Anda di halaman 1dari 47

1

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin serum
meningkat sebesar 5-7 mg/dL (Dennery dkk, 2008,hal.1). Prevalensi
hiperbilirubinemia pada neonatus menjadi salah satu dari sepuluh penyakit
terbanyak di Indonesia. Terdapat beberapa kasus hiperbilirubinemia pada
neonatus di beberapa rumah sakit di Indonesia, salah satunya di RSCM pada
tahun 2013 sebesar 58% untuk kadar bilirubin ≥ 5 mg/dL dan 29,3% untuk kadar
bilirubin ≥ 12 mg/dL, (Riskesdas, 2014). Data hiperbilirubinemia pada neonatus
juga didapatkan di RSUD kota depok tahun 2015 mencapai 38% neonatus yang
mengalami hiperbilirubinemia.Dalam Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
tahun 2012 di dapatkan neonatus yang mengalami komplikasi seperti
hiperbilirubinemia, ikterus, BBLR, sepsis, trauma lahir dan asfiksia mencapai 20
persen dari total ibu hamil dalam suatu wilayah tersebut, dan didapatkan data
sebesar 2.099 neonatus mengalami komplikasi di wilayah Jakarta Pusat (Dinkes,
2012).
Hiperbilirubinemia menjadi suatu masalah dikarenakan dapat menyebabkan
terjadinya kernikterus jika tidak segera ditangani dengan baik, yang mengarah ke
gangguan perkembangan neurologis pada bayi seperti terjadinya enselopati pada
bayi (Usman Ali,2012 ,hal.2). Data prevalensi kern ikterus di Amerika Serikat
sebesar 8-10% neonatus, dari total neonatus yang mengalami hiperbilirubinemia
(Madan dkk, 2005, hal. 2)
Angka kejadian hiperbilirubinemia tak lepas dari faktor faktor yang
mempengaruhi, yaitu faktor maternal, faktor perinatal, dan faktor neonatus. Faktor
maternal yang paling berperan adalah inkompatibilitas ABO (37%) dan angka
paritas (30%), untuk faktor perinatal adalah infeksi (60%); jenis persalinan
( 57%); trauma lahir (20%); dan untuk faktor neonatus yang paling
2

berperanadalah prematuritas ( 60,3%), frekuensi pemberian ASI pertama ( 40%)


(Zabeen B dkk, 2010, hal.3).
Faktor maternal berupa inkompatibilitas ABO mempunyai korelasi yang
signifikan terhadap kejadian hiperbilirubin sebesar 11,4% atau sebanyak 31 orang
(Aniesah, 2011). Hal tersebut berhubungan dengan antibodi ibu yang tidak cocok
akan menyerang sel darah merah janin sehingga akan meningkatkan pelepasan
bilirubin dari sel darah merah (May-jen H dkk, 2004, hal.7). Faktor maternal
lainnya adalah jumlah paritas, paritas juga dapat menjadi resiko terhadap kejadian
hiperbilirubinemia, ibu primipara mempunyai resiko lebih tinggi melahirkan bayi
neonatus yang mengalami hiperbilirubin sebesar 82,7% (Rifqi, 2014). Hal
tersebut bisa dihubungkan dengan resiko tinggi terjadinya trauma lahir (faktor
perinatal) pada ibu primipara yang mengakibatkan terjadinya hemolisis pada
neonatus dan terjadi peningkatan bilirubin (Tazami RM dkk, 2013, hal.3).
Faktor neonatus dan perinatal yang juga berhubungan terhadap kejadian
hiperbilirubinemia pada neonatus adalah infeksi dan prematuritas. Sepsis menjadi
faktor yang signifikan terhadap peningkatan bilirubin sebesar 45% (Niger J, 2012
Penurunanan aktifitas UDP-GT mengakibatkan konjugasi bilirubin tak
terkonjugasi menurun sehingga terjadi peningkatan bilirubin sebesar 51,2% ( Nur,
2013). Frekuensi pemberian ASI yang rendah juga menjadi masalah terhadap
peningkatan bilirubin sebesar 62%, intake yang kurang mengakibatkan
penumpukan bilirubin di sirkulasi enterohepatik (Hasvivin, dkk 2013).
Berdasarkan uraian tersebut diatas peneliti tertarik meneliti faktor
maternal, perinatal, dan neonatus yang mempunyai resiko hiperbilirubinemia pada
neonatus di RSIA Evasari, dilihat dari tingkat kejadian kasus hiperbilirubinemia
yang masih tinggi di Jakarta, dan sering menjadi RS rujukan kasus
hiperbilirubinemia pada neonatus dikarenakan tunjangan laboratorium yang
lengkap. dan sampai saat ini belum ada penelitian serupa ditempat tersebut dan
Rumah sakit ini terbuka untuk semua kalangan sehingga peneliti mengharapkan
bisa mendapatkan jumlah sampel yang cukup untuk melaksanakan penelitian ini.
3

I.2 Perumusan Masalah


Hiperbilirubinemia pada neonatus mempunyai resiko tinggi menjadi
ikterus neonatal terutama pada bayi yang tidak segera ditangani. Titik tolak
penelitian ini adalah karena masih tingginya tingkat kejadian hiperbilirubinemia di
Jakarta dan wilayah sekitarnya, di RSCM pada tahun 2013 sebanyak 87,3 %
neonatus mengalami hiperbilirubinemia (Riskesdas 2014), data yang juga di
dapatkan di RSUD Depok pada tahun 2015 sekitar 38% neonatus yang mengalami
hiperbilirubinemia (Dinkes Depok, 2015). Hiperbilirubinemia menjadi salah satu
komplikasi neonatus, dan hiperbilirubinemia menjadi salah satu dari sepuluh
penyakit terbanyak yang dialami neonatus, angka kejadian tersebut tidak lepas
dari faktor faktor yang mempengaruhi seperti faktor maternal(Komplikasi
kehamilan, angka paritas), Faktor perinatal( trauma lahir, jenis persalinan,
infeksi), faktor neonatus (prematuritas, pemberian ASI). Oleh karena itu penulis
tertarik untuk menganalisa faktor maternal, perinatal dan neonatus yang
berhubungan dengan hiperbilirubinemia pada neonatus, menurut penelitian
Alridjal (2014) terdapat 82,7% jumlah paritas ibu yang berisiko melahirkan
neonatus dengan hiperbilirubinemia, hasil penelitian Tazami (2013) 62,7% ibu
melahirkan bayi kurang bulan dengan jenis persalinan seksio sesareasebesar 96%
mempunyai resiko hiperbilirubinemia pada neonatus. Hal ini menyebabkan
dampak tingginya tingkat kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus sehingga
mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas pada bayi di Indonesia.
(Riskesdas 2014,hlm.42; Alridjal 2014,hlm.79;Tazami 2013,hlm.2)

I.3 Pertanyaan Penelitian


Dengan memperhatikan latar belakang masalah diatas maka dapat
dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
a. Berapakah prevalensi neonatus yang mengalami hiperbilirubinemia di RSIA
Evasari pada periode Januari-Desember tahun 2015?
b. Bagaimana gambaran faktor maternal (komplikasi kehamilan, angka
paritas), faktor perinatal (trauma lahir, jenis persalinan, dan infeksi), dan
4

faktor neonatus (prematuritas, riwayat pemberian ASI) di RSIA Evasari


pada periode Januari-Desember tahun 2015?
c. Apakah terdapat hubungan antara faktor maternal(komplikasi kehamilan,
angka paritas) terhadap tingkat hiperbilirubinemia pada neonatus di RSIA
Evasari pada periode Januari-Desember tahun 2015?
d. Apakah terdapat hubungan antara faktor perinatal( trauma lahir, jenis
persalinan, dan infeksi), terhadap tingkat hiperbilirubinemia pada neonatus
di RSIA Evasari pada periode Januari-Desember tahun 2015?
e. Apakah terdapat hubungan antara faktor neonatus (prematuritas, riwayat
pemberian ASI) terhadap tingkat hiperbilirubinemia pada neonatus di
RSIA Evasari pada periode Januari-Desember tahun 2015?

I.3 Tujuan Penelitian


I.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara faktor maternal, perinatal, dan neonatus
terhadap tingkat hiperbilirubinemia pada neonatus di RSIA Evasari, Jakarta Pusat.

I.4.2 Tujuan Khusus


a. Mengetahui prevalensi neonatus yang mengalami hiperbilirubinemia di
RSIA Evasari pada periode Januari-Desember tahun 2015.
b. Mengetahui gambaran faktor maternal (komplikasi kehamilan, angka
paritas), faktor perinatal (trauma lahir, jenis persalinan, dan infeksi), dan
faktor neonatus (prematuritas, riwayat pemberian ASI) di RSIA Evasari
pada periode Januari-Desember tahun 2015.
c. Mengetahui hubungan antara faktor maternal(komplikasi kehamilan, angka
paritas) terhadap tingkat hiperbilirubinemia pada neonatus di RSIA Evasari
pada periode Januari-Desember tahun 2015.
d. Mengetahui hubungan antara faktor perinatal( trauma lahir, jenis persalinan,
dan infeksi), terhadap tingkat hiperbilirubinemia pada neonatus di RSIA
Evasari pada periode Januari-Desember tahun 2015.
5

e. Mengetahui hubungan antara faktor neonatus (prematuritas, riwayat


pemberian ASI) terhadap tingkat hiperbilirubinemia pada neonatus di
RSIA Evasari pada periode Januari-Desember tahun 2015.
f. Mengetahui faktor apakah yang paling berpengaruh dari faktor maternal,
perinatal, dan neonatus terhadap kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus.

I.5 Manfaat Penelitian


I.5.1 Manfaat Teoritis
Untuk menambah wawasan bagi peneliti dan teman teman sejawat
sehingga dapat memberikan informasi bagi masyarakat.
I.5.2. Manfaat Aplikatif
I.5.1. Bagi Masyarakat Umum .
Sebagai informasi mengenai kejadian hiperbilirubinemia pada bayi sehingga
dapat mengetahui faktor penyebab hiperbilirubinemia pada bayi, dampak yang
akan ditimbulkan sehingga dapat tercapainya upaya pencegahan, evaluasi,
penatalaksanaan dan edukasi yang terkait dengan hiperbilirubinemia pada bayi
dan komplikasi hiperbilirubinemia seperti kernikterus.
I.5.2 Bagi Ibu Pasien.
Sebagai informasi terhadap kasus hiperbilirubinemia pada bayi, sehingga
dapat segera mengetahui penatalaksanaan awal dan dapat mencegah ke arah
komplikasi yang lebih serius. Dan dapat mengetahui faktor maternal yang
berpengaruh terhadap kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus seperti Ibu
dengan diabetes gestasional segera ditangani dengan mengontrol kadar gula darah
selama kehamilan sehingga sebelum melahirkan dapat segera melakukan
pencegahan.
I.5.3 Bagi Rumah Sakit.
Sebagai sumber literatur dan informasi tentang pengaruh faktor penyebab
hiperbilirubinemia dengan angka kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus ,
sehingga dapat menurunkan angka kejadian hiperbilirubinemia di rumah sakit
I.5.4. Bagi Universitas Pembangunan Veteran Jakarta.
Sebagai dokumen untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
mengenai hiperbilirubinemia pada bayi, dapat juga sebagai sumber referensi atau
6

acuan untuk kedepannya, dan sebagai perbandingan untuk penelitian lebih lanjut
agar menciptakan karya ilmiah yang lebih baik .
7

BAB II
LANDASAN TEORI

II.1. Tinjauan Pustaka


II.1.1. Definisi Bilirubin.
Bilirubin adalah hasil dari pemecahan produk bagian heme oleh
hemoglobin, haemoproteins lainnya, seperti sitokrom, katalase, peroxidase and
tryptophan pyrrolase(Sherwood, 2011). Menurut Johan (2008, hal.1) Bilirubin
merupakan senyawa endogen dari penguraian bagian heme hemoglobin yang
terkandung di dalam sel darah merah yang sudah tua dan dapat menjadi toksik
atau racun dalam keadaan tertentu sehingga harus dikeluarkan dari tubuh

II.1.2. Metabolisme Bilirubin


Bilirubin merupakan suatu pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang
merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi
oksidasi-reduksi (Fevery J, 2012, hal.2). Langkah pertama dari oksidasi dimana
biliverdin yang dibentuk dari heme yang dibantu oleh enzim heme oksigenase
yaitu suatu bentuk enzim yang sebagian besar terdapat di dalam sel hati, dan
organ lain. Dari hasil reaksi tersebut maka akan terbentuk hemoglobin dan karbon
monoksida (CO) yang diekskresikan ke dalam paru paru. Setelah itu biliverdin
yang telah dibentuk kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim
biliverdin reduktase (Anthony, 2008).
Biliverdin mempunyai sifat yang larut dalam air dan secara cepat akan
diubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Bilirubin bersifat
lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta PH normal bersifat tidak larut. Jika
tubuh akan mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi
bilirubin. Dari penelitian sebelumnya bayi baru lahir, sekitar 75% produksi
bilirubin berasal dari katabolisme heme haemoglobin dari eritrosit sirkilasi. Satu
gram hemoglobin akan menghasilkan 34mg bilirubin dan sisanya (25%) disebut
early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan haemoglobin karena
eritropoesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan yang
8

mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase) dan heme


bebas. Neonatus atau bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10
mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa akan memproduksi bilirubin sekitar 3-4
mg/kgBB/hari. Kejadian dimana terjadi peningkatan produksi bilirubin pada
neonatus atau bayi baru lahir disebabkan akibatkan masa hidup eritrosit bayi lebih
pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan
degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin
dari usus yang meningkat (Neonatologi IDAI, 2012)
Skala metabolisme secara ringkas dan detail dijabarkan oleh Brown dengan
sedikit modifikasi, metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut
(Sarwono, 2012):
a. Produksi
Bilirubin terbentuk sebagian besar sebagai akibat dari degradasi hemoglobin
dalam sistem R.E.S. Dalam penghancuran hemoglobin dimana tingkat
penghancuran hemoglobin pada neonatus lebih tinggi dibandingkan bayi yang
lebih tua. Terdapat bilirubin indirek yang merupakan bilirubin yang bereaksi tidak
langsung dengan zat warna diazo, dan bersifat tidak larut dalam air tetapi larut
dalam lemak (Kliegman, 2007)

b. Transportasi
Setelah bilirubin yang terbentuk dari degradasi hemoglobin dalam sistem R.E.S,
selanjutnya akan dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin.
Pada bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang relatif rendah
terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendahdan kapasitas ikatan
molar yang kurang. Bilirubin yang terikat dengan albumin merupakan zat non
polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar.
Bilirubin yang telah terikat dengan albumin tidak akan menjadi bilirubin yang
bebas sehingga tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda yaitu:
1. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian
besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.
2. Bilirubin bebas
9

3. Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukuronida dan diglukuronida) yaitu


bilirubin yang siap dieksresikan melalui ginjal atau sistem bilier.
4. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (∂−bilirubin).
5. Pada 2 minggu pertama kehidupan,(∂−bilirubin) tidak akan tampak. Peningkatan
kadar (∂−bilirubin) secara signifikan dapat ditemukan pada bayi baru lahir
normal yang lebih tua dan pada anak. Konsentrasinya meningkat bermakna pada
keadaan hiperbilirubinemia terkonjugasi persisten karena berbagai kelainan pada
hati.
Setelah terjadi kompleks bilirubin-albumin yang telah mencapai membran
plasma hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin
akan ditransfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y),
atau bisa juga dengan protein ikatan sitosolik lainnya. Keseimbangan antara
jumlah bilirubin yang masuk ke sirkulasi, dari sintesis de novo, resirkulasi
enterohepatik, perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel
hati dan konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak normal
(IDAI,2010)
Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik tak terkonjugasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Hal tersebut terjadi karena
adanya defisiensi ligandin, tetapi itu tidak begitu penting dibandingkan dengan
defisiensi konjugasi bilirubin dalam menghambat transfer bilirubin dalam
menghambat transfer bilirubin dari darahke empedu selama 3-4 hari pertama
kehidupan. Walaupun demikian defisiensi ambilan ini dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi ringan pada minggu kedua kehidupan saat
konjugasi bilirubin hepatik mencapai kecepatan normal yang sama dengan orang

dewasa (Winkjosastro, 2009).

c. Konjugasi
Di dalam hepar bilirubin mengalami proses konjugasi yang membutuhkan
energi dan enzim uridine diphospate glucuronosyl transferase (UDPG-T) dan
setelah mengalami proses konjungasi bilirubin akan diubah menjadi bilirubin
direk dari bilirubin inderek melalui reaksi yang dijabarkan dibawah ini (Sylvia,
2006)
10

Di dalam rantai reaksi ini dimana di dalam sel hepar bilirubin yang larut
dalam lemak akan dikonjugasi dari bilirubin monoglukoronida menjadi bilirubin
diglukoronida yang larut dalam air dan akan memberi reaksi positif dengan
reagens Hymans van den Berg. Glukoronil transferase memindahkan asam
glukoronik dari asam uridin disfosfoglukoronik (Uridin disphosphoglucoronic
acid = UDPGA) ke bilirubin, sehingga akan menjadi bilirubin diglukoronik.
UDPGA merupakan satu satunya bentuk dimana asam glukoronik dapat diperoleh
untuk konjugasi, selain itu glukosa menjadi sangat penting untuk eksresi bilirubin
karena proses konjugasi sangat melibatkan metabolisme karbohidrat dan
nukleotida (Hematologi dan Onkologi,2005)

heksokinase
Glukosa glukosa-6-fosfat

ATP ADP
Glukosa-6-fosfat fosfoglukomutase
Glukosa-1-fosfat

Pp uridyl transferase
Glukosa-1-fosfat U D P Glukosa

UTP P.P
U D P glukosa UDPdehidrogenase
UDP asam glukoronik
2 DPN +2 DPNH +2H + Bilirubin

UDP asam glukoronik


Glukoronil transferase di-glukp-ronide

Bilirubin UDP

d. Ekskresi
Setelah di rubah menjadi bilirubin direk di hepar, maka selanjutnya
bilirubin direk kemudian diekskresi ke usus dan sebagian dikeluarkan
11

dalam bentuk bilirubin dan sebagian lagi dalam bentuk sterkobilin.


Apabila terjadi hambatan ekskresi misalnya terjadi hambatan pada
peristalsis usus seperti pada pemberian makanan yang agak terlambat atau
hal hal lain, makan bilirubin sebagian dirubah menjadi bilirubin indirek
oleh pengaruh enzim B glukoronidase dan kemudian diserap ke sirkulasi
darah (Kapita Selekta hematologi, 2012)
Bilirubin indirek kemudian akan dibawa kembali ke hepar untuk di
proses lagi, sirkulasi ini disebut dengan sirkulasi enterohepatik. Pada janin
bilirubin yang diserap kembali itu akan diekskresi melalui plasenta. Pada
bayi baru lahir eksresi melalui plasenta akan terputus, karena itu apabila
fungsi hepar belum sempurna atau matang dan bila terjadi gangguan dalam
fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis, atau bila terdapat kekurangan enzim
glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, maka kadar bilirubin
indirek dalam darah dapat tinggi (Hematologi, 2013)
Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada
kadar albumin dalam serum. Pada bayi kurang bulan di mana kadar
albumin dalam serumnya rendah maka kadar bilirubin indirek bebasnya
dapat meningkat, dan peningkatan bilirubin indirek ini sangat berbahaya
karena bilirubin bebas inilah yang dapat melekat pada sel sel otak.
Sehingga untuk mencegah terjadinya peningkatan bilirubin bebas yang
dapat menyebabkan kernikterus pada neonatus maka dicegah dengan
pemberian albumin dan plasma (Winkjosastro,2012)
12

Gambar 1. Metabolisme Bilirubin


Sumber: MacMahon JR, Stevenson DK, Oski FA. Bilirubin metabolism. In Avery's Diseases of the Newborn,
eds Taeusch HW, Ballard RA. Philadelphia, PA: Saunders; 1998. 995-1002.

II.1.2 Hiperbilirubin
II.1.2.1. Definisi Hiperbilirubin
Hiperbilirubinema adalah suatu keadaan di mana kadar bilirubinemia
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi yang menimbulkan kerni ikterus
jika tidak ditangani dengan segera. Hiperbilirubin atau Penyakit kuning adalah
perubahan warna kuning-oranye dari kulit, konjungtiva, dan selaput lendir yang
dihasilkan dari tingkat bilirubin plasma meningkat. Hiperbilirubinemia ringan
mungkin secara klinis tidak terdeteksi, tetapi penyakit kuning menjadi jelas pada
plasma bilirubin lebih besar dari 3 sampai 4 mg / dL, tergantung pada pigmentasi
kulit normal pasien, kondisi pengamatan, dan fraksi bilirubin yang tinggi.
Hiperbilirubinemia dapat mengakibatkan disfungsi hepatoseluler
(hiperbilirubinemia murni) atau dari baik peningkatan produksi bilirubin atau
diwariskan atau diperoleh cacat dalam aspek-aspek tertentu dari hati bilirubin
13

disposisi. Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar plasma bilirubin 2


standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau
lebih dari persentil 90 (Sherwood, 2012)

II.1.2.2 Faktor Resiko


Terdapat beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan angka kejadian
hiperbilirubinemia pada neonatus menurut American Academic of Pediatric
(AAP) 2004 yang dikelompokan dalam 3 kelompok, yaitu:
a. Faktor risiko mayor
1) Kadar TSB/TCB pada zona / daerah resiko tinggi
2) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama
3) Uji antiglobulin direk positif, penyakit hemolitik lain (defisiensi Glucose-6-
phosphate dehydrogenase).
4) Usia kehamilan 35-36 minggu
5) Saudara sebelumnya mendapat terapi yang sama
6) Sefalhematom atau memar hebat
7) ASI eksklusif, terutama bila perawatan tak baik dan terjadi penurunan berat
badan
8) Ras Asia Timur.

b. Faktor risiko minor


1) Kadar TSB atau TCB pada “area high intermediate risk”.
2) Usia kehamilan 37-38 minggu
3) Observasi ikterus sebelum pulang
4) Saudara kandung sebelumnya ikterus
5) Bayi makrosomia dari ibu DM
6) Usia ibu = 25 tahun.
7) Bayi laki laki
c. Risiko rendah
1) Kadar TSB / TCB pada tingkat area zona low risk
2) Kehamilan = 41 minggu
3) PASI atau formula
14

4) Ras kulit hitam


5) Pulang dari RS setelah usia 3 hari. (American Academy of Pediatrics,2004)

Menurut IDAI Neonatologi, 2012, faktor resiko yang berpengaruh terhadap


kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus:
a. Faktor Maternal
1) Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American, Yunani)
2) Komplikasi kehamilan (DM,inkompatibilitas ABO dan Rh)
3) Angka paritas
b. Faktor Perinatal
1) Trauma lahir (sefalhematom,ekimosis)
2) Infeksi (bakteri,virus,protozoa)
3) Jenis persalinan
c. Faktor neonatus
1) Prematuritas
2) Faktor genetik
3) Polisitemia
4) Obat (streptomisin,kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
5) Rendahnya asupan ASI
II.1.2.2.1 Faktor Maternal

a. Ras atau Kelompok Etnik tertentu.


Ras merupakan faktor resiko yang juga berpengeruh terjadap kejadian
hiperbilirubinemia pada neonatus, penelitian Shai Linn, MD dkk (2010) mengenai
epidemiology of neonatal hyperbilirubinemia menyimpulkan ras amerika atau
asia cenderung memiliki kadar bilirubinemia yang lebih tinggi dibandingkan dari
ras lainnya dengan persetase 49% dibandingkan negara dengan ras kulit hitam
yang hanya mempunyai persentase kasus hiperbilirubinemia 12% , dimana ras
kulit hitam secara teoritis mempunyai kadar bilirubin yang tidak tinggi (Shai Linn
MD, dkk 2010.hal;2)
15

b. Komplikasi kehamilan (DM, Inkompatibilitas ABO dan Rh)


1. Diabetes melitus gestasional atau GDM.
Suatu keadaan dimana terjadinya intoleransi glukosa selama kehamilan
( WHO, 2011). Keadaan resistensi nya insulin dapat berpengaruh langsung
terhadap janin dan ibunya, dimana salah satu komplikasi serius yang terjadi yaitu
terjadinya hiperbilirubinemia pada neonatus (ADA, American Diabetic
Association). Diabetes melitus gestasional yang menyebabkan resistensi insulin
akan mengakibatkan peningkatan kompensasi insulin sebagai respon β-sel
terhadap keadaan resitensi pada insulin, hal tersebut mengakibatkan terjadinya
mutasi pada glukokinase yang berasal dari cacatnya β-sel, sehingga jika tidak
segera ditangani dapat mengakibatkan komplikasi pada janin yaitu
hiperbilirubinemi pada neonatus. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bedowra
Zabeen, dkk 2010 diabetes melitus gestasional mempunyai resiko tinggi dalam
kasus hiperbilirubinemia pada neonatus dimana didapatkan persentase kasus
sebesar 35% di Rumah Sakit Bangladesh. (Zabeen,dkk 2010.hal;71)

2. Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO) dapat disebabkan
oleh dua hal, yang pertama akibat ketidakcocokan (Inkompatibilitas) golongan
darah ABO saat melakukan transfusi sehingga terjadi reaksi hemolisis
intravaskular akut dan juga dapat disebabkan oleh reaksi imunitas antara antigen
dan antibody yang sering terjadi pada ibu dan janin yang akan dilahirkan (Najib,
2013). ketidakcocokan golongan darah pada ibu dan bayi dapat menyebabkan
terjadinya reaksi isoimun berupa hemolisis yang terjadi apabila antibodi anti-A
dan anti-B pada ibu dengan golongan darah O, A, atau B dapat melewati plasenta
dan mensensitisasi sel darah merah dengan antigen A, B, atau AB pada janin,
sehingga dapat mengakibatkan peningkatan bilirubin serum pada bayi, menurut
penelitian Apriastuti tahun 2007 mengenai faktor resiko hiperbilirubinemia pada
neonatus yang dilakukan di Rumah Sakit Pandan Arang Boyolali di dapatkan
21,74% neonatus mengalami hiperbilirubin akibat inkompatibilitas ABO.
(Najib,dkk 2013hal.3; Apriastuti,2007 hal.40).
16

3. Inkompatibilitas Rh
Inkompatibilitas Rh adalah ketidakcocokan Rh ibu pada bayi, dimana Rh
ibu ialah Rh-negatif sedangan Rhesus bayi adalah Rh-positif (M,Jeffrey, 2006).
Neonatus karena inkompatibilitas Rh akan lebih cepat kuning dalam beberapa
waktu jam, pucat dan mengalami hepatosplenomegali (Najib, 2013)

c. Angka paritas.
Paritas merupakan jumlah atau banyaknya jumlah kelahiran hidup yang
dipunyai oleh seorang wanita (BKKBN, 2006). Paritas dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia dan merupakan salah satu dari faktor penyebab
hiperbilirubinemia pada neonatus. Dalam penelitian Varney, 2011 menyatakan
bahwa ibu yang baru pertama kali melahirkan atau yang disebut primipara
mempunyai resiko yang lebih tinggi melahirkan bayi yang mengalami
hiperbilirubin dibandingkan dengan ibu yang multipara (Michael, 2006).
Penelitian selanjutnya di lakukan oleh Rifky Alridjal tahun 2014 di RS Pelni
Petamburan Jakarta, di dapatkan data ibu primipara mempunyai resiko lebih
tinggi melahirkan neonatus yang mengalami hiperbilirubinemia dengan persentase
82,7% dibandingkan ibu multipara. (Michael,dkk 2006; Alridjal 2014, hal.71)

II.1.2.2.2 Faktor Perinatal

a. Trauma Lahir( Sefalhematom).


Sephalohematoma adalah kumpulan darah di bawah periosteum, jaringan
sangat kuat yang menutupi dan menyelubungi tulang (tengkorak).
Kondisi ini sering terjadi selama persalinan terutama jika janin dipaksa keluar
dengan mendorong kepala sementara keadaan serviks masih mencengkram kepala
dengan kuat, hal tersebut mengakibatkan pembuluh pembuluh darah pada sisi sisi
kepala akan robek, yang akan mengakibatkan terjadinya hemolisis sehingga akan
mengakibatkan peningkatan bilirubin unconjugated.Dalam penelitian yang
dilakukan oleh S. Umit Sarici, MD dkk 2009 trauma lahir sefalhematom berperan
besar dalam resiko hiperbilirubinemia pada bayi dan didapatkan data dengan
persentase 50%.(Sarici, 2010)
17

b. Infeksi (Sepsis)
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik dan disertai dengan
adanya bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Di
negara berkembang, hampir sebagian besar bayi baru lahir yang dirawat
mempunyai kaitan dengan masalah sepsis. Banyak faktor penyebab terjadinya
sepsis salah satunya adalah ketuban pecah dini (Sari Pediatri, 2000). Bayi
prematur juga dapat menjadi faktor penyebab masalah sepsis dibandingkan
dengan bayi yang cukup bulan (Rusepno, 2005).
Neonatus yang mengalami sepsis akan mengalami peningkatan bilirubin
conjugated, hal ini disebabkan akibat aliran bilirubin/ empedu yang menjadi
terhambat ke usus, sehingga bilirubin yang akan dibuang melalui feses menjadi
berkurang, sehingga mengakibatkan terjadinya penimbunan bilirubin di hati yang
nantinya akan masuk ke aliran darah, sehingga kadar bilirubin conjugated dalam
darah akan meningkat, dan bayi akan mengalami hiperbilirubinemia (Sylvia,
2012).

c. Jenis Persalinan
Jenis persalinan yang spontan cenderung lebih besar mengakibatkan
hiperbilirubinemia pada bayi dibandingkan dengan seksio sesaria. Hal tersebut
diakibatkan karena resiko pecahnya pembuluh darah intracranial pada saat
persalinan spontan cenderung lebih besar, sehingga akan mengakibatkan
hemolisis (Obstetri, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan Mudazir di RS PKU
Muhamadiyah Surabaya yang mengatakan dari 3394 bayi yang dirawat 164 bayi
mengalami hiperbilirubinemia dengan faktor resiko jenis persalinan spontan.

Persalinan secara seksio sesarea dapat juga menyebabkan peningkatan kadar


total serum bilirubinemia pada neonatus, salah satu indikasi seksio sesarea adalah
bayi kurang bulan, dimana bayi kurang bulan mempunyai resiko kematangan hati
yang belum sempurna sehingga konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk
menjadi terhambat sehingga terjadi penumpukan bilirubin indirek (halim,dkk
(2007). Beberapa faktor resiko lainnya yang berperan secara langsung akibat dari
persalinan seksio sesarea adalah ASI, dimana dari penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Osbern et al tahun 2007 bahwa ibu yang melahirkan secara seksio
18

sesarea biasanya jarang menyusui langsung bayinya setelah persalinan


kemungkinan akibat dari rasa tidak nyaman pasca operasi sehingga neonatus
terhambat mendapatkan ASI pertamanya, dan diketahui sebelumnya bahwa ASI
ikut berperan secara aktif untuk menghambat terjadinya sirkulasi enterohepatik
bilirubin pada neonatus.

II.1.2.2.3 Faktor Neonatus

a. Prematuritas.
Prematuritas seringkali berhubungan pada penyebab hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi pada neonatus. Aktifitas uridine difosfat glukoronil transferase
hepatik jelas menurun pada bayi prematur, sehingga konjugasi bilirubin tak
terkonjugasi menurun. Selain itu juga terjadi peningkatan hemolisis karena umur
sel darah merah yang pendek pada bayi prematur (Rustam, 2012). Penelitian yang
dilakukan oleh Michael Sgro 2009 di dapatkan 73 % bayi prematur mempunyai
kadar bilirubin serum yang tinggi, sehingga dapat disimpulkan bayi kurang bulan
atau prematuritas mempunyai faktor resiko hiperbilirubinemia pada neonatus
(Michael, 2009)
Bayi dengan kondisi prematuritas belum bisa mengeluarkan bilirubin secara
efektif sehingga resiko terjadinya hiperbilirubinemia pada bayi tinggi. Sedangkan
pada bayi cukum bulan atau bayi preterm kenaikan kadar bilirubin serum
cenderung lebih lambat dari cukup bulan.

b. Faktor genetik.
Defek enzim
1. Defisiensi glukosa-6-fosfat
Defisiensi Glucose-6-Phosphate dehydrogenase adalah defek enzim sel
darah merah yang paling sering terjadi. Gen G-6PD terletak pada kromosom x,
dan laki laki memiliki hemizygous penuh terhadap defisiensi G-6PD (IDAI, 2012)
2. Defisiensi piruvat kinase
Kondisi ini diwariskan secara resesif autosomal dan umumnya terjadi pada
keturunan eropa utara (Neonatologi, 2011)
19

c. Polisitemia.
Polisitemia adalah hematokrit yang terlalu tinggi (≥65%) dan
menyebabkan hipervisikositas yang menghasilkan gejala yang berhubungan
dengan stasis vaskular, hipoperfusi, dan iskemia (Medline,2012).

d. Obat
Obat-obatan seperti diazepam, oksitosin, chloramphenicol
dapatmenyebabkan anemia hemolitik akibat defisiensi G6PD. Pada anemia
hemolitik akan terjadi pemecahan sel darah merah yang berlebihan
sehinggajumlah bilirubin yang dihasilkan juga akan lebih banyak
(Mustarim,2013).

e. Rendahnya asupan ASI


Terdapat beberapa penelitian yang banyak mengatakan bahwa breast milk
jaundice merupakan faktor resiko yang banyak berpengaruh dalam terjadinya
hiperbilirubin pada neonatus. Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh
Tazami, dkk 2013 didapatkan neonatus dengan frekuensi pemberian ASI
<8kali/hari mempunyai resiko lebih tinggi mengalami hiperbilirubinemia di mana
didapatkan data dengan persentase 72% neonatus dengan frekuensi pemberian
ASI yang kurang resiko mengalami hiperbilirubinemia. Breast milk jaundice
dapat berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi tanpa bukti
terjadinya hemolisis pada minggu pertama kehidupan sampai kedua kehidupan.
Kadar bilirubin akibat breast milk jaundice jarang melebihi 20 mg/dL. Penurunan
ASI selama 1-2 hari dapat menurunkan kadar bilirubin pada neonatus dengan
cepat dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan setelah kembali menyusu.
ASI dapat mengandung inhibitor untuk proses konjugasi bilirubin dan
meningkatkan sistem sirkulasi enterohepatik bilirubin oleh glukoronidase di ASI.
Terdapat klasifikasi breast milk jaundice yang dibagi berdasarkan tipe onsetnya,
(Bhutani VK,2010) yaitu:
20

1. Early-onset breast-feeding jaundice


Early-onset breast-feeding jaundice merupakan penyebab terbanyak
terjadinya hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Breast-feeding jaundice muncul
pada minggu pertama kelahiran akibat kurangnya asupan kalori yang
menyebabkan terjadinya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Selain itu dehidrasi
ringan dan tertundanya pengeluaran mekonium juga dapat berdampak dalam
menimbulkan breast-feeding jaundice. Pemberian ASI yang baik dapat
menurunkan resiko hiperbilirubinemia. Bayi perlu diberi ASI setidaknya 8 sampai
13 kali pada hari pertama kelahiran untuk menigkatkan produksi ASI dan
persediaan ASI pada ibu. Untuk menilai keberhasilan menyusui dapat dilihat dari
produksi urin bayi, feses, dan berat badan. Untuk kasus yang menyebabkan
penurunan berat badan pada bayi dan lemas dapat diatasi dengan penambahan
formula untuk mengatasi penurunan berat badan pada bayi, urin yang sedikit, dan
asupan kalori yang rendah serta pengeluaran feses yang tertunda (Haris MC,2010)

2. Late-onset breast milk jaundice


Late onset breast milk jaundice biasanya terjadi pada hari ke enam sampai
hari ke empat belas setelah kelahiran dan biasanya menetap satu sampai tiga
bulan. Beberapa alasan yang menyebabkan breast milk jaundice telah disebutkan
diatas dan juga bisa disebabkan oleh kandungan yang ada di dalam ASI yaitu
betaglucoronidase dan non esterified fatty acids yang dapat menghambat
konjugasi bilirubin di hati. Breast milk jaundice merupakan penyebab paling
sering yang menimbulkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi tetapi jarang
menimbulkan cacat. Jika diagnosis dipertanyakan, proses menyusui dapat
diberhentikan selama 48 jam untuk mengamati apakah terjadi penurunan kadar
bilirubin serum. Puncak kadar bilirubin serum biasanya sekitar 12-20 mg/dL dan
harus turun 3 mg/dL per harinya. Jika penurunan terjadi, proses pemberian ASI
harus dilanjutkan (Kliegman, 2012)

II.1.2.3 Klasifikiasi
Hiperbilirubinemia pada bayi dapat di klasifikasikan menjadi ikterus non
patologis / ikterus fisiologis dan ikterus patologis (Lauer,2011)
21

a. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah hiperbilirubinemia yang terjadi setelah satu hari
kelahiran atau setelah 24 jam pertama setelah kelahiran dan dapat bertahan hingga
satu minggu (Alridjal, 2013). Ikterus fisiologis merupakan penyebab umum
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Ikterus fisiologis merupakan hasil dari
berbagai faktor fisiologis normal pada bayi baru lahir seperti: peningkatan
produksi bilirubin akibat peningkatan massa SDM, usia SDM yang pendek, dan
imaturitas hati dari logadin dan glukuroniltransferase (Nelson, 2011). Ikterus
fisiologis dapat berlebihan pada bayi keturunan Yunani dan Asia.
Gambaran klinis ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan meliputi kadar
bilirubin indirek puncak tidak lebih dari 12mg/dL pada hari ke-3 kehidupan.
Namun pada bayi prematur atau kurang bulan kadar bilirubin indirek puncak lebih
tinggi yaitu 15 mg/dL pada hari ke-5 kehidupan. Kadar puncak bilirubin indirek
selama periode ikterus fisiologis lebih tinggi pada bayi yang mendapat ASI dari
pada susu formula yaitu sekitar 15 sampai 17 mg/dL vs. 12 mg/dL. Kadar yang
lebih tinggi ini kemungkinan karena bayi kurangnya mendapatkan asupan cairan
pada bayi dengan ASI. Jumlah total serum bilirubin (TSB) mencapai puncak rata-
rata pada hari ke 3-5 setelah kelahiran dan penurunan terjadi dalam beberapa
minggu berikutnya.
Konsetrasi total serum bilirubin bervariasi, tergantung pada ras, jenis
makanan dan faktor genetik. Namun kadar total serum bilirubin menurun pada
usia 96 jam setelah kelahiran dengan konsentrasi TSB kurang dari 17 mg/dL
(290.8µmol/L), dengan kata lain kadar bilirubin diatas nilai 17 mg/dL bukan
disebut ikterus fisiologis melainkan ikterus patologis( Nelson, 2011)
Banyak alasan yang muncul yang menyebabkan timbulnya ikterus fisiologis pada
bayi yaitu:
a. Terjadinya peningkatan produksi bilirubin yang tinggi namun kurangnya
kemampuan untuk meneksresikan nya keluar tubuh.
b. Peningkatan bilirubin tersebut bisa diakibatkan karena tingginya peningkatan
hematokrit dan volume sel darah merah per berat badan dan juga masa hidup
eritrosit yang lebih singkat dari normal sekitar 70-90 hari.
22

c. Terbatasnya atau defisiensi enzim glucuronosyl transferase yang merupakan


enzim utama yang terlibat secara langsung dalam konjugasi bilirubin yang
memfasilitasi ekskresi dari tubuh.
Bayi dikatakan mengalama ikterus fisiologis jika memenuhi beberapa kriteria
dibawah ini, yaitu:
a) Timbulnya pada hari kedua atau ketiga, bukan pada hari pertama kelahiran.
b) Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10mg/dL pada neonatus cukup bulan.
c) Kecepatan peningkan kadar bilirubin tidak melebihi 5mg/dL perhari.
d) Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 1mg/dL
e) Ikterus pada neonatus dapat menghilang pada 10 hari pertama.
f) Tidak berkaitan dengan ikterus patologis.
Terdapat beberapa hal yang tidak menyangkut ikterus fisiologis, yaitu:
a) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b) Kadar bilirubin pada neonatus melebihi 10mg/dL pada neonatus cukup bulan
atau melebihi 12,5mg/dL pada neonatus kurang bulan.
c) Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg/dL per hari.
d) Ikterus menetap setelah 2 minggu pertama.
e) Kadar bilirubin indirek melebihi 1mg/dL
f) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

b. Ikterus Patologi
Ikterus patologi dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
1) Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi selalu bersifat patologis. Penyebab
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi biasanya akibat penyakit hemolitik,
perdarahan internal (sefalhematom, hematom hati atau limpa), atau dapat juga
karena infeksi. Hiperbilirubinemia patologi pada bayi baru lahir dapat dibagi
menjadi empat ketegori: a) penigkatan produksi kadar bilirubin, b) gangguan
konjugasi bilirubin, c) defisiensi pengambilan bilirubin oleh hati dan, d)
peningkatan sirkulasi enterohepatik.(Alridjal, 2013)
2) Hiperbilirubinemia terkonjugasi
23

Hiperbilirubin terkonjugasi atau biasa disebut hiperbilirubinemia direk


dimana level bilirubin > 2mg/dL atau 20% bilirubin total dan bukan bersifat
fisologis sehingga harus segera di evaluasi. Bilirubin direk tidak bersifat toksik
terhadap saraf bayi namun mengindikasikan penyakit penyebab yang serius
sebagai latar belakang kejadian tersebut, seperti kolestasis atau kerusakan
hepatoselular. Evaluasi diagnostik pada pasien dengan hiperbilirubinemia direk
melibatkan determinasi level enzim – enzim liver, kultur virus dan bakteri, tes
skrining metabolik, USG hepar, tes klorida keringat dan terkadang biopsi
liver.Apabila terdapat feses dempul (putih-keabuan) dengan jaundice setelah
minggu ke-2 kehidupan maka sangat mingkin dicurigai adanya atresia bilier.
Penanganan dari kasus hiperbilirubinemia direk tergantung dari penyakit yang
melatarbelakanginya. Penyakit – penyakit tersebut biasanya tidak merespon
terhadap fototerapi atau transfusi tukar (IKA, 2012).

II.1.2.4. Patofisiologi
Terdapat empat mekanisme umum yang menyebabkan terjadi
hiperbilirubinemia pada neonatus (Sylvia, 2012):
1. Pembentukan bilirubin yang berlebih
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati.
3. Gangguan konjugasi bilirubin.
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor
intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh
obstruksi mekanis.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga
mekanisme pertama, sedangkan mekanisme keempat terutama menyebabkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi.
(a)Pembentukan bilirubin berlebihan.
Penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan
penyebab tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang
timbul sering disebut sebagai ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen
empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui
kemampuan hati. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin tak
24

terkonjugasi dalam darah. Meskipun demikian, pada penderita hemolitik berat,


kadar bilirubin serum jarang melebihi 5mg/dL dan ikterus yang timbul bersifat
ringan serta berwarna kuning pucat. Bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam
air, sehingga tidak dapat diekskresi dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria.
Namun demikian terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat
peningkatan beban bilirubin terhadap hati dan peningkatan konjugasi serta
ekskresi), yang selanjutnya meningkatkan peningkatan ekskresi dalam feses dan
urine. Urine dan feses berwarna lebih gelap (Tekinalp,2010).
Beberapa penyebab lazim ikterus hemolitik adalah hemoglobin abnormal
(hemoglobin S pada anemia sel sabit), eritrosit abnormal (sferositosis herediter),
antibodi dalam serum (inkompatibilitas ABO atau Rh serta akibat penyakit
hemolitik autoimun) pemberian obat , dan peningkatan hemolisis. Sebagian kasus
ikterus hemolitik dapat disebabkan oleh suatu proses yang disebut sebagai
eritropoesis yang tidak efektif. Proses ini meningkatkan destruksi eritrosit atau
prekusornya dalam sumsum tulang (talasemia, anemia pernisiosa, dan porfiria).
Pada orang dewasa,pembentukan bilirubin berlebihan yang berlangsung
kronis dapat menyebabkan terbentuknya batu empedu yang mengandung sejumlah
besar bilirubin; di luar itu, hiperbilirubinemia ringan umumnya tidak
membahayakan. Pengobatan langsung ditujukan untuk memperbaiki penyakit
hemolitik. Akan tetapi kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20mg/dL
pada bayi dapat menyebabkan terjadinya kernikterus. (Nelson, 2010)

(b)Gangguan pengambilan bilirubin


Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi terikat oleh albumin oleh sel hati
dilakukan dengan memisahkan dan meningkatkan bilirubin terhadap protein
penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti berpengaruh dalam ambilan
bilirubin oleh hati, sebagai contoh asam flavaspidat (dipakai untuk mengobati
cacing pita), novobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus biasanya menghilang bila obat
pencetus dihentikan (IDAI, 2012).
25

(c)Gangguan Konjugasi Bilirubin


Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan (<12,9 mg/dL) yang timbul
pada hari kedua dan kelima setelah lahir disebut sebagai ikterus fisiologis.
Keadaan kernikikterus pada bayi dapat terjadi apabilan kadar bilirubin pada bayi
lebih dari 20mg/dL, hal ini disebabkan karna defisiensi glukoronil transferase dari
proses hemolitik pada bayi dimana terjadi penimbunan bilirubin tak terkonjugasi
pada daerah ganglia basalis yang banyak mengandung lemak, hal tersebut dapat
mengakibatkan kematian atau neorologis yang berat. Segera lakukan penanganan
khusus untuk mengatasi hiperbilirubinemia pada neonatus, salah satunya adalah
fototerapi, dimana bayi akan disinari dengan sinar fluoresen ( panjang gelombang
430 sampai 470 nm) pada kulit bayi. Penyinaran pada bayi ini akan
mengakibatkan perubahan struktur bilirubin menjadi isomer terpolarisasi yang
larut dalam air, dimana isomer akan dieksresikan ke dalam empedu tanpa harus di
konjugasikan terlebih dahulu (Meisels, 2011)
Beberapa gejala klinis yang disebabkan akibat defisiensi enzim
glukoronilo transferase adalah: sindrom Gilbert dan sindrom Crigler-Najjar tipe 1
dan tipe II. Sindrom Gilbert merupakan suatu gejala yang dicirikan dengan ikterus
dan hiperbilirubinemia yang tak terkonjugasi ringan yang kronis. Ikterus pada
sindrom Gilbert dapat diperberat dengan berbagai kondisi seperti infeksi, stres,
operasi dan asupan alkohol (Isselbacher, 1998). Pada saat remaja sindrom Gilbert
sering terjadi. Untuk penanganan klinis pada sindrom Gilbert dapat dilakukan
dengan pemberian fenobarbital untuk merangsang aktivitas glukoronil transferase.
Sindrom Crigler-Najjar tipe I merupakan gangguan herediter yang jarang
terjadi. Penyebabnya dari sindrom Crigle-Najjar akibat gen resesif, dengan tidak
adanya glukoronil transferase sama sekali sejak lahir. Oleh karena itu tidak terjadi
konjugasi bilirubin sehingga empedu tidak berwarna dan kadar bilirubin tak
terkonjugasi melampaui 20 mg/100 ml hal tersebut dapat terjadi kernikterus.
Penangan sindrom crigler najjar dapat dilakukan dengan fototerapi, dan juga
pemberian fenobarbital untuk merangsang enzim glukoronil transferase dan
menghilangkan serta menurunkan ikterus pada neonatus (Michael, 2006).
26

(d)Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi


Bilirubin terkonjugasi larut dalam air sehingga dapat dieksresi dalam urin
dan mengakibatkan urine yang gelap. Terjadi penurunan urobilinogen feses dan
urobilinogen urine yang mengakibatkan feses terlohat pucat. Ikterus akibibat
hiperbilirubinemia terkonjugasi ditandai perubahan kulit menjadi warna lebih
kuning dari ikterus akibat hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna
dari oranye-kuning muda atau tua sampai kuning hijau muda atau tua diakibatkan
bila terjadi obstruksi total dari aliran empedu yang disebut dengan ikterus
kolestatik atau disebut juga ikterus obstruktif . akibat dari penurunan bilirubin
terkonjugasi dapat mengakibatkan kolesitas yang bersifat intrahepatik dan
ekstrahepatik yang dapat menyebabkan gangguan biokimia pada tubuh (Nelson,
2012)
Penyebab kolesitasis intrahepatik adalah penyakit hepatoselular dengan
kerusakan sel parenkim hati akibat hepatitis virus atau berbagai jenis sirosis.
Sedangkan kolestasis ekstrahepatik akibat sumbatan batu empedu, biasanya
duktus koledokus (IDAI, 2012)
1) Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan
pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan
khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya.
A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
1. Inkompatibilitas darah Rh, AB0 atau golongan lain.
2. Infeksi intrauterin (oleh virus, toxoplasma, dan kadang-kadang bakteri).
3. Kadang-kadang oleh defisiensi G6PD.
B. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
1. Biasanya ikterus fisiologis.
2. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau
golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin
cepat, misalnya melebihi 5 mg% per 24 jam.
3. Defisiensi enzim G6PD juga mungkin.
27

4. Polisitemia
5. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan
hepar subkapsuler dan lain-lain).
6. Hipoksia
7. Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain.
8. Dehidrasi asidosis
9. Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
C. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
1. Biasanya karena infeksi (sepsis)
2. Dehidrasi asidosis
3. Defisiensi enzim G6PD
4. Pengaruh obat
5. Sindrom Crigler-Najjar
6. Sindrom Gilbert
D. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
1. Biasanya karena obstruksi
2. Hipotiroidisme
3. “Breast milk jaundice”
4. Infeksi
5. Neonatal hepatitis
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
a. Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala
b. Pemeriksaan darah tepi
c. Pemeriksaan penyaring G6PD
d. Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab
2) Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan
selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi
berkembang menjadi kernikterus. WHO dalam panduannya menerangkan cara
menentukan ikterus dari inspeksi, sebagai berikut:
- Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari
denga cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat
28

dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang
kurang.
- Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.
- Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh
yang tampak kuning.

3) Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan


diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya
intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini
merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan
morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total.
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar
bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.

Tabel 1.Hubungan Kadar Bilirubin (mg/dL) dengan Daerah Ikterus Menurut


Kramer.

Daerah Penjelasan Kadar bilirubin


Ikterus (mg/dL)
Prematur Aterm
1 Kepala dan leher 4-8 4-8
2 Dada sampai pusat 5-12 5-12
3 Pusat bagian bawah sampai lutut 7-15 8-16
4 Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu sampai 9-18 11-18
pergelangan tangan
5 Kaki dan tangan termasuk telapak kaki dan >10 >15
telapak tangan
(Sumber: Arif Mansjoer.Kapita Selekta Kedokteran jilid 2, Edisi III Media Aesculapius FK UI.2007:504)

II.1.2.5. Penatalaksanaan
29

Pada bayi yang mengalami ikterus atau hiperbilirubinemia pada neonatus


adalah sebagai berikut (American Academy of Pediatrics, 2004):
(a)Penggunaan farmakoterapi.
Pengunaan farmakoterapi pada bayi hiperbilirubinemia bertujuan untuk
merangsang induksi enzim-enzim hati dan protein pembawa yang akan
mempengaruhi pengancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin dalam usus
halus sehingga reabsorpso enterohepatik menurun, antara lain:

(1)Imunoglobulin intravena
Banyak digunakan pada bayi yang mengalami hiperbilirubinemia
akibat inkompatibilitas Rh dan ABO, pengobatan bertujuan untuk menekan
hemolisis isoimun dan menurunkan transfusi ganti.
(2)Fenobarbital
Tujuan dari terapi farmakoterapi dengan fenobarbital adalah untuk
merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPGT dan ligadin serta dapat
meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin.

(3)Metalloprotoporphyrin
Metalloprotoporphyrin efektif penggunaanya sebagai indikator
kompetitif dari heme oksigenase, yang akan berfungsi untuk katabolisme
heme menjadi biliverdin.

(4)Inhibitor β-glukuronidase
Penggunaan terapi dengan menggunakan inhibitor β-glukuronidase
dapat mengakibatkan penurunan reabsorbsi enterohepatik.

(b)Foto terapi
Foto terapi adalah terapi dengan menggunakan sinar blue-green spectrum
(panjang gelombang 430-490 nm). Bila konsentrasi bilirubin tidak menurun atau
cenderung naik pada bayi bayi yang mendapat foto terapi, kemungkinan besar
terjadi proses hemolisis.
(c)Transfusi tukar
30

Terapi dengan transfusi tukar segera dilakukan apabila bayi menunjukan


gejala enselopati akut (hipertoni, arching, rectrocollis, opistotonus, high pitch cry,
demam) atau bila kadar bilirubin total ≥ 5 mg/dL diatas garis patokan
Penatalaksanaan bayi dengan hiperbilirubinemia menurut Buku Ajar
Neonatologi 2012:
Lakukan fototerapi intensif dan atau transfusi tukar sesuai indikasi.
 Lakukan pemeriksaan laboratorium
 Bilirubin total dan direk
 Golongan darah (ABO, Rh)
 Test antibodi direct (Coombs)
 Serum albumin
 Pemeriksaan darah tepi lengkap dengan hitung jenis dan morfologi
 Jumlah retikulosit.
 ETCO (bila tersedia)
 G6PD (bila terdapat kecurigaan(berdasarkan etnis dan geografis) atau
respon terhadap foto terapi kurang)
 Urinalisis
 Bila anamesis dan atau tampilan klinis menunjukan kemungkinan
sepsis lakukan pemeriksaan kultur darah, urine, dan liquor untuk protein,
glukosa, hitung sel dan kultur.
 Tindakan:
 Bila bilirubin toral ≥ 25 mg atau ≥ 20 mg pada bayi sakit atau bayi <38
minggu, lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross match pada
pasien yang akan direncanakan transfusi ganti
 Pada bayi dengan penyakit otoimun hemolitik dan kadar bilirubin total
meningkat walau telah dilakukan foto terapi atau dalam 2-3 mg/dL
kadar transfusi ganti, berikan imunoglobulin intravena 0,5-1 g/kg
selama 2 jam dan boleh diulang bila perlu 12 jam kemudian.
 Pada bayi yang mengalami penurunan berat badan lebih dari 12% atau
secara klinis atau bukti secara biokimia menunjukan tanda dehidrasi,
dianjurkan pemberian susu formula atau ASI tambahan. Bila pemberian
31

peroral sulit dapat diberikan secara intarvena.


 Pada bayi mendapat foto terapi intensif
 Pemberian minum dilakukan setiap 2-3 jam
 Bila bilirubin total ≥25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam
2-3 jam.
 Bila bilirubin total 20-25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam
3-4 jam, bila <20mg/dL diulang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total terus
turun periksa ulang dalam 8-12 jam
 Bila kadar bilirubin total tidak turun atau malah mendekati kadar
transfusi tukar atau perbandingan bilirubin total dengan albumin
(TSB/albumin) meningkat mendekati angka untuk transfusi tukar maka
lakukan transfusi ganti.
 Bila kadar bilirubin total kurang dari 13-14 mg/dL foto terapi
dihentikan
 Tergantung kepada penyebab hiperbilirubinemia, pemeriksaan
bilirubin ulangan boleh dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang
untuk melihat kemungkinan terjadinya rebound.

II.2. Kerangka Teori


32

Faktor Faktor neonatus¹


Faktor 1Maternal¹
perinatal¹

Ras Komplikas Angka Trauma Infeksi Prematurita Faktor polisitema Asupan


Jenis
i paritas Lahir¹ persalinan¹ SEPSIS¹ s³ genetik ASI
Kehamilan Kurang
¹
¹
primipara Persalinan Invasi
DMG spontan mikroorganisme
Menurunnya
Aktivasi
Inkompatibilitas
Terganggun UDPGT²
ABO dan Rh³
ya eksresi
bilirubin
Resistensi -dengan ekstraksi vakum
insulin² -ketuban pecah dini Umur
-persalinan yang dipaksa sel
-Usia Ibu >25 tahun darah
Peningkatan
Respon -Resiko melahirkan bayi merah
bilirubin
β-sel BBLR pendek²
conjugated
Reaksi
hemolisis
intravaskular²

Reaksi Ag
dan Ab¹

Hemolisis

Menurunnya Penurunan
inhibitor sirkulasi
proses entero
konjugasi hepatik
bilirubin

Peningkatan kadar bilirubin indirect dan direct


Variabel independent yang dieliti

HIPERBILIRUBINEMIA
Bagan 1. Kerangka teori
NEONATUS
II.3.
Sumber Kerangka
: ¹ Kosim Konsep
MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi. Edisi 1. Jakarta: IDAI. 201.h.14769.
² Crow, Marry K., Doroshow, James H., Drazen,Jeffrey M. 2012. Goldman-Cecil Medicine. Avaible from
https://www.clinicalkey.com/#!/topic/hyperbilirubinemia (Diakses: 01 September 2015).
1 ³ Madan A, Macmahon JR, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, Gleason CA,
penyunting. Avery’s Diseases of the Newborn. Edisi ke-8. Philadelphia: WB Saunders co, 2005.h. 1226-53
33

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan


antara variabel yang akan diukur atau diamati dengan penelitian yang akan
dilakukan:

Variabel Independent

Faktor Maternal: Variabel Dependent


 Komplikasi Kehamilan
(DM, Inkompatibilitas  Tingkat Kejadian
ABO) Hiperbilirubinemia
 Angka Paritas Neonatus
Faktor Perinatal:
 Trauma Lahir
 Infeksi
 Jenis Persalinan
Faktor Neonatus:
 Prematuritas
 Pemberian ASI
II.4. Hipotesis

II.4 Hipotesis Penelitian


H0: Tidak ada hubungan faktor maternal, faktor perinatal, dan faktor neonatus
terhadap tingkat kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus.
H1:Ada hubungan antara faktor maternal, faktor perinatal, dan faktor neonatus
terhadap tingkat kejadianhiperbilirubinemia pada neonatus.

II.5 Penelitian Terdahulu


34

Tabel: 2
Penelitian Terdahulu
Nama Penelitian Variabel Variabel Design Uji Hasil
Independen Dependen Penelitian Statistik penelitian

Rifqi Korelasi  Jenis persalinan Hiperbilirubi Analitik Chi-Square Prevalensi


Alridjal Angka Paritas,  Angka paritas nemia korelatif hiperbilirubinemia
(2014) Pemberian  Pemberian ASI Neonatorum dengan pada bayibaru lahir di
ASI Pertama, Pertama Cross RS Pelni sebesar 42,3%
Prematuritas  Prematuritas Sectional dengan faktor resiko
dan Jenis ibu primipara,
Persalinan pemberian ASI pada
Dengan hari ketiga dan
Hiperbilirubin keempat, bayi
emia Neonatus prematur, dan jenis
di RS Pelni persalinan seksio
Petamburan, sesarea sebesar 37,5% .
Jakarta
Periode
Januari-
Desember
2013

Reisa Gambaran Faktor Resiko Kejadian Prospektif Deskriptif Prevalensi


Maulidya faktor Resiko Ikterus Ikterus deskriptif hiperbilirubinemia
Tazami Ikterus Neonatorum pada neonatus di
(2013) Neonatorum RSUD Raden Mattaher
pada neonatus Jambi tahun 2013
di Ruang sebesar 49 neonatus
perinatologi (13,2%), dengan
RSUD Raden neonatus jenis kelamin
Mattaher laki laki (69,8%),
Jambi Tahun prematuritas (51,2%),
2013 Asi yang kurang (72%)

Nailul Faktor Resiko Neonatus Kejadian Observasio uji Chi- Dari 244 neonatus
Khusna Neonatus bergolongan darah Hiperbilirubi nal Square test terdapat 19 neonatus
(2013) Bergolongan A atau B dari Ibu nemia Analitik (7,8%) yang
Darah A atau bergolongan darah dengan mengalami
B dari Ibu O Cross hiperbilirubinemia. ,
bergolongan Sectional terdiri dari 5 (10, 9%)
Darah O neonatus bergolongan
Terhadap darah A, 7 (14,3
Kejadian %) neonatus
Hiperbilirubin bergolongan darah B,
emia dan 7 (4,7%) neonatus
bergolongan darah O.
Neonatus bergolongan
darah A bukan
merupakan faktor
risiko
hiperbilirubinemia
(p= 0,128 ; OR= 2,47 ;
CI= 0,75-8,21).
35

Aniesah Hubungan Inkompatibilitas Angka Analitik Chi-square Jumlah total


(2011) Inkompatibilit ABO kejadian Abservasio inkompatibilitas ABO
as ABO hiperbilirubi nal dengan yang mengalami
Dengan nemia pada cross hiperbilirubin
Angka bayi baru sectional sebanyak 31 orang
Kejadian lahir (11,4%) dari 272 orang
Hiperbilirubin
Pada Bayi
Baru Lahir di
RS Nirmala
Suri
Sukoharjo

Rizky Faktor Resiko  ASI Kejadian Observasio Uji Chi- Dari 2302 neonatus ,
Amalia Hiperbilirubin  Ketuban Pecah hiperbilirubi nal dengan Square dan sebanyak 507,50%
Putri emia Pada Dini nemia pendekatan Fisher neonatus yang sesuai
(2013) Neonatus  Infeksi pada Cross dengan kriteria
Ibu Sectional inklusi , ASI
merupakan faktor
protektif terjadinya
hiperbilirubinemia
pada
neonatus (p=0,002 ; RP
= 0,309 ; 95% CI =
0,140-0,680 ). Ketuban
pecah dini
(KPD), infeksi pada ibu
, dan air ketuban keruh
tidak memiliki
hubungan secara
statistik (p > 0,05) dan
bukan faktor risiko
hiperbilirubinema pada
neonatus sehat
aterm yang vigorous.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik. Penelitian analitik
adalah penelitian yang bertujuan untuk mencari hubungan sebab akibat. Desain
penelitian ini menggunakan desain penelitianpotong lintang. Penelitian potong
lintang merupakan penelitian yang dilakukan hanya pada satu periode tertentu dan
hanya dilakukan satu kali pengamatan objek studi (Sastroasmoro dan Sofyan,
36

2010, p.127). Variabel independentyaitu faktor maternal (komplikasi kehamilan,


angka paritas), faktor perinatal (trauma lahir, infeksi, dan jenis persalinan), dan
juga faktor neonatus (prematuritas, dan pemberian ASI pertama), sedangkan
untuk variabel dependentyaitu kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus,
kemudian data yang terkumpul dari kedua kelompok tersebut dianalisis untuk
mencari perbedaan hasil tindakan.

III.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dimulai dari bulan Januari-Desember 2015 di RSIA
Evasari.

III.3. Populasi Penelitian


III.3.1. Populasi Target
Populasi target merupakan sasaran akhir penerapan hasil penelitian
(Sastroasmoro, 2011). Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh
neonatus dilahirkan di RSIA Evasari.
III.3.2. Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau adalah bagian populasi target yang dapat dijangkau oleh
peneliti (Sastroasmoro, 2011). Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah
seluruh neonatus dengan hiperbilirubinemia dilahirkan di RSIA Evasari, periode
Januari-Desember 2015.

III.4. Sampel Penelitian


Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga
dianggap mewakili populasinya (Sastroasmoro,2011). Penghitungan besar sampel
pada penelitian ini adalah sebagian dari populasi kasus, yaitu sebagian neonatus
yang mengalami hiperbilirubinemia di RSIA Evasari periode Januari-Desember
2015.
Penentuan besar sampel:
Sesuai dengan jenis penelitian yang dilakukan yaitu penelitian analitik kategorik
tidak berpasangan hal tersebut berdasarkan ( Sopiyudin, 2012) dimana syarat
37

menggunakan rumus besar sampel analitik kategorik tidak berpasangan adalah


bila kedua variabel berskala nominal bukan numerik. Pada penelitian ini kedua
variabel bebas dan variabel terikat merupakan variabel dengan skala nominal
kategorik sehingga uji besar sampel yang digunakan adalah analitik kategorik
tidak berpasangan, maka rumus besar sampel yang digunakan adalah:
Z α √2 PQ+ Zβ √ P Q
n1 =n2= ( P1 −P 2
1 1+ P2 Q 2

) ²

Zα = deviat baku alfa


Zβ = deviat baku beta
P2 =proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
Q2 =1- P2
P1 = proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement
peneliti
Q1 = 1- P1
P1−P2= selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna
P =proporsi total = (( P ¿ ¿ 1+ P2)/2 ¿
Q = 1-P
Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, hipotesis dua arah , sehingga Z α=1,96
dengan tingkat kemaknaan 95%
Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20%, maka Z β =0,84.

Berdasarkan penelitian serupa oleh Rifqi Alridjal tahun 2014 yaitu


mengenai korelasi angka paritas, pemberian ASI pertama, Prematuritas dan jenis
persalinan dengan hiperbillirubinemia neonatus di RS Pelni Petamburan Jakarta,
kemudian penelitian oleh Anniesah (2012) mengenai hubungan inkompatibilitas
ABO dengan angka kejadian hiperbilirubin pada bayi baru lahir di RS Nirmala
Suri Sukoharjo, dan juga penelitian oleh Reisa Maulidya Tazami (2013) mengenai
gambaran faktor resiko ( prematuritas, jenis persalinan, infeksi, trauma lahir) pada
neonatus yang mengalami hiperbilirubinemia pada neonatus di RSUD Raden
Mattaher Jambi. Didapatkan dari semua penelitian serupa dengan variabel yang
paling berpengaruh terhadap kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus adalah
prematuritas.
38

Tabel 3. Tabel perhitungan Analisis Bivariat antara Prematuritas dengan


Neonatus Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia
Usia Gestasi Ya Tidak Jumlah r P
N % N % N %
Beresiko 47 91 5 8 52 100 0,560 0,000
(<367 minggu)
Tidak Beresiko 28 19 120 81 148 100
(>37 minggu)
Jumlah 75 125 200
(Rifqi, 2014)

Berdasarkan penelitian penelitian sebelumnya maka dapat di simpulkan


nilai nilai dari rumus perhitungan besar sampel penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Zα= 5% dengan tingkat kemaknaan 95%  1,96
Zβ= 20%, derivat baku dengan kekuatan uji penelitian 80%  0,84
P1= (a/a+b)= (47/47+5)= 0,90
P2 = (c/c+d) = (28/28+120) = 0,18
P= (P1+P2)/2  0,54
Q1 = 1-P1= 0,1
Q2 = 1-P2= 0,82
Q = 1-P 0,46
P1-P2 = 0,72
Pada penelitian ini di dapatkan jumlah sampel:

Z α √2 PQ+ Zβ √ P Q
n1 =n2= ( P1 −P 2
1 1+ P2 Q 2

) ²

( 1,96 √2 x 0,54 x 0,46+ 0,84


0,72
√ 0,90 x 0,1+0,18 x 0,82 ²
)
N= 62,84  63 sampel
Maka N=n x 2= 126
39

Untuk mengantisipasi terjadinya drop out maka jumlah sampel


ditambahkan sebanyak 10% dari total sampel yaitu menjadi:
126+10%=126+12,6= 138,6 sampel  dibulatkan menjadi 139 sampel.

III.5.1 Kriteria Inklusi


a. Catatan rekam medik neonatus dengan hiperbilirubinemia yang lengkap.
b. Catatan rekam medik ibu dengan neonatus yang mengalami hiperbilirubinemia
yang lengkap.
c. Catatan lengkap ibu dengan riwayat persalinan, riwayat komplikasi kehamilan
(Diabetes melitus) disertai kelengkapan pemeriksaan penunjang.
d. Neonatus dengan hiperbilirubinemia lebih dari 7 hari.
e. Neonatus bukan dengan hiperbilirubinemia fisiologis

III.5.2. Kriteria Eksklusi


a. Neonatus dengan anomali kongenital ( Sindrom Gilbert, defisiensi G6PD), ,
infeksi Duffy, thalasemia.
b. Neonatus dengan hiperbilirubinemia fisiologis.

III.6 Teknik Sampling


Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi objek penelitian. Untuk
design penelitian cross sectionaldilakukan simple random sampling yaitu teknik
penentuan sampel dengan memberi kesempatan yang sama pada setiap anggota
populasi untuk menjadi anggota sampel kemudian proses pemilihan sejumlah
sampel n dari populasi N yang dilakukan secara random.

III.7. Variabel Penelitian


Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian dari
suatu penelitian.

III.6.1. Variabel Independent


40

Variabel independent atau variabel bebas merupakan variabel yang berubah


dan diduga mempengaruhi nilai dari variabel terikat atau variabel tergantung
(Sastroasmoro,2011).
Variabel independent dalam penelitian ini adalah faktor maternal
(komplikasi kehamilan, angka paritas), faktor perinatal (trauma lahir, jenis
persalinan, dan infeksi), dan faktor neonatus (prematuritas, dan pemberian ASI).

III.6.2. Variabel Dependent


Variabel dependent atau variabel terikat merupakan variabel yang nilainya
akan berubah dengan perubahan variabel bebas (Sastroasmoro,2011). Variabel
dependent dalam penelitian ini adalah tingkat kejadian hiperbilirubinemia pada
neonatus di RSIA Evasari.

III.7 Definisi Operasional


Definisi operasional adalah batasan variabel-variabel penelitian yang akan
diamati dan bermanfaat untuk mengarahkan pada pengukuran atau pengamatan
terhadap variabel yang bersangkutan serta pengambilan instrumen alat ukur.

Tabel 4. Definisi Operasional


No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Operasional
1. Hiperbilirubinemi Melihat Data Hasil 1: TSB 1- Nominal
a Neonatorum peningkatan Total pemeriksaan pemeriksaan 10mg/dL
Bilirubin Serum penunjang penunjang
(TSB) 1-10 mg/dL yang yang 2:TSB 10 - >20
atau 10- > 20 mg/dL mencangkup mencangkup mg/dL
pada kadar kadar
neonatusdengan bilirubin bilirubin
jangka waktu > 1 serum, jangka serum, jangka
41

minggu atau sudah waktu waktu


melalui jangka terpajan. terpajan.
waktu
hiperbilirubinemia
fisiologis yaitu
TSB< 5 mg/dL
dalam waktu < 1
minggu.
2. Komplikasi Melihat Data Hasil 1: Diabetes Nominal
kehamilan pemeriksaan pemeriksaan pemeriksaan Melitus
( Diabetes penunjang yang penunjang penunjang 2:Inkompatibilitas
Gestasional dan mencangkup yang yang ABO
Inkompatibilitas glukosa puasa> 126 mencangkup mencangkup
ABO) mg / dl atau glukosa glukosa puasa glukosa puasa
2 jam adalah> 140 atau glukosa 2 atau glukosa 2
mg / dl dan melihat jam dan juga jam dan
pemeriksaan melihat pemeriksaan
penunjang golongan pemeriksaan penunjang
darah ibu (O) penunjang golongan
dengan neonatus golongan darah ibu (O)
(A,B) darah ibu (O) dengan
dengan neonatus
neonatus (A,B)
(A,B)
3. Angka Paritas Melihat riwayat Data riwayat Hasil riwayat Nominal
paritas ibu melalui paritas Ibu paritas ibu 1: primipara.
riwayat selama melalui melalui
persalinan riwayat riwayat 2: bipara dan
selama selama multipara.
persalinan. persalinan.
4. Trauma lahir Melihat Data Hasil Nominal.
pemeriksaan selama pemeriksaan pemeriksaan 0: tidak ada
persalinan apa selama selama trauma lahir.
terjadi trauma lahir persalinan persalinan
(Sephalohematoma) berupa ada berupa ada 1: mengalami
atau tidak. atau tidaknya atau tidaknya trauma lahir.
trauma lahir trauma lahir
selama selama
persalinan. persalinan.
5. Infeksi Melihat Data Hasil Nominal
pemeriksaan pemeriksaan pemeriksaan 0: Tidak
penunjang seperti penunjang penunjang terinfeksi
pemeriksaan seperti seperti
laboratorium darah. pemeriksaan pemeriksaan 1: Terinfeksi
42

laboratorium laboratorium
darah. darah.
6. Jenis Persalinan Melihat riwayat Data riwayat Hasil riwayat Nominal.
persalinan yaitu persalinan persalinan 0: Spontan.
secara spontan atau yaitu secara yaitu secara
seksio sesarea spontan atau spontan atau 1: Seksio Sesaria.
melalu data rekam seksio sesarea seksio
medik. sesarea.

7. Prematuritas Melihat riwayat Data riwayat Hasil riwayat Nominal


persalinan yaitu usia persalinan persalinan 0: Usia gestasi <
gestasi yang terjadi berupa usia berupa usia 37 minggu.
pada kehamilan gestasi. gestasi.
kurang dari 37 1: usia gestasi
minggu (antara20- >37 minggu.
37minggu )
8. Pemberian ASI Melihat riwayat Data riwayat Hasil riwayat Nominal
frekuensi pemberian frekuensi frekuensi 0:< 48 jam.
ASI pertama setelah pemberian pemberian 1:>48 jam.
persalinan ASI pertama ASI pertama
setelah setelah
persalinan. persalinan

III.8 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mendapatkan data
penelitian. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan data sekunder dengan
mengumpulkan data dari rekam medis bayi yang dilahirkan di Rumah Sakit RSIA
Evasari periode Januari-Desember 2015. Pelaksanaan pencatatan data rekam
medik dilakukan oleh peneliti.

III.9. Protokol dan Alur Penelitian


III.9.1. Protokol Penelitian
Protokol penelitian ini dibagi menjadi 4 tahap, yaitu:
a. Pra Penelitian
Meliputi pembuatan proposal, sidang praproposal, mengajukan surat
permohonan izin penelitian kepada Kepala Direktur Rumah Sakit RSIA
Evasari.
b. Penelitian
43

Saat melakukan penelitian, peneliti bekerja sama dengan petugas rekam


medis di RSIA Evasari.
c. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang sudah terkumpul dari hasil penelitian selanjutnya akan
dianalisis secara univariat, bivariat, dan multivariat dengan menggunakan
sistem komputerisasi software program statistic.
d. Laporan
Hasil dari data yang sudah di analisis dibuat dalam bentuk yang mudah
dipahami dalam diagram dan tabel distribusi frekuensi serta dalam bentuk
laporan yang mudah dipahami.

III.10. Alur Penelitian

Identifikasi dan Perumusan Masalah

Menemukan tujuan penelitian

Menentukan lokasi dan populasi penelitian

Menentukan subjek penelitian dan besar sampel

Menentukan teknik sampling

Pengumpulan data dengan data sekunder berupa rekam medik


44

Pengolahan data dilakukan dengan program statistik

Hasil dan Kesimpulan

Bagan 3. Alur Penelitian.

III.11. Pengolahan Data


a. Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan proses mengartikan data data lapangan sesuai
dengan tujuan, rancangan, dan sifat penelitian. Langkah-langkah yang harus
dilakukan dalam pengolahan data adalah:
1) Editing (pengeditan)
Dilakukan pemeriksaan atau pengecekan data rekam medis untuk
memperbaiki kualitas data dan mengetahui kelengkapan data yang diperlukan.
2) Coding ( Pengkodean)
Memberi angka-angka atau kode-kode tertentu untuk memudahkan
pengolahan data.
3) Processing (pemprosesan)
Processing adalah memproses data agar data dapat dianalisis. Memasukan
atau entry data rekam medis sesuai kode-kode yang telah ditemukan untuk
masing-masing variabel melalui program statistik dalam komputer.
4) Cleaning (pembersihan)
Merupakan analisis data awal, dimana dilakukan pengurutan dan
penyederhanaan data sehingga data mudah diinterpretasikan. Cleaning adalah
tahapan untuk pengecekan kembali data yang sudah dimasukan apakah ada
kesalahan atau tidak.

III.12. Analisis Data


Analisa data dilakukan dengan program komputer perangkat lunak
komputer.Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis secara univariat,
bivariat, dan multivariat.
45

III.12.1 Analisis Univariat


Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian.
Pada umumnya analisa ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari
setiap variabel. Menurut Notoatmodjo (2005), persentase dibuat dengan rumus
sebagai berikut :
x
P¿ X 100 %
n
Keterangan :
P : Persentase
x : Hasil objek yang diteliti
n : Jumlah seluruh objek yang diteliti

III.12.2 Analisis Bivariat


Analisa bivariat merupakan analisis data yang dilakukan terhadap dua
variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2013).
Analisa ini dilakukan untuk menentukan hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen yaitu tingkat kejadian hiperbilirubinemia
pada neonatus
Untuk menentukan hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen dilakukan dengan uji statistik Chi-square dengan derajat kepercayaan
yang di pakai adalah 95% dengan ketentuan jika probabiltas (p Value)>0,05
maka H0 gagal ditolak sedangkan jika probabilitas (pValue)<0,05 maka H0 di
tolak. Uji statistik Chi square merupakan salah satu uji statistik non-parametrik
dengan menggunakan dua variabel, dimana skala data dari kedua variabel tersebut
adalah nominal atau untuk menguji perbedaan dua atau lebih proporsi sampel.
Apabila nilai dari expected kurang dari 5 ( E < 5) maka tidak memenuhi syarat
untuk menggunakan uji Chi-Square sehingga uji yang digunakan menggunakan
uji Fisher. Pada uji Chi-Squaremenggunakan rumus:

(O−E)²
x 2= ∑
E
46

Keteragan:
x²= Chi square
O= frekuensi observasi
E = frekuensi harapan

a. Jika p value < 0.05, maka Ho ditolak dan H1 diterima, yang berarti ada
hubungan antara variabel independent dan variabel dependent.
b. Jika p value > 0.05, maka Ho diteima dan H1 ditolak, yang berarti tidak ada
hubungan antara variabel independent dan variabel dependent.

III.12.3 Analisis Multivariat


Analisa multivariat adalah analisa untuk menguji hubungan antara variabel
independen (faktor maternal, perinatal, dan neonatus) dan variabel dependen
(tingkat kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus) secara bersama–sama dengan
menggunakan analisa Regresi Logistik (Regresi Regression), dengan tingkat
kemaknaan p<0.05. syarat dari regresi logistik adalah untuk menguji variabel
kategorik, apabila salah satu variabel numerik atau kedua variabel berskala
numerik maka analasi yang digunakan adalah analisis Regresi Linier. Untuk
mengetahui variabel atau faktor yang dominan mempengaruhi variabel terikat
dilihat dari nilai koefisien regresi (β), sedangkan nilai cox & Snell R Square
dilihat untuk mengetahui besarnya pengaruh semua variabel bebas secara bersama
– sama terhadap variabel terikat.
Menurut Hastono (2004) analisa regresi logistik berganda dihitung dengan
rumus: Z = α+β1x1+β2x2+...βixi ℮
Bila nilai Z dimasukan pada fungsi Z, maka rumus fungsi Z adalah:
1
F(Z)= 1+ e−(α + β 1 x 1+ β 2 x 2+ …+ βixi)
Keterangan:
F(Z) : Probabilitas kejadian suatu penyakit berdasarkan faktor risiko.
Z : Nilai index variabel independen. Nilai Z bervariasi antara sampai
Α : Konstanta
XI : Jumlah variabel independen ke 1
47

X2 : Jumlah variabel independen ke 2


Xi : Jumlah variabel independen ke i
β : koefisien

Anda mungkin juga menyukai