Anda di halaman 1dari 17

PROPOSAL PENELITIAN TESIS

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK FKUI

UNTUK KEPERLUAN SEKRETARIAT

1
Penelitian
Nama: Budi Utama NPM:1306492704

2 Tim pembimbing tesis tidak boleh melebihi dua orang termasuk Penasehat Akademik.

Nama : Heri Wibowo Gelar: DR drs M.Biomed

Nama : Niken L Poerbonegoro Gelar: dr Sp THT-KL(K)

3 Judul Riset Harus informatif dan singkat jangan. melebihi 20 kata

Efek pemberian vitamin D in vitro pada kultur PBMC (Peripheral Blood Mononuclear Cell) penderita
rinitis alergi terhadap keseimbangan Th1-Th2 serta T regulator

4 Kekhususan

Imunologi

5 Kata Kunci Berikan maksimum 4 kata kunci (key words)

Rinitis alergi aktivasi

supresi Sel mast


6 Persetujuan Pembimbing

Nama Tanda Tangan Tanggal

DR.drs.Heri Wibowo, M.biomed

Dr.Niken L.Poerbonegoro Sp THT-KL(K)

7 Persetujuan Ketua Kekhususan

Nama Tanda Tangan Tanggal


DR drs Heri Wibowo, M.Biomed
8 Persetujuan Penilai Proposal

Nama Penilai & Gelar Institusi:


Program studi Biomedik kekhususan
Imunologi FKUI

Tanggal dan Tanda tangan Penilaian (mohon diberi tanda  )

 Diterima tanpa perbaikan


 Diterima dengan perbaikan
( mohon diberikan komentar)
 Tidak diterima
(mohon diberikan komentar)

9 Komentar Penilai (apabila tidak mencukupi dapat dituliskan di lembar tambahan)

10 Latar Belakang Jangan melebihi 2 halaman yang disediakan. Gunakan spasi tunggal (12 pts Font )
Rinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut . Definisi menurut WHO Aria (Allergic
Rhinitis and impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai IgE.(1)

Tungau debu rumah (TDR) merupakan aeroalergen tersering yang mensensitisasi reaksi alergi.
Dermatophagoides pteronyssinus (Der p) dan Dermatophagoides farinae (Der f ) memproduksi lebih dari
20 macam alergen yang dibedakan berdasarkan sekuens asam amino dan fungsi biologi. Reaksi alergi
merupakan kumpulan respons terhadap antigen yang ada di lingkungan sekitar, seperti serbuk bunga,
bulu binatang, dan TDR. Peranan tungau terhadap alergi pada manusia pertama kali didokumentasikan
oleh Cooke dan Kern tahun 1920 yang menemukan bahwa debu dari tas menghasilkan reaksi kulit positif
pada penderita asma. Selain mencetuskan asma, TDR juga mensensitisasi dan menginduksi rinitis dan
dermatitis atopik pada penderita penyakit alergi. Penelitian Terreehorst (2002) pada 325 pasien atopi
menunjukkan bahwa 92% pasien asma dan 85% pasien dermatitis atopi memiliki prevalensi tinggi
terhadap gejala rinitis alergi yang berhubungan dengan TDR. Di Indonesia, 90% penderita asma rentan
terhadap debu rumah.(2)
Secara patogenesis rinitis alergi merupakan penyakit alergi yang diawali dengan adanya sensitisasi. Pada
kontak pertama dengan antigen makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen peptida pendek dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1
(IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th 2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL-3, IL4, IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E
IgE). Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mast
atau basofil (sel mediator). Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila sel mast yang terdapat di mukosa hidung dan sudah tersensitisasi terpapar dengan
alergen yang sama, maka dua atau lebih rantai IgE akan berikatan dengan alergen spesifik, sehingga
terjadi aktivasi sel tersebut yang diakhiri dengan degranulasi. Akibatnya terjadi pelepasan mediator kimia
yang sudah terbentuk (performed mediator) dalam granula, terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan newly formed mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LTD4),
leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin, IL-4, IL-5, IL-
6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor), dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai reaksi alergi fase cepat. Reaksi alergi fase cepat akan diikuti dengan fase lambat yang ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan GM-CSF. (1)

Pada tahun 1988 reseptor vitamin D (VDR), berhasil di klon.(4) Reseptor vitamin D berlokasi di beberapa
jaringan dan sel tubuh manusia, termasuk di peripheral blood mononuclear cells (PBMCs) dan limfosit T
yang telah teraktivasi. Selain itu VDRs juga berlokasi pada sel dendritik, merupakan APC penting.(5)

Vitamin D merupakan hormon steroid dengan reseptor di nukleus (nuclear receptor). Nuclear receptor
mempunyai kemampuan untuk mengikat DNA secara langsung dan mengatur ekspresi dari gen yang
terikat, sehingga reseptor ini termasuk dalam kelompok faktor transkripsi. Reseptor ini bersama dengan
faktor transkripsi lainnya akan mengatur transkripsi gen spesifik, yang pada akhirnya dapat mengontrol
perkembangan, homeostasis, metabolisme organisme. Nuclear receptor mempunyai 6 domain (domain A
sampai F). Salah satu domain berfungsi sebagai ligan binding domain (LBD) yang akan berikatan dengan
ligannya. Selain LBD terdapat DNA binding domain (DBD), yang akan berikatan dengan sekuens DNA
sel target pada daerah yang disebut hormone response elements (HRE).

Semua organ target vitamin D, termasuk sel imun, memiliki VDR pada inti selnya. Vitamin D dalam
bentuk aktif berupa 1,25(OH)2D akan berikatan dengan VDR membentuk kompleks 1,25(OH)2D-VDR.
Kompleks 1,25(OH)2D-VDR akan berinteraksi dengan retinoic acid X receptor (RXR) membentuk
heterodimer yang kemudian akan berinteraksi dengan vitamin D-responsive element (VDRE) pada DNA.
Interaksi ini akan menghasilkan sintesis mRNA baru, yang pada akhirnya mengontrol perkembangan,
homeostasis, dan metabolisme sel target. Bagian VDR yang berikatan dengan 1,25(OH)2D adalah pada
daerah terminal C, yang disebut hormone binding domain, sedangkan bagian yang berikatan dengan
DNA adalah pada daerah terminal N, yang disebut DNA binding domain yang memiliki jari-jari Z.
Vitamin D mungkin juga dapat menghambat proliferasi sel B dan juga menghambat sel B.(7)

Riset yang lebih jauh memperlihatkan bahwa vitamin D mempunyai beberapa efek dari pengaturan
sitokin terhadap beberapa sel yang berbeda dari sistem imun. Vitamin D dapat menekan respon Th1 dan
Th2 seperti yang ditunjukkan oleh eksperimen-eksperimen berikut: T soukas dkk menunjukkan
konsentrasi pikomolar dari 1,25(OH)2D menurunkan aktivitas IL-2 dan menghambat aktivitas proliferasi
dari mitogen terhadap limfosit. Lebih jauh 1,25(OH)2D menurunkan proliferasi baik sel Th1 dan Th2,
sejalan dengan menurunnya produksi IFNγ, IL-2, dan IL-5.(9) Mahon dkk menunjukkan bahwa
penambahan 1,25(OH)2D pada limfosit T menyebabkan penurunan proliferasi baik Th1 maupun Th2
yang ditunjukan dengan menurunnya produksi sitokin INFγ, IL-2, IL-5 dan IL-4.(10)
Sebuah studi dari Pichler dkk melihat efek 1,25(OH)2D terhadap CD4+ T helper naif dan CD8+ sel T
sitotoksik dari kultur sumsum tulang manusia. Mereka menemukan 1,25(OH)2D mempunyai efek
menghambat induksi sel Th1 dalam memproduksi INFγ, dan juga menghambat induksti Th2 dalam
memproduksi IL-4 dan IL-13.(11)
Eksperimen-eksperimen lain menunjukkan bahwa vitamin D meningkatkan respon Th2, seperti yang
ditunjukkan oleh Froicu dkk yang melakukan eksperimen dengan tikus yang VDRnya diknock out (KO).
Sebagai perbandingan dengan tikus tipe wild (WT), tikus yang VDRnya diknock out (KO) memproduksi
lebih banyak IFNγ, dan memproduksi lebih sedikit IL-2, IL-4, IL-5.(12)
Boonstra dkk mendemonstrasikan bahwa vitamin D menghambat INFγ dan meningkatkan produksi IL-
4, IL-5, dan produksi IL-2 pada model tikus. Studi ini memperlihatkan bahwa defisensi dari vitamin D
mengakibatkan respon ke arahTh1 dan kehadiran dari vitamin D dapat menekan respon Th 1 dan
meningkatkan respon Th2.(13)

Bukti lain yang menunjukkan bahwa vitamin D mempunyai peran menghambat respon Th2, tampak pada
model mencit dengan inflamasi eosinofil pada paru-paru. Pemberian vitamin D terhadap mencit yang
diberi alergen memperlihatkan proliferasi sel T dengan peningkatan produksi IL-5, IL-13, dan IgE. Pada
cairan bilasan dari bronkoalveolar dan jaringan paru-paru tidak ditemukan eosinofil dan terdapat kadar
yang rendah dari IL-5.(14)

Pada penelitian Moradzadeh dkk, prevalensi penderita defisiensi vitamin D berat ternyata lebih banyak
didapati pada penderita rinitis alergi dibandingkan daripada orang normal.(15) Pada penelitian Datt Modh
dkk terhadap 21 orang pasien yang menderita rinitis alergi yang memperoleh penambahan vitamin D
(chole-calciferol ) 1000 IU yang dievaluasi selama 1 tahun ternyata menunjukkan peningkatan kadar
serum vitamin D sejalan dengan perbaikan klinis pengurangan skor gejala klinis alergi hidung.(16)

Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi IgE pada penderita atopi
meningkat sehingga mempengaruhi keseimbangan Th2 dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan
IL-4. Infeksi akan menyebabkan peningkatan respons Th1 dan akan menurunkan kecenderungan
perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th 2. Sel Th2 akan meningkatkan sintesis IL-4 dan
IL-13 yang pada akhirnya akan menaikkan produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan
interferon gama (IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE.(18)
Perubahan pradigma Th1/Th2 mengemukakan adanya jenis sel T CD4+ yang lain, yaitu sel T-regulator
(Treg) dan sel TH17 yang turut berperan dalam mekanisme respon imun dan lebih dapat memberi
penjelasan tentang mekanisme yang terjadi dalam berbagai proses imunologik. Sifat utama sel T-regulator
(Treg) adalah kemampuannya untuk menekan respon imun bawaan maupun respon imun didapat. Sel T
reg dibagi dalam 2 golongan besar yaitu Treg yang terdapat secara alamiah (naturally occuring) Treg
yaitu nTreg dan Treg adaptif yaitu aTreg (adaptive T reg) atau sering disebut pula iTreg (inducible
Treg). Pembagian ini sebenarnya fleksibel tetapi merupakan cara klasifikasi yang bermanfaat. Yang
membedakan keduanya adalah perkembangan dan mekanisme supresinya.(19)
11 Permasalahan
Cantumkan juga hipotesis (bila ada) atau pertanyaan penelitian. Jangan melebihi kolom
yang tersedia.

Sampai sekarang sejauh mana efek vitamin D berpangaruh pada alergi dan inflamasi khususnya pada
rinitis alergi masih belum banyak diketahui. Sejak ditemukannya reseptor vitamin D berlokasi di
beberapa jaringan dan sel di tubuh manusia, termasuk di PBMC dan limfosit T yang telah teraktivasi serta
sel dendritik oleh Baker dkk, riset mengenai efek vitamin D terhadap alergi dan inflamasi berkembang.
Secara farmakologi telah diketahui bahwa vitamin D dapat menghambat proses pematangan sel T.
Pemberian vitamin D dapat mempengaruhi keseimbangan Th1 dan Th2. Sel Th1 dan Th2 menghambat
perkembangan satu sama lain. Produksi IgE pada penderita atopi meningkat. Sel Th2 akan meningkatkan
sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya akan menaikkan produksi IgE, sedangkan sel Th1 yang
menghasilkan interferon gama (IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin D pada sel PBMC in vitro dari penderita rinitis
alergi.
Pertanyaan penelitian:
1. Apakah pemberian vitamin D pada sel mononukleus penderita rinitis alergi dapat mempengaruhi
kadar sitokin IFNγ (pro inflamasi) dan sitokin IL-10 (anti inflamasi).
2. Apakah pemberian vitamin D dapat menekan respon Th2 dan meningkatkan respon dari Th1
3. Apakah pemberian vitamin D mempunyai pengaruh terhadap fungsi sel T regulator.

Tujuan umum:
Mengetahui peran vitamin D terhadap sel PBMC in vitro penderita rinitis alergi.

Tujuan Khusus:
1. Mengetahui kadar INFγ sebelum dan setelah pemberian vitamin D pada kultur sel PBMC
penderita rinitis alergi.
2. Mengetahui kadar sitokin IL-5 sebelum dan setelah pemberian vitamin D pada kultur sel PBMC
penderita rinitis alergi.
3. Mengetahui kadar sitokin IL-10 sebelum dan setelah pemberian vitamin D pada kultur sel PBMC
penderita rinitis alergi.
4. Mengetahui apakah pemberian vitamin D pada kultur sel PBMC penderita rinitis alergi dapat
menurunkan respon Th2 dan meningkatkan respon Th1.
5. Mengetahui apakah pemberian vitamin D pada kultur sel PBMC penderita rinitis alergi dapat
mempengaruhi fungsi sel T regulator.

Manfaat penelitian:

Untuk institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukkan mengenai mengenai potensi vitamin D yang
belum begitu banyak diketahui khususnya sebagai suplemen untuk menghambat reaksi alergi.
Untuk peneliti lain.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka kesempatan bagi peneliti lain untuk penelitian lanjutan
perihal peranan vitamin D terhadap regulasi sel T pada pasien-pasien alergi.
Untuk keilmuan.
Dengan diketahui peranan vitamin D terhadap alergi dan regulasinya terhadap sel T, membuka
kesempatan untuk dimodifikasi sebagai pengobatan alergi.
Untuk Peneliti
Dapat memahami mengenai konsep-konsep alergi dan mekanisme zat-zat yang dapat mempengaruhi
reaksi alergi, khususnya vitamin D.

12 Tujuan Riset Uraikan tujuan khusus dan makna riset harus diuraikan dengan jelas. Jangan melebihi
tempat yang disediakan.

13 Rencana Riset Uraikan dengan jelas tetapi ringkas strategi umum dari riset yang diusulkan serta
pendekatan khusus dan metode yang akan digunakan. Apabila diperlukan fasilitas di institusi lain,
tunjukan bahwa lembaga yang bersangkutan telah dihubungi dan memberikan persetujuan. Jangan
melebihi 3 halaman spasi tunggal (12 pts Font)
Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Terpadu FKUI.

Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan cara mengambil darah segar (whole blood)
penderita rinitis alergi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kreteria inklusi meliputi: usia
antara 18-65 tahun, dan hasil prick test positip untuk alergen tungau. Kriteria ekslusi adalah apabila
penderita mengalami demam serta infeksi sekunder.

Sampel penelitian
Penelitian ini menggunakan sample sel darah (whole blood) yang telah diberi heparin dari penderita
rinitis alergi dan belum mendapat terapi kortikosteroid sistemik. Penderita rinitis alergi didiagnosis
oleh seorang ahli THT berdasarkankan anamnesis berupa adanya bersin serta gejala lain seperti keluar
ingus yang encer dan gatal, yang kadang-kadang diserta lakrimasi, serta pemerikasaan fisik berupa
rinoskopi anterior serta posterior dan dengan bantuan nasoendoskopi.

Variasi dan besar sampel


Besar Sampel
Jumlah sampel dari tiap kelompok perlakuan akan dihitung menggunakan rumus Federer
Kelompok perlakuan berjumlah tiga yaitu sel-sel PBMC yang telah diberi 1,25 D3 dengan penambahan
(RPMI, RPMI+PHA, RPMI+Mite) dan satu kelompok kontrol (tanpa diberi 1,25 D3).
Rumus Federer: (n-1) (t-1) ≥ 15 ; dengan t = jumlah kelompok = 4
n = jumlah sampel
(n-1) (4-1) ≥ 15  3 (n-1) ≥ 15  n ≥ 6
Jadi dibutuhkan minimal 6 sampel darah segar (whole blood) penderita rinitis alergi.

Cara kerja

Pengambilan sampel.
Sampel diambil dari darah segar (whole blood) penderita rinitis alergi yang didiagnosis oleh ahli THT
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hasil diagnosis tersebut diperkuat dengan melakukan
skin prick test untuk menentukan alergen yang spesifik. Dipilih penderita yang mempunyai hasil skin
prick test yang positip untuk tungau.

Tahap isolasi PBMC


Darah sebanyak 6 mL ditambah dengan 6 mL stok medium RPMI, dihomogenkan dengan
menggunakan pipet. Disiapkan tabung steril ... mL yang telah diisi dengan 5 mL Ficoll. Secara hati-hati
darah yang telah diencerkan di atas dimasukkan ke atas larutan Ficoll tersebut lalu disentrifugasi
dengan kecepatan 400 g selama 30 menit. Lapisan yang paling atas yang berisi plasma dibuang dengn
menggunakan pipet sampai lapisan buffycoat. Lapisan buffycoat yang berisi PBMC diambil dan
dipindahkan ke tabung steril ... mL yang baru. PBS sejumlah 5 ml ditambahkan ke dalam umtuk proses
pencucian PBMC serta dihomogenkan dengan pipet. Kemudian dilakukan sentrifugasi kembali dengan
kecepatan 100 g selama 10 menit. Supernatan dibuang dan ditambahkan 2 mL medium lengkap di buat
dengan komposisi 10% plasma autolog, 1% penisilinstreptomisin, dan 89% RPMI 1640(Gibco) ke atas
pelet sel kemudian diresuspensi kembali. Dilakukan perhitungan sel dengan cara 10 µL suspensi PBMC
di atas ditambahkan dengan 10 µL tryphan blue lalu dihomogenkan. Diambil 10 µL campuran sel
tersebut dan dihitung dengan menggunakan menggunakan bilik hitung.

Tahap perlakuan
Disiapkan 6 sumur (12 multiwell plate), kemudian dimasukkan PBMC sejumlah 500.000 sel
Dimasukkan ke dalam inkubator suhu 370 C, CO 5 % selama 3 hari. Setelah 3 hari 3 sumur diberikan
1,25(OH)2D3 sejumlah 50 nM dan 3 sumur lagi tanpa 1,25(OH)2D3. Dilakukan stimulus dengan
menambahkan alergen tungau sebanyak 50U/ml pada medium RPMI. Medium RPMI tanpa alergen
tungau sebagai kontrol negatif, serta medium RPMI dengan penambahan PHA 10 µg/mL sebagai
kontrol positif. Selanjutnya kultur kembali diinkubasi selama 3 hari pada 37oC CO2 5%. Pada hari ke 6
supernatan diambil dan dialikuot ke dalam beberapa tabung eppendorf dan disimpan pada suhu -700C
sampai dengan pemeriksaan ELISA.

Pengukuran konsentrasi sitokin.


Pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran IL-5, IL-10, IFN-γ pada medium dari masing-masing
perlakuan. Pengukuran menggunakan uji Elisa dengan human kit R&D system (nomor katalog
#CA1F00 untuk IL-5, nomor katalog #D5000B untuk IL-10, dan nomor katalog #D1000B untuk IFNγ)
dengan langkah sesuai petunjuk pada kit. Setelah semua tahapan pemeriksaan ELISA selesai, dilakukan
pembacaan menggunakan ELISA reader dengan cara membaca densitas optik tiap sumur dengan
menggunakan gelombang 450 nm dan 540 nm sebagai koreksi. Hasil bacaan densitas optik dari larutan
standar dan konsentrasi larutan standar yang diketahui dibuat kurva standar. Konsentrasi IL-5, IL-10, dan
IFNγ dalam sampel diperoleh dengan mengekstrapolasi nilai densitas optik masing-masing sampel
berdasarkan kurva standar tersebut.

Analisis data.
Pada penelitian ini digunakan analisis univariat dan bivariat pada sitokin IL-5, IL-10, dan IFNγ, antara
sebelum dan sesudah suplementasi. Uji statistik menggunakan uji t berpasangan bila distribusi normal
dan uji Wilcoxon bila data tidak normal. Untuk mengetahui hubungan antara variabel independen
(............) dengan variabel dependen (kadar IL-5, IL-10 dan IFNγ) digunakan uji korelasi Pearson bila
data berdistribusi normal, dan uji korelasi Spearman bila data berdistribusi tidak normal.

14 Jadwal Penelitian Cantumkan lama penelitian dan rincian jadwal secara skematis.
No Kegiatan Bulan
Agus’16- Okt’16 Des’16- Feb’16- April ’16- Jun’16-
Sep‘17 -Nov ‘17 Jan ‘17 Mar‘17 Mei‘17 Jul ‘17
1. Studi pustaka

2. Persiapan alat-
alat dan bahan
penelitian
3. Penelitian

4. Penulisan

15 Persyaratan Etik Bagian dibawah ini harus diisi apabila riset yang diusulkan berkaitan dengan
eksperimentasi pada manusia dan hewan. Metode yang digunakan harus memenuhi ketentuan etik
penelitian pada manusia dan hewan (Human and Animal Ethics). Persyaratan ini dianut oleh semua jurnal
ilmiah berbobot.

Implikasi Etik Eksperimental pada Manusia Berikan pernyataan singkat mengenai permasalahn etik yang
dapat timbul dari eksprimentasi, dan jelaskan bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi.
Permasalahan etik termasuk (a) bahaya dan komplikasi perlakuan, (b) kerahasiaan data (confidentiality),
(c) Informed consent, dan sebagainya.

Penelitian ini tidak mengandung unsur intervensi kepada penderita yang tunduk kepada deklarasi
Helsinki. Namun pada setiap perlakuan pada penderita akan ada persetujuan tertulis (informed consent) dari
penderita atau keluarganya. Kepada penderita dan keluarganya akan diberikan penjelasan tentang maksud
dan tujuan penelitian serta manfaat yang diharapkan dari penelitian ini.

16 Daftar Pustaka Harus relevan dengan usulan. Tidak lebih dari satu halama
n
1. Nina I, Elise K, Nikmah R. Rinitis alergi. In: Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR,
editors. Buku ajar ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 7 ed.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012; 106-12.
2. Thomas WR, Smith WA, Hales BJ, Milis KL, O’Brien RM. Characterization and
immunobiology of house dust mite allergens. Int Arch Allerg Immunol. 2002;129:1-18.
3. Ray A, Khare A, Khrinsamoorty N Qi Z, Ray P: Regulatory T cells in many flavours controls
Asthma. Mucosal Immunol 2010, 3(3):2016-229
4. Baker AR, McDonell DP, Hughes M, et al. Cloning and expression of full-length cDNA
encoding human vitamn D receptor. Proc Natl Acad Sci U S A. 1988;85(10):3294-8.
5. Brennan A, Katz DR, Nun JD, et al. Dendritic cells from human tissue express receptors for
the immunoregulatory vitamin D3 metabolic, dihydroxycholecalciferol. Immunology. 1987
61(4):457-61.
6. Chen KS, DeLuca HF. Cloning of the human 1 alpha,25-dihydroxyvitaminD-3 24-
hydroxylase gene promoter and identification of two vitamin D-responsive elements.
Biochim Biophys Acta. 1995;1263(1):1-9.
7. ChenS, Sim GP, Chen XX, Gu YY, Chen S, Lipsky PE. Modulatory effect of 1,25
Dyhydroxyvitamin D3 on B Human cell Differentiation. The Journal of Immunology.
2007:179(3); 1634-1647
8. Holoick MF. Vitamin D deficiency. Of N Eng J Med 2007;357(3):266-81
9. Tsoukas CD, Povvedin DM. 1,25-dihydroxyvitamin D3: a novel immunoregulatory
hormone. Sciens. 1995;224(4656):1438-40
10. Mahon BD, Wittke A, Weaver V Cantona MT. The targets of vitamin D depend on the
differentiation and activation status of CD4 positive T cells. J Cell Biochem
2003;112(3):586-92
11. Pichler J, Gerstmyr M, Szepfalusi Z, et al. 1 alpha, 25(OH)2D3 inhibit not only Th1 but also
Th2 differentiation in human cord blood T cells Pediatr Res. 2002;52(1):12-18.
12. Froicu M, Weaver V, Wynn TA, et al. A crucial role for the vitamin D receptor in
exerimental inflamatory bowel disease Mol Endocrinol 2003;17(12
13. Boonstra A, Barrat FJ, Crain C, et al. 1 alpha 25-Dihydroxyvitamin D3 has a direct effect on
naive CD4(+). J Immunol. 2001;167(9):4974-80.
14. Matheu V, Back O, Mondoc E, Elsszadeh-Navikas S. Dual effects of vitamin d-induced of
TH1/TH2 cytokine expression: enhancing IgE production and decressing airway eosinophilia
in murine allergic airway disease. J Allergy Clin Immunol. 2003;112(3):585-92.
15. Moradzadeh K, Larijan B, Keshtkar SK, Aminlou M. Vitamin D serum level in allergic
rhinitis: Any difference from normal population? Asia Pac Allergy 2012;2:45-8
16. Datt M, Ashish K, Bhaskar T, Anil J, Pankaj S, Krupal J. Role of vitamin D supplementation
in allergic rhinitis. British Journal of Allergy, Asthma and immunology. Jan-Jun
2014;28(1):35-9.
17. Peter H. ABC of allergies of pathogenic mechanisms: a rational basis for treatment. BMJ;
1998; 316: 758-61
18. Wig K Fehervari Z, Sakaguchi S. Eemrging possibilities in the development and function of
T cells. Int J Immunol 2006; 181(7):991-1000
19. Sogut A, Yilmaz O, Kimaz C, Ozbbilgin K, Onur E, Celik O, Pinar E Vatansever S, Dinc G,
Yuksel H: Regulatoru-T, T-helper, 1, and T-helper 2 cell differentiation in nasal mucosa of
allergic rhinitis with olive pollen sensitivity. Int rch Allergy Immunol 2012, 157(4):349-353
17 Kerangka teori
Kerangka Konsep
18
Vitamin D

Sel T Makrofag

IL-12 T regulator IL-4


IL-10

INFγ
Th1 Th2
IL-4 Sel B
IL-5

IL-5

Eosinofil

Anda mungkin juga menyukai