Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi


menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah
pembedahan. Definisi anestesiologi berkembang terus sesuai dengan
perkembangan ilmu kedokteran. Adapun definisi ilmu anestesi dan reanimasi saat
ini adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk
mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa tidak nyaman serta ilmu yang
mempelajari tatalaksana untuk menjaga dan mempertahankan hidup dan
kehidupan pasien selama mengalami kematian akibat obat anestesi. Anestesi pada
semua pasien yang dilakukan operasi itu bertujuan untuk memudahkan operator
dalam melakukan operasi dan hasil akhirnya diharapkan tujuan operasi tercapai.
Adapun target anestesi itu sendiri yaitu yang lebih dikenal dengan trias anestesia
yang meliputi tiga target yaitu hipnotik, anelgesia, relaksasi. 1
Pemilihan jenis anestesi sangat bergantung pada kemampuan dan
pengalaman, peralatan dan obat-obatan yang tersedia dan keadaan klinis. Selain
itu, pemilihan teknik anestesi juga ditentukan oleh kondisi klinis pasien, waktu,
tidakan gawat darurat, keadaan lambung. 2
Anestesi umum adalah suatu tindakan yang membuat pasien tidak sadar
selama prosedur medis, sehingga pasien tidak merasakan atau mengingat apa pun
yang terjadi. Anestesi umum biasanya dihasilkan oleh kombinasi obat intravena
dan gas yang dihirup (anestesi). "Tidur" pasien yang mengalami anestesi umum
berbeda dari tidur seperti biasa. Otak yang dibius tidak merespon sinyal rasa sakit
atau manipulasi bedah. 3
Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum
diperlukan teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal maupun nasotrakeal. Intubasi
adalah suatu teknik memasukkan suatu alat berupa pipa kedalam saluran
pernapasan bagian atas. Tujuan dilakukannya intubasi untuk mempertahankan
jalan nafas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah
terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk

1
ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea,
membersihkan saluran trakeobronkial. 4
Struma nodosa non toksik (SNNT) adalah pembesaran kelenjar tiroid yang
secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda
hypertiroidisme. Istilah struma nodosa menunjukkan adanya suatu proses, baik
fisiologis maupun patologis yang menyebabkan pembesaran asimetris dari
kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada tubuh, maka
pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa nontoksik. Kelainan ini
sangat sering dijumpai sehari-hari. Data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr.
Soetomo tahun 2001-2005 struma nodusa toksik terjadi pada 495 orang
diantaranya 60 orang laki-laki (12,12 %) dan 435 orang perempuan (87,8 %)
dengan usia terbanyak yaitu 31-40 tahun 259 orang (52,3 2%). Tindakan operatif
masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-macam teknik operasinya
salah satunya yaitu, Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti
oleh isthmus.5
Pemilihan jenis tindakan anestesi untuk Isthmolobectomy ditentukan
berdasarkan usia pasien, kondisi kesehatan pasien, keadaan umum pasien, sarana
prasarana, dan ketrampilan dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi. Di
Indonesia, Isthmolobectomy masih dilakukan dengan anestesi general. Teknik
anestesi lokal sudah tidak digunakan kecuali di rumah sakit pendidikan untuk
tujuan pendidikan. Teknik anestesi yang dianjurkan untuk operasi
Isthmolobectomy adalah menggunakan pipa endotrakeal. Dengan teknik ini
saturasi oksigen dapat ditingkatkan, jalan nafas terjaga bebas, dosis obat anestesi
dapat dikontrol dengan mudah.5
Pada laporan ini akan membahas mengenai manajemen anestesi pada pasien
Struma nodosa non toksik dengan menggunakan general anestesi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Struma Nodusa Non Toksik


Struma Nodusa non toksik (SNNT) atau yang sering disebut goiter
adalah pembesaran kelenjar tiroid. Struma nodusa non toksik ditemukan di
daerah pegunungan yang airnya kurang iodium. Struma endemik ini dapat
dicegah dengan substitusi iodium. Di luar daerah endemik, struma nodusa
ditemukan atau pada keluarga tertentu.5
Faktor-faktor yang menyebabkan struma nodusa non toksik
bermacam-macam. Pada setiap orang dapat dijumpai masa dimana
kebutuhan terhadap tiroksin bertambah, pubertas, menstruasi, kehamilan,
laktasi, menopause, infeksi atau stress. Pada masa-masa tersebut dapat
ditemui hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid. Perubahan ini dapat
menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arsitektur yang dapat
berlanjut dengan berkurangnya aliran darah di daerah tersebut sehingga
terjadi iskemia.5
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter
endemis terjadi 10% populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka
goiter sporadis terjadi pada seseorang yang tidak tinggal di daerah endemik
beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan
jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis hormon
tiroid atau konsumsi obat-obatan yang mengandung litium, propiltiourasil,
fenilbutazone, atau aminoglutatimid.5
Penderita struma nodusa tidak mempunyai keluhan karena tidak
terdapat hipo atau hipertiroidisme. Nodul dapat tunggal tetapi dapat
berkembang berubah menjadi multinodular tanpa perubahan fungsi.
Degenerasi jaringan menyebabkan terbentuknya kista atau adenoma. Karena
pertumbuhan terjadi secara perlahan, struma dapat menjadi besar tanpa

3
memberikan gejala, selain adanya benjolan di leher. Sebagian besar
penderita struma nodusa dapat hidup dengan struma tanpa keluhan.5
Sebagian besar dari struma nodusa tidak mengganggu pernafasan
karena pertumbuhan ke lateral dan anterior, sebagian lain dapat
menyebabkan penyempitan trakhea jika pembesarannya bilateral. Struma
nodusa unilateral dapat menyebabkan pendorongan trakhea kearah kontra
lateral tanpa gangguan akibat ostruksi pernafasan. Penyempitan yang hebat
dapat menyebabkan gangguan pernafasan dengan gejala stridor inspiratory.
Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik
untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi
pada trakea.5
Pada pemeriksaan fisik struma nodosa non toksik ditemukan
pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih
tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma nodosa
menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang
menyebabkan pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak
disertai tanda-tanda toksisitas pada tubuh, maka pembesaran asimetris ini
disebut sebagai struma nodosa nontoksik. Kelainan ini sangat sering
dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang
mungkin ada
Penatalaksanaan dari struma nodusa non toksik yaitu dengan biopsy
aspirasi jarum halus cara ini dilakukan pada kista tiroid hingga nodul kurang
dari 10 milimeter. Penatalaksanaan yang selanjutnya medikamentosa dengan
obat antitiroid seperti karbimazoyol digunakan untuk kista yang ukuranya
kurang dari 4 centimeter, bila kista lebih dari 4 sentimeter dilakukan
lobektomi atau isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti
oleh isthmus dan dilakukan yodium radioaktif. Yodium radioaktif yaitu
memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar tiroid sehingga
menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka
pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 persen.
Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga

4
memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Apabila kista
sudah adenoma atau karsinoma serta goiternya besar dan menekan jaringan
sekitar, sehingga harus segera dilakukan tidakan pembedahan dengan
tiroidektomi.

II. GENERAL ANESTESI ENDOTRAKEAL


Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara
inhalasi untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana
akan dilakukan operasi. Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi.
Induksi anestesi merupakan peralihan dari keadaan sadar dengan reflek
perlindungan masih utuh sampai dengan hilangnya kesadaran (ditandai
dengan hilangnya reflek bulu mata) akibat pemberian obat–obat anestesi.
Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum
diperlukan teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal maupun nasotrakeal.6
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui
mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal
(endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan
memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis dengan
mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Tujuan
dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk memudahkan
pemberian anestesi, membersihkan saluran trakeobronkial.
Mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta
mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. 7
Indikasi intubasi endotrakeal adalah sebagai berikut :8,9
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai
oksigen melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.

5
c. Sebagai proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
d. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan
tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk
menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
e. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang
tenang dan tidak ada ketegangan.
f. Operasi intra-torakal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan
dengan mudah, memudahkan pengontrolan pernapasan dan
mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.
g. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi
intestinal.
h. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme. 3

III. Manajemen jalan nafas


Tujuan evaluasi jalan nafas adalah untuk menghindari gagalnya
penanganan jalan nafas dengan menerapkan cara alternatif pada pasien yang
diduga akan sulit diventilasi dan atau diintubasi. Kesulitan mask ventilation
terjadi bila terdapat penutupan yang inadekuat antara wajah pasien dan
mask, terdapat kebocoran oksigen dari face mask, atau terdapat resistensi
aliran masuk (inflow) atau aliran keluar (outflow) oksigen yang berlebihan.
Kesulitan laringoskopi terjadi bila tidak ada bagian glotis yang terlihat
setelah usaha laringoskopi dilakukan banyak kali.
Pasien dianggap memiliki kesulitan jalan nafas jika anestesiolog
mengalami kesulitan untuk memberikan ventilasi dengan facemask pada
jalan nafas bagian atas, kesulitan mengintubasi trakea , atau keduanya.
Untuk memperkirakan adanya kesulitan mask ventilation atau
kesulitan intubasi endotrakea, setiap pasien yang menerima perawatan
anestesi harus menjalani anamnesis dan pemeriksaan fisis jalan nafas yang
komprehensif. Pasien harus ditanyai mengenai komplikasi jalan nafas
pernah terjadi sewaktu dianestesi dulu. Riwayat trauma selama penanganan

6
jalan nafas sebelumnya pada bibir, gigi, gusi, atau mulut pasien dapat
menandakan adanya kesulitan jalan nafas. Demikian pula halnya, jika pasien
memberitahukan bahwa dilakukan usaha yang berkali-kali untuk
“memasukkan selang pernafasan” atau bahwa ia “terbangun” pada intubasi
sebelumnya, maka harus dipertimbangkan adanya kesulitan jalan nafas.
Kondisi medis yang biasanya meramalkan adanya kesulitan jalan
nafas antara lain riwayat trauma atau operasi wajah baru-baru ini atau pada
masa lampau, artritis reumatoid, hamil, epiglotitis, perlengketan servikal
sebelumnya, massa leher, Down’s syndrome, dan sindrom genetik lainnya
seperti Treacher-Collins dan Pierre-Robin yang berkaitan dengan kelainan
wajah. Dengan anamnesis yang positif, maka harus ditinjau dokumentasi
mengenai penanganan jalan nafas sebelumnya.
Berbagai hasil pemeriksaan fisis telah dihubungkan dengan
kesulitan jalan nafas:
Komponen pemeriksaan fisis jalan nafas preoperatif.
Komponen Temuan yang mencurigakan
- Panjang incisivus atas - Relatif panjang
- Hubungan incisivus maksilla - “Overbite” yang jelas (incisivus
dan mandibula saat rahang maksilla di anterior terhadap incisivus
dikatupkan biasa mandibula)
- Hubungan incisivus maksilla - Incisivus mandibula pasien di anterios
dan mandibula saat rahang (di depan) incisivus maksilla
dibuka
- Jarak antar-incisivus - <3 cm
(pembukaan mulut)
- Kemampuan uvula terlihat - Tidak terlihat saat lidah dijulurkan saat
pasien dalam posisi duduk (misalnya
Mallampati kelas >II)
- Bentuk palatum - Sangat melengkung atau sempit
- Kelainan ruang submandibula - Kaku, berindurasi, ditutupi massa, atau
tidak kenyal

7
- Jarak tiromentalis - <3 buku jari atau 6-7 cm
- Panjang leher - Pendek
- Ketebalan leher - Tebal (ukuran leher >17 inci)
- Kisaran gerakan kepala dan - Pasien tidak bisa menyentuh ujung
leher dagu pada dada atau tidak bisa
mengekstensikan lehernya
Diproduksi kembali atas izin Caplan RA, Benumof JA, Berry FA
(2003) Practice guidelines for the management of the kesulitan jalan nafas
an updated report by the American Society of Anesthesiologist’sTask Force

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV


Gambar.Sistem klasifikasi Mallampati

Setiap pasien yang mendapat perawatan anestesi harus diperiksa


secara menyeluruh untuk mencari adanya gambaran ini. Pemeriksaan yang
adekuat sulit dilaksanakan tanpa partisipasi dan kerja sama yang aktif dari
pasien. Maksudnya, pemeriksaan yang semata-mata dilakukan dengan
inspeksi mungkin tidak hanya tidak lengkap, tetapi juga tidak akurat.
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk mengevaluasi pasien
untuk menemukan adanya kesulitan intubasi adalah penentuan sesuatu yang
disebut Kelas Mallampati (Mallampati Class). Sistem klasifikasi ini,
pertama kali dikembangkan pada tahun 1985, digunakan untuk memprediksi
kesulitan intubasi menilai secara fungsional rasio ukuran lidah seseorang
terhadap rongga mulutnya.

8
Meningkatnya kesulitan melakukan laringoskopi direk dihubungkan
dengan hasil pemeriksaan Kelas Mallampati III dan IV. Meskipun suatu
prediktor yang mencurigai adanya kesulitan penanganan jalan nafas
mungkin saja penting secara klinis, sebaiknya dilakukan pemeriksaan yang
lebih banyak dan lebih prediktif melalui skrining berbagai prediktor pada
setiap pasien.
Selama anestesi, angka terjadinya kesulitan intubasi berkisar 3-18%.
Kesulitan dalam intubasi ini berhubungan dengan komplikasi yang serius,
terutama bila intubasi tersebut gagal. Hal ini merupakan salah satu
kegawatdaruratan yang akan ditemui oleh dokter anestesi.
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal biasanya
dijumpai pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak
antara mental  symphisis dengan lower alveolar margin yang
melebar memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama
intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang
menyerang sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena
fleksi kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang
menyebabkan fleksi leher.

9
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M.H
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 30 tahun
Berat badan : 65 kg
Tinggi Badan : 157 cm
Alamat : Pasangkayu
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Tanggal Operasi : 20-11-2019

B. Anamnesis
1. keluhan utama : Benjolan pada leher sebelah kiri
2. Riwayat keluhan sekarang : Seorang perempuan (Ny. M.H) usia 30 tahun
masuk RS dengan keluhan benjolan pada leher sebelah kiri mulai dirasakan
sejak 4 tahun terakhir. Benjolan awalnya berukuran kecil dan lama kelamaan
mulai membesar. Pasien mengaku tidak merasakan nyeri. Pasien menyangkal
tidak mengalami penurunan berat badan, tidak merasa gelisah, tidak mudah
lelah, tidak berkeringat berlebih, tangan tidak gemetar, dan pasien
menyangkal jantung berdebar-debar. Riwayat memakai gigi palsu disangkal.
Pasien tidak demam. BAB (+) frekuensi normal. Pasien tidak memiliki
riwayat penyakit sistemik, riwayat operasi. Pasien juga tidak memiliki gigi
yang goyang. Dari pemeriksaan fisik didapatkan bahwa keadaan umum
pasien baik, Benjolan berukuran 4x4 cm. Ketika diraba benjolan teraba padat
tetapi berbatas tidak tegas, ikut gerakan menelan dan pasien tidak merasakan

10
nyeri. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah
lengkap dengan hasil semua normal, faal hemostasis, dan dari FNAB
disimpulkan adanya kesan struma adenomatosa degenaratif kistik. Dari
evaluasi yang didapat, maka pasien kasus ini diklasifikasikan sebagai ASA I.
Riwayat:
• Pendarahan memanjang: tidak ada
• Batuk lama: tidak ada
• Merokok: tidak ada
• Alergi: seafood
• Hipertensi: tidak ada
• Minuman alkohol: tidak ada
• Asma: tidak ada
• Diabetes melitus: tidak ada
• Obat-obatan: tidak ada
• Penyakit jantung: tidak ada
• Riwayat anestesi/operasi: Pasien pernah SC 1x, dan dibius setengah
badan dan tidak ada komplikasi

C. Tanda vital :
TD: 130/70 mmHg N: 100x/menit P: 20x/menit S: 36,70C Skor
Nyeri (VAS): -

D. Pemeriksaan Fisik Pre Operasi (Objektif) (O)


 B1 (Breath)
Airway bebas, gurgling/snoring/crowing:-/-/-, RR: 20x/menit,
Mallampati: II, Jarak Mentohyoid: 5 cm, Riwayat asma (-) alergi (+),
batuk (-), sesak (-) leher pendek (-), pergerakan leher bebas, tonsil (T 1-
T1), faring hiperemis (-), pernapasan bronkovesikular (+/+), suara
pernapasan tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-).
 B2 (Blood)

11
Akral hangat,TD: 130/70 mmHg, HR : 100x/menit irama reguler, CRT <
2 detik. masalah pada sistem cardiovaskuler (-).

 B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis GCS 15 (E4V5M6, Pupil: isokor Ø 3 mm/3mm,
Refleks Cahaya (+/+).
 B4 (Bladder)
BAK lancar, produksi kesan normal, warna kuning jernih, frekuensi 5-6
kali sehari, Masalah pada sistem renal/endokrin (-).
 B5 (Bowel)
Keluhan mual (-), muntah (-). Abdomen: Inspeksi tampak datar, kesan
normal, Auskultasi peristaltik (+), kesan normal, Palpasi tidak ada nyeri
tekan, tidak teraba massa, Perkusi tympani (+) pada seluruh lapang
abdomen.
 B6 Back & Bone
Nyeri (-), krepitasi (-) morbilitas (-), ekstremitas deformitas (-).
E. Pemeriksaan Penunjang.
Darah Rutin
WBC : 7.7 x 103μL (3,6 – 11 x 103μL)
RBC : 5.10 x 106 μL (3,8 – 5,2 mg/dL)
Hb : 14.5 g/dl (11,7 – 15,5 g/dl)
PLT : 270 x 103 μL (150 – 440 x 103 μL)
HCT : 44,6 % (35 – 47 %)
HbsAG : non reaktif (non reaktif)
Glukosa sewaktu : 130 mg/dl (70 – 140 mg/dL)
FT4 : 14,16 pmol/L (10-27 pmol/L)
TSHS : 0,447 μUl/Ml (0,4-5,5 μUl/Ml)

F. PERSIAPAN PRE OPERATIF


Di Ruangan
a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.

12
b. Puasa 8 jam pre operasi
c. Pasang infus RL pada saat puasa dengan kecepatan 20 tpm

Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
“Pulse Oxymeter”
i. Kartu catatan medic anestesia.

Tabel Komponen STATICS


S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah
saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan
napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea
mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan introducel
atau stilet.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

13
G. PROSEDUR GENERAL ANESTESI
a. Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kiri dengan cairan
RL 20 tpm
b. Memasang monitor untuk melihat tekanan darah, heart rate, saturasi
oksigen dan laju respirasi.
c. Diberikan obat premedikasi yaitu Midazolam 3mg, ondansentron 4 mg ,
Fentanyl 70 µg, dexamethason 5 mg
d. Diberikan obat induksi yaitu propofol 100 mg
e. Memposisikan leher sedikit fleksi dan kepala ekstensi pada leher
f. Memberikan oksigenasi kepada pasien melalui masker yang melekat pada
wajah dengan aliran 5 lpm selama 3 menit
g. Memberikan obat relaksan yaitu Atracurium 25 mg tunggu 3 menit.
h. Melakukan intubasi trachea dengan memasukan laringoskop secara lembut
hingga pita suara sudah terlihat
i. Memasukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian
proksimal dari cuff ET melewati pita suara dengan kedalaman pipa ET
± 20 cm , pada pasien ini menggunakan ETT dengan ukuran 6,5
j. Mengangkat laringoskop dan stilet pipa ET dan mengisi balon
dengan udara 10 ml. Waktu intubasi ± 20 detik.
k. Menghubungkan pipa ET dengan ambubag dan melakukan ventilasi
sambil melakukan auskultasi, pertama pada lambung (tidak terdengar
bunyi gurgling) artinya udara tidak masuk ke esofagus. Kemudian
mengecek pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan
pengembangan dada, terdengar bunyi napas dan pengembangan paru yang
simetris kiri dan kanan.
l. Melakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut di
sebelah kanan mulut pasien.

14
m. Maintenance selama operasi diberikan:
 Sevoflurans 2,5 vol %
 O2 5 lpm via Endo Trachea Tube (ETT)
n. Selang 30 menit diberikan fentanyl 30 µg (2x) pada 30 menit ke 2 dan ke-3
o. Operasi selesai, pasien bernafas spontan, adekuat dan hemodinamik stabil.
Dilakukan ekstubasi dengan pasien dalam keadaan sadar
p. Diberikan ketorolac 30 mg/iv
q. Pasien di transfer recovery room

 Laporan Anestesi Durante Operatif


1. Jenis anestesi : Anestesi umum (General Anestesi)
2. Teknik anestesi : Intubasi Endotrakeal
3. E.T.T No. : 6,5
4. Lama operasi : 08.50 – 10-35 (1 jam 25 menit)
5. Lama anestesi : 09.05 – 10.30 (1 jam 35 menit)
6. Anestesiologi : dr. Faridnan, Sp.An
7. Ahli Bedah : dr. Devby, Sp. B
8. Infus : 1 line di tangan kiri

15
MONITORING ANESTESI

Pukul Tekanan Nadi Saturasi Terapi


(WITA Darah (kali/menit) Oksigen
) (mmHg) (SpO2)
08.30 125/75 100 99 %
08. 35 125/75 100 99 % Ondansentron 4 mg
Midazolam 3 mg
08.40 128/80 94 99 % Fentanyl 70 mcg
Dexamethasone 5 mg
08.45 130/86 88 98 %
08.50 127/70 78 99 % General Anastesi
-Sevofluran 2,5 %
-Propofol 100 mg
08.55 127/70 78 99 % Atracurium 25 mg
09.00 125/66 72 99 %
09.05 128/80 77 99 %
09.10 132/81 84 99 %
09.15 140/86 87 99 % Fentanyl 30 mcg
09.20 135/88 86 99 %
09.25 130/84 82 99 %
09.30 128/90 81 99 %
09.35 120/90 82 99 %
09.40 130/78 85 99 %
09.45 126/69 83 99 %
09.50 135/73 88 99 %
09.55 138/76 92 99 % Fentanyl 30 mcg
10.00 128/78 80 99 %
10.05 124/70 87 99 %
10.10 138/76 90 99 %
10.15 110/88 78 99 %
10.20 124/78 77 99 %
10.25 110/78 74 99 % Ketorolac 30 mg
10.30 110/78 74 99 %

TERAPI CAIRAN
BB : 65 kg

16
EBV : 65 cc/kg BB x 65 kg = 4.225 cc
Jumlah perdarahan : ± 50 cc
% perdarahan : 50/4.225 x 100% = 1,18 %
Cairan yang masuk : 750cc

H. PERHITUNGAN CAIRAN
a. Input yang diperlukan
1. Cairan Maintenance (M) : 40 cc/KgBB/24jam

= 40 x 65 kg= 2.600 cc/ 24 jam = 108 cc/jam


2. Cairan defisit pengganti puasa (PP): Lama puasa x maintenance = 8 x
108ml = 864 ml – 480ml (cairan yang masuk saat puasa) = 384 ml

3. Karna Isthmolobectomy merupakan operasi ringan maka, balance cairan


untuk stress operasi adalah: 4cc x BB = 4 x 65 = 260 ml/jam
4. Cairan defisit darah selama operasi = 50 ml
(Cairan diganti dengan kristaloid, 50ml x 3 = 150ml)
Total kebutuhan cairan selama operasi adalah 384 + 260 + 150 = 794ml
Cairan masuk:

Kristaloid : 750 ml
Whole blood : -
Total cairan masuk : 750 ml

b. Keseimbangan cairan:

Cairan masuk – cairan keluar = 750 ml – 794


= -44 ml
c. Perhitungan cairan pengganti darah :

Transfusi + 3x cairan kristaloid = volume perdarahan


0 + 3x = 50
3x=50
X : 3 x 50 = 150 ml

17
Untuk mengganti kehilangan darah 50 cc diperlukan ± 150 cairan
kristaloid.

I. POST OPERATIF
Tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 100 x/menit, pernapasan 20 x/menit,
Glasgow coma scale E4V5M6.
Skor Pemulihan Pasca Anestesi
Aldrette score
Pergerakan: gerak bertujuan 2
Pernafasan: teratur 2
Warna kulit: merah muda 2
Tekanan darah: tidak menyimpang 20% 2
Kesadaran: mengantuk (Somnolen) 1
Skor Aldrette 9

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, Pasien Ny. M.H umur 30 tahun dengan diagnosis Struma
Nodusa Non Toksik yang akan dilakukan tindakan pembedahan Isthmolobectomy
pada tanggal 20 November 2019. Berdasarkan data anamnesis pre operatif,
ditemukan bahwa pasien memiliki riwayat alergi terhadap makanan terutama
seafood. Pasien penah menjalani operasi sectio sesarea 1 kali. Pemeriksaan fisik
menunjukkan tidak terdapat kelainan pada B1-B6. Pada pemeriksaan Laboratorim
Serologi FT4 (14,16 pmol/L) dan TSHS (0,447 uUl/Ml. Pada pemeriksaan
penunjang berupa FNAB ditemukan secara makroskopik R. Colli Anterior: Lesi
berukuran 4x4 cm. Lesi teraba padat tetapi berbatas tidak tegas, ikut gerakan
menelan, secara mikroskopik ditemukan sediaan hapusan seluler terdiri dari
kelompokan umumnya tersusun honeycomb dan sebaran sel-sel epitel folikuler
dengan inti bulat ovoid, kecil, cenderung monoton, kromatin halus dengan latar

18
belakang eritrosit. Kesimpulan kesan Struma Adenomatosa Degenerasi Kistik,
dan tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan penunjang lainnya yang menjadi
kontraindikasi untuk dilakukannya operasi.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut, pasien
digolongkan pada PS ASA I, karena pada pemeriksaan laboratorium tidak
didapatkan adanya kelainan. Setelah penentuan ASA, kemudian ditentukan
pilihan anestesi. Pada kasus ini diputuskan untuk melakukan general anestesi
dengan teknik intubasi endotrakeal. Pada pasien ini, pilihan anestesi yang
dilakukan adalah jenis general anestesi dikarenakan lokasi operasi yaitu di leher,
sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan anestesi spinal. Adapun indikasi
dilakukan general anestesi adalah karena pada kasus ini diperlukan
mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernafasan, mempermudah pemberian anestesia, mencegah kemungkinan
terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan
tidak ada refleks batuk) dan pemakaian ventilasi mekanis yang lama, serta
mengatasi obstruksi laring akut. Teknik anestesinya semi closed inhalasi dengan
pemasangan endotrakeal tube. Posisi Pasien untuk tindakan intubasi adalah leher
dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi.
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien, BB
pasien 65 Kg yaitu sehingga kebutuhan cairan maintenance pasien adalah (M):
40cc/kgBB/24jam x 65 = 2600 ml/24jam atau 108 ml/jam. Sebelum dilakukan
operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Penggantian puasa dalam terapi cairan
ini yaitu 8 x maintenance. Sehingga total cairan yang harus dipenuhi selama 8 jam
ini adalah 864 ml dan total cairan yang masuk saat puasa adalah 480 ml sehingga
didapatkan defisit cairan pengganti puasa sebanyak 384 ml. Tujuan puasa untuk
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada
saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-obat anestesi
yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesi.
Pada kasus ini dilakukan pembedahan jenis Isthmolobectomy, dimana operasi
ini merupakan operasi yang ringan, sehingga diperoleh total cairan pengganti
operasi = 4cc x 65 Kg = 260 ml/jam. Selama operasi jumlah defisit darah adalah

19
50 ml sehingga memerlukan pergantian cairan dengan kristaloid sebanyak 150 ml.
Total kebutuhan cairan sebanyak 794 ml. Pasien mendapatkan 250 ml cairan
preoperatif dan 500 ml pada durante operatif , jadi total untuk cairan yang masuk
adalah 750 cc. Sehingga terdapat kekurangan cairan 44 ml.
Pasien telah kehilangan darah ± 50 cc. Menurut perhitungan, perdarahan yang
lebih dari 20% EBV harus dilakukan transfusi darah. Pada kasus ini tidak
diberikan pemberian penggantian cairan dengan darah karena perkiraan
perdarahan sekitar 50 cc, dimana EBVnya adalah 4.225 cc jumlah perdarahan
(%EBV) adalah 1,18% sehingga tidak diperlukan transfusi darah perdarahan
sehingga pasien tidak memerlukan transfusi darah. Dan dapat di ganti dengan
cairan kristaloid.
Pada saat sebelum operasi, pasien diberikan premedikasi terlebih dahulu.
Pada pasien ini diberikan Midazolam 3 mg, fentanyl 70 mcg, ondancentron 4 mg,
dan dexamethason 5 mg. Pasien diberikan premedikasi berupa sedacum 3mg`
yang berisi midazolam termasuk golongan benzodiazepine. Telah diketahui bahwa
tujuan pemberian premedikasi ialah untuk mengurangi respon terhadap stress
hormone endogen, mengurangi efek samping obat induksi maupun rumatan.
Premedikasi mengurangi stres hormone. Dosis yang aman untuk premedikasi iv
0,1-0,2 mg/kgBB. Pemberian fentanyl yang merupakan obat opioid yang bersifat
analgesik. Penggunaan premedikasi pada pasien ini betujuan untuk menimbulkan
rasa nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan mempermudah induksi
dengan menghilangkan rasa khawatir. Injeksi fentanyl 70 mcg sebagai analgesik,
potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek depresi nafas fentanyl lebih
pendek dibanding meperidin. Fentanyl merupakan salah satu preparat golongan
analgesik opioid dan termasuk dalam opioid potensi tinggi. Opioid dosis tinggi
yang deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan
laryng, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut. Kemudian
ditambahkan injeksi 30 mcg lagi di 30 menit kedua dan ketiga karena pasien
merasakan nyeri ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan nadi pada saat
operasi. Kemudian injeksi ondansentron 4 mg yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya mual dan muntah. Ondansentron bekerja sebagai antagonis selektif dan

20
bersifat kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan cara menghambat aktivasi aferen-
aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks muntah. Pemberian
dexamethason 5 mg bertujuan untuk mengurangi reaksi radang dan alergi.
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan
anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah
induksi. Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anestesi intravena yaitu
Propofol 100 mg I.V (dosis induksi 2-2,5mg/kgBB) karena memiliki efek induksi
yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol
dapat menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini
mempunyai efek kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik.
Pemberian Injeksi tramus 25 mg sebagai pelemas otot untuk mempermudah
pemasangan Endotracheal Tube. Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi
yang relatif baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin. Pada umumnya
mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama kerja
atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit.
Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan
laringoskop blade lengkung yang disesuaikan dengan anatomis leher pasien
dengan metode chin-lift dan jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan
nafas antara mulut dengan trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus
barulah dimasukkan pipa endotrakeal. Pada pasien ini digunakan ETT dengan cuff
nomor 6.5. Pemasangan ETT pada pasien ini 1 kali dilakukan.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka
dialirkan sevofluran 2,5 vol%, penggunaan sevofluran disini dipilih karena
sevofluran mempunyai efek durasi induksi dan mempunyai onset durasi lebih
cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak
merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas
lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang
menyebabkan aritmia.
Aliran oksigen sekitar 5 lpm sebagai anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan
dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas

21
anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk
membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas
spontan menjelang operasi hampir selesai. Kemudian dilakukan ekstubasi
endotrakeal secara cepat dan pasien dalam keadaan sadar untuk menghindari
penurunan saturasi lebih lanjut.
Penambahan obat medikasi tambahan adalah Sebagai analgetik digunakan
Ketorolac (berisi 30 mg/ml ketorolac tromethamine) sebanyak 1 ampul (1 ml)
disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang
bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan rasa
nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara
dengan 50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang
lebih lama serta lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada evidence
depresi nafas.
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan pada
pemeriksaan fisik tekanan darah 110/ 78 mmHg, nadi 74 x/menit, dan laju
respirasi 20 x/menit. Operasi berjalan lancar tanpa timbulnya komplikasi, dengan
lama anestesi 08.50 - 10.35 (1 jam 25 menit), lama operasi : 09.05 – 10.30 (1
jam 35 menit). Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room).
Aldrete score 9, maka dapat dipindah ke ruangan.

22
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan laporan kasus yang telah dibahas, sehingga dapat disimpulkan :


1. Pada kasus dilakukan operasi Isthmolobectomy pada pasien Struma
nodusa non toksik jenis kelamin perempuan usia 30 Tahun, dan setelah
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka ditentukan status fisik
ASA I dan dilakukan jenis anestesi dengan General Anestesi dengan
teknik Intubasi endotrakeal.
2. Pada pasien ini menjemen anestesi dimulai dari pre operatif, intra
operatif serta post operatif.
3. Berdasarkan penggunaannya cairan dibagi atas beberapa golongan, yaitu
cairan pemeliharaan (maintenance), cairan pengganti puasa, cairan
pengganti operasi dan pengganti perdarahan.

23
 Kebutuhan cairan pemeliharannya pada kasus 108 ml/jam
 Cairan pengganti puasa adalah 864 ml/jam dan cairan yang masuk
adalah 400 ml, didapatkan defisit 384 ml
 Total kebutuhan cairan selama operasi adalah 794 mL
 Perdarahan pada kasus adalah 50 cc diperlukan ± 150 cairan
kristaloid
 Keseimbangan cairan pada kasus terdapat kekurangan cairan 44 ml
4. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung beberapa kali pasien
mengalami peningkatan tekanan darah dan denyut nadi (yang
menandakan pasien merasakan nyeri) tetapi masih bisa diatasi dengan
pemberian fentanyl 30 mcg 2x di 30 menit ke 2 dan ke 3.
5. Setelah menjalani operasi dilakukan perawatan di ruangan karena aldrete
score 9.

DAFTAR PUSTAKA

1. Purmono A. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC; 2015.


2. Dobson, MB. 2012. Penuntuk Praktik Anestesi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
3. Bagian Anestesiologi RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Catatan Anestesi.
Makassar: Bursa Buku Kedokteran Aesculapius;2010.
4. Orebaugh SL. 2007. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools.
Philadelphia: LippincoETT, Williams, and Wilkins.
5. Armerinayanti, N. W. (2016). Goiter Sebagai Faktor Predisposisi Karsinoma
Tiroid . Warmadewa Medical Journal.
6. Desai,Arjun M.2010. Anestesi. Stanford University School of Medicine.
Diakses dari: http://emedicine.medcape.com

24
7. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI.
8. Gwinnutt, CL. 2014. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta
9. FKUI, 2012. Farmakologi Dan Terapi, Edisi 5, Departemen Farmakologi Dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta

25

Anda mungkin juga menyukai