Anda di halaman 1dari 16

Nama : Lesna Tri Rendykawati

Kelas : III.A

NIM : PO.713251141021

A. Penggunaan Obat Pada Pediatrik

Menurut American Academy of Pediatrics (AAP), pediatrik adalah

spesialisasi ilmu kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental dan sosial

kesehatan anak sejak lahir sampai dewasa muda. Pediatrik juga merupakan

disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengaruh biologis, sosial,

lingkungan dan dampak penyakit pada perkembangan anak. Anak-anak

berbeda dari orang dewasa secara anatomis, fisiologis, imunologis,

psikologis, perkembangan dan metabolisme (AAP, 2012).

Pada pediatrik, secara fisiologi beberapa organ penting belum

matang seperti halnya orang dewasa. Oleh karena itu akan mempengaruhi

proses farmakokinetik obat, dan perubahan akan terjadi sejalan dengan

pendewasaan, sehingga mempengaruhi respon obat pada pasien anak-anak

(Hashem, 2005).

a. Fisiologi dan Kinetika pada Neonatus (Term Newborn Infants)

Variasi kerja obat terjadi pada neonatus karena adanya variasi

karakteristik biologis pada bayi yang baru lahir, diantaranya massa tubuh

yang kecil, kandungan lemak tubuh rendah, volume air tubuh tinggi dan

permeabilitas beberapa membran lebih besar seperti pada kulit dan sawar

otak (Hashem, 2005).


1. Absorpsi pada Neonatus

Pada bayi yang baru lahir (neonatus), waktu transit lambung

lebih lama, pH lambung dan fungsi enzim bervariasi, tidak ada flora

usus akan mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan secara oral

(Hashem, 2005). Dengan demikian selama periode neonatal, obat-obat

yang tidak tahan asam seperti benzilpenisilin dan ampisilin akan

diserap lebih baik, sedangkan penyerapan obat-obatan seperti fenitoin,

fenobarbital dan rifampisin rendah (WHO, 2007).

Pada minggu pertama sejak lahir, neonates mengalami

achlorhydria dan hanya setelah usia tiga tahun ekskresi asam lambung

menyerupai orang dewasa. Dalam usia hingga satu bulan waktu

pengosongan lambung lebih lama dan gerak peristalsis tidak teratur.

Massa otot rangka lebih terbatas dan kontraksi otot yang berperan

mendorong aliran darah untuk penyebaran obat yang diberikan secara

intramuskular relatif lemah (Rowland dan Tozer, 1995).

Tingkat perfusi perifer rendah dan mekanisme pengaturan

panas belum sempurna pada neonatus mengganggu penyerapan. Obat

topikal diserap lebih cepat, dan biasanya lebih baik karena penghalang

kulit neonatus masih relatif tipis sehingga risiko toksisitas yang lebih

besar (Hashem, 2005).

2. Distribusi Pada Neonatus

Bayi yang baru lahir memiliki konsentrasi protein plasma dan

kapasitas pengikatan albumin yang rendah, sehingga berpengaruh


pada kemampuan mengikat terhadap obat yang terikat ekstensif

dengan protein plasma. Rendahnya kapasistas protein plasma

mengikat obat menyebabkan beberapa efek obat yang merugikan.

Misalnya, protein plasma dapat mengikat bilirubin. Obat sangat kuat

berikatan dengan protein dapat menggantikan bilirubin sehingga

menyebabkan kerusakan otak dari kernikterus akibat

hiperbilirubinemia. Antibiotik sulfonamid adalah contoh obat utama

pada kasus ini (Hashem, 2005).

Volume distribusi dalam kompartemen tubuh bayi sangat

berbeda dengan orang dewasa. Jumlah total kandungan air tubuh

mencapai 70-80% dari berat badan pada bayi prematur dan bayi baru

lahir, dibandingkan dengan orang dewasa sekitar 50-55%. Cairan

ekstraseluler sekitar 40% dari total berat badan, sekitar dua kali pada

orang dewasa. Tingginya kandungan air tubuh dan rendahnya

kapasitas protein plasma mengakibatkan volume distribusi obat yang

larut dalam air lebih besar. Sehingga dibutuhkan dosis relatif lebih

besar untuk obat yang larut dalam air untuk menghasilkan efek terapi

yang diinginkan (Hashem, 2005).

Secara substansial jumlah lemak tubuh pada neonatus lebih

rendah dibandingkan dengan orang dewasa, dan hal ini juga dapat

mempengaruhi efek terapi obat. Beberapa obat yang kelarutannya

tinggi dalam lemak, distribusinya lebih rendah dibandingkan dengan

orang dewasa. Sebagai contoh, perbedaan volume distribusi diazepam


berkisar 1,4-1,8 L/kg pada neonatus dan 2,2-2,6 L/ kg pada dewasa

(Nahata dan Taketomo, 2008).

3. Metabolisme Pada Neonatus

Neonatus memiliki kemampuan lebih rendah untuk

metabolisme obat yang rentan dibandingkan dengan bayi dan anak-

anak (Nahata dan Taketomo, 2008). Secara umum metabolisme obat

oleh enzim hati belum sempurna pada neonatus. Setelah lahir,

kapasitas metabolisme akan naik secara dramatis dari sekitar

seperlima hingga sepertiga tingkat orang dewasa selama minggu

pertama kehidupan (Hashem, 2005).

Jalur utama metabolisme obat dibagi menjadi fase reaksi 1 dan

fase reaksi 2. Fase 1 melibatkan reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis,

dan hidrasi. Jalur paling utama adalah reaksi oksidasi yang melibatkan

enzim sitokrom P450 (CYP). Enzim-enzim CYP utama dibagi

menjadi CYP1A2, CYP2B6, CYP2C8 - 10, CYP2C19, CYP2D6,

CYP2E1 dan CYP3A4 dan 5. Jalur untuk fase 2 melibatkan

glukuronidasi, sulfasi, metilasi, asetilasi dan konjugasi glutation.

Jumlah kandungan sitokrom P450 di hati janin adalah antara 30% dan

60% dari nilai dewasa dan mendekati nilai-nilai orang pada usia 10

tahun (Choonara, 2005).

Tempat utama metabolisme obat adalah dalam hati, selain

saluran pencernaan, sel darah, dan organ lain juga terlibat dalam

metabolisme obat. Tujuan biologis metabolisme obat adalah untuk


mengkonversi senyawa lipofilik (larut dalam lemak) menjadi lebih

polar dan lebih larut dalam air dengan demikian lebih mudah

diekskresikan ke dalam empedu atau urin (Choonara, 2005). Obat-

obat yang nonpolar, dan larut dalam lipid (misalnya diazepam, teofilin

dan parasetamol) akan dimetabolisme dalam hati sehingga menjadi

lebih polar. Sedangkan obat yang larut dalam air, biasanya

diekskresikan dalam bentuk tidak berubah oleh filtrasi glomerulus dan

/ atau sekresi tubular pada ginjal (misalnya aminoglikosida, penisilin,

dan diuretik) (WHO, 2007).

Bayi baru lahir memiliki kemampuan memetabolisme obat

yang rendah dibandingkan dengan bayi dan anak terutama pada

neonatus prematur. Perubahan metabolisme dapat mempengaruhi

neonatus yaitu terjadinya resiko toksisitas obat lebih besar. Neonatus

biasanya membutuhkan dosis obat yang lebih kecil dan diberikan

lebih jarang dari pada bayi dan anak-anak (Choonara, 2005).

4. Ekskresi Pada Neonatus

Pada neonatus fungsi ginjal belum berkembang secara

sempurna, sehingga ekskresi obat pada neonates obat lebih lambat.

Neonatus memiliki kemampuan yang rendah memekatkan urin

sehingga pH urin rendah, sehingga mempengaruhi ekskresi beberapa

senyawa. Fungsi ginjal secara keseluruhan mendekati tingkat dewasa

pada akhir atau tahun pertama sejak kelahiran (Hashem, 2005).


Fungsi ginjal sangat penting untuk disposisi obat pada periode

neonatus. Banyak pasien neonatus yang mengalami infeksi diberi

antibiotik yang larut dalam air. Secara umum pada neonatus waktu

paruh eliminasi obat semakin lama. Laju eliminasi meningkat pesat

selama minggu-minggu berikutnya, dan waktu paruh sama dengan

orang dewasa biasanya dicapai pada akhir bulan pertama (WHO,

2010).

b. Fisiologi dan Kinetika pada Bayi dan Anak

Ada beberapa faktor fisiologis yang mempengaruhi pemberian

obat pada bayi (5 - 52 minggu setelah dilahirkan) dan anak-anak (1

-12 tahun). Pertumbuhan dan kematangan biologis yang progresif

menstabilisasi respon tubuh terhadap obat sampai memberikan respon

yang akhirnya sama dengan perkiraan pada orang dewasa. Selama

pertumbuhan, terjadi peningkatan massa tubuh, perbedaan kandungan

lemak, dan penurunan volume air tubuh. Semua hal itu akan

mempengaruhi penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresi

obat. Selain itu, hambatan anatomis seperti kulit dan sawar otak lebih

efektif pada bayi. Pertumbuhan yang cepat selama masa kanak-kanak

dan pubertas juga dapat mempengaruhi respon obat (Hashem, 2005).

1. Absorpsi Pada Bayi Dan Anak

Keasaman lambung belum mendekati nilai-nilai orang dewasa

sampai usia sekitar dua sampai tiga bulan. Pada infant beberapa obat

yang tidak tahan asam seperti benzil penisilin, ampisilin, dan nafsilin
oral dapat diabsorpsi dengan baik karena kurangnya asam lambung

pada masa awal bayi. Hal ini disebabkan adanya cairan ketuban dalam

perut bayi sehingga pH lambung netral (6-8). Laju pengosongan

lambung menyerupai orang dewasa sekitar usia 6 sampai 8 bulan.

Barrier seperti kulit dan sawar otak lebih efektif selama pertumbuhan

bayi, hal ini menyebabkan anak berisiko lebih rendah terhadap efek

toksik beberapa obat (Hashem, 2005; Milsap dan Jusko, 1994).

2. Distribusi Pada Bayi Dan Anak

Distribusi obat dalam tubuh dipengaruhi oleh jumlah dan

karakter protein plasma, volume relative cairan tubuh, lemak, dan

kompartemen jaringan tubuh. Jumlah total air tubuh, dinyatakan

sebagai persentase dari total berat badan. Bayi premature adalah 85%

dan neonatus 78%. Meningkatnya fraksi total air tubuh berpengaruh

terhadap nilai parameter volume distribusi obat yang berkaitan dengan

konsentrasi obat (Hashem, 2005; Milsap dan Jusko, 1994). Pengikatan

protein pada obat umumnya hampir sama pada orang dewasa dan

dicapai pada usia satu tahun (Hashem, 2005).

3. Metabolisme Pada Bayi Dan Anak

Tingkat metabolik pada bayi dan anak-anak usia dua sampai

tiga tahun secara umum lebih tinggi dari orang dewasa. Dosis

terapeutik obat relatif terhadap berat badan, mungkin lebih besar

untuk anak-anak dibandingkan orang dewasa, contohnya teofilin.

Dosis harus individual untuk setiap anak berdasarkan berat badan, dan
harus disesuaikan dosis tersebut dengan adanya variasi metabolism

secara individu. Artinya, dosis harus individual untuk setiap anak

berdasarkan berat badan. Enzim hepatik dapat berubah sedemikian

rupa pada anak yang sudah mature sehingga kliren teofilin akan

berkurang, dan penyesuaian dosis lebih lanjut mungkin dibutuhkan

(Hashem, 2005). Biotransformasi metronidazol lebih lambat oleh

sistem enzim P450 pada bayi yang mengalami malnutrisi berat

dibandingkan pada bayi yang tidak mengalami malnutrisi (Milsap dan

Jusko, 1994).

4. Ekskresi Pada Bayi Dan Anak

Perubahan fungsi ginjal bergantung pada usia, sampai sekitar

6-12 bulan kematangan fungsi ginjal dan hati belum tercapai (Milsap

dan Jusko, 1994; Hashem, 2005). Saat lahir, fungsi glomerulus lebih

baik dari fungsi tubulus dan berlanjut sampai umur 6 bulan (Milsap

dan Jusko, 1994).

Pada pasien infant dan children pemberian obat dosis berganda

harus diberikan secara hati-hati. Dosis obat diekskresikan sebagian

besar dalam bentuk tidak berubah (unmetabolized) oleh ginjal, seperti

digoksin (untuk gagal jantung kongestif) dan gentamisin (antibiotik

aminoglikosida) (Hashem, 2005). Proses filtrasi glomerulus, sekresi

tubulus, dan reabsorpsi tubulus, semuanya menentukan efisiensi

eliminasi obat melalui ginjal seperti gentamisin, dan agen lainnya

seperti glukosa, fosfat, dan bikarbonat (Milsap dan Jusko, 1994).


B. Penggunaan Obat Pada Geriatrik

Geriatri didefinisikan sebagai individu berusia di atas 60 tahun dan

sering kali perubahan-perubahan yang terjadi pada geriatri dibandingkan

dengan keadaannya pada usia produktif dikaitkan dengan terjadinya proses

penuaan (WHO, 2013). Penuaan merupakan akumulasi perubahan yang

progresif. Penuaan dapat menurunkan kemampuan untuk mengatasi

tekanan ekstemal. Selain itu, variabilitas antarindividu dalam respon

fisiologis meningkat dengan peningkatan usia. Penuaan bukanlah entitas

tunggal tetapi istilah kolektif yang mewakili jumlah efek kumulatif pada

tingkatan molekul, selular dan tingkat jaringan. Karakteristik umum dari

penuaan adalah menurun hingga hilangnya fungi organ tubuh, misalnya

nefron, alveoli atau neuron. Karakteristik selanjutnya adalah terganggunya

beberapa proses regulasi yang mengintegrasikan fungsional antara sel-sel

dan organ. Akibatnya, ada kegagalan untuk mempertahankan homeostasis

di bawah kondisi-kondisi stres fisiologis tersebut(Mangoni and Jackson,

2003). 

Hilangnya fungsional organ tubuh ini dikaitkan dengan penurunan

kualitas hidup dan peningkatan kerentanan. Penuaan tidak semata-mata

merupakan penurunan fungsional secara progresif, tetapi  juga terjadi

perubahan anatomi dan fisiologi tubuh yang mungkin menyebabkan

dekompensasi pada sistem tubuh. Perubahan fisiologis organ tubuh yang

berkaitan dengan penuaan dapat mempengaruhi farmakokinetik suatu obat

(penyerapan obat, distribusi, metabolisme, dan ekskresi). Suatu keputusan


untuk pemberian obat-obatan pada pasien geriatri termasuk penentuan

regimen dosis perlu mempertimbangkan perubahan farmakokinetik yang

terjadi pada pasien geriatri tersebut, sehingga dapat

memberikan outcome yang diharapkan(Mangoni and Jackson, 2003).

Implikasi farmakokinetik

1. Absorpsi obat

Meskipun penelitian sebelumnya melaporkan efek yang berkaitan

dengan penuaan termasuk penurunan sekresi asam lambung dan

pengosongan lambung, penurunan aliran darah splanknikus, dan daya

serap usus kecil, yang kemungkinan karena efek keadaan penyakit yang

diderita geriatri, namun laporan yang lebih baru belum dikonfirmasi

mengenai temuan ini pada subyek sehat (Mangoni and Jackson, 2003;

Hilmer et al., 2007).

Studi farmakokinetik tentang pengaruh penuaan pada absorpsi obat

telah memberikan hasil yang bertentangan. Sementara beberapa penelitian

tidak menunjukkan perbedaan signifikan berkaitan usia dengan tingkat

penyerapan obat yang berbeda, penyerapan vitamin B12, zat besi dan

kalsium melalui mekanisme transpor aktif berkurang sedangkan

penyerapan levodopa meningkat. Beberapa perbedaan dalam hasil yang

diperoleh dari penelitian ini mungkin disebabkan karena metode yang

berbeda untuk menilai absorpsi obat (Mangoni and Jackson, 2003).


2. First-pass metabolisme dan bioavailabilitas

Penuaan dikaitkan dengan penurunan first-pass metabolisme. Ini

mungkin disebabkan oleh penurunan massa hati dan aliran darah dalam

hati. Akibatnya, ketersediaan hayati obat yang melalui first-pass

metabolisme seperti propranolol dan labetalol dapat secara signifikan

meningkat. Di sisi lain, beberapa ACE inhibitor seperti enalapril dan

perindopril yang merupakan pro-drug, memerlukan aktivasi di hati. Oleh

karena itu, aktivasi first-pass mereka mungkin diperlambat atau dikurangi

dengan bertambahnya umur (Mangoni and Jackson, 2003; Hilmer et

al.,2007).

3. Distribusi obat

Sebagai konsekuensi dari perubahan yang berkaitan dengan usia

dalam komposisi tubuh, obat yang bersifat polar atau larut dalam air

cenderung memiliki volume distribusi (V) yang lebih kecil, sehingga

menghasilkan tingkat serum lebih tinggi pada geriatri. Gentamicin,

digoxin, etanol, teofilin, dan cimetidine termasuk dalam kategori

ini. Loading dose digoxin perlu dikurangi untuk mengakomodasi

perubahan ini (Mangoni and Jackson, 2003; Hilmer et al., 2007).

Di sisi lain, senyawa nonpolar atau cenderung larut dalam lemak

memiliki nilai V yang lebih besar dengan terjadinya penuaan. Efek utama

dari peningkatan V adalah perpanjangan waktu paruh (t1/2). Peningkatan V

dan t1/2 telah diamati untuk obat-obatan seperti diazepam, thiopentone,

lignocaine, dan chlormethiazole. Penurunan V untuk obat yang larut


dalam air cenderung seimbang dengan penurunan klirens ginjal (CL)

dengan sedikit efek pada t1/2,z, seperti yang ditunjukkan dalam persamaan

berikut:

dimana, t1/2,z adalah waktu paruh eliminasi

           Ln(2) adalah 0,693

           V adalah volume distribusi, dan

           CL adalah klirens

(Mangoni and Jackson, 2003)

4. Ikatan Protein

          Senyawa asam (diazepam, phenytoin, warfarin, asam salisilat) berikatan

dengan albumin sedangkan obat-obatan basa (lignocaine, propranolol)

mengikat α1-asam gliko-protein. Meskipun tidak ada perubahan substansial yang

berkaitan dengan usia pada konsentrasi dari kedua protein ini telah diteliti,

albumin umumnya berkurang pada kondisi malnutrisi atau penyakit akut

sedangkan a1-asam glikoprotein meningkat selama sakit akut. Namun, hal penting

dari perubahan tersebut masih harus dijelaskan sebagai faktor utama yang

menentukan efek obat yaitu konsentrasi obat bebas. Meskipun ikatan protein

plasma secara teoritis berkontribusi terhadap interaksi obat atau efek fisiologis

untuk obat yang sangat terikat protein, relevansi klinis mungkin terbatas. Alasan

untuk ini adalah terkait dengan fakta bahwa efek awal dan efek sementara dari
ikatan protein pada konsentrasi plasma bebas secara cepat diimbangi dengan

efeknya pada klirens(Mangoni and Jackson, 2003; Hilmer et al., 2007).

5. Klirens obat

          Penurunan fungsi ginjal pada geriatri, khususnya laju filtrasi glomerulus,

mempengaruhi jelas klirens berbagai obat-obatan yang larut dalam air seperti

antibiotik, diuretik, digoxin, β-adrenoreseptor bloker yang larut dalam air, lithium,

dan obat anti-inflamasi nonsteroid. Efek klinis yang perlu diperhatikan dari

pengurangan ekskresi ginjal yaitu terjadinya toksisitas obat. Obat dengan indeks

terapeutik yang sempit seperti antibiotik aminoglikosida, digoxin, dan lithium

cenderung memiliki efek samping serius jika mereka menumpuk walaupun hanya

dalam jumlah yang sedikit berlebih daripada yang dimaksudkan. Namun,

penelitian terbaru telah mempertanyakan pentingnya penuaan pada penurunan

fungsi ginjal dalam mempengaruhi farmakokinetik. Meskipun klirens kreatinin

sedikit berkurang pada geriatri yang sehat, ekskresi atenolol, hydrochlorothiazide

dan triamterene mirip dengan subyek muda (Mangoni and Jackson, 2003;

Hilmer et al., 2007).

6. Liver

         Klirens obat oleh hati tergantung pada kapasitas hati untuk mengekstraksi

obat dari darah melewati organ dan jumlah aliran darah hati, seperti yang

digambarkan oleh rumus berikut:


dimana, E adalah rasio ekstrasi steady-state

Q adalah aliran darah hati (jumlah aliran darah portal hati dan aliran darah

arterial      hati)

          [Ca] adalah konsentrasi obat pada vena portal dan arteri hati

          [Cv] adalah konsentrasi obat meninggalkan hati pada vena hepatik

          CLliver adalah klirens oleh hati

Oleh karena itu, klirens oleh hati tergantung pada aliran darah dan rasio

ekstraksi, serta tergantung pada kapasitas metabolisme

hati (Mangoni and Jackson, 2003; Hilmer et al., 2007).

          Obat dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok sesuai dengan rasio

ekstraksinya: rasio ekstraksi tinggi (E> 0,7 seperti chlormethiazole,

dekstropropoksifen, gliseril nitrat, lignocaine, petidin, dan propranolol),

menengah (E 0,3-0,7 seperti aspirin, codeine, morfin, dan triazolam), dan rendah

(E <0,3 seperti carbamazepine, diazepam, phenytoin, teofilin, dan warfarin).

Ketika E tinggi, CL lajunya dibatasi oleh perfusi. Ketika E rendah, Cv sama

dengan Ca dan perubahan aliran darah menghasilkan perubahan kecil pada CL.

Oleh karena itu, penurunan aliran darah hati dengan penuaan terutama akan

mempengaruhi klirens obat dengan rasio ekstraksi tinggi (Mangoni and Jackson,

2003).
          Beberapa studi telah menunjukkan penurunan signifikan pada klirens

berbagai obat yang dimetabolisme melalui jalur fase-1 dalam hati. Faktor utama

hal tersebut kemungkinan direpresentasikan oleh perubahan yang berkaitan

dengan usia pada ukuran dan aliran darah hati sebagai aktivitas enzim

pemetabolisme obat. Penelitian pada jaringan hati manusia menunjukkan bahwa

aktivitas mono-oxygenase dipelihara bahkan pada usia lanjut. Hasil ini telah

dikonfirmasi oleh penelitian in vivo menggunakan radiolabelled tes napas

eritromisin sebagai penyelidikan aktivitas CYP3A. Tidak jelas apakah respon

enzim berubah dengan penuaan pada manusia. Beberapa penelitian

farmakokinetik telah melaporkan bahwa faktor-faktor seperti merokok tidak

menginduksi metabolisme obat pada geriatri pada tingkat yang sama seperti pada

orang yang lebih muda. Penulis lain melaporkan klirens teofilin serupa pada

perokok tua dan muda. Bukti mengenai inhibisi enzim pada penuaan adalah lebih

konsisten, sebagian besar penelitian pada manusia menunjukkan inhibisi enzim

yang mirip dengan subyek muda. Kurang banyak usaha telah diarahkan untuk

menyelidiki efek penuaan pada metabolisme konjugatif. Secara umum, penelitian

melaporkan tidak ada efek mayor dari penuaan pada jalur metabolisme fase 2

melalui konjugasi. Jalur metabolisme fase 2 melalui konjugasi, terpelihara pada

geriatri sehat tetapi mengalami penurunan pada geriatri yang lemah. Misalnya,

konjugasi parasetamol menurun pada geriatri yang lemah tetapi tidak pada geriatri

yang sehat(Mangoni and Jackson, 2003; Hilmer et al., 2007).

          Baru-baru ini, telah diteliti bahwa pengurangan fungsi ginjal secara

signifikan dapat mempengaruhi tidak hanya ekskresi obat melalui ginjal, tetapi
juga metabolisme obat dalam hati. Penurunan aktivitas sitokrom P450 hati, secara

sekunder mengurangi ekspresi gen, telah diteliti pada gagal ginjal. Oleh karena

itu, pengurangan fungsi ginjal terkait penuaan, berpotensi mempengaruhi

metabolisme obat di hati. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi

masalah ini (Mangoni andJackson, 2003; Hilmer et al., 2007).

Anda mungkin juga menyukai