Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


DRP (Drug Related Problem) merupakan keadaan yang tidak diinginkan
pasien terkait dengan terapi obat serta hal-hal yang mengganggu tercapainya hasil
akhir yang sesuai dan dikehendaki untuk pasien. Tujuh penggolongan DRp
menurut Cipolle adalah penggunaan obat yang tidak diperlukan, kebutuhan akan
terapi obat tambahan, obat yang tidak efektif, dosis terapi yang digunakan terlalu
rendah, adverse drug reactoin, dosis terapi yang trlalu tinggi, dan ketidakpatuhan.
Hal-hal yang terkait dengan DRP seharusnya dapat dicegah dan dikurangi
keberadaannya melalui pengenalan secara awal terhadap adanya DRP oleh
seorang farmasis.
Pemberian informasi obat memiliki peranan penting dalam rangka
memperbaiki kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan bermutu bagi
pasien. Kualitas hidup dan pelayanan bermutu dapat menurun akibat adanya
ketidakpatuhan terhadap program pengobatan. Penyebab ketidakpatuhan tersebut
salah satunya disebabkan kurangnya informasi tentang obat. Selain itu, regimen
pengoatan yang kompleks dan kesulitan mengikuti regimen pengobatan yang
diresepkan merupakan masalah yang mengakibatkan ketidakpatuhan terhadap
pengobatan. Selain maslah kepatuhan, pasien juga dapat mengalami efek yang
tidak diinginkan dari penggunaan obat. Dengan diberikannya informasi obat
kepada pasien maka maslah terkait obat seperti penggunaan obat tanpa indikasi,
indikasi yang tidak terobati, dosis obat terlalu tinggi, dosis subterapi, serta
interaksi obat dapat dihindari.
Jenis informasi yang diberikan apoteker pada pasien yang mendapat resep
baru meliputi nama dan gambaran obat, tujuan pengobatan, cara dan waktu
penggunaan, saran ketaatan dan pemantauan sendiri, efek sam[ing dan efek
merugikan, tindakan pencegahan, kontraindikasi, dan interaksi, petunjuk
penyimpanan, informasi pengulangan resep dan rencanapemantauan lanjutan.

1
Selain itu, diskusi penutup juga diperlukan untuk mengulang kembali dan
menekankan hal-hal terpenting terkait pemberian informasi mengenai obat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Drug Related Problem?
2. Bagaimana cara identifikasi Drug Related Problem?
3. Apa saja contoh studi kasus Drug Related Problem?

1.3 Tujuan Makalah


1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Drug Related Problem.
2. Mengetahui bagaimana cara identifikasi Drug Related Problem.
3. Mengetahui apa saja contoh kasus Dug Related Problem.

2
BAB II
ISI

2.1 Pengertian Drug Related Problem (DRP)

Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diharapkan,


berupa pengalaman pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat
dan pada kenyataannya atau potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan
yang diharapkan. Drug Related Problem merupakan maslah yang terkait obat
dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup pasien serta
berdampak juga terhadap ekonomi dan sosial pasien. Pharmaceuticaal care
Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat (DPRs) adalah kejadian
suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial
mengganggu hasil klinik kesehatan yang diinginkan.

2.1.1 Komponen primer dari Drug Related Problems:

a. Pasien mengalami keadaan yang tidak dikehendaki.

Pasien mengalami keluhan medis, gejala, diagnose penyakit kerusakan,


cacat atau sindrom dan dapat mengakibatkan gangguan psikologis, fisiologis,
sosial, bahkan kondisi ekonomi.

b. Ada hubungan antara keadaan yang tidak dikehendaki dengan terapi obat.

Sifat hubungan ini tergantung akan kekhususan Drug Related Problems


(DRPs). Hubungan yang biasanya terjadi antara keadaan yang tidak dikehendaki
dengan terapi obat adalah kejadiaan itu akibat dari terapi obat atau kejadian itu
membutuhkan terapi obat( Cipolle et al., 1998). Drug Related Problems (DRPs)
terdiri dari DRPs actual dan DRPs potensial. DRPs actual adalah problem yang
sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada pasien.
DRPs potensial adalah problem yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan
dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh pasien (Yunita et al., 2004).

3
2.1.2 Kategori umum Drug Related Problems (DRPs) :

a. Membutuhkan obat tambahan.

Penyebabnya yaitu pasien membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profil


aksi atau pramedikasi, memiliki penyakit kronik yang memerlukan pengobatan
kontinu, memerlukan terapi kombinasi untuk menghasilkan efek sinergis atau
potensiasi dan atau ada kondisi kesehatan baru yang memerlukan terapi obat.

b. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai atau tidak perlu obat.

Hal ini dapat terjadi sebagai berikut: menggunakan obat tanpa indikasi yang
tepat, dapat membaik kondisinya dengan terapi non obat, minum beberapa obat
padahal hanya satu terapi obat yang diindikasikan atau minum obat untuk
mengobati efek samping.

c. Menerima obat yang salah.

Kasus yang mungkin terjadi adalah: obat tidak efektif, ketidaktepatan


pemilihan obat, alergi, adanya resiko kontraindikasi, resisten terhadap obat yang
diberikan, kombinasi obat yang tidak perlu dan atau obat bukan yang paling aman.

d. Dosis terlalu besar.

Beberapa penyebabnya adalah dosis salah, frekuensi tidak tepat, dan jangka
waktu tidak tepat.

e. Dosis terlalu kecil.

Penyebabnya antara lain: dosis terlalu kecil untuk menghasilkan respon


yang diinginkan, jangka waktu terlalu pendek, pemilihan obat, dosis, rute
pemberian, dan sediaan yang tidak tepat.

f. Pasien mengalami adverse drug reactions.

Penyebab umum untuk kategori ini: pasien menerima obat yang tidak aman,
pemakaian obat tidak tepat, interaksi dengan oba tlain, dosis dinaikkan atau

4
diturunkan terlalu cepat sehingga menyebabkan adverse drug reaction dan atau
pasien mengalami efek yang tak dikehendaki yang tidak diprediksi.

g. Pasien mengalami kondisi keadaan yang tidak diinginkan akibat tidak


minum obat secara benar (non compliance).

Beberapa penyebabnya adalah: obat yang dibutuhkan tidak ada, pasien


tidak mampu membeli, pasien tidak memahami instruksi, pasien memilih untuk
tidak mau minum obat karena alas an pribadi dan atau pasien lupa minum obat
(Cipolle et al., 1998).

Identifikasi dan pemecahan masalah pada Drug Related Problems (DRPs)


tergantung pada beberapa faktor. Faktor pertama adalah adanya semua data
esensial dan farmasis bertugas menentukan data apa yang dibutuhkan (Cipolle et
al., 1998).

2.1.3 Data yang penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam tiga
kategori :

a. Karakter klinis dari penyakit atau kondisi pasien, meliputi: umur, seks, etnis,
ras, sejarah sosial, status kehamilan, status kekebalan, fungsi ginjal, hati dan
jantung, status nutrisi, serta harapan pasien.

b. Obat lain yang dikonsumsi pasien, berkaitan dengan terapi obat pada saat ini
dan masa lalu, alergi obat, profil toksisitas, adverse drug reaction, rute dan cara
pemberian obat, dan persepsi mengenai pengobatannya.

c. Penyakit, keluhan, gejala pasien meliputi masalah sakitnya pasien,


keseriusan, prognosa, kerusakan, cacat, persepsi pasien mengenai proses
penyakitnya.

Data dapat diperoleh dari beberapa sumber misalnya pasien sendiri, orang yang
merawat pasien, keluarga pasien, medical record, profil pasien dari farmasis, data
laboratorium, dokter, perawat dan profesi kesehatan lainnya (Cipolle et al., 1998).

5
Secara umum perhatian farmasis terhadap Drug Related Problems sebaiknya
diprioritaskan pada pasien geriatri,pasien pediatri, ibu hamil dan menyusui, serta
pasien yang mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit(Yunita et al., 2004).

Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi, mencegah dan


memecahkan Drug Related Problems (DRPs), walaupun hal tersebut tidak selalu
mudah dicapai. Faktor kepatuhan pasien ikut bertanggung jawab atas
kesembuhannya. Sebab itu farmasis juga harus dapat melakukan konseling,
edukasi dan informasi kepada pasien (Cipolle et al., 1998).

Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas


hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan social pasien.
Pharmaceutical Care Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat
(DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata
atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan
(Pharmaceutical Care Network Europe., 2006).

2.2 Klasifikasi DRP (Drug Related Problem)

Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01)


mengelompokkan masalah terkait obat sebagai berikut (Pharmaceutical Care
Network Europe., 2006) :

1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)

Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping
atau toksisitas.

2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)

Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akan


memperoleh obat yang salah (atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit dan
kondisinya. Masalah pemilihan obat antara lain: obat diresepkan tapi indikasi
tidak jelas, bentuk sediaan tidak sesuai, kontraindikasi dengan obat yang
digunakan, obat tidak diresepkan untuk indikasi yang jelas.

6
3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)

Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih
besar atau lebih kecil dar ipada yang dibutuhkannya.

4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)

Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak memberikan/tidak


menggunakan obat sama sekali atau memberikan/menggunakan yang tidak
diresepkan.

5. Interak siobat (Interaction)

Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang


bermanifestasi atau potensial.

6. Masalah lainnya (Others)

Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran yang
kurang mengenai kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak jelas(memerlukan
klarifikasi lebih lanjut), kegagalan terapi yang tidak diketahui penyebabnya, perlu
pemeriksaan laboratorium.

Klasifikasi DRP:

1. Indikasi

Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi


untuk penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.

a. Pasien memerlukan obat tambahan

Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien
menderita penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih buruk
daripada sebelumnya, sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama
perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien
yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk menambahkan efek terapi yang

7
sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif atau profilaktif. Misalnya, penggunaan
obat AINS biasanya dikombinasikan dengan obat antihistamin 2 dengan tujuan
untuk mencegah terjadinya iritasi lambung.

b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan

Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang


tidak benar, polifarmasi dan duplikasi. Merupakan tanggungjawab farmasi agar
pasien tidak menggunakan obat yang tidak memiliki indikasi yang tepat. DRP
kategori ini dapat menimbulkan implikasi negatif pada pasien berupa toksisitas
atau efek samping, dan membengkaknya biaya yang dikeluarkan diluar yang
seharusnya. Misalnya, pasien yang menderita batuk dan flu mengkonsumsi obat
batuk dan analgesik-antipiretik terpisah padahal dalam obat batuk tersebut sudah
mengandung paracetamol.

2. Efektivitas

a. Pasien menerima regimen terapi yang salah

 Terapi multi obat (polifarmasi)

Polifarmasi merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien dan


penulisan obat berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10
jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat
untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Jumlah
obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit dapat
menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti pemberian puyer pada anak
dengan batuk pilek yang berisi :

a. Amoksisillin
b. Parasetamol
c. Gliseril Guaiakolat
d. Deksametason
e. CTM

8
f. Luminal

Dari hal tersebut terlihat adanya polifarmasi, seorang farmasis bisa


menkonfirmasikan atau mendiskusikan terlebih dahulu kepada dokter sehingga
penggunaan yang tidak perlu seperti deksametason dan luminal sebaiknya tidak
diberikan untuk mencegah terjadinya regimen terapi yang salah.

 Frekuensi pemberian

Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk memelihara
konsentrasi darah dan jaringan. Namun, beberapa obat yang dikonsumsi 3 atau 4
kali sehari biasanya benar-benar manjur apabila dikonsumsi sekali dalam sehari.

Contohnya: frekwensi pemberian amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3


kali sehari.

cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin
sebelum makan, yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat
mengiritasi lambung.

 Durasi dari terapi

Contohnya penggunaan antibiotik harus diminum sampai habis selama satu


kurum pengobatan, meskipun gejala klinik sudah mereda atau menghilang sama
sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap
enam jam, untuk antibiotik hal ini sangat penting agar kadar obat dalam darah
berada diatas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit.

b. Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah

Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis


terapinya. Hal ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya
terapi sehingga pasien tidak sembuh, atau bahkan dapat memperburuk kondisi
kesehatannya. Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah
yang terlalu sedikit antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat,

9
frekuensi dan durasi obat yang tidak tepat dapat menyebabkan jumlah obat yang
diterima lebih sedikit dari yang seharusnya, penyimpanan juga berpengaruh
terhadap beberapa jenis sediaan obat, selain itu cara pemberian yang tidak benar
juga dapat mengurangi jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh pasien.

Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan kejadian tersebut yaitu


antara lain obat diresepkan dengan metode fixed model (hanya merujuk pada
dosis lazim) tanpa mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis
kelamin dan kondisi penyakit pasien sehingga terjadi kesalahan dosis pada
peresepan. Adanya asumsi dari tenaga kesehatan yang lebih menekankan
keamanan obat dan meminimalisir efek toksik terkadang sampai mengorbankan
sisi efektivitas terapi. Ketidakpatuhan pasien yang menyebabkan konsumsi obat
tidak tepat jumlah, antara lain disebabkan karena faktor ekonomi pasien tidak
mampu menebus semua obat yang diresepkan, dan pasien tidak paham cara
menggunakan obat yang tepat. Misalnya pemberian antibiotik selama tiga hari
pada penyakit ISFA Pneumonia.

3. Keamanan

a. Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi

Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis
terapinya. Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek
toksik dan bisa jadi membahayakan Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima
obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi antara lain ialah kesalahan dosis pada
peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat yang tidak tepat. Misalnya,
penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara bersamaan, menyebabkan
interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh kloramfenikol
sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.

b. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)

Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan


karena obat tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak

10
benar baik dari frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi obat,
dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian obat-obat tertentu.

ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak
diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis maupun terapi.

Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :

1. Reaksi tipe A

Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang


berlebihan atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti diuretik
mengimbas hipokalemia atau propanolol mengimbas pemblok jantung. Reaksi ini
seringkali bergantung dosis dan mungkin disebabkan oleh suatu penyakit
bersamaan, interaksi obat-obat atau obat-makanan. Reaksi tipe A dapat terjadi
pada setiap orang.

2. Reaksi tipe B

Reaksi tipe B merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi. Reaksi


alergi mencakup tipe berikut :

a. Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera


(hipersensitivitas)

b. Tipe II, sitotoksik

c. Tipe III, serum

d. Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan fenitoin dalam jangka
waktu lama dapat menyebabkan Steven Johnson syndrome.

3. Reaksi Tipe C (berkelanjutan)

Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya analgesik,


nefropati.

11
4. Reaksi Tipe D

Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan


karsinogenesis.

5. Reaksi Tipe E

Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena


ketidakcukupan adrenokortikal.

4. Kepatuhan

Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat


medis atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain :

a. Persepsi tentang kesehatan


b. Pengalaman mengobati sendiri
c. Pengalaman dengan terapi sebelumnya
d. Lingkungan (teman, keluarga)
e. Adanya efek samping obat
f. Keadaan ekonomi
g. Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).

Akibat dari ketidakpatuhan (non-compliance) pasien untuk mengikuti aturan


selama pengobatan dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas. Ketidakpatuhan
seolah-olah diartikan akibat kelalaian dari pasien, dan hanya pasienlah yang
bertanggung jawab terhadap hal-hal yang terjadi akibat ketidakpatuhannya.
Padahal penyebab ketidakpatuhan bukan semata-mata hanya kelalaian pasien
dalam mengikuti terapi yang telah ditentukan, namun banyak faktor
pendorongnya, yaitu :

a. Obat tidak tersedia

Tidak tersedianya obat yang dibutuhkan pasien diapotek terdekat


menyebabkan pasien enggan untuk menebus obat keapotek lain.

12
b. Regimen yang kompleks

Jenis sediaan obat terlalu beragam, misalnya pada saat bersamaan pasien
mendapat sirup, tablet, tablet hisap, dan obat inhaslasi, hal ini dapat menyebabkan
pasien enggan minum obat.

c. Usia lanjut

Misalnya, banyak pasien geriatrik menggunakan lima atau eman obat-


obatan beberapa kali dalam sehari pada waktu yang berbeda. Kesamaan
penampilan seperti ukuran, warna, atau bentuk obat-obat tertentu dapat
berkontribusi pada kebingungan. Beberapa pasien geriatrik dapat mengalami
hilang daya ingat yang membuat ketidak patuhan lebih mungkin.

d. Lamanya terapi

Pemberian obat dalam jangka panjang misalnya pada penderita TBC, DM,
arthritis, hipertensi dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, dimana pasien merasa
bosan dalam penggunaan obat tersebut yang menyebabkan efek terapi tidak
tercapai.

e. Hilangnya gejala

Pasien dapat merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa bahwa
ia tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Misalnya, ketika
seorang pasien tidak menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik setelah ia
merasa bahwa infeksi telah terkendali. Hal ini meningkatkan kemungkinan
terjadinya kembali infeksi, sehingga pasien wajib diberi nasehat untuk
menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.

f. Takut akan efek samping,

Timbulnya efek samping setelah meminum obat, seperti : ruam kulit dan
nyeri lambung atau timbulnya efek ikutan seperti urin menjadi merah karena
minum obat rimpafisin dapat menyebabkan pasien tidak mau menggunakan obat.

13
g. Rasa obat yang tidak enak

Masalah rasa obat-obatan paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan


oral oleh anak-anak, misalnya dalam formulasi obat cair oral bagi anak-anak
penambahan penawar rasa dan zat warna dilakukan untuk daya tarik, sehingga
mempermudah pemberian obat dan meningkatkan kepatuhan.

h. Tidak mampu membeli obat

Ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif mahal,


pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal.

i. Pasien lupa dalam pengobatan.

j. Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi dan


petunjuk penggunaan obat.

Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka, apalagi


manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan oleh obat. Biasanya pasien
menetapkan pikiran sendiri berkenaan dengan kondisi dan pengharapan yang
berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak memenuhi harapan, mereka
cenderung tidak patuh. Oleh karena itu diperlukan edukasi pada pasien tentang
kondisi penyakitnya, manfaat serta keterbatasan terapi obat.

Dari beberapa faktor pendorong terjadinya ketidakpatuhan, apoteker


memiliki peran untuk meningkatkan kepatuhan pasien dengan memberikan
informasi tentang pentingnya pengobatan pada keadaan penyakit pasien. Selain
itu, diperlukan juga komunikasi yang efektif antara dokter dan apoteker sehingga
upaya penyembuhan kondisi penyakit pasien dapat berjalan dengan baik.

5. Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis


ditegakkan dengan benar. Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus
yang paling tepat dari yang tersedia. Banyak reaksi merugikan dapat dicegah, jika
dokter serta pasien melakukan pertimbangan dan pengendalian yang baik. Pasien

14
yang bijak tidak menghendaki pengobatan yang berlebihan. Pasien akan
bekerjasama dengan dokter untuk menyeimbangkan dengan tepat keseriusan
penyakit dan bahaya obat. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang
memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

6. Interaksi Obat

Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain
yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah
kuat atau berkurang karena interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi ini
ada dua kemungkinan yakni meningkatkan efek toksik atau efek samping atau
berkurangnya efek klinik yang diharapkan. Interaksi obat dapat terjadi sebagai
berikut:

1. Obat-Makanan

Interaksi obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan


pemantauan terapi obat. Ada 2 jenis yang mungkin terjadi:

a. Perubahan parameter farmakokinetik (absorpsi dan eliminasi). Misalnya,


obat antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membenuk ikatan
sehingga obat tdak dapat diabsorbsi dan menurunkan efektifitas.

b. Perubahan dalam efikasi terapi obat (misalnya, makanan protein tinggi


meningkatkan kecepatan metabolisme teophillin). Sebagai tambahan, banyak obat
diberikan pada saat lambung kosong. Sebaliknya, terapi obat dapat mengubah
absorpsi secara merugikan dari penggunaan suatu bahan gizi.

2. Obat-Uji Laboratorium

Interaksi obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi akurasi


uji diagnostik. Interaksi ini dapat terjadi melalui gangguan kimia. Misalnya,
laksatif antrakuinon dapat mempengaruhi uji urin untuk urobilinogen atau oleh
perubahan zat yang diukur. Apabila mengevaluasi status kesehatan pasien
apoteker harus mempertimbangkan efek terapi obat pada hasil uji diagnostik.

15
3. Obat-Penyakit

Interaksi obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu dipantau.


Apoteker harus mengevaluasi pengaruh efek merugikan suatu obat pada kondisi
medik pasien. Dalam pustaka medik, interaksi obat-penyakit sering disebut
sebagai kontraindikasi absolut dan relatif. Misalnya, penggunaan kloramfenikol
dapat menyebabkan anemia aplastik, dan penggunaan antibiotik aminoglikosida
dapat menyebabkan nefrotoksik.

4. Obat-Obat

Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari. Semua


obat termasuk obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat. Apoteker perlu
mengetahui interaksi obat-obat yang secara klinik signifikan. Suatu interaksi
dianggap signifikan secara klinik jika hal itu mempunyai kemungkinan
menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien. Interaksi antar obat dapat
berakibat merugikan atau menguntungkan. Interaksi obat dianggap penting secara
klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi efektivitas obat
yang berinteraksi, terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang
sempit.

16
2.3 Studi Kasus DRP (Drug Related Problem)

Dalam ranah farmasi klinik-komunitas, apoteker pada hakikatnya memiliki


tugas primer yaitu mengidentifikasi dan menangani DRPs ini agar tercapai
pengobatan yang rasional dan optimal. Secara ringkas langkah-langkah untuk
mengidentifikasi dan menangani DRPs adalah sebagai berikut :
1. Menentukan klasifikasi permasalahan terapi obat yang terjadi
2. Menentukan penyebab terjadinya DRPs

17
3. Menentukan tindakan intervensi yang paling tepat terhadap DRPs
4. Melakukan assesmen (penilaian) terhadap intervensi yang telah
dilakukan untuk evaluasi

2.3.1 Kasus
CONTOH ANALISA KASUS DRP

Resep
20-7-2011
R/ Metformin 500 XLV
S 3 dd 1
R/ Glibenklamide 5 XV
S 1 dd 1
R/ Captopril 50 XLV
S 3 dd 1
R/ furosemid X
S ½-0-0
R/ BC XLV
S 3 dd 1
R/ Amlodipin 5 XV
S 1 dd 1
R/ Na-diklofenak 50 XXX
S 0-0-1
R/ Simvastatin 10 XV
S 0-0-1

Pro : Tn. SS (66 tahun)

18
ANALISA
a. Anamnesa/ diagnose
Pasien dinyatakan mengalami diabetes mellitus, hipertensi, hiperkolesterolemia,
ostheoartritis, dan sindrom dispepsia.
b. Analisa resep
Dalam kasus ini pasien menerima 8 item obat, sebagai berikut :
 Metformin, antidiabetes golongan biguanid
 Glibenklamide, antidiabetes golongan sulfonylurea
 Captopril, antihipertensi golongan inhibitor enzim pengkonversi
angiotensin (ACEI
 Furosemid, antihipertensi golongan loop diuretic
 BC/ vitamin B kompleks, suplemen kekurangan vitamin B
 Amlodipin, antihipertensi golongan pemblok kanal kalsium (CCB)
 Na-diklofenak, antiinflamasi nonsteroid
 Simvastatin, antihiperlipidemia golongan statin

Kombinsai metformin dan glibenklamid pada kasus pasien diagnose lain


berupa hipertensi diperbolehkan. Seperti halnya pada kasus resep nomor 2. Dosis
kombinasi kedua obat tersebut juga masih dalam batas aman. Dimana dosis
maksimum keduanya adalah 20 mg/hari untuk glibenkalmid, dan 2000 mg/hari
untuk metformin. (Dipiro; 1369, 1384, 1385).
Penanganan hipertensi dalam kasus ini digunakan kombinasi 3 antihipertensi,
yaitu captopril (ACE inhibitor), furosemid (loop diuretik), dan amlodipin
(Pemblok kanal kalsium). Kombinasi tersebut diperbolehkan. Dosis furosemid
merupakan dosis terendah yaitu 20 mg, dengan waktu pemberian yang tepat yaitu
pada pagi hari. Sedangkan dosis captopril merupakan dosis maksimum yaitu 150
mg/hari, dalam dosis terbagi 3. Sedangkan amlodipin yang diberikan adalah dosis
menengah, yaitu 5 mg/hari, lazimnya 2,5-10 mg/hari. Perlu diperhatikan pasien
telah cukup lanjut usianya (66 tahun), captopril diberikan pada dosis maksimum
dikombinasi dengan furosemid, dan amlodipin, akan berpotensi menimbulkan

19
efek hipotensi. Dengan pemberian furosemid, pasien akan mengalami diuresis,
yang berarti volume darah menurun dan menurun pula tekanan darahnya,
sedangkan pemberian ACE inhibitor dapat menyebabkan penurunan tekanan
darah melalui berbagai mekanisme yang terlibat dalam pengaturan sistem rennin-
angiotensin-aldosteron (RAAS), sehingga resiko hipotensinya semakin
meningkat, terlebih pada pasien yang telah lanjut usia, ditambah dengan
kombinasi dengan amlodipin. Tekanan darah harus senantiasa dipantau. (Dipiro:
233-234)
Meski ada kemungkinan lain, bahwa maksud penggunaan furosemid
dalam dosis rendah adalah untuk mengatasi resiko efek samping amlodipin,
berupa udema perifer. Amlodipin dapat menyebabkan terjadinya udema perifer,
dengan pemberian furosemid, maka aktivitas urinary meningkat, sehingga tidak
terjadi udema perifer.
Natrium diklofenak digunakan untuk mengobati gejala nyeri akibat
osteoarthritis. Diklofenak merupakan antiinflamasi nonsteroid (AINS) nonselektif.
Dosis yang diberikan adalah dosis tunggal pada malam hari sebesar 50 mg.
Sebagaimana AINS nonselektif lainnya, diklofenak dapat menginduksi
terjadinya ulkus peptikum, sedangkan dalam diagnosanya dokter telah
menyatakan bahwa pasien mengalami sindrom dispepsia. Meskipun efek buruk
yang disebabkan diklofenak pada saluran cerna tidak sekuat aspirin, namun
pemilihan obat lain yang lebih aman, perlu dipertimbangkan, mengingat pasien
telah dinyatakan mengalami sindrom dispepsia. (Dipiro; 1131)
Dalam kasus ini, pasien telah didiagnose sindrome dispepsia, dan
mendapat terapi AINS yang dapat memperparah sindrom tersebut, namun pasien
tidak mendapat obat untuk indikasi ini. Tak ada obat yang diberikan untuk
mengobati sindrom dispepsianya.
Simvastatin dosis tunggal pada malam hari 10 mg, untuk terapi
hiperlipidemia. Penggunaan simvastatin pada penderita diabetes diperbolehkan.
Pemberian vitamin B kompleks, yang mengandung asam nikotinat, akan
membentu menghambat pembentukan kolesterol dan trigliserida, sehingga akan
membantu menekan kadar lipid dalam darah. (BNF 57; 539)

20
Interaksi yang mungkin terjadi
1. Amlodipin (pemblok kanal kalsium) dan captopril (ACE inhibitor) yang
digunakan bersama-sama, cenderung berinteraksi menyebabkan efek
hipotensif, ACE inhibitor juga akan bekerja pada sistem kanal kalsium,
meski tidak secara langsung, begitu pun dengan furosemid.
2. Captopril berinteraksi dengan makanan, dan menyebabkan absorpsi
captopril menurun. (DIF)
c. Saran
Dari uraian diatas dapat disarankan :
 Kombinasi captopril, furosemid, dan amlodipin, perlu dipantau efeknya,
ada baiknya dosis captopril dikurangi
 Konsumsi captopril 1 jam sebelum makan, untuk menghindari
interaksinya dengan makanan
 Pasien perlu diberi obat untuk mengatasi sindrome dispepsianya, terlebih
dalam resep tersebut terdapat obat-obat yang menimbulkan efek-efek
yang tidak menyenangkan pada saluran cerna, berupa iritasi lambung
(natrium-diklofenak), mual, muntah, diare (metformin dan glibenklamid).
Ranitidine dan antiemetic seperti domperidon atau metoklopramid
mungkin perlu diberikan.
 Pasien juga harus diingatkan untuk senantiasa melakukan terapi non
farmakologis, berupa diet makanan rendah karbohidrat, lemak, dan
garam.
 Pasien juga harus menghindari konsumsi rokok dan atau alcohol
 Olah raga ringan secara teratur sangat dianjurkan

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diharapkan, berupa
pengalaman pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan pada
kenyataannya atau potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang
diharapkan. Kategori umum Drug Related Problems (DRPs) :

a. Membutuhkan obat tambahan.

b. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai atau tidak perlu obat.

c. Menerima obat yang salah.

d. Dosis terlalu besar.

e. Dosis terlalu kecil.

f. Pasien mengalami adverse drug reactions.

g. Pasien mengalami kondisi keadaan yang tidak diinginkan akibat tidak


minum obat secara benar (non compliance).

Klasifikasi DRP (Drug Related Problem)

1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)

2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)

3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)

4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)

5. Interak siobat (Interaction)

6. Masalah lainnya (Others)

22
DAFTAR PUSTAKA

23
24

Anda mungkin juga menyukai