Disusun Oleh :
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas rahmat- Nya
lah kami dapat menyelesaikan Tugas Makalah Mata Kuliah Farmakoterapi ini. Makalahini
berjudul “TERAPI OBAT PADA PASIEN KHUSUS ANAK DAN LANSIA” disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, karena itu kami memohon maaf dan mengharapkan
saran dan kritik untuk menyempurnakan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pediatric
Pediatric berasal dari bahasa yunani yaknik peades (anak) dan iztric (pengobatan).
Penggunaan obat pada anak merupakan suatu yang bersifat khusus karena berkaitan langsung
dengan laju perkembangan organ, sistem dalam tubuh juga masih belum sempurna seperti
enzim yang bertugas dalam metabolisme serta proses eskresi obat. The Pediatric Association
membagi waktu perkembangan biologis masa anak-anak untuk menentukan dosis obat
sebagai berikut :
Beberapa pertimbangan yang perlu diambil sehubungan dengan pemakaian obat pada anak
adalah :
Farmakokinetik merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh
yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME). Pengaruh pemberian obat
dengankeadaan farmakokinetik pada pediatri sulit diprediksi terutama untuk neonatus dan
bayi lahir prematur. Pediatri mengalami perubahan keadaan farmakokinetik hingga mencapai
keadaan normal orang dewasa.
1. Absorpsi Obat
Secara umum, kecepatan absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik tergantung pada
cara pemberian dan sifat fisikokimiawi obat, seperti misalnya berat molekul, dan sifat
lipofilik obat. Sifat fisikokimiawi obat terutama menentukan kecepatan dan luasnya
transfer molekul obat melalui membran. Hal ini berlaku pada semua golongan usia.
Dua faktor yang mempengaruhi absorpsi obat dari saluran pencernaan adalah difussi
pasif yang dipengaruhi pH dan waktu pengosongan lambung. Pada bayi normal
rentang pH lambung dari 6 sampai 8 saat kelahiran tatapi turun 1-3 selama 24 jam.
Pada neonatus sekresi asam lambung relatif rendah, tetapi apakah ini mempengaruhi
absorpsi dan kemanfaatan terapi oral, belum banyak diselidiki. Umumnya basorpsi
oral pada bayi dan anak tidak jauh berbeda dengan dewasa. Hal-hal berikut perlu
dipertimbangankan sehubungan dengan absorpsi obat pada anak :
a. Beberapa saat setelah lahir akan terjadi perubahan-perubahan biokimiawi dan
fisiologis pada traktus gastrointestinal pada 24 jam pertama kelahiran, terjadi
peningkatan keasaman lambung secara menyolok. Oleh sebab itu, obat-obat
yang terutama dirusak oleh asam lambung (pH rendah) sejauh mungkin
dihindari
b. Pengosongan lambung pada hari I dan II kehidupan relatigf lambat (6-8 jam).
Waktu pengosongan dan pH lambung akan mencapai tahap normal pada usia
sekitar tiga tahun. Waktu pengosongan lambung pada bayi baru lahiryaitu 6-8
jam sedangankan dewasa 3-4 jam. Pada tahap ini obat yang absorpsi utamanya
di lambung akan diabsorpsi secara lengkap dan sempurna
c. Absorpsi obat setelah pemberian secara injeksi IM tergnatung pada kecepatan
aliran darah ke otot. Keadaan fisiologis yang bisa menurunkan aliran darah
antara lain syok kardiovaskuler, vasokonstriksi oleh karena pemberian obat
simpatomimetik, dan kegagalan jantung. Absorpsi obat yang diberikan
perkutan meningkat pada neonatus, bayi dan anak, terutama jika terdapat
ekskoriasi kulit atau luka bakar. Dengan meningkatnya absorpsi inikadar obat
dalam darah akan meningkat pula secara menyolok, yang kadang mencapai
dosis toksik obat.
d. Pada keadaan tertentu dimana injeksi diperlukan, sementara oleh karena
malnutri anak menjadi sangat kurus dan volume otot menjadi kecil, pemberian
injeksi harus sangat hati-hati. Pada keadaan ini absorpsi obat menjadi sangat
tidak teratur dan sulit diduga oleh karena oabat mungkin masih tetap berada di
otot dan absorpsi secara lambat.
e. Gerkan peristaltik usus bayi baru lahir relatif belum teratur, tetapi umumnya
lambat. Sehingga jumlah obat-obat yang diabsorpsi di intestinum tenue sulit
diperkirakan. Jika peristaltik lemah maka jumlah obat yang doabsorpsi
menjadi lebih besar, yang ini memberi konsekuensi berupa efek toksik obat.
Sebaliknya jika terjadi peningkatan peistaltik seperti diare, absorpsi obat
cenderung menurun oleh karena lama kontak obat pada tempat-tempat yang
mempunyai permukaan absorpsi luas menjadi sangat singkat.
f. Absorpsi perkutan meningkat pada bayi dan anak, terutama pada bayi
prematur kerena kulitnya lebih tipis, lebih lembab dan lebih besar dalam rasio
luas permukaan tubuh perkilogram berat badan.
g. Pemberian obat secara rektal umumnya berguna pada bayi dan anak yang
tidak mungkin menggunakan sediaan oral seperti pada kondisi muntah,
kejang. Namun demikian, sepertihalnya pada pasien dewasa, ada
kemungkinan terjadinya variasi individu pada suplai darah ke rektum yang
menyebabkan variasi dalam kecepatan dan derajat absorpsi pada pemberian
secara rektal
2. Distribusi Obat
Prosis ini dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh massa jaringan, kandungan lemak,
aliran darah, permobilitas memberan dan ikatan protein. Obat didistribusikan secara
berbeda berdasarkan sifat-sifat fisiokimiawinya. Perbedaan ini dapat ditunjukkan oleh
obat-obat yang mempunyai sifat lipofilik kecil,misalnya sulfonamida, dimana volume
distribusinya meningkat sampai 2 kali pada neonatus.
Barier darah otak pada bayi baru lahir relatif lebih permeabel.hal ini memungkinkan
beberapaobat melintasi aliran darah otak secara mudah.ikatan protein plasma obat
sangat kecil pada bayi dan baru mencapai nilai nr=ormal pada umur 1 tahun. Hal ini
disebabkan karena rendahnya konsentrasi albumin dalam plasma dan rendahnya
kapasitas albumin untuk mengikat molekul obat. Keadaan ini menjadi penting pada
bayi malnutrisi dan hioalbuminemia.
3. Metabolisme Obat
Hepar merupakan organ terpenting untuk metabolisme obat. Rendahnya metaolisme
obat di hati pada neonatus disebabkan oleh rendahnya aliran darah ke hati, asupan
obat oleh sel hati, kapasitas enzim hati dan ekskresi empedu. Sistem ensim di hati
pada neonatus dan bayi belum sempurna, teurtama pada proses oksidasi dan
glukoronidase, sebaliknya pada jalur konjugasi dengan asam sulfat berlangsung
sempurna.
Meskipun metabolisme asetaminofen melalui jalur glukoronidase pada anak masih
belum sempurna dibandingkan pada orang dewasa, sebagian kecil ddari bagian ini
dikompensasi melalui jalur konjugasi dengan asam sulfat. Jalur metabolisme ini
mungkin berhubungan langsung dengan usia daan mungkin memerlukan waktu
selamabeberapa bulan sampai 1 taun agar berkembang sempurna. Hal ini terlihat dari
peningkatan klirens pada usia setelah 1 tahun.
4. Ekskresi Obat
Pada neonatus, kecepatan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus masih imatur.
Diperlukan waktu sekitar 6 bulan untuk mencapai nilai normal. Umumnya GFR pada
anak adalah sekitar 30-40% dewasa. Oleh karena itu, pada anak obat dan metabolit
aktif yang dieskresi dengan filtrasi glomerulus, seperti digoksin dan gentamisin paling
lambat dieksresi pada bayi baru lahir.
Sekali lagi perlu ditekankan disini bahwa penentuan dosis obat pada anak hendaknya
dilakukan secara induvidual, meskipun beberapa formulasi dapat juga digunakan.
Perhitungan dosis dapat dilakukan berdasarkan umur, berat badan atau luas permukaan tubuh.
Berikut ini beberapa cara perhitugan dosis anak yang lazim dipakai :
2.4 Segi Praktis Pemakaian Obat Pada Anak
1. Periode awal kelahiran
Pada periode ini, pemberian obat peroral dapat mengakibatkan aspirasi, lagi pula
beberapa obat tidak diabsorpsi secara baik. Jika diberikan secara intramuskular,
sebaiknya dilakukan di tungkai atas, sebelah anterior atau lateral. Penyuntikan pada
pantat tidak dianjurkan mengingat masa otor yang masih relatif kecil dan
kemungkinanrusaknya saraf skiatik. Obat-obat yang dapat menggeser bilirubin dari
ikatannya pada albumin hendaknya dihindari untuk mencegah terjadinya kern ikterus.
Pemakaian kloramfenikol pada bulan pertama kelahiran sangat tidak dianjurkan
karena dapat menyebabkan grey baby syndrome akibatnya tertimbunnya
kloramfenikol tak terkonjugasi di dalam darah.
2. Periode kanak-kanak dan prasekolah (1-10 tahun)
Pada kelompok umur ini, yang perlu diperhatikan adalah pemberian obat yang
metabolismenya dengan cara oksidasi dan hidroksilasi, seperti fenitoin, fenobarbital
dan teofilin. Banyak bukti klinik menunjukkan bahwa penggunaan obat-obat tersebut
pada kelompok umur 1-10 tahun memerlukan dosis terapeutik yang relatif lebih besar
dari dosis dewasa. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pada periode ini darah
dibersihkan dari obat lebih cepat dan metabolisme obatpun berlangsug cepat. Oleh
sebab itu waktu paruh obat juga lebih pendek.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian obat pada kelompok umur ini adalah :
Konsep dasar pemberian obat adalah untuk menghilangkan gejala, menyembuhkan penyakit,
atau mencegah terjadinya penyakit. Keputusan untuk memberi obat pada seorang anak harus
diambil secara seksama dengan mempertimbangkan rasio manfaat dan resikonya, serta
dampak lain yang mungkin terjadi akibat pengobatan. Sebelum mengambil keputusan untuk
melakukan pengobatan pada anak ada baiknya direnungkan dahula pertanyaan-pertanyaan
berikut.
5. Lama pemberian
Untuk memutuskan berapa lama obat sebaiknya diberikan pada anak, sebetulnya tidak
ada standar yang pasti. Namun perlu digarisbawahi, riwayat perjalanan penyakit akan
menentukan berapalama obat harus diminum. Untuk penyakit-penyakit yang
berlangsung kronis seperti TB dapat sampai 6,9,12 bulan. Sementara untuk penyakit
yang sifatnya akut dan dapat sembuh sendiri dapat diberikn obat simtomatis sampai
gejala kliniknya menghilang. Hal-hal berikut perlu diperhatikan
a) Pemberian antibiotik selama 3 hari sama sekali tidak beralasan, lebih-lebih
jika penyebabnya virus
b) Obat-obat simptomatik hany bersifat menghilangkan gejala. Jika sudah tidak
ada gejala obat ini harus dihentikan
BAB III
PENATALAKSANAAN OBAT LANSIA
3.1 Epidemiologi Penuaan
Status kesehatan dari populasi lansia Amerika sangat bervariasidan heterogen. Demografis
dan karakteristik kesehatan orang berusia 65 tahun dan 74 tahun berbeda dari yang berusia 85
tahun keatas, begitu Juga antara orang yang pernah dirawat disuatu lembaga dan yang
tinggal dalam masyarakat biasa. Dengan memisahkan kondisi antara sehat dan sakit,
ketergantungan dan ketidaktergantungan, fungsi dan disfungsi, maka data demografis dan
status kesehatan yang ada saat ini relevan untuk praktek klinis.
Pada tahun 2000, orang berusia 65 tahun atau lebih mencakup 12,4% (35 juta) dari populasi
total AS. Peningkatan jumlah orang tua bukan hanya disebabkan oleh tingginya tingkat
kelahiran setelah PD2,namun juga karena penurunan tingkat kematian, dan secara
umumkarena kesehatan lansia yang lebih baik. Penurunan dari kematian dinidan kesehatan
lansia yang lebih baik terjadi karena beberapa alasan :
a. Tindakan kesehatan masyarakat terhadap semua kelompok umur(contohnya
imunisasi, perawatan sebelum melahirkan)
b. Perkembangan pada obat dan prosedur medis
c. Peningkatan gaya hidup sehat
d. Perbaikan pada lingkungan hidup masyarakat
Tujuan penting dari perawatan terhadap lansia adalah untuk menjagakemandirian dan
mencegah perlunya perawatan di rumah sakit selamamungkin. Hilangnya fungsi atau
ketidakmampuan merupakan jalur umum darikebanyakan masalah klinis pada lansia,
terutama usia lebih dari 75 tahun.Pada tahun 2000, 28,6% dari lansia dilaporkan mengalami
ketidakmampuansecara fisik (contoh berjalan, menaiki tangga, menjangkau, mengangkat
danmembawa sesuatu), dan 9,5% dilaporkan tidak mampu melakukanperawatan diri dan
aktivitas dasar kehidupan sehari-hari (contoh: memakaibaju, mandi, bergerak dalam rumah,
makan, pergi ke toilet dan merawat diri).
Populasi lansia jika dibandingkan dengan yang lebih muda lebih mudah terpengaruh kondisi
kronis karena beberapa factor seperti :
a. Tipe kondisi kronik yang terdapat pada lansia lebih dapat menyebabkan
ketidakmampuan (contoh: artritis, penyakit jantung).
b. Kondisi menjadi lebih parah seiring bertambahnya usia.
c. Beberapa kondisi lebih mungkin terjadi.
A. Faktor resiko
Beberapa faktor dipercaya meningkatkan resiko masalah terkait obat pada lansia,
termasuk pemberian resep yang kurang optimal (pemakaian berlebih pada obat atau
polifarmasi, pemakaian tidak sesuai, dan pemakaian yang kurang), kesalahan
pengobatan (baik masalah pemberian resep dan administrasi), dan ketidakpatuhan
pasien dalam menggunakan obat (baik disengaja maupun tidak disengaja).
B. Penggunaan Berlebih
Polifarmasi dapat didefenisikan sebagai penggunaan bersamaan dari banyak obat atau
pemakaian lebih banyak obat dari yag diindikasikan secara klinis. Polifarmasi umum
dan semakin meningkat kejadiannya pada lansia. Survey berbasis masyarakat
mengungkapkan bahwa lansia menggunakan rata-rata 2,7 hingga 4,2 resep dan non-
resep setiap harinya. Polifarmasi juga merupakan masalah untuk pasien lansia karena
hal tersebut dapat meningkatkan sindrom geriatric (contohnya jatuh, gangguan
kognitif), hilangnya status fungsional dan peningkatan biaya kesehatan.
Beberapa masalah yang sering kali dijumpai pada evaluasi pengobatan pasien usia
lanjut dapat dilihat pada berikut :
● Ketidaksesuaian dalam jumlah yang diresepkan
● Item yang sebenarnya sudah tidak diperlukan
● Petunjuk yang tidak memuaskan
● Frekuensi, interval, atau kekuatan dosis yang tidak tepat
● Duplikasi dalam terapi
● Interaksi obat-obat
Polifarmasi merupakan masalah utama dalam kelompok pasien ini. Semakin banyak
jumlah obat yang diterima pasien maka semakin besar pula resiko efek samping obat,
interaksi obat-obat dan interaksi obat-penyakit.
D. Kontroversi Klinis
Kriteria Beers baru saja diperbaharui. Saat ini, tidak jelas cara apakah yang paling
benar untuk mengukur penulisan resep yang tidak sesuai. Tindakan global untuk
mendeteksi polifarmasi atau penggunaan obat yang tidak perlu, serta penggunaan
pengobatan penting yang kurang sangatlah diperlukan. Selain itu, diperlukan juga
penelitian tambahan mengenai interaksi antara penyakit dan obat, dan juga dampak
kesehatan lain.
C. Kontroversi Klinis
Saat ini semakin banyak penelitian klinis yang mendaftarkan pasien lansia.
Contohnya, saat ini kita memiliki bukti untuk mendukung keuntungan penggunaan
pravastatin terhadap jantung pada lansia. Ahli klinis perlu mempertimbangkan risiko
dan keuntungan dari penambahan terapi obat kepada regimen obat pasien karena
jumlah obat yang bertambah dapat menurunkan ketaatan penggunaan obat dan
menyebabkan peningkatan risiko efek samping obat.
6. KEPATUHAN PASIEN
Meskipun telah dibuat rencana pelayanan kefarmasian terbaik dan peresepan paling
tepat, tetapi jika pasien tidak patuh terhadap pengobatannya maka hasil terapi yang
optimal tidak akan tercapai. Penelitian menunjukkan, apabila tidak ada penurunan
kemampuan maka tingkat kepatuhan pasien lanjut usia akan sama halnya dengan
pasien dewasa muda. Tetapi kenyataanya, penurunan itu terjadi pada kebanyakan
pasien lanjut usia.
Sebagian basar pasien lanjut usia mengalami penurunan kemampuan kognitif dan
kemungkinan untuk mendapat bermacam-macam pengobatan dengan aturan dosis
yang rumit. Hal ini dapat mengakibatkan persoalan kepatuhan yang rendah sehingga
menjadi kemungkinan penyebab kegagalan pengobatan dan memperpanjang waktu
pengobatan. Pada penyakit-penyakit yang menetap, seperti epilepsi atau hipertensi
yang parah, diperlukan tingkat kepatuhan sampai dengan 90 % atau lebih untuk
mendapatkan hasil pengobatan yang memuaskan.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab ketidakpatuhan pasien lanjut usia dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Tidak memahami tujuan pengobatan
Hanya memperoleh sedikit atau tidak memperoleh mafaat dari terapi
pengobatan sebelumnya
Kemungkinan efek samping tidak dijelaskan dan sangat mengganggu bagi
pasien
Aturan dosis yang rumit
Ketika melakukan pengobatan sendiri, tidak memahami instruksi dosis. Hal ini
dapat disebabkan kesulitan dalam membaca, bahasa, atau mendengar.
Ketidakmampuan dalam membuka kemasan juga menjadi masalah bagi pasien
yank mengalami penurunan ketangkasan, misalnya: penderita artritis.
Faktor ketidakpatuhan tidak hanya mempengaruhi hasil pengobatan pada pasien,
tetapi juga mempengaruhi secara finansial. Laporan yang berasal dari Amerika Serikat
menyimpulkan bahwa lebih dari 11% alasan masuk rumah sakit terkait langsung
dengan ketidakpatuhan. Hal ini melibatkan 2 juta alasan masuk rumah sakit yang
bernilai lebih dari $ 7 miliar.
7. DAFTAR PEMERIKSAAN DALAM PERESEPAN
Bab ini menitik beratkan pada sejumlah persoalan yang perlu diperhatikan dalam
pemantauan peresepan untuk pasien lanjut usia. Suatu pendekatan yang menyeluruh
terhadap prose pemantaun peresepan pada kelempok pasien ini hanya dapat
meningkatkan layanan kefarmasian mereka. Di bawah ini adalah contoh yang dapat
digunakan dalam praktek:
- Pastikan bahwa peresepan sudah tepat
- Hindarkan polifarmasi
- Pertimbangkan penangan obat yang berubah
- Pemeriksaan kepatuhan
- Pencatatan dan pelaporan efek samping obat Sarana bantu kepatuhan
( ‘compliance aids’ ) Catatan harian peresepan ( ‘prescription diaries’ ) Sistem
dosis yang terpantau ( ‘monitored dosage system’ ) Peralatan audio, alarm
Penandaan warna pada wadah Konseling oleh farmasis Mengubah rute
pemberian obat Evaluasi aturan dosis Alat bantu mekanik, contohnya:
haleraid, autodrop
- Evaluasi peresepan secara teratur
- Apakah tujuan terapi obat sedang dicapai?