Anda di halaman 1dari 17

Epidemiologi dan Prevalensi Prolaps Organ Panggul

Denise Chow dan Larissa V. Rodrı´guez

Tujuan Resensi
Tujuan dari resensi ini adalah untuk membahas epidemiologi dan prevalensi
prolaps organ panggul.

Temuan Terbaru
Terdapat peningkatan permintaan untuk perawatan dasar panggul karena populasi
lansia meningkat jumlahnya. Identifikasi faktor risiko yang dapat dimodifikasi
dapat membantu dalam konseling pasien dan pencegahan pada pasien yang
berisiko terjadinya prolaps organ panggul.

Ringkasan
Karena populasi lansia diperkirakan akan berlipat ganda jumlahnya pada tahun
2030. Kasus prolaps organ panggul akan menjadi lebih sering ditemukan.
Semakin banyak pasien wanita yang akan datang ke penyedia layanan kesehatan
dengan prolaps organ panggul. Oleh karena itu, kita perlu pemahaman yang lebih
baik tentang angka kejadian, faktor risiko, prevalensi, perjalanan penyakit,
implikasi klinis, dan pilihan pengobatan. Pemahaman ini tidak hanya akan
meningkatkan kemampuan dokter untuk merawat populasi pasien yang terus
bertambah ini, tetapi juga akan membantu dokter untuk mengembangkan strategi
pencegahan memperbaiki kondisi pasien ini.

Kata Kunci
Epidemiologi, Prolaps Organ Panggul, Prevalensi, Faktor Risiko.
PENDAHULUAN

Prolaps organ panggul (POP) adalah suatu kondisi yang terjadi ketika

perlekatan dan jaringan penyokong normal melemah sehingga organ panggul

menurun ke dalam saluran vagina. Proses alami POP tidak sepenuhnya dipahami,

dan data yang tersedia langka. Mengingat kurangnya penelitian yang

mengevaluasi peran strategi pencegahan POP, dokter memiliki keterbatasan dalam

memberi konseling kepada pasien mengenai pencegahan POP. Terapi untuk POP

meliputi manajemen dan pembedahan konservatif. Perawatan POP memerlukan

biaya yang tinggi, dan risiko kekambuhan yang tinggi setelah operasi, oleh karena

itu POP dapat menimbulkan beban keuangan maupun kesehatan. Dengan

memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kejadian dan prevalensi POP,

faktor risiko yang terkait, dan riwayat alaminya, kita dapat meningkatkan

kemampuan kita untuk merawat populasi pasien yang semakin banyak ini dan

membantu kita mengembangkan strategi pencegahan untuk memperbaiki

penderitaan pasien dengan kondisi ini. Dalam resensi ini, kami akan

mendefinisikan manifestasi klinis POP dan mempertimbangkan dampak

epidemiologisnya.

PREVELANSI PROLAPS ORGAN PANGGUL DAN DAMPAK

KESEHATAN MASYARAKATNYA

Disfungsi dasar panggul meliputi sekelompok kondisi termasuk

inkontinensia urin dan feses, POP, disfungsi buang air besar, disfungsi seksual,

kelainan sensorik pada saluran kemih bagian bawah, dan nyeri panggul. Secara
khusus, POP adalah komponen disfungsi dasar panggul dan menyebabkan

masalah kesehatan utama bagi wanita tua, karena mempengaruhi setengah dari

semua wanita di atas usia 50 tahun [1]. Pembedahan POP adalah salah satu

indikasi paling sering untuk pembedahan ginekologis [2] dengan histerektomi

menjadi prosedur yang paling umum [3]. Kemungkinan seseorang memerlukan

operasi tunggal untuk POP atau inkontinensia pada usia 80 tahun adalah 11% [4],

sedangkan kemungkinan seseorang selama hidupnya memerlukan operasi POP

adalah 19% [5]. Meskipun perawatan bedah yang memadai, risiko diperlukannya

operasi ulang mendekati 30% [4]. Di AS, lebih dari 226.000 wanita menjalani

pembedahan untuk POP setiap tahun, dan biaya langsung POP diperkirakan lebih

dari $ 1 miliar [6]. Tidak hanya biaya perawatan kesehatan langsung, tetapi biaya

tidak langsung terkait dengan cuti dan hilangnya upah harus dipertimbangkan.

Mengingat biaya tinggi terkait dengan pengobatan dan risiko kekambuhan yang

tinggi setelah operasi, POP dapat menimbulkan beban keuangan maupun

kesehatan yang signifikan.

Dengan bertambahnya populasi lansia, beban keuangan POP secara umum

dan pribadi diperkirakan akan meningkat. Selain itu, populasi lansia dengan usia

65 tahun ke atas berjumlah 30 juta pada tahun 1988, diperkirakan akan mencapai

50 juta pada 2019 [5], sehingga meningkatkan permintaan ahli geriatri dan

spesialis dasar panggul. Jumlah wanita dengan POP diperkirakan meningkat

hampir 50% dari 2010 hingga 2050 [7]. Dengan pemahaman yang lebih baik

tentang epidemiologi, faktor-faktor risiko yang terkait, dan perjalanan penyakit,

kita dapat meningkatkan kemampuan kita untuk merawat populasi pasien yang
semakin banyak ini dan mengembangkan lebih lanjut strategi pencegahan untuk

merawat pasien dengan kondisi ini.

STUDI EPIDEMIOLOGI TERBARU

Studi epidemiologi tentang POP jarang dilakukan karena kesulitan dalam

pengukuran metodologis standar untuk mengevaluasi ada atau tidaknya POP,

derajat POP dan dampaknya pada gejala yang terkait. Meskipun idealnya, studi

epidemiologi POP akan memerlukan kriteria yang jelas dan terstandarisasi,

banyak studi yang ada hingga saat ini menggunakan berbagai metodologi

pelaporan termasuk pemeriksaan fisik [8-12], penilaian gejala [13], atau tingkat

operasi di rumah sakit. Dapat dilihat pada Tabel 1 [14,15]. Metodologi penilaian

dan diagnosis POP pada pemeriksaan fisik juga beragam. Studi tersebut telah

menggunakan BadenWalker Halfway System [16] dan Sistem Penilaian Kesehatan

Wanita/ Women's Health Initiative (WHI) [8]. Dalam upaya untuk membakukan

evaluasi pemeriksaan fisik, sistem kuantifikasi Prolaps Organ Pelvis/ Pelvic

Organ Prolapse Quantification System (POP-Q) dikembangkan [17]. Meskipun

penggunaan sistem tersebut telah sering digunakan sebagai bahasa umum di

antara dokter dan peneliti untuk mengevaluasi dampak POP, penggunaan sistem

tersebut dirasa kurang universal [18]. Mengingat sifat subyektif dari gejala yang

dikeluhkan dan karena POP adalah diagnosis yang ditentukan oleh pemeriksaan

fisik, biaya dan kesulitan logistik dari studi pada populasi besar dengan

pemeriksaan panggul standar telah membatasi kemampuan kita untuk

mengevaluasi epidemiologi dan perjalanan penyakit dari POP. Namun demikian,

kontribusi penting telah dilakukan untuk bidang ini.


Tabel 1. Prevalensi dan Insidensi Prolaps Organ Panggul

PERJALANAN PENYAKIT PROLAPS ORGAN PANGGUL: HAL APA

YANG TIDAK KITA KETAHUI

Terdapat sedikit informasi tentang evolusi POP dari waktu ke waktu dan

tentang prevalensi POP di masyarakat. Telah disepakati bahwa beberapa derajat

prolaps lazim ditemukan pada wanita tua [11,12]. Sebagian besar penelitian,

seperti Women's Health Initiative Study, berfokus pada wanita pascamenopause.

Dalam populasi umum, tampaknya ditemukan beberapa penurunan jaringan


penyokong vagina pada pasien yang datang untuk perawatan ginekologi rutin

[1,19].

Prevalensi POP berkisar 25-97% dari seluruh populasi, tergantung pada

stadium yang ditentukan sebagai nilai cutoff [11]. Sebuah survei terhadap wanita

yang tinggal di suatu daerah mengungkapkan 6% prevalensi POP berdasarkan

gejala dan tingkat keluhan.[20] Satu penelitian observasional, dilakukan pada

wanita berusia 18-82 tahun yang datang untuk perawatan ginekologi rutin yang

menjalani pemeriksaan POP-Q, melaporkan bahwa 6,4% dari pasien memiliki

POP-Q stadium 0, 43,3% memiliki stadium 1, 47,7% memiliki stadium 2, dan

2,6% stadium 3 [19]. Oleh karena itu, menurut data ini, sebagian besar wanita

memiliki beberapa tingkat POP. Namun, pada wanita dengan derajat prolaps yang

tinggi, masih terdapat sedikit penelitian tentang hubungan derajat prolaps

berdasarkan pemeriksaan fisik dengan keluhan simptomatik.

Dalam upaya untuk mengevaluasi perjalanan penyakit POP, pengamatan

jangka pendek pada populasi kecil wanita menemukan bahwa 47% wanita

memiliki pemeriksaan POP-Q yang tidak berubah setelah 5 tahun. [21] Yang

mengejutkan, 40% wanita menunjukkan regresi. Dalam studi yang sama, hanya

6% dari pasien POP simtomatik berkembang menjadi lebih parah, dan hanya 2%

dari kontrol berubah menjadi prolaps yang simptomatik. Meskipun tampaknya

hanya sedikit persentase pasien yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu,

perlu dicatat bahwa studi ini terbatas, karena jumlah pasien kecil dan terbatas pada

populasi yang melakukan perawatan medis rutin. Oleh karena itu, data tentang

prevalensi dan perjalanan penyakit POP tetap sedikit.


Studi oleh WHI meneliti wanita di AS usia 50-79 tahun dengan prolaps

yang dilaporkan berdasarkan pemeriksaan WHI (grade 1-3, di mana grade 1

mewakili prolaps pada vagina, grade 2 sampai introitus, dan grade 3 keluar dari

introitus) dan menemukan prevalensi prolaps adalah 41,1%, dengan sekitar

sepertiga melibatkan kompartemen vagina anterior, 18% posterior, dan 14,2%

uterus [8,9]. Dengan demikian, dinding vagina anterior tampaknya menjadi

kompartemen yang paling sering mengalami prolaps. Ketika menggunakan POP-

Q, yang mengukur prolaps pada atau di luar selaput dara, prevalensi prolaps

dilaporkan 23,6 hingga 49,4% selama masa follow up 4 tahun [12].

Di masa depan, untuk mendapatkan tingkat prevalensi yang benar dan

untuk mengikuti perjalanan penyakit dan perkembangan POP pada populasi

umum, studi observasional skala besar pada wanita premenopause dan

postmenopause perlu dilakukan. Kriteria standar, termasuk penggunaan sistem

penilaian prolaps spesifik serta skor keluhan yang berkaitan perlu ditetapkan.

FAKTOR RISIKO DARI PROLAPS ORGAN PANGGUL

Sejumlah faktor risiko POP telah diidentifikasi (Tabel 2). Usia dan paritas

vagina [8,19,22] telah dipercaya sebagai kontributor paling signifikan terhadap

perkembangan POP. Diyakini bahwa terdapat kerusakan pada neuromuskular dan

jaringan ikat dasar panggul, yang berkontribusi terhadap pelemahan dan

penurunan dasar panggul [23]. Hal ini dapat terjadi melalui proses fisiologis

karena persalinan pervaginam [24] atau seiring berjalannya waktu akibat gravitasi

dan proses penuaan [25].


Penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko potensial yang dapat

dimodifikasi dalam upaya untuk mengurangi risiko POP.

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa insiden prolaps lebih tinggi

pada usia lanjut. Usia telah ditemukan berkaitan dengan gejala dasar panggul yang

lebih tinggi dan tidak tergantung pada status menopause [26]. Menopause telah

ditemukan sebagai faktor risiko independen untuk prolaps di luar selaput dara

[27].

Selain usia dan status menopause, genetika adalah faktor risiko yang tidak

dapat dimodifikasi yang telah terbukti meningkatkan risiko terjadinya POP tiga

kali lipat hingga lima kali lipat [28,29]. Dalam satu penelitian, pasangan saudara

pascamenopause nulipara dan parous dinilai untuk POP. Terdapat kesepakatan

bahwa POP yang tinggi ditemukan pada pasangan saudara dengan persalinan

pervaginam memberikan risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya POP pada

saudara lainnya [30]. Kemungkinan terdapat hubungan genetik dengan risiko

relatif pada saudara kandung pasien dengan POP yaitu peningkatan risiko lima

kali lipat dibandingkan dengan populasi umum [28].

Studi berbasis populasi telah menunjukkan bahwa angka kejadian POP di

ras Kaukasia lebih tinggi dari ras Hispanik dan ras Afrika-Amerika [31]. Faktor

yang berkontribusi mungkin disebabkan karena morfologi dasar panggul di mana

ditemukan bahwa wanita Kaukasia memiliki anatomi panggul yang berbeda, yang

mungkin menyebabkan ras Kaukasia memiliki risiko lebih besar untuk prolaps

daripada wanita Afrika-Amerika [32].


Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti usia, status menopause,

riwayat keluarga, dan ras harus dipertimbangkan dalam diskusi dengan pasien

mengenai prolaps organ panggul. Dokter juga harus mengatasi faktor risiko yang

dapat dimodifikasi dalam gaya hidup mereka untuk mencegah perkembangan

prolaps.

Tabel 2. Faktor Risiko Prolaps Organ Pelvis

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

Paritas pervaginam sangat berhubungan dengan timbulnya POP [29].

Selain itu, ukuran bayi juga telah terbukti meningkatkan kemungkinan POP

[11,33]. Persalinan per vaginam operatif dengan penggunaan forsep telah

dikaitkan dengan peningkatan tiga kali kemungkinan trauma levator [34] dan

dapat meningkatkan kemungkinan cedera levator dan terjadinya prolaps [35].

Peningkatan risiko ini dianggap terjadi secara sekunder akibat peregangan,

kompresi, atau avulsi selama persalinan yang menyebabkan kerusakan struktural

dan / atau denervasi otot levator ani yang menyebabkan gangguan dasar panggul

[36,37,38]. Pasien dengan riwayat laserasi perineum lebih dari satu kali memiliki

kemungkinan peningkatan prolaps [39]. Persalinan pervaginam jika dibandingkan

dengan operasi caesar dapat meningkatan risiko gejala POP dan menghasilkan
POP [33, 39]. Wanita yang menjalani persalinan pervaginam dibandingkan

dengan pasien dengan operasi caesar tercatat mengalami penurunan kekuatan otot

panggul dan dikaitkan dengan gejala POP [40]. Sekitar satu dari 10 wanita

mengalami cedera avulsi pada otot pubococcygeus selama persalinan pervaginam

[41-43]. MRI telah mengungkapkan bahwa wanita parous dengan prolaps 4 kali

lebih mungkin menunjukkan cedera levator dibandingkan dengan wanita parous

tanpa prolaps [44,45]. Berdasarkan hasil MRI wanita nulliparous dibandingkan

dengan wanita parous yang menjalani persalinan pervaginam menunjukkan defek

levator ani yang mungkin mempengaruhi untuk terjadinya POP [41]. Meskipun

persalinan pervaginam tampaknya merusak dasar panggul secara langsung, efek

perlindungan dari operasi caesar tetap diperdebatkan, karena studi epidemiologis

lebih lanjut yang menggabungkan faktor-faktor lain yang mungkin berkontribusi

perlu dilakukan.

Faktor risiko lain yang dilaporkan terkait dengan prolaps adalah regangan

kronis akibat berat badan, sembelit, dan berbagai aktivitas, seperti bekerja dan

berolahraga [46]. Obesitas dan peningkatan BMI juga telah terbukti berperan

dalam menghasilkan POP dengan gejala POP meningkat sebesar 3% dengan

setiap peningkatan nilai BMI [33]. Beberapa ahli berpendapat hal ini mungkin

terjadi secara sekunder akibat peningkatan beban dan tekanan yang ditempatkan

pada dasar panggul [47]. Penurunan berat badan belum terbukti mengurangi

gejala prolaps yang mengganggu pada pasien kelebihan berat badan dan obesitas

[48]. Meskipun BMI dan berat badan diperkirakan menambah ketegangan kronis,

sampai saat ini, tidak ada literatur yang tersedia untuk menentukan apakah
aktivitas fisik merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi sehingga memiliki

elemen pelindung atau predisposisi. The PHysical ACTivity Study (PHACTS)

adalah sebuah studi case control yang disponsori oleh National Health Institute

yang saat ini mengevaluasi aktivitas fisik dan gangguan dasar panggul. Hasil

penelitian ini dapat menjelaskan peran latihan dalam pengembangan atau

pencegahan POP [49].

Terdapat bukti bahwa strain kronis sekunder akibat pekerjaan dapat

meningkatkan risiko POP. Wanita yang bekerja sebagai buruh atau pekerja pabrik

memiliki tingkat POP yang parah secara signifikan lebih tinggi dibandingkan

dengan wanita dengan pekerjaan yang lebih menetap [50]. Sebuah studi cross-

sectional besar menemukan bahwa sembelit meningkatkan risiko gejala POP 2,5

kali lipat tetapi tidak ditemukan meningkatkan risiko dalam penelitian lain

[51,52]. Pada wanita yang menjalani pemeriksaan ginekologi tahunan, ditemukan

bahwa mengejan saat buang air besar dikaitkan dengan prolaps dinding vagina

anterior dan penurunan perineum [53]. Ada bukti signifikan bahwa strain kronis

dapat menjadi kontributor POP. Faktor risiko lain yang kurang diteliti adalah

histerektomi dan terapi hormon.

Mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang berpotensi dimodifikasi dan

peningkatan pemahaman patofisiologi yang mendasari terhadap POP dapat

membantu mengurangi beban kesehatan pada wanita berisiko dan membantu

meningkatkan strategi pencegahan dan pengobatan.

KESIMPULAN
Populasi lansia diperkirakan akan meningkat secara signifikan pada tahun

2050. Mengingat usia lanjut adalah faktor risiko utama untuk terjadinya POP,

akan ada peningkatan jumlah pasien wanita yang datang ke penyedia layanan

kesehatan dengan POP. Sejumlah faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan tidak

dapat dimodifikasi telah diidentifikasi sebagai penyebab POP. Memulai dan

mengevaluasi intervensi yang memengaruhi risiko yang dapat dimodifikasi dapat

mengurangi insiden POP ini dan meningkatkan hasil pengobatan. Selain itu,

mengidentifikasi faktor risiko lain yang tidak dapat dimodifikasi dan genetik

dapat mengarah pada terapi yang ditargetkan untuk pengobatan POP. Untuk

memberi kita pengetahuan yang lebih baik dalam mengelola peningkatan jumlah

dari pasien yang menua dengan prolaps simptomatik, studi jangka panjang

lanjutan yang mengevaluasi kejadian, prevalensi, faktor risiko, dan peran

intervensi dapat menghasilkan pencegahan yang lebih efektif dan strategi

terapeutik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Samuelsson EC, Victor FT, Tibblin G, Svardsudd KF. Signs of genital prolapse
in a Swedish population of women 20 to 59 years of age and possible related
factors. Am J Obstet Gynecol 1999; 180 (2 Pt 1):299–305.

2. Bump RC, Norton PA. Epidemiology and natural history of pelvic floor
dysfunction. Obstet Gynecol Clin North Am 1998; 25:723–746.

3. Oliphant SS, Jones KA, Wang L, et al. Trends over time with commonly
performed obstetric and gynecologic inpatient procedures. Obstet Gynecol 2010;
116:926–931.

4. Olsen AL, Smith VJ, Bergstrom JO, et al. Epidemiology of surgically managed
pelvic organ prolapse and urinary incontinence. Obstet Gynecol 1997; 89:501–
506.

5. Smith FJ, Holman CD, Moorin RE, Tsokos N. Lifetime risk of undergoing
surgery for pelvic organ prolapse. Obstet Gynecol 2010; 116:1096–1100.

6. Subak LL, Waetjen LE, van den Eeden S, et al. Cost of pelvic organ prolapse
surgery in the United States. Obstet Gynecol 2001; 98:646–651.

7. Wu JM, Hundley AF, Fulton RG, Myers ER. Forecasting the prevalence of
pelvic floor disorders in U.S. Women: 2010 to 2050. Obstet Gynecol 2009;
114:1278–1283.

8. Hendrix SL, Clark A, Nygaard I, et al. Pelvic organ prolapse in the Women’s
Health Initiative: gravity and gravidity. Am J Obstet Gynecol 2002; 186:1160–
1166.

9. Handa VL, Garrett E, Hendrix S, et al. Progression and remission of pelvic


organ prolapse: a longitudinal study of menopausal women. Am J Obstet Gynecol
2004; 190:27–32.
10. Swift SE, Tate SB, Nicholas J. Correlation of symptoms with degree of pelvic
organ support in a general population of women: what is pelvic organ prolapse?
Am J Obstet Gynecol 2003; 189:372–377.

11. Nygaard I, Bradley C, Brandt D. Pelvic organ prolapse in older women:


prevalence and risk factors. Obstet Gynecol 2004; 104:489–497.

12. Bradley CS, Zimmerman MB, Qi Y, Nygaard IE. Natural history of pelvic
organ prolapse in postmenopausal women. Obstet Gynecol 2007; 109:848–854.

13. Nygaard I, Barber MD, Burgio KL, et al. Prevalence of symptomatic pelvic
floor disorders in US women. JAMA 2008; 300:1311–1316.

14. Boyles SH, Weber AM, Meyn L. Procedures for pelvic organ prolapse in the
United States, 1979–1997. Am J Obstet Gynecol 2003; 188:108–115.

15. Shah AD, Kohli N, Rajan SS, Hoyte L. The age distribution, rates, and types
of surgery for pelvic organ prolapse in the USA. Int Urogynecol J Pelvic Floor
Dysfunct 2008; 19:421–428.

16. Baden WF, Walker T. Fundamentals, symptoms and classification. Surgical


repair of vaginal defects. Philadelphia, Pennsylvania: J.B. Lippincott; 1992. p. 14.

17. Bump RC, Mattiasson A, Bo K, et al. The standardization of terminology of


female pelvic organ prolapse and pelvic floor dysfunction. Am J Obstet Gynecol
1996; 175:10–17.

18. Muir TW, Stepp KJ, Barber MD. Adoption of the pelvic organ prolapse
quantification system in peer-reviewed literature. Am J Obstet Gynecol 2003;
189:1632–1635.

19. Swift SE. The distribution of pelvic organ support in a population of female
subjects seen for routine gynecologic healthcare. Am J Obstet Gynecol 2000;
183:277–285.

20. Lawrence JM, Lukacz ES, Nager CW, et al. Prevalence and co-occurrence of
pelvic floor disorders in community-dwelling women. Obstet Gynecol 2008;
111:678–685.

21. Miedel A, Ek M, Tegerstedt G, et al. Short-term natural history in women


with symptoms indicative of pelvic organ prolapse. Int Urogynecol J 2010;
22:461–468.

22. Awwad J, Sayegh R, Yeretzian J, Deeb ME. Prevalence, risk factors, and
predictors of pelvic organ prolapse: a community-based study. Menopause 2012;
19:1235–1241.
23. Dietz HP, Simpson JM. Levator trauma is associated with pelvic organ
prolapse. BJOG 2008; 115:979–984.

24. DeLancey JO. The hidden epidemic of pelvic floor dysfunction: achievable
goals for improved prevention and treatment. Am J Obstet Gynecol 2005;
192:1488–1495.

25. Schaffer JI, Wai CY, Boreham MK. Etiology of pelvic organ prolapse. Clin
Obstet Gynecol 2005; 48:639–647.

26. Quiroz LH, White DE, Juarez D, Shobeiri SA. Age effects on pelvic floor &
symptoms in a cohort of nulliparous patients. Female Pelvic Med Reconstr Surg
2012; 18:325–328.

27. Sze EH, Hobbs G. A prospective cohort study of pelvic support changes &
among nulliparous, multiparous, and pre and postmenopausal women. Eur J
Obstet Gynecol Reprod Biol 2011; 160:232–235.

28. Jack GS, Nikolova G, Vilain E, et al. Familial transmission of genitovaginal


prolapse. Int Urogynecol J Pelvic Floor Dysfunct 2006; 17:498–501.

29. Levin PJ, Visco AG, Shah SH, et al. Characterizing the phenotype of
advanced pelvic organ prolapse. Female Pelvic Med Reconstr Surg 2012; 18:299–
302.

30. Buchsbaum GM, Duecy EE, Kerr LA, et al. Pelvic organ prolapse in
nulliparous women and their parous sisters. Obstet Gynecol 2006; 108:1388–
1393.

31. Kudish BI, Iglesia CB, Gutman RE, et al. Risk factors for prolapse
development in white, black, and hispanic women. Female Pelvic Med Reconstr
Surg 2012; 17:80–90.

32. Handa VL, Lockhart ME, Fielding JR, et al. Racial differences in pelvic
anatomy by magnetic resonance imaging. Obstet Gynecol 2008; 111:914–920.

33. Gyhagen M, Bullarbo M, Nielsen T, Milsom I. Prevalence and risk factors for
&& pelvic organ prolapse 20 years after childbirth: a national cohort study in
singleton primiparae after vaginal or caesarean delivery. BJOG 2012; 120:152–
160.

34. Chan SS, Cheung RY, Yiu AK, et al. Prevalence of levator ani muscle injury
in Chinese women after first delivery. Ultrasound Obstet Gynecol 2011;
35. Handa VL, Blomquist JL, McDermott KC, et al. Pelvic floor disorders after &
vaginal birth: effect of episiotomy, perineal laceration, and operative birth.
Contemp Clin Trials 2012; 33:819–827.

36. Dietz HP, Wilson PD. Childbirth and pelvic floor trauma. Best Pract Res
ClinObstet Gynaecol 2005; 19:913–924.

37. Shek KL, Dietz HP. Pelvic floor ultrasonography: an update. Minerva Ginecol
2010; 65:1–20.

38. Dietz HP. Pelvic floor trauma in childbirth. Aust N Z J Obstet Gynaecol. 2013
&& Mar 4. doi: 10.1111/ajo.12059. [Epub ahead of print]. This is a
comprehensive review of childbirth and pelvic floor trauma including discussion
of manual palpation of levator injury, ultrasound imaging for traumatic injuries,
and risk factors predisposing to prolapse.

39. Memon H, Handa VL. Pelvic floor disorders following vaginal or cesarean
delivery. Curr Opin Obstet Gynecol 2012; 24:349–354.

40. Friedman S, Blomquist JL, Nugent JM, et al. Pelvic muscle strength after
childbirth. Obstet Gynecol 2012; 120:1021–1028.

41. DeLancey JO, Kearney R, Chou Q, et al. The appearance of levator ani muscle
abnormalities in magnetic resonance images after vaginal delivery. Obstet
Gynecol 2003; 101:46–53.

42. Dietz HP, Lanzarone V. Levator trauma after vaginal delivery. Obstet Gynecol
2005; 106:707–712.

43. Kearney R, Fitzpatrick M, Brennan S, et al. Levator ani injury in primiparous


women with forceps delivery for fetal distress, forceps for second stage arrest, and
spontaneous delivery. Int J Gynaecol Obstet 2010; 111: 19–22.

44. Miller JM, Brandon C, Jacobson JA, et al. MRI findings in patients considered
high risk for pelvic floor injury studied serially after vaginal childbirth. AJR Am J
Roentgenol 2010; 195:786–791.

45. DeLancey JO, Morgan DM, Fenner DE, et al. Comparison of levator ani
muscle defects and function in women with and without pelvic organ prolapse.
Obstet Gynecol 2007; 109 (2 Pt 1):295–302.

46. Jones KA, Moalli PA. Pathophysiology of pelvic organ prolapse. Female
Pelvic && Med Reconstr Surg 2010; 16:79–89. Comprehensive discussion of the
pathophysiology of pelvic organ prolapse.
47. Miedel A, Tegerstedt G, Maehle-Schmidt M, et al. Nonobstetric risk factors
for symptomatic pelvic organ prolapse. Obstet Gynecol 2009; 113:1089–1097.

48. Myers DL, Sung VW, Richter HE, et al. Prolapse symptoms in overweight
and obese women before and after weight loss. Female Pelvic Med Reconstr Surg
2013; 18:55–59.

49. Nygaard I, Shaw J, Egger MJ. Exploring the association between lifetime
physical activity and pelvic floor disorders: study and design challenges. Obstet
Gynecol 2012; 119 (2 Pt 1):233–239.

50. Woodman PJ, Swift SE, O’Boyle AL, et al. Prevalence of severe pelvic organ
prolapse in relation to job description and socioeconomic status: a multicenter
cross-sectional study. Int Urogynecol J Pelvic Floor Dysfunct 2006; 17:340–345.

51. Annette G. Groenendijk, Erwin Birnie, et al. Contribution of Primary Pelvic


Organ Prolapse to Micturition and Defecation Symptoms, Obstetrics and
Gynecology International 2012 [Epub ahead of print]. doi:10.1155/2012/ 798035.

52. Rortveit G, Brown JS, Thom DH, et al. Symptomatic pelvic organ
prolapse:prevalence and risk factors in a population-based, racially diverse cohort.
Obstet Gynecol 2007; 109:1396–1403.

53. Kahn MA, Breitkopf CR, Valley MT, et al. Pelvic Organ Support Study
(POSST) and bowel symptoms: straining at stool is associated with perineal and
anterior vaginal descent in a general gynecologic population. Am J Obstet
Gynecol 2005; 192:1516–1522.

Anda mungkin juga menyukai