Anda di halaman 1dari 19

Kata Pengantar

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
berkat Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami selaku penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan  makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas mengenai Konsep
Kehilangan, Kematian dan Berduka .Makalah ini dibuat dengan tujuan agar kita dapat memperoleh
suatu ilmu yang berguna dalam bidang studi keperawatan dan dengan adanya makalah ini di
harapkaelajaran dan dapat menambah pengetahuan para pembaca.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapatkan tantangan dan hambatan, akan
tetapi berkat bantuan dan dukungan dari teman-teman serta bimbingan dari dosen tantangan itu bisa
teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan
yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari walaupun sudah berusaha dengan kemampuan kami yang maksimal,
mencurahkan segala pikiran dan kemampuan yang kami miliki, makalah ini masih banyak kekurangan
dan kelemahannya, baik dari segi bahasa, pengolahan maupun dalam penyusunan.Untuk itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya dapat membangun demi tercapainya suatu
kesempurnaan. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

                                                                                                                                                                     
                               
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang sifatnya
unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang.Kehilangan dan berduka merupakan
istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal
ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau
disekitarnya.

Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi
sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari bentuan
kepada orang lain. Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila
menghadapi kondisi yang demikian.  Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan
dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan
persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang tidak tetap (Suseno,
2004).

Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan. Mekanisme
koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat
membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga
kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita
setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental
dan sosial yang serius.

Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan
keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami
kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat
klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-
perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi,
nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan
keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).
1.2  Rumusan Masalah
A. Apa yang dimaksud kehilangan ?
B. Faktor apa saja yang memengaruhi kehilangan ?
C. Apa sajakah bentuk-bentuk dari kehilangan ?
D. Apa sajakah sifat-sifat dari kehilangan ?
E. Apa sajakah tipe-tipe dari kehilangan ?
F. Sebutkan lima kategori kehilangan !
G. Sebutkan tahapan-tahapan kehilangan !
H. Apa yang dimaksud konsep kematian dan berduka ?

1.3   Tujuan

1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kehilangan

2.      Untuk mengetahui apa saja faktor yang memengaruhi dari kehilangan

3.      Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk dari kehilangan

4.      Untuk mengetahui apa saja sifat dari kehilangan

5.      Untuk mengetahui apa saja tipe dari kehilangan

6.      Untuk mengetahui apa saja lima dari kategori kehilangan

7.      Untuk mengetahui apa saja tahapan-tahapan dari kehilangan

8.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep kematian dan berduka

1.4  Manfaat

1.      Agar  mengetahui apa yang dimaksud dengan kehilangan

2.      Agar mengetahui apa saja faktor yang memengaruhi dari kehilangan

3.      Agar mengetahui apa saja bentuk-bentuk dari kehilangan

4.      Agar mengetahui apa saja sifat dari kehilangan

5.      Agar mengetahui apa saja tipe dari kehilangan

6.      Agar mengetahui apa saja lima dari kategori kehilangan

7.      Agar mengetahui apa saja tahapan-tahapan dari kehilangan

8.      Agar mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep kematian dan berduka
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Kehilangan

Kehilangan merupakan pengalaman  yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang
kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya
kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Kehilangan adalah penarikan sesuatu atau seseorang
atau situasi yang berharga atau bernilai, baik sebagai pemisahan yang nyata maupun yang diantisipasi.
Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang membutuhkan adaptasi melalui proses
berduka. Kehilangan terjadi apabila sesuatu atau seseorang tidak dapat lagi ditemui, diraba, diketahui
atau dipahami. Tipe dari kehilangan memengaruhi tingkat distress. Misalnya, kehilangan benda
mungkin tidak menimbulkan distress yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita.
Namun demikian, setiap individu berespon terhadap kehilangan secara berbeda. Kematian seorang
anggota keluarga mungkin menyebabkan distress lebih besar dibanding dengan saudaranya yang
sudah tidak lagi bertemu selama bertahun-tahun. Tipe kehilangan penting artinya untuk proses
berduka. Namun perawat harus mengenali bahwa setiap interpretasi seseorang tentang kehilangan
sangat bersifat individualis.

Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan
keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami
kehilangan dan berduka. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan berduka. Ketika merawat
klien dan keluarga, perawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-keluarga-
perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi,
nilai dan pengalaman pribadi memengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan
keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter dan Perry, 2005). Kehilangan adalah situasi
actual dan potensial ketika sesuatu (orang atau objek) yang dihargai telah berubah, tidak lagi ada atau
menghilang. Seseorang dapat kehilangan citra tubuh, orang terdekat, perasaan sejahtera, pekerjaan,
barang milik pribadi, keyakinan atau sense of self- baik sebagian maupun keseluruhan. Peristiwa
kehilangan dapat terjadi secara tiba-tiba atau bertahap sebagai sebuah pengalaman traumatic.
Kehilangan sendiri dianggap sebagai kondisi kritis, baik kritis situasional ataupun kritis
perkembangan. Dalam hal ini persepsi individu, tahap perkembangan, mekanisme koping dan sistem
pendukungnya sangatlah berpengaruh terhadap respon individu dalam mengahdapi proses kehilangan
tersebut. Apabila proses kehilangan tidak dibarengi dengan koping yang positif atau penanganan yang
baik, pada akhirnya akan berpengaruh pada perkembangan individu atau port of being maturnya.

Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan adalah
suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak
kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa
kekerasan atau traumatic, diantisiapsi atau tidak diharapkan atau diduga, sebagian atau total dan
bisa kembali atau tidak dapat kembali. Menurut Lambert dan Lambert (1985) Kehilangan adalah
suatu individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada,
baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan dapat bersifat actual atau dirasakan.
Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah didentifikasi, misalnya seorang anak yang
teman supermainannya pindah rumah atau seorang dewasa yang kehilangan pasangan akibat
bercerai. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat disalah artikan, seperti kehilangan
kepercayaan diri atau prestise. Makin dalam makna kata yang hilang, maka makin besar rasa
kehilangan terseb

2.2   Faktor yang Memengaruhi Kehilangan

Ada beberapa faktor yang memengaruhi kehilangan antara lain sebagai berikut :

a.       Perkembangan. Misal anak-anak, belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan,
belum menghambat perkembangan, bisa mengalami regresi. Sementara orang dewasa, kehilangan bisa
membuat orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan hidup, menyiapkan diri bahwa kematian
adalah hal yang tidak bisa dihindari.

b.      Keluarga. Keluarga memengaruhi respons dan ekspresi kesedihan. Anak terbesar biasanya
menunjukkan sikap kuat, tidak menunjukkan sikap sedih secara terbuka.

c.       Faktor sosial ekonomi. Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi keluarga,
berarti kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi. Hal ini mengganggu
kelangsungan hidup.

d.      Pengaruh Kultural. Kultur memengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur “barat” menganggap
kesedihan adalah sesuatu yang bersifat pribadi sehingga hanya diutarakan pada keluarga, kesedihan
tidak ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain menganggap bahwa mengekspresikan kesedihan harus
dengan berteriak dan menangis keras-keras.

e.       Agama. Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman. Menyadarkan bahwa
kematian sudah ada di konsep dasar agama. Akan tetapi ada juga yang menyalahkan tuhan akan
kematian.

f.        Penyebab Kematian. Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan
menyebabkan syok dan tahapan kehilangan yang lebih lama. Ada yang menganggap bahwa kematian
akibat kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan.

2.3  Bentuk-Bentuk Kehilangan

Adapun bentuk-bentuk dari kehilangan, sebagai berikut :

a.       Fisik atau actual. Jenis ini sifatnya nyata dan dapat dikenali oleh orang lain. Dengan kata lain, orang
lain dapat juga merasakan apa yang terjadi pada orang tersebut.
b.      Psikologis. Jenis kehilangan ini sifatnya abstrak dan tidak dapat dilihat oleh orang lain, hanya yang
mengalaminya yang bisa merasakannya. Bebannya beban yang dirasakan bergantung pada beratnya
kehilangan atau berartinya objek yang hilang.

2.4  Sifat Kehilangan

Adapun sifat-sifat kehilangan, sebagai berikut :

a.       Tiba-tiba (tidak dapat diramalkan)

Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan berduka yang
lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit
diterima.

b.      Berangsur-angsur (dapat diramalkan)

Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan dan menyebabkan yang ditinggalkan mengalami
keletihan emosional. Klien yang mengalami sakit selama enam bulan atau kurang mempunyai
kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain, mengisolasi diri mereka lebih
banyak dan mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan. Kemampuan untuk
menyelesaikan proses berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya.
Kemampuan untuk menerima bantuan memengaruhi apakah yang berduka akan mampu mengatasi
kehilangan. Visibilitas kehilangan memengaruhi dukungan yang diterima. Durasi perubahan (missal
apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen) memengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan
dalam menetapkan kembali ekuilibrum fisik, psikologis dan sosial.

2.5  Tipe Kehilangan

Adapun tipe-tipe kehilangan, sebagai berikut :

a.      Actual loss. Kehilangan yang dapat dikenal atau didentifikasi oleh orang lain, sama dengan
individu yang mengalami kehilangan.

b.      Perceived loss (psikologis). Perasaan individual, tetapi menyangkut hal-hal yang tidak dapat diraba
atau dinyatakan secara jelas.

c.       Anticipatory loss. Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi. Individu


memperlihatkan perilaku kehilangan atau berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung.
Sering terjadi pada keluarga dengan klien atau anggota yang menderita sakit terminal.
2.6  Lima Kategori Kehilangan

Lima kategori tersebut antara lain:

a.       Kehilangan objek eksternal

Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menajdi using,
berpindah tempat, dicuri atau dirusak karena bencana alam. Kehilangan objek eksternal misalnya
kehilangan milik sendiri atau bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Bagi seorang anak benda
tersebut mungkin berupa boneka atau selimut, bagi seorang dewasa mungkin berupa perhiasan atau
aksesori pakaian. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang
bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap benda yang dimilikinya dan kegunaan
dari benda tersebut.

b.      Kehilangan lingkungan yang telah dikenal

Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal termasuk dari
kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau bergantian secara permanen.
Contohnya termasuk ke kota baru, atau perawatan di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari
lingkungan yang dikenal dapat terjadi melalui situasi maturasional, misalnya ketika seseorang lansia
pindah ke ruang perawatan, atau situasi situasional, contohnya kehilangan rumah akibat bencana alam
atau mengalami cedera atau penyakit.

c.       Kehilangan orang terdekat atau orang yang dicintai

Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti adalah salah
satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tipe kehilangan, yang mana harus
ditanggung oleh seseorang. Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yng dicintai.
Oleh karena keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada, kamtian
pasangan suami istri atau anak biasanya membawa dampak emosional yang luar biasa dan tidak dapat
ditutupi. Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru,
pendeta, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet yang terkenal mungkin menjadi orang
terdekat bagi orang muda. Riset telah menunjukkan bahwa banyak orang yang menganggap hewan
peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan, pindah, melarikan diri,
promosi di tempat kerja dan kematian.

d.      Kehilangan aspek diri (loss of self)

Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental seseorang.
Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keaktifan, diri sendiri, kemampuan fisik dan mental, peran
dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek  diri mungkin sementara atau menetap,
sebagian atau komplet. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan
pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh. Kehilangan aspek diri dapat mencakup anggota gerak,
mata, rambut, gigi, payudara. Kehilangan fungsi fisiologis mencakup kehilangan control kandung
kemih atau usus, mobilitas, kekuatan atau fungsi sensoris. Kehilangan fungsi psikologis termasuk
kehilangan ingatan, rasa humor, harga diri, percaya diri, kekuatan, respek atau cinta, perkembangan
atau situasi. Kehilangan seperti ini dapat menurunkan kesejahteraan individu. Porang tersebut tidak
hanya mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.

e.       Kehilangan hidup

Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon pada kegiatan dan
orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda
tentang kematian. Doak (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup
kedalam empat fase. Fase prediagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala klien atau faktor resiko
penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnosis.. klien dihadapkan pada serangkaian keputusan,
termasuk medis interpersonal, psikologis seperti halnya cara menghadapi awal krisis penyakit. Dalam
fase kronis klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya, yang sering melibatkan serangkaian
krisis yang diakibatkannya. Akhirnya terjadilah pemulihan. Klien yang mengalami fase terminal
ketika kematian bukan lagi halnya kemungkinan, tetapi itu sudah pasti terjadi. Pada setiap hal dari
penyakit ini klien dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang beragam dan terus berubah. 

2.7  Fase Atau Tahapan Kehilangan

Adapun fase atau tahapan kehilangan antara lain :

a.       Fase Pengingkaran (denial)

Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau
mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjdi, dengan mengatakan “tidak, aku
tidak percaya itu terjadi” atau “itu tidak mungkin terjadi”. Bagi individu atau keluarga yang
didiagnosis dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang
terjadi padda fase ini adalah letih, lemah, pucat, diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat,
menangis, gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam bebrapa menit
atau beberapa tahun.

b.      Fase Marah (anger)


Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan.
Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering di proyeksikan kepada orang lain atau
pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menolak
pengobatan, menuduh perawat atau doketr yang tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi antara
lain : muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur dan tangan mengepal.

c.       Fase Tawar-Menawar (bargaining)

Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju pada
fase tawar menawar dengan memohon kemurahan pada tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan
kata-kata “kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses ini
oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah “kalau saja yang sakit, bukan anak saya”.

d.      Fase Depresi (depression)

Individu pada fase ini sering menunjukkan sifat menarik diri, kadang sebagai klien sangat
penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan untuk
bunuh diri dan sebagainya. Gajala fisik yang ditunjukkan antara lain menolak makan, susah tidur,
letih, dorongan libido menurun.

e.       Fase Penerimaan (acceptance)

Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat
kepada objek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima
kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang objek atau orang yang hilang mulai dilepaskan dan
secara bertahap perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Fase ini biasanya dinyatakan dengan
“saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini tampak manis” atau “apa yang dapat saya
lakukan agar cepat sembuh?”. Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan
perasaan damai, maka dia akan mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangannya
dengan tuntas. Akan tetapi bila tidak dapat menerima fase ini maka ia akan memengaruhi
kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.

2.8 Konsep Berduka                                                                                        

Berduka adalah reaksi emosional individu terhadap peristiwa kehilangan, biasanya akibat
perpisahan yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku, perasaan dan pikiran. Respons klien selama
fase berduka meliputi :

1.      Perilaku bersedih, yaitu respons subjektif dalam masa berduka yang biasanya dapat menimbulkan
masalah kesehatan.
2.      Berkabung, yaitu periode penerimaan terhadap peristiwa kehilangan dan berduka serta dapat
dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya dan kebiasaan.

                                           

Berduka adalah proses mengalami reaksi psikologis, sosial dan fisik terhadap kehilangan yang
dipersepsikan (Rando,1991). Respon ini termasuk keputusan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan,
rasa bersalah dan marah. Berduka adalah respons emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang
dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak napas, susah tidur, dll. NANDA
merumuskan dua tipe dari berduka yaitu, berduka diantisipasi dan berduka disfungsional. Berduka
diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespons kehilangan
yang actual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan atau kedekatan, objek atau ketidakmampuan
fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal. Berduka disfungsional
adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesarkan-besarkan saat
individu kehilangan secara actual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan
fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, kesalahan atau kekacauan.

Tujuan berduka adalah untuk mencapai fungsi yang lebih efektif dengan mengintegrasikan
kehilangan kedalam pengalaman hidup klien. Pencapaian ini membutuhkan waktu dan upaya. Istilah
“upaya melewati berduka” berasal dari seorang Erich Lindemann (1965) yang menggambarkan tugas
dan proses yang harus diselesaikan dengan berhasil agar berduka terselesaikan. Orang yang
mengalami berduka mencoba berbagai strategi untuk menghadapinya. Worden (1982)
menggarisbawahi empat tugas berduka yang memudahkan penyesuaian yang sehat terhadap
kehilangan. Herper (1987) merancang tugas dalam akronim “TEAR” sebagai berikut :

1.      T- untuk menerima realita dari kehilangan.

2.      E- mengalami kepedihan akibat kehilangan

3.      A- menyesuaikan lingkungan yang tidak lagi mencakup orang, benda atau aspek diri yang hilang.

4.      R- memberdayakan kembalienergi emosional kedalam hubungan yang baru.

Tugas ini tidak terjadi lagi dalam urutan yang khusus, pada kenyataannya orang yang berduka
mungkin melewati keempat tugas tersebut secara bersamaan atau hanya satu atau dua yang menjadi
prioritas.
1)        Engel’s Theoryi
Menurut engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplikasikan pada
seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.

a)         Fase I (shock dan tidak percaya): seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin
menarik diri, duduk malas atau pergi tanpa tujuan. Mencoba untu membutakan perasaan, mungkin
karena orang tersebut tidak menyadari implikasi dari kehilangan. Biasanya seseorang dapat menerima
secara intelektual, tetapi menolak secara emosional. Reaksi secara fisik termasuk pingsan,
diaphoresis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bias istirahat, insomnia, dan kelelahan.

b)        Fase II (berkembangnya kesadaran): seseorang mulai merasakan kehilangan secara nyata/actual dan
mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa
tiba-tiba terjadi. Marah biasanya akan ditujukan kepada rumah sakit, perawat, dan lain-lain.
Menyalahkan diri sendiri dan menangis adalah cara yang tipikal sebagai individu yang terikat dengan
kehilangan. Menangis sepertinya mencakup baik pengetahuan tentang kehilangan sebagai suatu
regresi yang tidak tertolong atau seperti seorang anak.

c)         Fase III (restitusi/resolving the loss): seseorang dengan keinginannya untuk menghargai akan
seseorang yang meninggalkannya, berupaya untuk juga mengikuti ritual berkabung, misalnya
pemakaman. Berusaha mencoba untuk sepakat/berdamai dengan perasaan yang hampa atau kosong,
karena kehilangan. Masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang ynag
bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.

d)        Fase IV: menciptakan kesan orang meninggal yang hamper tidak memiliki harapan dimasa yang
akan datang. Menekan seluruh perasaan yang negative dan permusuhan terhadap almarhum. Bias
merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurangnya perhatiannya dan perilakunya yang tidak
mengenakkan dimasa lalu terhadap almarhum.

e)         Fase V: kehilangan yang tidak dapat dihindari harus mulai diketahui atau disadari. Sehingga pada
fase ini diharapkan seseorang sudah dapat meneriam kondisinya. Kemarahan atau depresi tidak lagi
diperlukan. Kehilangan jelas terjadi pada seseorang, yang mulai mengatur kehidupannya kembali
dengan meyakini fase ini, seseorang bergerak dari level terendah ke yang lebih tinggi tentang integrasi
empati dan intelektual. Kesadaran baru telah berkembang.

2)        Fase berduka menurut Martocchio (1985)

Meskipun proses kesedihan memiliki rangkaian yang dapat diprediksi dan mempunyai gejala-
gejala yang khusus, tidak ada dua orang yang mengalami kemajuan melaluinya dalam jangka waktu
yang sama dan metode yang sama. Seseorang mengalami kemajuan kemudian kemunduran sampai
akhirnya kehilangan itu terselesaikan kembali.Martocchio (1985). Menggambarkan 5 phase kesedihan
yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan
berfariasi dan bergantung pada factor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri.Reaksi yang
terus-menerus dari kesedihan biasanya reda dalam waktu 6-16 bulan dan berduka yang mendalam
mungkin berlanjut sampai 3 hingga 5 tahun.Peri bahasa mengatakan “sekali berduka, selamanya
berduka” masih dianggap benar.Untuk mengharapkan klien untuk bias membuat kemajuan waktu
yang ditetapkan adalah salah, tidak tepat dan mungkin membahayakan.         

3)        Teori Rando

Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 kategori:


1.         Penghindaran (shock, menyangkal dan tidak percaya)

2.         Konfrontasi (luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan
kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.

3.         Akomodasi (terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara
emosional dan social dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan
mereka.
2.8.1 Duka Cita yang Tidak Teratasi

1.           Duka cita yang berkepanjangan:duka cita berkembang menjadi depresi kronis atau depresi
subsindromal yang dapat berlangsung selama lebih dari 1 tahun sebanyak 30%. Harga diri yang
rendah dan rasa bersalah cenderung menonjol.

2.         Duka cita yang tertunda: pasien yang tidak berduka ketika kehilangan itu terjadi berisiko
mengalami depresi di kemudian hari, penarikan diri secara social, gangguan cemas, serangan panic,
perilaku merusak diri yang nyata maupun samar, alkoholisme dan sindrom-sindrom psikofisiologik.
Kemarahan kronis dan hostilitas, hambatan emosional yang jelas, atau hubungan interpersonal yang
terganggu, juga dapat muncul. Duka cita yang tidak teratasi mungkin merupakan penyebab tidak
terduga dari gangguan psikiatrik pada banyak kasus- karenanya perlu selalu menanyakan riwayat
masa lalu tentang kehilangan-kehilangan yang bermakna.

3.         Dukacita yang mengalami gangguan: reaksi yang berlebihan (aneh, histerikal, euforik dan gejala
seperti psikosis) muncul pada sebagian kecil pasien sebagaiakibat tertundanya proses duka cita yang
normal. Secara bergantian, pasien menunjukkan keluhan fisik (seperti myeri atau “perilaku penyakiy
kronis”) dan mungkin dapat dikelirukan dengan masalah medis pimer.

2.9     Konsep Kematian

          Secara etimologi yaitu keadaan mati atau kematian. Sementara secara definitive. Kematian
adalah terhentinya fungsi jantung dan paru-paru secara menetap, atau terhentinya kerja otak secara
permanen.  Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia. Pemahaman akan
kematian memengaruhi sikap dan tingkah laku seorang terhadap kematian.

Beberapa konsep tentang kematian sebagai berikut :

a.              Mati sebagai terhentinya darah yang mengalir. Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa
terhentinya jantung. Dalam PP Nomor 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya
fungsi jantung dan paru-paru. Namun criteria ini sudah ketinggalan zaman. Dalam pengalaman
kedokteran, tekhnologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semula terhenti
dapat dipulihkan kembali.

b.             Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Konsep ini menimbulkan keraguan karena,
misalnya pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan
dapat ditarik kembali.

c.              Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen. Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ
berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi,
konsep ini menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-
organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.

d.             Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi sosial. Bila
dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu individu yang mempunyai kepribadian,
menyadari kehidupannya, kemampuan mengingat, mengambil keputusan dan sebagainya, maka
penggerak dari otak, baik secara fisik maupun sosial, makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali
ini terletak dalam bidang otak. Oleh karena itu, jika batang otak telah mati, dapat diyakini bahwa
manusia itu secara fisik dan sosial telah mati. Dalam keadaan sperti ini, kalangan medis sering
menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi, DNR (do not resusciation).

Dying dan death (menjelang ajal dan mati), dua istilah yang sulit untuk dipisahkan satu dan
yang lain, serta merupakan suatu fenomena tersendiri. Dying lebih kearah suatu proses. Sedangkan
death merupakan akhir dari hidup.Terdapat kontroversi kecil tentang arti dari death. Kebanyakan
orang lebih menerima bahwa berhentinya pernapasan dan denyut jantung serta ketidak mampuan
reflex corneal merupakan data/tanda yang cukup bagi death. Tetapi tidak selamanya
demikian.Sekarang lebih mungkin untuk memperhatikan respirasi dan sirkulasi seseorang dengan
menggunakan obat-obatan, mesin, organ tiruan, dan transplantasi.

2.9.1 Perkembangan persepsi tentang kematian                      

No Umur Keyakinan

1 Bayi-5 tahun Tidak mengerti tentang kematian, keyakinan


bahwa mati adalah tidur/pergi yang
temporer.

2 5-9 tahun Mengerti bahwa mati adalah titik akhir


orang yang mati dapat dihindari.

3 9-12 tahun Menerti bahwa mati adalah akhir dari


kehidupan dan tidak dapat dihindari, dapat
mengekspresikan ide-ide tentang kematian
yang diperoleh dari orang tua/dewasa
lainnya.

4 12-18 tahun Merasa takut tentang kematian yang


menetap, kadang-kadang memikirkan
tentang kematian yang dikaitkan dengan
sikap religi.

5 18-45 tahun Memiliki sikap terhadap kematian yang


dipengaruhi oleh religi dan keyakinan.

6 45-65 tahun Menerima tentang kematian terhadap


dirinya. Kematian merupakan puncak
kecemasan.

7 65 tahun keatas Takut kesakitan yang lama.

Kematian mengandung beberapa makna:

         Terbebasnya dari rasa sakit

         Reuni dengan anggota keluarga yang


telah meninggal.

2.9.2 Perkembangan Tentang Pandangan Hidup dalam Proses Kematian


Pandangan hidup seseorang pasien dan lingkungannya dapat terjadi suatu pengaruh cukup besar
terhadap cara individu menghadapi kematian. Dari beberapa penelitian ditunjukkan bahwa beragama
atau tidak beragama tidak berpengaruh terhadap ketakutan yang dihadapi oleh seseorang yang akan
mati.
Terdapat beberapa alasan, mengapa seseorang mengalami ketakutan sebelum/menjelang
kematian:

1.        Orang berpendapat bahwa hidup hanya sampai disitu saja, terlalu pendek dan masih banyak yang
harus dilakukannya sebelum kehidupan ini “berakhir/selesai”.

2.        Sebelumnya orang tidak memikirkan kematian yang dihadapinya. Jadi ada ketakutan menghadapi
kematian.
3.        Orang takut harus meninggalkan segalanya, manusia, binatang, lingkungan yang telah
dipercayainya.

4.        Orang dapat merasa takut berdasarkan suatu pengalaman hidup terhadap penghakiman tuhan atas
jalan kehidupan yang telah dilaluinya. Orang takut bahwa hidupnya masih terlalu singkat disbanding
sesamanya, dan terhadap tuhan. Misalnya, orang takut masuk neraka setelah ia mati.

Pendapat lain tentang proses berduka adalah dari Sporken dan Michels yang terdapat dalam
bukunya “De Laatsthe Levensfase. Sterversbege Leiding En Euthanaise”.Terdapat tujuh fase dalam
proses-proses kematian.Ketujuh fase tersebut dalam proses-proses kematian. Ketujuh fase tersebut
secara berturut-turut adalah:

a.    Ketidak tahuan

Tidak adanya kejelasan bagi seorang klien bahwa akhir kehidupannya sudah semakin
dekat.Selain itu, ketidak tahuan tentang prognosa penyakit dan juga seberapa berat penyakitnya. Klien
yng berada pada fase ini seharusnya diberikan support dengan selalu mendampingi. Hal ini penting
untuk meletakkan dasar kepercayaan yang kuat bahwa ia mendapatkan dukungan dari siapapun dalam
masalah ini.

b.    Ketidak pastian

Suatu kondisi dimana individu tidak mendapatkan gambaran yang jelas tentang bagimana
masalahnya. Individu akan mencoba mencari-cari alasan supaya masalah tersebut segera berakhir.
Klien yang berada pada fase ini akan lebih mudah melaluinya bila ia memiliki pengharapan / harapan.
Sehingga klien dapat bertahan untuk selanjutnya masuk ke fase berikutnya.

c.    Penyangkalan

Sebagai salah satu upaya pertahanan diri, akibat ketidakmampuan seseorang untuk menerima
situasi yang harus dihadapinya. Pada umumnya reaksi seseorang dalam fase ini adalah tidak
menerima keseriusan dari situasi yang dihadapinya, dan seolah olah sama sekali tidak mengerti.
Kondisi ini perlu dipahami oleh perawat, sehingga perlu member waktu merenungkan untuk
kemudian menyadari.Selain itu jangan terus-menerus mengkonfrontasi dengan situasi serius dari
masalahnya.

d.    Perlawanan

Merupakan akibat logis dari fase sebelumnya dan mulai mengembangkan kesadaran bahwa ajal
sudah dekat.Wujud dari fase ini adalah dengan agresi dan biasanya disebut juga fase yang penuh
kemarahan dan agresi.Perlawanan ini lebih ditujukan kepada system pelayanan yang diterimanya.
Sehingga individu ini akan mencari-cari jalan penyelesaian sendiri yang bertujuan untuk menolong
dirinya sendiri ataupun keutuhannya. Hal yang paling diinginkannya adalah keamanan dan
perlindungan diri.Implikasi keperawatannya adalah perawat menyediakan diri untuk mendengarkan
dan menemani melewati perjalanan menuju akhir kehidupannya.

e.    Penyelesaian(perundingan)

Bila individu merasakan ketidak bergunaan penyangkalan dan kemarahan maka ia akan
merundingkan penyelesaian dengan orang-orang yang memiliki pengaruh dengan sisa hidupnya.
Reaksi yang dimunculkan biasanya dengan menyampaikan janji-janji bila nanti kematiannya dapat
ditunda.Implikasi perawatannya adalah memberikan dukungan dan selalu dekat dengan klien.Jangan
mengoreksi, rahasiakan setiap pembicaraan dengan nya.Beriakan kasih saying untuk menunjukkan
empati.

f.     Depresi

Individu akan mengalami kesedihan yang amat dalam, kesendirian dan ketakutan. Sedih atas
apapun yang akan ditinggalkannya. Belum siap dengan kesendiriannya, karena meninggal berarti
seorang diri.

g.    Penerimaan

Tidak setiap individu mampu mencapainya. Respon yang diperlihatkan oleh individu adalah
sikap yang tenang, karena ia sadar bahwa ia tidak dapat mengatasi perjuangan ini. Tujuan dari
perawatannya adalah untuk member kesempatan padanya untuk memenuhi permintaan dan keinginan
pribadinya, selama sisa hidupnya.

2.9.3 Fungsi Kematian

            Adakah fungsi kematian?Bila jawabannya didasarkan atas akal tentu sulit menjawabnya.Fungsi
kematian ada apabila jawabannya bersumber dari ajaran-ajaran agama.Ajaran agama tidak
memandang semata-mata sebagai kematian fisik, tetapi berfungsi rohaniah, yaitu untuk memberikan
pembalasan kepada manusia sesuai dengan amal perbuatannya sewaktu hidup. Orang yang mengikuti
ajaran agama dengan sebenarnya dan sebaik-baiknya akan dijamin masuk surga, dan sebaliknya,
orang yang tidak mengikuti ajaran agama akan masuk neraka. Kalau demikian kematian itu dapat
merupakan bencana atau nikmat.Fungsi kematian adalah untuk menghentikan budi daya, prestasi dan
sumbangan seluruh potensi kemanusiaannya. Maka kematian itu bukan akibat kesalahannya atau
dosanya kepada orang lain, atau tumbal, melainkan karena takdir.

2.9.4 Sikap Menghadapi Kematian

                   Sikap menghadapi kematian adalah kecenderungan perbuatan manusia dalam menghadapi


kematian yang diyakininya bakal terjadi.Sikapnya bermacam-macam sesuai dengan keyakinannya dan
kesadarannya.

1.        Orang yang menyiapkan dirinya dengan amal perbuatan yang baik karena menyadari bahwa
kematian bakal datang dan mempunyai makna rohaniah
2.        Orang yang mengabaikan peristiwa kematian, yang menganggap kematian sebagai peristiwa
alamiah yang tidak ada makna rohaniahnya.

3.        Orang yang merasa takut atau keberatan untuk mati karena terpukau oleh dunia materi

4.        Orang yang ingin melarikan diri dari kematian karena menganggap bahwa kematian itu merupakan
bencana yang merugikan, mungkin karena banyak dosa, hidup tanpa norma, atau beratnya
menghadapi keharusan menyiapkan diri untuk mati.

2.10          Perawatan Pendampingan Terhadap Pasien Kehilangan, Berduka Dan Kematian

Pada tahap yang terdapat dalam fase atau tahap kehilangan, peran perawat didalamnya berbeda-beda,
yaitu :

1.      Fase megingkari : memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya


secara verbal, tidak membantah pengingkaran pasien, duduk intens bersama pasien, menggunakan
teknik komunikasi, sentuhan serta memperhatikan kebutuhan dasar pasien.

2.      Fase marah : mendorong dan memberikan waktu pada pasien untuk mengungkapkan kemarahan
secara verbal tanpa melawan dengan kemarahan, memfasilitasi kebutuhan pasien akibat reaksi
kemarahannya, serta memberikan pemahaman kepada keluarga bahwa marah merupakan sebuah
proses yang normal.

3.      Fase tawar-menawar : membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan takutnya
dengan memberkan perhatian penuh dan tulus, mengajak pasien berbicara untuk mengurangi rasa
bersalah serta memberikan dukungan spiritual.

4.      Fase depresi : mengidentifikasi tingkat depresi dan membantu mengurangi rasa bersalah dengan
memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan kesedihannya, memberikan dukungan
non verbal, membahas pikiran negatif dan melatih mengidentifikasi hal negatif tersebut.

5.      Fase penerimaan : membantu pasien mengidentifikasi rencana kegiatan yang akan


dilakukan dan membantu keluarga untuk bisa mengerti penyebab rasa kehilangan.
(Putri, Rosiana, 2013)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada,
kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Berduka merupakan suatu
reaksi psikologis sebagai respon kehilangan sesuatu yang dimiliki yang berpengaruh terhadap
perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, maupun intelektual seseorang. Berduka sendiri merupakan
respon yan normal yang dihadapi setiap orang dalam menghadapi kehilangan yang dirasakan.
Jenis-jenis kehilangan yaitu, Actual Loss, Perceiced Loss, Phicichal Loss, Psykhologis Loss,
Anticipatory Loss. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan adalah Perkembangan, keluarga,
faktor sosial ekonomi, agama, penyebab kematian, kesehatan fisik.

Fase-fase berduka yaitu, Fase penyangkalan (Denial), Fase marah (anger), fase tawar menawar,
fase depresi, fase penerimaan. Kebutuhan keluarga yang berduka adalah harapan, berpatisipasi,
suport, dan kebutuhan spiritual.

B. Saran

Pada pengerjaan makalah ini kurangnya pengetahuan kelompok terhadap materi ini, sehingga
masih banyak terdapat kekurangan, dan kurangnya kerja sama kelompok terhadap pengerjaan
makalah ini, semoga apa yang saya sampaikan diatas bisa bermanfaat untuk pembelajaran
selanjutnya, dan juga bermanfaat untuk pembaca atau untuk referensi bagi mahasiswa yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.

Putri, Rosiana. 2013. Asuhan Keperawatan Berduka Situasional Pada Ibu A yang Mengalami Stroke
Non- Hemoragik di Ruang Rawat Antasena Rumah Sakit Mardzoeki Mahdi Bogor [Karya Ilmiah].
Bogor (ID). Universitas Indonesia.

Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan, Kematian dan
Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, ed.3. Jakarta: ECG.
Yosep, I. 2011. Keperawatan Jiwa. Bandung: P

Anda mungkin juga menyukai