BAB I
PENDAHULUAN
acuan untuk kedepannya, dan sebagai perbandingan untuk penelitian lebih lanjut
agar menciptakan karya ilmiah yang lebih baik .
7
BAB II
LANDASAN TEORI
b. Transportasi
Setelah bilirubin yang terbentuk dari degradasi hemoglobin dalam sistem R.E.S,
selanjutnya akan dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin.
Pada bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang relatif rendah
terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendahdan kapasitas ikatan
molar yang kurang. Bilirubin yang terikat dengan albumin merupakan zat non
polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar.
Bilirubin yang telah terikat dengan albumin tidak akan menjadi bilirubin yang
bebas sehingga tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda yaitu:
1. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian
besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.
2. Bilirubin bebas
9
c. Konjugasi
Di dalam hepar bilirubin mengalami proses konjugasi yang membutuhkan
energi dan enzim uridine diphospate glucuronosyl transferase (UDPG-T) dan
setelah mengalami proses konjungasi bilirubin akan diubah menjadi bilirubin
direk dari bilirubin inderek melalui reaksi yang dijabarkan dibawah ini (Sylvia,
2006)
10
Di dalam rantai reaksi ini dimana di dalam sel hepar bilirubin yang larut
dalam lemak akan dikonjugasi dari bilirubin monoglukoronida menjadi bilirubin
diglukoronida yang larut dalam air dan akan memberi reaksi positif dengan
reagens Hymans van den Berg. Glukoronil transferase memindahkan asam
glukoronik dari asam uridin disfosfoglukoronik (Uridin disphosphoglucoronic
acid = UDPGA) ke bilirubin, sehingga akan menjadi bilirubin diglukoronik.
UDPGA merupakan satu satunya bentuk dimana asam glukoronik dapat diperoleh
untuk konjugasi, selain itu glukosa menjadi sangat penting untuk eksresi bilirubin
karena proses konjugasi sangat melibatkan metabolisme karbohidrat dan
nukleotida (Hematologi dan Onkologi,2005)
heksokinase
Glukosa glukosa-6-fosfat
ATP ADP
Glukosa-6-fosfat fosfoglukomutase
Glukosa-1-fosfat
Pp uridyl transferase
Glukosa-1-fosfat U D P Glukosa
UTP P.P
U D P glukosa UDPdehidrogenase
UDP asam glukoronik
2 DPN +2 DPNH +2H + Bilirubin
Bilirubin UDP
d. Ekskresi
Setelah di rubah menjadi bilirubin direk di hepar, maka selanjutnya
bilirubin direk kemudian diekskresi ke usus dan sebagian dikeluarkan
11
II.1.2 Hiperbilirubin
II.1.2.1. Definisi Hiperbilirubin
Hiperbilirubinema adalah suatu keadaan di mana kadar bilirubinemia
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi yang menimbulkan kerni ikterus
jika tidak ditangani dengan segera. Hiperbilirubin atau Penyakit kuning adalah
perubahan warna kuning-oranye dari kulit, konjungtiva, dan selaput lendir yang
dihasilkan dari tingkat bilirubin plasma meningkat. Hiperbilirubinemia ringan
mungkin secara klinis tidak terdeteksi, tetapi penyakit kuning menjadi jelas pada
plasma bilirubin lebih besar dari 3 sampai 4 mg / dL, tergantung pada pigmentasi
kulit normal pasien, kondisi pengamatan, dan fraksi bilirubin yang tinggi.
Hiperbilirubinemia dapat mengakibatkan disfungsi hepatoseluler
(hiperbilirubinemia murni) atau dari baik peningkatan produksi bilirubin atau
diwariskan atau diperoleh cacat dalam aspek-aspek tertentu dari hati bilirubin
13
2. Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO) dapat disebabkan
oleh dua hal, yang pertama akibat ketidakcocokan (Inkompatibilitas) golongan
darah ABO saat melakukan transfusi sehingga terjadi reaksi hemolisis
intravaskular akut dan juga dapat disebabkan oleh reaksi imunitas antara antigen
dan antibody yang sering terjadi pada ibu dan janin yang akan dilahirkan (Najib,
2013). ketidakcocokan golongan darah pada ibu dan bayi dapat menyebabkan
terjadinya reaksi isoimun berupa hemolisis yang terjadi apabila antibodi anti-A
dan anti-B pada ibu dengan golongan darah O, A, atau B dapat melewati plasenta
dan mensensitisasi sel darah merah dengan antigen A, B, atau AB pada janin,
sehingga dapat mengakibatkan peningkatan bilirubin serum pada bayi, menurut
penelitian Apriastuti tahun 2007 mengenai faktor resiko hiperbilirubinemia pada
neonatus yang dilakukan di Rumah Sakit Pandan Arang Boyolali di dapatkan
21,74% neonatus mengalami hiperbilirubin akibat inkompatibilitas ABO.
(Najib,dkk 2013hal.3; Apriastuti,2007 hal.40).
16
3. Inkompatibilitas Rh
Inkompatibilitas Rh adalah ketidakcocokan Rh ibu pada bayi, dimana Rh
ibu ialah Rh-negatif sedangan Rhesus bayi adalah Rh-positif (M,Jeffrey, 2006).
Neonatus karena inkompatibilitas Rh akan lebih cepat kuning dalam beberapa
waktu jam, pucat dan mengalami hepatosplenomegali (Najib, 2013)
c. Angka paritas.
Paritas merupakan jumlah atau banyaknya jumlah kelahiran hidup yang
dipunyai oleh seorang wanita (BKKBN, 2006). Paritas dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia dan merupakan salah satu dari faktor penyebab
hiperbilirubinemia pada neonatus. Dalam penelitian Varney, 2011 menyatakan
bahwa ibu yang baru pertama kali melahirkan atau yang disebut primipara
mempunyai resiko yang lebih tinggi melahirkan bayi yang mengalami
hiperbilirubin dibandingkan dengan ibu yang multipara (Michael, 2006).
Penelitian selanjutnya di lakukan oleh Rifky Alridjal tahun 2014 di RS Pelni
Petamburan Jakarta, di dapatkan data ibu primipara mempunyai resiko lebih
tinggi melahirkan neonatus yang mengalami hiperbilirubinemia dengan persentase
82,7% dibandingkan ibu multipara. (Michael,dkk 2006; Alridjal 2014, hal.71)
b. Infeksi (Sepsis)
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik dan disertai dengan
adanya bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Di
negara berkembang, hampir sebagian besar bayi baru lahir yang dirawat
mempunyai kaitan dengan masalah sepsis. Banyak faktor penyebab terjadinya
sepsis salah satunya adalah ketuban pecah dini (Sari Pediatri, 2000). Bayi
prematur juga dapat menjadi faktor penyebab masalah sepsis dibandingkan
dengan bayi yang cukup bulan (Rusepno, 2005).
Neonatus yang mengalami sepsis akan mengalami peningkatan bilirubin
conjugated, hal ini disebabkan akibat aliran bilirubin/ empedu yang menjadi
terhambat ke usus, sehingga bilirubin yang akan dibuang melalui feses menjadi
berkurang, sehingga mengakibatkan terjadinya penimbunan bilirubin di hati yang
nantinya akan masuk ke aliran darah, sehingga kadar bilirubin conjugated dalam
darah akan meningkat, dan bayi akan mengalami hiperbilirubinemia (Sylvia,
2012).
c. Jenis Persalinan
Jenis persalinan yang spontan cenderung lebih besar mengakibatkan
hiperbilirubinemia pada bayi dibandingkan dengan seksio sesaria. Hal tersebut
diakibatkan karena resiko pecahnya pembuluh darah intracranial pada saat
persalinan spontan cenderung lebih besar, sehingga akan mengakibatkan
hemolisis (Obstetri, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan Mudazir di RS PKU
Muhamadiyah Surabaya yang mengatakan dari 3394 bayi yang dirawat 164 bayi
mengalami hiperbilirubinemia dengan faktor resiko jenis persalinan spontan.
a. Prematuritas.
Prematuritas seringkali berhubungan pada penyebab hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi pada neonatus. Aktifitas uridine difosfat glukoronil transferase
hepatik jelas menurun pada bayi prematur, sehingga konjugasi bilirubin tak
terkonjugasi menurun. Selain itu juga terjadi peningkatan hemolisis karena umur
sel darah merah yang pendek pada bayi prematur (Rustam, 2012). Penelitian yang
dilakukan oleh Michael Sgro 2009 di dapatkan 73 % bayi prematur mempunyai
kadar bilirubin serum yang tinggi, sehingga dapat disimpulkan bayi kurang bulan
atau prematuritas mempunyai faktor resiko hiperbilirubinemia pada neonatus
(Michael, 2009)
Bayi dengan kondisi prematuritas belum bisa mengeluarkan bilirubin secara
efektif sehingga resiko terjadinya hiperbilirubinemia pada bayi tinggi. Sedangkan
pada bayi cukum bulan atau bayi preterm kenaikan kadar bilirubin serum
cenderung lebih lambat dari cukup bulan.
b. Faktor genetik.
Defek enzim
1. Defisiensi glukosa-6-fosfat
Defisiensi Glucose-6-Phosphate dehydrogenase adalah defek enzim sel
darah merah yang paling sering terjadi. Gen G-6PD terletak pada kromosom x,
dan laki laki memiliki hemizygous penuh terhadap defisiensi G-6PD (IDAI, 2012)
2. Defisiensi piruvat kinase
Kondisi ini diwariskan secara resesif autosomal dan umumnya terjadi pada
keturunan eropa utara (Neonatologi, 2011)
19
c. Polisitemia.
Polisitemia adalah hematokrit yang terlalu tinggi (≥65%) dan
menyebabkan hipervisikositas yang menghasilkan gejala yang berhubungan
dengan stasis vaskular, hipoperfusi, dan iskemia (Medline,2012).
d. Obat
Obat-obatan seperti diazepam, oksitosin, chloramphenicol
dapatmenyebabkan anemia hemolitik akibat defisiensi G6PD. Pada anemia
hemolitik akan terjadi pemecahan sel darah merah yang berlebihan
sehinggajumlah bilirubin yang dihasilkan juga akan lebih banyak
(Mustarim,2013).
II.1.2.3 Klasifikiasi
Hiperbilirubinemia pada bayi dapat di klasifikasikan menjadi ikterus non
patologis / ikterus fisiologis dan ikterus patologis (Lauer,2011)
21
a. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah hiperbilirubinemia yang terjadi setelah satu hari
kelahiran atau setelah 24 jam pertama setelah kelahiran dan dapat bertahan hingga
satu minggu (Alridjal, 2013). Ikterus fisiologis merupakan penyebab umum
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Ikterus fisiologis merupakan hasil dari
berbagai faktor fisiologis normal pada bayi baru lahir seperti: peningkatan
produksi bilirubin akibat peningkatan massa SDM, usia SDM yang pendek, dan
imaturitas hati dari logadin dan glukuroniltransferase (Nelson, 2011). Ikterus
fisiologis dapat berlebihan pada bayi keturunan Yunani dan Asia.
Gambaran klinis ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan meliputi kadar
bilirubin indirek puncak tidak lebih dari 12mg/dL pada hari ke-3 kehidupan.
Namun pada bayi prematur atau kurang bulan kadar bilirubin indirek puncak lebih
tinggi yaitu 15 mg/dL pada hari ke-5 kehidupan. Kadar puncak bilirubin indirek
selama periode ikterus fisiologis lebih tinggi pada bayi yang mendapat ASI dari
pada susu formula yaitu sekitar 15 sampai 17 mg/dL vs. 12 mg/dL. Kadar yang
lebih tinggi ini kemungkinan karena bayi kurangnya mendapatkan asupan cairan
pada bayi dengan ASI. Jumlah total serum bilirubin (TSB) mencapai puncak rata-
rata pada hari ke 3-5 setelah kelahiran dan penurunan terjadi dalam beberapa
minggu berikutnya.
Konsetrasi total serum bilirubin bervariasi, tergantung pada ras, jenis
makanan dan faktor genetik. Namun kadar total serum bilirubin menurun pada
usia 96 jam setelah kelahiran dengan konsentrasi TSB kurang dari 17 mg/dL
(290.8µmol/L), dengan kata lain kadar bilirubin diatas nilai 17 mg/dL bukan
disebut ikterus fisiologis melainkan ikterus patologis( Nelson, 2011)
Banyak alasan yang muncul yang menyebabkan timbulnya ikterus fisiologis pada
bayi yaitu:
a. Terjadinya peningkatan produksi bilirubin yang tinggi namun kurangnya
kemampuan untuk meneksresikan nya keluar tubuh.
b. Peningkatan bilirubin tersebut bisa diakibatkan karena tingginya peningkatan
hematokrit dan volume sel darah merah per berat badan dan juga masa hidup
eritrosit yang lebih singkat dari normal sekitar 70-90 hari.
22
b. Ikterus Patologi
Ikterus patologi dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
1) Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi selalu bersifat patologis. Penyebab
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi biasanya akibat penyakit hemolitik,
perdarahan internal (sefalhematom, hematom hati atau limpa), atau dapat juga
karena infeksi. Hiperbilirubinemia patologi pada bayi baru lahir dapat dibagi
menjadi empat ketegori: a) penigkatan produksi kadar bilirubin, b) gangguan
konjugasi bilirubin, c) defisiensi pengambilan bilirubin oleh hati dan, d)
peningkatan sirkulasi enterohepatik.(Alridjal, 2013)
2) Hiperbilirubinemia terkonjugasi
23
II.1.2.4. Patofisiologi
Terdapat empat mekanisme umum yang menyebabkan terjadi
hiperbilirubinemia pada neonatus (Sylvia, 2012):
1. Pembentukan bilirubin yang berlebih
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati.
3. Gangguan konjugasi bilirubin.
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor
intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh
obstruksi mekanis.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga
mekanisme pertama, sedangkan mekanisme keempat terutama menyebabkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi.
(a)Pembentukan bilirubin berlebihan.
Penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan
penyebab tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang
timbul sering disebut sebagai ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen
empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui
kemampuan hati. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin tak
24
4. Polisitemia
5. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan
hepar subkapsuler dan lain-lain).
6. Hipoksia
7. Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain.
8. Dehidrasi asidosis
9. Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
C. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
1. Biasanya karena infeksi (sepsis)
2. Dehidrasi asidosis
3. Defisiensi enzim G6PD
4. Pengaruh obat
5. Sindrom Crigler-Najjar
6. Sindrom Gilbert
D. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
1. Biasanya karena obstruksi
2. Hipotiroidisme
3. “Breast milk jaundice”
4. Infeksi
5. Neonatal hepatitis
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
a. Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala
b. Pemeriksaan darah tepi
c. Pemeriksaan penyaring G6PD
d. Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab
2) Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan
selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi
berkembang menjadi kernikterus. WHO dalam panduannya menerangkan cara
menentukan ikterus dari inspeksi, sebagai berikut:
- Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari
denga cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat
28
dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang
kurang.
- Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.
- Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh
yang tampak kuning.
II.1.2.5. Penatalaksanaan
29
(1)Imunoglobulin intravena
Banyak digunakan pada bayi yang mengalami hiperbilirubinemia
akibat inkompatibilitas Rh dan ABO, pengobatan bertujuan untuk menekan
hemolisis isoimun dan menurunkan transfusi ganti.
(2)Fenobarbital
Tujuan dari terapi farmakoterapi dengan fenobarbital adalah untuk
merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPGT dan ligadin serta dapat
meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin.
(3)Metalloprotoporphyrin
Metalloprotoporphyrin efektif penggunaanya sebagai indikator
kompetitif dari heme oksigenase, yang akan berfungsi untuk katabolisme
heme menjadi biliverdin.
(4)Inhibitor β-glukuronidase
Penggunaan terapi dengan menggunakan inhibitor β-glukuronidase
dapat mengakibatkan penurunan reabsorbsi enterohepatik.
(b)Foto terapi
Foto terapi adalah terapi dengan menggunakan sinar blue-green spectrum
(panjang gelombang 430-490 nm). Bila konsentrasi bilirubin tidak menurun atau
cenderung naik pada bayi bayi yang mendapat foto terapi, kemungkinan besar
terjadi proses hemolisis.
(c)Transfusi tukar
30
Reaksi Ag
dan Ab¹
Hemolisis
Menurunnya Penurunan
inhibitor sirkulasi
proses entero
konjugasi hepatik
bilirubin
HIPERBILIRUBINEMIA
Bagan 1. Kerangka teori
NEONATUS
II.3.
Sumber Kerangka
: ¹ Kosim Konsep
MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi. Edisi 1. Jakarta: IDAI. 201.h.14769.
² Crow, Marry K., Doroshow, James H., Drazen,Jeffrey M. 2012. Goldman-Cecil Medicine. Avaible from
https://www.clinicalkey.com/#!/topic/hyperbilirubinemia (Diakses: 01 September 2015).
1 ³ Madan A, Macmahon JR, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, Gleason CA,
penyunting. Avery’s Diseases of the Newborn. Edisi ke-8. Philadelphia: WB Saunders co, 2005.h. 1226-53
33
Variabel Independent
Tabel: 2
Penelitian Terdahulu
Nama Penelitian Variabel Variabel Design Uji Hasil
Independen Dependen Penelitian Statistik penelitian
Nailul Faktor Resiko Neonatus Kejadian Observasio uji Chi- Dari 244 neonatus
Khusna Neonatus bergolongan darah Hiperbilirubi nal Square test terdapat 19 neonatus
(2013) Bergolongan A atau B dari Ibu nemia Analitik (7,8%) yang
Darah A atau bergolongan darah dengan mengalami
B dari Ibu O Cross hiperbilirubinemia. ,
bergolongan Sectional terdiri dari 5 (10, 9%)
Darah O neonatus bergolongan
Terhadap darah A, 7 (14,3
Kejadian %) neonatus
Hiperbilirubin bergolongan darah B,
emia dan 7 (4,7%) neonatus
bergolongan darah O.
Neonatus bergolongan
darah A bukan
merupakan faktor
risiko
hiperbilirubinemia
(p= 0,128 ; OR= 2,47 ;
CI= 0,75-8,21).
35
Rizky Faktor Resiko ASI Kejadian Observasio Uji Chi- Dari 2302 neonatus ,
Amalia Hiperbilirubin Ketuban Pecah hiperbilirubi nal dengan Square dan sebanyak 507,50%
Putri emia Pada Dini nemia pendekatan Fisher neonatus yang sesuai
(2013) Neonatus Infeksi pada Cross dengan kriteria
Ibu Sectional inklusi , ASI
merupakan faktor
protektif terjadinya
hiperbilirubinemia
pada
neonatus (p=0,002 ; RP
= 0,309 ; 95% CI =
0,140-0,680 ). Ketuban
pecah dini
(KPD), infeksi pada ibu
, dan air ketuban keruh
tidak memiliki
hubungan secara
statistik (p > 0,05) dan
bukan faktor risiko
hiperbilirubinema pada
neonatus sehat
aterm yang vigorous.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
) ²
Z α √2 PQ+ Zβ √ P Q
n1 =n2= ( P1 −P 2
1 1+ P2 Q 2
) ²
laboratorium laboratorium
darah. darah.
6. Jenis Persalinan Melihat riwayat Data riwayat Hasil riwayat Nominal.
persalinan yaitu persalinan persalinan 0: Spontan.
secara spontan atau yaitu secara yaitu secara
seksio sesarea spontan atau spontan atau 1: Seksio Sesaria.
melalu data rekam seksio sesarea seksio
medik. sesarea.
(O−E)²
x 2= ∑
E
46
Keteragan:
x²= Chi square
O= frekuensi observasi
E = frekuensi harapan
a. Jika p value < 0.05, maka Ho ditolak dan H1 diterima, yang berarti ada
hubungan antara variabel independent dan variabel dependent.
b. Jika p value > 0.05, maka Ho diteima dan H1 ditolak, yang berarti tidak ada
hubungan antara variabel independent dan variabel dependent.