0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
278 tayangan9 halaman
1. Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai nodul tanpa gejala hipertiroidisme.
2. Diagnosis didasarkan pada anamnesa, pemeriksaan fisik, scanning tiroid, USG, dan biopsi.
3. Penanganannya meliputi observasi untuk kasus ringan dan operasi untuk kasus yang disertai komplikasi.
1. Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai nodul tanpa gejala hipertiroidisme.
2. Diagnosis didasarkan pada anamnesa, pemeriksaan fisik, scanning tiroid, USG, dan biopsi.
3. Penanganannya meliputi observasi untuk kasus ringan dan operasi untuk kasus yang disertai komplikasi.
1. Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai nodul tanpa gejala hipertiroidisme.
2. Diagnosis didasarkan pada anamnesa, pemeriksaan fisik, scanning tiroid, USG, dan biopsi.
3. Penanganannya meliputi observasi untuk kasus ringan dan operasi untuk kasus yang disertai komplikasi.
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO 2014
2
1. Definisi Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul, tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidsme. Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi karena folikel- folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun sebagian folikel tumbuh semakin besar dengan membentuk kista dan kelenjar tersebut menjadi noduler. Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme (Djokomoeljanto, 2006).
2. Klasifikasi Struma nodosa dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa hal, yaitu (Djokomoeljanto, 2006): 1. Berdasarkan jumlah nodul; bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut struma multinodosa. 2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif dikenal 3 bentuk nodul tiroid yaitu : nodul dingin, nodul hangat dan nodul panas. 3. Berdasarkan konsistensinya; nodul lunak, kistik, keras dan sangat keras.
3. Etiologi Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain (Djokomoeljanto, 2006): 1) Defisiensi iodium Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah pegunungan. 2) Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid. a. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol, lobak, kacang kedelai).
3
b.Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya: thiocarbamide, sulfonylurea dan litium). 3) Hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid. Pada umumnya ditemui pada masa pertumbuan, puberitas, menstruasi, kehamilan, laktasi, menopause, infeksi dan stress lainnya. Dimana menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arseitektur yang dapat bekelanjutan dengan berkurangnya aliran darah didaerah tersebut.
4. Manifestasi Klinik Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan (Mansjoer, 2000). Pasien tidak mempunyai keluhan karena tidak ada hipo atau hipertirodisme. Benjolan di leher. Peningkatan metabolism karena pasien hiperaktif dengan meningkatnya denyut nadi. Peningkatan simpatis seperti ; jantung menjadi berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar, dan kelelahan (Mansjoer, 2000).
5. Diagnosis Anamnesa (Mansjoer, 2000): a. Sejak kapan benjolan timbul b. Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap c. Cara membesarnya : cepat atau lambat d. Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja e. Riwayat keluarga f. Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda g. Perubahan suara h. Gangguan menelan, sesak nafas i. Penurunan berat badan
4
j. Keluhan tirotoksikosis
Pemeriksaan Fisik (Mansjoer, 2000): a. Umum b. Lokal Pada pemeriksaan status lokalis struma nodosa, dibedakan dalam hal : 1). Jumlah nodul; satu (soliter) atau lebih dari satu (multipel). 2). Konsistensi; lunak, kistik, keras atau sangat keras. 3). Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada 4). Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada. 5). Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak ada.
Pemeriksaan Penunjang (Djokomoeljanto, 2006) 1. Scanning Tiroid Memakai uptake J131 yang didistribusikan ke tiroid untuk menentukan fungsi tiroid. Normal : 15 40 % dalam 24 jam Bila : Uptake > normal disebut Hot area Uptake < normal disebut Cold area (pada neoplasma) 2. USG membedakan kistik atau solid (neoplasma) 3. Radiologi thorax Coin lession (papiler), Cloudy (Folikuler) 4. Fungsi tiroid BMR : (0,75 x N) + (0,74 x TN) 72% PBI : normal 4 8 mg% Serum kolesterol : normal 150 300 mg% Free Tiroksin Index : T3 / T4 Hitung kadar T4, TSHS, Tiroglobulin dan calcitonin 5. Potong Beku durante operasi 6. Needle Biopsi
5
6. Penilaian Risiko Keganasan Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik penyakit tiroid jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid (Gardjito, 1997): a. Riwayat keluarga dengan nodosa atau difusi jinak b. Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun c. Gejala hipo atau hipertiroidisme d. Nyeri berhubungan dengan nodul e. Nodul lunak, mudah digerakkan f. Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah kegansan tiroid (Gardjito, 1997): a. Umur < 20 tahun atau > 70 tahun b. Gender laki-laki c. Nodul disertai disfagia, serak atau obstruksi jalan napas d. Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan) e. Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga meningkatkan insiden penyakit nodul tiroid jinak) f. Riwayat keluarga kanker tiroid meduler g. Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit digerakkan h. Paralisis pita suara i. Temuan limfadenopati servikal j. Metastasis jauh (paru-paru dll)
7. Terapi Struma yang eutiroid jinak tidak membutuhkan terapi. Efektifitas terapi dengan hormon tiroid pada struma jinak masih dipertanyakan. Struma yang besar dan dengan komplikasi membutuhkan terapi medis dan operasi. Struma yang ganas juga membutuhkan terapi medis dan operasi (Mulinda, 2007).
6
Pembedahan Pembedahan dilakukan pada keadaan dibawah ini: a. Struma besar dengan kompresi b. Keganasan c. Bila terapi lainnya tidak efektif 2
Pembedahan struma dapat dibagi menjadi bedah diagnostik dan terapeutik. Bedah diagnostik berupa biopsi insisi atau biopsi eksisi. Bedah terapeutik bersifat ablatif berupa lobektomi, istmolobektomi, dan tiroidektomi subtotal atau total. Tindakan bedah total dilakukan dengan atau tanpa diseksi leher radikal. Untuk struma nontoksik dan nonmaligna digunakan enukleasi nodulus yaitu eksisi lokal, (istmo) lobektomi, atau tiroidektomi subtotal. Pembedahan total dilakukan untuk karsinoma terbatas, dan pembedahan radikal dilakukan bila ada kemungkinan penyebaran ke kelenjar limfe regional. Hemitiroidektomi atau (istmo) lobektomi dapat dilakukan pada kelainan unilateral (Sharma, 2007).
Indikasi Operasi (Sharma, 2007): 1. Pembesaran kelenjar thyroid dengan gejala penekanan berupa : a. Gangguan menelan b. Gangguan pernafasan c. Suara parau 2. Keganasan kelenjar tiroid 3. Struma nodus dan diffusa toxica 4. Kosmetik
Komplikasi Operasi Tiroid merupakan alat kaya darah yang diperdarahi oleh empat arteri dan berhubungan anatomi erat dengan alat dan struktur penting di leher. Penyulit bedah diantaranya perdarahan, cedera pada n. laringeus rekurens uni- atau bilateral, pada trakea, atau pada esofagus. Struma besar dapat mengakibatkan malakia trakea, yaitu hilangnya cincin rawan trakea akibat tekanan terlalu lama sehingga terjadi kolaps trakea setelah strumektomi.
7
Penyulit yang berbahaya dapat terjadi terutama bila ada hematom di lapangan bedah (Sharma, 2007). Penyulit pasca bedah adalah hematom di leher, udem laring, atau krisis tirotoksik. Krisis tirotoksik adalah hipertiroidism yang hebat yang berkembang sewaktu atau segera setelah pembedahan pada penderita hipertiroid. Krisis tiroid ditandai dengan takikardi atau gejala serta hipertiroid lain yang akut dan sangat gawat karena penderita terancam dekompensasi jantung fatal. Krisis tirotoksikosis disebabkan pencurahan berlebihan hormon tiroid kedalam darah karena pembedahan dan manipulasi kelenjar tiroid pada penderita bedah yang tidak terduga hipertiroidi. Karena itu setiap penderita struma harus menjalani pemeriksaan yang seksama prabedah untuk menentukan terdapat hipertiroidi yang tidak nyata secara klinis. Sebaiknya pembedahan baru dilakukan setelah hipertiroidi diobati sehingga penderita sewaktu pembedahan berada dalam keadaan eutiroidi (Sharma, 2007). Tanda-tanda tirotoksik adalah: a. Gelisah b. Gangguan saluran gastrointestinal c. Kulit hangat & basah d. Suhu > 38 C e. Nadi > 160 x/menit f. Tekanan darah naik Penyulit hipoparatiroid terjadi karena kelenjar paratiroid ikut terangkat pada strumektomi. Cedera n. laringeus seperior dan/atau n. laringeus inferior juga dapat terjadi (Sharma, 2007). Infeksi merupakan penyebab kematian utama dari operasi tiroid selama tahun 1800an. Sekarang, infeksi hanya terjadi kurang dari 1-2% dari semua kasus. Kematian jarang terjadi bila infeksi cepat diketahui dan diobati segera. Infeksi postiroidektomi biasanya berupa selulitis superfisial atau suatu abses. Pasien dengan selulitis biasanya timbul eritem, panas, dan kemerahan pada kulit leher sekitar daerah insisi. Abses superfisial bisa didiagnosis dari konsistensi dan fluktuasinya. Abses leher dalam bisa tidak terlihat jelas, tetapi
8
tanda-tanda seperti demam, nyeri, leukositosis dan takikardia bisa mengarah ke sana (Sharma, 2007).
9
DAFTAR PUSTAKA
Djokomoeljanto,R. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Kelenjar Tiroid, Hipitiroidisme dan Hipertiroidsme. Pusat Penerbit FKUI. Jakarta.
Gardjito, Widjoseno et al (editor). 1997. Sistem Endokrin, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Hal. 925-945. Penerbit EGC. Jakarta
Mansjoer, arif dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran, edisi ketiga jilid 1. Media Aesculapius : Jakarta.
Mulinda, James R, MD, FACP, FACE. 25 september 2007. Goiter. Diambil darihttp://emedicine.medscape.com/article/120034-overview
Sharma, K Pramod, MD. 7 november 2007. Complication of Thyroid Surgery. Diambil darihttp://emedicine.medscape.com/article/852184-overview