Anda di halaman 1dari 67

Laporan Kasus

Sindrom Geriatri + Malnutrisi Berat + ISK Jamur + Dispepsia Sindrom +


Hiponatremia Hipoosmolar Euvolemi +Mild Hipokalemia + LBP

Oleh :

Sanjaya Halim
1830912310091

Pembimbing :
dr. Hj. Wiwit Agung SNC, Sp.PD(K) GER

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
RSUD ULIN BANJARMASIN

Februari, 2020
DAFTAR ISI

1. HALAMAN JUDUL …………………………………………………… 1

2. DAFTAR ISI……………………………………………………………. 2

3. BAB I: PENDAHULUAN……………………………………………… 3

4. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA………………………………………. 5

5. BAB III: DATA PASIEN………………………………………………. 31

6. BAB IV: PEMBAHASA……………………………………………….. 52

7. BAB V: PENUTUP…………………………………………………….. 54

8. DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….. 56

2
BAB I

PENDAHULUAN

Lansia menurut UU no 4 tahun 1945 adalah seseorang yang telah mencapai

umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluam hidupnya

sehari-hari dan menerima nafkah dari orang. Populasi lansia (usia ≥ 60 tahun)

semakin meningkat. Diperkirakan 600 juta di tahun 2000 dan diramalkan menjadi

2 milyar di tahun 2050. Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia mengalami

peningkatan saat ini. Pada tahun 2000, penduduk berumur ≥ 60 tahun berjumlah

14.396.745 jiwa. Pada tahun 2010, jumlah tersebut meningkat menjadi 18.043.712

jiwa. Peningkatan yang terjadi disebabkan oleh meningkatnya angka harapan

hidup. Demikian juga masalah kesehatan yang ditemui pada populasi lansia

semakin banyak.

Seorang lansia akan mengalami perubahan morfologi dan fisiologi berbagai

organ atau sistem di dalam tubuhnya. Selain perubahan fisik, permasalahan

kesehatan usila juga meliputi aspek psikologis, sosial, dan ekonomi. Oleh karena

itu, pasien usila sering ditemukan dengan jumlah penyakit kronis yang lebih dari

satu dan kondisi ini disebut dengan multipatologi.

Karakteristik penderita geriatri yang pertama, multipatologi yaitu pada satu

penderita terdapat lebih dari satu penyakit yang umumnya bersifat kronik

degeneratif. Kedua, menurunnya fungsi daya cadangan yang menyebabkan

penderita geriatri sangat mudah mengalami syncope dalam kondisi gagal pulih

(failure to thrive). Karakteristik kedua terjadi akibat penurunan fungsi berbagai

organ atau sistem organ, yang walaupun normal untuk usianya namun telah

3
menandakan menurunnya fungsi daya cadangan. Ketiga, berubahnya gejala dan

tanda penyakit dari yang klasik misalnya, pada pneumonia tidak dijumpai gejala

khas seperti batuk, demam, dan sesak melainkan syncope atau terdapat perubahan

kesadaran. Keempat, terganggunya status fungsional penderita geriatri. Status

fungsional adalah kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas hidup sehari‐

hari. Keadaan status fungsional menggambarkan kemampuan umum seseorang,

sekaligus menggambarkan kondisi kesehatannya secara umum. Kelima, sering

terdapat gangguan nutrisi, berupa gizi kurang atau gizi buruk. 1,5,6,9

Pada umumnya, penyakit-penyakit yang terjadi pada lanjut usia termasuk

juga penyakit infeksi serimg memberikan gejala-gejala yang tidak jelas, sehingga

memerlukan kecermatan untuk segera dapat mengenalnya, karena penaganan atau

pengobatan yang terlambat terhadap penyakit infeksi dapat berakibat fatal. Pada

infeksi slauran kemih misalnya, lansia sering tidak mengalami demam atau hanya

demam ringan disertai nyeri perut ringan bahkan hanya didapati nafsu makan

berkurang atau tidak ada sama sekali, rasa lelah disertai penampilan seperti orang

bingung yang dialami dalam beberapa hari ini, yang jelas berbeda dengan gejala-

gejala penyakit pada infeksi orang dewasa. Infeksi yang disertai malnutrisi

dihubungkan dengan kejadian buruk pada pasien geriatri karena dapat

meningkatkan morbiditas, mortalitas, perpanjangan masa rawat di rumah sakit,

keterlambatan pemulihan pasca rawat, meningkatnya komplikasi yang mengancam,

gangguan fungsi, kualitas hidup yang buruk, meningkatnya morbiditas, terjadinya

gangguan elektrolit, anemia, dan keletihan.3

4
Gejala-gejala penyakit infeksi yang tidak khas tadi bukan saja perlu dikenal
dan dipahami oleh dokter ataupun petugas kesehatan lainnya tetapi perlu juga
dikenal dan dipahami oleh masyarakat awam agar sesegera mungkin membawa
lansia untuk mendapat pengobatan. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
melaporkan satu kasus Sindrom Geriatri + ISK Jamur + Malnutrisi Berat +
Dispepsia Sindrom + LBP + Hiponatremia Hiperosmolar + Hipoalbumin +
Hipokalemia pada seorang pasien perempuan berusia 71 tahun yang dirawat inap
di RSUD Ulin Banjarmasin pada bulan Januari 2020.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Sindrom geriatri adalah serangkaian kondisi klinis pada orang tua yang

dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan dikaitkan dengan kecacatan.

Tamplan klinis yang tidak khas sering membuat sindrom geriatri tidak

terdiagnosis.3

Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinesia,

ketergantungan fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan angka

morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua yang lemah.

Sindrom ini biasanya melibatkan beberapa sistem organ. Sindrom geriatrik

mungkin memiliki kesamaan patofisiologi meskipun presentasi yang berbeda, dan

memerlukan interventasi dan strategi yang berfokus terhadap faktor etiologi.4

Dalam menilai kesehatan lansia perlu dibedakan antara perubahan akibat

penuaan dengan perubahan akibat proses patologis. Beberapa problema klinik dari

penyakit pada lanjut usia yang sering dijumpai.3,5,

Sindrom geriatri antara lain:6

- “The O Complex” : fall, confusion, incontinence, iatrogenic disorders,

impaired homeostasis

- “The Big Three”: Intelectual failure, instability, incontinence

6
- “The 14 I” : Immobility, impaction, Instability, iatrogenic, intelectual

Impairment, Insomnia, Incontinence, Isolation, Impotence, Immunodeffciency,

Infection, Inanition, Impairment of Vision, Smelling, Hearing, Impecunity.

Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau

lebih, diiringi gerak anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan fungsi

fisiologis. Gangguan keseimbangan (Instabilitas) akan memudahkan pasien geriatri

terjatuh dan dapat mengalami patah tulang. Inkontinesia urin didefinisikan sebagai

keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa

memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, sehingga mengakibatkan masalah sosial

dan higienis. Inkontinesia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau

keluarganya karena malu atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan dan

menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar pada orang usia lanjut serta tidak perlu

diobati. Gangguan depresi pada usia lanjut kurang dipahami sehingga banyak kasus

tidak dikenali. Gejala depresi pada usia lanjut seringkali dianggap sebagai bagian

dari proses menua. Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi sistem

imun pada usia lanjut. Infeksi yang sering dijumpai adalah infeksi saluran kemih,

pneumonia, sepsis, dan meningitis. Kondisi lain seperti kurang gizi, multipatologi

dan faktor lingkungan memudahkan usia lanjut terkena infeksi.3,4

Gangguan penglihatan dan pendengaran juga sering dianggap sebagai hal

yang biasa akibat proses menua. Gangguan penglihatan berhubungan dengan

penurunan kegiatan waktu senggang, status fungsional, gunsi sosial, dan mobilitas.

Gangguan penglihatan dan pendengaran berhubungan dengan kualitas hidup,

meningkatkan disabiltas fisik, ketidakseimbangan, jatuh, fraktur panggul dan

7
mobilitas. Pasien geriatri sering disertai penyakit kronis degeneratif. Masalah yang

muncul sering tumpang tindih dengan gejala yang sudah lama diderita sehingga

tampilan gejla menjadi tidak jelas. Penyakit degeneratif yang banyak dijumpai pada

pasien geriatri adalah hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, osteoartritis, dan

penyakit kardiovaskular.4

B. Epidemiologi

Prevalensi usia lanjut lebih dari 60 tahun meningkat lebih cepat

dibandingkan populasi kelompok umur lainnya karena peningkatan angka harapan

hidup dan penurunan angka kelahiran. Data demografi dunia menunjukkan

peningkatan populasi usia lanjut 60 tahun atau lebih meningkat tiga kali lipat dalam

waktu 50 tahun; dari 600 juta pada tahun 2000 menjadi lebih dari 2 miliar pada

tahun 2050.7

Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia mencapai peringkat lima besar

terbanyak di dunia, yakni 18,1 juta pada tahun 2010 dan akan meningkat dua kali

lipat menjadi 36 juta pada tahun 2025. Angka harapan hidup penduduk Indonesia

mencapai 67,8 tahun pada tahun 2000-2005 dan menjadi 73,6 tahun pada tahun

2020- 2025.Proporsi usia lanjut meningkat 6% pada tahun 1950-1990 dan menjadi

8% saat ini. Proporsi tersebut diperkirakan naik menjadi 13% pada tahun 2025 dan

menjadi 25% pada tahun 2050. Pada tahun 2050 seperempat penduduk Indonesia

merupakan penduduk usia lanjut, dibandingkan seperduabelas penduduk Indonesia

saat ini.7,8

8
C. Klasifikasi

Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering

dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut Solomon dkk:

The “13 i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability (instabilitas dan

jatuh), Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia dan

delirium), Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation (depresi), Impotence

(impotensi), Immuno- deficiency (penurunan imunitas), Infection (infeksi),

Inanition (malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan tidur),

Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenic) dan Impairement of hearing, vision and

smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman).9

a. Imobilisasi

Didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari

atau lebih, dengan gerak anatomi tubuh menghilang akibat perubahan fungsi

fisiologis. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan

imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri,

lemah, kekakuan otot, ketidak seimbangan, dan masalah psikologis. Beberapa

informasi penting meliputi lamanya menderita disabilitas yang menyebabkan

imobilisasi, penyakit yang mempengaruhi kemampuan mobilisasi, dan pemakaian

obat-obatan untuk mengeliminasi masalah iatrogenesis yang menyebabkan

imobilisasi.

b. Instability (Instabilitas dan Jatuh)

Terdapat banyak faktor yang berperan untuk terjadinya instabilitas dan jatuh

9
pada orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut dapat diklasifikasikan sebagai

faktor intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik

(faktor yang terdapat di lingkungan). Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan

masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah: mengobati berbagai kondisi yang

mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa

latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai,

serta mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup,

pegangan, lantai yang tidak licin.

c. Incontinence (Inkontinensia Urin dan Alvi)

Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak

dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu sehingga menimbulkan masalah

sosial dan atau kesehatan. Inkontinensia urin merupakan salah satu sindroma

geriatrik yang sering dijumpai pada usia lanjut. Diperkirakan satu dari tiga wanita

dan 15-20% pria di atas 65 tahun mengalami inkontinensia urin. Inkontinensia urin

merupakan fenomena yang tersembunyi, disebabkan oleh keengganan pasien

menyampaikannya kepada dokter dan di lain pihak dokter jarang mendiskusikan

hal ini kepada pasien.10 International Consultation on Incontinence, WHO

mendefinisikan Faecal Incontinence sebagai hilangnya tak sadar feses cair atau

padat yang merupakan masalah sosial atau higienis. Definisi lain menyatakan,

Inkontinensia alvi/fekal sebagai perjalanan spontan atau ketidakmampuan untuk

mengendalikan pembuangan feses melalui anus. Kejadian inkontinensia alvi/fekal

lebih jarang dibandingkan inkontinensia urin.11

10
d. Intelectual Impairement (Gangguan Intelektual Seperti Demensia dan Delirium)

Keadaan yang terutama menyebabkan gangguan intelektual pada pasien

lanjut usia adalah delirium dan demensia. Demensia adalah gangguan fungsi

intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak

berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Demensia tidak hanya masalah

pada memori. Demensia mencakup berkurangnya kemampuan untuk mengenal,

berpikir, menyimpan atau mengingat pengalaman yang lalu dan juga kehilangan

pola sentuh, pasien menjadi perasa, dan terganggunya aktivitas

e. Infection (infeksi)

Infeksi pada usia lanjut (usila) merupakan penyebab kesakitan dan kematian

no. 2 setelah penyakit kardiovaskular di dunia. Hal ini terjadi akibat beberapa hal

antara lain: adanya penyakit komorbid kronik yang cukup banyak, menurunnya

daya tahan/imunitas terhadap infeksi, menurunnya daya komunikasi usia sehingga

sulit/jarang mengeluh, sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini. Ciri utama pada

semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan meningkatnya temperatur badan,

dan hal ini sering tidak dijumpai pada usia lanjut, 30-65% usia lanjut yang terinfeksi

sering tidak disertai peningkatan suhu badan, malah suhu badan dibawah 36OC

lebih sering dijumpai. Keluhan dan gejala infeksi semakin tidak khas antara lain

berupa konfusi/delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba,

badan menjadi lemas, dan adanya perubahan tingkah laku sering terjadi pada pasien

usia lanjut.5,6

11
f. Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan

dan penciuman)

Gangguan pendengaran sangat umum ditemui pada geriatri. Prevalensi

gangguan pendengaran sedang atau berat meningkat dari 21% pada kelompok usia

70 tahun sampai 39% pada kelompok usia 85 tahun. Pada dasarnya, etiologi

gangguan pendengaran sama untuk semua umur, kecuali ditambah presbikusis

untuk kelompok geriatri.

Otosklerosis biasanya ditemui pada usia dewasa muda, ditandai dengan

terjadinya remodeling tulang di kapsul otik menyebabkan gangguan pendengaran

konduktif, dan jika penyakit menyebar ke telinga bagian dalam, juga dapat

menimbulkan gangguan sensorineural. Penyakit Ménière adalah penyakit telinga

bagian dalam yang menyebabkan gangguan pendengaran berfluktuasi, tinnitus dan

pusing. Gangguan pendengaran karena bising yang disebabkan oleh energi akustik

yang berlebihan yang menyebabkan trauma permanen pada sel-sel rambut.

Presbikusis sensorik yang sering sekali ditemukan pada geriatri disebabkan oleh

degenerasi dari organ korti, dan ditandai gangguan pendengaran dengan frekuensi

tinggi. Pada pasien juga ditemui adanya gangguan pendengaran sehingga sulit

untuk diajak berkomunikasi. Penatalaksanaan untuk gangguan pendengaran pada

geriatri adalah dengan cara memasangkan alat bantu dengar atau dengan tindakan

bedah berupa implantasi koklea.

Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari

pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan

12
oleh usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan

sebelumnya. Masalah polifarmasi pada pasien geriatri sulit dihindari dikarenakan

oleh berbagai hal yaitu penyakit yang diderita banyak dan biasanya kronis, obat

diresepkan oleh beberapa dokter, kurang koordinasi dalam pengelolaan, gejala yang

dirasakan pasien tidak jelas, pasien meminta resep, dan untuk menghilangkan efek

samping obat justru ditambah obat baru. Karena itu diusulkan prinsip pemberian

obat yang benar pada pasien geriatri dengan cara mengetahui riwayat pengobatan

lengkap, jangan memberikan obat sebelum waktunya, jangan menggunakan obat

terlalu lama, kenali obat yang digunakan, mulai dengan dosis rendah, naikkan

perlahan-lahan, obati sesuai patokan, beri dorongan supaya patuh berobat dan hati-

hati mengguakan obat baru (Setiati dkk.,2006).

g. Isolation (Depression)

Isolation (terisolasi) dan depresi, penyebab utama depresi pada usia lanjut

adalah kehilangan seseorang yan disayangi, pasangan hidup, anak, bahkan binatang

peliharaan. Selain itu kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan,

menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi. Keluarga yang mulai

mengacuhkan karena merasa direpotkan menyebabkan pasien akan merasa hidup

sendiri dan menjadi depresi. Beberapa orang dapat melakukan usaha bunuh diri

akibat depresi yang berkepajangan

h. Inanition (malnutrisi)

13
Kelemahan nutrisi merujuk pada hendaya yang terjadi pada usia lanjut

karena kehilangan berat badan fisiologis dan patologis yang tidak disengaja.

Anoreksia pada usia lanjut merupakan penurunan fisiologis nafsu makan dan

asupan makan yang menyebabkan kehilangan berat badan yang tidak diinginkan

Pada pasien, kekurangan nutrisi disebabkan oleh keadaan pasien dengan gangguan

menelan, sehingga menurunkan nafsu makan pasien.

i. Impecunity (kemiskinan)

Impecunity (kemiskinan), usia lansia dimana seseorang menjadi kurang

produktif (bukan tidak produktif) akibat penurunan kemampuan fisik untuk

beraktivitas. Usia pensiun dimana sebagian dari lansia hanya mengandalkan hidup

dari tunjangan hari tuanya. Pada dasarnya seorang lansia masih dapat bekerja,

hanya saja intensitas dan beban kerjanya yang harus dikurangi sesuai dengan

kemampuannya, terbukti bahwa seseorang yang tetap menggunakan otaknya

hingga usia lanjut dengan bekerja, membaca, dsb., tidak mudah menjadi “pikun” .

Selain masalah finansial, pensiun juga berarti kehilangan teman sejawat, berarti

interaksi sosialpun berkurang memudahakan seorang lansia mengalami depresi.

j. Iatrogenic

Iatrogenics (iatrogenesis), karakteristik yang khas dari pasien geriatri yaitu

multipatologik, seringkali menyebabkan pasien tersebut perlu mengkonsumsi obat

yang tidak sedikit jumlahnya. Akibat yang ditimbulkan antara lain efek samping

dan efek dari interaksi obat-obat tersebut yang dapat mengancam jiwa. Pemberian

obat pada lansia haruslah sangat hati-hati dan rasional karena obat akan

14
dimetabolisme di hati sedangkan pada lansia terjadi penurunan fungsi faal hati

sehingga terkadang terjadi ikterus (kuning) akibat obat. Selain penurunan faal hati

juga terjadi penurunan faal ginjal (jumlah glomerulus berkurang), dimana

sebagaian besar obat dikeluarkan melalui ginjal sehingga pada lansia sisa

metabolisme obat tidak dapat dikeluarkan dengan baik dan dapat berefek toksik.

k. Insomnia

Insomnia, dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup yang

menyebabkan seorang lansia menjadi depresi. Selain itu beberapa penyakit juga

dapat menyebabkan insomnia seperti diabetes melitus dan hiperaktivitas kelenjar

thyroid, gangguan neurotransmitter di otak juga dapat menyebabkan insomnia. Jam

tidur yang sudah berubah juga dapat menjadi penyebabnya.

l. Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh)

Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh) banyak hal yang

mempengaruhi penurunan sistem kekebalan tubuh pada usia lanjut seperti atrofi

thymus (kelenjar yang memproduksi sel-sel limfosit T) meskipun tidak begitu

bermakna (tampak bermakna pada limfosit T CD8) karena limfosit T tetap

terbentuk di jaringan limfoid lainnya. Begitu juga dengan barrier infeksi pertama

pada tubuh seperti kulit dan mukosa yang menipis, refleks batuk dan bersin -yang

berfungsi mengeluarkan zat asing yang masuk ke saluran nafas- yang melemah. Hal

yang sama terjadi pada respon imun terhadap antigen, penurunan jumlah antibodi.

Segala mekanisme tersebut berakibat terhadap rentannya seseorang terhadap agen-

15
agen penyebab infeksi, sehingga penyakit infeksi menempati porsi besar pada

pasien lansia.

m. Impotence

Impotency (Impotensi), ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual pada

usia lanjut terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti gangguan hormon,

syaraf, dan pembuluh darah. Ereksi terjadi karena terisinya penis dengan darah

sehingga membesar, pada gangguan vaskuler seperti sumbatan plak aterosklerosis

(juga terjadi pada perokok) dapat menyumbat aliran darah sehingga penis tidak

dapat ereksi. Penyebab lainnya adalah depresi.

n. Irritable bowel

Irritable bowel (usus besar yang sensitif -mudah terangsang-) sehingga

menyebabkan diare atau konstipasi/ impaksi (sembelit). Penyebabnya tidak jelas,

tetapi pada beberapa kasus ditemukan gangguan pada otot polos usus besar,

penyeab lain yang mungkin adalah gangguan syaraf sensorik usus, gangguan sistem

syaraf pusat, gangguan psikologis, stres, fermentasi gas yang dapat merangsang

syaraf, kolitis.

D. Etiologi dan Faktor Risiko

a. Immobility

Berbagai faktor baik fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan

imobilisasi pada pasien usia lanjut. Beberapa penyebab utama imobilisasi adalah

adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah

16
psikologis. Penyakit Parkinson, artritis reumatoid, gout, dan obat‐obatan

antipsikotik seperti haloperidol juga dapat menyebabkan kekakuan. Rasa nyeri,

baik dari tulang (osteoporosis, osteomalasia, Paget’s disease, metastase kanker

tulang, trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot (polimalgia,

pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi.

Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi

mental seperti pada depresi tentu sangat sering menyebabkan terjadinya imobilisasi.

Kekhawatiran keluarga yang berlebihan atau kemalasan petugas kesehatan dapat

pula menyebabkan orang usia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik

di rumah maupun di rumah sakit. Efek samping beberapa obat misalnya obat

hipnotik dan sedatif dapat pula menyebabkan gangguan mobilisasi.

Lansia yang terus-menerus berada ditempat tidur (disebut berada pada

keadaan (bed rdden). Berakiabt atrofi otot, decubitus, malnutrisi, serta pnemonia.

Faktor resikonya dapat berupa osteortritis, gangguan penglihatan, fraktur, hipotensi

postural, anemia, stroke, nyeri, demensia, lemah otot, vertigo, keterbatsan ruang

lingkup, PPOK, gerak sendi hipotiroid dan sesak napas, imobilisasi pada lansia

diakibatkan oleh adanya gangguan nyeri, kekakuan, ketidakseimbangan, serta

kelainan psikologis.

b. Instability

Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa faktor,

antara lain:

1. Kecelakaan (merupakan penyebab utama) Murni kecelakaan, misalnya

terpleset, tersandung. Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-

17
kelainan akibat proses menua, misalnya karena mata kurang jelas, benda-benda

yang ada di rumah tertabrak, lalu jatuh.

2. Nyeri kepala dan/atau vertigo

3. Hipotensiorthostatic, Hipovolemia / curah jantung rendah Disfungsi

otonom terlalu lama berbaring, Pengaruh obat-obat hipotensi

4. Obat-obatan Diuretik / antihipertensi, Antidepresan trisiklik, Sedativa,

Antipsikotik, Obat-obat hipoglikemik, Alkohol

5. Proses penyakit yang spesifik, misalnya Aritmia, Stenosis, Stroke,

Parkinson, Spondilosis, Serangan kejang,

6. Idiopatik (tidak jelas sebabnya)

7. Sinkope (kehilangan kesadaran secara tiba-tiba),akibat penurunan darah

ke otak secara tiba-tiba, Terbakar matahari

Akibat yang ditimbulkan seperti peristiwa jatuh merupakan masalah yang juga

penting pada lansia terutama lansia wanita.

C.Intelektual impaired

Gangguan intelektual berlangsung progresif disebut demensia. Muncil

secara perlahan tetapi progresif (biasanya selang bulanan hingga tahunan).

Gangguan depresi juga merupakan penyebab kemunduran intelektual yang cukup

sering ditemukan namun seringkali terabaikan.depresi disebabkan oleh adanya

suasana hati atau mood yang bersifat depresif yang berlangsung sekurang-

kurangnya 2 minggu yang disertai keluhan-keluhan vegetatif (berupa gangguan

18
tidur, penurunan minat, perasaan bersalah, merasa tidak bertenaga, kurang

konsentrasi, hilangnya nafsu makan.

d. Incontinance

Adalah penegluaran urin/feses tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi

yang cukup sehingga mengakibatkan maslah gangguan kesehatan atau sosial. Ini

bukan konsekuensi normal dari pertambahan usia. Penyebanya kelainan urologi

(radang, batu, tumor), kelainan neurologi (stroke, trauma medula spinalis,

demensia)lainya (imobilisasi, lingkungan). Dapat akut disaat timbul penyakit atau

yang kronik.

Pada lansia biasanya terjadi penurunan kemampuan berkemih. Pada lansia

terjadi proses enua yang berdampak pada perubahan hampir seluruh organ tubuh

termasuk organ berkemih yang menyebabkan lansia mengalami inkontinensia urin.

Perubahan ini diantaranya adalah melemahnya otot dasar panggul yang menjaga

kandung kemih dan pintu saluran kemih, timbulnya kontraksi abnormal pada

kandung kemih yang menimbulkan rangsangan berkeih sebelum waktunya dan

meninggalkan sisa. Pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna

menyebabkan urine di dalam kanddung kemih yang cukup banyak sehingga dengan

pengisian sedikit saja sudah merangsang untuk berkeih. Hipertrofi prostat juga

dapat mengakibatkan banyaknya sisa air kemih di kandung keih sebagai akibat

pengosongan yang tidak sempurna

e. Isolation

Penyebabnya : kehilangan orang/objek yang dicintai, sikap pasimistik,

kecenderungan beradumsi negatif terhadap suatu pengalaman yang mengecewakan,

19
kehilangan integritas pribadi, penyakit degeneratif kronik tanpa dukungan sosial

yang adekuat.

f. Impotance

1) DE organik akibat gangguan endokrin, neurogenik, vaskuler (aterosklerosis

atau fibrosis)

2) DE psikogenik merupakan penyebab utama pada gangguan organik,

walaupun faktor psikogenik ikut memegang peranan. DE jenis ini yang

berpotensi reversible potensial biasanya yang disebabkan oleh kecemasan,

depresi, rasa bersalah, masalah perkawinan atau juga akibat dari rasa takut

akan gagal dalam hubungan seksual.

g. Immuno-deficiensi

Daya tahan tubuh yang menurun pasa lansai merupakan fungsi tubuh yang

terganggu dengan bertambahnya umur seseorang. Walupun tidak selamanya hal ini

disebabkan oleh proses menua, tapi dpaat pula karena berbagai keadaan seperti

penyakit menahun maupun penyakit akut yang dapat menyebabkan penurunan daya

tahan tubuh seseorang, demikian juga penggunaaan berbagai obat, gizi yang

kurang, penurunan fungsi organ tubuh dan lain-lain.

h. Infection

Terjdi akibat beberapa hal antara lain adanya penyakit penyakit yang cukup

banyak, menurunnya daya takan/imunitas terhadap infeksi, menurunya daya

komunikasi sehingga sulit/jarang mengeluh, sulitnya mengenal tanda infeksi secara

dini. Ciri utama pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan peningkatan

temperatur badan, sering dijumpai pada usia lanjut.

20
i. Inanitation

Penyebab terjadinya gizi buruk adalah depresi berkabung, imobilisasi,

penyakit kronis (PPOK, rematik, gagal jantung, diabetes, gagal ginjal, dispepsia,

gangguan hati, keganasan), demensia dan demam.

j. Impaction

Konstipasi yang terjadi pada lansia dibabkan karena pergerakan fisik pada

lansia yang kurang mengkonsumsi makan berserat, kurang minum, juga akibat

pemberian obat-obatan tertentu.

k. Insomnia

Pada lansia dapat disebabkan oleh faktor yang trdiri dari nyeri kronis, sesak

napas pada penyakit paru obstruktif kronis, gangguan psikiatrik (gangguan cemas

dan depresi), penyakit neurologi (parkinson’s disease, alzheimer disease)dan obat-

obatan kortikosteroid dan diuretik)

L. Gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman

Sistem pendengaran: kehilangan mendengar bunyi dengan nada yang sangat

tinggi akibat dari berhentinya pertumbuhan saraf dan berakhirnya pertumbuhan

organ basal yang mengakibatkan matinya rumah siput didalam telinga. Dapat

mendengar pada suara rendah. Umumnya diketahui bahwa presbikusis merupakan

akibat dari proses degenerasi. Diduga kejadian presbikusis mempunyai hubungan

dengan faktor-faktor herediter, pola makanan, metabolisme, arteriosklerosis,

infeksi, bising, gaya hidup atau bersifat multifaktor. Menurunnya fungsi

pendengaran secara berangsur merupakan efek kumulatif dari pengaruh faktor-

faktor tersebut diatas. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 60 tahun. Progesifitas

21
penurunan pendengaran dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, pada laki-laki

lebih cepat dibandingkan dengan perempuan

Sitem penglihatan : kornea, lensa iris, aquous humor, vitorous humor akan

mengalami perubahan seiring bertambahnya usia, karena bagian utama yang

mengalami perubahan/penurunan sensifitas yang menyebabkan lensa pada mata,

produksi aquosus humor juga mengalami penurunan tetapi tidak terlalu terpengaruh

terhadap keseimbangan dan tekanan intra okuler lensa umum. Bertambahnya usia

akan mempengarui fungsi organ pada mata seseorang yang ber usia 60 tahun, fungsi

kerja pupil akan mengalami penurunan 2/3 dari pupil orang dewasa atau muda,

penurunan tersebut meliputi ukuran – ukuranpupil dan kemampuan melihat dari

jarak jauh. Proses akomodasi merupakan kemampuan untukmelihat benda – benda

dari jarak dekat maupun jauh. Akomodasi merupakan hasil koordinasi atas ciliary

body dan otot – otot, apabila seseorang mengalami penurunan daya akomodasimaka

orang tersebut disebut presbiopi

Daya penciuman menjadi kurang tajam dengan bertambahnya usia,

sebagian karena pertumbuhan sel didalam hidung berhenti dan sebagian lagi karena

semakin lebatnya bulu rambut dilubang hidung.

E. Manifestasi Klinik

Semakin bertambah usia seseorang semakin banyak terjadi perubahan pada

berbagai sistem dalam tubuh. Perubahan yang terjadi cenderung mengarah pada

penurunan berbagai fungsi tersebut. Pada sistem saraf pusat terjadi pengurangan

massa otak, aliran darah otak, densitas koneksi dendritik, reseptor glukokortikoid

hipokampal, dan terganggunya autoregulasi perfusi. Timbul proliferasi astrosit dan

22
berubahnya neurotransmiter, termasuk dopamin dan serotonin. Terjadi peningkatan

aktivitas monoamin oksidase dan melambatnya proses sentral dan waktu reaksi.

Pada fungsi kognitif terjadi penurunan kemampuan meningkatkan fungsi

intelektual; berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak yang menyebabkan

proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi;

berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil

informasi dari memori. Kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik

dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi.

Pada fungsi penglihatan terjadi gangguan adaptasi gelap; pengeruhan pada

lensa; ketidakmampuan untuk fokus pada benda-benda jarak dekat (presbiopia);

berkurangnya sensitivitas terhadap kontras dan lakrimasi. Hilangnya nada

berfrekuensi tinggi secara bilateral timbul pada funsgsi pendengaran. Di samping

itu pada usia lanjut terjadi kesulitan untuk membedakan sumber bunyi dan

terganggunya kemampuan membedakan target dari noise.

Pada sistem kardiovaskuler, pengisian ventrikel kiri dan sel pacu jantung

(pacemaker) di nodus SA berkurang; terjadi hipertrofi atrium kiri; kontraksi dan

relaksasi ventrikel kiri bertambah lama; respons inotropik, kronotropik, terhadap

stimulasi beta-adrenergik berkurang; menurunnya curah jantung maksimal;

peningkatan atrial natriuretic peptide (ANP) serum dan resistensi vaskular perifer.

( Pada fungsi paru-paru terjadi penurunan forced expiration volume 1 second

(FEVI) dan forced volume capacity (FVC); berkurangnya efektivitas batuk dan

fungsi silia dan meningkatnya volume residual. Adanya ‘ventilation-perfusion

23
mismatching’ yang menyebabkan PaO2 menurun seiring bertambahnya usia : 100

– (0,32 x umur).

Pada fungsi gastrointestinal terjadi penururan ukuran dan aliran darah ke

hati, terganggunya bersihan (clearance) obat oleh hati sehingga membutuhkan

metabolisme fase I yang lebih ekstensif. Terganggunya respons terhadap cedera

pada mukosa lambung, berkurangnya massa pankreas dan cadangan enzimatik,

berkurangnya kontraksi kolon yang efektif dan absorpsi kalsium. Menurunnya

bersihan kreatinin (creatinin clearance) dan laju filtrasi glomerulus (GFR) 10

ml/dekade terjadi dengan semakin bertambahnya usia seseorang.

Penurunan massa ginjal sebanyak 25%, terutama dari korteks dengan

peningkatan relatif perfusi nefron jukstamedular. Aksentuasi pelepasan anti diuretic

hormone (ADH) sebagai respons terhadap dehidrasi berkurang dan meningkatnya

ketergantungan prostaglandin ginjal untuk mempertahankan perfusi. Pada saluran

kemih dan kelamin timbul perpanjangan waktu refrakter untuk ereksi pada pria,

berkurangnya intensitas orgasme pada pria maupun wanita, berkurangnya sekresi

prostat di urin dan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna serta

peningkatan volume residual urin. Toleransi glukosa terganggu (gula darah puasa

meningkat 1 mg/dl/dekade; gula darah postprandial meningkat 10 mg/dl/dekade).

Insulin serum meningkat, HbA1C meningkat, IGF-1 berkurang. Penurunan yang

bermakna pada dehidroepiandrosteron (DHEA), hormon T3, testosteron bebas

maupun yang bioavailable, dan produksi vitamin D oleh kulit serta peningkatan

hormon paratiroid (PTH). Ovarian failure disertai menurunnya hormon ovarium.

24
Pada sistem saraf perifer lanjut usia mengalami hilangnya neuron motor

spinal, berkurangnya sensasi getar, terutama di kaki, berkurangnya sensitivitas

termal (hangatdingin), berkurangnya amplitudo aksi potensial yang termielinasi

dan meningkatnya heterogenitas selaput akson myelin. Massa otot berkurang secara

bermakna (sarkopenia) karena berkurangnya serat otot. Efek penuaan paling kecil

pada otot diafragma; berkurangnya sintesis rantai berat miosin, inervasi,

meningkatnya jumlah miofibril per unit otot dan berkurangnya laju basal metabolik

(berkurang 4%/dekade setelah usia 50).

Pada sistem imun terjadi penurunan imunitas yang dimediasi sel, rendahnya

produksi antibodi, meningkatnya autoantibodi, berkurangnya hipersensitivitas tipe

lambat, berkurangnya produksi sel B oleh sumsum tulang; dan meningkatnya IL-6

dalam sirkulasi.

Pada umumnya lansia mengalami depresi ditandai oleh mood depresi

menetap yang tidak naik, gangguan nyata fungsi atau aktivitas sehari-hari, dan

dapat berpikiran atau melakukan percobaan bunuh diri. Pada lansia gejala depresi

lebih banyak terjadi pada orang dengan penyakit kronik, gangguan kognitif, dan

disabilitas. Kesulitan konsentrasi dan fungsi eksekutif lansia depresi akan membaik

setelah depresi teratasi. Gangguan depresi lansia dapat menyerupai gangguan

kognitif seperti demensia, sehingga dua hal tersebut perlu dibedakan. Para lansia

depresi sering menunjukkan keluhan nyeri fi sik tersamar yang bervariasi,

kecemasan, dan perlambatan berpikir. Perubahan pada lansia depresi dapat

dikategorikan menjadi perubahan fi sik, perubahan dalam pemikiran, perubahan

dalam perasaan, dan perubahan perilaku

25
F. Diagnosis

Assessmen Geriatri komprehensif mencakup: kesehatan fisik, mental, status

fungsional, kegiatan sosial, dan lingkungan.Tujuan asesmen ialah mengetahui

kesehatan penderita secara holistik supaya dapat memberdayakan kemandirian

penderita selama mungkin dan mencegah disabilitas-handicap diwaktu mendatang.

Asesmen ini bersifat tidak sekedar multi-disiplin tetapi interdisiplin dengan

koordinasi serasi antar disiplin dan lintas pelayanan kesehatan.

Anamnesis dilengkapi dengan berbagai gangguan yang terdapat : menelan,

masalah gigi, gigi palsu, gangguan komunikasi/bicara, nyeri/gerak yang terbatas

pada anggota badan dan lain-lain.

1. Penilaian sistem : Penilaian system dilaksanakan secara urut, mulai dari

system syaraf pusat, saluran nafas atas dan bawah, kardiovaskular,

gastrointestinal (seperti inkontinensia alvi, konstipasi), urogenital (seperti

inkontinensia urin). Dapat dikatakan bahwa penampilan penyakit dan

keluhan penderita tidak tentu berwujud sebagai penampilan organ yang

terganggu.

2. Anamnesis tentang kebiasaan yang merugikan kesehatan (merokok, minum

alkohol).

3. Anamnesis Lingkungan perlu meliputi keadaan rumah tempat tinggal.

4. Review obat-obat yang telah dan sedang digunakan perlu sekali ditanyakan,

bila perlu, penderita atau keluarganya.

5. Ada tidaknya perubahan perilaku.

26
Anamnesis Nutrisi

1. Pada gizi perlu diperhatikan :

o Keseimbangan (baik jumlah kalori maupun makronutrien)

o Cukup mikronutrien (vitamin dan mineral)

o Perlu macam makanan yang beranekaragam.

o Kalori berlebihan atau dikurangi disesuaikan dengan kegiatan AHS-

nya, dengan tujuan mencapai berat badan ideal.

o Keadaan gigi geli, mastikasi dan fungsi gastro-intestinal.

o Apakah ada penurunan atau kenaikan berat badan.

2. Pengkajian Nutrisi

Pengkajian nutrisi dilakukan dengan memeriksa indeks massa tubuh.

Rumus Indeks Masa Tubuh (IMT) : Berat Badan (kg) / [Tinggi Badan (m)2]2

IMT : 18 – 23 (normal)

Rumus Tinggi Badan Populasi Geriatri :

Pria : TB = 59.01 + (2.08 X Tinggi Lutut)

Wanita : TB = 75.00 + (1.91 X Tinggi Lutut) – (0.17 X Umur).

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dimulai dengan pemeriksaan tanda vital.

1. Pemeriksaan fisik tekanan darah, dilaksanakan dalam keadaan tidur, duduk

dan berdiri, masing-masing dengan selang 1-2 menit, untuk melihat

kemungkinan terdapatnya hipotensi ortostatik

2. Pemeriksaan fisik untuk menilai sistem. Pemeriksaan organ dan sistem ini

27
disesuaikan dengan tingkat kemampuan pemeriksa.Yang penting adalah

pemeriksaan secara sistem ini menghasilkan dapatan ada atau tidaknya gangguan

organ atau sistem.

3. Pemeriksaan fisik dengan urutan seperti pada anamnesis penilaian sistem,

yaitu :

a) Pemeriksaan susunan saraf pusat (Central Nervous System).

b) Pemeriksaan panca indera, saluran nafas atas, gigi-mulut.

c) Pemeriksaan leher, kelenjar tiroid, bising arteri karotis.

d) Pemeriksaan dada, paru-paru, jantung dan abdomen perlu dilakukan

dengan cermat.

e) Pemeriksaan ekstremitas, refleks-refleks, gerakan dan kelainan sendi-

sendi perlu diperiksa :sendi panggul, lutut dan kolumna vertebralis.

f) Pemeriksaan kulit-integumen, juga perlu dilakukan.

Pemeriksaan fisik perlu dilengkapi dengan beberapa uji fisik seperti “get up and

go” (jarak 3 meter dalam waktu kira-kira 20 detik), mengambil benda di lantai,

beberapa tes keseimbangan, kekuatan, ketahanan, kelenturan, koordinasi

gerakan.Bila dapat mengamati cara berjalan (gait), adakah sikap atau gerakan

terpaksa.Pemeriksaan organ-sistem adalah melakukan pemeriksaan mulai dari

ujung rambut sampai ujung kaki secara sistematis.

Pemeriksaan Tambahan (Penunjang)

Pemeriksaan tambahan disesuaikan dengan keperluan penegakan kepastian

diagnosis, tetapi minimal harus mencakup pemeriksaan rutin.

a) X-foto thorax, EKG

28
b) Laboratorium :- DL,UL, FL

Apabila terdapat kecurigaan adanya kelainan yang belum jelas atau

diperlukan tindakan diagnostik atau terapi, dapat dilakukan konsultasi (rujukan)

kepada sub- bagian atau disiplin lain, atau pemeriksaan dengan alat yang lebih

spesifik : FNB, EKG, CT-Scan.

Pengkajian Imobilisasi

Dalam mengkaji imobilisasi, perlu dilakukan anamnesis menenai riwayat

penyakit sekarang, lamanya mengalami disabilitas, penyakit yang dapat

memengaruhi kemampuan mobilisasi dan obat‐obatan yang dapat menyebabkan

imobilisasi. Keluhan nyeri, skrining depresi dan rasa takut jatuh serta pengkajian

lingkungan, termasuk kunjungan rumah bila perlu, penting dilakukan. Pada

pemeriksaan fisik perlu diperiksa status kardiopulmonal, pemeriksaan

muskuloskeletal yang mendetil misalnya kekuatan otot dan gerak sendi,

pemeriksaan status neurologis dan juga pemeriksaan kulit untuk identifikasi ulkus

dekubitus. Status imobilisasi pasien harus selalu dikaji secara terus‐menerus.

G. Tatalaksana

Kondisi multipatologi mengakibatkan seorang usia lanjut mendapatkan

berbagai jenis obat dalam jumlah banyak. Terapi non-farmakologi dapat menjadi

pilihan untuk mengatasi masalah pada pasien usia lanjut, namun obat tetap menjadi

pilihan utama sehingga polifarmasi sangat sulit dihindari. Prinsip penggunaan obat

yang benar dan tepat pada usia lanjut harus menjadi kajian multi/interdisiplin yang

mengedepankan pendekatan secara holistik.

29
a. Pengelolaan inkontinensia urin

Pengelolaan inkontinensia urin pada penderita usia lanjut, secara garis besar

dapat dikerjakan sebagai berikut :

1. Program rehabilitasi, antara lain:

o  Melatih perilaku berkemih.

o  Modifikasi tempat berkemih (komodo, urinal).

o  Melatih respons kandung kemih.

o  Latihan otot-otot dasar panggul.

2. Katerisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indweling).

3. Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi kandung kemih, estrogen.

4. Pembedahan, misalnya: untuk mengangkat penyebab sumbatan atau

keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain.

5. Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk

kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan

penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.

b. Jatuh

Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau mengeliminasi

faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini

harus terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik,

neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik dan lain-lain), sosiomedik

dan ahli lain yang terkait serta keluarga penderita.

Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus

karena perbedaan faktor-faktor yang mengakibatkan jatuh. Lebih banyak pasien

30
jatuh karena kondisi kronik, multifaktoralsehingga diperlukan terapi gabungan

antara obat, rehabilitasi dan perbaikan lingkungan. Pada kasus lain intervensi

diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan

bepergian, penggunaan alat bantu gerak dan sebagainya

Faktor pelindungTerhadap Cedera Retak

 Terapiestrogen

 Berat badans etelah usia

 Berjalan untuk latihan

 Asupan kalsium yang cukup

Pengobatan untuk gangguan berjalan

1. Manajemen gangguan berjalan termasuk peningkatan kemampuan

fungsional dan pengobatan penyakit tertentu,namun banyak kondisi yang

menyebabkan kelainan gaya berjalan hanya sebagian dapat diobati.

2. Peningkatan substansial terjadi dalam pengobatan gangguan sekunder

untukvitamin B12 dan folat, penyakit tiroid, radang sendi lutut, penyakit

Parkinson dan polineuropati inflamasi.

3. Peningkatan Sedang, tetapi dengan cacat sisa, dapat terjadi setelah

perawatan bedah untuk myelopathy serviks, stenosis lumbar, dan

hidrosefalus tekanan normal.

c. Sleep Dsiturbance

Pengobatan

1. Perawatan Non-farmakologis

31
o Hilangkan faktor yang dicurigai: mengobati penyakit yang

mendasari, menghentikan atau mengubah obat, menghentikan

alkohol, kafein atau penggunaan nikotin.

o Perubahan Kebiasaan: mengembangkan rutinitas persiapan tidur,

gunakan kamar tidur untuk tidur saja, mengembangkan cerita tidur

untuk mempromosikan keadaan pikiran, mengurangi tidur siang

hari, dan mengembangkan latihan rutin sehari-hari.

2. Pengobatan farmakologis

o Hanya direkomendasikan untuk penggunaan jangka pendek pada

pasien yang

lebih tua.

o Benzodiazepin dengan aksi pendek atau menengah seperti

Temazepam(7,5-15

mg), dengan jangka waktu maksimum dua mingg uuntuk

menghindari

ketergantungan.

o Antihistamin dapat diterima untuk digunakan sesekali, namun cepat

kehilangan

khasiat.

o Anti-depresan, misalnya, Trazadone, adalah pilihan yang baikuntuk

insomnia

kronis.

32
d. Pencegahan Komplikasi Imobilisasi

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi penatalaksanaan

farmakologik dan non farmakologik. Upaya non farmakologis yang dapat

dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur.

Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara teratur dan

latihan di tempat tidur Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur,

berpindah dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara

bertahap. Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah

menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk

itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30o, penggunaan kasur anti dekubitus,

atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien dengan kursi roda dapat dilakukan

reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk. Melatih pergerakan dengan

memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah terjadinya gesekan juga

dapat mencegah dekubitus. Pemberian minyak setelah mandi atau mengompol

dapat dilakukan untuk mencegah maserasi.

Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat‐obatan yang

dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan

untuk mencegah terjadinya hipotensi. Monitor asupan cairan dan makanan yang

mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu

juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar

pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah

terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi.

33
Tata laksana farmakologis yang dapat diberikan terutama pencegahan

terhadap terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan yaitu Low dose heparin

(LDH) dan low molecular weight heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang

aman dan efektif untuk pasien geriatri denganimobilisasi namun harus

mempertimbangkan fungsi hati, ginjal dan interaksi dengan obat lain.

e. Pressure Ulcer

Pengobatan

1. Menilai seluruh aspek, bukan hanya ulkus karena tekanan, termasuk

kesehatan

fisik, sakit, kesehatan psikososial, dan tekanan komplikasi ulkus.

2. Mencoba untuk menggunakan langkah-langkah yang ditetapkan

penyembuhan luka

(PUSH) (NPUAP, 1997).

3. Menjaga prinsip-prinsip perawatan luka yang relevan dengan ulkus tekanan:

1. debridement luka

2. luka bersih

3. menggunakan solusi yang TIDAK membunuh sel-sel; JANGAN

menggunakan solusi yang yaitu sitotoksik hidrogen peroksida,

Solusi Dahenitu, atau Betadine

4. Mengairi luka, menggunakan kekuatan minimal

5. Tutup luka dengan bahan yang tepat

f. Delirium

34
Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila sumber

deliriumnya adalah reaksi putus zat alkohol atau sedatif atau ketika agitasi yang

berat tidak dapat dikontrol oleh obat neuroleptik. Hal ini disebabkan karena

benzodiazepin dapat menyebabkan reaksi berkebalikan yang memperburuk

delirium. Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh benzodiazepin adalah sedasi

yang berlebihan yang dapat menyulitkan penilaian status kesadaran pasien itu

sendiri.

Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat yang sering

dipakai pada kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol digunakan karena

profil efek sampingnya yang lebih disukai dan dapat diberikan secara aman melalu

jalur oral maupun parenteral. Dosis yang biasa diberikan adalah 0,5 - 1,0 mg per

oral (PO) atau intra muscular maupun intra vena (IM/IV); titrasi dapat dilakukan 2

sampai 5 mg tiap satu jam sampai total kebutuhan sehari sebesar 10 mg terpenuhi.

Setelah pasien lebih baik kesadarannya atau sudah mampu menelan obat oral maka

haloperidol dapat diberikan per oral dengan dosis terbagi 2-3 kali perhari sampai

kondisi deliriumnya teratasi. Haloperidol intravena lebih sedikit menyebabkan

gejala ekstrapiramidal daripada penggunaan oral.

g. Infeksi

Pengobatan infeksi pada lansia juga merupakan masalah karena

meningkatkan bahaya toksisitas obat antimikroba pada lansia. Terapi antibiotik

tergantung pada kuman patogen yang didapati.

h. Gangguan pendengaran

35
Rehabilitasi sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi pendengaran

dilakukan dengan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Pemasangan alat

bantu dengar hasilnya akan lebih memuaskan bila dikombinasikan dengan latihan

membaca ujaran (speech reading), dan latihan mendengar (auditory training),

prosedur pelatihan tersebut dilakukan bersama ahli terapi wicara (speech therapist).

Tujuan rehabilitasi pendengaran adalah memperbaiki efektifitas pasien

dalam komunikasi sehari-hari. Pembentukan suatu program rehabilitasi untuk

mencapai tujuan ini tergantung pada penilaian menyeluruh terhadap gangguan

komunikasi pasien secara individual serta kebutuhan komunikasi sosial dan

pekerjaan. Partisipasi pasien ditentukan oleh motivasinya. Oleh karena komunikasi

adalah suatu proses yang melibatkan dua orang atau lebih, maka keikutsertaan

keluarga atau teman dekat dalam bagian-bagian tertentu dari terapi terbukti

bermanfaat.

Membaca gerak bibir dan latihan pendengaran merupakan komponen

tradisional dari rehabilitasi pendengaran. Pasien harus dibantu untuk memanfaatkan

secara maksimal isyarat-isyarat visual sambil mengenali beberapa keterbatasan

dalam membaca gerak bibir. Selama latihan pendengaran, pasien dapat melatih

diskriminasi bicara dengan cara mendengarkan kata-kata bersuku satu dalam

lingkungan yang sunyi dan yang bising. Latihan tambahan dapat dipusatkan pada

lokalisasi, pemakaian telepon, cara-cara untuk memperbaiki rasio sinyal-bising dan

perawatan serta pemeliharaan alat bantu dengar.

Program rehabilitasi dapat bersifat perorangan ataupun dalam kelompok.

Penyuluhan dan tugas-tugas khusus paling efektif bila dilakukan secara perorangan,

36
sedangkan program kelompok memberi kesempatan untuk menyusun berbagai tipe

situasi komunikasi yang dapat dianggap sebagai situasi harian normal untuk tujuan

peragaan ataupun pengajaran.

Pasien harus dibantu dalam mengembangkan kesadaran terhadap isyarat-

isyarat lingkungan dan bagaimana isyarat-isyarat tersebut dapat membantu

kekurangan informasi dengarnya. Perlu diperagakan bagaimana struktur bahasa

menimbulkan hambatan-hambatan tertentu pada pembicara. Petunjuk lingkungan,

ekspresi wajah, gerakan tubuh dan sikap alami cenderung melengkapi pesan yang

diucapkan. Bila informasi dengar yang diperlukan untuk memahami masih belum

mencukupi, maka petunjuk-petunjuk lingkungan dapat mengisi kekurangan ini.

Seluruh aspek rehabilitasi pendengaran harus membantu pasien untuk dapat

berinteraksi lebih efektif dengan lingkungannya.

i. Depresi

Tata laksana depresi pada lansia dipengaruhi tingkat keparahan dan

kepribadian masing masing. Pada depresi ringan dan sedang, psikoterapi

merupakan tata laksana yang sering dilakukan dan berhasil. Akan tetapi, pada kasus

tertentu atau pada depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup, diperlukan

farmakoterapi. Banyak orang membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat

terutama keluarga dan teman, keikutsertaan dalam kegiatan kelompok, atau

berkonsultasi dengan tenaga profesional untuk mengatasi depresi. Selain itu,

mengatasi masalah terisolasi ketika memasuki usia lanjut merupakan salah satu

bagian penting dalam penyembuhan dan dapat mencegah episode kekambuhan

penyakit. Banyak penelitian menunjukkan bahwa aktif dalam kegiatan kelompok

37
di lingkungan merupakan bagian penting dalam kesehatan dan dapat meningkatkan

kualitas hidup.

Pada umumnya, tata laksana terapi hanya menggunakan obat antidepresan,

tanpa merujuk pasien untuk psikoterapi, tetapi obat hanya mengurangi gejala, dan

tidak menyembuhkan. Antidepresan bekerja dengan cara menormalkan

neurotransmiter di otak yang memengaruhi mood, seperti serotonin, norepinefrin,

dan dopamin. Antidepresan harus digunakan pada lansia dengan depresi mayor dan

selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) merupakan obat pilihan pertama.

Beberapa obat antidepresan yang dapat digunakan pada lansia dengan kelebihan

dan kekurangan tiap golongan ada pada tabel 6. Pemilihan obat tersebut per

individu dengan pertimbangan efek samping dari tiap golongan. Pengobatan

monoterapi dengan dosis minimal digunakan pada awal terapi, dievaluasi apabila

tidak ada perubahan bermakna dalam 6-12 minggu. Lansia yang tidak berespons

pada pengobatan awal perlu mendapatkan obat antidepresan golongan lain dan

dapat dipertimbangkan penggunaan dua golongan antidepresan.

Pada lansia yang responsif dengan obat antidepresan, obat harus digunakan

dengan dosis penuh (full dose maintenance therapy) selama 6-9 bulan sejak pertama

kali hilangnya gejala depresi. Apabila kambuh, pengobatan dilanjutkan sampai satu

tahun. Strategi pengobatan tersebut telah berhasil menurunkan risiko kekambuhan

hingga 80%. Penghentian antidepresan harus dilakukan secara bertahap agar tidak

menimbulkan gejala withdrawal seperti ansietas, nyeri kepala, mialgia, dan gejala

mirip fl u (fl u-like symptoms). Lansia yang sering kambuh memerlukan terapi

perawatan dosis penuh terapi selama hidupnya. Selain farmakoterapi dengan obat

38
antidepresan, psikoterapi (talk therapy) memiliki peranan penting dalam mengobati

berbagai jenis depresi. Psikoterapi dilakukan oleh psikiater, psikolog terlatih,

pekerja sosial, atau konselor. Pendekatan psikoterapi dibagi dua, yaitu cognitive-

behavioral therapy (CBT) dan interpersonal therapy. CBT terfokus pada cara baru

berpikir untuk mengubah perilaku, terapis membantu penderita mengubah pola

negatif atau pola tidak produktif yang mungkin berperan dalam terjadinya depresi.

Interpersonal therapy membantu penderita mengerti dan dapat menghadapi

keadaan dan hubungan sulit yang mungkin berperan menyebabkan depresi. Banyak

penderita mendapat manfaat psikoterapi untuk membantu mengerti dan memahami

cara menangani faktor penyebab depresi, terutama pada depresi ringan; jika depresi

berat, psikoterapi saja tidak cukup, karena akan menimbulkan depresi berulang

H. Pencegahan

1) Promosi

Merupakan tindakan secara langsung dan tidak langsung untuk

meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit. Merupakan proses

advokasi kesehatan untuk meningkatkan dukungan klien, tenaga profesinal dan

masyarakt terhadap praktik kesehatan yang positif menjadi norma-norma

sosial. Untuk membantu organ-organ mengubah gaya hidup mereka dan

bergerak kearaha kesehatan yang optimal serta mendukung pemberdayaan

seseorang untuk membuat pilihan yang sehat tentang perilaku hidup mereka.

Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia:

39
a. Mengurangi cedera, dilakukan dnegan tujuan mengurangi kejadian jatuh,

mengurangi bahaya kebakaran dalam rumah

b. Meningkatkan keamanan ditempat kerja bertujuan untuk mengurangi terpapar

dengan bahan-bahan kimia

c. Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk bertujuan untuk

mengurangi penggunaan semprotan bahan-bahan kimia, mengurangi radiasi

dirumah

d. Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mutu yang bertujuan

untuk mengurangi karies gigi serta memlihahara kebersihan gigi dan mulut

2) Pencegahan preventif

a. Melakukan pencegahan primer meliputi: pencegahan pada lansia sehat,

terdapat faktor risiko, tidak ada penyakit, dan promosi kesehatan. Jemisnya:

program imunisasi, konseling, berhenti merokok, dan minum beralkohol,

dukungan nutrisi, keamanan didalan dan sekitar rumah, menejemen stres

b. Melakukan pencegahan sekunder melputi : pemeriksaan terhadap penderita

tanpa gejala dari awal penyakit hingga terjadi gejala penyakit belum tampak

secara klinis dan mengidap faktor resiko. Jenisnya: kontrol hipertensi, deteksi

dan pengobatan kanker, screening, pemeriksaan rektal, papsmear, gigi mulut

c. Melakukan pencegahan tersier : dilakukan sebelum terdapat gejala penyakit

dan cacat, mencegah cacat bertambah dan ketergantungan serta perawatan

dengan perawtan dirumah sakit, rehabilisasi pasien rawat jalan dan perawatan

jangka panjang.

40
BAB III

LAPORAN KASUS

I. Identitas

Nama : Ny. M

Umur : 72 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Suku : Banjar

Alamat : Handil Satu, Mandari Sari, RT.01

MRS : 31 Desember 2019

No. RMK : 1-44-90-56

II. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan heteroanamnesis dengan

pasien dan anak pasien pada tanggal 03 Januari 2020.

1. Keluhan utama :

Badan Lemas

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Ulin dengan keluhan badan lemas sejak 5 hari

SMRS. Pasien mengeluhkan badannya terasa lemas sehingga tidak dapat

melakukan aktivitas sehari-hari dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Nafsu

makan pasien menurun, sejak 9 hari smrs. Sehari hanya makan 1 kali/hari, 1-2

sendok setiap kali makan. Pasien juga mengeluhkan mual (+) setiap kali makan,

41
namun tidak disertai muntah (-). Pasien juga ada mengeluhkan nyeri perut (+)

disebelah yang hilang timbul, VAS 2. Keluhan BAB hitam (-), Muntah darah (-),

Sesak nafas (-). Pasien BAB setiap 3 hari sekali, konsistensi lunak, warna

kekuningan. Berat badan pasien menurun sebanyak +/- 6 kg dalam 6 bulan terakhir.

Pasien juga ada mengeluhkan nyeri pinggang yang dialami sejak 2 bulan

SMRS. Nyeri pinggang dirasakan pasien hilang timbul, Nyeri dikeluhkan pasien

menjalar ke kaki sebelah kiri disertai rasa kebas pada ujung jari kaki kiri. Nyeri

Lutut (-). Pasien sebelumnya dapat berjalan, namun semenjak keluhan nyeri

pinggang lebih banyak duduk dan berbaring. Pasien sudah berobat ke mantri dan

mendapat obat suntikan penghilang nyeri 2 kali dan diberi suntikan vitamin. Pasien

tidak ada mengkonsumsi obat-obatan rutin

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah dirwat di RS sebelumnya. Riwayat TB (-), Penyakit

kuning (-), DM (-), Hipertensi (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-), Penyakit jantung (-)

5. Riwayat Psikososial

Pasien seorang ibu rumah tangga. Suami pasien telah meninggal. Pasien

memiliki 10 orang anak, pasien tinggal bersama 3 orang anak pasien. Pasien sehari-

hari lebih banyak beristirahat, kadang kadang bekerja memasak dan membersihkan

rumah.

42
III. Pemeriksaan

A. Pemeriksaan Fisik Umum

1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

•Kesadaran : Kompos mentis

•GCS : E4V5M6

2. Status Gizi : Gizi Kurang

• Berat Badan : 30 kg

• Tinggi Badan : 148 cm

• IMT : 13,7 kg/m2

• LILA : 16 cm

2. Tanda Vital

•Tensi : 130/80 mmHg •Nadi : 89 x/menit

•Suhu : 37,5 oC •Pernapasan : 20 x/menit

•Saturasi O2 : 97 % tanpa supplementasi O2

3. Kulit

• Rash (-), turgor baik, tumor (-), pigmentasi (-), ikterus (-), hematom (-),

ekskoriasi (-)

4. Kepala dan leher

•Kepala : Bentuk normal

•Mata : Konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (+), edema palpebra (-/-) ,

refleks cahaya (+/+).

•Telinga : Bentuk normal, tidak ada cairan yang keluar dari telinga.

43
•Hidung : Bentuk normal, tidak tampak deviasi septum, tidak ada sekret, tidak

ada epistaksis, tidak ada pernapasan cuping hidung.

•Mulut : Bibir dan mukosa normal, perdarahan gusi tidak ada, tidak ada

trismus, tidak ada pembesaran atau radang pada tonsil, lidah tidak

ada kelainan.

•Leher : Tidak ada kaku kuduk, tidak tampak pembesaran kelenjar getah

bening dan tiroid, peningkatan JVP (-).

5. Thoraks

•Paru

Inspeksi : Bentuk normal, gerakan simetris, pernafasan torakoabdominal,

irama teratur dan ICS tidak melebar.

Palpasi : Fremitus vokal simetris dextra dan sinistra, gerakan nafas

simetris,tidak ada nyeri tekan dan tidak ada perbesaran KGB.

Perkusi : Sonor (+/+), tidak ada nyeri ketuk.

Auskultasi : Vesikuler v v Rhonki - - Wheezing - -

v v + - --

v v + + --

6. Jantung

•Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

•Palpasi : Iktus kordis teraba, tidak teraba thrill.

•Perkusi : Batas jantung kiri atas: ICS II linea sternalis sinistra

Batas jantung kanan atas : ICS II linea sternalis dextra.

44
Batas jantung kiri bawah : ICS IV linea midclavicularis sinistra

Batas jantung kanan bawah : ICS IV linea sternalis dextra

•Auskultasi : S1, S2 tunggal, murmur (-),S3 (-), S4 (-).

7. Abdomen :

•Inspeksi : Bentuk cembung. Striae (-) Sikatrik (-) Asites (+). Venectasi(-)

Spider navi (-).

•Auskultasi : Bising usus 8 x/menit. Bruit (-), rub (-)

•Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (+),undulasi(-), nyeri ketuk ginjal (-

), Liverspan 10 cm

•Palpasi :Tidak teraba pembesaran hepar, limpa, dan ginjal. Nyeri tekan (+)

pada regio epigastrium. Rigiditas (-) Massa (-), Ascites (+)

8. Ekstremitas atas dan bawah :

Inspeksi : Edema (+), Deformitas (-), Scar (-)

Palpasi : nyeri tekan (-), tanda radang (-) pitting edema (+)

9. Neurologis :

Lengan Tungkai
Tanda
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Bebas Bebas Bebas Bebas
Tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus
Trofi Eutrofi Eutrofi Atrofi Atrofi
Klonus Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Refleks
+ + + +
Fisiologis
Refleks Hoffman (-) Hoffman (-) Babinsky (-) Babinsky (-)
patologis Tromner (-) Tromner (-) Chaddok (-) Chaddok (-)
Sensibilitas Normal Normal Normal Menurun
Tanda
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
meningeal
45
Pemeriksaan Nervus Cranialis

N. Olfactorius (I) : Dapat Membau (+/+)

N. Opticus (II) : Refleks Cahaya (+/+)

N. Ocullomotorius, trochlearis,

abdusens (III,IV,VI) : Gerak bola mata bebas (+/+)

N. Trigeminus (V) : Membuka dan menutup mulut (+)

N. Fasialis (VII) : Parese pada wajah (-), Pengecapan

2/3 anterior lidah (+)

N.Vestibulocochlearis (VIII) : Pendengaran (+/+), Nistagmus (-),

Vertigo (-)

N. Glossopharingeus &

N. Hypoglossus (IX & XII) : Deviasi Lidah (-), Deviasi Uvula (-),

N. Vagus (X) : Refleks muntah (+)

N. Asesorius (XI) : Dapat mengangkat bahu (+)

Pemeriksaan Nyeri Punggung Bawah

Lasegue (+), Bragard (+) kaki kiri, Sicard (+) kaki kiri

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan Laboratorium 31-12-2020


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10,8 14.0 – 18.00 g/dL
Leukosit 7,0 4.00 – 10.5 rb/μL
Eritrosit 3,32 4.10 – 6.00 Juta/μL
Hematokrit 27,6 42.00 – 52.00 Vol%
Trombosit 304 150 – 450 ribu/μL
46
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
RDW-CV 13,0 12.1 – 14.0 %
MCV.MCH.MCHC
MCV 83,1 75.0 – 96.0 N
MCH 32,5 28.0 – 32.0 Pg
MCHC 39,1 33.0 – 37.0 %
HITUNG JENIS
Gran% 81,3 50.0-70.0 %
Limfosit% 15,7 25.0-40.0 %
Eosinofil% 3 1,0-3,0 %
Gran# 4,80 2,50-7,00 ribu/ul
Limfosit# 1,09 1,25-4,0 ribu/ul
Eosinofil# 0,21 <3,00 ribu/ul
KIMIA
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 116 <200 mg/dl
HATI DAN PANKREAS
Albumin 3,3 3,5-5,2 g/dl
SGOT 31 0 – 46 U/l
SGPT 23 0 – 45 U/l
GINJAL
Ureum 26 10 – 50 mg/dl
Kreatinin 0,44 0,6 – 1,2 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 120 136-145 mmol/l
Kalium 3,2 3,5-5,1 mmol/l
Klorida 86 98-107 mmol/l

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


URINALISA
MAKROSKOPIS
Warna Kuning Kuning -
Kejernihan Jernih Jernih
Berat Jenis 1.015 1.005-1.030 -
pH 7,5 5.0-6.5 -
Keton Negatif Negatif -
Protein-Albumin Negatif Negatif -
Glukosa Negatif Negatif -
Bilirubin Negatif Negatif -
Darah Samar Negatif Negatif -
Nitrit Negatif Negatif -
Urobilinogen Normal 0.1-1.0 -
47
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Lekosit Negatif Negatif -
SEDIMEN URIN
Lekosit 2-4 0-3 -
Eritrosit 0-1 0-2 -
Epithel 1+ 1+ -
Kristal Negatif Negatif -
Silinder Negatif Negatif -
Bakteri Negatif Negatif -
Lain-lain Jamur + Negatif -

Hasil pemeriksaan EKG 29-10-2019

HR : 74 x/min

Rythm : Normal Sinus Rythm

Axis : Normal Axis

P Normal, PR interval normal, QRS Normal, ST Segmen Normal, T Normal

Kesimpulan : Normal Sinus Rythm, Normal EKG

48
Hasil pemeriksaan Foto Thoracolumbosacral 02-01-2020

49
Pemeriksaan MDT 03 Januari 2020

50
Pemeriksaan Kultur Urin 07 Januari 2020

51
V. Resume Medik

Pasien datang ke IGD dengan keluhan badan lemas sejak 5 hari SMRS.

Nafsu makan pasien menurun, sejak 9 hari smrs. Sehari hanya makan 1 kali/hari, 1-

2 sendok setiap kali makan. Pasien juga mengeluhkan mual (+) setiap kali makan,

namun tidak disertai muntah (-). Pasien juga ada mengeluhkan nyeri perut (+)

disebelah yang hilang timbul, VAS 2. Keluhan BAB hitam (-), Muntah darah (-),

Sesak nafas (-). Pasien BAB setiap 3 hari sekali, konsistensi lunak, warna

kekuningan. Nyeri pinggang sejak 2 bulan SMRS. Nyeri pinggang hilang timbul,

Nyeri dikeluhkan pasien menjalar ke kaki sebelah kiri disertai rasa kebas. Nyeri

Lutut (-). Pasien dapat berjalan namun sekarang hanya bisa berbaring. Pasien tidak

ada meminum obat rutin

Pemeriksaan fisik didapatkan TD 130/80 mmHg, nadi 89 x/menit, napas 20

x/menit, suhu 37,5 C dan SpO2 98% tanpa supplementasi O2. Konj anemis (-), Rh

(-), Wh (-), Suara jantung S1=S2 Normal, Nyeri tekan epigastrium (+), dan Lasegue

(+).

Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 10,8 g/dL, Hipoalbuminemia 3,3


g/dL, Natrium 120 Meq/L dan Clorida 86 Meq/L, Hasil Urinalisa Jamur (+).

VI. Diagnosis Kerja

VI. DAFTAR MASALAH

No. Masalah Data Pendukung

1. Sindroma Geriatri - Keluhan badan lemas sejak 5


hari SMRS.
- Tirah Baring Sejak 5 hari SMRS

52
(Immobility, Instability, Inanitation, - Nafsu makan pasien menurun,
sejak 9 hari smrs. Sehari hanya
Infection)
makan 1 kali/hari, 1-2 sendok
setiap kali makan.
- Pasien juga mengeluhkan mual
(+) setiap kali makan, namun
tidak disertai muntah (-).
- Nyeri Pinggang Menjalar (+),
sejak 2 bulan SMRS
- KATZ Skor : 3
2. Malnutrisi Berat Anamnesis
- Pasien mengalami penurunan
nafsu makan
- Makan Hanya 1 kali sehari, 1-
2 Sendok
- Penurunan BB 6 kg dalam 6
bulan
- MNA Skor : 2
Px Fisik
- BB/TB : 30 kg/148 cm
IMT : 13,7 Kg/M2
Px Penunjang
- Albumin: 3,3
3. ISK Jamur Anamnesis
- Nyeri perut (+) disebelah yang
hilang timbul, VAS 2.Px Fisik
Nyeri tekan Epigastrium (+)
Px Penunjang
- Leukosit: 7,0

- Granulosit 81,3 %

53
- Limfosit 15,7 %

- Lab Urinalisis : Jamur (+)

4. Epigastric Pain Anamnesis


4.1 Sindroma Dispepsia
- Nyeri perut (+) disebelah yang
4.2 Peptic Ulcer Disease
hilang timbul, VAS 2.Px Fisik
Nyeri tekan Epigastrium (+)
Px Penunjang
- Leukosit: 7,0

- Granulosit 81,3 %

- Limfosit 15,7 %

5. Anorexia Geriatri Anamnesis


5.1 Due to Infection
- Nafsu makan pasien menurun,
5.2 Due to no 4
sejak 9 hari smrs. Sehari hanya
makan 1 kali/hari, 1-2 sendok
setiap kali makan.

6. Hiponatremia + Hipoosmolar + Px Penunjang


Euvolemi + Mild Hipokalemia
- Na : 120 Meq/L
6.1 Low Intake
6.2 SIADH - Cl : 86 Meq/L
- K : 3,2 Meq/L
7. Low Back Pain Anamnesis
7.1 Osteoporosis Lumbal
- Nyeri Pinggang Menjalar (+),
7.2 HNP Lumbal
sejak 2 bulan SMRS

Px Penunjang
- RO Thorakolumbosakral :
Osteoporosis Degeneratif

54
VII. RENCANA AWAL

No Masalah Rencana Rencana Terapi Rencana Rencana Edukasi


. Diagnosis Monitoring
1. Sindrom Geriatri -  Miring Kanan dan Miring  monitoring  Edukasi pasien
(Immobility, Kiri setiap 2 jam tanda vital untuk berlatih
Instability,  Tatalaksana lain sesuai  Evaluasi bergerak
Inanitation, penyakit yang mendasari Status
Infection)  Co Fisioterapi Mobilisasi
2. Malnutrisi Berat -  Diet TKTP 1700 Kkal/Hari  Observasi  Edukasi pasien
 IVFD NS : Aminofluid 1 : 2 tanda vital untuk makan
1500 cc dalam 24 jam  Cek Albumin sedikit sedikit tapi
 Co Ahli Gizi tiap 7 hari sering
 Edukasi keluarga
untuk menemani
lansia makan
3. ISK Jamur -  Inj Fluconazole 1 x 200 mg  Observasi  Edukasi pasien
tanda vital untuk menjaga
 Cek UL tiap 3 hygine
hari  Edukasi untuk
tidak menahan
kemih
4. Epigastric Pain  OMD  Inj Omeprazole 1 x 40 mg  Observasi  Edukasi untuk
4.1 Sindrom  Inj Metoclopramide 1 x 10 tanda Vital makan sedikit
Dispepsia mg sedikit namun
4.2 Peptic Ulcer sering
Disease

5. Anorexia   Curcuma Syr 3 x C  Observasi  Edukasi keluarga


Geriatri tanda Vital untuk menemani
5.1 Infection lansia makan
5.2 Due to no 4
6. Hiponatremia +   Kapsul Garam 3 x 500 mg  Cek SE setiap  Edukasi makan
Hipoosmolar +  Diet Tinggi Kalium 3 hari makanan tinggi
Euvolemi + Mild kalium seperti
Hipokalemia pisang.
6.1 Low Intake  Perbanyak Minum
6.2 SIADH air putih
7. Low Back Pain  BMD  Kalsium Tablet 3 x 1 tab  Evaluasi  Edukasi pasien
7.1 Osteoporosis  Calcitriol 2 x 0,25 mcg Status untuk
Lumbal Mobilisasi mengkonsumsi
7.2 HNP Lumbal  Evaluasi skala makanan tinggi
nyeri kalium
 Latihan gerak
pasif aktif

55
VIII. Follow Up

Pada hari perawatan pertama pasien masih mengeluhkan badan lemas,

hanya bisa berbaring, tidak mau makan, masih nyeri perut, dan nyeri pinggang.

Tanda - tanda vital pasien baik, ditemukan nyeri tekan pada regio epigastrium. Pada

hari 1 pasien diguyur ns 0,9% 1000 cc dan mendapatkan ksr tablet, lalu

diplanningkan untuk pemeriksaan morfologi darah tepi, pemeriksaan albumin,

pemeriksaan urin lengkap dan pemeriksaan RO Lumbosacral.

Pada hari perawatan kedua didapatkan hasil albumin pasien 3,3 dan

didapatkan urin output pasien 900 cc/24 jam sehingga pasien sudah tidak dalam

kondisi dehidrasi. Planning terapi pada hari kedua diberikan tambahan infus NS 0,9

: Aminofluid 1:2 dan omeprazole 1 x 40 mg. Pasien juga direncanakan untuk konsul

bagian gizi.

Pada hari perawatan ketiga keluhan nyeri perut pasien sudah mulai

berkurang, hasil pemeriksaan UL pasien didapatkan infeksi saluran kemih jamur,

sehingga diberikan terapi inj fluconazole 1 x 200 mg. Pasien direncanakan untuk

pemeriksaan kultur urin.

Pada hari perawatan keempat hasil pemeriksaan RO lumbosacral

didapatkan proses osteoporosis degeneratif pada vertebra lumbal, sehingga rencana

terapi pada pasien ditambahkan Kalsium tablet 3 x 1 tab dan Calcitriol 2 x 0,25 mg,

serta direncanakan untuk pemeriksaan BMD. Pada hari perawatan ke 4 juga

didapatkan hasil SE ulang dengan peningkatan natrium menjadi 125 Meq/L,

sehingga terapi pada pasien ditambahkan kapsul garam 3 x 500 mg.

56
Hari perawatan kelima pasien mulai bisa mobilisasi duduk, keluhan nyeri

perut sudah berkurang, nyeri pinggang masih. Pasien direncanakan untuk

konsutlasi ke bagian rehabilitasi medik.

Pada hari perawatan ke enam keluhan pasien nyeri perut sudah berkurang,

pasien bisa mobilisasi duduk, lemas sudah berkurang, nyeri pinggang sudah

berkurang. Didapatkan jawaban dari bagian rehabilitasi medik dengan rencana

tatalaksana TENS, Latihan ROM, dan mobilisasi bertahap. Pasien dipulangkan

untuk kontrol ke poli geriatri dan ke poli fisioterapi.

57
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, seorang wanita berusia 72 tahun datang dengan keluhan

badan lemas sejak 5 hari SMRS. Nafsu makan pasien menurun, sejak 9 hari smrs.

Sehari hanya makan 1 kali/hari, 1-2 sendok setiap kali makan. Pasien juga

mengeluhkan mual (+) setiap kali makan, namun tidak disertai muntah (-). Pasien

juga ada mengeluhkan nyeri perut (+) disebelah yang hilang timbul, VAS 2.

Keluhan BAB hitam (-), Muntah darah (-), Sesak nafas (-). Pasien BAB setiap 3

hari sekali, konsistensi lunak, warna kekuningan. Nyeri pinggang sejak 2 bulan

SMRS. Nyeri pinggang hilang timbul, Nyeri dikeluhkan pasien menjalar ke kaki

sebelah kiri disertai rasa kebas. Nyeri Lutut (-). Pasien dapat berjalan namun

sekarang hanya bisa berbaring. Pasien tidak ada meminum obat rutin.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD 130/80 mmHg, nadi 89 x/menit,

napas 20 x/menit, suhu 37,5 C dan SpO2 98% tanpa supplementasi O2. BB/TB

pasien 30/148 cm, IMT 13,7 kg/m2. Status lokalis Konj anemis (-), Rh (-), Wh (-),

Suara jantung S1=S2 Normal, Nyeri tekan epigastrium (+), dan Lasegue (+). Dari

hasil pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 10,8 g/dL, Hipoalbuminemia 3,3 g/dL,

Natrium 120 Meq/L dan Clorida 86 Meq/L, Hasil Urinalisa Jamur (+). Pasien

didiagnosis dengan Sindroma Geriatri + Malnutrisi Berat + ISK Jamur + Epigastric

58
Pain + Anorexia Geriatri + Hiponatremia Hipoosmolar Euvolemi + Mild

Hipokalemia + LBP.

Pada geriatri tidak hanya dinilai dari aspek medik saja, namun juga

melakukan assesment dari segi fisik, psikologik, dan sosial ekonomi. Interaksi dari

3 komponen tersebut menggambarkan keadaan fungsional organ/dan atau tubuh

secara keseluruhan, yang dapat dimengerti, merupakan gambaran “kesehatan”

secara luas pada usia lanjut. Pada usia lain hal ini tidak terjadi, dan keadaan fisik,

psikis, dan sosial ekonomi seolah-olah tidak saling berkaitan.

Karakteristik penderita geriatri yang pertama, multipatologi yaitu pada satu

penderita terdapat lebih dari satu penyakit yang umumnya bersifat kronik

degeneratif. Kedua, menurunnya fungsi daya cadangan yang menyebabkan

penderita geriatri sangat mudah mengalami syncope dalam kondisi gagal pulih

(failure to thrive). Karakteristik kedua terjadi akibat penurunan fungsi berbagai

organ atau sistem organ, yang walaupun normal untuk usianya namun telah

menandakan menurunnya fungsi daya cadangan. Ketiga, berubahnya gejala dan

tanda penyakit dari yang klasik misalnya, pada pneumonia tidak dijumpai gejala

khas seperti batuk, demam, dan sesak melainkan syncope atau terdapat perubahan

kesadaran. Keempat, terganggunya status fungsional penderita geriatri. Status

fungsional adalah kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas hidup sehari‐

hari. Keadaan status fungsional menggambarkan kemampuan umum seseorang,

sekaligus menggambarkan kondisi kesehatannya secara umum. Kelima, sering

terdapat gangguan nutrisi berupa gizi kurang atau gizi buruk.

59
Penyakit pada usia lanjut berbeda tampilan dan perjalanan alamiahnya

dibanding penyakit pada golongan populasi muda. Pada populasi muda setiap

penyakit pada satu organ yang disebabkan oleh agen tertentu akan memberikan

gejala dan tanda yang khas bagi penyakit dan organ yang bersangkutan. Pada

populasi usia lanjut hal tersebut tidak bisa dilakukan, karena gejala dan tanda yang

timbul adalah tidak khas dan menyelinap, karena merupakan akibat dari berbagai

keadaan penurunan fisiologik dan berbagai keadaan patologik yang bercampur

menjadi satu ditambah lagi dengan adanya pengaruh lingkungan dan sosial-

ekonomi serta gangguan psikis. Oleh karena itu untuk mendiagnosis kelainan atau

penyakit yang ada perlu diadakan analisis multidimensional, yang mencakup bukan

saja keadaan fisik, tetapi juga keadaan psikis, sosial, dan lingkungan dari penderita.

Setelah dilakukan assesment yang mencakup 3 komponen tersebut, pasien ini

menderita menderita Sindroma Geriatri. Pasien memiliki segi pendukung yang

kurang baik. Selama ini, anak pasien kurang memperhatikan dan merawat pasien,

anak pasien kurang memperhatikan pasien dari segi makanan dan kebutuhan

toiletnya. Dari segi lingkungan rumah pasien juga sudah mendukung untuk

kesembuhan dan keamanan pasien, karena ventilasi dan pencahayaan yang cukup,

WC duduk namun tidak ada pegangan di tembok untuk pasien berjalan, serta lantai

licin terutama lantai kamar mandi. Faktor internal pada pasien ini seperti Nyeri

perut, mual, dan nyeri punggung yang menjalar. Kita ketahui bahwa mobilitas

pasien untuk berjalan mulai terbatas karena nyeri pinggangnya. Pasien mulai tidak

bisa duduk dan hanya bisa berbaring sejak 5 hari SMRS karena lemah. Fungsi

depresi pada pasien ini : baik / tidak depresi; Mini Mental Score Examination :

60
probable gangguan kognitif ; Skor Norton (mengukur risiko dekubitus) :

kemungkinan besar terjadi dekubitus; indek Katz (menilai AKS) : 3, tergantung

untuk semua fungsi, Skor MNA : 2 Malnutrisi. Sindroma geriatri : sindroma

serebral (-), konfusio (-), gangguan otonom (-), inkontinensia (-), jatuh (-), kelainan

tulang atau patah tulang (+), dekubitus (-), AKS : Immobility (+), Impairment of

vision (+), intellectual impairment (+).

Pada pasien terjadi malnutris yang disebabkan oleh infeksi dan intake

makanan yang inadekuat. Malnutrisi dihubungkan dengan kejadian buruk pada

pasien geriatri karena dapat meningkatkan morbiditas, mortalitas, perpanjangan

masa rawat di rumah sakit, keterlambatan pemulihan pasca rawat, meningkatnya

komplikasi yang mengancam, gangguan fungsi, kualitas hidup yang buruk,

meningkatnya infeksi, terjadinya gangguan elektrolit, anemia, dan keletihan.3

Penurunan protein albumin fase akut yang berhubungan dengan eksaserbasi

pada berbagai penyakit kronik meningkatkan kebutuhan energi, yang selanjutnya

memperburuk metabolisme nutrien pada pasien usia lanjut. Penyakit kronik

menyebabkan inflamasi jaringan dan nekrosis, yang menyebabkan pembebasan

CRP dan sitokin yang selanjutnya menyebabkan penurunan asupan makanan, berat

badan dan fungsi otot. Hal ini terlihat jelas pada penyakit kronik yang menyebabkan

respon inflamasi misalnya gagal jantung kongestif dan keganasan.16 Studi

menunjukkan bahwa gejala depresi yang diukur dengan GDS sebagai prediktor

independen risiko nutrisi.54 Hal ini disebabkan depresi mempengaruhi selera dan

asupan makanan, serta kehilangan berat badan dan disabilitas sosial serta fisik.13

61
Menurunnya nafsu makan hampir selalu menjadi gejala awal dari berbagai

jenis infeksi pada geriatri termasuk penderita ISK. Penurunan nafsu makan tersebut

sering dianggap sebagai suatu hal yang biasa pada warga usia lanjut sehingga

keluarga tidak begitu mempermasalahkan. Perlu diwaspadai bahwa perubahan

nafsu makan tidak saja berperan sebagai tanda awal adanya penyakit yang serius,

namun juga merupakan kondisi yang menurunkan status gizi dan kekebalan

seseorang, apalagi pada kelompok usia lansia Jika keadaan ini dibiarkan maka

keadaan umum penderita akan semakin lemah dan penderita cenderung lebih

banyak berbaring. Kondisi kelemahan tubuh akan menurunkan status

fungsionalnya, sehingga penderita cenderung immobile. Kondisi tersebut

mempunyai berbagai dampak yang sangat luas. Penurunan status fungsional yang

berujung pada tirah baring lama sering mengakibatkan inkontinensia urin. Jika

penderita menggunakan popok dan tidak sering diganti dengan yang bersih dan

kering, maka daerah genitalia akan terus menerus menjadi area yang sangat baik

untuk berkembangbiaknya bakteri penyebab ISK. Inkontinensia urin sendiri sering

merupakan gejala ISK pada penderita geriatri. Kondisi lebih jauh adalah munculnya

gejala perubahan kesadaran, delirium atau perubahan perilaku yang sering disalah‐

tafsirkan oleh keluarga dan tenaga kesehatan sebagai perubahan kepribadian atau

stroke. Sindrom delirium yang sesungguhnya sedang terjadi itu, juga merupakan

salah satu bentuk gejala yang muncul pada ISK. Penderita boleh jadi menjadi

hipoaktif, hiperaktif, pola tidurnya berubah, atau fungsi kognitifnya menurun. ISK

sering muncul dalam bentuk kegawatdaruratan akibat syncope, hal ini yang

membawa penderita ke unit gawat darurat. Penderita mungkin masih mampu aktif

62
dan kesadarannya kompos mentis namun tanpa alasan yang jelas mengalami

syncope di rumah. Komplikasi dari jatuh merupakan topik bahasan sendiri yang

memerlukan pendekatan khusus jika tenaga kesehatan berhadapan dengan

penderita usia lanjut. Gejala klinis yang muncul seperti disuri dan polakisuri jarang

ditemukan, walaupun bisa saja terjadi. Hal itu disebabkan karena kemampuan

ekspresi penderita geriatri berbeda dengan penderita dewasa muda. Seperti telah

dikemukakan, gangguan faal kognitif dan emosi sering mewarnai berbagai gejala

penyakit pada penderita geriatri. Tanda‐tanda seperti demam, nyeri tekan daerah

suprapubik maupun sakit pinggang jarang sekali ditemukan. Kurva suhu basal

harian (jika ada) yang dibandingkan dengan suhu tubuh saat terdapat ISK dapat

dijadikan patokan dalam rangka membantu menegakkan diagnosis.

Hasil pemeriksaan UL pasien didapatkan infeksi saluran kemih jamur,

sehingga diberikan terapi inj fluconazole 1 x 200 mg. Pada pasien juga diberikan

omeprazole 1 x 40 mg dan metoclopramide 1 x 10 mg untuk keluhan nyeri

epigastrium dan keluhan mual. Hasil pemeriksaan RO lumbosacral didapatkan

proses osteoporosis degeneratif pada vertebra lumbal, sehingga rencana terapi pada

pasien ditambahkan Kalsium tablet 3 x 1 tab dan Calcitriol 2 x 0,25

Penatalaksanaan Hiponatremia pada pasien yaitu dengan koreksi lambat

menggunakan oral kapsul garam 3 x 500 mgPenatalaksanaan imobilisasi pada

pasien yaitu berupa terapi TENS, Latihan ROM, dan mobilisasi bertahap oleh

bagian rehabilitasi medik

Penatalaksanaan pasien geriatri perlu dilakukan secara paripurna yang

dikenal sebagai comprehensive geriatric asessment sehingga pasien berusia lanjut

63
memiliki derjat kesehatan optimal dan kemampuan fungsional tertinggi.

Penatalaksaan paripurna harus diberikan pada pasien ini karena menderita

multimorbiditas, berupa mengatasi penyakit dasar dan penyerta serta sindroma

geriatri yang ada. Edukasi pada keluarga sangat penting mengenai asupan nutrisi,

kebersihan tubuh dan lingkungan, serta dukungan kasih sayang. Pada pasien ini

penting dilakukan penilaian CGS secara berkala untuk menilai kemampuan

fungsional pasien. Status nutrisi pasien yang malnutrisi akan dinilai secara berkala

melalui MNA, begitu pula dengan ADL Barthel, penapisan depresi dan MMSE

sampai mencapai derjat kesehatan optimal.9

64
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus seorang Perempuan usia 72 tahun dengan

diagnosis Sindroma Geriatri + Malnutrisi Berat + ISK Jamur + Epigastric Pain +

Anorexia Geriatri + Hiponatremia Hipoosmolar Euvolemi + Mild Hipokalemia +

LBP. Diagnosis didapatkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Pasien pertama kali dirawat di ruang perawatan Tulip

penyakit dalam wanita RSUD Ulin Banjarmasin pada tanggal 31 Desember 2019

dan dipulangkan pada tanggal 7 Januari 2020.

65
DAFTAR PUSTAKA

1. Goldman L, Schaefer AI. Goldman’s Cecil medicine. Edisi ke-24. Philadelphia:


Elsevier Saunders; 2012.
2. Badan Pusat Statistik (BPS). Perkembangan beberapa indikator utama sosial-
ekonomi Indonesia. Jakarta: BPS Indonesia; 2012
3. Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Essentials of clinical geriatrics. Edisi ke-5.
New York: McGraw- Hill; 2004.
4. Pranarka K. Penerapan geriatrik kedokteran menuju usia lanjut yang sehat.
Dalam: Rahayu RA, Karjono BJ, editor (penyunting). Simposium “Geriatric
Syndromes: Revisited”; 2011 April 1-3; Semarang. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro; 2011. hlm. 1-22.
5. Marengoni A, Angleman S, Melis R, Mangialasche F, Karp A, Garmen A, et al.
Aging with multimorbidity: a systemic review of the literature. Ageing Research
Reviews. 2011;10:430-9.
6. Besdine RW. Evaluation of the elderly patient. the merck manual professional
edition [serial online] 2013 (diunduh pada 24 Desember 2014). Tersedia di URL:
HYPERLINK http:// www.merck.com/pubs
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kemenkes RI. Gambaran kesehatan
lanjut usia di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI; 2013.
8. Yenny, Herwana E. Prevalensi penyakit kronis dan kualitas hidup pada lanjut
usia di Jakarta Selatan. Universa Medicina. 2006;25(4):164-71.
9. Eckerblad J, Theander K, Ekdahl A, Unosson M, Wirehn AB, Milberg A, et al.
Symptom burden in community-dwelling older people with multimorbidity: a
cross-sectional study. BMC Geriatrics. 2015;15(1):1-9
10. Soiza R, Hoyle GE, Chua MP. Electrolyte and salt
disturbances in older people: causes, management and implications. Reviews in
Clinical Gerontology. 2008;18:143 -58.
11. Kugler JP, Husted T. Hyponatremia and hypernatremia in the elderly. Am Fam
Physician. 2000;61(12):3623-30.

66
12. Soejono CH. Infeksi saluran kemih pada geriatri. Majalah Kedokteran
Indonesia. 2005;55:165-8.
13. Timmons, MC. 2003. “Gynecologic and Urologic Problems of Older Women”.
In Cassel CK, Leipzig RM, Cohen HJ, Larson EB, Meier DE. (Ed.). Geriatric
medicine: An Evidence Based Approach (pp.743‐5). Springer Verlag, New
York.
14. Wahyudi, ER. 2004. “Prevalensi infeksi saluran kemih dan sebaran faktor risiko
pada pasien usia lanjut di RSCM” (pp.36). Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, Jakarta.
15. Williams, M.E. 1999. “The Approach To Managing The Elderly Patients”. In
Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JF, Ouslander JG (Ed). Principles
of Geriatric Medicine and Gerontology (pp.249‐52).McGraw‐Hill, New York.

67

Anda mungkin juga menyukai