MAKALAH IMUNOBIOLOGI
Oleh :
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Imunobiologi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dan mendukung dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada Prof. Dr. Yoes
Prijatna Dachlan, dr, M.Sc, SpPar(K) selaku dosen pengampu mata kuliah
Imunobiologi.
Kami sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
semua pihak.
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul
Kata Pengantar.......................................................................... .......................i
Daftar Isi.......................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan
1. Latar Belakang........................................................................... ......... 1
2. Rumusan Masalah........................................................................... .... 2
3. Tujuan ................................................................................................. 2
4. Manfaat ............................................................................................... 3
BAB II Pembahasan
1. Gambaran Umum CD dan CD40 ........................................................ 4
2. Interaksi CD40 terhadap Imunitas Selular .......................................... 5
3. Interaksi CD40 terhadap Imunitas Humoral ...................................... 5
4. Sinyal Transduksi CD40
5. CD40 dan Kaitannya dengan Penyakit pada Manusia ........................ 5
BAB III Penutup
a. Kesimpulan ........................................................................................ 17
b. Saran ................................................................................................... 18
Daftar Pustaka
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem imun merupakan suatu sistem dalam tubuh yang sangat rumit, karena
diantaranya terdapat peran-peran ganda dalam upaya menjaga keseimbangan
internal tubuh. (Subowo, 2014) Sistem imun berfungsi dalam mempertahankan
kondisi tubuh terhadap benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti
bakteri, virus, fungus dan parasit. Sistem ini melibatkan banyak organ, molekul, sel,
dan berbagai jalur yang saling berhubungan. (Owen, 2013)
Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alami dan adaptif. (Roitt, 2017)
Sistem imun alami memberikan perlindungan segera terhadap infeksi, sedangkan
imunitas adaptif berkembang lebih lambat namun memberikan perlindungan yang
lebih spesifik terhadap infeksi. Pertahanan lini pertama pada imunitas alami
dilakukan oleh barier epitelial kulit dan mukosa serta sel dan antibiotik alami yang
berada di epitel, yang mana berfungsi untuk menghambat masuknya mikroba. Bila
mikroba menghancurkan epitel dan memasuki jaringan atau sirkulasi, mereka akan
diserang oleh fagosit, limfosit spesifik, dan beberapa protein plasma, termasuk
protein dari sistem komplemen. Keseluruhan mekanisme imunitas alami ini secara
spesifik mengenali dan bereaksi terhadap mikroba. Selain memberikan pertahanan
awal terhadap infeksi, respon imun alami juga meningkatkan respons imun adaptif.
(Abbas, 2016)
Sistem imun adaptif terdiri atas limfosit dan produk-produknya, misalnya
antibodi. Respon imun adaptif sangat penting terutama untuk pertahanan terhadap
mikroba infeksius yang bersifat patogenik yang mampu melewati pertahanan lini
pertama atau imunitas alami. Sementara mekanisme imunitas alami mengenali
struktur-struktur yang sama-sama dimiliki oleh berbagai kelas mikroba. Sel-sel
imunitas adaptif (limfosit) mengekspresikan reseptor yang secara spesifik
mengenali berbagai molekul yang diproduksi oleh mikroba serta molekul-molekul
non-infeksius. (Abbas, 2016)
5
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan CD dan CD40?
2. Bagaimanakah interaksi CD40 pada sistem imun seluler?
3. Bagaimanakah interaksi CD40 pada sistem imun humoral?
4. Bagaimanakah jalur transduksi sinyal CD40?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Cluster of Differentiation (CD) dan CD40.
2. Untuk mengetahui interaksi CD40 pada sistem imun seluler
3. Untuk mengetahui interaksi CD40 pada sistem imun humoral
4. Untuk mengetahui jalur transduksi sinyal CD40.
6
D. Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah dapat menjadi wawasan bagi pembacanya
mengenai peran reseptor CD40 dalam sistem imunitas, baik dari segi interaksi
CD40 pada sistem imun seluler dan humoral maupun jalur transduksi sinyal CD40.
7
BAB II
PEMBAHASAN
Interaksi CD40-CD40L memberikan efek mendalam pada DC, sel B, dan sel
endotel. Telah dibuktikan bahwa keterlibatan CD40 pada permukaan DC dapat
meningkatkan produksi sitokin, induksi molekul-molekul ko-stimulator, dan
memfasilitasi presentasi silang antigen (Quezada SA, et al,2004 ). Secara
keseluruhan, sinyal CD40 dapat mengaktivasi dan mematangkan DC untuk secara
efektif memicu aktivasi dan diferensiasi sel-T. Pensinyalan CD40 sel B mendorong
pembentukan sel germinal centre (GC), peralihan isotipe imunoglobulin (Ig),
hipermutasi somatik (SHM) Ig untuk meningkatkan afinitas terhadap antigen, dan
pembentukan sel B memori dan sel plasma yang berumur panjang (Danese, 2004).
Selain itu, telah dibuktikan bahwa jalur transduksi sinyal CD40 sangat penting
untuk kelangsungan hidup banyak jenis sel termasuk sel B GC, DC, dan sel endotel
dalam kondisi normal maupun peradangan (Bishop, 2007).
Rangkaian molekul lain yang berperan dalam respon sel T adalah ligan
CD40 (CD40L atau CD154) pada sel T yang teraktivasi dan CD40 pada APC.
Molekul-molekul tersebut tidak langsung meningkatkan aktivasi sel T.
Sebaliknya, CD40L yang diekspresikan pada sel T berikatan pada CD40 APC
dan mengaktifkan APC untuk mengekspresikan lebih banyak kostimulator B7
dan mensekresikan sitokin (misalnya IL-12) yang meningkatkan diferensiasi sel
T. Dengan demikian, interaksi CD40-CD40L meningkatkan aktivasi sel T
dengan membuat APC lebih baik dalam merangsang sel T. Interaksi CD40L
pada sel T dengan CD40 pada sel-sel APC meningkatkan ekspresi ko-stimulator
pada APC tersebut dan produksi sitokin yang menstimulasi sel T, sehingga
memberikan mekanisme umpan balik positif (amplifikasi) untuk aktivasi sel T
yang diinduksi APC. (Janeway, 2017)
Gambar 2.1 Aktivasi sel-T melalui tiga sinyal. Yang pertama melibatkan T-cell receptor
(TCR) yang dipicu oleh antigen pada APC (antigen presenting cells). Sinyal kedua atau
“costimulation signal” dikirimkan ketika B7-1 / CD80 dan B7-2 / CD86 pada permukaan
APC berikatan dengan CD28 pada sel-T. Dua sinyal ini mengaktifkan tiga jalur transduksi
(jalur Nuclear Factor-κB atau Nf-κB, jalur mitogen-activated protein (MAP) kinase dan
jalur kalsium-kalsineurin) yang menghasilkan produksi berbagai faktor, termasuk
interleukin-2 ( IL-2), rantai α dari reseptornya, CD25, dan Ligan CD40. CD40
diekspresikan pada semua APC (termasuk sel B) dan ligannya (CD40L atau CD154) pada
CD4 + sel T yang aktif dan pada subset sel T CD8 + dan sel NK. Stimulasi CD40 pada
APC oleh CD40L memicu sinyal penting untuk produksi antibodi oleh sel B dan sangat
kuat menginduksi ekspresi B7 dan Major Histocompatibility Complex (MHC) pada APC.
IL-2 yang mengikat reseptornya mengaktifkan jalur mTOR (jalur "target rapamycin") -
sinyal ketiga - menghasilkan proliferasi klonal sel T. (Snanoudj, 2007)
10
mikroba. Mikroba yang berbeda memproduksi sitokin yang berbeda dari sel
dendritik dan sel lainnya, dan sitokin ini memicu diferensiasi sel T yang
teraktivasi oleh antigen menjadi satu subset atau subset yang lain.
Subset sel Th1 diinduksi oleh mikroba yang difagosit oleh makrofag. Sel
Th1 bekerja melalui ligan CD40 dan IFN-γ, meningkatkan kemampuan
makrofag untuk membunuh mikroba yang difagositosis. Makrofag menelan dan
berupaya menghancurkan mikroba sebagai bagian dari respons imun alami.
Efisiensi proses tersebut sangat ditingkatkan oleh interaksi sel Th1 dengan
makrofag. Ketika mikroba ditelan ke dalam fagosom makrofag, peptida mikroba
dipresentasikan pada molekul MHC kelas II dan dikenali oleh sel T CD4+. Bila
sel T ini termasuk dalam subset sel Th1, mereka akan mengekspresikan ligan
CD40 (CD40 L/CD154) dan mengekspresikan IFN- γ. Ikatan CD40L dengan
CD40 pada makrofag berfungsi bersama dengan ikatan IFN- γ pada reseptornya
pada makrofag yang sama memicu jalur sinyal biokimia yang menyebabkan
aktivasi beberapa faktor transkripsi. Faktor transkripsi ini menginduksi ekspresi
gen yang menyandi protease dan enzim lisosomal yang menstimulasi sintesis
reactive oxygen species (ROS) dan nitrit oksida (NO), yang semuanya
merupakan penghancur mikroba yang kuat. Hasil akhir aktivasi yang
diperantarai CD40 dan IFN- γ adalah makrofag menjadi mikrobisidal yang kuat
dan dapat menghancurkan sebagian besar mikroba yang ditelan. Jalur aktivasi
makrofag ini oleh CD40L dan IFN- γ disebut sebagai aktivasi makrofag klasik,
yang berbeda dengan aktivasi makrofag alternatif yang diperantarai Th2.
(Janeway, 2017)
Seperti pada sel B normal, ligasi CD40 pada keganasan sel-B tertentu
menyebabkan peningkatan ekspresi faktor-faktor anti-apoptosis seperti Bcl-XL,
TNF α induce protein 3 (A20), Bcl 2 related protein A1a (Bfl-1), survivin, dan
cFLIP. Faktor-faktor ini melindungi sel dari apoptosis yang diinduksi oleh agen
apoptosis, seperti, ligan Fas (FasL), TNF related apoptosis-induced ligand
(TRAIL) atau DNA-damaging agents. Gen Bcl-Xl dan Bcl2 mengontrol
pelepasan protein pro-apoptosis (chytochrome c, AIF dan smac/DIABLO) pada
mitokondria dengan cara berintegrasi dengan gen pro-apoptosis (Bak dan Bax).
Sedangkan cFLIP bekerja dengan cara mencegah aktvasi kaspase inisiator
(kaspase 8).
Telah diketahi bahwa ikatan CD40 yang rendah dapat memfasilitasi
pertumbuhan sel ganas. Studi dengan limfoma non-Hodgkin, limfoma Burkitt,
dan leukemia limfositik kronis (CLL) menunjukkan bahwa sel-sel tersebut
mengekspresikan CD40L sel T yang rendah, dan melalui jalur autokrin, sel-sel
tersebut dapat mempertahankan proliferasi. Selain itu, rendahnya tingkat
ekspresi CD40L juga melindungi sel-sel tersebut dari apoptosis.
Studi membuktikan bahwa satu jenis sel kanker dapat mengekspresikan
CD40 dan CD40L sekaligus (autokrin) yang dapat meningkatkan proliferasi dan
invasi sel kanker. Hal ini dibuktikan dengan biopsi tumor payudara yang
mengekspresikan CD40, juga mengekspresikan CD40L, dan ekspresi bersama
ini memberi efek onkogenik secara in vitro. Selanjutnya, ekspresi bersama CD40
dan ligannya, dalam sel epitel manusia menginduksi peningkatan proliferasi,
motilitas, dan invasi. Oleh karena ekspresi pasangan reseptor/ligan, tumor dapat
memanipulasi kedua kompartemen sel T dan APC yang berkontribusi terhadap
pembentukan lingkungan mikro imunosupresif tumor.
Sebaliknya, aktivasi sementara CD40 oleh CD40L sel T pada karsinoma dan
beberapa keganasan sel B menghasilkan efek anti-proliferasi dan apoptosis
secara langsung. Oleh stimulasi CD40, sel-sel karsinoma dapat diinduksi untuk
mengalami apoptosis oleh peningkatan ekspresi Bcl2-associated X protein dan
peningkatan regulasi ligan sitotoksik dari TNF family, seperti FasL, TNF, dan
TRAIL. CD40L menghambat pertumbuhan karsinoma kandung kemih dan
14
ovarium secara in vitro dan meningkatkan efek apoptosis, yang disebabkan oleh
obat antineoplastik, TNFα, Fas, dan ceramide. Pengamatan ini dikonfirmasi
secara in vivo, di mana CD40L sendiri atau dalam kombinasi dengan kemoterapi
secara signifikan dapat menghambat pertumbuhan tumor payudara atau
ovarium. Oleh karena itu, aktivasi CD40 dapat memiliki efek anti-tumor secara
langsung pada beberapa tumor, bahkan tanpa adanya tambahan respon imun dan
sel. Efek sitotoksik langsung CD40L pada tumor yang mengekspresikan CD40
telah dipelajari dengan menggunakan tikus, di mana diamati bahwa
penghambatan karsinoma payudara dan pertumbuhan sel B limfoma dapat
diamati tanpa adanya pengaruh sistem imun.
Singkatnya, aktivasi CD40 dapat menginduksi berbagai jalur transduksi
sinyal termasuk protein pro-apoptosis dan anti-apoptosis. Jelas bahwa fungsi
stimulasi CD40 langsung pada keganasan tergantung pada keadaan diferensiasi
sel dan jenis keganasan. (Elgueta et al, 2009)
Gambar 2.2 Peran gen Bcl-2 dan Bcl-XL dalam menginduksi apoptosis dan
pertahanan sel.
15
Gambar 2.3. Aktivasi dan diferensiasi sel B oleh sel T melalui pengikatan CD40
dan CD40L. Keterlibatan CD40 pada sel B mengakibatkan sel B mengalami
ekspansi klonal dan perubahan genetik pada imunoglobulin : rekombinasi kelas dan
pematangan afinitas melalui hipermutasi somatik dan seleksi. Proses ini
mendukung produksi antibodi (sel plasma) dan perkembangan high affinity sel B
memori dalam merespon paparan antigen asing. (Kawabe T et al, 2011)
1. Aktivasi sel B
Imunoglobulin pada permukaan sel B yang kemudian disebut sebagai B-cell
receptor (BCR) mempunyai dua peran dalam aktivasi sel B untuk merespon
patogen. Seperti reseptor antigen pada sel T, BCR juga dapat menginduksi signal
kaskade ketika berikatan dengan antigen. Peptida antigen yang dipresentasikam
oleh sel B melalui molekul MHC kelas II dapat dikenali oleh sel T helper spesifik
antigen yang telah berdiferensiasi terhadap patogen yang sama (dalam hal ini
diperankan oleh sel Tfh). Hal penting dalam pengaktifan sel B oleh sel T ialah
selain menggunakan TCR dan molekul MHC kelas II, proses ini juga
membutuhkan sinyal antara CD40 pada sel B dan CD40L (CD154) pada sel T.
(Janeway, 2017)
17
Gambar 2.4 Penanganan suatu antigen tergantung thymus (thymus-dependent) oleh sel
B dan presentasi ke sel T teraktivasi. Antigen yang ditangkap oleh reseptor permukaan
Ig akan dicerna di dalam endosome, diproses, dan diekspresikan pada permukaan sel B
dengan MHC kelas II. Sinyal ko-stimulasi melalui interaksi CD40-CD40L (CD154)
diperlukan untuk aktivasi sel B naif oleh sel T-helper. Selain stimulasi oleh CD40L, sel
T-helper juga memberikan stimulasi tambahan ke sel B dalam bentuk sitokin seperti IL-
4. (Roitt, 2017)
Gambar 2.5 signal kedua yang dibutuhkan dalam aktivasi sel B yang melibatkan CD40.
Sinyal oleh BCR ditingkatkan dengan adanya ko-reseptor CD19 dan CD21 yang
berinteraksi dengan komplemen C3b pada mikroba yang diopsonisasi. Untuk thymus-
dependent antigens, sinyal kedua diperankan oleh sel Tfh yang mengenal fragmen
peptida yang dipresentasikan sel B melalui molekul MHC kelas II. CD40L pada sel Tfh
yang berikatan dengan CD40 pada sel B mengaktifkan sinyal non-canonical NFkB via
NFkB-inducing kinase (NIK). (Janeway, 2017)
Gambar 2.6. Ko-stimulasi sel B dependen CD40-CD40L oleh sel T-helper. Sel T dan
sel B yang diaktifkan secara independen dapat berinteraksi jika sel B menyajikan
kompleks peptida-MHC yang tepat untuk stimulasi sel T. Keberhasilan presentasi
antigen oleh sel B ke sel T-helper yang teraktivasi akan menghasilkan ko-stimulasi sel
B dependen CD40L serta penyediaan sitokin, seperti IL-4, oleh sel T yang penting
untuk switching kelas antibodi, ekspansi klonal dan diferensiasi ke sel efektor. (Roitt,
2017)
Pada saat aktivasi oleh DC, sel T mengekspresikan CD40L, yang mana
akan berikatan dengan reseptornya yakni CD40 pada DC maupun sel B yang
distimulasi oleh antigen yang selanjutnya akan menginduksi proliferasi dan
diferensiasi sel B yang dimulai dari ekstrafolikular sampai di germinal centre
(GC). CD40L yang berikatan dengan CD40 menyebabkan pembentukan CD40
trimerik dan menginduksi TRAFs (TNF receptor-associated factors).
TRAF yang dibentuk menginisiasi kaskade enzim dan mengaktifkan faktor
transkripsi NF-kB (nuclear factor of kappa B) dan AP-1 (activating protein-1)
yang mana secara kolektif akan menstimulasi proliferasi sel B dan
meningkatkan sintesis dan sekresi Ig.
20
Setelah interaksi awal sel B oleh sel T helper pada daerah antara folikel
dan zona sel T (TB border), aktivasi sel B selanjutnya dapat berlangsung pada
dua lokasi yang berbeda, satu di luar folikel (extrafolikular), dan yang lainnya
di GC (intrafolikular). (Abbas et al, 2018)
Gambar 2.7 Aktivasi sel B dependen sel T. (1) Respon imun diinisiasi oleh
pengenalan antigen oleh sel B dan sel T. (2) Sel T dan sel B aktif kemudian bermigrasi
ke daerah T-B border dan saling berikatan. (3) Proliferasi dan diferensiasi sel B di
daerah ekstrafolikular dan (4) Proliferasi dan diferensiasi sel B berumur panjang di
GC. (TRENDS in imunology)
Gambar 2.8. Reaksi GC dalam lymph node. Sel B aktif bermigrasi ke dalam folikel
dan berproliferasi, membentuk dark zone GC. Sel B tersebut kemudian mengalami
hipermutasi somatik gen V Ig dan bermigrasi ke light zone, dimana sel B akan
berikatan dengan DC yang mempresentasikan Ag dan sel Tfh. Sel B dengan reseptor
Ig berafinitas tinggi akan diseleksi untuk bertahan dan berdiferensiasi dan
menghasilkan Ab dan sel memori. Sel yang mensekresikan Ab bermigrasi ke bone
marrow dan menetap sebagai plasma sel berumur panjang, dan sel B memori masuk
ke dalam resirkulasi limfosit. (Abbas et al, 2018)
Bcl-2. (Janeway, 2017) Stimulasi jangka panjang dari sinyal CD40 pada sel B
GC dengan adanya IL-2 dan IL-10 dapat menyebabkan diferensiasi sel B
menjadi sel-sel memori, sedangkan kekurangan ligan dalam sistem ini hanya
menyebabkan diferensiasi menjadi sel plasma tanpa sel memori. (Schonbeck
U and Libby P, 2001)
Gambar 2.9. Sel Tfh memberikan beberapa sinyal yang mengaktifkan sel B dan
mengontrol diferensiasi subsequennya. Setelah antigen berikatan dengan BCR yang
memberikan sinyal awal untuk aktivasi, sel Tfh kemudian memberikan sinyal
tambahan ketika berikatan dengan kompleks MHC II-peptida pada permukaan sel B
(gambar pertama). Di samping mengekspresikan CD40 ligan, sel Tfh juga
mensekresikan beberapa sitokin penting, diantaranya IL-21, yang mana mengaktifkan
faktor transkripsi STAT3 yang meningkatkan proliferasi dan pertahanan sel B. Sel Tfh
juga memproduksi sitokin yang akan meregulasi isotipe kelas imunoglobulin. Setelah
diberikan signal, sel B yang teraktivasi kemudian mulai berproliferasi (gambar kedua),
masuk ke dalam germinal senter (GC) yang kemudian menjadi sel plasma atau sel
memori (gambar ketiga). (Janeway, 2017)
Pada dasarnya sel B dapat juga teraktivasi tanpa melalui bantuan sel T
(thymus-independent) yang melibatkan sinyal CD40 (Gambar 2.5). Respon ini
dapat memproduksi antibodi tanpa melalui sel T. Berbagai jenis antigen yang
mengandung polisakarida pada dinding selnya dapat berikatan dengan BCR
pada sel B. sinyal lainnya dapat juga siperankan oleh komponen
lipopolisakarida (LPS) yang dapat mengaktifkan sinyal TLR pada sel B yang
selanjutnya akan mengaktifkan faktor transkripsi NFkB. (Janeway, 2017)
25
Gambar 2.10. Thymus-independent antigens. Sinyal awal dapat terjadi melalui ikatan
antara BCR dengan antigen polivalen, sedangkan sinyal kedua diperankan oleh Toll-
like receptor (TLR) yang mengenal antigen-associated TLR ligand seperti
lipopolisakarida (LPS) bakteri, atau DNA bakteri. (Janeway, 2017)
Namun demikian, aktivasi sel B tanpa melalui sinyal CD40, sel B dapat
dengan cepat mengalami apoptosis dan dihilangkan. Proses ini dilakukan oleh
kelas khusus sel T yang disebut T-helper folikel (Tfh), sub-unit dari sel T CD4+
yang mengekspresikan reseptor permukaan sel CXCR5, yang menargetkan sel
Tfh dapat bermigrasi ke folikel sel B di organ limfoid sekunder. Dengan
demikian, sel B dan sel T memberikan rangsangan bersama dalam upaya
memperkuat sinyal aktivasi. Akibatnya, sel limfosit B bertindak sebagai APC
dan seperti yang disebutkan di atas, sangat efisien karena kemampuannya
memusatkan antigen dengan memfokuskan ke permukaan imunoglobulin.
(Roitt, 2017)
sel Th2 dan mengnduksi sel Tfh. Respon humoral terhadap parasit cacing pada
umumnya diperankan oleh IgE yang melibatkan eosinofil dan sel mast. IgE
juga brperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe-I (alergi).
Selain itu, sel B pada jaringan mukosa akan berdiferensiasi dan
menghasilkan IgA yang dapat menembus sel eiptel menjadi secretory-IgA
(sIgA). Peralihan IgA distimulasi oleh TGFβ yang dihasilkan oleh banyak sel
termsuk sel T-helper. Sitokin dari TNF-family, BAFF dan APRIL juga
menstimulasi peralihan IgA. Karena sitokin ini diproduksi oleh sel myeloid,
sitokin ini dapat menstimulasi IgA tanpa melalui sel T. (Abbas et al, 2018)
Gambar 2.11. Peralihan rantai berat isotipe Ig. Sel B yang diaktifkan oleh sinyal sel
T helper (CD40L, sitokin) mengalami peralihan isotipe Ig yang berbeda, yang
memediasi fungsi efektor yang berbeda. Semua isotipe mampu menetralkan mikroba
dan racun. (Sumber : Abbas et al, 2018)
Sinyal CD40 bekerja sama dengan sitokin untuk menginduksi peralihan
isotipe. Ikatan CD40 menginduksi ekspresi enzim acivation-induced
demainase (AID), yang sangat penting untuk peralihan isotipe dan pematangan
28
Gambar 2.12. Mekanisme peralihan isotipe rantai berat. Ketika sel B yang diaktifasi
antigen mendapat sinyal dari sel T helper (CD40L dan misal IL-4), sel B mengalami
perubahan ke Ig isotipe selain IgM (dalam contoh ini, IgE). Rangsangan ini memulai
transkripsi germline melalui lokus Iε-Sε-Cε, dan gen CH proksimal yang dihapus,
yang mengarah ke rekombinasi VDJ exon upstream dari μ locus dengan gen Cε.
Daerah switch ditunjukkan oleh lingkaran berlabel Sμ, Sγ, dan Sε. Iμ, Iγ dan Iε
mewakili situs inisiasi untuk transkripsi germline. (Perhatikan bahwa ada beberapa
gen Cγ yang terletak di antara Cδ dan Cε dan gen Cα di bagian doenstream dari Cε,
tetapi tidak ditampilkan.) (Sumber : Abbas et al, 2015)
daerah switch Sε. DNA intervensi hilang, dan ekson VDJ kemudian berdekatan
dengan Cε. Hasil akhirnya adalah produksi IgE dengan domain V yang sama
dengan IgM asli yang diproduksi oleh sel B tersebut. (Abbas et al, 2018)
Mekanisme molekuler menunjukkan bahwa sitokin, seperti IL-4,
memodulasi peralihan isotipe melalui aktivasi DNA-binding proteins tertentu,
misalnya, IL-4 nuclear factor berinteraksi dengan elemen responsif IL-4 di ε
switch region, sehingga mendorong ekspresi transkrip germline Cε serta
peralihan isotipe menjadi IgE.
Transkripsi germline Cε dan peralihan isotipe dihambat oleh IFNγ dan
IFN , TGFβ, retinoic acid, dan IL-6. Mengenai interaksi sinergis CD40 dan
IL-4 pada produksi imunoglobulin, studi terbaru menemukan bahwa terdapat
formasi tambahan seperti; STAT-6 dan NFkB/Rel protein-containing nuclear
complexes. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa transcription factor B
cell-specific activator protein (BSAP) merupakan titik penggabungan dari dua
jalur pensinyalan, karena dapat meningkatkan aktivasi yang dimediasi IL-4 dan
CD154 di human ε germline promotor. (Schonbeck U and Libby P, 2001)
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Torabizadeh et al, 2018
mengungkapkan bahwa mutasi fungsional pada gen CD40L (NM_000074:
exon5: c.T464C) menyebabkan perubahan pada asam amino p.L155P yang
dikaitkan dengan X-linked hyper-IgM syndrome.
Sindrom hiper-IgM (HIGM), yang pertama kali dideskripsikan pada tahun
1960, merupakan kelompok gangguan genetika heterogen yang ditandai oleh
serum IgM yang meningkat atau normal dan konsentrasi serum IgG, IgA, dan
IgE yang sangat rendah, dengan jumlah sel B perifer yang normal. HIGM
dihasilkan dari mutasi beberapa gen yang mengarah ke rekombinasi kelas
imunoglobulin. (Notarangelo LD and Hayward AR, 2000)
Penelitian lain yang dilakukan oleh Tang WJ et al, 2014, mengungkapkan
bahwa hasil isolasi sel T dari 11 pasien yang mengalami HIGM, tidak
mengekspresikan CD40L (Gambar 2.8).
31
Gambar 2.13. Analisis flow cytometric ekspresi CD40L pada pasien ke-4 terhadap
kontrol (IgG < 0.33 g/L, IgA < 0.06 g/L) (Sumber : Tang WJ et al, 2014)
5. Pematangan Afinitas
Pematangan afinitas merupakan suatu proses peningkatan afinitas antibodi
terhadap antigen tertentu sebagai respon humoral T-dependent, dan sebagai
hasil dari mutasi somatik gen Ig yang diikuti oleh seleksi positif sel B yang
memproduksi antibodi dengan afinitas tertinggi.
Proses pematangan afinitas menghasilkan antibodi dengan kemampuan
tinggi untuk mengikat antigen sehingga dapat menetralkan dan menghilangkan
mikroba secara efisien. (Gambar 2.12). Interaksi sel T helper dan
CD40:CD40L dibutuhkan untuk mutasi somatik, oleh karena itu pematangan
afinitas hanya terjadi pada respons antibodi terhadap antigen T-dependent.
32
Gambar. 2.14. Pematangan afinitas. Pada awal tahapan respon imun, antibodi yang
diproduksi mempunyai afnitas yang rendah. Selama reaksi di GC, mutasi somatik dari
gen Ig V dan seleksi sel B dengan afinitas tinggi terhadap reseptor antigen
menghasilkan antibodi dengan afinitas yang tinggi terhadap antigen. (Sumber : Abbas
et al, 2015)
Antigen juga dapat ditampilkan dalam bentuk bebas di GC. Sementara itu,
sel B GC yang telah mengalami mutasi somatik bermigrasi ke light zone yang
kaya akan FDC GC. Sel-sel B ini mati oleh apoptosis kecuali sel B yang dapat
mengenal antigen. Sel B dengan reseptor afinitas tinggi terhadap antigen paling
efektif mengikat antigen meskipun dalam konsentrasi rendah, dan sel B ini
dapat bertahan hidup melalui beberapa mekanisme.
Pertama, pengenalan antigen oleh sel B menginduksi ekspresi protein anti-
apoptosis dari Bcl-2 family. Kedua, sel B yang berafinitas tinggi akan memiliki
kemampuan endositosis, mempresentasi antigen dan berinteraksi dengan
sejumlah sel Tfh di GC. Sel T helper ini dapat memberi sinyal melalui CD40L
untuk mendukung kelangsungan hidup sel. Ketiga beberapa sel Tfh
mengekspresikan Fas ligan, yang dapat mengenali Fas reseptor kematian pada
sel B GC dan memberikan sinyal apoptosis. Sel B berafinitas tinggi, yang
paling mampu mengenali dan merespon antigen, dapat mengaktifkan inhibitor
endogen Fas ketika BCR mengenali antigen dan dengan demikian terlindung
dari kematian, sementara sel B yang mempunyai afinitas rendah akan
mengalami apoptosis.
37
Gambar 2.15. Seleksi sel B di GC. Mutasi Somatik dari gen V pada sel B GC
menghasilkan antibodi dengan afinitas yang berbeda untuk antigen. Ikatan sel B
dengan antigen yang dipresentasikan oleh folikular DC diperlukan untuk
mempertahankan sel B dari kematian sel terprogram. Sel B juga dapat
mempresentasikan antigen ke sel Tfh GC, yang meningkatkan kelangsungan hidup sel
B. (Abbas et al, 2015)
Gambar 2.16. Penempatan anatomi dan perekrutan seluler untuk pembangkitan sel
Tfh. (A;i) Sel Naive CD4 + T diaktifkan di area interfollicular atau zona sel T dari
jaringan limfoid setelah mengenali kompleks peptida-MHC kelas II di DC. (I) DC
memberikan sinyal yang mengatur peningkatan CXCR5 dan menurunkan ekspresi
CCR7 pada sel T CD4+ yang memungkinkan sel T untuk bermigrasi ke folikel sel B.
(ii) Pada daerah batasan sel T-sel B, sel pra-Tfh berinteraksi dengan sel B yang
diaktifkan yang menampilkan Ag secara kognitif. Hal ini menghasilkan sel pra-Tfh
yang memberikan bantuan kepada sel B untuk berdiferensiasi menjadi plasmablasts
38
extrofolikular berumur pendek (short-lived plasma cell) atau migrasi ke dalam folikel
untuk membentuk GC. Stimulasi berkelanjutan dan presentasi Ag oleh sel B
mendorong perkembangan sel Tfh secara penuh. (iii) Dalam GC, sel Tfh terus
memberikan bantuan kepada sel B, mendukung reaksi GC dan memfasilitasi
pembentukan sel plasma berumur panjang (long-lived plasma cell) dan sel B memori.
Sinyal timbal balik yang disediakan oleh sel B juga penting untuk mempertahankan
sel Tfh. (B) Awal priming dari sel T CD4+ naif oleh DC menginduksi ekspresi Bcl-6
dan CXCR5; ini membutuhkan interaksi ICOS / ICOS-L. DC dapat menghasilkan IL-
6 dan IL-27, yang mempromosikan ekspresi Bcl-6 dan c-Maf, serta produksi IL-21
oleh sel T CD4+, dengan cara yang bergantung pada STAT3. Relokasi yang dimediasi
CXCR5 dari Bcl-6+ CXCR5+ sel pra-Tfh ke batas sel T-sel B memungkinkan
interaksi selanjutnya dengan sel-sel B yang spesifik. Program Tfh dicetak setelah
interaksi selanjutnya dengan sel B di GC. Interaksi ini tergantung pada pembentukan
konjugat sel T sel-B yang stabil, yang membutuhkan pensinyalan sel-intrinsik CD4 +
T melalui reseptor terkait-SAP (CD84) dan melibatkan CD40L/CD40, ICOS/ICOS-
L, dan CD28/CD86. IL-21 yang dihasilkan oleh sel Tfh dapat bertindak dengan cara
autokrin untuk mempertahankan sel Tfh pada berbagai tahap diferensiasi. Demikian
pula, IL-6 yang berasal dari sel B, dan mungkin IL-27, dapat berkontribusi pada
pemeliharaan sel Tfh. Sel Tfh memediasi diferensiasi sel B GC ke dalam memori dan
sel plasma melalui penyediaan CD40L dan IL-21. (Ma CS et al, 2012)
D. Signaling CD40;CD40L
Sebaliknya, itu diamati pada sel epitel bahwa overekspresi yang diberlakukan
pada TRAF3 menginduksi pensinyalan NFkB kanonik selama stimulasi CD40,
menunjukkan bahwa TRAF3 memiliki peran yang berbeda dalam berbagai
jenis sel. Oleh karena itu, dalam sel B, TRAF3 secara negatif mengatur jalur
NFkB kanonik dan non-kanonik, serta pensinyalan Jnk; sedangkan di sel epitel,
ia mampu menginduksi pensinyalan NFkB kanonis. Percobaan tambahan
diperlukan untuk menentukan peran TRAF3 dalam pensinyalan NFkB
non-kanonik dan Jnk di sel epitel.
Sangat sedikit yang diketahui tentang peran TRAF5 dalam pensinyalan
CD40 meskipun TRAF5 tidak mampu mengikat langsung ke domain
sitoplasmik CD40. Selama pensinyalan CD40, TRAF5 membentuk
heterotrimers dengan TRAF3 . Peran pensinyalan TRAF5, selama stimulasi
CD40, ditunjukkan pada sel B yang diterapi dengan RNA campur kecil
(siRNAs) khusus untuk TRAF5 atau defisien untuk TRAF5 di mana jalur
NFkB kanonik dan non-kanonik yang ablated. Itu terjadi dalam pengurangan
produksi antibodi, proliferasi, ekspresi molekul kostimulatoris. Percobaan
lebih lanjut diperlukan untuk sepenuhnya memahami fungsi TRAF5 dalam
pensinyalan CD40.
Seperti protein TRAF lainnya, interaksi fisik TRAF6 dengan CD40
ditunjukkan oleh uji ragi dua hibrida ( 15 ). Dalam MEFs TRAF6-deficient atau
sel-sel epitel di mana TRAF6 telah dibungkam oleh siRNA, sel-sel ini
menunjukkan pengurangan atau pembatalan dalam aktivasi NFkB kanonik,
Jnk, p38, dan Akt, setelah keterlibatan CD40. Menariknya, TRAF6 mampu
berinteraksi dengan TRAF2 dan dengan demikian mengatur secara positif
TRAF2. Ini menunjukkan bahwa TRAF6 mungkin masih memiliki peran
fungsional dalam pensinyalan CD40, tanpa mengikat langsung ke CD40.
Dalam kondisi ini, stimulasi CD40 mampu meningkatkan upregulasi CD80 dan
mendorong aktivasi Jnk dibandingkan dengan sel B defisien pada TRAF6. Data
ini melibatkan TRAF6 sebagai pengaturan beberapa fungsi fisiologisnya
melalui interaksinya dengan TRAF2 dan independen dari rekrutmennya ke
situs pengikatan TRAF6 dari CD40 (Rowland, 2007).
42
jenis sel yang berbeda, Cbl-b dapat mengatur jalur yang berbeda tergantung
pada protein TRAF yang berinteraksi (Qiao G,et al,2007)
Sebagian besar penelitian yang menyelidiki sinyal CD40 menunjukkan
jalur yang bergantung pada protein TRAF. Namun, diamati pada sel B, daerah
proksimal membran dari ekor CD40 berisi domain yang mengikat untuk Jak3
menunjukkan bahwa dalam sel B, setelah stimulasi CD40, Jak3 tidak
terfosforilasi, menunjukkan bahwa perekrutan Jak3 ke membran sitoplasma
CD40 tidak berfungsi. Namun, monocytes mampu menginduksi fosforilasi
Jak3 setelah keterlibatan CD40. Selanjutnya, penghambatan Jak3 di APC,
setelah stimulasi CD40, menghalangi pematangan APC). Selain itu, Jak3
menginduksi faktor transkripsi STAT5, yang dapat dimerisasi dan translokasi
ke nukleus, dan memimpin ekspresi gen dari sitokin inflamasi, seperti TNFα,
interferonγ (IFNγ), dan interleukin6 (IL6)Hasil ini menunjukkan bahwa
Jak3 mampu mengikat CD40 dan menginduksi pematangan DC melalui
STAT5.
Kesimpulannya, CD40 pada dasarnya memediasi sinyal melalui protein
TRAF, yang dapat mengaktifkan atau menghambat jalur sinyal yang berbeda,
tergantung pada jenis sel. Protein TRAF mendorong berbagai proses seluler
dan imunitas dan memahami jalur ini akan meningkatkan kemampuan kita
untuk mengembangkan strategi dalam intervensi terapeutik berbagai macam
penyakit terkait kekebalan tubuh.
berikatan dengan CD40 pada sel B, sel dendritik, dan makrofag sehingga
memerantarai sel-sel tersebut yang tergantung sel T. Kegagalan mengekspresikan
CD40L yang fungsional mengakibatkan respons sel B yang tergantung sel T
menjadi terganggu, seperti perubahan isotipe dan pematangan afinitas pada
imunitas humoral, serta gangguan dalam aktivasi makrofag yang tergantung sel T
pada imunitas seluler. Suatu bentuk resesif autosomal yang jarang hyper-IgM
ditunjukkan pada subjek dengan mutasi enzim activation-induced deaminase (AID,
suatu enzim yang berperan dalam proses perubahan isotipe dan hipermutasi
somatik. (Schonbeck, 2000)
Peran sentral interaksi CD40-CD40L dalam respons imun dibuktikan oleh
penelitian pada tikus yang kekurangan CD40 atau CD40L. Pada hewan ini, respon
thymus dependent (TD) terhadap antigen asing, seperti produksi imunoglobulin,
peralihan isotipe Ig, dan hipermutasi somatik mengalami gangguan. Fenotip serupa
(X-HIGM) diamati pada pasien dengan sindrom hiperimunoglobulin M, penyakit
genetik yang dihasilkan dari mutasi pada gen CD40L. Menariknya, individu dengan
X-HIGM ini juga tampaknya rentan terhadap perkembangan tumor pankreas dan
hati. Pekerjaan kami baru-baru ini juga berimplikasi pada jalur CD40 dalam
kematian hepatosit selama penolakan allograft hati melalui interaksi kooperatif
dengan Fas, anggota lain dari superfamili TNFR. (Eliopoulos AG et al, 2000)
Gambar 2.19 Imunodefisiensi kongenital yang berhubungan dengan defek pada aktivasi
dan fungsi efektor limfosit (Abbas, 2016)
45
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
46
DAFTAR PUSTAKA
Abbas A.K. et al. Cellular and Molecular Immunology. 8th edition. 2015. Elsevier
Saunders : Philadelphia
Abbas A.K. et al. Cellular and Molecular Immunology. 9th edition. 2019. Elsevier
Saunders : Philadelphia
Abbas, A.K. and Lichtman, A.H. 2016. Basic Immunology, Functions and
Disorders of the Immune System, 5th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Arron J.R, et al. A positive regulatory role for Cbl family proteins in tumor necrosis
factor-related activation-induced cytokine (trance) and CD40L-mediated Akt
activation. J Biol Chem. 2001 ; 276: 30011–30017.
Bishop G.A, Moore C.R, Xie P, Stunz L.L, Kraus Z.J. TRAF proteins in CD40
signaling. Adv Exp Med Biol. 2007 ; 597:131–15
Bonizzi G and Karin M. The two NF-kappaB activation pathways and their role in
innate and adaptive immunity. Trends Immunology. 2004 ; 25:280–288.
Danese S, Sans M, Fiocchi C. The CD40 ⁄ CD40L costimulatory pathway in
inflammatory bowel disease. 2004 ; 53:1035–1043.
Davies C.C, Mason J, Wakelam M.J, Young L.S and Eliopoulos A.G. Inhibition of
phosphati- dylinositol 3-kinase- and ERK MAPK-regu- lated protein synthesis
reveals the pro- apoptotic properties of CD40 ligation in carcinoma cells. J
Biol Chem. 2004 ; 279: 1010–1019.
Gallagher E, et al. Kinase MEKK1 is required for CD40-dependent activation of
the kinas- es Jnk and p38, germinal center formation, B cell proliferation and
antibody produc- tion. Nat Immunol. 2007 ; 8:57–63.
Grewal I.S. and Flavell R.A. 1997. The CD40 Ligand. Immunologic Research.
Humana Press Inc : New Haven
Janeway C.A. Paul T, Mark W and Mark J.S. 2001. Immunobiology. 9th Edition.
New York: Garland Publishing.
47
Tsai HY et al. X-linked hyper-IgM syndrome with CD40LG mutation: Two case
reports and literature review in Taiwanese patients. Journal of Microbiology,
Immunology and Infection. 2015. Elsevier : Amerika
Xie P, Hostager B.S, Munroe M.E, Moore C.R and Bishop G.A. Cooperation
between TNF receptor-associated factors 1 and 2 in CD40 signaling. J
Immunol. 2006 ; 176: 5388–5400.
Daftar Singkatan ;