1 persen dari jumlah simpanan nasabah di bank bersangkutan untuk setiap 1

persen kekurangan LDR yang dialami bank. Sementara untuk Bank Umum yang

memiliki tingkat LDR diatas 100 persen akan diminta untuk menambah giro wajib

minimum primer sebesar 0,2 persen dari jumlah simpanan nasabah di bank

bersangkutan untuk setiap 1 persen nilai kelebihan LDR yang dialami, dimana

penambahan tersebut tidak diberikan bunga kecuali bank yang memiliki CAR

diatas 14 persen tidak terkena penalty walaupun LDRnya diatas 100 persen.
62

Menurut Dendawijaya (2003), LDR adalah rasio antara seluruh jumlah

kredit yang disalurkan oleh bank dengan dana yang diterima oleh bank. Kasmir

(2014) juga mendefinisikan LDR adalah rasio untuk mengukur komposisi jumlah

kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana dari masyarakat dan

modal sendiri yang digunakan. Berdasarkan PBI No. 17/11/PBI/2015 tanggal 25

Juni 2015 tentang perubahan atas PBI Nomor 15/15/PBI/2013 memasukkan

komponen surat berharga yang diterbitkan bank dalam perhitungan LDR. Menurut

Zinsari (2011) LDR dihitung dengan membagi total jumlah kredit yang diberikan

dengan dana yang berhasil dihimpun dikalikan 100 persen. Dana yang berhasil

dihimpun yang dimaksud terdiri dari tabungan deposito dari masyarakat, pinjaman

dari Bank Indonesia, pinjaman atau deposito dari bank lain lebih dari 3 bulan,

pinjaman dari non bank lebih dari 3 bulan, modal inti dan modal pinjaman.

Menurut Sudirman (2013) LDR dihitung dengan cara membagi total kredit

dengan dana yang diterima oleh bank. Berdasarkan pengertian tersebut LDR

dirumuskan sebagai berikut,

Kredit yang Diberikan Kepada Pihak Ketiga


LDR = × 100%.............(2.3)
Dana yang Diterima Bank + Modal

Menurut Susilo (2000), jika bank mempunyai LDR yang sangat tinggi,

maka bank akan mempunyai risiko tidak tertagihnya pinjaman yang tinggi pada

titik tertentu bank akan mengalami kerugian. Menurut Sartono (2001), LDR yang

tinggi menunjukkan bahwa suatu bank meminjamkan seluruh dananya (loan-up)

atau menjadi tidak likuid (illiquid). Sebaliknya rasio yang rendah menunjukkan

bank yang likuid dengan kelebihan kapasitas dana yang siap untuk dipinjamkan.

Untuk Bank Umum di Indonesia periode 2008-2016 menunjukkan LDR yang


63

masih berkisar antara 72,88 persen sampai dengan 83,58 persen (Statistik

Perbankan Indonesia, 2017). Angka LDR tersebut masih berada dibawah harapan

Bank Indonesia. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, angka LDR seharusnya

berada disekitar 78 persen sampai dengan 92 persen (Manurung, 2004).

LDR dibentuk oleh variabel penyaluran kredit dan penghimpunan dana

oleh pihak perbankan. Dana yang diterima oleh pihak perbankan tersebut

bersumber dari modal sendiri, pinjaman dari bank lain, serta DPK yang berhasil

dihimpun oleh pihak bank. Sumber dana terbesar yang digunakan oleh pihak

perbankan untuk pembiayaan kredit adalah DPK yang berhasil dihimpun dari

masyarakat yang berupa tabungan dan deposito (untuk BPR). Dalam penelitian ini

yang diteliti dari LDR bukan nilai secara kuantitatif yang perhitungannya seperti

pada Persamaan 2.7, melainkan prilaku dan persepsi manajemen bank yang

membentuk rasio tersebut. Adapun variabel pembentuknya adalah penyaluran

kredit dan penghimpunan DPK. Digunakannya variabel tersebut sebagai indikator

karena, tinggi rendahnya penyaluran kredit dan penghimpunan dana merupakan

faktor penentu pembentuk nilai LDR pada lemabaga perbankan (Kasmir, 2014).

Adapaun penejelasan masing-masing variabel indikator dari LDR akan dijelaskan

pada sub bab berikutnya.

2.8.1 Konsep Penyaluran Kredit

Kredit berasal dari kata Yunani yaitu credere yang berarti kepercayaan,

sedangkan dalam bahasa Latin yaitu creditum yang berarti kepercayaan akan

kebenaran. Menurut UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan pasal 12 ayat 1


64

bahwa, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan

dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara

bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi

utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau

pembagian hasil keuntungan. Pengertian kredit menurut UU perbankan nomor 10

tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank

dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnnya setelah

jangka waktu tertentu dengan pemberian harga. Penawaran kredit perbankan sama

dengan teori penawaran uang dimana besar kecilnya sangat tergantung pada suku

bunga.

1). Unsur Kredit

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pemberian kredit, meliputi

kepercayaan, waktu, degree of risk, prestasi dan kontraprestasi untuk lebih

jelasnya akan dijelaskan satu persatu sebagai berikut,

(1). Kepercayaan

Kepercayaan adalah suatu keyakinan pemberi kredit bahwa prestasi yang

diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa, akan benar-benar

diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan

datang.

(2). Waktu

Waktu ialah suatu masa yang memisahkan antara waktu pemberian

prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima pada masa yang akan
65

datang. Jangka waktu kredit dapat kita bagi atas tiga kategori yaitu

jangka pendek < 1 tahun, jangka menengah 1-3 tahun, jangka panjang

> 3 tahun

(3). Degree Of Risk

Degree of risk yakni suatu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai

akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian

kredit (pihak perbankan) dengan kontra prestasi yang akan diterima di

kemudian hari. Risiko timbul bagi pemberi kredit (pihak perbankan)

karena uang atau barang atau jasa telah lepas kepada orang lain. Semakin

lama kredit diberikan, maka semakin tinggi pula tingkat risikonya,

dengan adanya risiko ini maka timbulah jaminan dalam pemberian kredit.

(4). Prestasi dan Kontraprestasi

Prestasi merupakan objek kredit yang diberikan kreditur (pihak bank)

kepada debitur (nasabah), tidak hanya dalam bentuk uang tetapi juga

dalam bentuk barang atau jasa. Sedangkan kontraprestasi merupakan

imbalan berupa bunga yang dibayarkan oleh debitur (nasabah) kepada

kreditur (pihak bank) sebagai akibat dari penggunaan fasilitas kredit,

dimana bunga kredit ini merupakan pendapatan utama bagi kreditur

(pihak bank). Bunga kredit menjadi pertimbangan utama nasabah untuk

melakukan pinjaman. Bunga kredit merupakan produk masing masing

perbankan sehingga bunga kredit menjadi salah satu dari strategi bank

dalam menyalurkan kredit.


66

2). Prinsip Perkreditan

Menurut Darsana (2009), sebelum suatu fasilitas kredit diberikan maka

bank harus merasa yakin kredit yang diberikan benar-benar akan kembali.

Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil penilaian kredit sebelum kredit

tersebut disalurkan. Penilaian kredit oleh bank dapat dilakukan sebagai cara

untuk mendapatkan keyakinan tentang nasabahnya. Kriteria penilaian kredit

yang dilakukan oleh bank antara lain adalah

(1). Analisis 5C menurut Kasmir (2004) meliputi,

a). Character

Adalah karakter, integritas dan kejujuran dari peminjam yang

merupakan faktor paling menentukan, oleh karena itu harus diberi

bobot yang paling tinggi.

b). Capacity

Adalah kemampuan pimpinan perusahaan yang mengajukan

permohonan kredit dalam mengelola perusahaannya. Jika

kemampuan dalam mengelolanya baik, maka laba yang diperoleh

perusahaan akan besar, hal tersebut memungkinkan perusahaan

memenuhi kewajiban membayar bunga dan pokok pinjamannya.

c). Capital

Perusahaan dengan modal yang besar menunjukkan besarnya

kemampuan perusahaan untuk dalam keadaan terpaksa melikuidasi

kekayaannya guna melunasi kewajiban-kewajiban perusahaan.


67

d) Collateral

Adalah jaminan dalam bentuk aktiva dalam artian bahwa apabila

pihak peminjam tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka aktiva

yang digunakan sebagai jaminan dijual dan hasil penjualannya

dipergunakan untuk memenuhi kewajiban tersebut.

e). Conditions

Adalah apa yang biasa disebut suasana dunia usaha atau ‘business

conditions’, yaitu istilah lain untuk keadaan perekonomian,

khususnya dilihat dengan menggunakan kacamata perusahaan.

Dalam mengambil keputusan apakah permohonan kredit investasi

dikabulkan atau tidak, bank perlu memperhatikan apakah

perekonomian menghadapi keadaan resesi, depresi ataukah ekspansi.

(2). Analisis 7P menurut Hasibuan (2002) meliputi,

a). Personality yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau

tingkah lakunya sehari-hari maupun masa lalunya

b). Party yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu

atau golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas serta

karakternya.

c). Purpose yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil

kredit termasuk kredit yang diinginkan nasabah.

d). Payment yaitu merupakan ukuran bagaimana cara nasabah

mengembalikan kredit yang telah diambil atau darimana saja sumber

dana untuk pengembalian kredit.


68

e). Prospect yaitu untuk menilai usaha nasabah dimasa yang akan

datang menguntungkan atau tidak.

f). Profitability yaitu untuk menganalisis bagaimana kemampuan

nasabah dalam mencari laba.

g). Protection, yaitu bagaimana menjaga agar usaha dan jaminan

mendapatkan perlindungan.

(3). Analisis 3R menurut Hasibuan (2002) meliputi,

a). Return yaitu Pengembalian.

b). Repayment yaitu Kemampuan.

c). Risk yaitu Risiko.

3). Jenis Kredit

Dalam praktiknya kredit yang diberikan Bank Umum dan BPR untuk

masyarakat terdiri dari berbagai jenis. Menurut Kasmir (2004) secara umum

jenis-jenis kredit dapat dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut,

(1). Aspek Kegunaan

a). Kredit Investasi

Kredit investasi merupaka kredit jangka panjang yang biasanya

digunakan untuk keperluan perluasan usaha, membangun proyek,

pabrik baru atau untuk keperluan rehabilitasi.

b). Kredit Modal Kerja

Kredit modal kerja merupakan kredit yang digunakan untuk

keperluan peningkatan produksi dalam operasionalnya. Sebagai

contoh kredit modal kerja diberikan untuk membeli bahan baku,


69

membayar gaji pegawai atau biaya-biaya lainnya yang berkaitan

dengan proses produksi perusahaan.

(2). Aspek Tujuan Penggunaan

a). Kredit Produktif

Kredit yang digunakan untuk peningkatan usaha atau produksi atau

investasi. Kredit ini diberikan untuk menghasilkan barang dan jasa.

b). Kredit Konsumtif

Kredit yang digunakan untuk konsumsi secara pribadi. Dalam kredit

ini tidak ada pertambahan barang atau jasa yang dihasilkan, karena

memang untuk digunakan atau dipakai oleh seseorang atau badan

usaha.

c). Kredit Perdagangan

Merupakan kredit yang diberikan kepada pedagang dan digunakan

untuk membiayai aktivitas perdagangannya seperti membeli barang

dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan

barang dagangan tersebut.

(3). Aspek Jangka Waktu

a). Kredit Jangka Pendek

Merupakan kredit yang memberikan jangka waktu kurang dari satu

tahun atau paling lama satu tahun dan biasanya digunakan untuk

keperluan modal kerja. Contohnya untuk peternakan bebek, atau jika

untuk pertanian misalnya kredit tanaman palawija atau kredit

tanaman padi.
70

b). Kredit Jangka Menengah

Jangka waktu kreditnya berkisar antara satu tahun sampai tiga tahun

dan biasanya kredit ini digunakan untuk melakukan investasi.

Sebagai contoh kredit untuk pertanian seperti strawbery antar

peternakan sapi.

c). Kredit Jangka Panjang

Merupakan kredit yang masa pengembaliannya paling panjang.

Kredit jangka panjang waktu pengembaliannya diatas tiga tahun atau

lima tahun. Biasanya kredit ini untuk investasi jangka panjang

seperti perkebunan karet, kelapa sawit atau manufaktur dan untuk

kredit konsumtif seperti kredit perumahan.

(4). Aspek Sektor Usaha

a). Kredit Pertanian

Merupakan kredit yang dibiayai untuk sektor perkebunan atau

pertanian. Kredit sektor usaha pertanian dapat berupa kredit jangka

pendek atau kredit jangka panjang.

b). Kredit Peternakan

Merupakan kredit yang diberikan untuk sektor peternakan baik

jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk jangka pendek

misalnya peternakan sapi atau ternak kambing.

c). Kredit Industri

Merupakan kredit yang diberikan untuk membiayai industri, baik

industri kecil, industri menengah atau industri besar.


71

d). Kredit Pertambangan

Merupakan kredit yang diberikan kepada usaha tambang. Jenis usaha

tambang yang dibiayainya biasanya dalam jangka panjang, seperti

tambang emas, minyak atau timah.

e). Kredit Pendidikan

Merupakan kredit yang diberikan untuk membangun sarana dan

prasarana pendidikan atau dapat pula berupa kredit untuk para

mahasiswa.

f). Kredit Profesi

Merupakan kredit yang diberikan kepada para kalangan profesional

seperti, dosen, dokter atau pengacara.

g). Kredit Perumahan

Merupakan kredit yang diberikan untuk membiayai pembangunan

atau pembelian perumahan dan biasanya berjangka waktu panjang.

4). Jenis Kredit Berdasarkan Pemakaian atau Tujuan

Yang dimaksud dengan pemakai kredit ialah pihak yang menerima

kredit. Mengingat bahwa permintaan akan kredit timbul dari adanya

kebutuhan dari pihak peminta kredit untuk membiayai pegeluaran-

pengeluaran yang direncanakan, maka penggolongan kredit berdasarkan

tujuan erat sekali dengan penggolongan kredit berdasarkan pemakai.

Berdasarkan perbedaan pemakainya, maka kredit perbankan dapat dibedakan

antara kredit konsumen, kredit produsen, kredit antar bank, dan terutama di

negara-negara maju juga kredit kepada pemerintah. Kredit produksi dalam


72

artian yang luas mencakup juga kredit perdagangan, kredit ekspor, kredit

impor, kredit persediaan, equepment leasing, kredit pertanian, kredit real

estate dan sebagainya lagi.

5). Fungsi dan Tujuan Kredit

Menurut Djumhana (2000), kredit pada awal perkembangannya

mengarahkan fungsinya untuk merangsang bagi kedua belah pihak untuk

saling menolong untuk tujuan pencapaian kebutuhan baik dalam bidang usaha

maupun kebutuhan sehari-hari. Pihak yang mendapat kredit harus dapat

menunjukkan prestasi yang lebih tinggi berupa kemajuan-kemajuan pada

usahanya, atau mendapatkan pemenuhan atas kebutuhannya. Adapun bagi

pihak yang memberi kredit, secara material dia harus mendapatkan

rentabilitas berdasarkan perhitungan yang wajar dari modal yang dijadikan

objek kredit, dan secara spiritual mendapatkan kepuasan dengan dapat

membantu pihak lain untuk mencapai kemajuan.

Suatu kredit mencapai fungsinya apabila secara sosial ekonomis baik

bagi debitur, kreditur, maupun masyarakat membawa pengaruh kepada

tahapan yang lebih baik, maksudnya baik bagi pihak debitur maupun kreditur

mendapatkan kemajuan. Kemajuan tersebut dapat menggambarkan apabila

mereka memperoleh keuntungan juga mengalami peningkatan kesejahteraan

dan masyarakatpun atau negara mengalami suatu penambahan dari

penerimaan pajak, juga kemajuan ekonomi yang bersifat mikro maupun

makro. Firdaus dan Ariyanti (2009), menyatakan bahwa fungsi kredit secara

umum pada dasarnnya ialah memenuhi jasa untuk melayani kebutuhan


73

masyarakat dalam menaikkan taraf hidupnya”. Kredit merupakan salah

bentuk jasa yang diberikan oleh bank kepada masyarakat dalam menaikkan

taraf dari kebutuhan hidup masyarakat.

Rivai dan Veitzhal (2006), mengatakan bahwa pada dasarnya terdapat

dua fungsi kredit yaitu profitability dan sefty. profitability yaitu tujuan untuk

memperoleh keuntungan berupa bunga maupun bagi hasil. Sedangkan sefty

merupakan keaman yang terjamin dari fasilatas yang diberikan untuk menjaga

profitability agar tercapai tanpa ada hambatan. Tjoekam (1999), mengatakan

bahwa” perkreditan melibatkan beberapa pihak antara lain kreditur (bank),

debitur (nasabah), dan otorita moneter (Pemerintah) dan masyarakat pada

umumnya”. Sehingga tujuan bagi setiap pihak berbeda. Bagi kreditur

pemberian kredit bertujuan untuk mendapatkan keutungan dari bunga

maupun bagi hasil yang diperoleh sedangkan bagi debitur tujuan penerimaan

kredit untuk membuat dan meningkatkan usaha yang akan dilakukan maupun

yang sedang dilakukan dan bagi pemerintah kredit bank digunakan sebagai

alat untuk mendorong pertumbuhan perekonomian yang baik. serta juga

manfaat kredit bagi masyarakat luas merupakan pendorong pertumbuhan dan

perluasan ekonomi.

6). Aspek Penilaian Kredit

Menurut Kasmir (2002), aspek-aspek dalam penilaian kredit meliputi

tujuh aspek yaitu,

(1). Aspek yuridis yaitu mengenai masalah legalitas badan usaha serta izin-

izin yang dimiliki perusahaan yang mengajukan kredit.


74

(2). Aspek pasar dan pemasaran mengenai besar kecilnya permintaan

terhadap produk yang dihasilkan.

(3). Aspek keungan mengenai sumber-sumber dana yang dimiliki untuk

membiayai usaha dan bagaimana penggunaannya.

(4). Aspek teknis atau oprasional membahas masalah produksi, lokasi dan lay

out.

(5). Aspek manajemen untuk menilai struktur organisasi perusahaan,

sumberdaya manusia yang dimiliki serta latar belakang pendidikan dan

pengalaman sumberdaya manusinya.

(6). Aspek sosial ekonomi untuk menganalisis dampak yang timbul akibat

adanya proyek terhadap perekonomian masyarakat dan sosial masyarakat

secara umum.

(7). Aspek amdal merupakan analisis terhadap lingkungan baik darat, air, dan

udara, termasuk kesehatan manusia.

7). Risiko Kredit

Kredit yang disalurkan akan menimbulkan risiko yang disebut dengan

NPL, risiko tersebut akan mempengaruhi tinggi rendahnya kredit yang akan

disalurkan pada periode berikutnya. Perhitungan NPL menurut Bank

Indonesia dibedakan menjadi NPL gross dan net. Berdasarkan jenis

penggunaan kredit, NPL dapat dibedakan menjadi NPL kredit investasi, NPL

kredit modal kerja dan NPL kredit konsumsi. Berdasarkan surat edaran Bank

Indonesia Nomor 3/30/DNDP tanggal 14 Desember 2001, ketentuan

perhitungan NPL adalah sebagai berikut,


75

Total NPL
Rasio NPL = × 100%...............................(2.4)
Total Kredit

Rasio ini disajikan dalam bentuk persentase, dengan penjelasan sebagai

berikut.

(1). Kredit merupakan kredit yang diberikan kepada pihak ketiga, tidak

termasuk kredit pada bank lain.

(2). Kredit yang bermasalah adalah kredit yang termasuk dalam kualitas

kurang lancar, diragukan dan macet

(3). Kredit bermasalah dihitungn secara gross, tidak dikurangi Penyisihan

Penghapusan Aktifa Produktif (PPAP), yaitu penyisihan yang dibentuk

untuk mengantisipasi risiko dari aktiva produktif yang diberikan

Misalnya suatu bank mengalami kredit bermasalah sebesar 50 dengan total

kredit sebesar 1000, sehingga rasio NPL bank tersebut adalah 5 persen (50 /

1000 = 0.05).

Menurut Riyadi (2003), perhitungan NPL dapat dihitung dengan rumus

berikut,

(1). NPL Gross, yaitu perbandingan antara jumlah kredit yang diberikan

dengan kolektabilitas kurang lancar, diragukan dan macet terhadap total

kredit yang diberikan oleh bank.

Kurang Lancar + Diragukan + Macet


NPL Gross = × 100%..............(2.5)
Total Kredit yang Diberikan

(2). NPL Net, yaitu perbandingan antara jumlah kredit yang diberikan dengan

kolektabilitas kurang lancar, diragukan dan macet dikurangi PPAP

terhadap total kredit yang diberikan oleh bank.


76

Kurang Lancar + Diragukan + Macet - PPAP


NPL Net = × 100%......(2.6)
Total Kredit yang Diberikan

Beberapa hal yang mempengaruhi atau dapat menyebabkan naik

turunnya NPL suatu bank (Ening, 2011), diantaranya adalah sebagai berikut:

(1). Kemauan atau Itikad Baik Debitur

Kemampuan debitur dari sisi financial untuk melunasi pokok dan bunga

pinjaman tidak akan ada artinya tanpa kemauan dan itikad baik dari

debitur itu sendiri.

(2). Kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia

Kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi tinggi rendahnya NPL suatu

perbankan, misalnya kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga Bahan

Bakar Minyak (BBM) menyebabkan perusahaan yang banyak

menggunakan BBM dalam kegiatan produksinya akan membutuhkan

dana tambahan yang diambil dari laba yang dianggarkan untuk

pembayaran cicilan utang untuk memenuhi biaya produksi yang tinggi,

sehingga perusahaan tersebut akan mengalami kesulitan dalam

membayar utang-utangnya kepada bank. Demikian juga halnya dengan

PBI mempunyai pengaruh langsung maupun tidak lansung terhadap NPL

suatu bank. Misalnya Bank Indonesia menaikan Rate yang akan

menyebabkan SBK ikut naik, dengan sendirinya kemampuan debitur

dalam melunasi pokok dan bunga pinjaman akan berkurang.

(3). Kondisi Perekonomian

Kondisi perekonomian mempunyai pengaruh yang besar terhadap

kemampuan debitur dalam melunasi utang-utangnya. Indikator-indikator


77

ekonomi makro yang mempunyai pengaruh terhadap NPL diantaranya

adalah inflasi.

2.8.2 Konsep Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK)

DPK (simpanan) yang dijelaskan dalam UU perbankan No. 10 tahun 1998

tentang perbankan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank

berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat

deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Untuk

BPR hanya diperkenankan menerima dana berupa tabungan dan deposito.

Menurut Kasmir (2014), DPK adalah dana yang berasal dari masyarakat luas yang

merupakan sumber dana terpenting bagi kegiatan operasional suatu bank dan

merupakan ukuran keberhasilan bank jika mampu membiayai operasionalnya dari

sumber dana ini. Menurut UU Perbankan No. 10 tahun 1998 sumber dana yang

dimaksud adalah sebagai berikut,

1). Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan

menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau

dengan cara pemindahbukuan.

2). Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dilakukan pada waktu

tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.

3). Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan

menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik

dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
78

Kepercayaan nasabah terhadap lembaga perbankan merupakan unsur yang

paling terpenting dalam usaha penghimpuanan DPK. Citra suatu bank di

masyarakat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi minat masyarakat

untuk menjadi nasabah dan menyimpan dananya pada bank tersebut. Selain faktor

itu pelayanan manajemen bank menjadi salah satu pertimbangan masyarakat

untuk menjadi nasabah simpanan. Pelayanan yang profesional dan

mengedepankan pendekatan personal kepada nasabah akan memberikan

kenyamanan sehingga minat untuk melakukan transaksi pada lembaga perbankan

akan semakin meningkat. Faktor suku bunga simpanan juga merupakan faktor

yang mempengaruhi tinggi rendahnya dana yang mampu dihimpun oleh lembaga

perbankan. Suku bunga simpanan yang baik dan mampu bersaing dengan lembaga

keuangan lainnya akan meningkatkan jumlah DPK pada suatu bank.

2.9 Strategi Pemberian Kredit

Strategi pemberian kredit adalah usaha manajemen bank dalam menumbuh

kembangkan potensinya untuk mengeksploitasi peluang bisnis melalui pemberian

kredit kepada masyarakat guna mencapai tujuan baik tujuan material (pendapatan

yang diperoleh dari bunga kredit) maupun inmaterial (pembangunan ekonomi

dalam bentuk pembiayaan keuangan melalui peran intermediasi yang dilakukan)

(Pearce dan Robinson, 2011). Efektivitas strategi pemberian kredit erat kaitannya

dengan tujuan kredit yaitu profitability dan safety. Profitability menyangkut

keuntungan dari bunga kredit, sedangkan safety menyangkut kelancaran dari

pengembalian kredit (Suwarsono, 2008). Di samping itu apabila kita perhatikan


79

unsur-unsur yang menyebabkan kegagalan kredit pada dasarnya merupakan

kegagalan dari strategi yang digunakan. Kegagalan kredit juga merupakan

kegagalan penerapan strategi pemberian kredit, ini akan tercermin dalam tingkat

kolektibilitas yang dicapai. Dengan demikian strategi pemberian kredit suatu

perbankan harus dapat beradaptasi dengan cepat untuk melakukan penyesuaian

dengan kondisi perekonomian.

Strategi pemberian kredit merupakan salah satu langkah operasional bank

dalam memasarkan produknya. Menurut Suhardjono (2003), agar strategi

pemasaran kredit dapat mencapai tujuan yang diharapkan, hal-hal yang harus

diperhatikan adalah sebagai berikut,

1). Riset Pasar

Riset pemasaran didefinisikan sebagai suatu kegiatan perancangan,

pengumpulan, analisis, dan pelaporan data serta temuan-temuannya secara

sistematik yang relevan dengan situasi atau masalah pemasaran kredit yang

dihadapi bank.

2). Menetapkan Tujuan

Apabila dari riset pemasaran telah diperoleh kesimpulan bahwa pasar yang

dihadapi oleh bank masih memberikan prospek yang menggembirakan, maka

langkah selanjutnya adalah menetapkan tujuan dari pemasaran bank. Hal ini

diperlukan agar dapat ditentukan apa yang segera dapat dilakukan,

pengembangan rencana-rencana yang efektif, menentukan sasaran untuk

prestasi dan menilai hasilnya.


80

3). Mengembangkan Strategi

Setelah sasaran ditetapkan, langkah selanjutnya adalah merumuskan strategi,

dengan mengarahkan strategi bisnisnya kepada usaha memanfaatkan setiap

peluang bisnis dan mengantisipasi setiap ancaman seoptimal mungkin.

4). Penyusunan Rencana Pasar

Dalam penyusunan rencana pemasaran kredit dibuat rencana antara lain pasar

yang akan dilayani sesuai dengan sumber daya yang dimiliki bank. Rencana

pemasaran kredit yang telah dibuat menjadi pedoman dalam pemberian

kredit, sehingga pemberian kredit menjadi lebih terarah dan proses pelayanan

kredit dapat dilaksanakan secara optimal.

Secara lebih spesifik strategi pemberian kredit menjadi poin yang

dikembangkan dalam penelitian ini karena merupakan dasar tindakan teknis yang

mengarah pada kegiatan atau usaha dalam hal perkreditan, yang dilakukan oleh

perbankan dalam kondisi persaingan yang semakin ketat. Tindakan teknis tersebut

meliputi tahapan-tahapan yang dilalui oleh pihak BPR sebelum dan sesudah kredit

tersebut disalurkan kepada masyarakat. Dalam menetapkan strategi pemberian

kredit perbankan haruslah terlebih dahulu memperhatikan kondisi internal dan

eksternal bank sebagai dasar pijakan dan refrensi agar strategi yang diterapkan

dapat berjalan dengan efektif. Strategi pemberian kredit dapat dikatakan efektif

dan efisien apabila kredit tersebut dapat kembali sesuai waktu yang telah

ditetapkan dengan sejumlah bunga yang telah ditentukan. Prioritas pemberian

kredit pun menentukan keefektifan dan keefisienan pemberian kredit, jika kredit

yang diberikan betul-betul tepat sasaran tepat guna dan tepat waktu, maka
81

efektivitas dan efisiensi strategi pemberian kredit akan tercapai, dengan kata lain

NPL yang dicapai akan rendah yaitu dibawah standar maksimal, yaitu 5 persen

(Kasmir,2003).

Menurut Fedorenko et al., (2007) menunjukkan bahwa penilaian internal

perbankan melalui tingkat kesehatannya sangat mempengaruhi strategi teknis

pemberian kredit. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Dewi (2009) dan Anggraini

(2013), bahwa strategi pemberian kredit secara teknis meliputi tingkat suku

bunga, prosedur, cara pemasaran kredit dan pengawasan kredit yang dipengaruhi

oleh kondisi internal bank seperti proses pencairan kredit, proses penagihan

kredit, penguasaan teknologi. Penelitian yang dilakukan oleh Murray dan

Richardson (2004) mengungkapkan bahwa perusahaan yang menggunakan proses

perencanaan strategi dalam membangun pemahaman yang sama untuk sebuah

organisasi adalah kunci keberhasilan dari pelaksanaan strategi yang direncanakan.

Pada penelitan ini strategi pemberian kredit dibentuk oleh indikator antara lain

adalah tingkat SBK, prosedur kredit, pemasaran kredit dan pengawasan kredit.

Semua indikator tersebut dapat merefleksikan strategi dalam hal pemberian kredit

secara teknis sebelum dan sesudah kredit tersebut disalurkan, untuk lebih jelasnya

akan diuraikan satu persatu pada sub bab berikutnya.

2.9.1 Konsep Suku Bunga Kredit (SBK)

Suku bunga merupakan harga dari penggunaan uang atau bisa juga

dipandang sebagai sewa atas penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu dan

merupakan cermin dari mekanisme kekuatan dari permintaan uang di masyarakat


82

atau pasar uang. Bunga kredit merupakan sejumlah ganti rugi atau balas jasa atas

penggunaan uang oleh nasabah. Bagi peminjam, bunga kredit dipandang sebagai

suatu biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh peminjam. Sedangkan bagi bank,

bunga kredit dipandang sebagai suatu pendapatan bank yang menguntungkan

(Gilarso, 2003).

1). Kredit bunga kerja, yaitu kredit jangka pendek yang diberikan bank untuk

keperluan modal kerja debitur yang bersangkutan.

2). Kredit investasi, yaitu jangka menengah atau jangka panjang untuk pembelian

barang-barang modal dan jasa yang diperlukan oleh peminjam untuk

diinvestasikan berupa rehabilitasi, modernisasi, ekspansi, relokasi usaha atau

pendirian usaha baru. Jika kredit ini dipergunakan untuk keperluan

penambahan modal, sehingga kredit ini bersifat produktif, dimana usaha yang

diberikan kredit memiliki perencanaan yang terarah.

Pinjaman kredit bagi kegiatan produksi dapat menjadi modal kerja yang

dapat mendorong kelancaran produksi suatu komoditi, tidak terkecuali pada

komoditas produksi yang berorientasikan pada ekspor. Adanya kredit tidak

terlepas dari adanya tingkat bunga kredit yang merupakan aspek biaya yang perlu

dipertimbangkan dalam kegiatan berusaha. Terjadinya peningkatan bunga kredit

menyebabkan modal kerja menjadi lebih sedikit karena adanya tambahan biaya

pengembalian utang. Hal ini menyebabkan sedikitnya minat pelaku usaha untuk

meminjam atau menambah modal usahanya akan berkurang yang selanjutnya

berdampak pada pendapatan bank yang akan menurun sehingga tingkat suku

bunga sangat mempengaruhi pelaku usaha juga penyalur kredit.


83

Tingkat SBK merupakan salah satu nilai jual bagi lembaga perbankan,

selain dari produk-produk lainnya yang ditawarkan. SBK digunakan sebagai

indikator dalam strategi kredit karena bagi masyarakat berguna untuk bahan

pertimbangan sebelum melakukan pengajuan permohonan kredit. Apabila tingkat

SBK tinggi dan tidak mampu dijangkau oleh masyarakat maka strategi pemberian

kredit akan tidak efektif dan berimbas pada permintaan kredit bank yang menurun

dan sebaliknya, ketika SBK rendah maka strategi pemberian kredit akan efektif

untuk dilaksanakan sehingga permintaan terhadap kredit akan meningkat. SBK

tiap bank berbeda-beda namun tetap dalam batas suku bunga acuan yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia. Walaupun perbedaannya tidak signifikan namun

SBK selalu menjadi pertimbangan nasabah dalam melakukan transaksi kredit

(Budiawan, 2008). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Irma Anindita (2011),

faktor internal bank salah satunya adalah SBK berpengaruh signifikan terhadap

penyaluran kredit UMKM pada Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) periode

2003-2010 melalui strategi pemberian kredit.

2.9.2 Konsep Prosedur Kredit

Secara umum prosedur pemberian dan penilaian kredit perbankan antara

bank satu dengan yang lain tidak jauh berbeda. Perbedaan yang terjadi dan

menjadi nilai jual masing-masing BPR dalam hal ini yaitu pada pendekatan

prosedur dan persyaratan yang ditetapkan. Menurut Kasmir (2002), prosedur

pemberian kredit merupakan tahap-tahap yang harus dilalui sebelum sesuatu

kredit diputuskan untuk dikucurkan. Tujuannya adalah untuk mempermudah bank


84

dalam menilai kelayakan suatu usaha. Prosedur pemberian kredit secara umum

dibedakan antara pinjaman perseorangan dengan pinjaman oleh suatu badan

hukum, kemudian dapat juga ditinjau dari segi tujuannya apakah untuk konsumtif

atau produktif. Menurut Salim (2004), secara umum prosedur pemberian kredit

oleh bank sebagai berikut,

1). Pengajuan Berkas

Pada pengajuan berkas, pemohon mengajukan permohonan kredit dalam

suatu proposal, kemudian dilampiri dengan berkas-berkas lainnya yang

dibutuhkan. Pengajuan proposal kredit hendaknya berisi antara lain:

(1). Latar belakang perusahaan atau riwayat hidup singkat seseorang, jenis

bidang usaha, nama pengurus berikut pengetahuan dan pendidikannya,

perkembangan perusahaan.

(2). Maksud dan tujuan, apakah untuk memperbesar omset penjualan atau

meningkatkan kapasitas produksi, serta tujuan lainnya.

(3). Besarnya kredit dan jangka waktu, dalam hal ini pemohon menentukan

besarnya jumlah kredit yang ingin diperoleh dan jangka waktu kreditnya.

(4). Cara mengembalikan kredit, dijelaskan sacara rinci tentang cara-cara

nasabah mengembalikan kreditnya.

(5). Jaminan kredit, hal ini merupakan jaminan untuk menutupi segala risiko

kemungkinan macetnya suatu kredit baik disengaja atau tidak.

2). Penyelidikan Berkas Pinjaman

Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah berkas yang diajukan sudah

sesuai persyaratan dan sudah benar. Jika menurut pihak perbankan belum
85

lengkap atau cukup, maka nasabah diminta untuk segera melengkapinya

dalam batas waktu tertentu. Apabila dalam batas waktu tersebut nasabah tidak

sanggup melengkapi persyaratan, maka permohonan kredit dibatalkan.

3). Wawancara I

Merupakan penyelidikan kepada calon peminjam dengan berhadapan

langsung, untuk menyakinkan apakah berkas-berkas yang diajukan sesuai dan

lengkap. Wawancara ini juga untuk melakukan pendekatan personal.

4). On the spot

Merupakan kegiatan pemeriksaan lapangan dengan meninjau beberapa objek

yang dijadikan usaha atau jaminan, kemudian hasil on the spot disesuaikan

dengan hasil wawancara I.

5). Wawancara II

Merupakan kegiatan perbaikan berkas, jika ada kekurangan setelah dilakukan

on the spot. Catatan kesesuaian pada saat wawancara I dan saat on the spot

dikonfirmasi kembali apakah sudah sesuai dan mengandung kebenaran.

6). Keputusan Kredit

Keputusan kredit menentukan apakah kredit diberikan atau ditolak, jika

diterima maka dipersiapkan administrasinya, keputusan kredit mencakup

jumlah uang yang diterima, jangka waktu kredit, biaya-biaya yang harus

dibayar.

7). Penandatanganan Akad Kredit

Merupakan kelanjutan diputuskannya kredit, maka sebelum kredit dicairkan

terlebih dahulu calon nasabah menandatangani akad kredit, mengikat jaminan


86

atau pernyataan yang dianggap perlu. Penandatangan dilaksanakan antara

bank dengan debitur secara langsung, atau melalui notaris.

8). Realisasi Kredit

Realisasi kredit diberikan setelah penandatanganan surat-surat yang

diperlukan dengan membuka rekening giro atau tabungan pada bank.

9). Penyaluran atau Penarikan Dana

Penyaluran atau penarikan dana adalah pencairan atau pengambilan uang dari

rekening sebagai realisasi dari pemberian kredit dan dapat diambil sesuai

ketentuan dan tujuan kredit secara sekaligus atau bertahap.

Dalam pelaksanaanya pendekatan prosedur dalam pengajuan kredit pada

BPR pada umumnya lebih mudah, fleksibel tidak berbelit-belit dan lebih

mengedepankan hubungan personal kepada nasabah, sehingga kepercayaan

menjadi dasar utama dalam menyalurkan kredit. Atas dasar pertimbangan itu

maka pendekatan yang digunakan BPR dalam hal prosedur kredit menjadi

indikator variabel strategi pemberian kredit pada penelitian ini. Karena

mengedepankan nilai humanis dan personal dapat membangun loyalitas dan akan

menjadi nilai tambah tersendiri bagi BPR dalam hal memasarkan produk-

produknya, mengingat latar belakang nasabah BPR merupakan kalangan ekonomi

menengah kebawah. Sehingga BPR akan mampu bersaing dengan lembaga

keuangan lainnya dalam merebut pasar. Hal tersebut didukung oleh penelitian

yang dilakukan oleh Puspita (2014) yang menyatakan bahwa prosedur kredit BPR

yang merupakan bagian dari strategi pemberian kredit berpengaruh positif

terhadap kinerja bank yang salah satu ukurannya adalah LDR.


87

2.9.3 Konsep Pemasaran Kredit

Menurut Kotler (2005), pemasaran adalah proses sosial yang terjadi

dimana induvidu atau kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan apa

yang mereka inginkan dengan menciptakan, menawarakan, dan secara bebas

mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain. Menurut

Armstrong (2008), pemasaran secara sederhana adalah kegiatan mengatur relasi

untuk menciptakan keuntungan bagi produsen. Tujuan dari pemasaran adalah

menciptakan nilai untuk konsumen dan untuk menangkap nilai dari konsumen

atau mendapat timbal balik dari konsumen. Sedangkan menurut Stanton (2000),

pemasaran adalah sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan untuk

merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang

dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan kepada pembeli yang ada maupun

pembeli potensial

Menurut Rangkuti (2007), pemasaran adalah suatu proses kegiatan yang

dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, budaya, politik, ekonomi dan manajerial.

Akibat dari pengaruh beberapa faktor tersebut masing-masing individu maupun

kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan dengan menciptakan,

menawarkan, dan menukarkan produk yang memiliki nilai komoditi. Dalam dunia

perbankan produk yang dipasarkan tidak berupa benda melainkan berupa jasa

salah satunya jasa pinjaman yang diberikan kepada nasabah berupa kredit.

Menurut Kotler (2005), jasa adalah setiap tindakan kegiatan yang dapat

ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain dalam hal ini pihak kreditur
88

menawarkan jasa pinjaman berupa kredit kepada debitur yang mana pinjaman

tersebut tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun.

Menurut Lupiyodi dan Hamdani (2006), pemasaran produk pinjaman

kredit merupakan kegiatan operasional perbankan dalam rangka menyalurkan

dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana kepada masyarakat yang

memerlukan dana baik untuk modal usaha, investasi ataupun konsumsi. Semakin

gencar pemasaran kredit oleh pihak perbankan akan berpengaruh terhadap

profitabilitas dari bank tersebut. Pemasaran kredit merupakan salah satu bagian

dari strategi pemberian kredit, target jumlah kredit yang harus dipasarkan bank

yang dilakukan oleh petugas kredit merupakan ukuran tercapainya strategi dalam

hal pemberian kredit kepada nasabh.

Semakin efektif pemasaran kredit yang dilakukan oleh manajemen bank

akan berpengaruh terhadap peran intermediasi perbankan dalam hal penyaluran

dana kepada masyarakat. Menurut Assauri (2010), pemasaran kredit adalah bagian

dari strategi pembereian kredit yang merupakan serangkaian tujuan dan sasaran

dalam menentukan kebijakan dan aturan. Kebijakan itu mengarahkan tenaga

pemasaran untuk berusaha pada masing-masing tingkat, acuan serta alokasinya

sebagai tanggapan perusahaan dalam menghadapi lingkungan. Strategi pemasaran

kredit merupakan cara yang dilakukan untuk memasuki persaingan dalam dunia

perbankan. Menurut Tjiptono (2005), terdapat tiga elemen pokok dalam hal

pemasaran kredit,
89

1). Konsumen atau Nasabah

Pemasaran berawal dari kebutuhan dan keinginan nasabah terhadap produk-

produk perbankan yang dibutuhkan. Semakin baik pelayanan terhadap

nasabah akan memberikan kepuasan sehingga dari kepuasan tersebut nasabah

akan loyal untuk bekerjasama dengan lembaga perbankan. Dalam hal

pemasaran kredit manajemen bank wajib memahami siapa saja konsumennya,

prefrensi, karateristik, kebutuhan, keinginan, dan gaya hidup serta faktor-

faktor yang berpengaruh dalam pola konsumsinya.

2). Persaingan Antar Lembaga Keuangan

Saat ini persaingan antar lembaga pembiayaan keuangan semakin ketat,

apabila pihak manajemen bank tidak mampu memberiakn pelayanan uang

baik kepada nasabahnya akan mengakibatkan beralihnya nasabah untuk

bekerjasama dengan lembaga keuangan lain. Oleh sebab itu, manajemen bank

harus memperhatikan faktor pesaingan. Faktor tersebut meliputi lembaga apa

saja yang menjadi pessaing, strategi, kelemahan, dan kompetensi diri serta

relasi pesaing.

3). Sumber Daya Manusia (SDM)

Tujuan perusahaan perbankan dapat dicapai melalui upaya memuaskan

nasabahnya. Caranya tidak semata-mata dengan menekan pada aspek

transaksi, namun justru lebih fokus pada aspek relasi. Untuk itu dibutuhkan

strategi, kinerja, kompetensi diri, dan sumber daya, agar nasabah menjadi

loyal memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan dan eksistensi

perusahaan dalam hal ini perbankan.


90

2.9.4 Konsep Pengawasan Kredit

Pengawasan merupakan salah satu fungsi yang penting dalam kegiatan

usaha perbankan, mengingat bahwa kredit merupakan aset yang berisiko risk asset

bagi bank karena asset tersebut dikuasai oleh pihak luar yaitu nasabah (debitur).

Menurut T. Handoko, (2000) pengawasan adalah suatu usaha sistematik untuk

menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan dengan

merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan

standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur

penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil kegiatan koreksi yang

diperlihatkan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan digunakan

dengan efektif dan efesien dalam mencapai tujuan-tujuan perbankan. Dengan

demikian pengawasan kredit merupakan langkah pengawasan terhadap fasilitas

kredit yang diberikan secara keseluruhan maupun secara individual kepada debitur

apakah dalam pelaksanaan pemberian kredit sesuai dengan rencana yang disusun

atau tidak.

Secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dari pengawasan kredit

adalah sejalan dengan batasan pengertian pengawasan tersebut diatas atau secara

jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut,

1). Untuk menentukan standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan.

2). Membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan

sebelumnya.

3). Mengadakan pengkoreksian bila terjadi penyimpangan-penyimpangan dengan

efektif dan efesien.


91

Jika dilihat satu persatu, masing-masing tujuan itu sebetulnya mempunyai kaitan

yang sangat erat misalnya administrasi kredit yang dilaksanakan secara teliti dan

benar akan membantu dan mempermudah dalam menemukan penyelewengan-

penyelewengan yang terjadi. Pengawasan juga bertujuan untuk memberikan

bimbingan approach kepada debitur dalam rangka membina nasabah. Nasabah

perlu dibina agar usahanya maju dan berkembang sehingga akan memenuhi

kewajibannya. Hal ini berarti memperlancar jalan pencapaian reabilitas bank dan

amannya fasilitas bank.

Adapun bentuk-bentuk Pengawasan yang dapat dilakukan dapat bersifat

aktif maupun pasif.

1). Pengawasan Aktif

Adalah pengawasan secara langsung dari pegawai baik pengurus kredit

maupun pejabat yang terjun secara langsung kepada nasabah untuk melihat

perkembangan usaha nasabah dengan memberikan bantuan manajemen,

memberikan dorongan serta memantau alur yang diberikan. Teknik

pelaksanaan pengawasan aktif dilakukan dengan membuat strategi yang tepat

dan turun langsung ke lapangan.

2). Pengawasan Pasif

Adalah pengawasan yang dilakukan melalui lapran-laporan tertulis yang

dilakukan seperti laporan keadaan keuangan (dari neraca dan laporan laba

rugi), laporan penyaluran keuangan (dari mutasi pinjaman), dan sebagainya.

Pengawasan ini merupakan pengawasan yang dilakukan secara tidak


92

langsung sehingga pegawai tidak perlu terjun langsung kelapangan, hanya

berupa aktifitas-aktifitas diantaranya,

(1). Dengan meningkatkan analisa kredit selain itu juga pengawasan pasif

juga dapat dilakukan dikantor operasional yaitu melalui pemeliharaan

rekening dan pemeliharaan administrasi kredit, sehingga dengan

demikian dapat dilihat perkembangan kredit yang dinikmati oleh

konsumen secara administrasi pengawasan dilakukan dengan cara surat-

menyurat, sedangkan pemeliharaan rekening dilakukan dengan melihat

perkembangan kredit nasabah, yang meliputi pokok pinjaman maupun

bunga.

(2). Secara administrasi pengawasan dilakukan dengan selalu mengontrol

dokumen nasabah kredit yang didalamnya tercantum informasi seperti

kewajiban yang setiap bulannya harus dibayarkan anggsuran pokok,

bunga, tanggal jatuh tempo, dan lain-lain. Dengan demikian manajemen

dapat mengetahui informasi tentang debitur sudah memenuhi

kewajibannya atau tidak apabila terjadi permasalahan pihak manajemen

bank akan langsung turun mengunjungi debitur untuk menyelesaikan

permasalahan tersebut.

Aspek-aspek dalam pengawasan kredit merupakan suatu hal yang sangat

penting dalam pemberian kredit untuk mengurangi risiko. Adapun aspek-aspek

tersebut meliputi,

1). Adanya administrasi kredit yang memadai dan mengadakan cara-cara

mutakhir, seperti penggunaan computer on line system.


93

2). Keharusan bagi nasabah kredit untuk menyampaikan laporan secara berkala

atas jenis-jenis laporan yang telah disepakati dan dituangkan dalam perjanjian

kredit seperti, laporan produksi dan laporan penjualan, laporan utang dan

piutang perusahaan, laporan keuangan (neraca, perhitungan laba rugi, dan

lain-lain), laporan tenaga kerja, laporan asuransi aktiva tetap, laporan

perubahan izin yang diterima dari instansi terkait.

3). Keharusan bagi petugas kredit (account officer) untuk melakukan kunjungan

(visit) keperusahaan atau proyek yang dibiayai bank, baik selama

berlangsungnya pembangunan proyek maupun stelah proyek tersebut berjalan

sebagai suatu usaha bisnis.

4). Adanya konsultasi yang terstruktur antara pihak bank dengan debitur,

terutama jika debitur memulai mengalami kesulitan dalam bisnisnya atau

telah menunjukan tanda-tanda terjadinya kemacetan. Kesulitan tersebut

mungkin terjadi pada berbagai masalah, seperti masalah produksi, pemasaran,

tenaga kerja, keuangan, perpajakan, dan sebaginya. Konsultasi yang

dilakukan secara dini pada umumnya dapat mengurangi atau menekan

kemungkinan terjadinya kegagalan proyek bagi usaha debitur dan kredit

macet bagi bank.

5). Adanya suatu sistem peringatan (warning system) pada admistrasi bank atau

umumnya dikelola oleh bagian kredit mengenai nasabah yang bersangkutan

apabila mengalami permasalahan. Peringatan dini tersebut dapat

memperlihatkan kepada bagian kredit berbagai informasi tentang nasabah


94

kredit yang berkaitan dengan kepatuhan kepada ketentuan yang telah dibuat

dalam perjanjian kredit misalnya,

(1). Pengasuransian berbagai aktiva tetap yang dimiliki nasabah, terutama

aktiva tetap yang dijadikan agunan (jaminan kredit) yang diserahkan

kepada bank,

(2). Besarnya nilai agunan yang masih ada dibandingkan dengan nilai sisa

pinjaman (outstanding) atau dari debit kredit.

(3). Posisi nasabah berdasarkan kolektibilitas kreditnya pada setiap waktu,

apakah nasabah masih tergolong kredit lancer ataukah sudah menjadi

kredit kurang lancer, kredit diraguakan, ataukah bahkan kredit macet.

Posisi nasabah ini erat kaitannya dengan sistem pelaporan ke Bank

Indonesia dan sangat menentukan dalam penilaian terhadap tingkat

kesehatan bank yang bersangkutan.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa strategi pemberian

kredit adalah usaha pihak perbankan dalam rangka menyalurkan kreditnya melalui

upaya-upaya yang meliputi penetapan SBK yang mampu bersaing dan tidak

memberatkan nasabah, menawarkan prosedur kredit yang mudah dan fleksibel

namun tidak melanggar aturan-aturan, pemasaran kredit yang gencar dan mampu

menjawab kebutuhan nasabah serta pengawasan yang bisa memberikan

bimbingan terhadap nasabah agar kredit yang diterima dapat dikembalikan dengan

lancar tepat waktu dan sesuai perjanjian. Apabila hal tersebut dapat dipenuhi oleh

lembaga perbankan, maka strategi pemberian kredit akan dapat berjalan efektif

dan berpengaruh pada peningkatan jumlah kredit yang disalurkan yang akhirnya
95

akan memberikan dampak positif terhadap kondisi LDR yang merupakan

indikator berjalan dengan baik atau tidaknya usaha yang dilakukan oleh pihak

bank. Bank bersedia memberikan prestasi berupa kredit apabila pihak manajemen

bank tersebut benar-benar yakin bahwa penerima kredit akan mampu

mengembalikannya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah

disetujui bersama. Tanpa keyakinan itu maka lembaga kredit tidak akan

meneruskan simpanan masyarakat yang diterimanya oleh karena itu kepercayaan

merupakan dasar utama bank dalam memberikan kredit.

Strategi pemberian kredit dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu suku

bunga acuan, persepsi bank terhadap kondisi pasar, persepsi bank terhadap

prospek usaha debitur, persepsi bank terhadap persaingan usaha antar lembaga

keuangan dan faktor internal seperti karakteristik bank itu sendiri yang meliputi

ukuran-ukuran dalam kesehatan bank. Permodalan bank yang cukup atau banyak

sangat penting karena modal bank dimaksudkan untuk memperlancar operasional

sebuah bank (Siamat, 2005). Berdasarkan PBI No 15/ 12 /PBI/2013, setiap bank

wajib memenuhi kecukupan modal atau CAR 12 persen. CAR memperlihatkan

seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang mengandung risiko, dibiayai dari

modal sendiri. Kecukupan modal yang tinggi dan memadai akan meningkatkan

sumber pembiayaan kredit sehingga target kredit yang disalurkan juga akan

meningkat. Terpenuhinya target kredit yang harus disalurkan oleh pihak bank

merupakan cerminan bahwa strategi pemberian kredit sudah berjalan efektif dan

maksimal.
96

Menurut Muliaman Hadad (2004), Profitabilitas merupakan tingkat

kemampuan bank dalam meningkatkan laba. Tingkat profitabilitas dapat diukur

dengan menggunakan ROA, yang merupakan rasio untuk mengukur kemampuan

manajemen dalam mengelola aktiva untuk menghasilkan laba. Rasio ini

merupakan salah satu unsur faktor internal bank yang juga dapat digunakan untuk

mengukur tingkat kesehatan bank (Bank Indonesia, 2016). Kesehatan bank

merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, bank dan pengelola bank,

masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank Indonesia dan OJK selaku pembina

dan pengawas bank. Semua dengan tanggung jawab masing-masing pihak tersebut

perlu untuk menyatukan diri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan

perbankan yang sehat. Perbankan yang sehat akan mampu menjalankan perannya

sebagai lembaga intermediasi dengan baik salah satunya melalui penawaran

pinjaman berupa kredit kepada pelaku usaha serta masyarakat umum sehingga

tujuan pembangunan ekonomi pada sektor pembiayaan keuangan dapat tercapai.

2.10 Hubungan Strategi Pemberian Kredit terhadap Loan To Deposit Ratio


(LDR)

Sumber dana yang digunakan untuk pemberian kredit berasal dari modal

bank, pinjaman dari lembaga keuangan lainnya serta DPK yang berhasil dihimpun

dari masyarakat. Jumlah kredit yang diberikan dan jumlah dana yang digunakan

bank untuk memberikan kredit merupakan indikator yang digunakan untuk

menilai kesehatan bank dalam menjalankan usahanya. Penilaian kesehatan bank

ini dapat dilihat dari salah satu rasio likuiditas yaitu rasio untuk mengukur

komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana


97

masyarakat dan modal sendiri yang digunakan rasio ini dikenal dengan sebutan

LDR. Selain itu LDR juga dapat digunakan sebagai ukuran dalam menilai peran

perbankan dalam melakuakan usahanya apakah sudah berjalan baik atau tidak.

LDR yang baik berada pada kisaran antara 78 sampai dengan 92 persen (Bank

Indonesia, 2016). Rendahnya LDR menunjukan bahwa melambatnya

pertumbuhan kredit yang disebabkan oleh faktor strategi pemberian kredit yang

kurang efektif, sehingga berpengaruh terhadap kondisi LDR yang menurun.

Dengan memperhatikan strategi pemberian kredit sebagai faktor yang

dapat mempengaruhi LDR, maka semakin baik dan efektif strategi pemberian

kredit akan berdampak pada semakin baiknya kondisi LDR sebagai indikator

perbankan dalam melakukan usaha, dan begitu juga sebaliknya. Hal ini dapat pula

menunjukan bahwa strategi pemberian kredit yang efektif akan berimbas pada

peningkatan jumlah kredit yang disalurkan sehingga LDR juga akan meningkat

dan diikuti oleh peningkatan laba yang diperoleh bank melalui pendapatan bunga

yang tinggi (Kasmir, 2008). Menurut Hujaemah (2011) dalam penelitiannya yang

berjudul “Pengaruh Pemberian Kredit Terhadap LDR dan Dampaknya Pada

Pendapatan Bunga Bank” menyatakan bahwa pemberian kredit berpengaruh

terhadap LDR. Semakin baik strategi pemberian kredit semakin baik pula rasio

LDRnya. Hasil penelitian tersebut dikembangkan oleh Anggraini yang

menyatakan bahwa strategi pemberian kredit berpengaruh juga terhadap NPL.

Kondisi LDR yang baik dapat mencerminkan peran usaha perbankan berjalan

dengan efektif dan selain itu juga dapat mencerminkan bahwa bank tersebut dalam

keadaan sehat.
98

2.11 Faktor Internal

Faktor internal bank merupakan faktor yang terjadi di dalam suatu bank

dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. Kegiatan utama bank dalam

menjalankan usahanya adalah menghimpun dan menyalurkan kembali dana dari

masyarakat (sebagai lembaga intermediasi). Penilaian terhadap kesehatan bank

mencerminkan kondisi internal perbankan dalam hal ini BPR. Pada Tahun 2004

Bank Indonesia mengeluarkan PBI (BI) No.6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004

mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan bank (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 No. 38, tambahan Lembaran Negara No. 4382). Perubahan

ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa semakin pesatnya perkembangan

yang terjadi di bidang perbankan yang berpengaruh pada meningkatnya

kompleksitas usaha bank dan profil risiko yang dimilki bank. Semakin

meningkatnya kompleksitas usaha bank dan profil risiko yang dimiliki serta

perubahan metodologi penilaian kondisi bank yang diterapkan secara

internasional akan mempengaruhi penilaian tingkat kesehatan bank.

Kesehatan bank merupakan hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek

yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian

faktor permodalan, kualitas asset, manajemen, rentabilitas, likuiditas, dan

sensitivitas terhadap risiko pasar. Penilaian terhadap faktor-faktor tersebut

dilakukan melalui penilaian kuantitaif dan kualitatif setelah mengembangkan

unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari faktor-

faktor penilaian serta pengaruh dari faktor lainnya seperti kondisi industri

perbankan dan perekonomian nasional (Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.
99

6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004). Menurut PBI No. 6/10/PBI/2004 tanggal 12

April 2004 mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan bank (Lembaran Negara

No. 4382), pada dasarnya penilaian tingkat kesehatan bank merupakan penilaian

terhadap hasil usaha bank dalam waktu tertentu dan tingkat kesehatan bank akan

digolongkan dalam lima peringkat komposit masing-masing faktor. Menurut

SEBI No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 tujuan penilaian dari masing-masing

komponen CAMELS adalah sebagai berikut,

1). Capital (Permodalan)

Penilaian tehadap faktor permodalan ini dilakukan mengingat kecukupan

modal sangat diperlukan guna kelangsungan operasional bank sehari-hari

dimana modal digunakan sebagai penyangga apabila sedang mengalami

kerugian.

2). Asset (Aktiva)

Penilaian tehadap faktor ini dilakukan karena kualitas asset merupakan salah

satu aspek terpenting yang mempengaruhi pasar pendapatan bunga.

Pengelolaan asset yang baik meliputi tata cara pemberian kredit yang dapat

dipercaya dan penerapan pengendalian kredit.

3). Management (Manajemen)

Penilaian terhadap faktor manajemen ini dilakukan untuk melihat bagaimana

peran direksi dan komisaris dalam menetapkan kebijakan manajemen risiko,

mengawasi pelaksanaannya, kualitas sistem informasi manajemen, sistem

pengawasan internal, strategi jangka pendek, menengah dan panjang, masalah

kepemimpinan termasuk upaya penyediaan kader pemimpin. Penilaian


100

manajemen cenderung bersifat subjektif dan kualitatif serta perlu dicarikan

kesepakatan untuk mengurangi terjadinya beda pandang antara pemeriksa dan

objek yang diperiksa.

4). Earnings (Rentabilitas)

Penilaian terhadap faktor rentabilitas ini dilakukan untuk mengukur

kemampuan bank dalam menetapkan harga untuk mengcover seluruh biaya.

Laba memungkinkan bank tumbuh degan signifikan, selain besaran laba yang

dihasilkan, kualitas dan sumber laba juga menjadi objek penilaian. Laba yang

dihasilkan secara stabil dan tumbuh secara konsisten memberi nilai tambah.

5). Liquidity (Likuiditas)

Penilaian terhadap faktor likuiditas ini dilakukan mengingat aktiva bank

kebanyakan bersifat secara tidak liquid dengan sumber dana dan jangka

waktu yang lebih pendek. Oleh sebab itu likuiditas digunakan untuk

mengukur kapabilitas bank dalam memenuhi kewajibannya terutama dalam

jangka pendek dan jangka panjang.

6). Sensitivity to Market Risk (Sensitivitas terhadap Risiko Pasar)

Penilaian terhadap faktor sensitivitas terhadap risiko pasar ini dilakukan

untuk melihat bagaimana pergerakan faktor pasar dalam hal ini suku bunga

dan nilai tukar yang akan memperngaruhi perolehan nilai modal ekonomis,

dimana penilaian ini bukan hanya sekedar berdasarkan data yang lalu tapi

juga memperhatikan kondisi yang akan datang.

Masing-masing ukuran kesehatan bank tersebut diukur dengan rasio-rasio

perbankan yang dapat mencerminkan faktor internal suatu bank yang selanjutnya
101

dalam penelitian ini rasio-rasio tersebut digunakan sebagai indikator dari variabel

laten faktor internal BPR di Kabupaten Badung. Adapun rasio-rasio tersebut

antara lain adalah permodalan diukur dengan rasio CAR, aktiva yang diukur

melalui KAP, rentabilitas yang diukur dengan ROA, likuiditas yang diukur

dengan CR. untuk lebih jelasnya masing-masing indikator tersebut akan diuraikan

satu persatu pada sub bab berikutnya.

2.11.1 Konsep Capital Adequacy Ratio (CAR)

CAR atau sering disebut rasio permodalan merupakan modal dasar yang

harus dipenuhi oleh bank. Permodalan (Capital Adequacy) menunjukkan

kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan

kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi, mengawasi dan

mengontrol risiko-risiko yang timbul yang dapat berpengaruh terhadap besarnya

modal bank (Sufa, 2008). Rasio CAR digunakan untuk mengukur kemampuan

permodalan yang ada untuk menutup kemungkinan kerugian didalam kegiatan

perkreditan dan perdagangan surat-surat berharga. CAR menurut Kusuno, (2003)

merupakan rasio permodalan yang menunjukkan kemampuan bank dalam

menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha serta menampung

kemungkinan risiko kerugian yang diakibatkan dalam kegiatan operasional bank.

Semakin besar rasio tersebut akan semakin baik posisi modal.

Pendapat lain diutarakan oleh Siamat (2003), yaitu perhitungan

penyediaan modal minimum (capital adequacy) didasarkan pada ATMR.

Berdasarkan Paket Kebijakan 28 Februari (PAKFEB) (1991), perbankan


102

diwajibkan memenuhi kewajiban penyertaan modal minimum atau dikenal dengan

CAR yang diukur dari persentase tertentu terhadap ATMR. Sejalan dengan

standar yang ditetapkan Bank of International Settlements (BIS), seluruh bank di

Indonesia wajib menyediakan modal minimum sebesar 12 persen dari ATMR

(SEBI No. 6/23/DPNP 2004). Menurut Siamat (2003) fungsi modal bank yaitu,

memberikan perlindungan kepada nasabah, mencegah terjadinya kejatuhan bank,

memenuhi ketentuan modal minimum, meningkatkan kepercayaan masyarakat,

menutupi kerugian aktiva produktif bank, sebagai indikator kekayaan bank.

CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank

yang mengandung risiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank

lain) ikut dibiayai dari modal bank, disamping memperoleh dana dari sumber-

sumber di luar bank, seperti dana masyarakat, pinjaman (utang), dan lain-lain

(Dendawijaya,2009). Dengan kata lain, CAR adalah rasio kinerja bank untuk

mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang

mengandung atau menghasilkan risiko. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut

(Surat Edaran No. 6/23/DPNP 2004),

Modal Bank
CAR = × 100%.........(2.7)
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)

Tabel 2.1
Kesehatan Bank dari Sisi Capital Adequacy Ratio (CAR)

Rasio CAR (Persen %) Predikat


CAR ≥ 12% Sangat Sehat
9% ≤ CAR < 12% Sehat
8% ≤ CAR < 9% Cukup Sehat
6% ≤ CAR < 8% Kurang Sehat
CAR ≤ 6,0% Tidak Sehat
Sumber : Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 6/23/DPNP (2004).
103

2.11.2 Konsep Kualitas Aktiva Produktif (KAP)

Sebagai lembaga pemberi jasa-jasa keuangan dalam lalu lintas

pembayaran, maka bank memberikan berbagai fasilitas kepada nasabah, loanable

funds dari bank terbesar diberikan dalam bentuk fasilitas kredit. Akan tetapi,

sebagian dana itu disisihkan dalam bentuk penanaman lain, yaitu surat-surat

berharga, penempatan dana pada bank lain dan penyertaan modal bank pada

lembaga keuangan yang bukan bank atau perusahaan lain. Aktiva yang produktif

atau productive assets sering juga disebut dengan earning assets atau aktiva yang

menghasilkan, karena penempatan dana bank tersebut diatas adalah untuk

mencapai tingkat penghasilan yang diharapkan. Aktiva produktif adalah

penanaman dana bank dalam bentuk kredit, surat berharga, penyertaan dan

penanaman lainnya yang dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan.

Pengelolaan aktiva produktif adalah bagian dari assets management yang

juga mengatur tentang cash reserve (aset likuiditas) dan fixed assets (aktiva tetap

dan inventaris). Ada empat macam aktiva produktif atau aktiva yang

menghasilkan (earning assets), yaitu, kredit yang diberikan, surat-surat berharga,

penempatan dana pada bank lain dan penyertaan. Keempat jenis aktiva tersebut

kesemuanya menggunakan loanable funds atau excess reserve, sehingga dengan

memperhatikan bahwa sumber dana terbesar untuk penempatan aktiva itu adalah

berasal dari DPK dan pinjaman, maka risiko yang mungkin timbul atas

penempatan alokasi dan hal tersebut harus diikuti dan diamati terus melalui

analisis-analisis risiko. Untuk BPR penanaman aktiva produktif hanya sebatas

pada penyaluran kredit dan penempatan di bank lain, BPR tidak diperbolehkan
104

menanamkan dana yang dimiliki untuk surat berharga dan penyertaan dikarenakan

skalanya yang dianggap kecil. Usaha penanaman dana dalam bentuk penyaluran

kredit kepada masyarakat merupakan usaha yang paling berisiko, dimana tidak

terbayarnya kredit yang telah diberikan. Sementara itu penanaman dalam bentuk

kredit merupakan bagian terbesar dari aktiva operasional dan aktiva secara

keseluruhan. Karena itu pengamatan dan analisis tentang bagaimana KAP, harus

dilakukan terus menerus.

Rasio yang digunakan untuk mengukur KAP adalah rasio aktiva yang

diklasifikasikan terhadap aktiva produktif dengan rumus,

Aktiva Produktif yang Diklasifikasikan


KAP = × 100%.............(2.8)
Aktiva Produktif

Predikat nilai dari KAP akan disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2
Kesehatan Bank dari Sisi Kualitas Aktiva Produktif (KAP)

Rasio KAP (Persen %) Predikat


KAP ≤ 2% Sangat Sehat
2% < KAP ≤ 3% Sehat
3% < KAP ≤ 6% Cukup Sehat
6% < KAP ≤ 9% Kurang Sehat
KAP > 9% Tidak Sehat
Sumber : Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 6/23/DPNP (2004).

Menurut Sutojo (2000), dalam kaitannya dengan LDR yang merupakan

indikator dari intermediasi bank, faktor-faktor yang mempengaruhi strategi

pemberian kredit adalah faktor internal bank yang dilihat dari sisi kesehatannya

yang salah satu indikatornya adalah KAP. Kosmidou (2008) berpendapat bahwa

keadaan internal lembaga perbankan dapat dinilai dari tingkat kesehatannya yang

salah satu indikatornya adalah KAP. Semakin baik tingkat kesehatan suatu bank
105

maka akan menopang kemampuan bank tersebut dalam memberikan kredit.

Tingkat kesehatan bank menggambarkan kondisi keuangan dan seberapa baik

bank tersebut melakukan kegiatan operasionalnya.

2.11.3 Konsep Return On Asset (ROA)

ROA merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan

manajemen bank dalam memperoleh keuntungan secara keseluruhan. Semakin

tinggi ROA, semakin besar pula tingkat laba atau keuntungan yang dicapai dan

semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aset. Keuntungan

tersebut dapat disalurkan kembali dalam bentuk kredit sehingga strategi

pemberian kredit akan dapat berjalan optimal dan efektif. Laba merupakan tujuan

utama yang ingin dicapai dalam sebuah usaha, termasuk juga bagi usaha

perbankan. Alasan dari pencapaian laba perbankan tersebut dapat berupa

kecukupan dalam pemenuhan kewajiban terhadap pemegang saham, penilaian atas

kinerja pimpinan, dan meningkatkan daya tarik investor untuk menanamkan

modalnya. Laba yang tinggi membuat bank mendapat kepercayaan dari

masyarakat yang memungkinkan bank untuk menghimpun modal yang lebih

banyak, sehingga bank memperoleh kesempatan meminjamkan dananya lebih luas

(Simorangkir, 2004).

Berdasarkan laporan-laporan keuangan dari bank dan juga literature yang

terkait, bunga merupakan unsur atau komponen pendapatan yang paling besar.

Hasil yang diperoleh yaitu 75 persen dari bunga, sedangkan yang 25 persen

berasal dari pendapatan jasa lainnya (Simorangkir, 2004). Besar kecilnya laba
106

yang dihasilkan bank sangat dipengaruhi oleh kinerja bank dalam mengelola dana

yang dihimpun dari masyarakat. Bank yang mampu menghasilkan pendapatan

tinggi, berarti bank tersebut dapat menjalankan usahanya secara efisien.

Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, ROA dapat dirumuskan sebagai berikut,

Laba Sebelum Pajak


ROA = × 100%............................(2.9)
Total Aset

Tabel 2.3
Kesehatan Bank dari Sisi Return On Asset (ROA)

Rasio ROA (Persen %) Predikat


ROA > 1,50% Sangat Sehat
1,25% < ROA ≤ 1,50% Sehat
0,50% < ROA ≤ 1,25% Cukup Sehat
0% < ROA ≤ 0,50% Kurang Sehat
ROA ≤ 0% Tidak Sehat
Sumber : Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 6/23/DPNP (2004).

Menurut Dendawijaya (2003), alasan penggunaan ROA ini dikarenakan

Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan

nilai profitabilitas dengan ukuran aset, yang mana sebagian besar dananya berasal

dari masyarakat dan nantinya oleh bank juga harus disalurkan kembali kepada

masyarakat. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, maka standar ROA yang baik

adalah sebesar 1,5 persen, meskipun ini bukan suatu keharusan.

2.11.4 Konsep Cash Ratio (CR)

CR adalah alat pengukuran likuiditas minimum yang wajib dipelihara oleh

setiap bank. CR merupakan perbandingan antara alat-alat likuid yang dikuasai

bank, dengan kewajiban yang segera dibayar (hutang lancar). Alat-alat likuid

yang dikuasai bank adalah bagian dari kekayaan bank (aktiva) yang berbentuk
107

uang tunai (cash). Komponen alat likuid untuk semua jenis bank adalah sama,

yaitu saldo kas dan saldo rekening pada Bank Indonesia. Untuk memperhitungkan

CR, hanya dua pos saja yang dianggap sebagai alat likuid (Ridwan, 2004). Alat

likuid yang dimaksud diantaranya adalah kas (segala uang tunai baik kertas

maupun logam yang ada bank yang bersangkutan), penempatan dana pada bank

lain, selisih tabungan antar bank (selisih penempatan bank bersangkutan pada

bank lain setelah dikurangi dengan penempatan bank lain pada bank

bersangkutan). Hutang lancar yang dimaksud diantaranya adalah kewajiban segera

(kewajiban bank kepada pihak ketiga yang sifatnya harus segera dibayar, misalnya

utang bunga, utang pajak, kewajiban kepada pemerintah dan lain sebagainya),

tabungan (penempatan dana kepada bank bersangkutan yang penarikannya dapat

dilakukan sewaktu-waktu, tidak terikat jangka waktu dan dapat dilakukan setiap

saat), deposito (penempatan dana pada bank bersangkutan oleh masyarakat atau

pihak lain yang hanya dapat ditarik setelah melewati waktu jatuh temponya yang

penarikannya tidak bisa dilakukan setiap saat tetapi berdasar pada jangka waktu).

CR adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan

dalam membayar kewajiban jangka pendek dengan kas yang tersedia dan yang

disimpan di bank. CR adalah rasio yang membandingkan antara kas dan aktiva

lancar yang bisa segera menjadi uang kas dengan hutang lancar. Menurut Sudana

(2011) CR adalah kemampuan kas dan surat berharga yang dimiliki perusahaan

untuk menutup utang lancar. Rasio ini paling akurat dalam mengukur kemampuan

perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek karena hanya

memperhitungkan komponen aktiva lancar yang paling likuid. Adapun pengertian


108

rasio kas atau CR menurut Syamsuddin (2007) yaitu perbandingan antara kas

dengan total utang lancar atau dapat juga dihitung dengan mengikut sertakan

surat-surat berharga. Aktiva lancar yang bisa segera menjadi uang kas adalah efek

atau surat berharga, dengan demikian rumus untuk menghitung CR menurut

Riyanto (2010) adalah sebagai berikut.

Alat Likuid
CR = Pasiva Lancar × 100%...............................(2.10)

Tabel 2.4
Kesehatan Bank dari Sisi Cash Ratio (CR)

Rasio CR (Persen %) Predikat


CR ≤ 90% Sangat Sehat
90% < CR ≤ 94% Sehat
94% < CR ≤ 98% Cukup Sehat
98% < CR ≤ 102% Kurang Sehat
CR > 102% Tidak Sehat
Sumber : Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 6/23/DPNP (2004).

2.12 Hubungan Faktor Internal tehadap Loan To Deposit Ratio (LDR)


Melalui Strategi Pemberian Kredit Secara Langsung Maupun Tidak
Langsung

Indikator pertama dari variabel kondisi faktor internal bank dalam

penelitian ini adalah kondisi permodalan yang dicerminkan dari CAR. CAR

menunjukkan seberapa besar modal bank telah memadai untuk menunjang

kebutuhannya, dan merupakan dasar untuk menilai prospek kelanjutan usaha bank

yang bersangkutan. Semakin tinggi CAR, menunjukkan kinerja bank dalam

memberikan kredit semakin baik, sehingga meningkatkan kesehatan bank dan

mendorong proses penyaluran serta pengimpunan dana masyarakat. Menurut

Siamat (2003) fungsi utama modal bank adalah untuk memenuhi kebutuhan
109

minimum dan menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko,

misalnya kredit yang diberikan. Dengan kata lain, CAR merupakan tingkat

kecukupan modal yang dimiliki bank dalam menyediakan dana untuk keperluan

pengembangan usaha dan menampung risiko kerugian dana yang diakibatkan oleh

kegiatan operasional bank. Tingkat kecukupan modal suatu bank sangat penting

dalam menyalurkan kredit pada masyarakat. Bila tingkat kecukupan modal bank

baik, maka jumlah kredit yang akan mampu disalurkan akan tinggi, dan pihak

bank memiliki dana cadangan jika sewaktu-waktu terjadi masalah kredit macet.

Bank yang memiliki kecukupan modal yang tinggi akan meningkatkan

kepercayaan diri dalam menyalurkan kredit, sehingga apabila CAR meningkat

maka jumlah kredit yang disalurkan juga akan meningkat melalui strategi

pemberian kredit yang efektif. Penelitian yang dilakukan oleh Haryati (2009)

menyatakan bahwa pertumbuhan modal yang merupakan faktor internal bank

memiliki pengaruh yang positif terhadap peran intermediasi yang diukur dengan

LDR melalui pemberian kredit yang dibentuk oleh variabel unsur-unsur

pemberian kredit. Pada penelitian Pauzi (2011), CAR yang merupakan bagian dari

faktor internal bank yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap strategi

pemberian kredit. Semakin tinggi rasio CAR yang merupakan faktor internal bank

maka semakin besar daya tahan bank dalam menghadapi penyusutan nilai harta

bank yang timbul karena adanya harta bermasalah (Riyadi, 2006). Dengan

demikian dapat diduga bahwa CAR yang merupakan indikator dari variabel faktor

internal berpengaruh positif signifikan terhadap LDR melalui strategi pemberian


110

kredit sebagai pemediasi secara langsung maupun tidak langsung pada BPR di

Kabupaten Badung.

Indikator kedua yang digunakan dalam penelitaian ini untuk membentuk

variabel faktor internal adalah KAP. KAP merupakan rasio antara aktiva produktif

yang diklasifikasikan terhadap total aktiva produktif. KAP merupakan salah satu

ukuran besarnya cadangan kemungkinan tidak tertagihnya (tidak terealisasikannya

penempatan dana). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa KAP

merupakan rasio untuk mengetahui risiko gagal bayar dari aktiva produktif yang

diklasifikasikan. Rasio KAP yang terlampau tinggi, menunjukan bahwa aktiva

produktif yang dimiliki bank banyak mengandung risiko sehingga dana cadangan

yang harus dipersiapkan juga meningkat. Hal tersebut disebabkan karena bank

kurang berhati-hati dalam menyalurkan dananya. Porsi dana cadangan yang tinggi

mengakibatkan bank kekurangan likuiditas dan kehilangan kesempatan

berinvestasi. Hilangnya kesempatan berinvestasi dalam bentuk pembiayaan kredit

mengakibatkan pendapatan potensial bank pun berkurang (Akbar, 2013).

Kondisi KAP yang sehat, menunjukan bahwa bank mampu meminimalisir

kerugian yang lebih besar dari kerugian yang ditimbulkan aktiva produktif yang

tidak tertagih. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kebijakan bank dalam

pemberian kredit, dikarenakan strategi pemberian kredit akan lebih efektif apabila

KAP dalam kondisi sehat (Usman, 2011). Jadi mengacu dari hasil penelitian yang

terdahulu diduga terjadi hubungan antara KAP yang merupakan bagian dari faktor

internal dengan LDR yang salah satu indikatornya adalah penyaluran kredit,
111

melalui strategi pemberian kredit sebagai pemediasi secara langsung maupun

tidak langsung pada BPR di Kabupaten Badung.

Variabel indikator ketiga dari kondisi faktor internal bank dalam penelitian

ini adalah ROA. ROA adalah indikator yang akan menunjukkan bahwa apabila

rasio ini meningkat maka aktiva bank telah digunakan dengan optimal untuk

memperoleh pendapatan sehingga diperkirakan ROA dan jumlah kredit memiliki

hubungan yang positif melalui strategi pemberian kredit yang baik. ROA

digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh

keuntungan (laba) secara keseluruhan (Dendawijaya, 2003). Semakin tinggi ROA

suatu bank semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut.

Dengan laba yang besar maka bank dapat menyalurkan kredit lebih banyak,

melalui strategi-strategi pemberian kredit yang efektif. Hal tersebut akan

meningkatkan jumlah kredit yang disalurkan, sejalan dengan kredit yang

meningkat maka akan meningkatkan LDR yang merupakan ukuran usaha

perbankan berjalan dengan efektif atau tidak.

Laba merupakan tujuan utama yang ingin dicapai dalam sebuah usaha,

termasuk juga bagi usaha perbankan. Alasan dari pencapaian laba perbankan

tersebut dapat berupa kecukupan dalam memenuhi kewajiban terhadap pemegang

saham, penilaian atas kinerja pimpinan, dan meningkatkan daya tarik investor

untuk menanamkan modalnya. Laba yang tinggi membuat bank mendapat

kepercayaan dari masyarakat yang memungkinkan bank untuk menghimpun

modal yang lebih banyak sehingga bank memperoleh kesempatan meminjamkan

dana dengan lebih luas (Simorangkir, 2004). Semakin tinggi ROA suatu bank
112

semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut, dengan laba

yang besar maka suatu bank akan mudah dalam hal pemberian kredit dikarenakan

memiliki sumber pendanaan yang cukup. Pernyataan tersebut didukung oleh

penelitian yang dilakukan Arisandi (2008) dan Prayudi (2011), yang menyatakan

bahwa faktor internal bank yang salah satu pembentuknya adalah ROA

berpengaruh positif terhadap strategi pemberian kredit bank. Pada penelitian

Fransisca dan Siregar (2008) menyatakan bahwa ROA yang merupakan bagian

dari kondisi kesehatan bank memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap

jumlah kredit yang disalurkan yang dapat diukur dari LDR.

Variabel indikator keempat dari kondisi faktor internal bank dalam

penelitian ini adalah CR. Sinungan (2000) menyatakan bahwa CR akan

berpengaruh terhadap laba melalui loanable fund, jika CR ditentukan pada posisi

terlalu tinggi agar likuiditas aman, maka loanable fund kecil sehingga berakibat

keuntungan bank dari pendapatan bunga juga menurun. Sebaliknya jika posisi CR

turun namun tidak dalam posisi terlalu rendah, maka loanable fund meningkat

yang jika direalisasikan akan menambah jumlah kredit. Kondisi CR yang sehat

akan berdampak pada strategi pemberian kredit yang lebih efektif dan akan

merangsang pertumbuhan jumlah kredit yang disalurkan. Penelitian ini

mendukung penelitian yang dilakukan oleh Pranoto (2008). Hasil penelitiannya

menyebutkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara CR bank dengan

pemberian kredit. Jadi CR dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk

menentukan strategi dalam hal pemberian kredit yang berdampak pada kondisi

LDR.
113

Dari uraian masing-masing indikator yang membentuk variabel faktor

internal bank yaitu CAR, KAP, ROA dan CR diduga berpengaruh positif secara

langsung maupun tidak langsung terhadap LDR melalui strategi pemberian kredit.

Semakin baik kondisi internal BPR di Kabupaten Badung akan berpengaruh

terhadap kondisi LDR yang lebih baik, melalui strategi pemberian kredit yang

efektif sebagai pemediasi. Pernyataan tersebut didukung dengan penelitian yang

dilakukan oleh Puspita (2014) yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Strategi Pemberian Kredit dan Dampaknya Terhadap Kinerja Danamon Simpan

Pinjam”. Dalam penelitannya dinyatakan bahwa faktor internal perusahaan

berpengaruh positif signifikan terhadap starategi pemberian kredit dan berdampak

positif terhadap kinerja perusahaan. Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh

Arisandi (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor Penawaran

Kredit pada Bank Umum di Indonesia”, yang menjelaskan bahwa penawaran

kredit yang merupakan implementasi dari strategi dalam hal penyaluran kredit,

dipengaruhi oleh faktor internal perusahaan yang dapat di ukur melalui rasio-rasio

keuangan bank diantaranya DPK, CAR, NPL dan ROA.

2.13 Faktor Eksternal

Dalam usahanya menyalurkan kredit kepada masyarakat, pihak

manajeman bank harus memperhatikan kondisi eksternal dan lingkungan. Persepsi

manajemen bank terhadap kondisi perekonomian masyarakat, akan membantu

pihak manajemen bank dalam hal menyusun strategi perkreditan. Kondisi

perekonomian masyarakat dapat dicerminkan dari pendapatan nasabah. Semakin


114

tinggi pendapatan nasabah akan meningkatkan permintaan kredit, hal tersebut

akan meningkatkan efektivitas strategi bank dalam menyalurkan kreditnya.

Namun pendapatan nasabah yang meningkat tidak akan berdampak pada

permintaan kredit apabila terjadi kenaikan harga barang (inflasi). Ketika terjadi

inflasi, nasabah akan lebih memilih membelanjakan dana yang dimiliki untuk

membeli kebutuhan konsumsi dari pada harus melakukan pinjaman kredit. Pihak

manajemen bank harus mampu menganalisa seberapa besar pengaruh inflasi

terhadap usaha yang dilakukan baik dalam hal penghimpunan maupun penyaluran

dana kepada masyarakat. Oleh karena itu variabel perekonomian masyarakat yang

tercermin dari pendapatan nasabah dan inflasi, merupakan variabel indikator yang

membentuk faktor eksternal bank dalam penelitian ini.

Persaingan usaha antar lembaga keuangan juga merupakan faktor eksternal

yang berdampak pada kurang maksimalnya strategi pemberian kredit yang diikuti

oleh menurunnya jumlah kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan. Persaingan

tersebut tidak hanya dari lembaga perbankan melainkan dari lembaga pembiayaan

keuangan lainnya seperti LPD, Koperasi, Pegadaian, Finance dan lain-lain.

Lokasi operasional bank juga menjadi pertimbangan nasabah untuk melakukan

pinjaman kredit. Lokasi yang strategis serta kebijakannya mampu menyesuaikan

dengan kondisi geografis daerah operasional, akan menjadi nilai tambah. Pihak

manajemen bank akan lebih mudah untuk menarik hati dan kepercayaan nasabah,

sehingga strategi pemberian kredit menjadi efektif yang akan diikuti oleh

peningkatan jumlah penyaluran kredit. Dari uraian tersebut variabel faktor

eksternal bank dapat diukur melalui indikator yaitu inflasi, pendapatan nasabah,
115

persaingan usaha dan lokasi. Kondisi faktor eksternal bank yang baik berdampak

pada strategi pemberian kredit yang efektif dan diikuti oleh peningkatan

pertumbuhan jumlah kredit yang dapat dilihat dari LDR, secara langsung maupun

tidak langsung. Untuk lebih jelasnya akan dibahas sebagai berikutnya.

2.13.1 Konsep Inflasi

Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan

terus-menerus, berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh

berbagai faktor antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya

likuiditas yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga

akibat adanya ketidak lancaran distribusi barang. Inflasi adalah indikator untuk

melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga

berlangsung secara terus-menerus dan saling mempengaruhi. Dalam memahami

konsep inflasi, kenaikan harga yang terjadi adalah kenaikan harga umum barang

secara terus-menerus selama suatu periode waktu tertentu. Kenaikan yang terjadi

hanya sekali saja, meskipun dengan persentase yang cukup besar, bukan

merupakan inflasi. Sebagai contoh misalnya harga barang ekspor seperti beras,

kopi, teh naik maka indeks biaya hidup juga akan mengalami kenaikan sebab

barang-barang ini langsung masuk dalam daftar barang yang tercakup dalam

indeks harga (Waluyo, 2003).

Seorang investor akan merasa lebih terjamin untuk berinvestasi, pada saat

inflasi di suatu negara cenderung stabil dan terkendali (Nopirin, 2010). Jenis-

jenis inflasi berdasarkan penyebabnya antara lain,


116

1). Demand Pull Inflation

Inflasi timbul karena permintaan masyarakat atas beberapa barang terlalu

kuat, yang menyebabkan kenaikan harga pada tingkat produksi yang telah

berada pada keadaan kesempatan kerja penuh. Gambar 2.3 menggambarkan

harga keseimbangan awal adalah P1 dan kuantitas barang yang diminta

adalah sebesar Q1. Karena permintaan masyarakat akan barang-barang

(aggregate demand) bertambah, maka kurva aggregate demand bergeser dari

AD1 ke AD2 Akibat dari pergeseran kurva AD tersebut, tingkat harga naik

dari P1 menjadi P2

Harga

AS

P¹ AD²

AD¹

0 Q¹ Q² Output

Gambar 2.10 Demand Pull Inflation


Sumber : Nopirin (2010).

2). Cost Push Inflation

Merupakan inflasi yang timbul karena kenaikan ongkos produksi, yang

mendorong terjadinya kenaikan harga. Pada Gambar 2.4 menunjukkan

bahwa apabila terjadi kenaikan biaya produksi, misalnya karena adanya

kenaikan harga bahan baku untuk produksi, maka kurva penawaran akan
117

bergeser dari AS1 ke AS2. Akibatnya tingkat produksi menurun dan

mendorong terjadinya kenaikan harga, yaitu dari P1 menjadi P2.

Harga

AS²

P² AS¹

AD

0 Q² Q¹ Output

Gambar 2.11 Cost Push Inflation


Sumber : Nopirin (2010).

Jenis Inflasi menurut sifatnya digolongkan dalam tiga kategori menurut

Nopirin (2010) yaitu,

1). Inflasi Merayap

Kenaikan harga terjadi secara lambat, dengan persentase yang kecil dan

dalam jangka waktu yang relatif lama (di bawah 10 persen per tahun).

2). Inflasi Menengah

Kenaikan harga yang cukup besar dan kadang - kadang berjalan dalam waktu

yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi

3). Inflasi Tinggi

Kenaikan harga yang besar bisa sampai 5 atau 6 kali, dimana dalam kondisi

tersebut masyarakat tidak lagi berkeinginan menyimpan uang. Nilai uang


118

merosot dengan tajam sehingga ingin ditukar dengan barang. Perputaran uang

semakin cepat, sehingga harga naik secara cepat dan berakselerasi.

Jenis inflasi berdasarkan parah tidaknya, dapat dibedakan berdasarkan

rentangan persentase. Inflasi ringan (dibawah 10 persen setahun), inflasi sedang

(antara 10 persen-30 persen setahun), inflasi berat (antara 30 persen-100 persen

setahun), hiperinflasi (diatas 100 persen setahun).

Jenis inflasi berdasarkan pada asal terjadinya menurut Boediono (2009)

adalah sebagai berikut,

1). Domestic Inflation

Inflasi yang berasal dari dalam negeri yang timbul antara lain karena defisit

anggaran belanja yang dibiayai dengan percetakan uang baru, atau bisa juga

disebabkan oleh gagal panen.

2). Imported Inflation

Inflasi yang berasal dari luar negeri yang timbul karena kenaikan harga- harga

di luar negeri atau negara-negara langganan berdagang. Penularan inflasi dari

luar negeri ke dalam negeri ini jelas lebih mudah terjadi pada negara-negara

yang menganut perekonomian terbuka, yaitu sektor perdagangan luar.

Secara garis besar ada 3 kelompok teori mengenai inflasi masing-masing

akan dijelaskan sebagai berikut

1). Teori Kuantitas

Teori kuantitas ini menyatakan bahwa proses inflasi itu terjadi karena 2

hal, yaitu jumlah uang beredar dan psikologi (harapan) masyarakat mengenai

kenaikan harga-harga (expectations). Ada 2 hal penting dari teori kuantitas


119

pertama, laju inflasi terjadi jika ada penambahan volume uang beredar.

Kedua, laju inflasi oleh harapan masyarakat mengenai kenaikan harga di

masa yang akan datang (Boediono, 2005).

2). Teori Keynes

Teori ini menerangkan bahwa proses inflasi terjadi karena permintaan

masyarakat akan barang-barang yang selalu melebihi jumlah yang tersedia.

Hal ini yang disebut juga dengan inflationary gap. Inflationary gap terjadi

apabila jumlah permintaan efektif dari semua golongan pada tingkat harga

yang berlaku, melebihi jumlah maksimum dari barang-barang yang

dihasilkan oleh masyarakat. Hal tersebut akan menyebabkan kenaikan harga-

harga karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia. Adanya

kenaikan harga berarti kegiatan pembelian barang dari golongan tertentu

tidak terpenuhi. Selanjutnya mereka akan berusaha untuk memperoleh dana

yang lebih besar, baik dari golongan pemerintah melalui pencetakan uang

baru, para pengusaha swasta melalui kredit dari bank, atau pekerja melalui

kenaikan tingkat upah yang lebih besar. Proses inflasi akan terus berlangsung

selama jumlah permintaan efektif dari semua golongan masyarakat melebihi

jumlah output yang bisa dihasilkan pada tingkat harga yang berlaku.

3). Teori Strukturalis.

Teori strukturalis lebih menekankan pada faktor-faktor struktural dari

perekonomian yang menyebabkan terjadinya inflasi. Teori ini disebut juga

teori inflasi jangka panjang, karena yang dimaksud dengan faktor-faktor

struktural di sini adalah faktor-faktor yang hanya bisa berubah secara gradual
120

dalam jangka waktu yang panjang. Teori ini memberi tekanan pada ketegaran

dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang. Ada dua

ketegaran yang menyebabkan inflasi, yaitu ketegaran berupa ketidakelastisan

dari penerimaan ekspor dan ketegaran berupa ketidakelastisan dari penawaran

bahan makanan dalam negeri. Kedua proses tertsebut pada umumnya

berkaitan dan memperkuat satu sama lain dalam menyebabkan inflasi.

Ketegaran yang merupakan ketidakelastisan dari penerimaan ekspor ini

adalah ketegaran di mana nilai dari ekspor tumbuh secara lamban dibanding

dengan pertumbuhan sektor-sektor lain. Dasar penukaran yang makin

memburuk dan supply barang-barang ekspor yang tidak elastis ini akan

menyebabkan terjadinya kelambanan tersebut. Kelambanan pertumbuhan

penerimaan ekspor ini berarti kelambanan pertumbuhan kemampuan untuk

mengimpor barang-barang yang dibutuhkan. Sedangkan bagi suatu negara

untuk mencapai target pertumbuhannya akan memberlakukan kebijakan

pengganti impor (import substitution strategy). Inflasi terjadi jika proses

substitusi impor ini makin meluas, sehingga menaikkan biaya produksi ke

berbagai barang. Konsekuensinya akan menyebabkan makin banyaknya

harga-harga yang mengalami kenaikan.

2.13.2 Konsep Pendapatan

Pendapatan dalam ilmu ekonomi teoritis adalah hasil yang diterima, baik

berupa uang maupun lainnya atas penggunaan kekayaan (jasa manusia).

Dijelaskan pula bahwa pendapatan adalah hasil dari penjualan faktor-faktor


121

produksi yang dimiliki kepada sektor produksi. Selain itu pendapatan adalah

pendapatan uang yang diterima dan diberikan kepada subjek ekonomi

berdasarkan prestasi-prestasi yang diserahkan baik dari profesi yang dilakukan

sendiri atau usaha perorangan. Besarnya pendapatan seseorang bergantung pada

jenis pekerjaan dan profesinya masing-masing (Ridwan, 2004).

Dijelaskan pula oleh Sukirno (2004), bahwa pendapatan menurut ilmu

ekonomi merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi oleh seseorang

dalam suatu periode dengan mengharapkan keadaan yang sama pada akhir periode

seperti keadaan semula. Pendapatan masyarakat dapat digolongkan menjadi dua

bagian yaitu,

1). Pendapatan permanen (permanent income) adalah pendapatan yang selalu

diterima pada setiap periode tertentu dan dapat diperkirakan sebelumnya,

misalnya pendapatan dari gaji atau upah. Pendapatan ini juga merupakan

pendapatan yang diperoleh dari semua faktor yang menentukan kekayaan

seseorang (yang menciptakan kekayaan).

2). Pendapatan sementara (transitory income) adalah pendapatan yang tidak bisa

diperkirakan (Mangkoesoebroto dan Algifari, 2000).

Winardi (2001) menyatakan bahwa pendapatan merupakan tingkat hidup

yang dinikmati individu dimasyarakat, dan nantinya akan digunakan untuk

mengembalikan pinjaman bagi yang melakukan pinjaman. Pendapatan tersebut

sebagai sumber penghasilan dari berbagai macam jenis profesi. Pada umumnya

pengaruh pendapatan terhadap permintaan adalah positif dalam arti bahwa

kenaikan pendapatan akan menaikkan permintaan. Hal ini terjadi apabila barang
122

tersebut merupakan barang superior atau normal, ini seperti efek selera dan efek

banyaknya pembeli yang mempunyai efek positif. Begitu sebaliknya pada kasus

barang interior, maka kenaikan pendapatan justru menurunkan pendapatan.

Konsumen selalu berusaha untuk dapat memenuhi sagala kebutuhannya, dengan

cara melakukan usaha tambahan agar dapat membantu meningkatkan

pendapatannya. Berbagai cara dilakukan masyarakat mulai dari investasi

sederhana sampai dengan investasi bermodal besar. Sehingga dampaknya pada

sektor moneter adalah permohonan modal usaha dan investasi akhirnya semakin

tinggi, maka permohonan modal tersebut akan mengarah kepada permohonan

pembiayaan ke lembaga keuangan yang semakin meningkat (Winardi, 2001).

Penjelasan yang lebih rinci dari pendapatan adalah penerimaan tingkat

hidup dalam satuan rupiah, yang dapat dinikmati seorang individu atau keluarga

yang didasarkan atas penghasilannya atau sumber-sumber pendapatan lain.

Pendapatan nasabah yang digunakan untuk mengembalikan pembiayaan, harus

jelas dan riil. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pendapatan

menurut Sukmayanti (2008) adalah sebagai berikut,

1). Kesempatan Kerja Yang Tersedia

Semakin banyak kesempatan kerja yang tersedia berarti semakin banyak

penghasilan yang bisa diperoleh dari hasil kerja tersebut.

2). Jenis Pekerjaan

Terdapat banyak jenis pekerjaan yang dapat dipilih seseorang dalam

melakukan pekerjaannya untuk mendapatkan penghasilan yang bervariasi.


123

3). Kecakapan dan Keahlian

Dengan bekal kecakapan dan keahlian yang tinggi akan dapat meningkatkan

efisiensi dan efektivitas yang pada akhirnya berpengaruh pula terhadap

penghasilan.

4). Motivasi

Semakin besar dorongan seseorang untuk melakukan pekerjaan, semakin

besar pula penghasilan yang diperoleh. Selain itu juga lokasi bekerja yang

dekat dengan tempat tinggal dan kota, akan membuat seseorang lebih

semangat untuk bekerja.

5). Keuletan dan Ketekunan Kerja

Pengertian keuletan dapat disamakan dengan ketekunan atau keberanian

untuk menghadapi segala macam tantangan. Bila saat menghadapi kegagalan

maka kegagalan tersebut dijadikan sebagai bekal untuk meneliti ke arah

kesuksesan dan keberhasilan.

6). Banyak Sedikitnya Modal yang Digunakan

Besar kecilnya usaha yang dilakukan seseorang sangat dipengaruhi oleh besar

kecilnya modal yang dipergunakan. Suatu usaha yang besar akan dapat

memberikan peluang yang besar pula terhadap pendapatan yang akan

diperoleh.

Pendapatan merupakan sumber pribadi yang utama. Pendapatan yang

diperoleh oleh masyarakat merupakan media untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari. Pendapatan juga dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan

infestasi. Semakin tinggi pendapatan masyarakat akan berpengaruh terhadap


124

minat masyarakat untuk menjadi nasabah perbankan dan berinvestasi salah

satunya investasi dalam bentuk pinjaman kredit perbankan. Pinjaman berupa

kredit biasanya digunakan oleh nasabah untuk membiayai usaha ataupun untuk

membeli barang-barang investasi dan konsumsi. Tingginya pendapatan yang

dimiliki oleh nasabah lembaga perbankan akan memudahkan pihak bank untuk

menjalankan usahanya. Dalam hal kegiatan perbankan yaitu penghimpunan dana

maupun penyaluran kredit semua sangat tergantung pada pendapatan yang

dimiliki oleh nasabahnya.

Tinggi rendahnya kemampuan nasabah untuk menabung ataupun

membayar pinjaman bank, mencerminkan kondisi pendapatan dari nasabah

tersebut. Semakin tinggi pendapatan yang dimiliki oleh nasabah suatu bank maka,

kecenderungan untuk menambah porsi kredit serta dana yang disimpan akan

semakin meningkat. Menurut Novianti (2010), pendapatan nasabah berpengaruh

positif terhadap pengambilan kredit di Perum Pegadaian cabang Matesih hal

tersebut berdampak pada strategi pemberian kredit yang dilakukan dapat berjalan

dengan optimal. Semakin tinggi pendapatan yang dimiliki oleh nasabah Perum

Pegadaian cabang Matesih, maka minat untuk melakukan pinjaman dan

menambah porsi kredit juga semakin meningkat sehingga strategi pemberian

kredit menjadi efektif.

2.13.3 Konsep Persaingan Usaha

Persaiangan usaha perbankan merupakan salah satu faktor eksternal yang

dapat mempengaruhi jumlah penyaluran kredit perbankan. Semakin ketatnya


125

persaiangan usaha di dunia perbankan mengharuskan masing-masing bank

berlomba-lomba dalam menarik hati nasabah agar mau bekerjasama dan

menggunakan produk-produknya. Persaiangan usaha dibidang pembiayaan

keuangan tidak hanya terjadi antar bank namun datang dari lembaga keuangan

lainnya seperti Koprasi, Finance, Pegadaian dan khususnya di Provinsi Bali ada

yang disebut LPD yaitu lembaga perkreditan yang dimiliki oleh masing-masing

desa pakraman. Semakin menjamurnya lembaga keuangan yang hadir ditengah-

tengah masyarakat, mengharuskan lembaga keuangan perbankan dalam hal ini

BPR harus lebih gencar menarik hati nasabah, dengan memberikan pelayanan

serta menawarkan produk-produk bank yang lebih variatif dan inovatif.

Menurut Djiwandono (2006) salah satu faktor eksternal yang dapat

mempengaruhi strategi pemberian kredit oleh pihak perbankan adalah persaiangan

usaha antar bank tersebut atau antar lembaga keuangan lainnya. Semakin baik

pelayanan dan produk-produk yang ditawarkan oleh suatu bank, mencerminkan

bahwa bank tersebut mampu bersaing dengan lembaga-lembaga keuangan lain.

Hal tersebut merupakan gambaran bahwa strategi dalam pemberian kredit efektif

untuk menarik minat nasabah, sehingga nasabah untuk bekerjasama dengan bank

tersebut akan semakin meningkat. Hal ini akan diikuti oleh jumlah volume kredit

yang disalurkan juga akan semakin meningkat. Sebaliknya jika produk-produk

dan pelayanan yang ditawarkan oleh suatu bank tidak mampu bersaing dengan

lembaga keuangan lainnya, mencerminkan bahwa strategi dalam hal pemberian

kredit kurang efektif. Konsekuensinya kredit yang disalurkan juga akan rendah
126

karena masayarakat akan lebih memilih lembaga keuangan lain yang lebih mampu

memberikan keuntungan baik itu keuntungan material maupun non material.

2.13.4 Konsep Lokasi

Pengertian lokasi adalah tempat bank tersebut melakukan kegiatan

operasional sehari-hari. Bahwasanya lokasi yang paling ideal bagi bank adalah

lokasi yang biaya operasinya paling rendah atau serendah mungkin (Murti

Sumarni, 2002). Lokasi yang salah akan menyebabkan biaya operasional bank

tinggi, sebagai akibatnya bank tersebut tidak akan mampu bersaing dan

mengakibatkan kerugian. Oleh karena itu lokasi yang tepat merupakan tuntutan

yang multak harus di penuhi setiap bank (Basu Swastha, 2007). Menurut Sriyadi

(2005), lokasi lebih tegas berarti tempat secara fisik, sedangkan menurut

Lupiyoadi (2001) mendefinisikan lokasi adalah tempat di mana perusahaan harus

bermarkas melakukan operasi untuk dapat melakukan kinerja yang masksimal.

1). Pentingnya Lokasi

Lokasi sangat penting dalam dunia usaha karena lokasi menentukan tempat

dimana bank itu melakukan tugas-tugas dan usaha operasionalnya. Lokasi

yang strategis akan memberikan kesempatan kepada nasabah untuk

mengeluarkan biaya yang sedikit. Sementara lokasi yang kurang memadai

akan memaksa nasabah untuk mengeluarkan lebih banyak biaya (Bangs,

David H, Jr, 2000).


127

2). Indikator Dalam Menentukan Lokasi

Adapun faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan

pertimbangan-pertimbangan yang cermat dalam menentukan lokasi menurut

Tjiptono (2005) meliputi faktor,

(1). Akses, misalnya lokasi yang mudah dilalui atau mudah dijangkau sarana

transportasi umum.

(2). Visibilitas, misalnya lokasi dapat dilihat dengan jelas dari tepi jalan.

(3). Tempat parkir yang luas dan aman.

(4). Lingkungan, yaitu daerah sekitar yang mendukung jasa yang ditawarkan.

Secara relevan bank perlu menentukan lokasi dimana bank itu akan di

dirikan dan beroperasi. Kesalahan dalam hal menentukan lokasi operasional bank

mengakibatkan strategi dalam hal pemberian kredit menjadi terhambat. Lokasi

dalam hal ini juga menyangkut kemampuan pihak bank dalam menyesuaikan diri

dengan keadaan geografis dan lingkungan sekitar daerah operasionalnya. Pihak

perbankan harus dapat mengidentifikasi perbedaan karakterisitik daerah

operasionalnya masing-masing. Hal tersebut bertujuan agar dalam menentukan

kebijakan baik dalam hal penentuan produk maupun suku bunga dapat

disesuaikan dengan kondisi keadaan masyarakat didaerahnya agar strategi dalam

pemberian kredit dapat berjalan dengan efektif. Lokasi yang strategis akan

berdampak positif pada pertumbuhan kredit serta peran perbankan dalam

mendorong perekonomian masyarakat akan dirasakan langsung oleh masyarakat

yang berada di daerah sekitar tempat bank tersebut beroperasi.


128

Lokasi dalam hal ini tidak hanya mengenai lokasi bank secara fisik,

melainkan lokasi dalam hal bagaimana pihak manajemen bank dapat

menyesuaikan diri dengan kondisi keadaan alam dan geografis daerah sekitar

operasionalnya. Mengingat kondisi dan karakteristik setiap daerah berbeda-beda

yang menyebabkan terjadinya perbedaan sektor usaha masyarakatnya. Dalam

menawarkan produk-produk perbankan salah satunya kredit, pihak manajemen

perbankan juga seharusnya dapat menyesuaikan produk kredit tersebut terhadap

kebutuhan masyarakat sekitar sesuai dengan sektor usaha yang paling dominan.

Misalnya masyarakat di daerah pedesaan yang sebagian besar bermata

pencaharian sebagai petani, pihak manajemen bank hendaknya lebih

memprioritaskan kredit pertanian yang jangka waktu pengembaliannya

disesuaikan dengan musim panen (Kosmidou, 2008). Pertimbangan penyesuaian

terhadap lokasi lingkungan sekitar semacam itu akan membantu pihak manajemen

bank dalam menerapkan strategi pemberian kredit yang lebih efektif dan tepat

sasaran dan akhirnya akan berpengaruh terhadap kondisi LDR yang lebih baik.

2.14 Hubungan Faktor Eksternal terhadap Loan To Deposit Ratio (LDR)


melalui Strategi Pemberian Kredit Secara Langsung Maupun Tidak
Langsung

Indikator pertama yang membentuk variabel faktor eksternal adalah inflasi

atau kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Menurut Haryati (2009)

tekanan inflasi yang cukup kuat mendorong Bank Indonesia melakukan kebijakan

moneter melalui peningkatan SBI. Hal tersebut memicu perbankan untuk

mengalokasikan dana yang dimiliki pada SBI dan menyebabkan perbankan akan
129

mengalami perlambatan dalam hal penyaluran kredit. Peristiwa tersebut juga

menyebabkan penggunaan dana yang dimiliki oleh masyarakat untuk sesuatu

yang non produktif dari pada harus berinvestasi di bank. Konsekuensinya adalah

turunnya nilai simpanan masyarakat dikarenakan masyarakat akan menarik

dananya dan dibelanjakan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan yang harus

mereka penuhi, dengan harga yang semakin meningkat. Rendahnya dana dari

masyarakat yang dapat dihimpun oleh pihak perbankan akan mengurangi porsi

kredit yang mampu disalurkan serta strategi dalam hal pemberian kredit menjadi

terhambat (Citra, 2013).

Pernyataan tersebut juga didukung oleh Susanty (2014) yang menyatakan

bahwa Inflasi yang merupakan bagian dari faktor eksternal bank, akan

memberikan dampak terhadap seluruh sendi-sendi perekonomian termasuk sektor

perbankan. Pengaruh inflasi terhadap sektor perbankan terjadi karena masyarakat

cenderung mengurangi simpanan (saving) dan akhirnya aset perbankan secara riil

menjadi menurun yang dapat diukur dari LDR. Dampaknya adalah menurunnya

kemampuan pihak perbankan dalam melakukan strategi pemberian kredit kepada

masyarakat, sehingga kinerja intermediasi juga akan mengalami penurunan. Dari

uraian yang telah dikemukakan dan didukung oleh penelitian-penelitian

sebelumnya diduga bahwa, inflasi sebagai pembentuk variabel eksternal dan LDR

pada BPR di Kabupaten Badung memiliki pengaruh yang signifikan melalui

strategi pemberian kredit sebagai pemediasi baik secara langsung maupun tidak

langsung.
130

Indikator kedua yang membentuk variabel faktor eksternal adalah

pendapatan nasabah. Semakin tinggi pendapatan masyarakat yang menjadi

nasabah pada lembaga keuangan perbankan, maka jumlah permintaan terhadap

kredit porsinya juga akan meningkat. Pernyataan tersebut didukung oleh Novianti

(2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh Tingkat Bunga

Pendapatan Pendidikan dan Sikap Nasabah Akan Citra Terhadap Pengambilan

Kredit di Perum Pegadaian Cabang Matesih” yang menyatakan bahwa,

pendapatan nasabah berpengaruh positif terhadap pemberian kredit. Aryaningsih

(2008) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Suku Bunga, Inflasi dan

Jumlah Pendapatan Terhadap Permintaan Kredit di PT BPD Cabang Pembantu

Kediri”. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil

penelitiaannya menyatakan bahwa ketiga faktor (suku bunga, inflasi dan jumlah

pendapatan nasabah mempunyai pengaruh signifikan terhadap permintaan kredit

secara simultan. Secara parsial SBK dan jumlah pendapatan nasabah berpengaruh

signifikan terhadap permintaan kredit. Berarti bahwa semakin tingginya

permintaan nasabah terhadap kredit akan memudahkan strategi bank dalam hal

pemberian kredit, sehingga strategi yang diterapkan dapat berjalan optimal.

Selanjutnya kondisi tersebut juga akan berpengaruh terhadap baik tidaknya LDR

dari suatu bank. Dengan dukungan penelitian sebelumnya maka dapat diduga

bahwa, pendapatan nasabah yang merupakan variabel indikator dari faktor

eksternal berpengaruh positif dan signifikan terhadap LDR melalui strategi

pemberian kredit sebagai pemediasi baik secara langsung maupun tidak langsung

pada BPR di Kabupaten Badung.


131

Indikator ketiga yang membentuk variabel faktor eksternal adalah

persaingan usaha antar lembaga keuangan. Dalam usahanya pihak perbankan

harus betul-betul memperhatikan kondisi lingkungan sekitar agar kegiatan usaha

yang dilakukan dapat berjalan optimal. Faktor persaingan usaha merupakan salah

satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kegiatan usaha perbankan.

Persaingan usaha dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap

keberlangsungan usaha perbankan. Semakin banyaknya lembaga keuangan yang

hadir ditengah masyarakat, menyebabkan semakin ketatnya persaingan antar

lembaga keuangan lainnya yang dapat mempengaruhi kinerja masing-masing

lembaga keuangan tersebut. Persaingan usaha antar bank dan antar lembaga

keuangan lainnya sangat berpengaruh terhadap strategi pemberian kredit oleh

perbankan, karena semakin tingginya persaingan akan menyulitkan kegiatan

usaha perbankan salah satunya dalam hal memberikan kredit kepada nasabah

(Klapper,2002).

Menurut Djiwandono (2006) salah satu faktor eksternal yang dapat

mempengaruhi kinerja usaha perbankan dalam menjalankan fungsinya sebagai

lembaga intermediasi adalah faktor persaingan usaha. Persaingan usaha yang

sehat dan kompetitif akan menciptakan suasana yang nyaman dan merangsang

lahirnya produk-produk perbankan yang lebih inovatif dan variatif, sehingga

masyarakat akan lebih berminat menjadi nasabah. Semakin banyaknya lembaga

keuangan yang hadir di masyarakat, akan menyebabkan lembaga keuangan

berlomba-lomba untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat

dalam rangka menarik hati nasabahnya. Sehingga faktor persaingan usaha dapat
132

memberikan pengaruh positif bagi perbankan dalam menjalankan peran

intermediasi. Dari uraian tersebut maka diduga persaingan usaha yang merupakan

indikator dari variabel faktor eksternal BPR di Kabupaten Badung berpengaruh

signifikan terhadap LDR melalui strategi pemberian kredit sebagai pemediasi baik

secara langsung maupun tidak langsung.

Indikator keempat yang membentuk variabel faktor eksternal adalah

lokasi. Menurut Kasmir (2004) lokasi bank tidak bisa ditentukan sembarangan

melainkan harus mempertimbangkan beberpa faktor. Hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam menentukan lokasi operasional suatu bank adalah dengan

pertimbangan dekat dengan kawasan industri, perkantoran, pasar, perumahan

masyarakat. Lokasi dalam hal ini tidak hanya lokasi fisik melainkan sejauh mana

pihak bank mampu menyesuaikan diri dengan kondisi geografis dan keadaan alam

sekitar. Semakin strategis lokasi suatu bank akan mempermudah dalam

menjalankan usahanya. Menurut Agilwaseso (2014) lokasi bank yang strategis

akan mempermudah strategi dalam hal pemberian kredit kepada nasabah yang

diikuti dengan meningkatnya jumlah kredit yang disalurkan. Berarti bahwa lokasi

memiliki hubungan yang positif terhadap strategi pemberian kredit yang

dilakukan oleh pihak perbankan. Menurut Adlani (2010) penentuan lokasi suatu

bank merupakan kebijakan yang sangat penting, bank yang berada di lokasi yang

strategis sangat memudahkan nasabah untuk bertransaksi. Hal tersebut akan

meningkatkan minat masayarakat untuk menggunakan produk-produk yang

ditawarkan oleh pihak perbankan dan strategi yang dilakukan oleh pihak bank

juga akan dapat berjalan optimal.


133

Halim (2010) menyatakan bahwa faktor lokasi merupakan faktor yang

paling dominan berpengaruh terhadap fungsi intermediasi perbankan yang dilihat

dari LDR melalui keputusan nasabah dalam menggunakan jasa layanan

perbankan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Fajryah (2013) yang

menyatakan bahwa lokasi memiliki pengaruh yang positif terhadap LDR melalui

strategi pemberian kredit perbankan. Dari uraian tersebut dan dengan dukungan

penelitian seblumnya diduga bahwa lokasi yang merupakan variabel indikator dari

faktor eksternal BPR di Kabupaten Badung memiliki hubungan dan pengaruh

yang positif terhadap strategi pemberian kredit dan berdampak pada kondisi LDR.

Dari uraian masing-masing indikator yang membentuk variabel faktor eksternal

BPR yang terdiri dari inflasi, pendapatan nasabah, persaingan usaha dan lokasi

diduga faktor eksternal bank berpengaruh positif terhadap strategi pemberian

kredit yang berarti bahwa semakin baik kondisi eksternal BPR di Kabupaten

Badung strategi pemberian kredit juga akan dapat berjalan dengan efektif yang

berdampak pada membaiknya kondisi LDR.

Dari penjelasan yang telah dikemukakan, dapat diduga bahwa faktor

eksternal berpengaruh terhadap LDR secara langsung maupun tidak langsung

melalui strategi perbankan dalam rangka menyalurkan kreditnya kepada nasabah.

Secara tidak langsung faktor eksternal seperti kondisi perekonomian, persaingan

usaha, serta lokasi tempat operasional suatu bank dalam melakukan usaha, dapat

menjadi faktor penentu keberhasilan strategi dalam hal pemasaran kredit.

Pernyataan tersebut didasarkan atas penelitian terdahulu yang salah satunya

adalah penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2009) dalam penelitiannya yang
134

berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Kredit dan Dampaknya

Terhadap NPL”. Dijelaskan dalam penelitiannya bahwa faktor eksternal

lingkungan bank yang dibentuk oleh indikator keadaan alam, kondisi

perekonomian dan persaingan usaha berpengaruh positif signifikan terhadap

strategi pemberian kredit. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Artini (2015)

dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh Faktor Internal dan

Eksternal Terhadap Pemberian Kredit dan Dampaknya Terhadap NPL pada LPD

di Kabupaten Gianyar. Dalam penelitannya dijelaskan bahwa faktor eksternal

yang dibentuk oleh indikator kondisi perekonomian dan persaingan usaha

berpengaruh positif signifikan terhadap strategi pemberian kredit.

2.15 Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan atas dasar permasalahan yang terjadi secara

empiris di Provinsi Bali dan terkonsentrasi di Kabupaten Badung, dikarenakan

jumlah BPR terbanyak berada di kabupaten serta mengacu pada penelitian-

penelitian sebelumnya. Penelitian ini mempunyai dasar yang kuat dalam

penyajian materi, pemantapan variabel maupun konsep-konsep yang dipakai.

Penelitian ini didukung dengan teori, konsep dan penelitian terdahulu yang

relevan dan dikaitkan dengan permasalahan yang terjadi, sehingga menghasilkan

penelitian yang berbeda dan baru dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Yang

menjadi nilai tambah dalam penelitian ini adalah variabel yang digunakan

merupakan kombinasi antara varaiabel dalam bentuk rasio dan likert. Masing-

masing indikatornya juga merupakan representasi dari variabel laten yang sesuai
135

dengan kondisi objek penelitian dalam hal ini BPR di Kabupaten Badung.

Penelitian ini menggunakan seluruh populasi sebagai sampel yang berjumlah 52

BPR, sehingga nantinya hasil yang didapat akan lebih akurat dan mampu

menggambarkan kondisi BPR yang ada di Kabupaten Badung secara lebih nyata.

Pola hubungan yang digunakan juga menguji pengaruh secara langsung maupun

tidak langsung, yang mana pada penelitian-penelitian seblumnya pola hubungan

yang diuji sebagian besar hanya sebatas hubungan langsungnya saja.

Adapun penelitian-penelitian sebelumnya yang digunakan sebagai acuan

dalam penelitian ini diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Chandra

Dewi (2009) dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Strategi

Pemberian Kredit dan Dampaknya Terhadap NPL”. Lokasi penelitian dilakukan

di seluruh BPR yang berada di Jawa Tengah dengan menggunakan sampling.

Dalam penelitiannya variabel yang digunakan adalah kondisi internal BPR,

kondisi calon debitur, kondisi lingkungan yang berpengaruh langsung terhadap

variabel strategi pemberian kredit. Selanjutnya strategi pemberian kredit

berpengaruh terhadap NPL. Hasil dari penelitiannya menyatakan bahwa seluruh

variabel berpengaruh positif dan siginifikan. Perbedaan penelitian tersebut dengan

penelitian ini adalah dari sisi lokasi penelitian, teknik sampling, variabel serta

pola hubungan masing-masing variabel. Dalam hubungan pengaruh yang diuji

pada penelitian tersebut sebatas hubungan secara langsung, namun pada penelitian

ini pola hubunganya merupakan hubungan langsung maupun tidak langsung

sesuai dengan teori yang relevan. Pada penelitian tersebut variabel yang menjadi

tujuan akhir adalah NPL namun pada penelitian ini yang menjadi tujuan akhir
136

adalah variabel LDR yang dibentuk oleh variabel indikator penyaluran kredit dan

penghimpunan DPK yang merupakan ukuran usaha perbankan berjalan dengan

baik atau tidak.

Penelitian selanjutnya yang digunakan sebagai acuan adalah penelitian

oleh Artini (2015) dengan judul “Analisis Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal

Terhadap Jumlah Kredit dan Dampaknya Terhadap NPL pada LPD di Kabupaten

Gianyar”. Dalam penelitiannya variabel yang digunakan meliputi kondisi internal

LPD, kondisi calon debitur, kondisi eksternal yang berpengaruh secara langsung

terhadap variabel pemberian kredit. Selanjutnya variabel pemberian kredit

berpengaruh terhadap NPL. Pola hubungan yang digunakan pada penelitian

tersebut juga hanya sebatas hubungan secara langsung saja, berbeda dengan

penelitian ini yang menggunakan pola hubungan secara langsung maupun tidak

langsung. Variabel yang digunakan pada penelitian tersebut tidak semunya

menggunakan variabel laten, namun pada penelitian ini variabel yang digunakan

secara keseluruhan merupakan variabel laten. Perbedaan selanjutnya juga terletak

pada objek penelitiannya, pada penelitian tersebut yang digunakan sebagai objek

adalah LPD di Kabupaten Gianyar, sedangkan pada penelitian ini adalah BPR di

Kabupaten Badung. Indikator masing-masing variabel latennya juga berbeda

disesuaikan dengan objek penelitiannya yaitu dalam penelitian ini adalah BPR.

Teknik anaslisis data yang digunakan pada penelitian tersebut menggunakan

teknik analisis data dengan Structural Equation Modeling (SEM) sedangkan pada

penelitian ini menggunakan Partial Least Squares (PLS) yang tidak

membutuhkan banyak asumsi dan jumlah sampel yang besar. Dari hasil
137

pengujiannya seluruh variabel pada penelitian tersebut berpengaruh signifikan

secara langsung.

Penelitaian selanjutnya yang menjadi acuan adalah penelitian yang

dilaukan oleh Anggraini (2014) yang berjudul “Pengaruh Faktor Internal dan

Eksternal Perbankan Terhadap Strategi Pemberian Kredit Sebagai Upaya Dalam

Meminimalkan Nilai NPL Studi Kasus pada Bank-Bank yang Beroperasi di Kota

Bengkulu”. Dalam penelitiannya variabel yang digunakan terdiri dari faktor

internal, faktor eksternal, strategi pemberian kredit dan NPL. Pola hubungannya

juga hanya menguji pengaruh secara langsung saja. Faktor internal dan eksternal

dalam penelitian tersebut berpengaruh langsung terhadap strategi pemberian

kredit dan selanjutnya strategi pemberian kredit berpengaruh terhadap NPL.

Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dan teknik analisis

data yang digunakan adalah SEM. Adapun hasilnya menyatakan bahwa seluruh

variabel berpengaruh secara signifikan. Perbedaan penelitian tersebut dengan

penelitian ini terletak pada lokasi, variabel serta model pola hubungannya.

Variabel yang digunakan dalam penelitian tersebut tidak semua menggunakan

variabel laten, sedangkan pada penelitian ini variabel yang digunukan merupakan

variabel laten secara keseluruhan. Pola hubungan pada penelitian ini yang

menguji pengaruh langsung maupun tidak langsung, mampu merepresentasikan

keadaan BPR di Kabupaten Badung secara nyata.

Penelitian selanjutanya yang menjadi acuan adalah penelitian yang

dilakukan oleh Puspita (2014) dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Strategi Pemberian Kredit dan Dampaknya terhadap Kinerja Danamon Simpan


138

Pinjam Studi pada PT. Bank Danamon Terbuka Wilayah Jawa Tengah dan Daerah

Istimewa Yogyakarta”. Dalam penelitiannya variabel yang digunakan terdiri dari

kompetensi manajer, lingkungan bisnis, strategi pemberian kredit dan kinerja.

Pola hubungan yang digunakan juga menguji pengaruh secara langsung maupun

tidak langsung. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada objek penelitian,

variabel yang digunakan serta teknik sampling. Penelitian tersebut hanya

dilakukan di satu objek bank sehingga hasil yang diperoleh bersifat lebih sempit

dibandingkan dengan penelitian ini yang menggunakan seluruh BPR di

Kabupaten Badung sebagai objek penelitian.

Beberapa penelitian terdahulu yang disebutkan dalam sub bab keaslian

penelitian, hanya merupakan bagian dari penelitian-penelitian sebelumnya yang

digunakan sebagai refrensi. Tujuannya adalah sebagai gambaran untuk

membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian

penelitian lain yang mendukung dan tidak tercantum pada sub bab keaslian

penelitian, dielaborasikan langsung dan tersebar disetiap pembahasan pada bab

bab dalam penelitian ini. Hal tersebut dilakukan agar tidak terkonsentrasi pada

satu sub bab saja sehingga terlihat menjadi kaku. Terelaborasinya penelitian-

penelitian terdahulu dan tersebar disemua bab dan sub bab dalam penelitian ini

menjadikan pernyataan dan argumentasi yang dipaparkan sifatnya lebih berdasar,

kuat dan tidak mengada-ada.

Anda mungkin juga menyukai