Anda di halaman 1dari 50

BAGIAN 1

Kadipaten Lumajang, 1623

Sudrajat : Ibundaku, Nyai Adipati Lumajang. Apakah paduka dalam keadaan sehat sejahtera?
Nyai Adipati : Baik-baik saja keadaanku.
Sudrajat : Apakah Ibunda benar-benar sudah sembuh dari sakit?
Nyai Adipati : (Mengernyitkan dahi) Sudrajat, anakku, apakah maksud pertanyaanmu? Apakah
ada sesuatu yang gawat yang harus kamu sampaikan?
Sudrajat : (Menghela nafas) Ada surat dari Mataram, dari seorang saudagar sahabat Ayahanda
almarhum.
Nyai Adipati : Apakah ia sebutkan kabar mengenai Kakakmu Raden Legowo yang sedang berada di
Mataram?
Sudrajat : Memang demikianlah adanya, tetapi bagaimanakah kesehatan Ibunda?
Nyai Adipati : Apakah hubungannya dengan kesehatanku? Bagaimanakah keadaaan Raden
Legowo?
Sudrajat : Berita ini bisa membahayakan keadaaan orang yang sakit.
Nyai Adipati : Perasaanku tidak enak, tetapi biarlah kamu sampaikan juga berita mengenai kakakmu
itu.
Sudrajat : (Membaca surat) “Dengan keadaan hormat aku mengharapkan keadaan baik untuk
keluarga Nyai Adipati Lumajang, khususnya untuk anda, Raden Sudrajat yang aku
hormati. Selanjutnya aku memohon maaf untuk berita yang harus aku sampaikan.
Kakak Saudara, Raden Legowo di Mataram membangun nama yang sangat
merugikan martabat keluarga. Hutangnya menumpuk sampai 40 ribu ringgit,
sebagai akibat dari perjudian dan pelesiran. Kemudian, beberapa waktu yang lalu ia
menodai kehormatan seorang istri bangsawan, tentu saja bangsawan itu marah, tidak
mau menerima penghinaan keji itu. Ia menuntut bela, tetapi bangsawan malang itu
justru tewas ditikam keris oleh Raden Legowo.”
(Nyai Adipati mengernyitkan kening. Ia memperhatikan gerak bibir Sudrajat)
Sudrajat : Biarlah saya selesaikan, Ibunda Nyai Adipati.
(Kembali membaca surat) ”Paduka Sultan Agung di Mataram merasa tidak puas
oleh keadaan itu dan segera memerintahkan kakak Saudara untuk menghadap. Tetapi
kakak Saudara justru melawan titah itu dan melarikan diri ke dalam hutan. Kini kakak
Saudara justru menjadi buronan.”

1
Nyai Adipati : Aduuh, anakku!
Sudrajat : Kuatkan hati Ibu. Inilah ujian untuk keluarga kita.
Nyai Adipati : (Dengan nada murung dan putus asa) Ia telah menodai nama almarhum bapaknya.
Sudrajat : Aku juga tidak mengerti, kenapa Kakak bisa lupa daratan serupa itu.
Nyai Adipati : Sia-sialah usahaku untuk mempertahankan kejayaan keturunan Adipati Lumajang. Ia
yang diharapkan oleh rakyat kabupaten ini untuk menggantikan kedudukan almarhum
ayahnya. Ia aku kirim ke Mataram untuk mendapatkan restu dan pelajaran dari Paduka
Sultan Agung. Tidak dinyana bahwa justru kini ia menjadi orang buronan. Rusaklah
pula harapanku kini terhadapnya.
Sudrajat : Maafkan, Ibu. Sebenarnya aku telah lama mengkhawatirkan, bahwa hal semacam itu
bisa terjadi. Ibu selalu memuji semangatnya yang bergelora, Ibu sangka itu api yang
mengolah kemajuan. Rupanya kini terbukti, bahwa itulah api yang mengolah nafsu
liarnya. Selalu Ibu katakan bahwa matanya memancarkan kecerdasan, kini terbukti
bahwa ia penuh dengan akal kejahatan dan juga selalu Ibu memuji keberaniannya yang
Ibu kira akan menjadi sumber keteguhan di dalam berjuang. Tetapi ternyata, bahwa
keberaniannya itu melahirkan kenekatan.
Nyai Adipati : Aduuh, Sudrajat. Itulah kekeliruan Ibumu.
Sudrajat : Ibu, aku pun mempunyai semangat, tetapi semangat untuk berwaspada dan Ibu selalu
mengatakan bahwa semangatku adalah semangat orang yang tanpa prakarsa.
Kecerdasanku hanya Ibu nilai sebagai kecerdasan yang ngutek, yang tidak bisa
disamakan dengan kecerdasan yang mampu memimpin serta keberanianku hanya Ibu
nilai sebagai keberanian yang hanya mampu bertahan, tetapi tidak sebanding dengan
keberanian seorang pelopor. Begitulah Ibu selalu membandingkan diriku dengan Kakak
Legowo. Kini, aku bersyukur kepada Tuhan, aku tidak memiliki bakat seorang
pelopor, seorang perusak aturan.
Nyai Adipati : Maafkan aku, Sudrajat. Ternyata dahulu mataku berkabut, tetapi kini kamulah anakku
yang bisa aku harapkan untuk menyingkap kabut itu.
Sudrajat : (Dengan datar) Itulah tugas yang berat. Namun aku merasa akan kuasa
melaksanakannya asal Ibu benar-benar menaruh kepercayaan kepadaku.
Nyai Adipati : Dengan sepenuhnya aku akan merestui kamu.
Sudrajat : Pertama-tama harus kita singkirkan dahulu sumber noda di dalam keluarga kita. Itulah
pilihan pahit yang harus kita lakukan.
Nyai Adipati : (Kaget dan cemas) Aduuh jangan sampai kita bertindak sejauh itu.
Sudrajat : Apabila noda keluarga tidak kita singkirkan, Paduka Sultan Agung akan menganggap
seluruh Kabupaten Lumajang menjadi musuh Mataram.

2
Nyai Adipati : Apabila kedudukan Adipati Lumajang lepas dari keluarga kita, kita berdosa kepada
almarhum Ayahmu.
Sudrajat : Oleh karena itu, jangan lagi Ibu akui dia sebagai putra Ibu. Sebratkanlah dia!
Nyai Adipati : Sudrajat, aduuh.
Sudrajat : Sikap Ibu yang semacam inilah yang terbukti menjadi biang bencana. Ibu lemah dan
tidak punya pendirian.
Nyai Adipati : (Bingung) Apakah aku harus mengutuk putraku sendiri?
Sudrajat : Apakah Ibu masih ragu-ragu dalam keadaan seperti ini?
Nyai Adipati : Biarpun busuk, ia adalah putraku juga.
Sudrajat : Yang Ibu sayangi?
Nyai Adipati : Aku memang sangat menyayanginya.
Sudrajat : Kalau begitu, demi Kakak Legowo, biarlah punah saja keluarga kita.
Nyai Adipati : Tuhanku … Tuhanku …
Sudrajat : Disamping kita harus menyelamatkan keluarga, kita pun harus mengunggah kesadaran
Kakak Legowo. Mungkin lantaran ia disebratkan, ia lalu menyadari
kesalahannya.
Nyai Adipati : (Dengan berat hati) Aku nyatakan, bahwa ia telah kehilangan hak untuk menggantikan
kedudukan Ayahmu dan juga, bahwa ia tidak boleh lagi menginjak wilayah Kabupaten
Lumajang.
Sudrajat : (Dengan gembira) Itulah kebijaksanaan yang sekarang dibutuhkan.
Nyai Adipati : Namun aku tidak tahu bagaimana aku harus menuliskannya. Perasaanku tetap tak tega.
Sudrajat : Akulah yang akan menuliskan untuk mewakili Ibu.
Nyai Adipati : Baik, lakukanlah! Tetapi katakan pula bahwa aku ambil kebijaksanaan itu terutama
menyelamatkan kabupaten dan keluarga. Di luar kepentingan itu, sebagai Ibu, aku masih
sangat mencintainya dan masih mengharapkan keinsyafannya. Jangan lupa, tekankanlah
hal ini!
Sudrajat : Percayakanlah semua kepadaku. Sekarang Ibu harus istirahat dahulu ke dalam.
Nyai Adipati : Dadaku memang sesak rasanya. Aku akan mundur dan kamu majulah menggantikan
diriku, Sudrajat, putraku!
(Nyai Adipati pergi meninggalkan Raden Sudrajat sendirian)
Sudrajat : Mampuslah kamu! Inilah Raden Sudrajat. Aku harus jaya. Kakak Raden Legowo harus
aku singkirkan. Surat fitnah ini harus aku singkirkan (Merobek kertas). Ibuku akan
segera mampus oleh kesedihan dan impianku untuk merebut kedudukan almarhum
Ayahanda akan segera kesampaian. Kakakku terlalu tolol. Ibuku terlalu lemah dan
bertempur di dalam kehidupan adalah kewajaran bagi siapa yang ingin maju!

3
BAGIAN 2
Sentanu : Jangan murung, Raden. (sambil membelai-belai kerisnya). Raden selalu bisa
mengatasi keadaan dengan baik. Jangan terburu nafsu.
Raden Legowo : Ya, tetapi keadaan ini sudah benar-benar gawat. Jumlah hutang kita sudah 40 ribu
ringgit. Ini bukan jumlah yang kecil.
Sentanu : Dan para bangsawan yang memberi piutang itu sudah mengajukan keluhan kepada
Paduka Sultan Agung.
Raden Legowo : Itulah yang membuat aku malu. Terutama bukan untuk diriku, tetapi untuk nama baik
keluargaku, kewibawaan Kadipaten Lumajang. Ibuku pasti akan murka. Beliau
mengirim aku kemari untuk mempersembahkan upeti kepada Paduka Sultan Agung,
menunjukan rasa setia dan memohon restu pada beliau agar aku diberi kuasa untuk
menggantikan kedudukan almarhum ayahku sebagai Adipati Lumajang. Tidak tahunya,
aku disini malah terlibat dalam ketegangan pemerintahan dan ditimbuni pula oleh utang
utang. ibuku akan kecewa sekali. Ini akan memburukkan kesehatannya.
Sentanu : Tetapi Raden toh telah mengutus Suroso untuk mengirim surat kepada ibunda di
Lumajang. Pertama, untuk memohon kiriman uang. Kedua, untuk menjelaskan
pertentangan dengan para bangsawan di Mataram adalah pertentangan pendirian yang
justru disebabkan karena Raden mempertahankan keutuhan rakyat Tanah Jawa yang
terancam oleh desakan perdagangan kaum kafir kulit putih. Semua ini anda lakukan toh
untuk memenuhi harapan Sunan Giri Parepen di dalam Kitab Mu-asror yang beliau
sebarkan pada para bupati di seluruh Tanah Jawa.
Raden Legowo : Namun hatiku tetap diliputi oleh suatu kekhawatiran yang aneh.
Sentanu : Apakah Raden mulai gentar terhadap tekanan para Senopati Mataram?
Raden Legowo : Gentar ? Aku kira tidak. Namun kita harus mengakui kenyataan bahwa tekanan mereka
mulai hebat. Bahkan ada kemungkinan bahwa Paduka Sultan Agung sudah mulai
dipengaruhi oleh mereka. Ya, mereka menang kedudukan. Mereka bisa lebih leluasa
berwawancara dengan Raja, sedangkan aku sangat sulit untuk bisa menang menghadap.
Aku hanya bisa menunggu panggilan Raja.
Sentanu : Dan sudah hampir 5 bulan menunggu Raden tidak pernah dipanggil menghadap lagi.
Raden Legowo : Ya.
Rasmolo : Selama 11 bulan kita berada disini, baru dipanggil 1 kali.

4
Raden Legowo : Ingin betul aku punya cukup kesempatan untuk menjelaskan pendirian guruku Sunan
Giri Parepen itu kepada Raja. Pada intinya kitab Mu-asror itu justru mempertahankan
kedudukan Sultan Agung sebagai Sultan Agung yang diharapkan menyatukan Tanah
Jawa. Jadi bukannya ditulis oleh Sunan Giri Parepen untuk merong-rong kewibawaan
Mataram sebagaimana didesas-desuskan oleh para senopati disini.
Rasmolo : Masalahnya Sunan Giri Parepen mengecam kebijaksanaan Raja.
Raden Legowo : Ya, beliau memang mengecam kebijaksanaan Sultan Agung terhadap para Bupati di
Jawa Timur. Tetapi kecaman ini justru untuk memulihkan kewaspadaan Mataram.
Beliau memperingatkan bahwa pada hakikatnya Bupati di Jawa Timur gampang
ditundukkan dengan perdamaian, jadi tidak perlu diharu-biru dengan ancaman bala
Tentara Mataram. Juga Adipati Pragola dan Prasena, mereka adalah Bupati kecil yang
harus dihadapi dengan bijaksana. Maaf serta ampunan. Jadi tidak perlu Sultan Agung
mengerahkan ribuan prajurit untuk saling berbunuhan, musuh Mataram yang sebenarnya
adalah juga musuh yang mengancam kesejahteraan seluruh rakyat di Tanah jawa, yaitu
ancaman kafir si kulit putih yang bercokol di Sunda Kelapa. Inilah musuh yang akan
menghancurkan kekuatan perdagangan rakyat Tanah Jawa, inilah musuh yang harus
segera diberantas lebih dahulu.
Rasmolo : Di dalam hal ini Sultan Agung gagal mendapatkan dukungan dari rakyat Madura dan
Jawa Timur.
Raden Legowo : Hal itu terjadi karena beliau memakai kekerasan. Dengan kekerasan senjata, paling jauh
beliau hanya bisa menundukkan Bupati saja, sedangkan rakyat justru membencinya.
Para Penglima pengawas dari Mataram yang beliau tanam di samping para Bupati itu
bukannya menambah kewibawaan Mataram, tapi justru menjadi sebab dari kebencian
rakyat terhadap kekuasaan Mataram. Para Panglima itu bukannya alat pemersatu tetapi
justru menjadi pemeras dan penindas rakyat untuk kepentingan diri sendiri.
Sentanu : Keadaan sudah begini parah. Kecaman tidak mungkin lagi didengarkan.
Gender : Benar, mana ada orang yang baru kemaruk kekuasaan mau dikecam. Sunan Giri
Parepen boleh saja mempunyai cita-cita yang mulia tetapi kecaman dan kritikannya
pada pemerintah, justru mencelakakan dirinya. Bukan begitu caranya mencegah orang
orang yang sedang kemaruk kekuasaan. Bukan dengan nasihat dan kecaman tetapi harus
dengan bahasa yang lebih nyata, yang lebih gampang dimengerti.
Sentanu : Bagaimana itu ?
Gender : Dengan ini ! (sambil mengangkat senjata)
Sentanu : Lho !

5
Gender : Dengan pemberontakan. Itulah sebabnya, kenapa aku kagum dengan warok-warok di
Madiun dan Bojonegoro bahasa mereka tegas dan lugas. Mereka tidak mau diperas.
Mereka tidak setuju ditindas. Nah, berontak saja ! pergi ke hutan, jadi penyamun,
angkat senjata. Untuk apa menulis buku kecaman, kritik-kritik pada penyeleweng
kekuasaan, tidak urung toh tidak diindahkan. Malahan dicurigai hendak menumbangkan
kekuasaan.
Sentanu : Benar juga katamu. Orang yang hanya mengecam malahan akan disingkirkan.
Rasmolo : Dikucilkan.
Samyur : Dianggap pengacau.
Gender : Maaf, Raden. Sesungguhnya saya berbicara hal yang nyata saja. Bukannya saya buta
terhadap maksud baik Raden dan Guru Raden, Sunan Giri Parepen. Tetapi nyatanya
apakah buah dari maksud baik itu sekarang. Guru Raden dianggap sebagai musuh
Mataram. Dan Raden sendiri ? Raden telah mengeluarkan banyak biaya dan usaha
untuk membela maksud baik guru Raden. Raden dirikan Pesantren-pesantren di wilayah
Lumajang. Sekarang Raden dirikan Pesantren juga disini. Raden relakan diri terkatung-
katung selama 11 bulan di Mataram, malah kita sibuk mengadakan sarasehan-sarasehan
tetapi apa yang kita dapatkan? Apa yang Raden dapatkan ? restu Sultan Agung untuk
Raden sebagai Bupati toh tidak kunjung tiba. Raden malah dicurigai dan kini malahan
tertimbun hutang 40 ribu ringgit.
Rasmolo : Dan sekarang, ada tanda-tanda bahwa kita akan ditangkap karena hutang-hutang itu.
Gender : Kenapa tidak ? para bangsawan Mataram punya bahasa yang lugas dan tegas. Mereka
tidak pernah ragu-ragu seperti Raden. Itulah kini keadaan Raden. Coba, bandingkanlah
kini dengan warok Suromenggolo dan warok Iromejo. Mereka jadi perampok tapi
mereka terhormat. Mereka ditakuti tetapi mereka dianggap pahlawan. Mereka tidak
punya hutang 40 ribu ringgit. Mereka tidak membutuhkan restu Raja dan mereka tidak
pernah dilanda tekanan pemikiran.
Raden Legowo : Sunan Giri Parepen menganjurkan untuk menghindari kekerasan dan peperangan
diantara bangsa sendiri oleh pihak manapun. Kekerasan dan peperangan hanya
ditunjukkan untuk mengusir kekusasaan dagang si kafir kulit putih. Siapapun juga yang
sengaja memakai kekerasan berarti mereka mempertaruhkan usaha mempersatukan
rakyat di dalam menentang orang-orang kafir itu.
(Gender dan Rasmolo saling berpandangan sinar matanya memancarkan
ketidakpuasan terhadap jawaban Raden Legowo).

Tidak, Gender. Tidak mungkin aku mengikuti langkah warok Iromejo. Ketertiban,

6
kedamaian diantara bangsa sendiri. Inilah yang aku perjuangkan. Inilah pula yang
didambakan oleh guruku Sunan Giri Parepen.
Gender : Sayang. Sayang ! Anak muda segagah itu, keturunan bangsawan. Kecerdasannya
menonjol, keberaniannya besar tetapi pandangan hidupnya mempunyai takaran yang
serba tanggung. Sebagai penyamun di dalam hutan namanya akan menggetarkan Tanah
Jawa. Kata-katanya akan lebih didengarkan orang. Ia dianggap linglung dan memang
mirip orang luntang-lantung. Mubazir !
Rasmolo : Ia memang belum sepenuhnya bangkit dari tidurnya. Kamu tidak bisa meremehkan dia.
Kosambi : Kedudukannya memang sulit, bukannya ia takut ketegasan, tapi ia menentang
kekerasan. Apalagi ia harus berhati-hati untuk melibatkan ibunya yang selalu sakit-
sakitan di Lumajang. Secara khusus ibunya berpesan agar ia di Mataram tidak
melibatkan diri di dalam perjuangan dengan kekerasan. Dan juga ia ingin menaati
ajaran Sunan Giri Parepen.
Rasmolo : Ditambah pula kesukaran kita akhir-akhir ini. Tindihan hutang yang 40 ribu ringgit itu
benar-benar telah merusak semangatnya.
Gender : Apa artinya 40 ribu ringgit itu ? dengan sekali menggebrek seorang panglima perang,
100 ribu ringgit akan gampang kita dapatkan.
Rasmolo : Aaaah… Kamu tidak akan mungkin mengerti pandangan hidupnya.
Samyur : Perasaan saya tidak enak, ada bayang-bayang kejadian yang mengkhawatirkan hati.
Saya akan menyusul Raden Legowo. Dewasa ini tidak seharusnya kita membiarkannya
berjalan sendiri.
Gender : Sentanu, kamu terkenal berani dan perkasa dan kamu Rasmolo, terkenal sebagai
pendekar. Sedangkan kamu Kosambi, terkenal rapi dan pandai mengatur strategi.
Tetapi kalian semua mubazir ! Kalau kalian memang tidak tega melihat jurang
perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, kenapa tidak kalian rampok saja mereka
yang kaya dan kalian berikan separuh dari hasil rampokan itu kepada fakir miskin.
Kosambi : Aku percaya mendekati perbaikan dengan cara lain.
Gender : Percayakah kamu, bahwa Panglima-Panglima Mataram di Kabupaten-kabupaten yang
kini jaya dan kaya raya itu akan sukarela menyerahkan kekayaan mereka semata-mata
karena mereka terharu melihat petani yang miskin dan kelaparan ? Apakah saudagar
Probo, rela memberikan sebagian hartanya untuk menembus kemiskinan di Gunung
Kidul.
Kosambi : Hal itu belum pernah terjadi.
Gender : Tak akan pernah terjadi.
Sentanu : Iya betul juga, hanya rakyat kecil saja yang takut akan kesengsaraan yang lebih besar,

7
yang mungkin ditimbulkan oleh kekuatan perdagangan orang-orang kafir kulit putih di
Sunda Kelapa. Para panglima yang kaya itu malah akan bertambah kaya kalau mereka
mau bersekutu dengan orang-orang kafir kulit putih itu. Saya dengar Sultan Agung
mulai berkerja sama dengan bangsa Portugis, ia mendatangkan meriam dari
mancanegara padahal di Tanah Jawa ini banyak abdi dalem pande yang mampu
membuat meriam. Sekarang secara diam-diam si kafir sudah masuk ke dalam Kutagara,
menguasai perdagangan, maka tinggal menunggu ambruknya saja kejayaan Mataram.
Saya fikir benar yang dikatakan Gender.
Gender : Jadi apalagi yang kalian tunggu ?
Suroso : Teman-teman !
Kosambi : Suroso ! Kamu telah datang.
Suroso : Dimana Raden Legowo ?
Kosambi : Ia baru pergi. Samyur baru saja menyusul. Bagaimanakah hasil perjalanmu ke
Lumajang ?
Suroso : Aku tidak membawa uang. Aku hanya membawa sehelai surat ini. Ada suatu hal yang
tidak beres. Aku tidak tahu apa ini. Barangkali surat ini akan bisa bicara lebih banyak.
Aku harus segera bertemu dengan Raden Legowo.
Raden Legowo : Suroso, kamu datang !
Suroso : Iya, Raden.
Raden Legowo : Baik-baikkah kamu diperjalanan !
Suroso : Baik, Raden. Malahan saya sempat menengok Pesantren yang dulu Raden dirikan di
Pengging.
Raden Legowo : Bagus. Bagaimana keadaannya ?
Suroso : Maju, Raden. Sangat maju.
Raden Legowo : Dan kini bagaimana keadaan ibuku ?
Suroso : Saya tidak sempat diperkenankan menghadap. Beliau sakit keras. Dan tidak bisa
menemui tamu. Surat Raden diterima oleh adik Paduka, Raden Sudrajat untuk
diteruskan kepada ibu Raden. Semua persoalan Raden disini sudah pula saya
sampaikan.
Raden Legowo : Apakah ibuku sudah cukup diberitahu untuk apa uang itu ?
Suroso : Laporan saya kepada beliau melewati adik Raden sudah selengkap-lengkapnya.
Raden Legowo : Dan tetap aku tidak dikirimi uang ?
Suroso : Begitulah kenyataanya, Raden.
Raden Legowo : Aku tidak bisa mengerti ini.
Suroso : Saya pun juga diliputi perasaan tidak enak. Hanya surat inilah yang saya bawa untuk

8
Raden dari Raden Sudrajat, ditulis atas nama ibunda, tanpa pesan apa-apa lagi, kecuali
perintah bahwa saya harus berangkat ke Mataram segera.
Raden Legowo : (Raden Legowo membuka ikatan pada kertas gulungan yang dibawa Suroso.
Wajah lelaki itu berkerut ketika mulai membaca surat itu).
Apa ini artinya ? aku tidak bisa mengerti ini. Tidak aku sangka. Kenapa ibuku bisa
berubah sejauh ini ? Dimana letak keadilan ?
Sentanu : Apa yang sesungguhnya terjadi ?
Suroso : Aku tidak tahu.
Sentanu : Apa isi surat itu ?
Suroso : Mana aku tahu.
Sentanu : Apa yang dikatakan oleh ibunya ?
Suroso : Aku tidak bertemu dengan ibunya, beliau sakit keras. Keadaan Kadipaten penuh dengan
rahasia. Setiap pelayan bersikap lugas dan kaku kepadaku. Raden Sudrajat lebih
bersikap sebagai majikan daripada seorang sahabat. Ia dengarkan keteranganku yang
panjang lebar tanpa perubahan air muka sedikit pun. Bahkan sebegitu jauh aku
berbicara, ia sendiri pun tidak membuka suara sepatah katapun.
Sentanu : Aneh,
Suroso : Iya. benar-benar aneh. Aku sendiri tidak bisa memahaminya.
Kosambi : Aku akan baca surat itu, toh sudah dibuang
(Kosambi memungut surat itu dan membacanya agak keras)
“Kepada putra Raden Legowo di Mataram. Kelakuanmu di Mataram sangat
menggelisahkan hatiku. Caramu bertindak terlalu didorong oleh perasaan. Hutangmu
tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh akal pikiran yang sehat. Caramu menghadapi
Sultan Agung dan para bangsawan terlalu sembrono. Aku tidak mau bertanggung
jawab untuk semua kecerobohan ini. Sikapmu mempersulit kedudukan Kadipaten
Lumajang dengan segenap rakyatnya. Oleh karena itu aku nyatakan, bahwa kamu
bukan putraku lagi!”
Gender : Edan ! (kaget)
Sentanu : Memang susah dimengerti.
Kosambi : Biarlah aku lanjutkan.
(Kembali membaca surat) “hakmu akan kursi kadipaten, aku cabut ! dan aku larang
kamu menginjak kakimu di wilayah Kadipaten Lumajang. Sekarang aku sendirilah yang
memegang kekuasaan di Kadipaten Lumajang.”
Suroso : Sukar dipahami (Lirih)
Kosambi : (Lanjut membaca)

9
“Aku menulis surat ini dengan bantuan tangan Raden Sudrajat, yang kini menjadi putra
tunggalku, karena aku dalam keadaan sakit keras, justru karena memikirkan
keadaanmu. Sepak terjangmu yang liar dan ugal-ugalan ! tertanda, Nyai Adipati
Lumajang.”
Sentanu : Sungguh tak kunyana.
Suroso : Ya, ya, tak masuk akal.
Gender : Tidak. Tidak sukar dimengerti. Justru sebaliknya, bagiku gampang sekali dimengerti.
Uang 40 ribu ringgit yang dibelanjakan secara mubazir benar-benar bisa
menggelisahkan hati seorang ibu. Selanjutnya apa faedahnya meresikokan
kesejahteraan seluruh rakyat Lumajang hanya demi satu tingkah pola yang tidak jelas
hasilnya ?
Samyur : Celaka ! Bagaimana ini kok begini jadinya.
Gender : Kenapa kamu ?
Samyur : Aku ditampar Raden Legowo
Suroso : Kenapa kamu ditampar ?
Samyur : Aku tidak tahu, tiba-tiba saja aku ditampar.
Gender : Ya, tetapi asal mulanya bagaimana ?
Samyur : Tidak ada asal mulanya. Aku tegur dia. Raden, apa yang akan Raden lakukan ? Terus
tanpa menjawab, ia tampar pipi saya.. Aduuuhh..
(Gombreh datang dengan tergopoh-gopoh)
Gombreh : Teman-teman, dimanakah Raden Legowo?
Sentanu : Kenapa ? Ada apa ?
Gombreh : Mereka akan menangkap kita
Sentanu : Mereka siapa ?
Gombreh : Tentara Mataram. Akhirnya Sultan Agung setuju untuk menangkap Raden Legowo dan
kita semua.
Sentanu : Lantaran hutang-hutang kita ?
Gombreh : Iya.
Sentanu : Dari mana kamu tahu ?
Gombreh : Dari pamanku, seorang Pegawai Keraton.
Samyur : Celaka ! Aku harus segera kasih tahu Raden Legowo. Aku harus segera mencari dia.
aku tidak perduli apa akan ditampar lagi, tetapi aku harus mencari dia
Gender : Nah, bagaimana sekarang ?
Sentanu : Apalagi pilihan kita ?
Gender : Tidak ada lagi pilihan.. Biarpun sampai putus nafasmu lantaran

10
untuk menerangkan maksud baikmu, kamu semua toh akan tetap ditahan. Jadi
sebelum terlambat tentukanlah “hidup sebagai tahanan atau pemberontak dan masuk
kedalam hutan”
Sentanu : Lebih baik menjadi penyamun daripada menjadi orang tahanan
Gombreh : Apa gunanya kita hidup di kamar yang sempit dengan kaki terbelenggu, sedangkan kita
bisa hidup di dalam hutan.
Kosambi : Sebagai seorang tahanan. Kita akan kehilangan masa remaja kita secara sia-sia. Di
dalam hutan setidak-tidaknya kita masih bisa berdaya
Gender : Apabila demikian keputusan kalian, marilah kita segera membentuk pasukan
penyamun. Aku sanggup menjadi pemimpin kalian.
Sentanu : Jangan kamu buru-buru mengangkat diri sendiri. (Masuk Raden Legowo) Itulah Raden
Legowo datang.
Raden Legowo : Gombreh.
Gombreh : Ya, Raden.
Raden Legowo : Mereka akan menangkap kita ?
Gombreh : Ya, Raden. Barangkali mereka sedang dalam perjalanan mencari kita semua. Sesudah
Wiroguno menyelesaikan tugasnya, kini Sultan Agung mempunyai tentara untuk
meringkus kita.
Raden Legowo : Jadi tidak ada gunanya kita menyadarkan mereka, sebenarnya kalau kita membayar
hutang-hutang itu, maka mereka tidak akan punya alasan lagi untuk menangkap kita.
Dan kita bisa meneruskan perjuangan kita dengan damai. Tetapi nyatanya ibuku tidak
mau mengerti bagaimana pentingnya kita bisa harus membayar hutang-hutang itu.
Sekarang tidak ada lagi pilihan. Aku menolak untuk hidup terikat dirantai penjara.
Sekarang aku akan masuk kedalam hutan dan mengadakan perlawanan.
Sentanu : Kami akan menyertaimu, Raden.
Raden Legowo : Bagus.
Kosambi : Saya ikut.
Rasmolo : Saya juga.
Gender : Itu baru ksatria sejati. saya akan berdiri di belakangmu, Raden.
Gombreh : Raden Legowo, sehidup semati kami akan mendampingi Raden.

Raden Legowo : Terima kasih, teman-teman. Mataram telah menolak jasaku. Ibuku telah merelakan

11
keselamatanku. Oleh karena itu mulai saat ini Raden Legowo sudah mati. Ia sudah tidak
ada lagi. Kini aku adalah Joko Geger. Akulah penyamun, akulah perampok yang akan
menggerebek orang-orang kaya untuk kepentingan orang-orang miskin. Ayolah, kita
pergi ke hutan Wonoroto. Disana kita akan membentuk barisan.
Rasmolo : Bagus ! Hidup Joko Geger.
Gender : Di dalam keadaan terdesak, terkurung oleh bencana, tikus pun bisa menjelma menjadi
Singa.

BAGIAN 3
Di tengah keremangan senja itu Gedung Kadipaten tampak sepi. Di ruang Keputren lampu tergantung
di sudut bernyala redup. Terdapat seperangkat meja kursi ukir. Seorang wanita berkulit kuning dengan
rambut disanggul duduk menyendiri di sudut ruang Keputren sambil memainkan untaian melati diatas
meja. Sampai terdengar langkah lunak dibelakangnya.

Sudrajat : Adik Roro Kumolo, kenapa kau bermuram durja ? Coba tengok kemari.
Roro Kumolo : (Membuang muka)
Sudrajat : Kenapa membuang muka ?
Roro Kumolo : Jangan menjamahku, Raden.
Sudrajat : Kita semua memang memprihatinkan Kakak Legowo. Tetapi sudahlah ! Jalan
kehidupan memang seperti itu. Kita harus mengikhlaskan telur yang pecah
Roro Kumolo : Ia bukan telur yang pecah. Ia adalah telur yang ditinggalkan. Ibu Ageng Nyai Adipati
enggan mengerami telur yang satu ini
Sudrajat : Apakah kau anggap ibuku tidak cukup berprihatin untuk Kakak Legowo ?
Roro Kumolo : Entah karena apa aku kurang tahu. Tetapi nyatanya dari yang terlihat olehku, tampak
Ibu Ageng telah merelakan ia untuk berjuang sendiri di Mataram
Sudrajat : Berjuang apa, Kumolo ?
Roro Kumolo : Berjuang untuk menghilangkan salah paham Sultan Agung terhadap Sunan Giri
Parepen. Berjuang untuk menggalang persatuan seluruh rakyat di Pulau Jawa, agar bisa
mengusir kekuatan perdagangan orang kafir kulit putih dibawah pimpinan Sultan Agung
Sudrajat : Kami pun sebenarnya berharap sebagaimana engkau mengharapkan kepahlawanan
Kakak Legowo. Tetapi apa nyatanya yang ia kerjakan di Mataram ?
Roro Kumolo : Ya. Tetapi seharusnya diselidiki terlebih dahulu apakah desas-desus mengenai

12
kelakuannya itu memang benar.
Sudrajat : Itu bukan desas-desus, semua kabar yang kita terima adalah laporan orang kepercayaan
almarhum Ayahanda Adipati.
Roro Kumolo : Rasa-rasanya ia tidak bisa melakukan semua itu. Wataknya tidak menunjukan
kecenderungan semacam itu. Jiwanya tidak mempunyai benih pergolakan macam
apapun.
Sudrajat : Aku pun hampir tidak percaya bahwa ia sampai serendah itu, waktu hal itu aku tanyakan
kepada Suroso, Suroso pun menangis. Ternyata dia sendiri pun menderita karena
kelakuan Kakakku. Calon istrinya telah ia nodai sehingga mengandung, tetapi ia
ikhlaskan saja hal itu terjadi. Ia rela berkorban untuk kepentingan yang lebih besar
Roro Kumolo : Ada sesuatu yang aneh dalam hal ini. Betapapun manusia pernah melakukan kekhilafan
dalam hidupnya. Tetapi, kenapa Kakak Legowo tidak mendapatkan ampunan Ibunda
Ageng. Satu kali melakukan kekhilafan, bukan seharusnya mendapat hukuman buang
seperti yang sekarang terjadi.
Sudrajat : Kamu sangat membela Kakakku.
Roro Kumolo : Aku sangat mencintainya.
Sudrajat : Aku memaklumi hal itu, tetapi sekarang apa boleh buat, ikhlaskanlah dia. Aku pun
sangat mencintai dirimu.
Roro Kumolo : Terima kasih. Kita akan menggalang persaudaraan yang lebih erat.
Sudrajat : Adik Kumolo, aku ingin mengawini dirimu.
Roro Kumolo : Sudah berkali-kali kakak mengatakan hal itu.
Sudrajat : Karena berkali-kali pula saya ingin kawin denganmu.
Roro Kumolo : Sudah kukatakan, aku tidak bisa menerimanya. Aku masih mengharapkan Kakak
Legowo.
Sudrajat : Kamu keras kepala ! Kamu sudah berkhayal dan buta dengan keadaan yang ada.
Roro Kumolo : Terus terang saya mempunyai rasa curiga kepada Raden.
Sudrajat : Apa ? Kamu lancang mulut dan lancang pikiran!
Roro Kumolo : Marahlah Raden kepadaku. Bencilah aku. Hal itu akan melegakan perasaanku dan
memudahkan sikap pergaulan kita.
Sudrajat : Adiku, kamu menantang.
Roro Kumolo : Ya, aku menantang. Cukup sekian, Raden. Raden merusak perasaanku.
(Derit kaki kursi terdengar singkat ketika Roro Kumolo meninggalkan tempat
itu. Raden Sudrajat termangu memandangi wanita itu meninggalkan keputren)

Sudrajat : Semakin ia menolak, semakin aku berapi-api. Ia harus aku dapatkan agar menjadi

13
mahkota kemenanganku. Sekarang ia menghindar tidak mengapa. Seorang laki-laki
harus rajin membuntuti.

BAGIAN 4

Sudrajat : Kini Ibu sakit karena memikirkan nasib Kakak Legowo, tentunya Ibu sangat menyesal
dan penuh kesedihan. Tetapi apapula dayanya, ibu sendiri yang sudah mengambil
keputusan dan keputusan itu sudah dilaksanakan. Sekarang saatnya aku melanjutkan
muslihatku. Aku tidak ingin membunuh ibu, tetapi aku akan mempercepat jalannya
kematian. Tanganku harus bebas dari pisau berdarah atau racun. Aku akan
mempermainkan perasaan yang mengacaukan pikiran, memerosotkan kesehatan dan
akhirnya mendorong kearah kematian. Perasaan apakah itu ? Kemarahan ? Tidak,
kemarahan ibu cepat padam. Ketakutan ? ibu rajin berdoa, karenanya ibu sukar
mengalami ketakutan, sebab ia hanya takut kepada Tuhan. Lantas apa ? Kesedihan ?
Akh, tampaknya sangat lambat bagi ibu untuk wafat karena kesedihan. Lalu perasaan
apakah yang akan aku pergunakan ? Aku akan mendorong ibu kepada perasaan berdosa
dan rasa menyesal hal ini akan menyebabkan ibu merasa kecewa dan putus asa. Aku
yakin akan segera berhasil. Sekarang ini daya tahan ibu semakin menurun, tidak pernah
mandi, kurang tidur dan tidak doyan makan. Segera ibu akan wafat dan aku berdiri
menjadi Adipati Lumajang. (Raden Sudrajat mendengar seseorang mendekat) Hei,
siapa yang datang ? Akh, Raden Sumbogo Putra Bupati Karang Abang. Ia akan bisa
menjadi alat yang bisa aku pergunakan.
(Dari jauh memang tampak pemuda berjalan menuju Pendopo Kadipaten. Dari
jauh pemuda itu sudah melempar senyum ramah)
Sudrajat : Salam, Raden. Salam.
Sumbogo : Salam, permisi. Raden.
Sudrajat : Silakan. Silakan. Ini sahabatku Sumbogo, bukan ?
Sumbogo : Akh, ada apa kamu ini Sudrajat ?
Sudrajat : Tidak. Hari ini kamu tampak lain, suaramu bertenaga dan wajahmu memancarkan kesan
yang hebat.
Sumbogo : Lho, kok aneh !
Sudrajat : Ya, memang aneh. Apa barang kali karena kainmu yang baru ?
Sumbogo : Ya. Ini memang kain baru dari Blambangan.
14
Sudrajat : Akh, itu sebabnya. Tetapi juga apa, ya ? Apakah kamu baru keluar dari bertapa ?
Sumbogo : Aku tidak pernah bertapa. Aku Cuma sembahyang 5 waktu.
Sudrajat : Itulah sebabnya berkah yang mengumpul kini terpancar dari wajahmu. Hebat !
Sumbogo : Aku datang kemari untuk meminjam keris.
Sudrajat : Tidak, aku tahu kenapa kamu datang kemari. Tidak untuk meminjam keris, sebab kamu
sudah cukup banyak keris. Tapi kamu datang kemari untuk menengok buah hatimu.
Sumbogo : Tetapi, aku…..
Sudrajat : Sumbogo kamu orang yang jujur, kamu tidak bisa berdusta, wajahmu yang bersih
mencerminkan segala-galanya. Kamu datang kemari untuk menengok adik sepupuku,
Roro Kumolo.
Sumbogo : Aku memang jatuh cinta kepadanya.
Sudrajat : Sudah lama kamu jatuh cinta kepadanya ?
Sumbogo : Memang sudah lama.
Sudrajat : Sudah sejak kecil kamu jatuh cinta kepadanya.
Sumbogo : Memang benar juga.
Sudrajat : Kamu lihat, aku benar karena aku tahu. Yah, aku banyak tahu sebenarnya kamu berdua
telah berpacaran.
Sumbogo : Sudah berpacaran ?
Sudrajat : Kamu mencintai dia dan dia pun mencintai kamu. Apakah ini bukan pacaran namanya ?
Sumbowo : Dia mencintaiku ?
Sudrajat : Kamu tidak tahu bahwa Roro Kumolo mencintai kamu ?
Sumbogo : Aku tidak tahu.
Sudrajat : Itulah kelambanan kamu berpikir. Sebenarnya sudah lama dia mencintai kamu, tetapi
dia lalu tergoda oleh Kakakku, Kakak Legowo.
Sumbogo : Ia sangat mencintai kakakmu itu.
Sudrajat : Ya. Perkembangannya memang begitu.
Sumbogo : Itulah yang membuat aku sangat membenci kakakmu ! Maaf ! Aku terpaksa membenci
orang yang secara tidak langsung bersalah kepadaku.
Sudrajat : Tidak usah minta maaf. Ia telah merebut orang yang kamu cintai, masa kamu akan
menyayanginya.
Sumbogo : Kadang aku ingin meremukan kepala kakakmu itu ! Maaf ! Aku terlalu terus terang.
Sudrajat : Tidak usah meminta maaf. Kepala ular memang harus diremukkan.
Sumbogo : Ular !!

Sudrajat : Ya. Kakakku memang ular. Lihatlah perlakuannya kepada ibuku, sehingga ibuku sakit

15
keras lantaran memikirkan kelakuannya di Mataram. Ia telah main serong dengan istri
bangsawan di sana dan ketika bangsawan itu marah lantaran cemburu malah dia tikam
dari belakang.
Sumbogo : Binatang ! Sungguh tindakan seekor binatang ! Ia telah mengkhianati Roro Kumolo !
Sudrajat : Memang bejat ! Ia tega berbuat begitu.
Sumbogo : Aku akan membunuhnya.
Sudrajat : Kenapa tidak ?
Sumbogo : Akan kucacah-cacah dia !
Sudrajat : Tentu. Tentu. Hal itu dapat kumengerti sudah selayaknya kamu marah dan tidak terima.
Tetapi soalnya ini hanya soal perasaan yang meluap ataukah benar-benar kamu akan
mampu melaksanakannya ?
Sumbogo : Aku berani. Demi Tuhan aku berani.
Sudrajat : Tentu kamu berani. Tetapi apa juga sanggup ?
Sumbogo : Aku akan berusaha supaya sanggup.
Sudrajat : Kasih tangan !
Sumbogo : Kenapa ?
Sudrajat : Aku pun dendam terhadap kakakku itu, aku tidak terima akan kelakuannya kepada
ibuku. Ia harus dihukum! Ibu telah menyebratkannya, tetapi aku masih khawatir karena
ia sangat pandai membujuk dan merayu. Aku khawatir kalau ia masih sanggup
meruntuhkan kebulatan hati ibu. Karena itu ia harus dengan mutlak disingkirkan dari
sini dan Roro Kumolo kembali jatuh ke dalam tanganmu.
Sumbogo : Aku sangat mencintai Roro Kumolo.
Sudrajat : Sebaliknya aku ingin kakakku sirna.
Sumbogo : Aku ingin memiliki Roro Kumolo untuk selamanya.
Sudrajat : Aku ingin berdiri menjadi Adipati.
Sumbogo : Semoga niatmu terlaksana. Aku akan membantu kamu !
Sudrajat : Bagus, aku pun akan membantu kamu ! Sekarang kasih tanganmu! Nah, dengarkan
(sudrajat membisikan ke telinga sumbogo)
Sumbogo : Sudrajat! (kaget)
Sudrajat : Jangan khawatir.
Sumbogo : Aduh.
Sudrajat : Apakah kamu takut ?
Sumbogo : Bagaimana nanti kalau….

Sudrajat : Kamu ini tukang omong kosong. Ataukah kamu mempunyai kesanggupan untuk

16
melaksanakan niatmu ?
Sumbogo : Baiklah aku sanggup.
Sudrajat : Nah, baru itu namanya laki-laki. Kamu memang gagah memakai kain dari Blambangan.
Nah, sekarang kita laksanakan niat kita.

BAGIAN 5

Roro Kumolo : Ibu Ageng, saya datang menghadap.


Nyai Adipati : Masuklah, Nak !
(Roro Kumolo membuka pintu kemudian berjalan ke dalam)
Nyai Adipati : Aku senang melihatmu, Nak. Kamu tampak pucat dan selaput mata bawahmu tampak
biru. Apakah kamu sakit ?
Roro Kumolo : Kesehatan saya baik. Meskipun saya tidak bisa tidur dan perasaan saya tersiksa.
Nyai Adipati : Aku mengerti perasaanmu. Aku memahami penderitaanmu. Kamu sangat mencintai
Legowo, sementara sudrajat dan aku telah menghukumnya
Roro Kumolo : Benar Ibu Ageng, itulah penderitaanku. Bagaimanakah keadaan Raden Legowo?
Bagaimana nasibnya dalam menghadapi para personil Tentara Mataram? Ia bagaikan
seorang pendekar yang bertarung sendirian di dalam kandang singa.
Nyai Adipati : Ia terpaksa harus ditinggalkan sendiri. Apabila kita membantu, seluruh rakyat Kadipaten
akan mendapatkan kesusahan
Roro Kumolo : Jadi ia telah dikorbankan ?
Nyai Adipati : Itulah tanggungan perjuangan. Sebenarnya urusan perjuangan saja sudah cukup berat,
tetapi lalu ditambah pula dengan kebengalan pribadi yang melewati batas. Ini
mengotori perjuangan dan menodai hasrat baik gurunya, Sunan Giri Parepen. Mau tidak
mau ia dipaksa menanggung sendiri akibat perbuatannya.
Roro Kumolo : Hmm, ya.
Nyai Adipati : Seandainya kita tidak mulai dari sekarang, tidak urung ia nanti salah-salah bisa jadi
pemimpin yang tidak tanggung jawab. Bayangkanlah, belum apa-apa dia sudah timbun
hutang 40 ribu ringgit untuk kepentingan perjudian dan pelesiran. Aku sedih
memikirkan hal ini, aku sangat sedih ! Aku merasa sangat kehilangan, terutama aku pun
sangat mencintainya !

Roro Kumolo : Tanggungan cinta ialah kenikmatan dari penderitaan. Kini tak bisa dihindarkan.
17
Terhadap hal ini saya sudah mempunyai pengertian. Apa yang saya cari adalah
kekuatan.
Nyai Adipati : Udara sangat panas sekali (Sambil membuka laci meja, ia mengeluarkan sebuah
kipas)
Roro Kumolo : Apakah maksud Ibu Ageng memanggil saya menghadap kemari?
Nyai Adipati : Aku ingin sekedar melihat kamu. Aku ingin mempunyai kepastian perasaan. Memang
keputusan sudah aku jatuhkan, tetapi perasaanku belum mengikhlaskan. Jauh di dalam
hatiku, aku telah merasa berdosa padanya. Seorang ibu telah meninggalkan putranya.
(Tampak seorang dayang-dayang muncul menyembah)
Mbok Wagirah : Permisi, Nyai Ageng Adipati. Permisi, hamba menghadap Nyai Ageng Adipati.
Maafkan apabila mengganggu obrolan paduka berdua.
Nyai Adipati : Mendekatlah kemari Mbok Wagirah ! Sudah lama aku tidak melihat kamu.
Mbok Wagirah : Ya, sudah lebih dari sebulan ini, Nyai Ageng Adipati. Hamba takut masuk kemari,
supaya tidak mengganggu istirahat paduka. Tetapi hamba selalu menjaga di luar
seketeng dibawah pohon jambu. Bagaimana keadaan kesehatan Nyai Ageng sekarang?
Nyai Adipati : Aku merasa kesehatanku sudah mulai membaik.
Mbok Wagirah : Oleh karena itu hamba ragu-ragu memberitahukan bahwa di luar ada seseorang tamu
yang ingin menghadap. Karena baru saja datang dari Mataram dengan membawa berita
penting.
Roro Kumolo : Dari Mataram ?
Nyai Adipati : Suruh ia menghadap kemari !
Mbok Wagirah : Tetapi bagaimanakah kesehatan Nyai Ageng ?
Nyai Adipati : Sudahlah. Sudah satu bulan ini aku selalu bertanya-tanya, apakah yang terjadi di
Mataram ?
Mbok Wagirah : Kelihatannya tamu ini memang membawa berita penting dari Mataram. Putra Nyai
Ageng Raden Sudrajat ikut menghantarkannya kemari. Kelihatannya beliau juga ingin
mendengarkan berita yang dibawa tamu itu. Saya sendiri siang dan malam selalu
memikirkan keadaan bendoro asuhan saya, Raden Legowo.
Nyai Adipati : Sudahlah, bawalah ia segera menghadap.
Mbok Wagirah : Baik, Nyai Ageng Adipati.
(Mbok Wagirah melangkah keluar setelah terlebih dahulu menghaturkan sembah,
dan memanggil tamu itu)
Mbok Wagirah : Nyai Ageng Adipati, permisi. Inilah tamu yang memohon menghadap.
Nyai Adipati : Masuklah !
Sudrajat : Ibunda Nyai Adipati. Aku ikut juga menghadap, karena juga ingin sangat mendengar

18
berita yang dibawa oleh teman dari Mataram ini.
Sumbogo : Saya menghaturkan hormat kepada Nyai Adipati Lumajang. Nama saya Santri Gribig,
saya berasal dari Pengging. Saya dalam perjalanan menuju Blambangan dan mampir
sebentar kemari karena membawa berita dari Raden Legowo, Putra Nyai Adipati.
Nyai Adipati : Selamat datang di Kadipaten Lumajang. Terimakasih untuk kebaikan hatimu.
Dimanakah sekarang putraku Raden Legowo ?
Sumbogo : Ia telah wafat.
Nyai Adipati : Wafat !? (seiring dengan pekik Roro Kumolo)
Sudrajat : Bagaimana ?
Sombogo : Ia telah gugur di dalam pertempuran di Wonocatur, ia digerebek oleh tentara Sultan
Agung, ia melawan dengan gagah dan meloloskan diri dari Mataram. Ia melarikan diri
lewat Wonocatur. Namun ia di sana tercegat lagi, dengan gigih ia mempertahankan diri.
Namun akhirnya ia rubuh dengan tiga lubang tombak di dadanya. Tubuhnya terkapar di
parit. Kami lawan tentara Mataram itu habis-habisan sampai akhirnya kami berhasil
menyelamatkan tubuhnya ke dalam hutan. Ternyata waktu itu ia belum wafat, pelan-
pelan ia membuka matanya. Ia membuka ikat kepalanya sambil berkata, “Tolong
berikan ikat kepala ini kepada Roro Kumolo di Lumajang. Katakan bahwa aku meminta
maaf, karena telah mengkhianati dengan berbuat serong”
Roro Kumolo : Oh, Kakak Legowo. Aku maafkan perbuatanmu.
Sumbogo : Jadi Raden yang bernama Roro Kumolo? (memberikan ikat kepala kepada Roro
Kumolo) Selanjutnya, ia menyerahkan keris ini dan berkata “Tolong serahkanlah keris
ini kepada Ibuku Nyai Adipati Lumajang. Beliau telah mengutukku. Beliau hendak
mematikanku. Apalagi gunanya aku hidup, bila ibuku tidak mencintaiku.” Sesudah itu ia
menghembuskan nafas terakhirnya. Inilah keris itu Nyai!
Nyai Adipati : Ya Tuhan ! Begini dalamnya jurang penderitaan yang Engkau berikan kepadaku.
Sumbogo : (Tergesa gesa) Maafkan kehadiranku yg membawa berita buruk ini. Aku hanya sekedar
memenuhi keinginan orang yang wafat. Sekarang aku harus pergi, masih banyak yang
harus aku laksanakan. Dan aku khawatir akan dikejar orang Mataram.
Nyai Adipati : Akh, ia telah pergi. Tidak sempat aku berlaku layak kepadanya.
Sudrajat : Biarkanlah aku membereskan segala macam tata cara.
Mbok Wagirah : Raden Roro (sambil memeluk Roro Kumolo) Ingatlah! Di dalam gelap mata orang
harus lebih terbuka.

Nyai Adipati : Ya Tuhan… Raden Legowo mati sambil menyalahkan sikapku. Ia mengatakan bahwa

19
akulah yang mendorongnya ke arah kematian. Bukankah nyatanya demikian? Betapa
pun alasannya bukanlah keputusanku memang bisa mempunyai akibat yang gawat untuk
dirinya? Aku merasa tidak kuat menanggung pertentangan perasaan serupa ini. Inilah
kerisnya, Inilah keris yg menemani kematiannya.
Roro Kumolo : Ibu Ageng !
Nyai Adipati : Jangan bergerak ! (dengan tegas)
Mbok Wagirah : Nyai Ageng ! Nyai Ageng Adipati ! Eling ! Eling, Nyai Ageng !
Nyai Adipati : Diam ! (membentak) Apakah kamu takut aku berbuat ceroboh dengan keris ini ?
Memang rasanya keris ini akan lebih gampang menyelesaikan penderitaan batinku.
Inilah keris yang telah menemani anakku waktu ia membela nyawanya. Kini apakah ia
akan menuntut imbalan dengan masuk ke dalam badanku ?
Mbok Wagirah : Nyai, jangan Nyai !
Nyai Adipati : Aku merenungkan tentang keadilan untuk diriku. Aku bukannya sedang merenungkan
tentang kematianku. Aku sudah merasa bahwa kematianku hampir tiba. Untuk mati aku
merasa telah siap. Aku ingin jemput kematian sebagai hukuman keadilan yang harus
aku terima.
(Tiba-tiba Sudrajat masuk dan termangu menyaksikan pemandangan
dihadapannya)
Sudrajat : Aku kejar ia sampai ke gerbang, tetapi ia sudah pergi. Kurasa ia pergi sambil berlari.
Roro Kumolo : Sepertinya aku pernah melihat orang itu, entah dimana.
Mbok Wagirah : Rasanya aku juga pernah melihatnya.
Roro Kumolo : Barangkali dahulu ia pernah mengunjungi Kakak Legowo kemari. Aku sendiri
belum pernah melihatnya.
NyaiAdipati : Sudrajat, bagaimana kamu menulis surat kepada Kakakmu ?
Sudrajat : Aku tuliskan keputusan ibu sesingkat-singkatnya dan sejelas-jelasnya.
Nyai Adipati : Dahulu aku minta kepadamu agar menekankan di dalam surat itu bahwa secara pribadi
aku tetap mencintainya.
Sudrajat : Hal itu sudah saya tekankan. Dan saya katakan pula rasa cintaku kepadanya.
Nyai Adipati : Bahwa ia mati itu harus aku ikhlaskan, karena kematiannya merupakan tanggungan
perjuangan. Tetapi bahwa ia mati dengan menyangsikan cintaku kepadanya, ini
menimbulkan penderitaan di dalam kalbuku. Kenapa ia menyangsikan cintaku
kepadanya ?
(Sudrajat tegang mendengar ucapan ibunya)

Sudrajat : Ibu mencurigai aku ? Ibu tidak mempunyai bukti dan alasan. Ataukah ibu sekedar hanya

20
akan menghibur diri dengan melemparkan alasan ? Secara wajar saja kita bisa tahu
bahwa kakak Legowo sudah terbiasa manja dengan perhatian dari ibu yang
berlebih-lebihan. Ia tidak biasa menerima hukuman dari ibu. Dan sekarang begitu ia
mendapatkan hukuman segera ia ngambek dan patah hati. Bahkan sampai saat matinya
pun ia masih bersikap ngambek dan tidak memperlihatkan penyesalan atas dosa-
dosanya.
Nyai Adipati : Secara wajar saja sukar dipikirkan bahwa ia akan kehilangan rasa tanggung jawab
sampai sejauh itu.
Sudrajat : Apakah maksud ibu?
Roro Kumolo : Kakak Sudrajat, sejak sebelum berita ini datang saya sudah mengatakan bahwa saya
curiga kepada kakak.
Nyai Adipati : Legowo. Apabila kamu meninggal secara tidak wajar, aku tidak akan bisa memaafkan
diriku. Mungkinkah aku telah diperdayakan orang ? Tuhanku, aku ingin mendapatkan
hukuman. Aku menantang untuk mendapatkan hukuman. Biar kujemput kematianku
dengan keris ini.
(Secara cepat Nyai adipati menikam diri dengan ujung keris menghujam ke dalam
dadanya. Roro Kumolo hanya bisa menjerit. Raden Sudrajat bergegas pergi)

BAGIAN 6
21
Raden Sudrajat berdiri di tengah dalem kadipaten. Wajahnya tegak, matanya menantang langit dan
tangannya menggenggam keangkuhan seorang ksatria yang baru saja memenangkan peperangan.

Sudrajat : Dalem kabupaten ini akan segera menjadi milikku. Kayu-kayu harum yang tua.
Perabotan-perabotan yang berukir buah karya tukang yang ahli. Orang-orang akan
datang kepadaku sambil menyembah. Senang atau tidak senang mereka akan bersikap
hormat kepadaku. Mereka akan sangat ketakutan karena aku adalah Adipati Lumajang.
Seluruh Kepala Desa di Kabupaten Lumajang akan bersujud di telapak kakiku. Apabila
aku datang ke desa, mereka akan menyambutku dengan kalungan bunga. Aku akan
mendapatkan buah-buahan yang terbaik. Tempatku menginap akan ditaburi bunga
mawar dan bunga melati yang semerbak harumnya. Nah, apalagi yang tak bisa aku
dapatkan di Lumajang. Langit dan airnya akan terbuka untukku. Aku akan membeli
gajah. Aku akan membuat kandang singa. Aku akan membuat pesanggrahan yang
terapung di atas air. Aku akan membuat taman hiburan yang indah. Untuk kuburanku
nanti, aku akan membeli sebuah gunung keramat yang kelak bakal menjadi tempat
pemujaan. Inilah Raden Sudrajat, Adipati Lumajang yang baru !

BAGIAN 7

Raden Legowo : Teman-teman, letakkan barang-barang disini. Di sini terkumpul benda-benda perhiasan,
mata uang emas dan perak serta kain-kain sutra yang berharga. Inilah buah kemenangan
yang kita ambil dari tangan penindas rakyat.
Gender : Kita sekarang kaya, lebih dari ratusan ringgit berkumpul disini. Sepuluh kali lagi kita
lakukan perampokan, masing-masing sudah bisa menyamai kehidupan Adipati.
Raden Legowo : Betul. Tetapi bukan itu tujuan kita menjadi perampok. Kalau kalian ingin kemewahan,
kalian salah alamat bergabung dengan kami. Kita menjadi perampok bukan karena kita
memuja pencurian dan kekerasan, seperempat dari hasil kita sampai sekarang ini akan
kita persembahkan kepada sunan Giri Parepen. Seperempat lagi, kita bagikan kepada
pesantren lain yang mendukung beliau. Sedangkan setengah dari sisanya akan menjadi
biaya perjuangan kita.
Suroso : Ya, itu sesuai dengan tujuan kita.
Raden Legowo : Suroso, kau yang bertugas mengantarkan persembahan kita kepada Sunan Giri Parepen.
Suroso : Percayalah padaku.

22
Samyur : Joko Geger, keadaan gawat mengancam kita.
Raden Legowo : Apa maksudmu ?
Samyur : Tentara Mataram menyerbu kita dari utara dan timur tetapi mereka masih jauh kira-kira
satu hari perjalanan dari sini.
Sentanu : Kita hadapi saja mereka disini.
Raden Legowo : Jangan ! kita lolos saja ke barat, sampai kita di Sumber Agung kita memecahkan diri.
Suroso, kamu menuju Kediri. Sentanu dan Gombreh, kamu berdua menyiapkan
perbekalan untuk memenuhi kebutuhan kita dimusim hujan. Rasmolo, kamu yang
bertanggung jawab atas barang-barang perbendaharaan kita. Di mana kamu berada,
di situlah markas kita.
Rasmolo : Aku akan melakukan tugasku dengan sebaik-baiknya Raden.
Raden Legowo : 2 Bulan lagi kita berkumpul di Tidar. Aku harap semua perbekalan itu sudah berkumpul
di sana. Marilah sekarang kita berangkat.
Koor : Ayo Raden !

BAGIAN 8

Gender : Aku tidak mengerti arah dari apa kalian sebut perjuangan itu. Bukankah sekarang Joko
Geger sudah mempunyai pengaruh dan kekuatan. Kenapa ia masih terlalu
menyanjungkan Sunan Giri Parepen? Kenapa ia tidak menegakkan kekuasaan sendiri ?
Sentanu : Saya kira ia masih sejalan dengan pikiran gurunya. Yang percaya bahwa Sultan Agung
adalah orang yang tepat untuk memimpin Tanah Jawa. Ia membina kekuatan justru
untuk mendesak agar Sultan Agung merasa perlu perdamaian dengannya. Dan ia lalu
mempunyai pengaruh untuk menjelaskan pandangannya kepada Sultan Agung.
Gender : Aku muak dengan pandangan serupa itu. Tetapi, sudahlah ! Apabila kamu nanti perlu
bantuan didalam menyiapkan perbekalan, jangan ragu-ragu. Aku siap membantumu.
Sentanu : Gampang, bagaimana nanti saja. Tugas ini memang terlalu berat bagiku. Kemarau ini
menyebabkan panen sangat buruk, padahal kita perlu perbekalan makanan yang harus
cukup untuk jangka waktu panjang.
Gender : Aku ahli dalam memecahkan persoalan semacam ini.
Sentanu : Ya, coba saja kita lihat nanti.

23
BAGIAN 9

Sudrajat : Kamu disini sendirian ?


Roro Kumolo : Biarkanlah aku sendirian !
Sudrajat : Aku mencarimu kemana-mana.
Roro Kumolo : Aku minta, biarkanlah aku sendiri !
Sudrajat : Ada hal yang perlu aku bicarakan kepadamu.
Roro Kumolo : Lain kali saja kita berbicara.
Sudrajat : Hal ini harus aku bicarakan sekarang.
Roro Kumolo : Lain kali saja.
Sudrajat : aku mencintaimu.
Roro Kumolo : Sudahlah, aku bosan.
Sudrajat : Mari kita segera menikah.
Roro Kumolo : Jangan ngelantur.
Sudrajat : Kakak Legowo sudah meninggal dunia. Sekarang biarlah aku mewarisi cintamu
padanya.
Roro Kumolo : Aku tidak bisa mencintai orang lain. Aku merasa masih terikat pada Kakak Raden
Legowo.
Sudrajat : Kamu terikat kepada kenangan.
Roro Kumolo : Apa dayaku, kenangan itu masih hidup. Untung rugi hanya menyangkut diriku. Aku
ikhlas terikat kepada kenanganku. Aku sendiri tidak menyangka sebelumnya, begitu
besar cintaku kepadanya.
Sudrajat : Aku menghendaki kamu.
Roro Kumolo : Kehendak Raden itu tidak akan terlaksana.
Sudrajat : Aku kini menjadi Bupati.
Roro Kumolo : Bahkan, seorang Bupati tidak harus terlaksana semua kehendaknya.
Sudrajat : Aku bisa memaksa kamu !
Roro Kumolo : Maaf ! Tetapi awas bila Raden berani mengancamku. Berhati-hatilah Raden terhadap
saya. Pergilah dari sini ! Ataukah kamu ingin melihat caraku akan bertindak ?
(Raden Sudrajat Pergi meninggalkan Roro Kumolo)

24
Roro Kumolo : Tidak ! Haruskah aku melakukan perbuatan yang sama ? Mati membela kesetiaan
memang memberikan kehormatan bagiku, tetapi semua ini meskikah kulakukan untuk
seorang lelaki yang telah berbuat serong ? Aah… percayakah aku pada semua omong
kosong Raden sudrajat ? Dari nada bicaranya, naluriku seakan menangkap firasat
kebohongan yang tak bisa ia sembunyikan. Sinar mata lelaki itu mengisyaratkan hawa
nafsu birahi dan hawa nafsu kekuasaan. Bukan tidak mungkin ia telah merancangkan
semua ini. Merancangkan kematian Ibu Ageng Adipati, merancangkan berita palsu atas
kematian Kakak Raden Legowo, merancangkan pengangkatan dirinya sebagai Adipati
Lumajang dan merancangkan diriku sebagai istrinya.
Baah ! Semua kedegilan ini kini memperlihatkan cakar dan air liurnya. Raden Sudrajat
telah menjadi wanara yang siap melakukan segala dengan muslihat dan tipu daya.
Tinggal aku, mampukah berdiri hanya berpegang dengan kesetiaan atau menyerah
dalam pelukannya. Tidak ! Aku belum akan menyerah. Semua masih menjadi teka-teki
yang belum berhasil kuterjemahkan maknanya. berita yang dibawa Santri Gribig
sesungguhnya mencemaskan diriku. Aku khawatirkan itu semua berisi kepalsuan.
Tetapi, sampai hari ini pun tak ada berita apa-apa dari Mataram. Bagaimana kehidupan
Kakak Legowo tidak aku ketahui secara pasti. Aku tidak bisa mengambil
keputusan saat ini, karena semua masih berupa bayang-bayang kabur yang sukar
kuterjemahkan maknanya. Seandainya… ya seandainya saja ada kabar tentang tempat
menetap Kakak Legowo, aku akan berangkat sekarang juga ke Kutagara akan
kucari dimana ia berada, akan kuperlihatkan bahwa akupun mampu membentengi
kesetiaan dengan tekad. Aku masih Roro Kumolo yang dahulu, Roro Kumolo yang
berpegang teguh pada cinta. Kakak Legowo, alangkah aneh sifat hubungan kita.
setiap kali aku bersikap setia, rasa Raden berada dekat disisiku.

25
BAGIAN 10

Gombreh : Edan ! Edan ! Benar-benar edan ! Semua orang telah berhasil ditaklukan oleh Sultan
Agung. Prasena dari Madura kini telah bertekuk lutut, tidak dengan peperangan senjata
tapi ia telah dikalahkan dengan Triman?
Sentanu : Triman?
Gombreh : Ya. Sultan Agung mengetahui bahwa Prasena pada suatu saat dapat menjadi lebih kuat,
karena itu beberapa bulan yang lalu Sultan Agung menawarkan perdamaian. Prasena di
ajak tinggal di Kutagara, ia mendapatkan perlakuan yang sangat baik dan akhirnya
dinikahkan dengan Putri Kraton yang bernama Ratu Ibu. Edan !
Sentanu : Bukankah itu merupakan taktik yang jitu dari Sultan Agung ?
Gombreh : Ya, benar-benar taktik yang jempolan. Baru saja aku turun ke desa, kudengar kabar
sekarang Prasena diijinkan kembali lagi ke Madura. Disana ia memerintah dengan nama
Cakraningrat. Benar-benar jempolan. Tindakan ini sudah mengecilkan kemungkinan
timbulnya pertentangan dengan Raja.
Sentanu : Artinya, kalau susuhunan sudah menyelesaikan pertikaiannyan dengan Prasena.
Giliran kita mendapatkan tekanan yang lebih berat karena seluruh kekuasaan dapat
dipusatkan di sini. Tinggal menunggu kejatuhan Joko Geger.
Gombreh : Tetapi kita tidak boleh putus asa, tidak boleh berkecil hati. Biarpun seluruh Adipati
Tanah Jawa bertekuk lutut di kaki Sultan Agung, kita akan tetap mengobarkan
perlawanan.
Sentanu : Apakah kamu sudah berhasil ?
Gombreh : Bayang-bayang akan berhasil pun belum nampak. Keadaan sudah membuat saya
mengalami kesulitan yang seperti sukar dihadapi.
Sentanu : Ada uang, emas dan permata tetapi tidak ada makanan. Susah ! Kemarau panjang ini
benar-benar celaka !
Gombreh : Kita toh sudah berusaha. Joko Geger akan mengerti kesulitan kita. Ia pasti akan
memaafkan.
Sentanu : Teman-teman pasti akan mengeluh kalau kita kekurangan persediaan makanan.
Gombreh : Mereka toh harus belajar menyadari keadaan.
Sentanu : Tetapi perasaaku tetap tidak enak terhadap mereka. Aku malu kalau tidak becus
melaksanakan tugasku.
Gombreh : Teman-teman memang cepat marah dan cepat mencela.
Sentanu : Itu sebabnya kenapa aku sungkan gagal.

26
(Tiba-tiba pintu rumah berderik terbuka, Gender muncul.)
Gender : Kamu mencari aku?
Sentanu : Ya, aku mendapatkan kesulitan.
Gender : Bukankah sudah kuduga. Menyelesaikan tugas besar tidak boleh dengan berjiwa
cengeng. Tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Tujuan akan tercapai, asal tekad kita
mencapai kebulatan.
Sentanu : Bagaimana maksudmu?
Gender : Ikutlah aku !

BAGIAN 11

Sumbogo : Disini saja kita bicara.


Sudrajat : Jangan sekarang.
Sumbogo : Tidak, disini dan sekarang.
Sudrajat : Kamu kurang sabar.
Sumbogo : Sabar sampai kapan ? Sekarang kamu sudah menjadi Adipati. Kamu sudah mendapat
apa yang kamu inginkan tetapi aku belum mendapatkan apa yang kamu janjikan. Aku
belum mendapatkan Roro Kumolo.
Sudrajat : Kita berdua merencanakan tetapi aku tidak menjanjikan.
Sumbogo : Aku merasa tertipu.
Sudrajat : (Dengan suara lunak penuh kelicikan) Aku tetap mengusahakan.
Sumbogo : Aku merasa telah kamu pergunakan.
Sudrajat : Nanti dulu, kita berdua sama-sama terlibat dalam hal ini.
Sumbogo : Yang aku tidak mengerti, kamu tega membunuh ibumu.
Sudrajat : Kapan aku membunuhnya?
Sumbogo : Beliau wafat lantaran berita palsu yang aku kabarkan.
Sudrajat : Nah, jadi kamu yang membunuhnya.
Sumbogo : Tetapi kamu yang merancangkan.
Sudrajat : Jangan munafik, kita berdua sama-sama terlibat. Kita berdua sama-sama membuat
rancangan. Hanya saja aku sudah mencapai hasil, kamu belum. Tetapi hanya sekedar
belum. Jadi kamu harus lebih sabar.
Sumbogo : (Murung) Untuk menemui aku saja Roro Kumolo tidak mau.

27
Sudrajat : Kamu harus bersabar seperti rajawali. Hanya dengan kesabaran rajawali bisa menerkam
mangsanya. Sebenarnya kamu pun sudah bisa memetik keuntungan. Bukankah sekarang
ini aku mempunyai kekuasaan yang bisa aku pergunakan untuk memberimu
keistimewaan. Setialah kamu padaku dan kamu akan aku beri kemuliaan serta
kemakmuran.
Sumbogo : Terkutuklah aku ! Aku telah menodai hidupku sendiri.
Sudrajat : Wah, noda ! Didalam masyarakat, orang tidak memandang noda. Apa yang dilihat
masyarakat hanyalah jaya atau tidak jaya. Biarpun kamu bernoda, kalau kamu
beruntung, beruang dan berpangkat kamu akan disembah orang juga. Sebaliknya,
apabila kau miskin meskipun kamu suci, kamu tetap tidak ada harganya. Coba saja
seandainya aku tergeletak dijalan, menemukan kecelakaan bersama seorang miskin
yang suci, aku tanggung khalayak ramai akan sibuk menolongku. Mereka akan
melalaikan orang miskin itu. Kenapa ? Karena aku jaya ! Karena aku kaya ! karena aku
berkuasa ! Nah, inilah kenyataan perjuangan hidup dalam masyarakat. Kenyataan ini
bukan aku yang menciptakan. Tetapi aku sekedar mengikuti, jadi kamu jangan cengeng
dengan berbicara tentang noda.
Sumbogo : Kamu tidak ingat bagaimana Tuhan memandang semua ini?
Sudrajat : Itu urusan nanti. Sudah kita menjelang tua dan menjelang mati. (Tersenyum)
Perjuangan hidup harus bertahap. Selagi kita muda, yang penting kita harus jaya.
Sesudah kita tua dan jaya, boleh kita nanti mendirikan Masjid atau membuat derma.
Dan nanti sekonyong-konyong kita akan diangkat menjadi ulama.
Sumbogo : Bagaimana kalau kamu mati secara tiba-tiba ?
Sudrajat : Ya, itu sial namanya. Di dalam perjuangan hidup, kesialan adalah termasuk perhitungan
yang tidak terduga.
Sumbogo : Mulai sekarang aku tidak mau campur tangan lagi di dalam hal ini.
Sudrajat : Sudah terlambat. Kamu sudah terlanjur teribat. Apa yang telah kamu lakukan
mempunyai akibat yang tak bisa terhapus lagi.
Sumbogo : Kamu telah menjeratku.
Sudrajat : Kamu tidak akan merasa terjerat seandainya kamu ikhlas dan tidak tanggung-tanggung
dalam bersekutu denganku.
Sumbogo : Yah, aku harus memetik buah perbuatanku.
Sudrajat : Apabila kamu menjadi sahabatku yang setia, buah perbuatanmu itu terasa lezat dan
mulia.
(Sudrajat pergi meninggalkan Sumbogo dengan perasaan penuh kemenangan dan
keangkuhan jiwa)

28
Sumbogo : aku tahu kesalahanku. Aku merasa malu, aku tidak akan berpangku tangan begitu saja.

BAGIAN 12

(Dalam khayalan Raden Legowo)


Adipati Lumajang : Apabila kelak engkau menggantikan ayahanda, jangan enggan turun kedesa-desa karena
di desa, engkau akan menatap kenyataan-kenyataan sebenarnya dari wilayah
pemerintahan yang engkau emban. Pada sinar mata rakyatlah, seorang Adipati bisa
melihat kenyataan hidup yang sesungguhnya. Sinar mata mereka tidak berdusta, ucapan-
ucapan mereka adalah kenyataan hidup yang sebenarnya. Bukan seperti ucapan panewu,
bekel atau demang. Lidah mereka sudah terlalu banyak diracuni tuak sehingga kejujuran
mereka tak dapat kita genggam. Rasa takut kehilangan jabatan atau kekuasaan
menjadikan para Pangreh Praja sering tidak bisa bicara jujur. Maka di dalam kehidupan,
jeritan rakyat adalah akar buat kita berpegangan.
(Raden Legowo tersadar)
Raden Legowo : Ini memang tempat yang bagus untuk bertahan. Bukankah begitu, Kosambi?
Kosambi : Ya, satu hari perjalanan dari sini, di 3 penjuru, sudah kita buat pos-pos penjagaan kita
yang pertama. Hanya bagian utara saja yang terbuka.
Gombreh : Persediaan makan kita sudah lebih baik daripada Tentara Mataram. Tentara Mataram
akan menghentikan gerakan mereka. Dalam keadaan panen yang buruk sumber
perbekalan mereka sungguh gawat keadaannya.
Raden Legowo : Beruntunglah bahwa kita bisa melengkapi perbekalan dengan baik. Sentanu, Gombreh,
bagus kerja kalian. Inilah saat yang baik untuk bekerja, mari kita membantu orang-orang
desa untuk mengatasi persoalan bahan makanan. Dan marilah kita memperkuat
pertahanan.
Gender : Sementara tentara Mataram menghentikan gerakan mereka, kita akan lebih bebas jalan
ke sana ke mari untuk membina hubungan dengan para perampok di hutan-hutan yang
lain. Kita bisa menggalang satu kekuasaan yang lebih luas jangkauannya.
Raden Legowo : Apa maksudmu?
Gender : Bukankah sekarang saatnya kita memperluas wilayah kekuasaan Raden? dengan
membina hubungan dengan para perampok di Mataram kita akan menumbuhkan suatu
kekuatan untuk melawan kekuasaan Sultan Agung.

29
Raden Legowo : Engkau salah. Aku menjadi perampok lantaran aku enggan ditahan karena hutang,
bukan karena aku ingin menggalang kekuasaan.
Gender : Bagaimana kalau dalam perkembangannya nanti orang-orang akan mengangkat anda
menjadi Raja?
Raden Legowo : Akan kutolak !
Gender : Kenapa?
Raden Legowo : Karena aku seorang calon Bupati. Aku tidak pernah menginginkan atau pun
mengusahakan agar diriku menjadi Raja.
Gender : Benarkah ucapan Raden itu?
Raden Legowo : Ya, itu adalah kebenaran hati nuraniku.
Gender : Astaga !
Raden Legowo : Kenapa ?
Gender : Apakah Raden ini kurang semangat dan kurang cita-cita?
Raden Legowo : Bukankah sudah cukup aku buktikan bahwa aku mampu berjuang?
Gender : Kalau begitu Raden kurang pengertian akan kemajuan di dalam kehidupan.
Raden Legowo : Apa maksudmu?
Gender : Seandainya sudah terlaksana untuk menjadi Adipati Lumajang, Raden tidak ingin apa-
apa lagi.
Raden Legowo : Aku ingin menjadi Bupati yang baik. Kalau mungkin menjadi Bupati yang terbaik. Ini
memerlukan usaha dan pengolahan yang tak akan ada habis-habisnya.
Gender : Aku tidak mengerti. Kita berbeda.
Raden Legowo : Sudah jelas. Kamu lihat, dengan caraku sendiri aku juga mempunyai semacam
kebutuhan. Jadi aku bukan orang yang tanggung-tanggung.
(Semua terdiam mendengar ucapan Raden Legowo)
Samyur : Joko Geger, mari kita mulai mendirikan balai pendopo.
Raden Legowo : Bagus. Ayo teman-teman, mari kita mulai bekerja.

30
BAGIAN 13

Sumbogo : Roro Kumolo, maaf !


Roro Kumolo : (Kaget) Raden Sumbogo, kenapa Raden berani lancang begitu saja datang kemari?
Sumbogo : Maafkan aku, aku terpaksa melakukan ini.
Roro Kumolo : Pergi !
Sumbogo : Aku tidak berniat kurang ajar. Tetapi ada hal yang gawat yang harus aku sampaikan.
Roro Kumolo : Apakah Raden akan mampu mencoba kemampuanku dahulu untuk mengusik Raden?
Sumbogo : Aku akan pergi. Tetapi dengarkanlah dahulu satu kalimatku, Raden Legowo masih
hidup.
Roro Kumolo : Apa ?
Sumbogo : Raden Legowo tidak wafat. Itu semata-mata hanyalah cerita palsu yang dirancang oleh
Raden sudrajat. Aku pun terlibat, karena yang menyamar sebagai Santri Gribig adalah
aku sendiri.
Roro Kumolo : Kenapa Raden melakukan itu ? Apa maksudmu ?
Sumbogo : Maksudku kotor, aku ingin memisahkan kamu dengan Raden Legowo. Lalu merebut
kamu kedalam tanganku. Aku telah berdosa, itu aku akui ! Aku sangat mencintai kamu.
Dan cintaku yang tak terbalas membuat diriku membabibuta.
Roro Kumolo : Ibu Ageng wafat lantaran berita palsumu
Sumbogo : Aku telah berdosa. Aku menyesal ! Dan tidak mau terlibat lagi dengan rancangan Raden
Sudrajat. Sekarang aku siap menerima hukumanku.
Roro Kumolo : Kakak Raden Legowo masih hidup ! Kakak Raden Legowo masih hidup ! Mbok
Wagirah alangkah besar rasa syukurku kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
Mbok Wagirah : Itu memang sudah selayaknya. Raden Sumbogo, Raden memang berdosa. Tetapi bahwa
Raden mampu sadar itupun menunjukan sifat yang mulia. Raden sudrajat memang
sudah lama kami curigai. Kini bukti-buktinya sudah didapat dari Raden.
Roro Kumolo : Waktu dan keadaan akan memberi perhitungan pada dosa-dosa Raden. Sementara ini
kami serahkan kepada yang Maha Kuasa. Sekarang katakanlah, dimana Raden Legowo
berada?
Sumbogo : Tentunya di Mataram. Entah bagaimana keadaannya.
Roro Kumolo : Sekarang pergilah, Raden.
Sumbogo : Aku pergi. Aku tidak akan lari dari tanggung jawabku.
(SUMBOGO PERGI)

31
Roro Kumolo : Mbok Wagirah, siapkanlah perbekalan. Malam ini juga kita akan meloloskan diri dari
Kadipaten. Antarkan aku pergi mencari Kakak Raden Legowo di Mataram.

BAGIAN 14

Raden Legowo : Sungguh luar biasa hasil kita kali ini.


Gender : Boleh dikatakan kita telah merampas semua ini tanpa pertempuran. Inilah satu bukti
bahwa nama Joko Geger sudah cukup menggetarkan. Hanya jago mereka saja yang
melawan dan dengan gampang mereka bisa ditundukan oleh Rasmolo dan Sentanu.
Kosambi : Gudang pembendaharaan benar-benar sudah penuh. Kita harus menggali goa lagi untuk
menyimpan barang-barang rampasan ini dan hasil kerja kita yang akan datang.
Raden Legowo : Baiklah kalian bikin goa dengan segera. Untuk sementara perampokan kita hentikan.
Sekarang kita mempunyai kesempatan yang sangat longgar untuk kegiatan yang lain.
Sekarang kita akan mampu untuk menyelenggarakan sarasehan di Gunung Tidar. Kita
akan mengundang beberapa orang wakil dari Pesantren-pesantren untuk berembug
bersama, mencari cara bagaimana kita bisa menyatukan pendapat para Wali. Untuk
akhirnya bisa menyadarkan Sultan Agung terhadap pendapat Sunan Giri Parepen. Kita
sekarang sudah mampu untuk membiayai usaha besar semacam ini.
Gender : Sia-sia. Selagi kekuatan Mataram mengendur karena masalah perbekalan, bagusnya kita
pergunakan kesempatan ini untuk merampok lebih banyak. Nanti apabila kekuatan
Mataram sudah mulai pulih kembali, kita pun sudah cukup berlimpah kekuatan.
Rasmolo : Berlimpah itu bagaimana artinya? Kita ini mempunyai kekuatan karena kita bisa cepat
berpindah. Dan sedikit mempunyai tanggungan keluarga. Apabila kita punya barang
berlimpah, ini akan menghambat ketangkasan bergerak kita. Sebenarnya gudang
kekayaan kita yang paling baik ialah rumah penindas-penindas itu sendiri. Sewaktu-
waktu kita membutuhkan harta, kita tinggal datang dan mengambil dengan paksa.
Kosambi : Benar. Itulah cara menikmati hidup seorang perampok. Hutan belantara lebih
menyenangkan daripada harta benda yang menyesatkan pikiran.
Raden Legowo : Cocok, Rasmolo. Memang aku berkeinginan mengembara dari gunung ke gunung, dari
rimba ke rimba. Dan apabila kita mendengar bahwa ada satu desa ditekan oleh penindas,
segera kita kesana untuk memberi pertolongan dan merampok penindasnya.

32
Gender : Raden. Raden benar-benar meremehkan kesempatan. Kenapa ragu-ragu terhadap
kekuasaan ? Kekuasaan adalah wadah untuk setiap kemauan.
Kosambi : Kamu tidak akan mengerti maksud kami.
Rasmolo : Gender, aku tidak suka kepadamu. Sudah lama aku ingin mengatakan kepada kamu.
Bukan pada dasarnya aku membenci kamu, tetapi aku curiga pada kamu. Sudah jelas
dari semula kita berbeda cita-cita. Kamu sesungguhnya benar-benar berjiwa perampok,
sementara kami merampok karena memperjuangkan prinsip. Sekarang aku bertanya,
kenapa kamu memaksa diri untuk bergabung dengan kami ? apakah maksudmu
sebenarnya ?
Gender : Tidak ada maksudku yang buruk. Aku hanya menggambar suatu tujuan yang lebih besar
dan mulia.
Raden Legowo : Tujuan besar kami adalah mempersatukan kekuatan. Dan dibawah pimpinan Sultan
Agung kita akan bersama-sama mengusir kekuatan dagang orang kulit putih di Sunda
Kelapa.
Gender : Kenapa mesti dipimpin oleh Sultan Agung ?
Raden Legowo : Karena Mataram sudah menjadi kerajaan yang mantap. Sultan Agung ibarat pohon
sudah tumbuh. Jadi sebagai suatu lembaga kekuasaan, Sultan Agung dan Mataram
sudah mempunyai dasar. Bila ada kekurangan-kekurangannya kita bisa
menyempurnakannya dengan usul-usul maupun dengan teguran.
Gender : Sunan Giri Parepen telah menulis peringatan dan teguran. Tetapi Sultan Agung tidak
mengindahkannya.
Raden Legowo : Pertentangan dan salah paham ini harus dibereskan melewati pertukaran pikiran.
Bukannya melewati pertukaran kekerasan. Membentuk kekuasaan baru memakan
pengorbanan terlalu besar. Padahal Sultan Agung sebagai Raja masih mempunyai sifat
yang baik. Ia mampu mengatur, mampu bersabar, ia mampu menindak menterinya
sendiri yang bersalah dan juga mempunyai rasa prihatin. Nanti akan terbukti, apabila
Sultan Agung tidak bisa menguasai menteri-menterinya yang menyeleweng, wahyunya
akan hilang dan kekuasaan yang baru perlu ditegakkan.
Samyur : Raden ! Raden ! tiga orang teman kita ditangkap di Sumber Agung. Ditangkap oleh
orang-orang desa.
Rasmolo : Apa ? Oleh orang-orang desa ?
Samyur : Ya, oleh orang-orang desa dan Tentara Mataram.
Rasmolo : Orang-orang desa melawan kita dan membantu Mataram? Akh, aku sungguh tidak bisa
mengerti.

33
Gender : Memang ada desa-desa yang secara turun-temurun menjadi begundal Mataram. Dan
jangan pula lupa diperhitungkan, ada Kepala Desa yang mau jadi antek Tentara
Mataram lantaran mendapat bayaran.
Rasmolo : Kurang ajar !
Samyur : Ketiga teman kita itu menderita dengan hebat. Telinga mereka dipotong, kuku tangan
mereka dicabuti. Mereka dicambuki dan besok siang akan mendapat hukuman mati
di tiang gantungan.
Rasmolo : Kita tidak bisa berpangku tangan.
Kosambi : Jangan sampai mereka mati di tiang gantungan.
Gender : Tunggu dulu !
Rasmolo : Apa lagi yang ditunggu. Besok siang hukuman mati akan mereka laksanakan. Malam ini
juga kita harus kesana untuk menyelamatkan mereka.
Gender : Siapa yang akan menjaga gudang perbekalan di sini ? Siapakah yang akan menjaga
barang-barang rampasan kita? Jangan-jangan ini suatu pancingan agar kita semua pergi?
Sentanu : Raden, biarkanlah saya saja yang bergerak untuk membebaskan mereka.
Raden Legowo : Baiklah. Kalau memang kamu sanggup, pilihlah orang-orang pilihan untuk
membantumu.
Sentanu : Terima kasih, Raden. Perkenankanlah saya membawa Gombreh dan Gender juga.
Rasmolo : Raden, Saya juga sangat ingin ikut mereka.
Sentanu : Jangan ! Tenagamu lebih dibutuhkan di sini.
Raden Legowo : Betul, Rasmolo, aku juga memerlukan tenagamu.
Rasmolo : Baiklah, Raden. Sentanu, baik-baiklah di jalan. Jagalah keutuhan kita.
Sentanu : Jangan khawatir, Rasmolo.
Raden Legowo : Sekarang, berangkatlah kalian.
Sentanu : Permisi, Raden.
(Terdengar suara langkah kaki kuda, semua orang menoleh seketika. Suroso dari
jauh tersenyum gagah)
Suroso : Saya kembali, Raden.
Raden Legowo : Bagus! Apa kabar guruku ? Bagaimanakah keadaan di Gunung sana ?
Suroso : Baik, tidak kurang suatu apa. Saya mendapat pesan untuk Raden langsung dari guru
Raden sendiri, Sunan Giri Parepen.
Raden Legowo : Katakanlah.

34
Suroso : Sunan Giri Parepen sudah mendengar semua usaha Raden di Mataram, beliau bersyukur
dan memuji hal ini. Beliau mendengar pula tentang segala bantuan Raden kepada
Pesantren-pesantren. Hal ini membuat beliau berbangga. Selanjutnya beliau menerima
upeti dari Raden. Beliau terharu sekali. Tetapi beliau sangat menyesal, beliau tidak
berkenan menerima upeti itu. Maka sekarang upeti itu dikembalikan.
Raden Legowo : Kenapa? Aku tidak mengerti ini.
Suroso : Beliau tidak menyetujui cara kita mendapatkan harta itu, beliau tidak menyetujui kita
menjadi perampok.
Raden Legowo : Apa kamu sudah jelaskan perampok macam apa kita ini?
Suroso : Sudah, Raden. Beliau mengatakan, “Bahwa tujuan tidak boleh menghalalkan cara.
Semua usaha manusia yang menyangkut lembaga kemasyarakatan harus sesuai dengan
nilai-nilai kebudayaan. Hanya boleh dipakai apabila kita tengah mempertahankan
kehidupan dalam keadaan yang terpaksa, maka kekerasan akan gampang menjurus
kepada keserakahan. Kalau hal ini terjadi pada Raden, maka pada akhirnya Raden
akan sama saja dengan Sultan Agung, atau keturunan dagang orang kulit putih di
Sunda Kelapa.”
Raden Legowo : Bukankah kita semua menjadi perampok karena keadaan yang terpaksa ? Karena kita
tidak mau diperdayakan dan masuk penjara?
Suroso : Sunan Giri Parepen bertanya kepada Raden, “Di dalam keadaan terpaksa kenapa
Raden lari ke dalam hutan dan menjadi perampok? Kenapa Raden tidak lari ke hutan
dan menjadi pertapa? Seorang perampok melancarkan kekerasan di hutan. Sedangkan
dari hutan seorang pertapa melancarkan catatan-catatan berupa buku, surat dan
tembang.”
Raden Legowo : Suroso, kelihatannya kamu menyesal karena ikut denganku menjadi perampok.
Suroso : Raden, saya ini sekedar menyampaikan pesan.
Raden Legowo : Aku muak ! Aku muak lantaran tekanan dari kanan dan tekanan dari kiri. Aku benci
pada kehidupan ini ! Aku benci pada kelahiranku ! Aku menyesal hidup di atas dunia
ini. Persetan dengan semuanya ini !

35
BAGIAN 15

Sudrajat : Roro Kumolo… Roro Kumolo... Kamu lenyap ditelan bumi. Orang telah mencarimu
di seluruh Kabupaten Lumajang, tetapi semua orang pulang dengan tangan hampa.
Sementara, Mbok Wagirah juga lenyap. Akh, Roro Kumolo, apakah kamu minggat
bersama perempuan gaek itu? Dan sumbogo, Raden Sumbogo, ia pun lenyap entah
kemana. Apakah kalian semua sekongkol meninggalkan diriku? Apakah Sumbogo
berhasil memikat Roro Kumolo dan lantas melarikannya?
Apakah Roro Kumolo sudah tahu akan segala kejahatanku? Mungkinkah Sumbogo
membukakan kejahatanku kepadanya? Akh, bagaimana itu mungkin, sebab dengan
begitu berarti ia sendiri membukakan dosa-dosanya. Akh, ini benar-benar
mempermainkan perasaan. Jangan-jangan aku bisa mati karena ketegangan perasaan
semacam ini!!!!
Aku mulai kurang tidur dan kurang makan. Akh, terpaksa aku sekarang harus
mengambil satu selir lagi untuk mengatasi kerusuhan perasaanku.. Aduh…aduh…
Perasaan apa sebenarnya yg bergolak di dalam dadaku. Ruwet, kacau, sukar
dirumuskan.
Roro Kumolo… Roro Kumolo... Kamu sudah menguasai hidupku. Bila kamu tidak ada
di depanku, kamu menjadi hantu. Kamu duduk di mataku, sehingga mataku tidak bisa
dipicingkan. Kamu duduk di dalam perutku, sehingga aku tidak doyan makan.
Sekarang bagaimana ini ! Akh, aku tidak karuan rasanya. Aku mau duduk dimana ? Aku
benci rumah ini ? Apakah sebaiknya aku berjudi saja ? Tetapi aku selalu kalah di dalam
perjudian. Ah, ya…. aku akan menyembelih ayam saja, akan aku cincang-cincang ayam
itu, lalu akan aku suruh pelayan untuk memasaknya. Ohh, badanku, ngilu… ngilu…
rasanya.

36
BAGIAN 16

Gender : Lembek ! Kamu lembek !


Sentanu : Apakah aku pernah lembek menghadapi Tentara Mataram ? Tidak ! Aku selalu
melawan mereka dengan penuh keberanian. Tetapi kini apa yang telah aku lakukan?
Tanganku telah bernoda dengan darah orang-orang desa, aku telah mengkhianati
perjuanganku sendiri.
Gender : Cengeng, ini cengeng. Jangan kamu lupa ini adalah pertarungan antara nyawa dengan
nyawa.
Gombreh : Ya, apa boleh buat memang inilah tanggungan yang harus kita ambil. Nyatanya
sekarang kita telah berhasil menyelamatkan ketiga teman kita dari bahaya maut. Yang
paling penting, sekarang semua tugas telah kita bereskan.
Sentanu : Aku mulai jijik terhadap cara-cara yang telah kita lakukan.
Gombreh : Baiklah, apakah ada cara lain ? Yang pasti berhasil untuk menyelamatkan nyawa teman-
teman kita itu?
Sentanu : Allah… Ya Allah !
Raden Legowo : (Raden Legowo masuk) Sentanu, aku telah bertemu dengan ketiga teman yang telah
kalian selamatkan. Bagus ! Kalian telah bekerja dengan baik.
Gender : Ya, tugas telah kami bereskan dan semua selamat sejahtera.
Gombreh : Kita menang dengan gilang-gemilang, Sumber Agung telah kita tundukkan, tidak akan
mungkin menjadi sumber bahaya lagi bagi kita.
Sentanu : Bagaimana mungkin Sumber Agung masih bisa menjadi bahaya, kita telah sirnakan
desa itu, kita tidak menundukkan desa itu, tetapi kita telah menumpas seluruh desa itu.
Kita telah menjadi jagal dari satu kehidupan tanpa dosa.
Raden Legowo : Apa yg telah kalian lakukan?
Sentanu : Kami telah membakar habis desa sumber Agung. Berpuluh puluh orang desa telah mati,
bahkan wanita dan anak-anak juga telah banyak yang telah mati, sementara yang lain
telah kehilangan tempat tinggal.
Raden Legowo : Apakah kalian telah gila?
Sentanu : Lebih dari sekedar gila, Raden. Kami telah menjadi binatang!
Raden Legowo : Sadarkah kamu akan perbuatan itu?
Sentanu : Kami telah bersalah. Aku rela mendapatkan hukuman.

37
Gender : Nanti dulu ! Maaf Raden, janganlah kita cengeng atau terburu nafsu. Semua mesti
diletakkan pada kedudukan yang selayaknya. Lebih dahulu harus dilaporkan kepada
Raden, seluk-beluk keadaan yang kami hadapi dan segala keterangan mengenai langkah
yang telah kami lakukan.
Raden Legowo : Ya, memang. Aku menuntut tanggung jawab terhadap segala tindakan kalian di sumber
Agung.
Gender : Pertama, jarak dari sini ke Sumber Agung cukup jauh. Paling cepat dua hari perjalanan.
Tetapi karena keadaan yg mendesak, kami harus bisa menempuhnya dalam satu hari
satu malam. Untuk itu kami memakai kuda-kuda pilihan. Sesampai di Sumber Agung,
tepat pada saat hukuman gantung akan dilaksanakan, jadi tidak pada waktu lagi untuk
terlalu banyak menimbang. Akhirnya kami putuskan siasat sebagai berikut, Waktu itu
tiga teman kita akan digantung disebuah lapangan yang terletak di tepi desa di ujung
utara. Maka, Sentanu dan Gombreh menyamar menyusup di antara orang-orang desa
mendekati tiang gantungan. Sementara itu saya membakar rumah yang paling selatan di
desa itu. Ini terpaksa harus dilakukan, untuk memancing penduduk desa meninggalkan
tiang gantungan. Siasat ini sangat jitu, Raden. Begitu rumah saya bakar, orang seketika
meninggalkan tiang gantungan, tinggal beberapa orang saja yang tetap menjaga tampat
itu. Kesempatan itu dipakai Sentanu dan Gombreh untuk membebaskan teman-teman
kita.
Raden Legowo : Lantas?
Gender : Rupanya karena keadaan musim kemarau yang panjang, api mudah menjalar kemana-
mana. Punahlah seluruh rumah di desa itu.
Raden Legowo : Seluruh rumah?
Sentanu : Desa itu punah, Raden. Yaa Allah… desa itu punah ! Dan Gender betul-betul tidak
mengindahkan nyawa orang. Rumah yang pertama ia bakar, berisi seorang tua sakit-
sakitan dan seorang ibu yang baru saja melahirkan.
Gender : Apakah kamu buta pada kenyataan? Bukankah waktu itu kita boleh dikatakan sudah
kehabisan waktu untuk bertindak? Dan rumah pertama yang aku bakar, terletak ditempat
yang paling mampu untuk menarik perhatian orang-orang desa itu.
Sentanu : Kamu toh bisa menyuruh si kakek tua dan si ibu dengan bayinya itu untuk menyingkir
lebih dulu sebelum kamu bakar rumah mereka.
Gender : Mana ada kesempatan itu ! Waktu tinggal sedikit, kita harus cepat bergerak untuk
menyelamatkan teman-teman kita.
Raden Legowo : Menyelamatkan tiga orang menumpas satu desa.

38
Sentanu : Itu belum semua, Raden. Ketika kami menyeberangi sungai di luar desa, kami harus
melewati sebuah jembatan yang hanya cukup untuk satu orang berjalan di atasnya.
Kami berjalan berurut-urutan, Gombreh berjalan paling depan. Ketika itu muncul anak
kecil menyeberang jembatan pula, ia berpapasan dengan kami. Saya tidak pernah
menduga, iblis dari mana yang merasuki kami. Tanpa omong ba atau bu, Gombreh
menendang anak itu sehingga terpental jatuh kebatu-batu dan kepalanya pecah.
Gombreh : Waktu sangat mendesak Raden. Kita semua dalam bahaya. Orang-orang mengejar kita
dari belakang, itu sebabnya hal tersebut terpaksa aku lakukan.
Sentanu : Kenapa tidak kamu sambar saja anak itu dan kamu bawa menyeberang sekalian?
Dengan begitu paling banter ia hanya akan ketakutan tetapi tidak perlu kehilangan
nyawa. Gombreh, Gender, aku tidak mau ikut-ikut lagi. Aku sudah jijik. Kamu sudah
membakar lebih dari satu rumah, jangan kamu bohong dalam hal ini. Dari semula kalian
telah berkhianat untuk memusnahkan desa itu. Kalian penuh nafsu menghukum dan
membalas dendam. Kita semua telah mengabdi kepada kekuatan dan kekerasan serta
meremehkan semua aturan.
Raden Legowo : Benar juga kekhawatiran Sunan Giri Parepen, Guruku. Baru kali ini aku memahami
maksudmu. Jadi beginilah jadinya, langsung atau tidak langsung kita ini menegakkan
kekerasan yang akhirnya akan sukar dikuasai kekuatannya.
Rasmolo : Berapa Tentara Mataram yang ada disana?
Sentanu : Tidak ada tentara Mataram disana.
Rasmolo : Apa?
Sentanu : Saya bicara sejujurnya. Tidak seorang pun Tentara Mataram di desa itu. Hal inilah yang
membuat aku kecewa, kami tidak sedang memperjuangkan keadilan dengan perbuatan,
tetapi kami telah menjadi bagian dari kejahatan. Aku benar-benar malu.
(Rondo Dadap masuk)
Samyur : Maaf, ibu mau apa?
Rondo Dadap : Yang manakah yang bernama Joko Geger?
Samyur : Apa keperluan ibu menanyakan Joko Geger?
Rondo Dadap : Aku mencari Joko Geger.
Raden Legowo : Ada keperluan apa mencari Joko Geger, Mbok?
Rondo Dadap : Aku ingin bertemu dengannya.
Raden Legowo : Akulah Joko Geger
Rondo Dadap : Jadi kamu yang bernama Joko Geger? Jadi beginilah rupamu?
Raden Legowo : Iya, akulah Joko Geger. Apa keperluanmu?
Rondo Dadap : Aku datang untuk memberikan tanda mata. Maukah engkau menerima hadiahku?

39
Raden Legowo : Hadiah?
Rondo Dadap : Ya, terimalah ini
(Rondo Dadap mengeluarkan keris, Rasmolo langsung meringkusnya)
Rasmolo : Siapakah kamu sebenarnya?
Rondo Dadap : Tidak perlu banyak tata cara (marah) Bunuh saja aku!
Rasmolo : Apakah kamu akan konyol tanpa nama?
Rondo Dadap : Aku orang Sumber Agung. Namaku Rondo Dadap.
Koor : Sumber Agung?
Rasmolo : Kenapa kamu akan membunuh Joko Geger?
Rondo Dadap : Apa salahnya membunuh seorang penindas rakyat?
Rasmolo : Kamu tidak sadar atas ucapanmu? Kamu salah sangka.
Raden Legowo : (Lunak) Lepaskan dia. Aku mau bicara dengannya.
Rasmolo : Baik, Raden.
Raden Legowo : Jangan seorang pun beranjak dari sini sebelum urusan ini selesai. Kemarilah, Mbok.
Uraikan semua keluh kesahmu. Sampaikan kepadaku segala kesalahan yang diperbuat
oleh anak buahku dan semua akan kuperhitungkan. Jangan sampai ada salah sangka
antara kita. Banyak hal yang dilakukan anak buahku yang sebenarnya aku sendiri tidak
tahu.
Rondo Dadap : Tidak usah bertele-tele, aku tidak akan terbujuk oleh tingkah laku yang semacam ini.
Aku meludah kepadamu atas nama seluruh rakyat Sumber Agung. Cuh!!
Rasmolo : Mbok!!
Raden Legowo : Tenang, biarkan dia. Aku mengerti perasaan mu, Mbok. Baru saja anak buahku dengan
penuh rasa berdosa telah memberi laporan kepadaku mengenai perbuatan mereka
di Sumber Agung waktu mereka bergerak menyelamatkan ketiga temannya yang akan
digantung di sana. Aku sudah tahu, mereka telah membumihanguskan desa itu dan
untuk perbuatan itu mereka akan mendapatkan hukuman. Percayalah, Mbok. Kami
sangat menyesalkan perbuatan itu. tetapi sadarilah bahwa hal semacam itu bukan
merupakan dasar pendirian dan kebiasaan kami. Kami menjadi perampok karena
berkehendak untuk menolong rakyat miskin, yang tertindas oleh para Senopati
Mataram. Jadi janganlah sampai peristiwa terdahsyat yang baru saja kamu alami
menjadi alasan renggangnya persahabatan antara kami dan rakyat. Jangan sampai pula
kalian di Sumber Agung gampang terperdaya oleh Tentara Mataram, lalu memusuhi
kami bahkan sampai menawan dan akan menggantung tiga orang di antara kami.

40
Rondo Dadap : Tentara Mataram dan kamu semua sama saja. Sama-sama menindas orang desa dengan
pajak yang berat, saya menentang Tentara Mataram dan juga menentang kamu.
Raden Legowo : Apa maksudmu ? Kami tidak pernah memungut pajak sedikitpun dari orang-orang desa.
Rondo Dadap : Ketiga orang yang akan kami gantung itu datang untuk memungut separuh dari hasil
panen kami. Mereka mengancam kami apabila hasil tidak mereka dapatkan, Sumber
Agung akan dibumi hanguskan. Nah, sekarang maksud itu telah kalian laksanakan apa
gunanya untuk ngomong lagi.
Raden Legowo : Apa-apaan ini? Aku tidak tahu menahu soal ini. Kami selalu menukar hasil bumi orang
desa dengan harta benda yang berlimpah. Sentanu, aku ingin pertanggung jawaban atas
perbuatan ini.
Sentanu : Raden, mengenai perbuatan di Sumber Agung aku tidak tahu. Semua adalah buah
pikiran Gender dan gombreh, tetapi memang benar bahwa aku tahu mengenai
pemungutan pajak itu di desa-desa lain. Yah, akupun ikut serta terlibat di dalamnya.
Raden Legowo : Jadi begitulah cara kalian mengumpulkan perbekalan kita yang melimpah ini?
Sentanu : Iya, Raden. Gombreh dan saya kebingungan untuk mendapatkan bahan makanan untuk
perbekalan kita. Kemarau buruk seperti menghukum kita dan kami pun mengikuti
sarannya. 17 desa kami gertak dan ancam untuk menyerahkan separuh dari hasil
mereka.
Raden Legowo : Merampok rakyat?
Sentanu : Ya, Raden. Merampok rakyat. Sekarang perkenankan saya untuk mengikuti rondo
Dadap untuk kembali ke desanya, agar orang-orang desa Sumber Agung bisa puas
mengadili dan menghukumku.
Raden Legowo : Nah, mulutmu sendiri yang telah mengucapkan itu. Semoga hukuman setimpal jatuh
kepadamu dan semoga Allah menerima maksud baik dan penyesalanmu.
Gombreh : Nanti dulu, saya minta dipertimbangkan hal ini. Kami telah terpaksa melakukan semua
yang telah dianggap salah itu, karena benar-benar tidak ada pilihan lain lagi. Kalau kita
tidak mendapatkan bahan makanan, maka rombongan kita akan menjadi lemah tidak
bisa bekerja dengan baik, semangat akan merosot dan bahkan barangkali akhirnya akan
terancam pemberontakan dari dalam.
Gender : Raden, inilah yang disebut tanggungan perjuangan. Untuk bisa melangsungkan
perjuangan, lebih dahulu kita harus hidup. Sesudah itu sekali berjuang, perjuangan harus
kita menangkan, cita-cita bisa kita laksanakan.
Raden Legowo : Bagaimana ini, Sentanu?

41
Sentanu : Saya sudah merenungkannya, bagaimana kita akan bisa melaksanakan cita-cita itu,
apabila orang-orang kita melaksanakannya dengan cara-cara yang justru menjauhi cita-
cita itu sendiri. Harusnya menurut cita-cita kita, kalau rakyat lapar, kita lapar. Kalau
rakyat senang, kita pun senang. Kalau kita benar-benar membela rakyat, kita harus bisa
menyusun siasat perjuangan yang seirama dengan kebutuhan rakyat. Tetapi nyatanya
apa yang sekarang terjadi? Siasat perjuangan kita tidak menyesuaikan diri dengan
iklim dan dengan kesukaran rakyat. Demi untuk mengatasi iklim, kita telah memaksa
rakyat menderita untuk kita.
Gender : Baiklah, lebih baik aku akan memisahkan diri. Karena telah terbukti ada jurang yg
memisahkan kita.
Gombreh : Aku pun akan menyingkir bersamamu, Raden. Perkenankan kami memisahkan diri.
Raden Legowo : Dan dengan begitu saja lepas dari tanggung jawab kalian? Apakah kalian berpikir kalau
aku akan membiarkan hama rakyat merajalela
Rasmolo : Raden, apabila mereka berniat menyingkir, bolehkah saya mengantarkan mereka?
Gombreh : Ada nada tantangan dibalik ucapanmu, Rasmolo.
Rasmolo : Apa kalian berdua takut ditantang ? Apa kalian berdua hanya berani melawan
perempuan dan orang tua?
Gombreh : Kamu meremehkan orang
Rasmolo : Akan aku lihat apa kalian berdua akan mampu keluar dari hutan ini melewati
penjagaanku seorang diri.
Raden Legowo : Gender dan kau, Gombreh. Ayolah kalian memilih, kalian kami cincang beramai-ramai
atau kalian menyingkir dari sini.
Gombreh : (Tergagap gagap) Tetapi Raden, Rasmolo telah…
Raden Legowo : Minggat !!!
(Gender dan Gombreh pergi)
Raden Legowo : Mbok, sekali lagi kami minta maaf untuk semua dosa-dosa kami. Marilah sekarang
kami antar kamu pulang ke Sumber Agung untuk membangun kembali desa itu. Sambil
kita juga membawa perbekalan makanan. Selain itu, kami akan serahkan Sentanu
kepada rasa keadilan penduduk Sumber Agung
Rondo Dadap : Joko Geger, aku kurang mengerti siapakah sebenarnya dirimu yang dipanggil dengan
sebutan Raden ini?
Raden Legowo : Waktu akan mengungkapkan hal itu dengan sendirinya. Pada saat ini perjuangan belum
selesai.
Rondo Dadap : Bagaimana pun saya mempunyai penghargaan kepada dirimu dan merasa puas dengan
keputusanmu.

42
(Terdengar jeritan gombreh dan Gender meregang nyawa)
Raden Legowo : Rasmolo, rupanya telah menyelasaikan tugasnya. Marilah kita tengok kesana, sesudah
itu kita pergi bersama ke sumber Agung.

BAGIAN 17

Sudrajat : Semua orang memandang kepadaku dengan pandangan yang aneh, orang-orang di jalan
saling berbisik antara mereka sambil melihat kepadaku. Pasti ada sesuatu yang mereka
dengar tentang diriku. Apakah mereka telah tahu rahasia kejahatanku? Ahh, apakah
yang bisa dibuat oleh rakyat terhadap seorang Adipati? Kekuasaanku dewasa ini telah
dibina dengan rapi. Aku sangat mementingkan pengawasan dan pengamanan. Itulah
sebabnya aku memerlukan kerja sama dengan tentara Mataram, rakyat akan lebih
gampang diatur dan pajak akan lebih gampang ditarik. Apakah rakyat di jalan kurang
menyukai keakrabanku dengan utusan Mataram? Ahh, mereka tidak menyadari ilmu
selamat. Untuk apa kita bertingkah mokal-mokal, tidak akan mungkin kita bisa
menandingi Tentara Mataram. Tentara Mataram itu ibarat binatang buas yang ganas dan
berbahaya, penuhi saja sajen-sajen yang diperlukannya kemudian ia akan menjadi jinak
dan mudah ditipu. Nah, itulah cara untuk mengatasi binatang yang berbahaya. Rakyat
harus mengerti ini. Keselamatan lebih berharga dari ulah tingkah yang tidak menentu
tujuannya. Tetapi… ahhh ! Sukar sekali menerangkan hal ini pada orang-orang bebal
yang tidak mengerti kenikmatan hidup. Aku benci pada orang yang punya pandangan
muluk-muluk! Hidup adalah sederhana saja, nikmatilah kesenangan! Tetapi rakyat,
orang-orang pemimpi, kaum bercita-cita…ahhh!!ahh!

43
BAGIAN 18

Rondo Dadap : Joko Geger. Atas nama seluruh rakyat Sumber Agung, saya mengucapkan rasa puas
terhadap pemulihan desa yang telah Raden lakukan. Dosa-dosa yg telah dilakukan oleh
anak buah Raden terhadap penduduk desa Sumber Agung dengan ini telah mendapatkan
imbalannya.
Raden Legowo : Terima kasih Mbok, ucapan-ucapanmu ini telah memulihkan kembali kepercayaanku
pada diriku sendiri. Meskipun aku masih diliputi rasa termangu-mangu apabila aku
memikirkan akan kegunaan kelompokku ini di dalam hubungannya dengan perbaikan
nilai kemanusiaan di dalam masyaraakat.
Rondo Dadap : Semoga Tuhan memberkati Raden di dalam menjalani lakon termangu-mangu itu.
Selanjutnya saya mengucapkan rasa syukur Alhamdulillah, bahwa apa yang Raden
lakukan di sini sudah berakibat baik pada diri Raden sendiri. Ya, puaslah kami, puas.
Namun demikian saya ingin satu langkah lagi, dahulu telah kita setujui bahwa kita
penduduk desa Sumber Agung yang akan menentukan hukuman untuk Sentanu.
Raden Legowo : Janji itu tidak pernah aku cabut. Sentanu, kamu memahami itu bukan?
Sentanu : Dengan ikhlas memahami, Raden.
Rondo Dadap : Kalau begitu, Raden. Kami telah menjatuhkan hukuman untuknya. Sentanu harus
tinggal disini untuk selama-lamanya dan menjadi kepala desa sumber Agung yang telah
dibangun kembali. Karena ia bekas perampok tentunya ia sangat ahli di dalam menjaga
desa ini dari bahaya perampokan.
Raden Legowo : Mbok Rondo Dadap, hal ini sungguh berada diluar dugaan kami. Tetapi sungguh
memberi kelegaan.
Rondo Dadap : Bagus, Sentanu jalanilah hukumanmu.
Sentanu : Mbok Rondo Dadap, ini bukan hukuman, ini anugrah namanya. Aku tidak tahu apa lagi
yang mesti aku katakan. Ah Raden. Ternyata nasibku lebih baik dari nasib Raden.
Raden Legowo : Ya ya ya, aku memang merasa iri kepadamu.
(Kosambi datang)
Kosambi : Saya membawa berita bagus untuk Raden. Nasib baik dan nasib buruk menimpa setiap
orang, siapa tahu hari ini tertimpa nasib baik.
Raden Legowo| : Ada apakah, Kosambi?
Kosambi : Ada orang yang mencari Raden.
Raden Legowo : Lantas?

44
Kosambi : Orang ini datang dengan cara yang mengagetkan dan bertanya kepada saya, dimanakah
Joko Geger? Siapakah sebenarnya dia? Tunjukkan kepadaku dimana orangnya? Aku
ingin melihat bagaimana rupanya?
Samyur : Hati-hati, jangan-jangan ia membawa keris dibawah remongnya.
Kosambi : Aku berani menanggung hal semacam itu tidak akan terjadi.
Raden Legowo : Tenanglah kamu semua. Di manakah orang itu ?
Kosambi : Tahan diri Raden. Mari kita temui orang itu. Mereka masih ada di dalam gerobaknya.
Roro Kumolo : Kakak Legowo !
Mbok Wagirah : Oh, Raden, bendoroku.
Raden Legowo : Berani memimpikan pun aku tidak.
Roro Kumolo : (Terisak-isak) Saya minggat dari Kadipaten untuk menyusul Raden.
Raden Legowo : Bayangan yang menggangguku setiap malam kini menjadi kenyataan.
Roro Kumolo : Dari Lumajang, kami melacak di mana tempat Raden. Sampai ke Pesantren Giri, Jepara,
Kutagara dan sampai akhirnya kami mendengar desas-desus mengenai Raden yang
mengganti nama menjadi Joko Geger. Saya mengajak Mbok Wagirah untuk menyusul
kemari.
Raden Legowo : Luar biasa, Diajeng, luar biasa. Aku tidak bisa membayangkan seorang wanita seperti
dirimu berjalan begitu jauh meninggalkan kemuliaan untuk menemukan seorang
perampok di tengah hutan.
Roro Kumolo : Semula dikabarkan Raden telah wafat.
Raden Legowo : Aku tak ingin mendapatkan sebelum bertemu denganmu. Tetapi kenapa Diajeng hanya
dengan Mbok Wagirah, kenapa tidak diantar oleh Sudrajat. Dimana adikku itu ?
Roro Kumolo : Ia menjadi adipati Lumajang dengan restu Sultan Agung.
Raden Legowo : Adipati Lumajang ?
Roro Kumolo : Ia telah membuat fitnah. Ia katakan Raden telah tertimbun hutang di Mataram sebagai
akibat perjudian. Ia kabarkan Raden memperkosa istri seorang bangsawan dan lari ke
hutan dikejar Sultan Agung, lalu akhirnya ia katakan Raden tewas dalam pertempuran.
Raden Legowo : Ah, sampai sejauh itu ?
Roro Kumolo : Iya Raden.
Raden Legowo : Ini jawaban teka-teki yang aku hadapi.
Roro Kumolo : Ya, begitulah Raden.
Raden Legowo : Dan bagaimana dengan ibuku ?
Roro Kumolo : Beliau tidak kuat mendengar berita palsu mengenai Raden. Akhirnya beliau bunuh diri,
menikam diri dengan keris.
Raden Legowo : Apa ?

45
Roro Kumolo : Nyai Adipati sudah tiada lagi.
Raden Legowo : Ibuku.
Roro Kumolo : Raden, Raden harus kuat. Raden adalah harapan satu-satunya rakyat Lumajang. Mereka
menunggu kehadiran Raden untuk melepas mereka dari kekuasaan Sudrajat yang telah
menjadi tiran.
Raden Legowo : Hidupku hancur berantakan.
Roro Kumolo : Rakyat Lumajang saat ini dalam ketakutan, kebingungan dan kelaparan.
Raden Legowo : Hidupku hancur berantakan.
Roro Kumolo : Penjahat merajalela di Lumajang. Rakyat benar-benar hidup tanpa pembela.
Raden Legowo : Apa ?
Roro Kumolo : Begitulah Raden, kecuali cara pemerintahan Sudrajat yang sewenang-wenang. Rakyat
diharu-biru para perampok yang tak segan mengancam dan membunuh. Hanya Raden
yang bisa menyelamatkan Lumajang.
Raden Legowo : Diajeng, kita akan kembali ke Lumajang selekasnya.
Roro Kumolo : Ah, syukur Alhamdulillah.
Raden Legowo : Mbok Wagirah, kamu indah, sungguh indah.
Mbok Wagirah : Raden, abdimu sungguh terharu dan bangga.
Raden Legowo : Teman-teman, kita bertolak ke Lumajang. Kita akan menyingkirkan kelaliman. Aku
akan merebut kembali hakku.
Rasmolo : Bagus Raden. Kami dukung Raden. Ini memang yang sebaiknya Raden lakukan.
Rondo Dadap : Sumber Agung akan berdiri di belakang Raden.
Raden Legowo : Oh ya Mbok Rondo Dadap, inilah calon istriku.
Rondo Dadap : Raden Roro, maafkanlah aku ini orang desa, aku ingin menghaturkan penyambutan
sebagaimana biasanya. Mari silakan kita semua menuju ke balai desa.

46
BAGIAN 19

Sudrajat : Honggo Awang, disini ini, ya disini ini aku sering melihat bayangan orang berkelebat
lewat di waktu malam. Sekali aku melihat bayangan hitam menyelinap di balik batu itu.
Honggo Awang : Tenanglah Raden Adipati, semua itu hanyalah bayangan khayal yang muncul dari rasa
capek Raden.
Sudrajat : Bayangan ? Hanya bayangan ? aku mendengar suara langkah kakinya. Apakah
bayangan punya suara langkah kaki ? bahkan pada suatu malam, aku mendengar suara
langkah kaki berpuluh-puluh orang di tengah gelap mereka berlari-lari mengepung
tempat ini.
Honggo Awang : Dengan pengawalan yang cukup kuat bagaimanakah mungkin orang bisa menerobos
kemari. Seekor tikuspun tak bisa menyelinap kemari.
Sudrajat : Raden Honggo Awang, sebagai utusan dari Mataram, Raden mempunyai tugas untuk
keamananku, sebelum Sultan Agung menobatkan diri sebagai adipati Lumajang.
Honggo Awang : Jangan sangsi lagi, tugaskulah untuk membalas kesetiaan Raden kepada Sultan. Kiriman
upeti yang berlimpah dari Raden, pantas mendapat imbalan keamanan yang
sepantasnya.
Sudrajat : Tetapi bagaimana ini, aku mendengar sekelompok perampok menyerbu Lumajang ?
Honggo Awang : Anjing-anjing semacam itu dengan mudah akan kami lenyapkan sekarang juga.
Sebagian dari pasukanku tengah memburu mereka.
Sudrajat : Betapapun hati-hatilah pula terhadap mereka. Ku dengar mereka bukan perampok
sembarangan. Pemimpin mereka adalah Joko Geger.
Honggo Awang : Aku sudah mendapat laporan, bahwa Joko Geger adalah Kakak Raden sendiri, Raden
Legowo.
Sudrajat : Apa ?
Honggo Awang : Kakak Raden.
Sudrajat : Aduh.
Honggo Awang : Tetapi kakak Raden atau bukan, kami akan bisa menghadapinya. Jadi tenanglah.
Sudrajat : Raden belum mengenal sepak terjang kakakku. Ia seperti babi hutan. Ia pasti akan
datang seperti orang edan yang akan membalas dendam.
Honggo Awang : Sudahlah, jangan terlalu Raden risaukan. Belum tentu juga dia adalah kakak Raden.
Lagi pula kami ini macan. Babi hutan atau babi edan, semuanya akan kami telan.
Sudrajat : Tadi malam aku bermimpi jelek, dadaku sesak dan hampir mati.
Honggo Awang : Nanti malam tidurlah dengan selir Raden yang baru. Raden akan bermimpi baik.

47
Sudrajat : Tadi malam pun aku tidur bersama dia. Tetapi ia Cuma seorang wanita, ia tidak tahu
apa-apa tentang keamanan. Waktu aku menjerit, ia pun ikut menjerit.
Honggo Awang : Tetapi kalau aku tempatkan seorang pengawal di depan pintu kamar Raden, tentu akan
sangat mengganggu ketenangan Raden bercinta.
Sudrajat : Lalu bagaiman ini ? Wah, wah, wah. Biarlah aku mengungsi saja ke Mataram.
Honggo Awang : Wah, itu diluar persoalan. Apa yang kita hadapi ini soal remeh. Apabila Raden tenang,
Raden akan menyadari hal ini. Sekarang marilah kita mengunjungi tempat hiburan. Si
Mbok telah menyediakan bunga yang ayu disana, bunga yang belum pernah dipetik
orang. Mari, Raden. Silakan.
Pengawal : Perampok yang dipimpin Joko Geger sedang mengamuk, Raden.
Honggo Awang : Raden Sudrajat, sekarang giliranku membalas kebaikan Raden kepada Sultan Agung,
menyingkirlah ke dalam, biar aku yang membereskan babi hutan yang sedang menggila.
Sudrajat : Sekarang tamatlah riwayatku ! Kakak Legowo akan mencabik-cabik tubuhku.
Tak mungkin ia mengampuniku. Ia tidak pernah mempunyai pengertian kepadaku.
Sejak kecil aku tidak pernah diberi kesempatan untuk menang. Ini semua kesalahan ibu.
Ibu selalu menganggap ia lebih unggul daripada diriku. Sekarang ibu memanggilku.
Tidak ibu ! Aku tidak mau mati ! Jangan aku kau panggil ke alam gelap. Aku tidak mau
kedinginan di dalam kubur ! Pertahanan Kadipaten jebol. Mereka akan mencariku.
Mereka akan menyiksaku. Barangkali mataku akan dicukil, tanganku dipotong-potong
atau lidahku dipotong. Oh, aku tidak mau diperlakukan seperti itu. Aku tidak kuat
menderita kesakitan. Oh, di cincin ini ada tersimpan racun. Tetapi ini sebetulnya untuk
meracun orang lain, tidak untuk meracun diriku sendiri, tetapi apa boleh buat mati
teracun tidak terasa, mati tersiksa akan lebih celaka. Ibu…! Ibu…! (terjatuh)
Rasmolo : Ikutlah aku, Raden.
Sudrajat : Aku takut mati. Disana gelap. Aku takut.
Rasmolo : Menyerahlah, Raden.
Sudrajat : Aku telah makan racun. Obatilah aku. Tolong…! To…long…! (mati)

48
BAGIAN 20

Raden Legowo : Disini aku duduk di dalam kemenangan, di rumah leluhurku sendiri mengalahkan
kezaliman yang telah dilakukan oleh adikku sendiri. Kewajiban sudah aku laksanakan.
Dengan sedih aku mengenang ibuku. Dengan malu aku mengenang perbuatan adikku.
Dan dengan penuh tekad aku akan datang memandang ke masa depan. Teman-temanku,
aku mohon bantuan kamu semua untuk melaksanakan pengabdian ku.
Rasmolo : Sayang sekali adik Raden telah bunuh diri, sehingga pengadilan tidak bisa
dijalankan terhadapnya, tetapi Raden Honggo Awang telah berhasil kami tawan.
Apakah yang akan kita lakukan terhadapnya?
Raden Legowo : Raden Honggo Awang, Raden akan kami bebaskan dan kami persilahkan untuk
melanjutkan tugas Raden sebagai utusan Mataram dengan mengindahkan peraturan baru
mengenai perpajakan yang akan aku tegakkan di Lumajang.
Honggo Awang : Jadi Raden telah mengangkat diri Raden sebagai Adipati Lumajang tanpa restu Sultan
Agung?
Raden Legowo : Aku ambil hakku untuk menjadi Adipati Lumajang berdasarkan hak menurut keturunan.
Aku tidak menentang kekuasaan Sultan Agung tetapi aku berkewajiban untuk
melindungi kehidupan rakyat Lumajang. Hutang-hutangku sejumlah 40 ribu ringgit di
Mataram akan segera aku lunasi. Aku akan menghentikan kegiatanku sebagai
perampok. Dan akan aku serahkan semua hasil rampokanku sebagai upeti kepada Sultan
Agung sambil memohon ampun untuk semua kelancanganku. Demikianlah, telah aku
nyatakan sikapku, dan aku sanggup menghadapi semua tanggungannya.
Honggo Awang : Dengan kata lain Raden mau menegaskan, apabila Sultan Agung tidak berkenan dengan
sikap Raden, maka Raden akan berniat tetap bertahan?
Raden Legowo : Benar, tapi janganlah sikapku ini ditafsirkan sebagai menantang kekuasaan Sultan
Agung. Tetapi semata-mata aku terdorong untuk mempertahankan kehidupan rakyat
Lumajang. Aku tetap mengakui Sultan Agung sebagai Raja Tanah Jawa, aku tetap
mengakui pentingnya keutuhan pemerintahan Tanah Jawa, aku akan tetap menghaturkan
pajak yang pantas untuk Mataram. Dan apabila Sultan Agung berkenan bergerak untuk
mengusir kekuatan dagang orang-orang kafir kulit putih di Sunda Kelapa, maka aku
akan siap membantu dengan segenap kemampuan.
Honggo Awang : Sikap Raden memang nyata. Aku tidak bisa berbuat lain kecuali melaporkan sebaik-
baiknya kepada Sultan Agung di Mataram.
49
Raden Legowo : Terima kasih, Raden.
(Kosambi muncul)
Kosambi : Raden saya datang menghadap sambil membawa seorang utusan guru Raden, Sunan
Giri Parepen.
Raden Legowo : Silahkan!
Utusan Sunan : Raden Adipati Lumajang. Sebelum Raden duduk disitu ketika Raden masih berada
entah dimana, guru kita telah bertitah kepadaku. Kata beliau, “Berangkatlah kamu ke
Lumajang, temuilah Raden Legowo yang akan berhenti menjadi perampok dan
berhasil duduk sebagai Adipati Lumajang setelah mengalahkan kezaliman adiknya.
Katakanlah kepadanya, janganlah sampai ia berkehendak untuk menjadi Raja, karena
Sultan Agung adalah Raja Tanah Jawa.”
Raden Legowo : Janganlah hal itu di khawatirkan. Aku tidak pernah mempunyai fikiran semacam itu.
Utusan Sunan : Selanjutnya, beliau berpesan agar berwaspada terhadap perpecahan di antara bangsa
sendiri. Sebab perpecahan semacam itu akan mendorong satu pihak untuk meminta
bantuan kekuatan asing dan ini benar-benar membuka kesempatan bagi kekuatan
dagang asing untuk menancapkan cakar di punggung rakyat kita.
Raden Legowo : Memang pandangan semacam itulah yang selalu aku junjung sebagai pesan guru yang
paling berharga.
Utusan Sunan : Demikianlah, sekarang telah aku saksikan terjadinya peristiwa yang telah dinujumkan.
Maka menurut keyakinanku peringatan dan nujuman yang tertulis di dalam kitab Mu-
asror benar-benar tidak bisa diremehkan.
Raden Legowo : Demikianlah kiranya. Sekarang marilah kita bersyukur sambil berseru, “Allahu
akbar…! Allahu akbar…!”
Koor : ALLAHU AKBAR…..!!!!!!

~SELESAI~

Diketik ulang dari Novel Karya Mayon Soetrisno berdasarkan naskah Perampok karya WS. Rendra.

50

Anda mungkin juga menyukai