Anda di halaman 1dari 13

Pendahuluan

Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata - mata

sebuah imitasi. Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada

hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan

tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya,

berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra

lahir dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan

eksistensi dirinya.

Drama / teater adalah salah satu sastra yang amat popular hingga sekarang.

Bahkan di zaman ini telah terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang teater.

Contohnya sinetron, film layar lebar, dan pertunjukan – pertunjukan lain yang

menggambarkan kehidupan makhluk hidup. Selain itu, seni drama / teater juga telah

menjadi lahan bisnis yang luar biasa. Dalam hal ini, penyelanggara ataupun pemeran

akan mendapat keuntungan financial serta menjadi terkenal, tetapi sebelum sampai ke

situ seorang penyelenggara atau pemeran harus menjadi insan yang profesionalitas

agar dapat berkembang terus.

Pada makalah ini, akan dibahas mengenai apresiasi drama dan film serta

pengajarannya.

B.  Apresiasi

Istilah apresiasi berasal dari bahasa Inggris "appreciate" dalam kamus

Oxford judge rightly the value of; understand and enjoy[1], yang berarti menetapkan

sebuah penilaian, pengertian dan kenikmatan dari sesuatu. Sedangkan, dalamKamus


Umum Bahasa Indonesia kata “apresiasi berarti penilaian dan penghargaan hasil

karya”[2].

Apresiasi terhadap nilai seni yang terkandung sastra terdapat dalam tulisan atau

sebuah pembelajaran yang menghasilkan karya seni yang bernilai seperti drama, fiksi,

essay, puisi, film dan biografi[3]. Adanya nilai seni dalam karya tulis sastra seperti karya

William Shakespeare dalam Romeo and Juliet sangat berbeda dengan buku telepon,

surat kabar, dokumen resmi dan tulisan ilmiah[4].

            Dengan demikian, yang dimaksud dengan apresiasi dalam karya sastra adalah

penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra, baik yang berbentuk

drama maupun film atau suatu kegiatan mengakrabkan sastra dengan sungguh-

sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan

kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra.

1.  Apresiasi Drama

Drama merupakan pengemukaan gagasan dan perasan melalui bentuk dialog

antara berbagai tokoh. In general any work meant to be performed on a stage by

actors. A more particular meaning is a serious play; not necessarily tragedy. See

comédie; comedy; drame; tragedy[5]. Drama adalah salah satu genre sastra yang

berada pada dua dunia seni, yaitu seni sastra dan seni pertunjukan atau teater. “The

dramatic or performing arts, however, combine the verbal with a number of non-verbal

or optical- visual means, including stage, scenery, shifting of scenes, facial expressions,

gestures, make-up, props, and lighting”[6]. Drama atau pertunjukkan seni,

bagaimanapun juga merupakan pertunjukkan verbal atau non-verbal atau seni optikal

visual, termasuk panggung, gambar, pergantian layar, ekspresi wajah, gesture, make-


up, penopang atau pilar dan cahaya. Orang yang melihat drama sebagai seni sastra

menunjukkan perhatiannya pada seni tulis teks drama yang dinamakan juga dengan

seni lakon. Teknik penulisan teks drama berbeda dengan teknik penulisan puisi atau

prosa. Orang yang menganggap drama sebagai seni pertunjukan (teater) fokus

perhatiannya ditujukan pada pertunjukannya atau pementasannya, tidak semata pada

teksnya saja.

Drama anak merupakan suatu bentuk drama yang diperankan/ tokoh pelakunya

adalah anak-anak. Misalnya: opera anak (trans7), ketoprak anak, d

  Pendahuluan

Drama adalah salah satu bentuk karya sastra. Menurut Ferdinand Brunetiere (1914),

drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak

manusia dengan action dan perilaku. Dengan kata lain, drama berisi kisah yang merupakan

tiruan dari perilaku dan kehidupan manusia sehari-hari.

Pembelajaran drama di sekolah saat ini masih didominasi ranah apresiasi drama. Siswa

diajak untuk menonton atau membaca naskah drama. Kegiatan ekspresi drama terkadang

dilupakan. Hal tersebut sangat disayangkan, karena kegiatan berekspresi dapat memberikan

pengalaman langsung kepada siswa untuk mendalami sebuah naskah drama, misalnya kegiatan

menulis drama.

Kemampuan menulis drama merupakan kemampuan yang tidak datang secara tiba-tiba.

Kemampuan tersebut harus terus diasah dengan melakukan pembelajaran dan latihan. Kondisi

kemampuan menulis teks drama pada siswa saat ini belum maksimal. Hal ini disebabkan strategi

pembelajaran yang digunakan oleh guru kurang tepat. Dalam pembelajaran menulis drama,

biasanya guru hanya memberi teori tanpa praktik. Guru hanya memberi penjelasan mengenai

teks drama, tanpa melibatkan siswa secara langsung. Hal ini pulalah yang menyebabkan siswa
menjadi kurang berminat dan kurang termotivasi dalam mengikuti pembelajaran menulis teks

drama.

Hal tersebut senarai dengan hasil penelitian yang dilakukan Arif Rahman dan tertuang

dalam skripsinya yang berjudul “Model Pembelajaran Menulis naskah Drama dengan

Menggunakan Media Drama Komedi Extravaganza”. Menurut hasil penelitian tersebut,

kemampuan siswa dalam menulis naskah drama masih sangat kurang.

Hal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Menurut hasil penelitian yang

dilakukan oleh Agus Hamdani dan tertuang dalam tesisnya yang berjudul “Penyusunan model

pengajaran apresiasi drama : studi kuasi eksperimen terhadap siswa kelas II SMU Negeri Cililin

Gelar Magister Pendidikan Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia”, salah satu faktor yang

menyebabkan kurang maksimalnya hasil pembelajaran yang diraih adalah kurang variatifnya

model pembelajaran yang diterapkan. Pengajaran sastra sering dikeluhkan banyak pihak.

Keluhan ini umumnya mengarah pada hasil pengajaran sastra yang dianggap kurang memuaskan

dan pelaksanaan pengajarannya yang dianggap cenderung lebih memberi tekanan pada

pengetahuan sastra dibanding pada pengalaman sastra. Salah satu faktor penyebab terjadi

keluhan ini adalah karena guru kurang memahami dan menguasai model-model pengajaran yang

sesuai dengan hakikat pengajaran sastra. Dari pernyataan tersebut bisa dilihat bahwa model

pembelajaran menjadi salah satu faktor yang bisa menentukan keberhasilan pembelajaran,

khususnya pembelajaran menulis drama.

Model pembelaran menulis drama yang ada sekarang cenderung monoton dan tidak

komunikatif. Siswa jarang dilibatkan secara aktif. Mereka sering diberi teori-teori tanpa praktik.

Padahal dalam pembelajaran sastra, khususnya drama, keterlibatan siswa menjadi aspek yang

penting.

B.                 Isi

Pembelajaran Berdasarkan Sumber Belajar (Resource Based Learning)


Banyak sekali model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran menulis

drama. Salah satu model tersebut adalah model Pembelajaran Berdasarkan Sumber Belajar

(PBSB). Model PBSB mengutamakan sumber belajar sebagai fokus utamanya. Siswa

dihadapkan dengan berbagai macam sumber belajar yang bisa dipilih sesuai dengan

kemampuannya masing-masing, dengan tujuan untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal.

Berikut ini pengertian PBSB menurut Blakley dan Carrigan (dalam Campbel, dkk., 2009)
Resource-based learning is an educational model designed to actively engage students
with multiple resources in both print and non-print form. Ideally, the classroom teacher and
media specialist collaborate to plan resource-basedunits.

            Model PBSB pertama kali resmi digunakan oleh Association of College and

Research Libraries (ACLR) dan American Library Association (ALA) pada tahun1989.

Kedua institusi ini sangat mendukung pembelajaran berbasis sumber belajar

karena siswa dapat berkolaborasi dengan rekan-rekan mereka, guru, dan masyarakat

untuk menemukan jawaban dengan sumber belajar yang sangat bervariasi.

Penerapan model PBSB dalam pembelajaran terus berkembang hingga saat ini.

Kini, sumber belajar yang digunakan pun semakin bervariasi, mulai dari sumber yang

dirancang (by design), maupun yang digunakan (by utilization).  Di beberapa negara,

model ini digunakan dan berhasil mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan.

Model Pembelajaran Berdasarkan Sumber Belajar (PBSB) adalah titik tengah atau

perpaduan dari model pembelajaran berbasis guru dan berbasis murid. PBSB adalah model

pembelajaran yang dirancang agar siswa terlibat secara aktif dengan berbagai sumber

pembelajaran. Siswa dapat belajar menurut langkah-langkah tertentu, seperti dalam pembelajaran

berporgram, atau menurut pemikirannya sendiri untuk memecahkan masalah tertentu. Berikut ini

pemaparan PBSB menurut Farmer (dalam Vina, 2012)


Teachers often teach lessons or units using a variety of media, including guest
speakers, videos, or hypermedia presentations. Because teachers select content and
mode of delivery, such instruction is more aptly deemed resource-based instruction, a
pedagogy that is more teacher-centered. Resource-based learning is predicated upon
the principle that individual learners will be drawn to the media and content which best
match their own processing skills and learning styles  (Farmer, 1999).

Dalam pembelajaran konvensional, biasanya guru yang menyediakan semua

sumber pembelajaran, baik itu media ataupun bahan ajar. Siswa mau tidak mau harus

menerima semua hal itu, baik itu cocok untuk dirinya ataupun tidak cocok. Di dalam

model pembelajaran PBSB, siswa dapat memilih sumber pembelajaran apa yang paling

cocok untuk dirinya, yang dapat membantu meningkatkan kompetensi dirinya.

Berdasarkan pemaparan mengenai rumusan model pembelajaran menurut Bruce Joice

dan Marsha Weil (2000), maka model pembelajaran PBSB dirumuskan memiliki konsep-konsep

sebagai berikut.

a.       Orientasi Model

Model pembelajaran PBSB berorientasi pada sumber belajar. Pada setiap proses pembelajaran

dengan model PBSB, sumber belajar yang variatif merupakan faktor penunjang keberhasilan

mahasiswa. Mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih sumber belajar yang paling sesuai

dengan kebutuhannya untuk menyelesaikan masalah.

b.      Model Mengajar

(1)   Sintaksis

Model ini memiliki empat fase, yaitu (a) siswa dihadapkan pada masalah; (2) siswa dihadapkan

pada sumber-sumber belajar; (3) siswa memilih sumber belajar yang cocok untuk memecahkan

masalah; (4) siswa memecahkan masalah dengan sumber belajar yang sudah dipilihnya. Fase-

fase tersebut bisa terlihat pada bagan Prosedur PBSB berikut ini.

Model PBSB ini menempuh strategi sebagai berikut.

1)      Fase kesatu: Siswa menerima informasi tentang model PBSB, kemudian mahasiswa dihadapkan

pada masalah dalam pembelajaran.


2)      Fase kedua: Siswa dihadapkan pada berbagai macam sumber belajar yang bisa mendukung dan

meningkatkan keterampilan mereka.

3)      Fase ketiga: Siswa memilih sumber belajar yang paling sesuai bagi dirinya untuk memecahkan

masalah.

4)      Fase keempat: Siswa memanfaatkan/ menggunakan sumber belajar tersebut untuk memecahkan

masalah yang dihadapinya dalam pembelajaran.

(2)     Sistem Sosial

Sistem sosial model PBSB ini bersifat kooperatif. Guru dan siswa menjadi satu tim yang sama-

sama bekerja untuk menemukan sumber belajar yang cocok untuk diterapkan mahasiswa dalam

memecahkan masalah.

(3)     Prinsip-prinsip Reaksi

Reaksi dari guru terutama dibutuhkan pada fase kedua dan ketiga. Tugas guru pada fase kedua

dan ketiga adalah membantu siswa dalam mencari dan menemukan sumber belajar yang cocok

digunakan mahasiswa untuk memecahkan masalah, tetapi bukan berarti gurumelakukan

semuanya sendiri sementara siswa pasif. Pada fase terakhir, tugas guru adalahmengarahkan

siswa untuk menggunakan sumber belajar yang telah dipilihnya semaksimal mungkin  agar

mereka dapat memecahkan masalah dengan sumber belajar itu.

(4)     Sistem Penunjang

Penunjang yang secara optimal dapat berdampak positif pada pelaksanaan model ini ialahadanya

sumber belajar yang variatif untuk meningkatkan kemampuan siswa.

c.       Penerapan

Model PBSB ini tidak hanya sesuai bagi pelajaran ilmu sosial akan tetapi juga bagi ilmu

pengetahuan alam. Model PBSB dapat diterapkan pada setiap materi pelajaran dan pada semua

kelas berdasarkan tingakatn usia ataupun tingkatan kelas.


d.      Dampak Instruksional dan Penyerta

Meskipun model ini menekankan pada sumber belajar, tetapi keberhasilannya juga tidak terlepas

pada proses sehingga dapat meningkatkan hasil belajar. Model ini memberikan dampak

instruksionalnya dalam hal (1) meningkatkan keterampilan mengkaji dan memecahkan

masalah; dan (2) mengembangkan strategi untuk memecahkan masalah. Sedangkan dampak

penyertanya ialah dalam hal (1) memupuk inisiatif; (2) menumbuhkan keaktifan dalam

belajar;  dan (3) membiasakan toleran terhadap keberagaman.

Berikut ini akan dipaparkan beberapa model pembelajaran menulis


drama yang dapat anda terapkan di kelas Anda.
1.      Mengisi dialog patonim
Model ini diawali dengan kegiatan siswa menonton pantonim yang dilakukan
oleh seorang siswa dari kelas itu sendiri. Dikelas 1 dan 2 siswa pernah
melakukan pantonom dengan cara mniru perilakunya. Perilaku nyata yang
mereka pantomimkan adalah prilaku yang sering mereka lihat, yang telah
mereka akrabi. Jadi, kriteria sesuai dengan lingkungan harus senantiasa
dieprhatikan guru. Selanjutnya, setelah menonton pantomim, siswa diminta
menuliskan percakapan yang sekiranya tepat untuk gerakan pantomim itu.
Sekiranya masih ada waktu, mereka diminta melengkapi dialog tersebut
dengan petunjuk lak, busana, latar dan sebagainya, sehingga menjadi
naskah sederhana yang lengkap.

2.      Mencatat dialog sosiodrama


Sosiodrama juga sudah dilakukan di kelas rendah. Pada saat itu siswa hanya
memerankan saja tanpa mencatat dialognya. Dalam pembelajaran dengan
model ini siswa diminta mencatat atau merekam dialog yang diucapkan
temannya. Untuk itu kegiatan pembelajarannya dilakkan dalam kelompok.
Siswa berbagi tugas, siapa yang bersosiodrama dan siapa yang mencatat
atau merekam dialog yang diucapkan temanna. Kegiatan selanjutnya
melengkapi dialog tersebut dengan unsur-unsur lain, seperti yang dilakukan
dalam menulis drama melalui menonton pantomim. Kegiatan ini dapat
dilakukan di rumah. Hasil pekerjaan mereka kemudian dibacarakan
bersama. Setiap siswa mendapat peran sesuai dengan pembagian yang
telah mereka tetapkan.
3.      Mencatat dialog tentang suatu benda
Kegiatan yang dilakukan hampir sama dengan kegiatan pembelajaran dalam
kedua model terdahulu. Dalam model ini dialog dirangsang dengan
menggunakan suatu benda yang diambil dari lingkungan sekitar. Benda itu
dapat berupa ranting, daun, bunga, bat atau apa saja yang dapat diperoleh
dengan mudah. Caranya, pertama mintalah dua orang siswa atau lebih
tampil ke depan kelas setelah terlebih dulu Anda perlihatkan kepada mereka
suatu benda. Biarkan mereka ertanya jawab tentang benda itu. Mungkin
dialog yang terjadi apa adanya sesuai dengan tanggapan mereka, misalnya:
Siswa 1  : “Bawa apa itu?”
Siswa 2  : “Bunga”
Siswa 1  : “Dari mana kaudapat?”
Siswa 2  : “Kupetik di pinggir jalan”
Siswa 1  : “Kamu, mencuri ya?”
Siswa 2  : “Tidak, bunga itu tumbuh liar”
Siswa 1  : “Untuk apa bunga itu?”
Siswa 2  : “Kutaruh dalam vas untuk penghias kamarku”
Sampai disitu saja sudah bagus, bukan? Siswa sudah dapat berdialog. Bila
ingin dialog itu berkembang, anda perlu menempuh cara kedua, yaitu
merangsang timbulnya daya fantasi siswa, misalnya anda mengatakan
demikian: “Anak-anak, ibu punya bunga yang ibu petik dari halaman rumah.
Kamu semua dapat membayangkan bunga itu dipetik dimana, oleh siapa
dan untuk apa. Kamu boleh berkhayal tentang apa saja tentang bunga ini.
Misalnya kamu boleh berkhayal tentang bunga obat yang dapat mengobati
putri raja atau pangeran dari suatu kerajaan. Putri raja atau pangeran itu
boleh kaubari nama siapa saja. Coba kaubuat cerita tentang hal itu dalam
bentuk dialog!”
Dengan cara seperti itu, fantasi siswa akan terangsang sehingga mereka
tergerak menyusun dialog yang lebih imajinatif lagi. Setelah selesai,
bacakan dialog yang mereka susun di depan kelas. Selanjutnya, pembacaan
naskah dilakukan oleh beberap orang siswa sesuai dengan peran yang ada,
pemilihan pembaca dilakukan oleh si penulis dialog.
4.      Menulis dialog boneka
Pembelajaran menulis drama melalui boneka ini hampir sama kegiatannya
dengan kegiatan dari model mencatat dialog tentang suatu benda. Di sini
benda itu diganti dengan boneka. Boneka yang dijadikan sebagai
perangsang lahirnya dialog dapat berjumlah beberapa buah. Dialog yang
dihasilkan dapat berupa dialog beberapa orang siswa tentang boneka atau
dialog bagi setiap boneka yang akan dimainkan. Selain itu, dialog yang
dihasilkan dpat berupa dialog nyata atau dialog fantasi.
5.      Menulis dialog topeng
Pembelajaran menulis dialog topeng, sama kegiatannya dengan model
pembelajaran menulis dialog dengan menggunakan benda atau boneka.
Siswa diminta mengamati topeng-topeng yang ada. Kemudian
menyimpulkan karakter atau watak topeng-topeng itu. Selanjutnya,
kegiatan dapat berjalan melalui dua cara. Cara pertama dengan
memerankan terlebih dulu dan kedua langung menulis dialog untuk setiap
topeng.
Kedua cara itu dapat ditempuh bersama-sama sesuai dengan kondisi kelas
dan pertimbangan lainnya. Yang penitng siswa dapat bermain, bersenang-
senang, dan menghasilkan tulisan berupa naskah drama.
Beberapa model pembelajaran menulis fiksi yang dapat digunakan untuk
kelas 3-6 SD telah Anda pelajari. Model-model itu sebenarnya hanya sebagai
perangsang awal untuk mengajak siswa mulai menulis fiksi. Jika mereka
sudah mampu, anda dapat mengajaknya tanpa bantuan benda, boneka atau
topeng dalam pembelajaran menulis fiksi selanjutnya.
PENGERTIAN DRAMA ANAK

Secara umum pengertian drama anak adalah teks yang bersifat dialog dan isinya
membentangkan sebuah alur (Luxemburg, 1984: 158). Dapat juga dikatakan bahwa
drama adalah karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan
mengemukakan emosi lewat lakuan dan dialog, lazimnya dirancang untuk
pementasan di panggung, (Sudjiman, 1984: 20). Sedangkan secara khusus,
pengertian drama anak-anak adalah proses lakuan anak sebagai tokoh. Dalam
berperan, mencontoh atau meniru gerak pembicaraan seseorang, menggunakan
atau memanfatkan pengalaman dan pengetahuan tentang karakter dan situasi dalam
suatu lakuan, baik dialog maupun monolog guna menghadirkan peristiwa dan
rangkaian cerita tertentu, (Wood dan Attfield, 1996:144).

C.   CIRI-CIRI DRAMA ANAK


Drama anak-anak tidak jauh beda dengan cerita anak-anak, baik dari segi bahasanya,
tema, pesannya. Yang berbeda adalah dari segi dialog yang sederhana dan jumlah
adegan yang tidak terlalu panjang dan berbelit.
D.     MANFAAT DRAMA
a.       Menyalurkan hobi
b.      Berkelompok (Bersosialisasi)
c.       Pembentukan Postur Tubuh
d.      Apresiasi dramatik.
e.       Pengembangan ujar
f.       Mempertajam kepekaan emosi
g.      Meningkatkan pemahaman

 Strategi pembelajaran drama berkaitan dengan dua hal yaitu: (1) strategi pembelajaran  teks
drama dan (2) strategi pembelajaran drama pentas. Strategi pembelajaran teks drama yang
diuraikan meliputi: (a) strategi stratta, (b) strategi analisis, (c) role playing(bermain peran), (d)
sosio drama dan (e) simulasi. Strategi pembelajaran drama pentasmeliputi: (a) pementasan
drama di kelas dan, (b) pementasan drama oleh teater sekolah(Herman J. Waluyo, 2008: 186).
Strategi yang digunakan dalam pembelajaran apresiasidrama disini adalah salah satu strategi
pembelajaran teks drama, yaitu bermain peran(role playing). Bermain peran dalam
pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan, serta langkah-
langkah identifikasi masalah,analisis, pemeranan, dan diskusi. Untuk kepentingan tersebut,
sejumlah peserta didik bertindak sebagai pemeran dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang
pemeran harusmampu menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran, peserta didik
berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang
dipilih.
Strategi Role Playing (bermain peran) termasuk metode pementasan drama yangsangat
sederhana. Peran diambil dari kisah kehidupan nyata sehari-hari (bukanimajinatif).  Role
Playing dan sosiodrama merupakan langkah awal dalam pengajarandrama. Dalam Role playing
dan sosiodrama ini ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Ada sepuluh hal yang dikemukakan
oleh Torrance, 1976 (dalam Herman J. Waluyo, 2008:189), yaitu sebagai berikut: 1) Jika
mengadakan role playing, hendaknya dapat mencobaperanan dari situasi, jadi orangnya.
Aktivitas ini jangan digunakan sebagai terapi. 2)Tujuannya harus bersifat pendidikan, bukan
memiliki hiburan. 3) Jangan buru-buru,siswa harus mempunyai kesempatan untuk mengikuti
peranannya dan situasi kedalamandan meliputi beberapa aspek. 4) Problem dan konflik
hendaknya berhubungan denganhal yang akan digunakan siswa, dan berkenaan dengan hal
yang akan digunakan siswa.5) Situasi hendaknya tepat dengan tingkat daya tarik siswa dan
kematangannya. 6)Perasaan yang kompleks tidak boleh secara mudah diubah. 7) Fokus dari
usahakelompok ditujukan untuk mencoba cara yang dapat ditempuh untuk mengelolakelakuan
seefektif mungkin. 8) Situasi hendaknya bersifat open ended. 9) Tekanan jugaditujukan untuk
membantu siswa belajar berfikir untuk mereka sendiri. 10)Situasi danrespon dari actor
berkembang. Jangan bicara terlalu banyak untuk diri sendiri. Shaffel dan Shaffel, 1967 (dalam
Herman J. Waluyo, 2008: 196) menyebutkan ada Sembilanlangkah dalam  role playin, yaitu: (1)
memotivasi kelompok; (2) memilih pemeran (casting ) ; (3) menyiapkan pengamat; (4)
menyiapkan tahap-tahap peran; (5) pemeranan(pentas di depan kelas); (6) diskusi dan evaluasi
I (spontanitas) ; (7) pemeranan (pentas)ulang; (8) diskusi dan evaluasi II, pemecahan masalah,
dan (9) membagi pengalamandan menarik generalisasi. Dari role playing dapat dicapai aspek
perasaan, sikap, nilai,persepsi, keterampilan pemecahan masalah, dan pemahaman terhadap
pokok permasalahan. Unsur sampingan yang dapat dicapai melalui role playing adalah:
(1)analisis nilai dan perilaku pribadi, (2) pemecahan masalah, (3) empati terhadap oranglain,
(4) masalah social dan nilai; dan (5) kemampuan mengemukakan pendapat danmenghargai
pendapat orang lain. Selama pembelajaran berlangsung, setiap pemeranandapat melatih sikap
empati, simpati, rasa benci, marah, senang, dan peran lainnya.Pemeranan tenggelam dalam
peran yang dimainkannya sedangkan pengamat melibatkandirinya secara emosional dan
berusaha mengidentifikasikan perasaan dengan perasaanyang tengah bergejolak dan menguasai
pemeranan. Pada pembelajaran bermain peran,pemeranan tidak dilakukan secara tuntas
sampai masalah dapat dipecahkan. Hal inidimaksudkan untuk mengundang rasa kepenasaran
peserta didik yang menjadipengamat agar turut aktif mendiskusikan dan mencari jalan ke luar.
Dengan demikian,diskusi setelah bermain peran akan berlangsung hidup dan menggairahkan
peserta didik.Hakekat pembelajaran bermain peran terletak pada keterlibatan emosional
pemeran danpengamat dalam situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Melalui bermain
perandalam pembelajaran, diharapkan para peserta didik dapat (1)
mengeksplorasiperasaannya; (2) memperoleh wawasan tentang sikap, nilai, dan persepsinya;
(3)mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi;dan
(4) mengeksplorasi inti permasalahan yang diperankan melaluiberbagai cara. Pembelajaran
partisipatif memiliki prinsip tersendiri dalam kegiatanbelajar dan kegiatan pembelajaran.
Prinsip dalam kegiatan belajar adalah bahwa pesertadidik memiliki kebutuhan belajar,
memahami teknik belajar, dan berperilaku belajar.Prinsip dalam kegiatan membelajarkan
bahwa pendidik menguasai metode dan teknik pembelajaran, memaham materi atau bahan
belajar yang cocok dengan kebutuhanbelajar, dan berperilaku membelajarkan peserta didik.
Prinsip-prinsip tersebutdijabarkan dalam langkah operasional kegiatan pembelajaran, sebagai
wujud interaksidukasi antara pendidik dengan peserta didik dan/atau antar peserta didik.
Pendidik berperan untuk memotivasi, menunjukkan, dan membimbing peserta didik
supayapeserta didik melakukan kegiatan belajar. Seangkan peserta didik berperan
untuk mempelajari, mempelajari kembali, memecahkan masalah guna meningkatkan
taraf hidup dengan berpikir dan berbuat di dalam dan terhadap dunia kehidupannya.Penerapan
metode role palaying (bermain peran) adalah metode yang cocok untuk pembelajaran apresiasi
drama. Karena dengan metode role playing (bermain peran),pembelajaran apresiasi drama
akan dapat dilaksanakan dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai