Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH TERAPI OBAT PADA PASIEN KHUSUS ANAK DAN LANSIA

Disusun Oleh :

1. Tasya Nabilah 1150019006


2. Wahyu Ningsih 1150019012
3. Krid Dwi W 1150019018
4. Farika Wahyu K.N 1150019024
5. Aprilia Sohappy 1150019030
6. Salsabila Anggia Putri 1150019036
7. Cinde Millenia A.M 1150019043
8. Akhmad Fahmi 1150019049
9. Yahya Tri Kurniawan 1150019055
10. Anita Nurmansyah 1150019057
11. Indah Amiatul Azizah 1150019064

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas rahmat- Nya
lah kami dapat menyelesaikan Tugas Makalah Mata Kuliah Farmakoterapi ini. Makalahini
berjudul “TERAPI OBAT PADA PASIEN KHUSUS ANAK DAN LANSIA” disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, karena itu kami memohon maaf dan mengharapkan
saran dan kritik untuk menyempurnakan makalah ini.

Surabaya, 20 januari 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pediatric

Pediatric berasal dari bahasa yunani yaknik peades (anak) dan iztric (pengobatan).
Penggunaan obat pada anak merupakan suatu yang bersifat khusus karena berkaitan langsung
dengan laju perkembangan organ, sistem dalam tubuh juga masih belum sempurna seperti
enzim yang bertugas dalam metabolisme serta proses eskresi obat. The Pediatric Association
membagi waktu perkembangan biologis masa anak-anak untuk menentukan dosis obat
sebagai berikut :

a. Neonatus : awal kelahiran sampai usia 1 bulan


b. Bayi : 1 bulan sampai 2 tahun
c. Anak : 2 sampai 12 tahun
d. Remaja : 12 sampai 18 tahun

Beberapa pertimbangan yang perlu diambil sehubungan dengan pemakaian obat pada anak
adalah :

a. Faktor-faktor farmakokinetik obat, meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan


ekskresi
b. Pertimbangan dosis terapeutik dan toksik, yakni termasuk pemakaian obat
denganlingkup terapi lebar atau sempit, dan interaksi antar obat berdasarkan pejalanan
penyakit
c. Penghitungan dosis
d. Segi praktis pemakaian obat, mencakup cara pemberian, kebiasaan, dan ketaatan
pasienuntuk minum obat

2.2 pertimbangan Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Farmakokinetik merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh
yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME). Pengaruh pemberian obat
dengankeadaan farmakokinetik pada pediatri sulit diprediksi terutama untuk neonatus dan
bayi lahir prematur. Pediatri mengalami perubahan keadaan farmakokinetik hingga mencapai
keadaan normal orang dewasa.
1. Absorpsi Obat
Secara umum, kecepatan absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik tergantung pada
cara pemberian dan sifat fisikokimiawi obat, seperti misalnya berat molekul, dan sifat
lipofilik obat. Sifat fisikokimiawi obat terutama menentukan kecepatan dan luasnya
transfer molekul obat melalui membran. Hal ini berlaku pada semua golongan usia.
Dua faktor yang mempengaruhi absorpsi obat dari saluran pencernaan adalah difussi
pasif yang dipengaruhi pH dan waktu pengosongan lambung. Pada bayi normal
rentang pH lambung dari 6 sampai 8 saat kelahiran tatapi turun 1-3 selama 24 jam.
Pada neonatus sekresi asam lambung relatif rendah, tetapi apakah ini mempengaruhi
absorpsi dan kemanfaatan terapi oral, belum banyak diselidiki. Umumnya basorpsi
oral pada bayi dan anak tidak jauh berbeda dengan dewasa. Hal-hal berikut perlu
dipertimbangankan sehubungan dengan absorpsi obat pada anak :
a. Beberapa saat setelah lahir akan terjadi perubahan-perubahan biokimiawi dan
fisiologis pada traktus gastrointestinal pada 24 jam pertama kelahiran, terjadi
peningkatan keasaman lambung secara menyolok. Oleh sebab itu, obat-obat
yang terutama dirusak oleh asam lambung (pH rendah) sejauh mungkin
dihindari
b. Pengosongan lambung pada hari I dan II kehidupan relatigf lambat (6-8 jam).
Waktu pengosongan dan pH lambung akan mencapai tahap normal pada usia
sekitar tiga tahun. Waktu pengosongan lambung pada bayi baru lahiryaitu 6-8
jam sedangankan dewasa 3-4 jam. Pada tahap ini obat yang absorpsi utamanya
di lambung akan diabsorpsi secara lengkap dan sempurna
c. Absorpsi obat setelah pemberian secara injeksi IM tergnatung pada kecepatan
aliran darah ke otot. Keadaan fisiologis yang bisa menurunkan aliran darah
antara lain syok kardiovaskuler, vasokonstriksi oleh karena pemberian obat
simpatomimetik, dan kegagalan jantung. Absorpsi obat yang diberikan
perkutan meningkat pada neonatus, bayi dan anak, terutama jika terdapat
ekskoriasi kulit atau luka bakar. Dengan meningkatnya absorpsi inikadar obat
dalam darah akan meningkat pula secara menyolok, yang kadang mencapai
dosis toksik obat.
d. Pada keadaan tertentu dimana injeksi diperlukan, sementara oleh karena
malnutri anak menjadi sangat kurus dan volume otot menjadi kecil, pemberian
injeksi harus sangat hati-hati. Pada keadaan ini absorpsi obat menjadi sangat
tidak teratur dan sulit diduga oleh karena oabat mungkin masih tetap berada di
otot dan absorpsi secara lambat.
e. Gerkan peristaltik usus bayi baru lahir relatif belum teratur, tetapi umumnya
lambat. Sehingga jumlah obat-obat yang diabsorpsi di intestinum tenue sulit
diperkirakan. Jika peristaltik lemah maka jumlah obat yang doabsorpsi
menjadi lebih besar, yang ini memberi konsekuensi berupa efek toksik obat.
Sebaliknya jika terjadi peningkatan peistaltik seperti diare, absorpsi obat
cenderung menurun oleh karena lama kontak obat pada tempat-tempat yang
mempunyai permukaan absorpsi luas menjadi sangat singkat.
f. Absorpsi perkutan meningkat pada bayi dan anak, terutama pada bayi
prematur kerena kulitnya lebih tipis, lebih lembab dan lebih besar dalam rasio
luas permukaan tubuh perkilogram berat badan.
g. Pemberian obat secara rektal umumnya berguna pada bayi dan anak yang
tidak mungkin menggunakan sediaan oral seperti pada kondisi muntah,
kejang. Namun demikian, sepertihalnya pada pasien dewasa, ada
kemungkinan terjadinya variasi individu pada suplai darah ke rektum yang
menyebabkan variasi dalam kecepatan dan derajat absorpsi pada pemberian
secara rektal

2. Distribusi Obat
Prosis ini dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh massa jaringan, kandungan lemak,
aliran darah, permobilitas memberan dan ikatan protein. Obat didistribusikan secara
berbeda berdasarkan sifat-sifat fisiokimiawinya. Perbedaan ini dapat ditunjukkan oleh
obat-obat yang mempunyai sifat lipofilik kecil,misalnya sulfonamida, dimana volume
distribusinya meningkat sampai 2 kali pada neonatus.
Barier darah otak pada bayi baru lahir relatif lebih permeabel.hal ini memungkinkan
beberapaobat melintasi aliran darah otak secara mudah.ikatan protein plasma obat
sangat kecil pada bayi dan baru mencapai nilai nr=ormal pada umur 1 tahun. Hal ini
disebabkan karena rendahnya konsentrasi albumin dalam plasma dan rendahnya
kapasitas albumin untuk mengikat molekul obat. Keadaan ini menjadi penting pada
bayi malnutrisi dan hioalbuminemia.
3. Metabolisme Obat
Hepar merupakan organ terpenting untuk metabolisme obat. Rendahnya metaolisme
obat di hati pada neonatus disebabkan oleh rendahnya aliran darah ke hati, asupan
obat oleh sel hati, kapasitas enzim hati dan ekskresi empedu. Sistem ensim di hati
pada neonatus dan bayi belum sempurna, teurtama pada proses oksidasi dan
glukoronidase, sebaliknya pada jalur konjugasi dengan asam sulfat berlangsung
sempurna.
Meskipun metabolisme asetaminofen melalui jalur glukoronidase pada anak masih
belum sempurna dibandingkan pada orang dewasa, sebagian kecil ddari bagian ini
dikompensasi melalui jalur konjugasi dengan asam sulfat. Jalur metabolisme ini
mungkin berhubungan langsung dengan usia daan mungkin memerlukan waktu
selamabeberapa bulan sampai 1 taun agar berkembang sempurna. Hal ini terlihat dari
peningkatan klirens pada usia setelah 1 tahun.

4. Ekskresi Obat
Pada neonatus, kecepatan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus masih imatur.
Diperlukan waktu sekitar 6 bulan untuk mencapai nilai normal. Umumnya GFR pada
anak adalah sekitar 30-40% dewasa. Oleh karena itu, pada anak obat dan metabolit
aktif yang dieskresi dengan filtrasi glomerulus, seperti digoksin dan gentamisin paling
lambat dieksresi pada bayi baru lahir.

2.3 Perhitungan Dosis

Sekali lagi perlu ditekankan disini bahwa penentuan dosis obat pada anak hendaknya
dilakukan secara induvidual, meskipun beberapa formulasi dapat juga digunakan.
Perhitungan dosis dapat dilakukan berdasarkan umur, berat badan atau luas permukaan tubuh.
Berikut ini beberapa cara perhitugan dosis anak yang lazim dipakai :
2.4 Segi Praktis Pemakaian Obat Pada Anak
1. Periode awal kelahiran
Pada periode ini, pemberian obat peroral dapat mengakibatkan aspirasi, lagi pula
beberapa obat tidak diabsorpsi secara baik. Jika diberikan secara intramuskular,
sebaiknya dilakukan di tungkai atas, sebelah anterior atau lateral. Penyuntikan pada
pantat tidak dianjurkan mengingat masa otor yang masih relatif kecil dan
kemungkinanrusaknya saraf skiatik. Obat-obat yang dapat menggeser bilirubin dari
ikatannya pada albumin hendaknya dihindari untuk mencegah terjadinya kern ikterus.
Pemakaian kloramfenikol pada bulan pertama kelahiran sangat tidak dianjurkan
karena dapat menyebabkan grey baby syndrome akibatnya tertimbunnya
kloramfenikol tak terkonjugasi di dalam darah.
2. Periode kanak-kanak dan prasekolah (1-10 tahun)
Pada kelompok umur ini, yang perlu diperhatikan adalah pemberian obat yang
metabolismenya dengan cara oksidasi dan hidroksilasi, seperti fenitoin, fenobarbital
dan teofilin. Banyak bukti klinik menunjukkan bahwa penggunaan obat-obat tersebut
pada kelompok umur 1-10 tahun memerlukan dosis terapeutik yang relatif lebih besar
dari dosis dewasa. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pada periode ini darah
dibersihkan dari obat lebih cepat dan metabolisme obatpun berlangsug cepat. Oleh
sebab itu waktu paruh obat juga lebih pendek.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian obat pada kelompok umur ini adalah :

a. Cara pemberian obat efektif


Karena kemungkinan adanya reaksi penolakan untuk minum obat, maka pemberian obat
dalam bentuk sirup sangat dianjurkan, terutama yang tidak memberi rasa pahit. Namun
perlu diingat, pemakaian jangka panjang obat sirup dengan pemanais dapat menyebabkan
kariesgigi. Frekuensi pemberian hendaknya dibuat seefektif mungkin, misalnya tidak
lebih dari 4 kali perhari.
b. Menghindari obat dari jangkauan anak
Dalam periode ini, anak cenderung tahu obat apa yang mereka minum dan berusaha
untuk mengambil dan meminumnya sendiri. Perlu diingat bagi orangtua untuk
menyimpan obat sebaik mungkin agar tidak mudah dijangkau oleh anak.
c. Pengobatan pada infeksi berulang dan saluran pencernaan
Secara umum anak-anak dalam kelompok ini akan sering mengalami penyakit infeksi
yang berulang. Sebagian besar dari infeksi ini disebabkan oleh virus, dimana antibiotik
sama sekali tidak diprlukan. Namun jika terbukti disebabkan oleh bakteri, dimana
pemakaian antibiotik tidak dapat dihindari, cara pemberian obat hendaknya diberitahukan
sejelas mungkin pada orang tua anak. Informasi bahwa antibiotik harus diminum sampai
habis perlu ditekankan, sehingga penghentian pemberian antibiotik tidak semata-mata
didasarkan pasa hilangnya gejala atau membaiknya kondisi.
Gangguan sistem pencernaan diartikan sebagai gangguan pada saluran pencernaan yang
dumulai dari rongga mulut sampai anus, berupa kelainan kelenjar pencernaan atau organ
saluran pencernaan. Gangguan sitem pencernaan pada setiap umur akan berbeda, dimana
pada usia 0-6 bulan secara umum gangguan yang ditemukan adalah berupa muntah, diare,
dan sembelit. Penyebabnya yaitumakanan tambahan yang diberikan terlalu dini, makanan
basi dan makanan yang berlebihan, infeksi serta adanya kelainan pada alat pencernaan.
Pada anak umur lebih dari 6 bulan pemberian dilakukan secara baik dan benar maka hal
tersebut justru akan membantu dalam proses pertumbuhan dan perkembanga anak karena
kebutuhan nutri mereka tercukupi dan mendapat tambahan. Naman faktor hygiene
makanan juga sering menjadi masalah tersendiri seperti timbulnya diare atau muntah.
d. Pemakaian obat untuk penyakit kronik
Dalam masa pertumbuhan, mungkin saja seorang anak menderita penyakit kronis,
misalnyaepilepsi dan asma, yang memerlukan pengobatan jangka panjang. Mengingat
adanya perubahan responsterhadap obat dalam masa tumbuh kembang ini, maka penilaian
terhadap besar dosis, frekuensi, cara dan lama pemberian hendaknya ditinjau kembali dari
waktu ke waktu, jika perlu dapat dilakukan monitoring kadar obat dalam darah.

2.5 Prinsip-Prinsip Peresepan Pada Bayi dan Anak

Konsep dasar pemberian obat adalah untuk menghilangkan gejala, menyembuhkan penyakit,
atau mencegah terjadinya penyakit. Keputusan untuk memberi obat pada seorang anak harus
diambil secara seksama dengan mempertimbangkan rasio manfaat dan resikonya, serta
dampak lain yang mungkin terjadi akibat pengobatan. Sebelum mengambil keputusan untuk
melakukan pengobatan pada anak ada baiknya direnungkan dahula pertanyaan-pertanyaan
berikut.

1. Apakah benar obat diperlukan?


Sebagian besar penyakit pada anak sebetulnya dapat sembuh sendiri tanpa pemberian
obat sekalipun. Jika tidak terpaksa sekali, alternatif intervensi non koterapi (diet
istirahat, mamperbaiki masalah cairan) lebih diutamakan. Kecenderungan peresepan
yang semata-mata didasarkan pada kekawatiran dan permintaan orang tua anak tidak
dibenarkan sama sekali. Sebagai contoh adalah pemberian antibiotik pada ISPA
ringan. Peresepan antibiotik pada kasus inipun tidak rasional. Pertama hampir 90%
kaus ISPA pada anak tergolong ringan dan disebabkan oleh virus dimana antibiotik
sama sekali tidak diperlukan. Kedua, dalam praktek sehari-hari, antibiotik umumnya
diberikan untuk 3-2 hari dengan disis, frekuensi dan cara minum yang kadang tidak
jelas. Keadaan ini akan meningkatkan resiko terjadinya efek samping juga
menibulkan dampak resistensi bakteri. Ketiga, jika peresepan antibiotik tidak
disesuaikan dengan kondisi ekonomi pasien maka harga obat menjadi tidak
terjangkau. Hal ini akan menjadi kendala besar bagai pasien/keluarganya.

2. Jika terapi obat diperlukan, obat yang mana yang sesuai?


a) Peresepan tetrasiklin sangat tidak dianjurkan pada anak, oleh karena dapat
merusak gigi dan mengganggu pertumbuhan tulang
b) Penggunaan preparat kortikosteroid topikal secara rutin pada bayi dan anak
hendaknya dihindari. Hal ini untuk mencegah terjadinya efek iritasi pada kulit
dan gangguan pertumbuhan
c) Pemberian antibiotik untuk diare akut pada anak sama sekali tidak beralasan.
Anak yang diare memerlukan cairan bukan obat, dan oralit terbukti
menurunkan mortalitas diare secara nyata
d) Kloramfenikol di samping spektrumnya luas, harganya relatif murah. Namun
demikian pemberian pada neonatus sejauh mungkin dihindari
e) Obat-obat sulfonamida termasuk kotrimoksazol sangat tidak dianjurkan pada
bayi baru lahir karena dapat menggeser bilirubin dari ikatanyya dengan
albumin, sehingga menyebabkan kemikterus
f) Pemberin aspirin pada anak sebaiknya dihindari, disamping oleh karena efek
iritasi lambung, juga dapat menyebakan terjadinya sindrome reye
g) Obat-obat antimuntah selain tidak bermanfaat pada bayi dan anak,
kemungkinan resiko efek sampinya juga jauh lebih besar. Untuk itu
penggunaannya pada kelompok umur ini sangat tidak dianjurkan
3. Jenis sediaan apa yang diperlukan?
Pemberian obat secara oral adalah yang paling dianjurkan untuk anak. Selanjutnya
untuk menentukan apakah diperlukannya oat dalam bentuk sediaan cair, tablet, puyer,
atau yang lain, perlu dipertimbangkan kondisi anak, tingkat penerimaan, dan faktor
lain yang sekiranya akan mempengaruhi masuknya obat secara komplit ke dalam
tubuh, misalnya apakah anak sudah dapat menelan obat tablet.
Pemakaian obat secara inhalasi mungkin kurang cocok untuk anak, obat bentuk ini
memerlukan cara penyedotan yang konsisten dan dalam, yang sulit diterapkan pada
anak. Akibatnya dikawatirkan dosis obat yang masuk tidak dapat konsisten pula.
Untuk itu nebuliser lebih teat dapat diterima

4. Memperkirakan dosis obat


Penentuan dosis obat pada anak dapat dilakukan dengan mengacu buku-buku standar
pediatrik. Dapat juga menggunakan berdasarkan umur, berat badan atau luas
permukaan tubuh.

5. Lama pemberian
Untuk memutuskan berapa lama obat sebaiknya diberikan pada anak, sebetulnya tidak
ada standar yang pasti. Namun perlu digarisbawahi, riwayat perjalanan penyakit akan
menentukan berapalama obat harus diminum. Untuk penyakit-penyakit yang
berlangsung kronis seperti TB dapat sampai 6,9,12 bulan. Sementara untuk penyakit
yang sifatnya akut dan dapat sembuh sendiri dapat diberikn obat simtomatis sampai
gejala kliniknya menghilang. Hal-hal berikut perlu diperhatikan
a) Pemberian antibiotik selama 3 hari sama sekali tidak beralasan, lebih-lebih
jika penyebabnya virus
b) Obat-obat simptomatik hany bersifat menghilangkan gejala. Jika sudah tidak
ada gejala obat ini harus dihentikan

BAB III
PENATALAKSANAAN OBAT LANSIA
3.1  Epidemiologi Penuaan
Status kesehatan dari populasi lansia Amerika sangat bervariasidan heterogen. Demografis
dan karakteristik kesehatan orang berusia 65 tahun dan 74 tahun berbeda dari yang berusia 85
tahun keatas, begitu  Juga  antara  orang  yang  pernah  dirawat  disuatu  lembaga  dan  yang
tinggal dalam masyarakat biasa. Dengan memisahkan kondisi antara sehat dan sakit,
ketergantungan dan ketidaktergantungan, fungsi dan disfungsi, maka data demografis dan
status kesehatan yang ada saat ini relevan untuk praktek klinis.
Pada tahun 2000, orang berusia 65 tahun atau lebih mencakup 12,4% (35 juta) dari populasi
total AS. Peningkatan jumlah orang tua bukan hanya disebabkan oleh tingginya tingkat
kelahiran setelah PD2,namun juga karena penurunan tingkat kematian, dan secara
umumkarena kesehatan lansia yang lebih baik. Penurunan dari kematian dinidan kesehatan
lansia yang lebih baik terjadi karena beberapa alasan :
a. Tindakan kesehatan masyarakat terhadap semua kelompok umur(contohnya
imunisasi, perawatan sebelum melahirkan)
b. Perkembangan pada obat dan prosedur medis
c. Peningkatan gaya hidup sehat
d. Perbaikan pada lingkungan hidup masyarakat

Tujuan penting dari perawatan terhadap lansia adalah untuk menjagakemandirian dan
mencegah perlunya perawatan di rumah sakit selamamungkin. Hilangnya fungsi atau
ketidakmampuan merupakan jalur umum darikebanyakan masalah klinis pada lansia,
terutama usia lebih dari 75 tahun.Pada tahun 2000, 28,6% dari lansia dilaporkan mengalami
ketidakmampuansecara fisik (contoh berjalan, menaiki tangga, menjangkau, mengangkat
danmembawa sesuatu), dan 9,5% dilaporkan tidak mampu melakukanperawatan diri dan
aktivitas dasar kehidupan sehari-hari (contoh: memakaibaju, mandi, bergerak dalam rumah,
makan, pergi ke toilet dan merawat diri).
Populasi lansia jika dibandingkan dengan yang lebih muda lebih mudah terpengaruh kondisi
kronis karena beberapa factor seperti :
a. Tipe kondisi kronik yang terdapat pada lansia lebih dapat menyebabkan
ketidakmampuan (contoh: artritis, penyakit jantung).
b. Kondisi menjadi lebih parah seiring bertambahnya usia.
c. Beberapa kondisi lebih mungkin terjadi.

1. PERUBAHAN PENATALAKSANAAN OBAT


Perubahan fisiologi yang terkait lanjut usia akan memberikan efek serius pada banyak
proses yang terlibat dalam penatalaksanaan obat. Perubahan fisiologi yang terkait usia
pada saluran pencernaan,hati, dan ginjal :
● Reduksi sekresi asam lambung Penurunan motlitas gastrointestinal
● Reduksi luas permukaan total absorpsi
● Reduksi aliran darah jaringan (splanchnic)
● Reduksi ukuran hati
● Reduksi aliran darah hati
● Reduksi filtrasi glomerulus
● Reduksi filtrasi tubuler ginjal
Kapasitas fungsional organ vital yang berubah, menyertai usia lanjut dan penyakit
kelemahan dapat sangat memengaruhi respon tubuh terhadap obat. Pasien demikian,
cenderung tidak tahan (menoleransi) obat-obat dengan toksis kuat; yang biasanya
adalah perlu bagi mereka menggunakan dosis yang lebih kecil pada jarak waktu yang
lebih lama. Efek obat pada lanjut usia dan berpenyakit berat, sering tidak dapat
diramalkan. Kebutuhan yang sering untuk menyesuaikan dosis atau perubahan dalam
seleksi obat memerlukan pengamatan berkelanjutan terhadap pasien ini, jika efek
merugikan akan dicegah atau diminimalkan

2. PERMASALAHAN TERKAIT OBAT (DRUG RELATED PROBLEMS) PADA


LANSIA
Walaupun pengobatan yang digunakan oleh lansia dapat menyebabkan peningkatan
pada kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan, hasil negative karena masalah
yang berkaitan dengan pengobatan perlu dipertimbangkan. Tiga efek negatif yng
penting dan mungkin terjadi pada lansia karena masalah yang berkaitan dengan obat
dalah:
a. Efek samping penarikan obat (adverse drug withdrawal events,
ADWE), merupakan serangkaian gejala atau tanda-tandda yang terjadi
saat obat berhenti digunakan.
b. Kegagalan terapeutik (terapi yang tidak sesuai atau tidak cukup, dan
tidak berkaitan dengan progresi alami penyakit).
c. Efek samping obat (adverse drug reaction, ADR), didefenisikan
sebagai reaksi yang tidak diinginkan dan mengganggu yang timbul
pada pemakaian dosis normal pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis, dan terapi.

A. Faktor resiko
Beberapa faktor dipercaya meningkatkan resiko masalah terkait obat pada lansia,
termasuk pemberian resep yang kurang optimal (pemakaian berlebih pada obat atau
polifarmasi, pemakaian tidak sesuai, dan pemakaian yang kurang), kesalahan
pengobatan (baik masalah pemberian resep dan administrasi), dan ketidakpatuhan
pasien dalam menggunakan obat (baik disengaja maupun tidak disengaja).

B. Penggunaan Berlebih
Polifarmasi dapat didefenisikan sebagai penggunaan bersamaan dari banyak obat atau
pemakaian lebih banyak obat dari yag diindikasikan secara klinis. Polifarmasi umum
dan semakin meningkat kejadiannya pada lansia. Survey berbasis masyarakat
mengungkapkan bahwa lansia menggunakan rata-rata 2,7 hingga 4,2 resep dan non-
resep setiap harinya. Polifarmasi juga merupakan masalah untuk pasien lansia karena
hal tersebut dapat meningkatkan sindrom geriatric (contohnya jatuh, gangguan
kognitif), hilangnya status fungsional dan peningkatan biaya kesehatan.

C. Penulisan Resep yang Tidak Sesuai


Penulisan Resep yang Tidak Sesuai dapat didefenisikan sebagai penulisan resep
pengobatan diluar batas-batas standar medis yang dapat diterima. Fenomena ini
muncul umumnya pada pasien rawat jalan lansia. Penulisan resep yang tidak sesuai
dapat memberikan resiko penting terhadap kesehatan. Sebuah data retrospektif
terbatas menduga bahwa penulisan resep yang tidak sesuai berkaitan dengan
perawatan di rumah sakit yang berkaitan dengan obat (drug-related hospital
admission), serta perawatan kembali di rumah sakit (readmission). Diperkirakan
bahwa setidaknya 25% obat yang diresepkan untuk pasien lanjut usia tidak efektif
atau tidak diperlukan. Sering kali dijumpai obat sekunder yang kemungkinan
diresepkan untuk mengatasi efek samping obat yang lain. Contohnya, peresepan
LDopa untuk mengatasi tremor pada pemberian obat-obatan yang menginduksi
tremor, atau fenotiazin untuk mengatasi pusing yang disebabkan hipotensi postural
akibat penggunaan obat lain. Praktek ini sangat bertolak belakang dengan raktek
kefarmasian yang baik dan farmasis dalam pemantauan peresepan.

Beberapa masalah yang sering kali dijumpai pada evaluasi pengobatan pasien usia
lanjut dapat dilihat pada berikut :
● Ketidaksesuaian dalam jumlah yang diresepkan
● Item yang sebenarnya sudah tidak diperlukan
● Petunjuk yang tidak memuaskan
● Frekuensi, interval, atau kekuatan dosis yang tidak tepat
● Duplikasi dalam terapi
● Interaksi obat-obat
Polifarmasi merupakan masalah utama dalam kelompok pasien ini. Semakin banyak
jumlah obat yang diterima pasien maka semakin besar pula resiko efek samping obat,
interaksi obat-obat dan interaksi obat-penyakit.

D. Kontroversi Klinis
Kriteria Beers baru saja diperbaharui. Saat ini, tidak jelas cara apakah yang paling
benar untuk mengukur penulisan resep yang tidak sesuai. Tindakan global untuk
mendeteksi polifarmasi atau penggunaan obat yang tidak perlu, serta penggunaan
pengobatan penting yang kurang sangatlah diperlukan. Selain itu, diperlukan juga
penelitian tambahan mengenai interaksi antara penyakit dan obat, dan juga dampak
kesehatan lain.

E. Pemakaian Yang Tidak Mencukupi (Underuse)


Masalah yang penting dan semakin dikenal pada lansia adalah pemakaian obat yang
tidak mencukupi. Hal itu didefenisikan sebagai penghilangan dari sebuah terapi obat
yang diindikasikan untuk perawatan atau pencegahan suatu penyakit/kondisi. Satu
penelitian menemukan bahwa 50% dari 236 pasien ambulans memiliki satu atau lebih
pengobatan yang dihilangkan karena kurangnya penulisan resep dari dokter.Tinggal di
masyarakat mempelajari apakah gangguan yang tidak berhubungan lebih tidak
mungkin dirawat pada pasien dengan penyakit kronis. Mereka menemukan bahwa
pasien dengan diabetes mellitus lebih sulit menerima terapi penggantian estrogen,
pasien dengan emfisema pulmonari lebih sulit menerima pengobatan penurunan lipid,
dan bahwa pasien dengan sindrom psikotik lebih sulit menerima pengobatan untuk
artritis. Peneliti lain memfokuskan pada penghilangan perawatan terhadap kondisi
tertentu seperti asma, penyakit kardiovaskular, dislipidemia, osteoporosis, rasa sakit,
hipertensi, kemoterapi kanker, depresi, dan kekurangan penggunaan pengobatan
inhibitor ACE (Angiotensin Converting Enzyme) untuk pasien dengan gagal jantung
kongestif, antikoagulan pada pasien dengan fibrilasi atrial, dan terapi pencegahan
setelah infark miokardial. Pemakaian yang tidak mencukupi dapat mempunyai
hubungan yang penting dengan hasil negatif pada lansia, termasuk cacat fungsional,
kematian, dan penggunaan layanan kesehatan. Risiko dari penggunaan pengobatan
yang tidak mencukupi jika dilihat dari sisi dana bantuan medis yang terbatas adalah
meningkatkan lebih dari dua kali lipat kemungkinan untuk keharusan dirawat dipanti
jompo. Tamblin dan rekan mempelajari efek dari pengurangan 25% dana asuransi
untuk obat yang digunakan lansia di Kanada. Reformasi ini menghasilkan
pengurangan dari jumlah pengobatan esensial (contohnya furosemid, antikoagulan,
dan inhibitor ACE) yang digunakan oleh lansia, dan meningkatkan biaya karena
adanya efek samping dan perlunya perawtan UGD.

F. Ketidakpatuhan Penggunaan Obat


Ketidaktaatan penggunaan obat merupakan masalah umum pada lansia. Prevalensinya
berkisar Antara 40% hingga 80% pada pasien (ratarata sekitar 50%). Secara umum,
lansia taat terhadap sekitar 75% dari pengobatan mereka. Lansia memiliki ketaatan
yang sama dengan pasien yang lebih muda jika jumlah obat yang digunakan hampir
sama. Sebenarnya, ada beberapa bukti bahwa ketaatan mungkin lebih baik pada lansia
untuk kondisis tertentu. Sesuatu yang sepertinya berbeda adalah ketidaktaatan yang
disengaja lebih umum terjadi pada lansia. Hal ini dapat dikaitkan dengan kemunculan
dari efek samping dan dapat juga ketidaktaatan yang berkaitan dengan intelegensia.

3. KETENTUAN PADA PENILAIAN OBAT GERIATRI KOMPREHENSIF


Jika dianggap bahwa permasalahan terkait obat adalah umum, memakan biaya dan
penting secara klinis, bagaimana caranya agar dapat mencegahnya ?solusinya
mungkin terletak pada penilaian obat geriatri komprehensif. Istilah penilaian obat
geriatri komprehensif telah dipergunakan pada manajemen dan evaluasi geriatri
(GEM), dimana pada GEM ahli klinis menangani pasien dan untuk penilaian obat
geriatri konsultatif, saat tim multidisipliner geriatri memberikan rekomendasi kepada
ahli klinis yang lain untuk manajemen pasien. Penilaian obat geriatri komprehensif
telah menjadi salah satu landasan pada perawatan lansia; efektivitasnya baru-baru ini
dirangkum dalam analisis-meta dari 28 penelitian terkontrol dan sebuah penelitian
terandomisasi, multi-senter, dan terkontrol terhadap lansia veteran yang sudah cukup
renta.
cara farmasis pada praktek apapun dapat mengoptimalkan penggunaan pengobatan
lewat penggunaan penilaian obat geriatri komprehensif :

A. Pengambilan Riwayat Pengobatan


Beberapa kesulitan dapat muncul saat mengambil riwayat pengobatan dari lansia.
Masalah-masalah tersebut termasuk :
a. Masalah komunikasi (gangguan pendengaran dan penglihatan)
b. Kesalahan laporan ( kepercayaan terhadap kesehatan, gangguan
kognitif)
c. Gejala yang nonspesifik ( presentasi klinis yang berubah)
d. Penyakit lebih dari satu, atau pengobatan yang lebih dari Satu
e. Ketergantungan pada perawat untuk memberikan sejarah
f. Kekurangan dari data rekam medis untuk mengkonfirmasi penemuan
Menanyakan lansia dan perawat mereka tentang merode yang mereka gunakan untuk
mengingat penggunaan obat juga penting. Hal ini akan membantu mendesain solusi
untuk masalah yang dideteksi dan mencegah pamakaian kembali metode yang pernah
digunakan dan tidak efektif. Pasien dan perawat juga perlu ditanyakan mengenai
factor risiko untuk masalah penulisan resep (contoh jumlah dokter dan apoteker yang
dikunjungi banyak) dan juga masalah ketidaktaatan (cacat pendengaran, penglihatan,
kognitif, dan kemampuan membuka tutup pengaman, membayar obat, dan menelan
obat).

B. Menilai dan Memonitor Terapi Obat


Kesesuaian dari setiap pengobatan yang diresepkan sebaiknya dinilai menggunakan
berbagai metode. Satu pengukuran terstandarisasi yang telah terbukti dapat diandalkan
dan valid adalah Indeks Kesesuaian Pengobatan (Medication Appropriateness Index,
MAI).
Beberapa factor lain yang tidak termasuk dalam MAI perlu juga dinilai :
a. Pemilihan pengobatan yang kurang optimal (berdasarkan efektivitas,
keamanan, harga, dan efek terhadap kualitas hidup yang berkaitan
dengan kesehatan
b. Alergi (terutama untuk resep baru)
c. Perawatan yang kurang
d. Interasi obat dengan makanan atau tes laboratorium.
Beberapa factor tambahan untuk dipertimbangkan selama peninjauan regimen obat
termasuk ketaatan, masalah penyimpanan obat, monitoring laboratorium, titik akhir
terapeutik, dan efek samping obat

C. Kontroversi Klinis
Saat ini semakin banyak penelitian klinis yang mendaftarkan pasien lansia.
Contohnya, saat ini kita memiliki bukti untuk mendukung keuntungan penggunaan
pravastatin terhadap jantung pada lansia. Ahli klinis perlu mempertimbangkan risiko
dan keuntungan dari penambahan terapi obat kepada regimen obat pasien karena
jumlah obat yang bertambah dapat menurunkan ketaatan penggunaan obat dan
menyebabkan peningkatan risiko efek samping obat.

D. Permasalahn Dokumentasi Dan Memformulasikan Rencana Terapi


Ahli klinis perlu mendokumentasikan masalah yang telah dideteksi, mengembangkan
rencana terapeutik untuk mengatasinya, dan menetapkan titik akhir terapeutik yang
masuk akan jika belum ada yang ditetapkan sebelumnya. Poin penting yang perlu
diingat adalah titik akhir yang masuk akal untuk pasien berusia 40 tahun belum tentu
masuk akal untuk pasien berusia 80 tahun saat adanya penyakit lain, status fungsional,
dan harapan hidup perlu dipertimbangkan.

E. Berkonsultasi Dengan Dokter Mengenai Masalah Dan Hal Yang Diperhatikan


Pada beberapa kasus, farmasis atau pekerja kesehatan profesional lain harus
mengontak dokter pasien mengenai masalah dan perhatian yang telah dideteksi atau
didokumentasikan. Saat mendiskusikan pasien pada konteks ini, kepentingan dari
megoptimasi penulisan resep bagi lansia sebelum mengimplementasikan straregi
untuk meningkatkan ketaatan mereka bias perlu ditekankan. Jika hal tersebut tidak
dilakukan maka akan membahayakan pasien.

F. Konseling Dan Bantuan Kepatuhan


Beberapa faktor umum untuk dipertimbangkan, sebelum obat diramu, hal yang
dilakukan untuk meningkatkan ketaatan pada lansia termasuk memodifikasi jadwal
pengobatan untuk cocok dengan gaya hidup pasien, mempertimbangkan obat generik
untuk mengurangi biaya, menggunakan botol yang mudah dibuka dan bentuk sediaan
yang mudah ditelan, serta menggunakan label petunjuk dengan ukuruan tulisan yang
lebih besar. Saat menyerahkan obat (terutama obat baru, atau obat lama yang
mengalami perubahan penampilan atau petunjuk pemakaian), informasi lisan dan
tertulis harus diberikan kepada pasien dan perawat. Untuk meningkatkan potensi
ketaatan, pekerja kesehatan profesional juga perlu merekrut keterlibatan pasien aktif
dan perawat, menekankan kepentingan ketaatan, dan mempertimbangkan penggunaan
alat eningkat ketaatan (contohnya kemasan spesial, rekaman pengobatan, kalender
obat, kotak obat, kaca pembesar untuk siring insulin, alat pengukur dosis, dan spacers
untuk inhaler dengan dosis terukur).
Pada kondisi institusional, diskusi dari pertimbangan special (contohnya pengobatan
yang dapat dihancurkan, dan diberikan melalui selang makanan) dengan pekerja
kesehatan professional yang bertanggung jawab untuk memberikan obat juga perlu
dilakukan.

G. Mendokumentasikan Intervensi Dan Memonitor Progres Pasien


Semua intervensi perlu didokumentasikan, dan langkah-langkah yang baru dipaparkan
kepada lansia perlu diulangi dari waktu ke waktu kepada pasien lansia. Selama kontak
lanjutan, harus ditanyakan apakah pasien memiliki pertanyaan atau sesuatu yang
dikhawatirkan mengenai obat dan menentukan apakah titik akhir yang telah
ditetapkan sebelumnya telah tercapai. Lebih jauh lagi, tanyakan pasien apakah mereka
sedang, atau pernah mengalami efek sampin apapun, reaksi yang tidak diinginkan,
atau masalah lain dengan pengobatan mereka agar dapat menilai efek samping obat.

H. Mentargetkan Lansia Berisiko Tinggi


Pada praktek yang padat, pendekatan yang dipaparkan disini mungkin tidak dapat
dilakukan kepada semua pasien. Oleh karena itu praktisi perlu mempertimbangkan
menargetkan aktivitas ini kepada pasien yang berisiko tinggi mengalami masalah
terkait obat. Ahli geriatri telah mengidentifikasi 18 faktor risiko untuk masalah terkait
obat pada pasien rumah jompo.
Factor risiko ini termasuk :
a. Polifarmasi (contohnya 9 atau lebih pengobatan atau lebih dari 12
dosis per hari)
b. Menggunakan obat berisiko tinggi tertentu (contohnya benzodiazepine
dengan waktu paruh menengah atau tinggi, obat sedatif-hipnotik, obat
antipsikotik, pengobatan antikolinergik, analgesic opioid, dan
klorpropamid)
c. Karakteristik pasien tertentu (bobot badan rendah, usia 85 tahun keatas,
penurunan fungsi renal)
d. Penggunaan dari obat dengan indeks terapi yang sempit (contohnya
lithium, digoksin, warfarin, dan antikonvulsan)
e. Memiliki sejarah efek samping sebelumnya
f. Adanya 6 atau lebih penyakit sekaligus Keterpakaian dari kriteria di
atas bagi pansien lansia pada kondisi perawatan lain hubungan antara
identifikasi pasien lansia dengan faktor risiko ini dan hasil kesehatan
yang nyata masih harus ditentukan.

4. TUJUAN TERAPI OBAT


Bahwa pengetahuan yang menyeluruh tentang perubahanperubahan farmakokinetik
dan farmakodinamik pada lanjut usia sangat penting dalam upaya memberikan
pelayanan kefarmasian yang terbaik. Disamping itu, ada beberapa hal lain yang perlu
dibahas dalam rangka optimalisasi terapi obat pada pasien lanjut usia.
a. Hindari terapi obat yang tidak diperlukan
Apakah penambahan obat lain benar-benar diperlukan? Pertnyaan ini harus
ditanyakan setiap kali ada obat baru yang hendak diberikan pada psien usia
lanjut. Perlu dicermati danya kemungkinan alternatif terapi pada penggunaan
obat. Sebagai contoh, pada hipertensi ringan mungkin dapat diberi diberikan
petunjuk tentang pola hidup sehat terlebih dahulu, misalnya berhenti merokok.
Petunjuk diet juga dapat menjadi alternatif. Hal ini terutama berguna bagi
pasien dengan hiperlipidemia yang ringan.
b. Kualitas hidup
Sangatlah muda untuk melihat tujuan pemberian obat pada psien lanjut usia,
yaitu untuk memperpanjang masa harapan hidup. Walaupun demikian,
tanggung jawab untuk memperbaiki kualitas hidup pasien tetap ada. Sebagai
contohnya seseorang wanita, lanjut usia dengan osteoporosis dipinggulnya,
akan lebih baik diatasi dengan operasi pinggul daripada terapi jangka panjang
dengan obat AINS dan resiko efek sampingnya.
c. Mengobati penyebab bukan sekedar gejala
Ketika seorang pasien lajut usia menunjukkan suatu gejala, sangatlah penting
mencari penyebabnya. Meruapakan tindakan yang tidak tepat jika hanya
mengobati gejalanya yang malah mungkin menutupi masalah sebenarnya yang
lebih serius. Seorang pasien dapat menunjukkan gejala gangguan pencernaan
tetapi ternyata menderita tukak lambung. Mengobati pasien ini dengan antasid
jelas tidak tepat dan potensial menimbulkan bahaya karena penyakit yang
lebih serius tidak diobati.
d. Riwayat pengobatan
Mengetahui riwayat pengobatan pasien akan sangat membantu dalam seleksi
obat. Dari sini dapat diketahui jika pasien mengalami alergi atau toleransi
terhadap obat tertentu pada masa lalu. Diamping itu, efek samping obat dan
interaksi obat yang potensial terjadi juga lebih mudah untuk dihindari.
e. Titrasi dosis
Perubahan-perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada lanjut usia
biasanya menjadi sebab mengapa dosis yang lebih rendah diperlukan untuk
memperoleh efek terapeutik yang ikehendaki. Pada sebagian besar kasus
merupakan hal yang rasional untuk memulai terapi dengan dosis serendah
mungkin, kemudian jika diperlukan dapat ditingkatkan secara bertahap dosis
atau frekuensi pemberiannya.
f. Penyakit medis yang bersamaan
Pasien lanjut usia seringkali menderita lebih dari satu kondisi medis. Hal ini
dapat mengakibatkan kontra-indikasi atau perlunya perhatian khusus terhadap
obat-obat tertentu. Gangguan fungsi ginjal dan disfungsi hati merupakan
kondisi-kondisi yang sering muncul pada psien lanjut usia sehingga diperlukan
perhatian khusus dalam pemilihan terapi obat.
g. Pemilihan obat dan bentuk sediaan yang tepat
Jika telah diputuskan untuk melakukan terapi obat, selanjutnya sangatlah
penting untuk memastikan bahwa obat yang terpilih adalah obat yang paling
tepat. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah efek samping yang
kemungkinan terjadi dan kondisi medis pasien pada saat itu. Juga termasuk
pertimbangan bentuk sediaan yang akan digunakan. Pasien lanjut usia
seringkali lebih tepat umtuk endapat sirup, suspensi, atau tablet terlarut. Untuk
menelan tablet atau kapsul yang besar seringkali menimbulkna kesulitan atau
kecemasan tersendiri yang nantinya dapat mengurangi tingkat kepatuhan

5. EFEK SAMPING OBAT


Telah terbukti dengan jelas bahwa efek samping obat muncul dengan frekuensi yang
lebih tinggi pada populasi lanjut usia. Sejumlah penelitian yang mempelajari
kecenderungan ini, pada akhirnya membuat beberapa kesimpulan yang menarik :
a. Pasien lanjut usia tiga kali lebih besar kemungkinannya untuk masuk
ke rumah sakit karena efek samping obat. Laporan tentang efek
samping obat yang serius pada pasien lanjut usia ditemukan dua kali
lebih sering daripada mereka yang masih di bawah usia 40 tahun.
b. Efek samping obat juga telah terbukti sebagai alasan bermakna untuk
masuk rumah sakit, dan menjadi satu-satunya alasan bagi 2,8 % pasien
lanjut usia untuk masuk rumah sakit. Efek samping obat juga menjadi
faktor pada 7,7 % berikutnya untuk masuk rumah sakit.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan pasien lanjut usiacenderung mengalami efek
samping obat. Polifarmasi, penggunaan bermacam-macam terapi obat, sering terjadi
pada pasiea lanjut usia dan memberikan pengaruh yang besar pada insiden efek
samping obat. Bagaimanapun juga ada faktor-faktor lain yang turut terlibat,misalnya
keadaan patologi yang bermacam-macam, penatalaksanaan obat yang berubah dan
presepan yang tidak tepat. Perubahan dalam penatalaksanaan obat dan mekanisme
homeostatik akan meningkatkan sensitivitas pasien lanjut usia terhadap efek terapi
obat yang mereka peroleh. Oleh karena itu, pada pasien lanjut usia proporsi efek
samping yang tergantung dosis sangat tinggi.

6. KEPATUHAN PASIEN
Meskipun telah dibuat rencana pelayanan kefarmasian terbaik dan peresepan paling
tepat, tetapi jika pasien tidak patuh terhadap pengobatannya maka hasil terapi yang
optimal tidak akan tercapai. Penelitian menunjukkan, apabila tidak ada penurunan
kemampuan maka tingkat kepatuhan pasien lanjut usia akan sama halnya dengan
pasien dewasa muda. Tetapi kenyataanya, penurunan itu terjadi pada kebanyakan
pasien lanjut usia.
Sebagian basar pasien lanjut usia mengalami penurunan kemampuan kognitif dan
kemungkinan untuk mendapat bermacam-macam pengobatan dengan aturan dosis
yang rumit. Hal ini dapat mengakibatkan persoalan kepatuhan yang rendah sehingga
menjadi kemungkinan penyebab kegagalan pengobatan dan memperpanjang waktu
pengobatan. Pada penyakit-penyakit yang menetap, seperti epilepsi atau hipertensi
yang parah, diperlukan tingkat kepatuhan sampai dengan 90 % atau lebih untuk
mendapatkan hasil pengobatan yang memuaskan.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab ketidakpatuhan pasien lanjut usia dapat
disimpulkan sebagai berikut:
 Tidak memahami tujuan pengobatan
 Hanya memperoleh sedikit atau tidak memperoleh mafaat dari terapi
pengobatan sebelumnya
 Kemungkinan efek samping tidak dijelaskan dan sangat mengganggu bagi
pasien
 Aturan dosis yang rumit
 Ketika melakukan pengobatan sendiri, tidak memahami instruksi dosis. Hal ini
dapat disebabkan kesulitan dalam membaca, bahasa, atau mendengar.
Ketidakmampuan dalam membuka kemasan juga menjadi masalah bagi pasien
yank mengalami penurunan ketangkasan, misalnya: penderita artritis.
Faktor ketidakpatuhan tidak hanya mempengaruhi hasil pengobatan pada pasien,
tetapi juga mempengaruhi secara finansial. Laporan yang berasal dari Amerika Serikat
menyimpulkan bahwa lebih dari 11% alasan masuk rumah sakit terkait langsung
dengan ketidakpatuhan. Hal ini melibatkan 2 juta alasan masuk rumah sakit yang
bernilai lebih dari $ 7 miliar.
7. DAFTAR PEMERIKSAAN DALAM PERESEPAN
Bab ini menitik beratkan pada sejumlah persoalan yang perlu diperhatikan dalam
pemantauan peresepan untuk pasien lanjut usia. Suatu pendekatan yang menyeluruh
terhadap prose pemantaun peresepan pada kelempok pasien ini hanya dapat
meningkatkan layanan kefarmasian mereka. Di bawah ini adalah contoh yang dapat
digunakan dalam praktek:
- Pastikan bahwa peresepan sudah tepat
- Hindarkan polifarmasi
- Pertimbangkan penangan obat yang berubah
- Pemeriksaan kepatuhan
- Pencatatan dan pelaporan efek samping obat Sarana bantu kepatuhan
( ‘compliance aids’ ) Catatan harian peresepan ( ‘prescription diaries’ ) Sistem
dosis yang terpantau ( ‘monitored dosage system’ ) Peralatan audio, alarm
Penandaan warna pada wadah Konseling oleh farmasis Mengubah rute
pemberian obat Evaluasi aturan dosis Alat bantu mekanik, contohnya:
haleraid, autodrop
- Evaluasi peresepan secara teratur
- Apakah tujuan terapi obat sedang dicapai?

8. PEDOMAN PENGGUNAAN OBAT UNTUK LANJUT USIA


1. Pastikan bahwa pengobatan dengan obat diperlukan. Banyak masalah
kesehatan lanjut usia dapat dikelola tanpa penggunaan obat.
2. Jika mungkin, hindari penggunaan banyak obat pada satu waktu. Disarankan,
menggunakan obat tidak lebih dari tiga obat secara bersamaan.
3. Jadwal dosis sedapat mungkin tidak rumit. Apabila mungkin, dosis tunggal
sehari dari tiap obat lebih dikehendaki.
4. Untuk menetapkan toleransi individu, pengobatan dengan kebanyakan obat
biasanya dimulai dengan penggunaan dosis yang lebih kecil dari dosis baku.
Dosis pemeliharaan seringkali lebih kecil untuk orang dengan umur di atas 60
tahun daripada orang yang lebih muda.
5. Hindari tablet dan kapsul besar, jika bentuk sediaan lain tersedia. Sediaan cair
lebih mudah bagi lanjut usia atau orang yang sulit menelan.
6. Minta apoteker mengemas obat dalam wadah yang mudah dibuka. Hindari
tutup “tahan anak”.
7. Semua wadah obat diberi etiket dengan nama obat dan petunjuk penggunaan
dalam huruf besar, dan mudah dibaca.
8. Jangan mengambil obat dalam gelap. Kenali tiap dosis obat secara berhati-hati
dalam cahaya yang memadai, pastikan bahwa saudara mengambil obat yang
dimaksudkan.
9. Hindari mengambil obat keliru atau dosis ekstra, jangan simpan obat di atas
meja sisi tempat tidur. Obat-obat untuk penggunaan darurat, seperti
nitrogliserin adalah suatu perkecualian. Disarankan hanya satu obat demikian
di atas meja sisi tempat tidur, untuk digunakan selama malam hari.
10. Penggunaan obat oleh orang lanjut usia memerlukan pengawasan. Amati efek
obat secara terus-menerus untuk memastikan penggunaan yang aman dan
efektif.
BAB IV
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai