Anda di halaman 1dari 22

BAB II

A. Konsep Teori Penyakit

1. Definisi

Nodul tiroid adalah pembesaran kelenjar tiroid yang dapat merupakan suatu peradangan,
hiperplasia atau neoplasma, dimana secara klinis kadang sulit dibedakan. Sering ditemukan
membesar dan tidak memberikan keluhan yang berarti sehingga jarang segera diobati,
ditemukan saat pemeriksaan fisik yaitu saat palpasi di daerah leher dan pada saat
pemeriksaan USG leher (Prapyatiningsih, et.al., 2017).

Menurut American Thyroid Association (2008), nodul tiroid dapat didefinisikan sebagai
pertumbuhan abnormal yang kecil dan terbatas pada kelenjar tiroid yang dapat menjadi
neoplasma dan non-neoplasma. Nodul tiroid merupakan kelainan yang sering ditemukan dan
tidak menimbulkan keluhan yang berarti pada kelenjar tiroid. Sekitar 5-10% nodul tiroid
merupakan suatu neoplasma baik itu jinak maupun ganas, dimana keadaan ini tergantung
pada usia penderita dan ukuran nodul tiroid. (Prapyatiningsih, et.al., 2017).

Salah satu penatalaksaan dari kanker tiroid adalah tiroidektomi dengan anestesi umum.
Keganasan tiroid menimbulkan beberapa kesulitan dalam tindakan anestesi yaitu
kemungkinan kesulitan dalam pengelolaan jalan nafas dan intubasi serta kemungkinan
terjadinya badai tiroid walaupun hal ini jarang terjadi. Pentingnya manajemen preoperatif,
intraoperatif dan pasacoperatif yang baik dan benar akan membuat pelaksanaan operasi
berjalan dengan lancar dan aman serta menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien
(Ar-Rahmah & Wahyuni, 2022).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi, kadang dinamakan juga dengan hipertensi arteri, yaitu
kondisi medis kronis dengan tekanan darah di arteri meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan jantung harus menjalankan tugas bertambah keras dari biasanya bagi
mengedarkan darah menjalani pembuluh darah. Tekanan darah menjadi terlibat dua
pengukuran, sistolik dan diastolik, tergantung apakah otot jantung berkontraksi (sistole) atau
berelaksasi di selang
denyut (diastole). Tekanan darah normal pada saat istirahat yaitu dalam kisaran sistolik
(bacaan atas) 100–140mmHg dan diastolik (bacaan bawah) 60– 90 mmHg. Tekanan darah
tinggi terjadi bila bertali-tali tidak kekurangan pada 140/90 mmHg atau bertambah
(TINGGI).

Hipertensi terbagi dijadikan hipertensi primer (esensial) atau hipertensi sekunder. Sekitar 90–
95% kasus tergolong "hipertensi primer", yang berarti tekanan darah tinggi tanpa penyebab
medis yang gamblang. Kondisi lain yang mempengaruhi ginjal, arteri, jantung, atau sistem
endokrin menyebabkan 5-10% kasus yang lain (hipertensi sekunder) (TINGGI).

2. Etiologi
Struma disebabkan o leh gangguan sintesis hormone t iro id yang

menginduk simekanisme kompensasi terhadap kadar TSH serum, sehingga akibatnya


menyebabkan hipertrofi dan hyperplasia selfolikel tiroid dan pada akhirnya menyebabkan
pembesaran kelenjar tiroid. Efek biosintetik, defisiensi iodin penyakit otoimun dan penyakit
nodular juga dapat menyebabkan struma walaupun dengan mekanisme yang berbeda. Bentuk
goitrous tiro idit is hashimoto terjadi karena defek yang didapat pada hormone sintesis, yang
mengarah ke peningkatan kadar TSH dan konsuekensinya efek pertumbuhan (Tampatty,
2019). Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan horomn tiroid merupakan faktor
penyebab pembesaran kelenjar kelenjar tiroid antara lain:

1. Defisiensi iodium Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah
yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah
pegunungan.
2. K e l a i n a n m e t a b o l i k k o n g e n it a l y a n g m e n g h a m b a t s i n t e s a h
o r mo n tiro id.
1) Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia(seperti substansi dalam kol,
lobak,kacang kedelai).

2) Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya : thiocarbamide,


sulfonylurea dan litium)

3. Hiperplasi dan invo lusi kelenjar t iro id. Pada umumnya ditemu i pada masa
pertumbuan, puberitas, menstruasi, kehamilan, laktasi, menopause, infeksi danstress
lainnya. Dimana menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arseitektur
yang dapat bekelanjutan dengan berkurangnya aliran darah didaerah tersebut.
Penyebab kelainan ini bermacam-macam, pada setiap orang dapat dijumpai masa
karena kebutuhan terhadap tiroksin bertambah, terutama masa pubertas, pertumbuhan,
menstruasi, kehamilan, laktasi, monopouse, infeksi atau

stress lain. Pada masa-masa tersebut dapat dijumpai hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid
Perubahan ini dapat menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainanarsitektur yang
dapat berlanjut dengan berkurangnya aliran darah di daerah tersebutsehingga terjadi iskemia
(Amin huda, 2016)

3. Tanda dan Gejala


Nodul tiroid berkembang dari neoplasma monoclonal yang berasal dari

satu selyang bermutasi. Dasar molekular dari adenoma soliter single masih
belumsepenuhnya dipahami. Kemungkinan berasal dari mutase somatis gen
yangmenstimulasi signal kaskade pada sel yang berproliferasi. Kebanyakan
adenomatoksik berasal dari jalur stimulasi signal Thyroid - Stimulating Hormon
(TSH). Kebanyakan mempunyai mutase aktivasi somatik pada reseptor. Jika struma
cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada
respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan. Peningkatan
simaptis seperti; jantung menjadi berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak
tahancuaca dingin, diare, gemetar, dan kelelahan.

1. Pemebengkakan secara berlebihan pada leher.


2. Batuk karena pipa udara (tractea) terdesak kesisi lain.
3. Kesulitan menelan (nyeri saat menelan).
4. Kesulitan dalam bernafas dan suara bising pada waktu bernafas.
5. Suara parau karena tekanan pada saraf suara (Jhon Of Knight.1993, Wanit

Ciptaan Ajaib, halaman 360 percetakan Advent Indonesia, Bandung).

4. Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan penunjang terkait


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan terhadap kadar serum tiroglobulin adalah petanda tumor yang
berguna untuk digunakan sebagai follow up pasca dilakukannya pembedahan
karsino ma t iro id. Beberapa studi menunjukkan bahwa pemeriksaan rutin dari
kalsitonin pada pasien dengan nodul tiroid bisa digunakan untuk diagnosis
preoperatif dari karsinoma tiroid meduler (Mousa U, et.al.,2011)
2. Ultrasonografi tiroid
Ultrasonografi tiroid merupakan modalitas utama dalam mengevaluasi nodul
tiroid. Pada USG nodul tiroid, ukuran nodul, tekstur internal, bentuk,
echogenisitas, margin, kalsifikasi, dan adanya penyebaran ke struktur yang
berdekatan harus diteliti dengan hati-hati. Dari hasil diagnosis, beberapa jenis
nodul tertentu harus diaspirasi atau difollow-up dengan USG, atau harus tetap
dibawah pengamatan atau observasi (Moon, et al., 2011)

c. Biopsi Aspirasi Jarum Halus / Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) Biopsi aspirasi
jarum halus adalah pengambilan sejumlah kecil bagian darisel atau cairan dari tiroid nodul
menggunakan jarum yang sangat kecil. Prosedur ini aman untuk dilakukan. Sel-sel yang telah
diambil akan dianalisa menggunakan mikroskop oleh ahli sitologi dan kemudian dapat
dikategorikan menjadi jinak atau ganas (Sarah, 2011)

5. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Terapi

Radioterapi Menggunakan I131, biasanya diberikan pada pasien yang telah diterapi dengan
obat anti-tiroid dan telah menjadi eutiroid. Indikasira dioterapi adalah pasien pada awal
penyakit atau pasien dengan resiko tinggi untuk operasi dan untuk pasien dengan hipotiroid
rekuren. Radioterapi merupakan kontraindikasi bagi wanita hamil dan anak-anak.

b. Penatalaksanaan Operatif
1. 1) Isthmulobectomy: pengangkatan tiroid salah satu lobus beserta

isthmusnya

2. 2) Lobectomy:merupakanprosedurpengangkatansatulobus.
3. 3) Tiroidectomitotal:adalahpengangkatanseluruhkelenjartiroid
4. 4) Tiroidectomy subtotal bilateral, pengangkatan sebagian lobus

kanan dan sebagian kiri.

5. 5) Near total tiroidectomi: merupakan isthmulobectomy dextra

dan lobectomy subtotal sinistra dan sebaliknya

6. 6) RND (Radical Neck Dissection): merupakan mengangkat seluruh

jaringan limfoid pada leher sisi yang bersangkutan dengan menyertakan n.accessories,
v. jugularis eksterna dan interna, m. Sternocleidomastoideus dan m. omohyoideus
serta kelenjar ludah submandi bularis

B. PertimbanganAnestesi

1. Definisi Anestesi

Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa ketika dilakukan


pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit, dalam hal ini
rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan
pembedahan (Sabiston, 2011). Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan
menurut jenis kegunaannya dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya
kesadaran, sedangakan anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri
disatu bagian tubuh saja tanpa menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong,
2012).

2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
General anestesi adalah keadaan tak sadar tanpa rasa nyeri (dengan reflek otonomik
minimal) yang reversibel karena pemberian obat-obatan. Anestesi inhalasi, anestesi
intravena, anestesi intravaskular, anestesi perrektal adalah subsub bagian dari general
anestesi, serta menunjukan jalur masuknya obat ke dalam tubuh (Soenarjo dan
Jatmiko, 2010).

b. Regional Anestesi
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat anestesi disekitar
syaraf sehingga area yang di syarafi teranestesi. Anestesi regional dibagi menjadi
epidural, spinal dan kombinasi spinal epidural, spinal anestesi adalah suntikan obat
anestesi kedalam ruang subarahnoid dan ekstradural epidural di lakukan suntikan
kedalam ekstradural. (Brunner & suddarth, 2012).

3. Teknik Anestesi
a. Anestesi umum dibagi menjadi 3 teknik yaitu:

1) Anestesi Inhalasi Menurut Mangku & Senapathi (2018) Anestesi inhalasi


merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan memberikan
kombinasi obat anestesi inhalasi yang

berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat/mesin

anestesi langsung ke udara inspirasi.

2. 2) Anestesi Intravena Merupakan salah satu teknik anestesi umum

yang dilakukan dengan jalan menyuntikan obat anestesia parentral langsung ke dalam
pembuluh darah vena (Mangku & Senapathi, 2018).

3. 3) Anestesi Imbang Menurut Mangku & Senapathi (2018) Anestesi imbang


merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat
anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik anestesi
umum dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesia secara optimal dan
berimbang, yaitu:
1. a) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau
obat anestesi umum yang lain.
2. b) Efek anelgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat atau
obat anestesia umum, atau dengan cara analgesia regional.
3. c) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot atau
obat anestesi umum, atau dengan cara anestesi regional.

b. Regional Anestesi Tehnik Anestesi Regional yang umum digunakan menurut Modul IPAI
2018 antara lain:

1. 1) Blok Subaraknoid Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh pembiusan


dari kaki sampai tulang dada hanya dalam beberapa menit. suntikan hanya diberikan
satu kali
2. 2) Blok Epidural Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh pembiusan dari
kaki sampai tulang dada hanya dalam beberapa menit. suntikan hanya diberikan satu
kali, obat diberikan terus- menerus melalui sebuah selang kecil selama masih
diperlukan

4. Rumatan Anestesi
a. General Anestesi

1) Inhalasi

1. a) NitrousOxide (NO2) NO2 merupakan satu-satunya gas

anorganik yang dipergunakan sebagai anatetikum. Gas ini memiliki baud an rasa
manis, densitasnya lebih besar dari pada udara, tidak berwarna, tidak mengiritasi, dan
tidak mudah terbakar. Bila dikombinasikan dengan anatetikum yang mudah terbakar
akan memudahkan terjadinya ledakan, misalnya campuran eter dan nitrogen oksida.

2. b) Halotan Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya
yang enak dan tidak merangsang jalan nafas, maka seing digunakan sebagai induksi
anestesi kombinasidengan NO2. Halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat
tua) supaya tida dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%. S elain untuk
induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi, asalkan anestesinya cukup dalam,
stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesia semprot lidokain 4% sekitar atau
10%s sekitar faring laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya
laringoskopi intubasi dapat dikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot cukup
baik. Pada nafas spontan rumjutan anestasi sekitar 1-2 vol% dan pada nafas kendali
sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Halotan
menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang sulit
dikendalikan dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk
bedah otak.
3. c) Enfluran Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat populer
setelah ada kecurigaan gangguan fungsi hepar oleh halotan pada penggunaan
berulang. Pada EEG menunjukkan tanda-tanda epileptic, apalagi disertai hipokapnia,
karena itu hindari penggunaanya pada pasien

dengan riwayat epilepsy, walaupun ada yang beranggapan bukan indikasi kontra untuk
dipakai pada kasus dengan riwayat epilepsy. Kombinasi dengan adrenalin lebih aman 3 kali
dibanding halotan. Vasodilatasi serebral antara halotan dan isofluran.

4. d) IsofluranIsofluran(foran,aeran)merupakanhalogenasieter yang pada dosis anestetik


atau sub anastetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi
meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian alira darah otak
dan tekanan intracranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi,
sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung
dan curaj jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada pasien dengan ganguan koroner, isofluran dengan konsentrasi
>1% terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan kurang respontif jika
diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca
persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika
menggunakan isofluran.
5. e) Sevofluran Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari
anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang menyebabkan
aritmia. Efek terhadap system saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan
toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan
oleh badan. Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralyme)

tetapi belum ada laporan membehayakan terhadap tubuh


manusia. 2) AnestesiIntravena

a) Barbiturat

 - Blockade system stimulasi di formasi retikularis.


 - Hambat pernafasan di medulla oblongata.
 - Hambat kontraksi otot jantung, tidak menimbulkan

sensitisasi jantung terhadap ketekolamin.

 - Dosis anestesi : ransang SSP; dosis >=depresi SSP.


 - Dosis induksi : 2 mg/kgBB (iv) dalam 60 detik;

maintenance =1/2 dosis induksi.

2. b) ThiopentalDewasa:2-4mllarutan2,5%secaraintermitten

tiap 30-60 detik.

3. c) Ketamine
o - Sifat analgesik, anestetik, kataleptik dengan kerja singkat
o - Analgesic kuat untuk somatic, lemah untuk system visceral
o - Relaksasi otot polos lurik (-), tonus meninggil
o - Tingkatkan TD, nadi, cursh jantung
o - Ketamin sering menimbulkan takikardi, hipertensi,

hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesi dapat menimbulkan mual muntah,


pandangan kabur, dan mimpi buruk.

o - Kalau harus diberikan sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi midazolam


(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena untuk
mengurangi salivasi deberikan sulfas atropin 0.001 mg/kg.
o - Dosis bolus untuk induksi intravena adalah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg.

d) Fentanyl
 - Analgesic dan anestesi neuroleptic
 - Kombinasi tetapman diberikan pada yang mengalami

hiperpireksia dan anestesi umum lain

 - Fentanil: masa kerja pendek, mula kerja cepat

e) Propofol

 - Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna

putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1

ml=10 mg)

 - Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga

beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2

mg/kg intravena.

 - Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kg, dosis rumutan

untuk anestasi intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis

sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg

 - Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%


 - Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak lebih dari

3 tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan f) Diazepam

 - Analgesic (-)
 - Sedasi basal pada anestesi regional, endoskopi, dental

prosedur, induksi anesthesia pada pasien kardiovaskuler

 - Efek anesthesia < ok mula kerja lambat, masa pemulihan


lama

 - Untuk premedikasi (neurolepanalgesia) dan atasi

konvulsi ok anestesi lokal - ESO: henti nafas, flebitis dan

thrombosis (+) rute IV

 - Dosis : induksi, 0,1-0,5 mg/kgBB

5. Resiko
a. Pernapasan Gangguan pernapasan cepat menyebabkan kematian karena

hipoksia sehingga harus diketahui sedini mungkin dan segera di atasi. Penyebab yang
sering dijumpai sebagai penyulit pernapasan adalah sisa

anastesi (penderita tidak sadar kembali) dan sisa pelemas otot yang belum dimetabolisme
dengan sempurna, selain itu lidah jatuh kebelakang menyebabkan obstruksi hipofaring.
Kedua hal ini menyebabkan hipoventilasi, dan dalam derajat yang lebih beratmenyebabkan
apnea.

2. Sirkulasi Penyulit yang sering di jumpai adalah hipotensi syok dan aritmia, hal ini
disebabkan oleh kekurangan cairan karena perdarahan yang tidak cukup diganti.
Sebab lain adalah sisa anastesi yang masih tertinggal dalam sirkulasi, terutama jika
tahapan anastesi masih dalam akhir pembedahan.
3. Regurgitasi dan Muntah Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia selama
anastesi. Pencegahan muntah penting karena dapat menyebabkan aspirasi.
4. Hipotermi Gangguan metabolisme mempengaruhi kejadian hipotermi, selain itu juga
karena efek obat-obatan yang dipakai. General anestesi juga memengaruhi ketiga
elemen termoregulasi yang terdiri atas elemen input aferen, pengaturan sinyal di
daerah pusat dan juga respons eferen, selain itu dapat juga menghilangkan proses
adaptasi serta mengganggu mekanisme fisiologi pada fungsi termoregulasi yaitu
menggeser batas ambang untuk respons proses vasokonstriksi, menggigil,
vasodilatasi, dan juga berkeringat.
5. Gangguan Faal Lain Diantaranya gangguan pemulihan kesadaran yang disebabkan
oleh kerja anestesi yang memanjang karena dosis berlebih relatif karena penderita
syok, hipotermi, usia lanjut dan malnutrisi sehingga sediaan anestesi lambat
dikeluarkan dari dalam darah. Anestesi Spinal memiliki keungulan dimana onsetnya
yang 12 kali lebih cepat, pelaksanaan yang mudah, akan tetapi mengganggu
hemodinamik intraoperatif.

Adapun efek yang diakibatkan penggunaan obat anestesi spinal kepada organ tubuh antara
lain (IPAI, 2018):

a. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi
penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena,

2. Bradikardia karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis T2
3. Hipoventilasi Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Mual Muntah. Bila terjadi mual muntah karena hipotensi, disamping itu juga adanya
aktifitas parasimpatik yang menyebabkan peningkatan peristaltik usus, juga karena
tarikan nervus dan pleksus khususnya N. Vagus, adanya empedu dalam lambung oleh
karena relaksasi pilorus dan sphincter duktus biliverus, faktor psikologis dan hipoksia.
5. Penurunan Panas Tubuh (Shivering) Sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi
panas oleh metabolisme berkurang . Vasodilatasi pada anggota tubuh bawah dapat
menyebabkan hipotermi
6. Nyeri punggung akibat dari tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal
atau ruptur dari struktur ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous.
Komplikasi neurologic
7. Retentio urine / Disfungsi kandung kemih dapat terjadi karena blokade simpatik
eferen (T5-L1) menyebabkan kenaikan tonus sfinkter yang mengakibatkan retensi
urine.

D. TinjauanTeoriAskanPembedahanKhusus 1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan pemikiran dasar dalam proses keperawatan
anestesiologi. Pada tahap ini merupakan proses sistematis dalam pengumpulan dari berbagai
sumber data untuk mengevaluasi dan mengindentifikasi status kesehatan pasien, dimana pada
tahap inilah yang paling menentukan terhadap tahap berikutnya. Tujuan dari dilakukannya
pengkajian yaitu bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien untuk
dapat mengidentifikasi, mengenali masalah- masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan
pasien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. Kemampuan mengidentifikasi masalah yang
terjadi pada tahap ini akan menentukan diagnosis keperawatan.

Diagnosis yang diangkat akan menentukan design perencanaan yang ditetapkan, selanjutnya
tindakan kepenataan dan evaluasi mengikuti perencanaan yang dibuat. Oleh sebab itu,
pengkajian harus dilakukan dengan teliti dan cermat sehingga seluruh kebutuhan pada pasien
dapat diidentifikasi. Pada tahap pengkajian yang perlu dipersiapan antara lain penilaian klinis
pasien dari hasil anamnesis, rekam medik dan pemeriksaan fisik serta penilaian terhadap hasil
pemeriksaan laboratorium dan radiologik yang diperlukan. Pada Pengkajian meliputi :

 - Melakukan anamnesis lengkap meliputi identitas, riwayat kesehatan, dan pola


kebutuhan dasar pasien.
 - Pemeriksaan fisik, meliputi keadaan umum dan

pemeriksaan 6B ( breathing, blood, brain, bladder,

bowel, bone)

 - Menetapkan penilaian faring (mallampati)

 Grade I: Pilar faring, uvula, dan palatum mole terlihat jelas, seluruh tonsil terlihat jelas.

  Grade II: Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring tidak terlihat,
setengah keatas dari fossa tonsil terlihat.
  Grade III: Palatum mole dan durum masih dapat terlihat jelas.
  Grade IV:: Pilar faring, uvula, dan palatum mole tidak terlihat, tanya palatum
durum yang terlihat

 - Pemeriksaan laboratorium dan radiologi


 - Menentukan status fisik pasien (ASA)
o  ASA I: Seorang pasien yang normal dan sehat, selain penyakit yang akan
dioperasi.
o  ASA II: Seorang pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang.
o  ASA III: Seorang pasien dengan penyakit sistemik berat yang belum
mengancam jiwa.
o  ASA IV: Seorang pasien dengan penyakit
sistemik berat yang mengancam jiwa.

o  ASA V: Penderita sekarat yang mungkin tidak bertahan dalam waktu 24


jam dengan atau tanpa pembedahan, kategori ini meliputi penderita yang
sebelumnya sehat, disertai dengan perdarahan yang tidak terkontrol, begitu
juga

penderita usia lanjutdengan penyakit terminal.

o  ASA VI: Pasien dengan mati batang otak yang

akan menjalani donor organ.

o  E: Lambang E ditambahkan pada setiap kasus

operasi emergensi.

 - Penetapan teknik anestesi


 - Pemilihan obat anestesi

- Mengkaji efek obat terhadap system tubuh (system kardiovaskuler, system respirasi, system
saraf pusat, system imunitas, system musculoskeletal)

1. Data Subjektif
Data yang didapat oleh pencatat dan pasien atau keluarga dan dapat diukur dengan
menggunakan standar yang diakui dan menunjukkan keluhan.
2. Data Objektif
Data yang didapat oleh pencatat dari pemeriksaan dan dapat diukur dengan
menggunakan standar yang diakui.

2. Masalah Kesehatan Anestesi


Masalah kesehatan merupakan suatu keadaan yang dapat terjadi pada pasien dari pre,
intra, dan pasca anestesi.
1. Pre Anestesi 1) Nyeri

2) ResikoCederaAnestesi
2. Intra Anestesi

1) Resikocideratraumapembedahan

2) RKDisfungsiKardiovaskuler.

3. Pasca Anestesi

1) Risikocederagangguanfungsirespirasi

3. Rencana Intervensi

Intervensi merupakan perencanaan yang dibuat dalam kegiatan keperawatan yang


meliputi, pusat tujuan pada pasien, menetapkan hasil apa yang ingin dicapai serta
memilih intervensi keperawatan agar dengan mudah mencapai tujuan. Tahapan
perencanaan ini memberi kesempatan kepada perawat, pasien, serta orang terdekat
pasien dalam merumuskan rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah
yang dialami oleh pasien tersebut

a. Pre Anestesi 1) Nyeri

a) Tujuan

Setelah dilakukan ASKAN selama fase pra anestesi/intra anestesi/pasca anestesi/di ruang
gawat darurat/perawatan kritis/lokasi bencana, nyeri hilang atau berkurang dengan kriteria
hasil:

2. b) KriteriaHasil
Skala nyeri menurun 2. Tekanan darah dalam batas normal (sistole: 90–120/ diastole:
60-80 mmHg), tekanan nadi kuat, frekuensi nadi 60 – 100x/menit 3. Frekuensi napas
dalam batas normal (12- 16x/menit) 4. Ekspresi wajah rileks 5. Tidak terjadi
diaforesis 6. Ukuran pupil dalam batas normal (3-5 mm) 7. Tidak gelisah
3. c) Rencana Intervensi
o - Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif

termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas


dan faktor presipitasi.

o - Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan


o - Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk

mengetahui pengalaman nyeri pasien

o - Evaluasi pengalaman nyeri sebelumnya


o - Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang

ketidakefektifan kontrol nyeri sebelumnya

o - Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri


o - Ajarkan tentang teknik non farmakologi (relaksasi napas

dalam, distraksi, Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT), genggam


jari, terapi musik, terapi murotal, TENS, terapi benson, Bimbingan imaginasi
dll)

o - Evaluasi keefektifan kontrol nyeri


o - Kolaborasi pemberian obat analgetik sesuai indikasi

(Acetaminophen, NSAID, Opioid) 2) RKcederaAnestesi

a) Tujuan

b. Intra Anestesi

Setelah dilakukan ASKAN selama fase intra anestesi cedera

akibat agen anestesi tidak terjadi

2. b) Kriteriahasil:-
3. c) Rencana intervensi

 - Observasi tanda-tanda vital


 - Kaji kesiapan pasien sebelum operasi (puasa, ganti baju
operasi, latihan pra anestesi (napas dalam, batuk efektif, latihan gerak sendi, latihan
berbalik posisi), pastikan aliran IV line lancar)

 - Lakukan pengosongan kandung kemih


 - Identifikasi hasil laboratorium
 - Koreksi risiko sebelum tindakan anestesi (misal:

hemodinamik)

 - Siapkan peralatan anestesi sesuai jenis anestesi

(STATICS, Epidural, Spinal, Lokal)

 - Siapkan mesin anestesi (sumber gas, tekanan gas

kesehatan, kebocoran sirkuit pernapasan, kesediaan gas

anestesi).

 - Siapkan obat-obatan dan cairan sesuai jenis anestesi


 - Periksa kelengkapan administrasi pasien (misal:

informed consent)

 - Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang prosedur

anestesi

 - Edukasi tentang persiapan tindakan anestesi (hentikan

merokok, minuman keras, obat-obatan terlarang narkoba, tidak memakai aksesoris,


tidak menggunakan cat kuku dan riasan wajah serta melepaskan gigi palsu)

 - Berikan kesempatan bertanya


 - Berikan kesempatan pasien untuk berdoa
 - Kolaborasi pemberian obat premedikasi

1) RKgangguanfungsikardiovaskuler
1. a) Tujuan

Setelah dilakukan ASKAN selama fase praanestesi/intra anestesi/pascaanestesi/ruang


gawat darurat/perawatan kritis/lokasi bencana, gangguan fungsi kardiovaskular
teratasi/tidak terjadi dengan kriteria hasil:

2. b) Kriteriahasil
o - Pasien mengatakan tidak nyeri dada
o - Tidak mengeluh lemas
o - Tidak mengeluh sesak napas
o - Tidak mengeluh jantung berdebar Objektif:
o - Hemodinamik dalam batas normal td( 100-120 mmHg

sistole /60- 80 mmHg diastole, N 60- 100x/menit), map

85 mmhg

o - EKG sinus rhythm


o - Cardiac Output tercukupi
o - Iktus Kordis 2 cm
o - Tidak ada keringat dingin
o - Wajah tidak pucat
o - Enzim jantung dalam batas normal (Troponin T: 0,2

mcg/L, Troponin I:

3. c) Rencana intervensi
o - Monitor tanda dan gejala penurunan curah jantung (dyspnea, kelelahan,
edema, ortopnea, distensi vena jugularis, palpitasi, kulit pucat)
o - Observasi tekanan darah dan MAP,Nadi, respirasi dan SpO2
o - Monitor gambaran EKG
o - Monitor status cairan(intake danoutput)
o - Monitor adanya memar, perdarahan hidung, gusi

berdarah, hematuria (pada terapi antikoagulan)


 - Monitor tanda dan gejala syok: peningkatan denyut jantung disertai dengan tekanan
darah yang normal atau sedikit turun, denyut nadi lemah, urine output
 - Observasi bunyi, irama dan frekuensi jantung
 - Periksa tingkat perfusi jaringan perifer (CRT <3
 - Monitor adanya nyeri dada
 - .Monitor tingkat toleransi aktivitas
 - Monitor enzim jantung (Troponin T dan Troponin I)

12.Monitor elektrolit

 - Pasang IV kateter besar dan pastikan aliran IV berfungsi

dengan baik (jika diperlukan 2 line)

 - Lakukan Resusitasi Jantung Paru pada kasus cardiac

arrest

 - Lakukan defibrilasi sesuai indikasi


 - Berikan posisi semifowler/fowler
 - Anjurkan pasien untuk istrahat cukup
 - Kolaborasi pemberian oksigenasi sesuai program
 - Kolaborasi terapi cairan
 - Kolaborasi pemberian agen inotropik dan vasoaktif
 - Kolaborasipemberian Vasopresor
 - Kolaborasi pemberian obat anti-aritmia

2) Risikocederatraumafisikpembedahan

1. a) Tujuan

Setelah dilakukan ASKAN selama fase intra anestesi cedera

trauma fisik tidak terjad

2. b) Kriteriahasil:-
3. c) Rencana intervemsi
o - Observasi kedalaman anestesi sesuai dengan plana 1-4 ( refleks bulu mata,
pernapasan, refleks pupil, refleks laring, refleks peritonium, relaksasi otot
lurik, lakrimasi)
o - Observasi trias anestesi meliputi:

 - Tingkat relaksasi otot (misal: tidak ada tonus otot)


 - Tanda-tanda nyeri ( misal: tekanan darah dan nadi tidak

meningkat)

 - Tanda-tanda hipnosis (tidak berespons terhadap

stimulus)

 - Lakukan pemberian oksigen 100% (pre oksigenasi)


 - Lakukan pengaturan posisi pasien dan penilaian level

blok (regional anestesi)

 - Kolaborasi dalam asuhan tindakan anestesi umum:


 - Induksi
 - Teknik anestesi(TIVA, inhalasi, balanced anestesi)
 - Kepatenan jalan napas (LMA, ETT)
 - Rumatan anestesi
 - Pengakhiran anestesi
 - Kolaborasi dalam asuhan tindakan anestesi dan sedasi

meliputi:

 - Sedasi ringan (misal: Midazolam)


 - Sedasi sedang (misal: Opioid lemah)
 - Sedasi dalam (misal: Opioid kuat)

c. Post anestesi
1) RKgangguanfungsiRespirasi
1. a) Tujuan
Setelah dilakukan ASKAN selama fase praanestesi/intra anestesi/pasca anestesi/di
ruang gawat darurat/ruang perawatan kritis/lokasi bencana, komplikasi gangguan
fungsi respirasi tidak terjadi/teratasi, dengan kriteria hasil:
2. b) Kriteriahasil
o - Dapat bernapas dengan mudah
o - Tidak terdapat nyeri dada
o - Pasien tampak tidak sesak napas
o - Tidak tampak pernafasan cuping hidung,

 - Tidak tampak mengunakan otot pernapasan tambahan


 - Frekuensi napas normal (12-20x/menit)
 - Saturasi oksigen 95-100%
 - Pola napas teratur
 - Ekspansi dada simetris

c) Rencana intervemsi

 - Monitor status respirasi dan oksigenasi (misal: frekuensi dan kedalaman napas,
penggunaan otot bantu napas, bunyi napas tambahan, saturasi oksigen, Minute
volume) sesuai kondisi pasien
 - Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi, Kusmaul,
CheyneStokes, Biot, ataksik/pernapasan irreguler)
 - Monitor kadar EtCO2
 - Identifikasi efek perubahan posisi terhadap status

pernapasan

 - Palpasi kesimetrisan ekspansi paru


 - Monitor nilai Analisa gas darah (AGD)
 - Monitor nilai Hb 8. Monitor tanda hipoksia
 - Monitor hasil x-ray toraks
 - Atur gas/rumatan anestesi sesuai kebutuhan kondisi

pasien
 - Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan (mis. nasal kanul,

masker wajah, masker rebreathing atau non rebreathing)

 - Ajarkan melakukan teknik relaksasi napas dalam


 - Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
 - Kolaborasi ventilasi mekanik
 - Kolaborasi koreksi asam basa
 - Kolaborasi pemberian diuretik pada edema paru

4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh

perawat dan pasien (Riyadi,2010). Implementasi keperawatan adlah pengelolaan dan


perwujudan dari rencana keperawatan yang telah di susun pada tahap perencanaan
(Setiadi,2012).

5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses

keperawatan yang berguna apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang telah
dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain. Evaluasi keperawatan mengukur
keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan
dalam memenuhi kebutuhan pasien. Penilaian adalah tahap yang menentukan apakah
tujuan tercapai (Dinarti, Yuli Mulyanti., 2017).

BAB IV

Anda mungkin juga menyukai