63
64
A. Pendahuluan
Hermeneutika sebagai sebuah metodologi untuk memahami suatu teks,
diprakarsai oleh Schleiermacher 1768-1834. Walaupun hermeneutika sebagai sebuah
praktek telah dimulai sejak Abad Pertengahan dalam tradisi gereja, dimana ketika
para Paus mulai mengalami ketersandungan oleh bagian-bagian teks, maka
hermeneutika sebagai sebuah metode memahami suatu teks dibutuhkan.
Hermeneutika saat itu dipahami sebagai kebutuhan sekunder untuk memahami teks,
sehingga hermeneutika diidentikan dengan persoalan eksegesis, yakni persoalan-
persoalan teks-teks suci, seperti Injil, Taurat, dan al-Qur’an. Hermeneutika belum
menjadi semacam prosedural dalam memahami suatu teks yang dianggap maknanya
masih remang-remang, sehingga dibutuhkan suatu metode untuk mengurai
kekusutan-kekusutan makna yang terjalin dalam teks tertentu.
Berkat jasa Schleiermacher dan para hermeneutikawan lainnya, hermeneutika
menjadi sebuah diskursus yang marak dibicarakan dikalangan pemikir dewasa ini.
Hanya saja perlu diingat bahwa peletak dasar dari prinsip memahami adalah
Schleiermacher dengan mendasarkan dua pendekatan untuk memahami suatu teks,
yaitu gramatikal dan psikologis. Dengan pendekatan gramatikal, pembaca diajak
untuk memahami struktur-struktur kalimat dan dengan pendekatan psikologis
pembaca diajak untuk membayangkan dirinya seperti pengarang. Antara pengarang
dan pembaca bergertak dengan arah yang berbeda, dimana pengarang bergerak dari
sisi internal (pikirannya) ke sisi eksternal (kalimat-kalimat yang ditulisnya) bahasa
menjadi saranya penyampaiannya, sedangkan pembaca bergerak sebaliknya, yakni
dari sisi eksternal (kalimat-kalimat) ke sisi internal (pikiran). Dari sini
Schleiermacher kemudian mengandaikan sebuah istilah “lingkarang hermeneutika”,
antara bagian-bagian dan keseluruhan teks merupakan suatu totalitas yang saling
berkorespondesi satu dengan yang lainnya.
Schleiermacher mengandaikan bahwa ada kesenjangan ketika seseorang
berupaya memahami suatu teks, katakanlah buku yang di tulis oleh Ali Syariati
Tugas Cendekiawan Muslim. Kesenjangan itu berupa waktu, bahasa yang digunakan
penulisnya, kebudayaan penulisnya, dan pengalaman-pengalaman subjektif
penulisnya yang turut membentuk cara berpikir penulisnya.1 Kesenjangan itu dapat
diatasi oleh kedua pendekan yang digagas oleh Schliermacher yaitu gramatis dan
psikologis penulisnya. Hanya dan melalui kedua pendekatan itulah pembaca
terselamatkan dengan apa yang disebut oleh Gayatri Chakravorty Spivak2 sebagai
“pembaca yang tercangkok”. Dari sini kemudian Schleiermacher membedakan
1
F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Derrida, h.
40.
2
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Hermeneutika Pascakolonial Soal Identitas
(Yogyakarta: KANISIUS, 2018), h. 113.
65
antara memahami apa yang dikatakan penulis sebagai konteks bahasa dan
memahami apa yang dikatakan penulis sebagai sebuah fakta.
Syariati sendiri dalam tulisan-tulisannya yang sangat progresif dan sangat
ideologis, kita lalu bisa memahami pikiran-pikiran beliau melalui ceretan-coretan
penenya lalu menempatkan dalam kerangka pemikiran hermeneutika
Schleiermacher, sehingga dapat diidentifikasi bahwa tulisan-tulisan Syariati mesti
dipahami dalam konteks bahasa dan kemungkinan-kemungkinannya dan memahami
tulisan-tulisannya sebagai sebuah fakta.
Hermeneutika Schleiermacher sangat membantu pembaca dalam menyibak
makna dari suatu teks dengan prosedural memahami, hanya saja terlihat suatu
problematis dari tensi memahami teks dari pemikiran Schliermacher, yakni ketika
teks-teks berupa kumpulan-kumpulan tulisan yang dikodifikasi, tentu akan
menemukan kesulitan bagi pembaca untuk merekonstruksi individualitas teks
melalui peloncatan psikologis yang ditawarkan oleh Schleiermacher, karena ada
begitu banyak pengalaman-pengalaman subjektif penulis yang mesti dimasuki oleh
pembaca untuk menemukan orisinalitas makna, walaupun Schleiermacher
menemukan suatu istilah “divinatoris” atau “intuitif”. Divinatoris adalah memahami
teks dengan cara mengambilalih posisi orang lain, penulis agar dapat menangkap
kepribadiannya secara langsung.3
B. Metodologi
Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk
mendekati problem dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain, metodologi
merupakan suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. 4Untuk
mencapai hasil penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan agar
penelitian yang dilakukan dapat terlaksana dengan baik dan sesuai prosedur
keilmuan. Maka metodelogi merupakan kebutuhan yang sangat urgen dan sangat
membantu penulis dalam memahami hasil-hasil penelitian secara objektif.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu
penelitian yang dilakukan dengan menelaah bahan-bahan pustaka baik berupa buku,
ensiklopedia, jurnal, majalah, website dan sumber-sumber lain yang relevan dengan
topik yang dikaji. Oleh karena penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan, maka
penelitian ini termasuk penelitian kualitatif (qualitative research) atau penelitian
yang mengarah pada eksplorasi, penggalian dan pendalaman data-data yang terkait. 5
Penelitian ini diperkaya dengan pengetahuan ilmu sosial dengan banyak disiplin
3
F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Derrida, h.
45.
4
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: Rosdakarya, 2013), h. 145.
5
Septiawan Santana K, Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2007), h. 1.
66
yang berbeda seperti psikologi, sosiologi, sejarah dan sebagainya yang datang dari
tradisi filosofis yang berbeda dan semuanya memberikan kontribusi aspek-aspek atau
pandangan yang berbeda terhadap studi aktivitas manusia.6
2. Pendekatan Penelitian
a. Pendekatan historis, yaitu suatu ilmu yang membahas beberapa sejarah atau
peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang
serta pelaku dari peristiwa tersebut.
b. Pendekatan dekonstruksi adalah upaya penghancuran terhadap sesuatu yang
dianggap mapan lalu meramu kembali demi menemukan sesuatu yang baru.
c. Pendekatan gramatikal adalah suatu upaya memahami suatu teks dengan
bertolak dari struktur-struktur kalimat yang ditulis oleh pengarang itu sendiri.
d. Pendekatan piskologi adalah suatu pendekatan untuk menangkap individualitas
pengaran (kecerdasannya).
3. Sumber Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi,
yaitu suatu metode pengumpulan data yang mengambil atau mencari sumber data
dari beberapa dokumen-dokumen yang berupa buku-buku, majalah, jurnal, dan surat
kabar yang berkaitan dengan pemikiran Schleiermacher.7 Dengan metode ini
diharapkan dapat menambah imformasi terkait penelitian. Setelah mendokumentasi
data-data, kemudian dilakukan pembacaan dalam beberapa tahap sebagai berikut:
Pertama, membaca pada tingkat simbol, adalah pembacaan awal yang tidak
dilakukan secara menyeluruh. Penulis hanya melihat judul buku dan daftar isi yang
ada di dalam buku tersebut.
Kedua, membaca pada tingkat semantik, adalah pembacaan yang dilakukan
secara terinci, terurai dan menangkap esensi dari data tersebut.
Keriga, melakukan penyuntingan terhadap beberapa teks sebagai representasi
dari data yang akan digunakan. Beberapa rangkaian pengumpulan data di atas
diharapkan bisa memudahkan penulis dalam mengklarifikasikan data-data yang
digunakan.
4. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-
analisis.8 Deskriptif maksudnya adalah prosedur penyelesaian masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan keadaan objek penelitian berdasarkan fakta yang
6
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Analisis Data (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2010), h. 79.
7
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1993), h. 202.
8
Penelitian deskriptif (descriptive research) disebut juga penelitian taksonomik (taxonomic
research), dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau
kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah
dan unit yang diteliti. Lihat: Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT
RajaGrafindo Pesada, 2003), h. 20.
67
9
Hadari Nawawi dan Mini, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1996,), h. 73.
10
Peter Connolly, Approaches to the Study of Religion (London & New York: Cassel, 1999),
h. 193-220.
68
roman non-religius, antara lain yang ditulis oleh Goethe, sehingga ia mulai
bimbingan untuk menjadi pengkotbah atau ilmuan.11 Sampai suatu saat iapun
memutuskan untuk menggeluti studi filsafat dan filologi di Universitas Halle, dan
pada saat itu Schleiermacher untuk pertama kalinya mempelajari filsafat kritis Kant.
Schleiermacher sampai menguasai beberapa bahasa diantaranya, bahasa
Latin, Yunani, dan bahasa Inggris. Di samping itu ia juga memperlajari ilmu
humanistik, botani, dan matematika12 untuk mengasa kemampuan berpikirnya. Di
Berlin Schleiermacher berkenalan dengan kelompok cendekiawan dan sastrawan
romantik, seperti keluarga von Humboldr, Rabel Varnhagen, Dorothea Veit dan yang
paling berjasa terhadap Scheleiermacher adalah Friedrich Schlegel yang
menginisiasikan untuk menerjemahkan karya-karya plato.
Berkat pengaruh romantisme yang berkelindang dengan perkembangan
intelektual Schleiermacher membawanya sebagai pegiat hermeneutika. Romantisme
itu sendiri adalah suatu gerakan yang kritis terhadap zaman Pencerahan abad ke-18
yang terlalu terobsesi dengan pemakaian akal dan mengabaikan pentingnya rasa atau
intuisi dalam memahami realitas, sehingga puncak dari peradaban Barat kata
Nietzsche (19- 19 M)13 adalah kapitalis industrial yang mengancam eksistensi
manusia. Dampat yang paling kongkrit dari industrialisasi (teknologi) adalah perang
dunia pertama dan kedua.
Di zaman Scheleiermacher hidup pandangan terhadap agama dihegemoni
oleh pandangan Imanuel Kant (18-18 M) yang mensimplifikasi agama hanya pada
persoalan moralitas belaka dan Hegel justru memandang agama secara selektif hanya
persoalan rasionalitas belaka. Schleiermacher keberatan dengan pendahulunya yang
melihat agama hanya sebatas moralitas dan rasionalitas belaka, menurut
Schleiermacher hakikat agama adalah perasaan ketergantungan mutlak di hadapan
alam semesta.
Meski Schleiermacher lebih dikenal sebagai seorang teolog dan pengkotbah,
namun tidaklah berlebihan jika ia dipredikasi sebagai seorang filsuf, sebab ia
menggeluti dan menyibukkan dirinya dengan persoalan hermeneutika yang
kemudian mewarnai karier intelektualnya sejak ia mengajar di Halle pada tahun 1805
sampai hari kematiannya. Manuskrip-manuskripnya tentang hermeneutika tersebar
dalam sketsa-sketsa, aforisma-aforisma dan catatan-catatan kuliahnya.14
Bahkan ada yang menilai Schleiermacher sebenarnya enggak menerbitkan
karya-karyanya dengan sebuah alasan bahwa dirinya adalah seorang hermeneutikus
11
F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Derrida, h.
28.
12
E. Sumaryono, Hermeneutika sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 36.
13
Gianni Vattimo, Akhir Modernitas Nihilisme dan Hermeneutika dalam Budaya
Postmodern, h. 53.
14
F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Derrida, h.
30.
69
sejati yang tidak perna puas dengan isi tulisan-tulisannya sendiri. Ketika sebuah
tulisan telah dihasilkan, maka ia tidaklah mencerminkan dari apa yang dimaksud
sang pengarangnya. Itulah sebabnya Schleiermacher mengartikan kata “memahami”
adalah sebuah kegiatan kognisi yang tidak pernah berkesudahan.
2. Pemikiran Hermeneutika Schleiermacher
Sebenarnya tujuan dasar dari hermeneutika adalah bagaimana suatu makna
yang masih remang-remang menjadi terang benderang. Hanya saja hermeneutika
menjadi relatif sulit jika dihubungkan dengan tensi memahami itu sendiri, itulah
sebabnya dalam hermeneutika pun tercipta aliran-aliran terkait dengan memahami itu
sendiri, misalnya hermeneutika romantik, hermeneutika ontologis, hermeneutika
kritis, dan hermeneutika radikal. Masing-masing aliran tersebut memiliki
kecenderungan yang berbeda terkait dengan memahami, misalnya hermeneutika
ontologis, memahami adalah suatu kegiatan yang berkaintan dengan eksistensi
manusia di dunia ini, hermeneutika kritis sendiri memahami adalah upaya
penyadaran kembali bagi pengarang terhadap hal-hal yang tidak disadarinya terkait
dengan karyanya, sedangkan hermeneutika romantis yang dipelopori oleh
Schleiermacher adalah bagaimana menghadirkan kembali dunia mental pengarang
atau dengan kata lain merasakan sisi subjektifitas pengarang.
Dari ketiga pokok pikiran di atas kita boleh mengatakan bahwa pengertian
Schleiermacher tentang memahami sudah melampaui literalisme teks, namun masih
terperangkap di dalam pengandaian-pengandaian filsafat kesadaran yang sejak
Descartes mendominasi pemikiran Barat modern. Di dalam wawasan Cartesian dan
berbagai variannya, seperti obyektivisme, positivisme, dan historisme, memahami
adalah sebuah prosses epistemologis untuk menghadirkan kembali makna asli teks
ke dalam kesadaran. Dengan kata lain, memahami adalah sebuah proses reproduksi.
Penulis menghasilkan makna, dan pembaca membuat copy dan paste makna itu.
Orang dapat dikatan memahami jika dapat secara obyektif mengulang maksud
penulis teks, dan hal itu terjadi lewat empati, maka dapat dikatakan bahwa
Schleiermacher mengerti memahami sebagai empati.
Scheleiermacher menggambarkan proses hermeneutis sebagai pembalikan
dari proses penulisan teks. Sementara penulis bergerak dari pikirannya ke
ungkapannya dalam susunan kalimat-kalimat, pembaca bergerak sebaliknya: dari
susunan kalimat-kalimat itu dia memasuki dunia mental, yaitu pikiran penulisnya.
Jika Syariati, misalnya mengungkapkan pikiran-pikirannya ke dalam susunan
kalimat-kalimat dalam bukunya, kita sebagai pembaca mencoba memasuki isi
pikiran Syariati lewat pintu kalimat-kalimat itu. Di sini Schleiermacher lalu
membedakan antara “interpretasi gramatis” dan “interpretasi psikologis”. Yang
dimaksud dengan interpretasi gramatis adalah proses memahami sebuah teks
bertolak dari bahasa, struktur kalimat-kalimat, dan juga relasi antara teks itu dengan
karya-karya lainnya dengan jenis yang sama. Tulisan-tulisan Syariati misalnya,
ditulis dalam bahasa Persia dari abad lalu dan berhubungan dengan tulisan-tulisan
70
lain yang sejenis, misalnya buku-buku yang dibaca Syariati atau korespondensinya
dengan pemikir-pemikir yang sezaman dengannya.
Interpretasi gramatik menempatkan teks dalam kerangka objektif, maka
interpretasi psikologis memusatkan diri pada sisi subjektif teks itu, yaitu
dunia mental penulisnya. Yang dicari di sini adalah individualisme si
pengarang dan kejinisannya yaang khas.15
Memahami teks lebih baik daripada penulisnya adalah salah satu ide atau
konsep Schleiermacher yang urgen dalam memahami teks. Pernyataan ini tentu
menggelitit nalar kita, bagaimana mungkin kita sebagai pembaca dapat memahami
teks lebih baik dari penulis. Misalnya, bagaimana mungkin kita bisa lebih memahami
buku Tugas Cendekiawan Muslim dari penulisnya sendiri, yakni Syariati. Bukankah
seharusnya Syariati yang lebih memahami buku tersebut, sebab ia lebih memahami
konteks zamannya, pemikiran-pemikiran apa yang berkembang dizamannya, dan
bagaimana pemikiran-pemikiran itu bisa saling bertolak belakang. Ditambah lagi,
buku tersebut berbahasa Persia dan ia sendiri lahir dari kultur yang berbahasa Persia.
Sehingga sekilas terdengar “paradoks” pernyataan Schleiermacher tersebut.
Saya mesti memberikan penjelaskan untuk menghindari salah tafsir terhadap
Schleiermacher. Di sini Schleiermacher menjelaskan bahwa pembaca lebih
memahami daripada penulis, namun ia tidak mengartikan bahwa pembaca lebih
benar dari penulis. Sehingga bisa dipahami, bahwa kedua premis itu memiliki makna
yang berbeda. Ambil contoh buku Tugas Cendekiawan Muslim. Di dalam buku itu
memiliki tujuh tema yang berbeda namun tidak dapat dipisalahkan satu sama lain.
Misalnya, salah satu tema itu adalah Manusia dan Islam, Syariati menjelaskan bahwa
manusia oleh agama-agama Kristen dipandang hina dan rendah, manusia kurang
dihargai, dilecehkan substansinya dan agama tersebut harus bertanggung jawab atas
semua itu. Ada hal menarik yang perlu digaris bawahi terkait dengan penghinaan
terhadap martabat manusia oleh agama Kristen yang dikatakan Syariati, yaitu bahwa
manusia di zaman ini sudah mulai dihargai bahkan dianggap sebagai (superior) atas
makhluk lainnya.
Barangkali salah satunya sudah lolos, tapi bukannya tanpa kesulitan
menghilangkan semua ketidakpercayaan alegoris. Berkaitan dengan suatu teks yang
berisikan pertanyaan kepada seseorang, apakah teks tersebut benar-benar
menyuratkan apa yang sebenarnya tersirat. Demikianlah wariran dari tradisi
penafsiran dari sejak dulu dimulai dari pemuka-pemuka Gereja dan dikembangkan
lebih luas lagi oleh Schleiermacher dan kawan-kawannya, dengan memperhatikan
semua yang terucapkan, kita lalu beranggapan bahwa sesuatu yang lain tengah
diungkapkan. Bahkan versi yang lebih sekuler dari ketidakpercayaan alegori ini
berdampak adanya pemberian tugas pada semua komentator untuk menemukan
kebenaran pikiran pengarang. Apa yang diungkapkan pengarang tanpa berkata,
menyampaikan sesuatu tanpa harus mampu bicara, menyembunyikan sementara agar
15
F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Derrida, h.
71
hal itu tanpak. Jelaslah bahwa kini terdapat banyak kemungkinan dalam berurusan
dengan bahasa.
Dengan demikian kritik kontemporer, ini yang membedakannya dari apa
yang sedang dilakukan sedang merumuskan skema kombinasi baru yang ringkas,
dengan tetap terkait pada keberagaman teks yang sedang dipelajari, yakni objek
teksnya. Malahan dalam usaha menyusun kembali rahasia imanen, kritik
kontemporer memperlakukan teks sebagai seperangkat elemen (kata-kata, bentuk
sastra, metafor, kelompok naratif) yang ada antara sesuatu yang mengeluarkan relasi-
relasi baru secara mutlak, selama mereka belum dikontrol oleh desain penulis. Relasi
formal yang ditemukan seseorang dengan cara ini tidak hadir dalam pikiran orang-
orang, mereka tidak menyusun isi yang tersembunyi atas pernyataan atau rahasia
kehatian-hatian mereka. Relasi-relasi itu memang sebuah kerangka, tapi kerangka
yang akurat menyatakan bahwa relasi-relasi yang telah digambarkan dapat dibedakan
pada bahan yang terolah. Kita sudah belajar untuk menempatkan kata-kata orang
dalam hubungan yang belum dirumuskan, kata-kata yang pertama kali diucapkan
oleh kita sendiri dan secara objektif yang benar-benar akurat.16
Kritik kontemporer meninggalkan mitos interioritas terbesar. Hal itu jelas-
jelas terlepas dari sekumpulan tema lama yang sudah masuk kotak, dimana
seseorang ingin melihat kembali hasil karyanya. Dengan menempatkan diri di luar
teks, kritik kontemporer membangun kerangka kelahiran yang baru, menuliskan teks
di atas teks.
Ketika Blanchot membuat semua wacana mengenai sastra menjadi mungkin.
Petama-tama, karena dia yang pertama kali menunjukan bahwa karyanya itu
dihubungkan satu sama lain, oleh pihak luar dari bahasa di mana “sastra” itu muncul.
Dengan demikian kesusastraan adalah apa yang menyusun sisi luar setiap karya, dan
apa yang menyingkat semua bahasa tertulis dan meninggalkan tanda goresan hampa
pada setiap teks. Hal ini bukanlah suatu modus bahasa, melainkan alur yang
berbelok-belok seperti sebuah impuls besar yang melewati semua bahasa sastra.
Dengan memberikan perpecahan pada agen sastra sebagai suatu “tempat yang sama”,
suatu ruang hampa dimana semua karya diletakkan.
Demikianlah karakter polemik yang berutang pada fakta bahwa seseorang
sudah mempelajari masa dari wacana yang terkumpul di bawah kaki kita sendiri.
Melalui penggalian yang hati-hati, seseorang dapat menemukan susunan-susunan
laten. Tapi, ketika susunan itu muncul untuk menentukan sistem wacana pada dasar
di mana kita masih hidup, seketika itu juga kita menjadi berkewajiban untuk
mempertanyakan kata-kata yang masih bergema di telinga, yang bercampur dengan
segala hal yang coba kita ucapkan.
16
Michel Foucault, Pengetahuan dan Metode karya-karya Penting Foucault, terj. Arief
(Yogyakarta: JALASUTRA, 2017), h. 88.
72
Kesimpulan
Hermeneutika sebagai cara memahami telah membantu kita dalam hal
memahami makna yang tadinya remang-remang menjadi terang benderang, dan
menjadikan makna yang tadinya samar-samar menjadi jelas. Hanya saja perlu diingat
74
hermeneutika tidak sesederhana seperti yang kita kira, hermeneutika relatif sulit jika
dihubungkan dengan tensi memahami itu sendiri. Schleiermacher sendiri dalam hal
memahami makna kita mesti berpijak dari landasan gramatikal dan loncatan
psikologis. Landasan gramatikal sendiri membantu sang penafsir memahami susunan
kalimat dengan baik, misalnya apa yang dipikirkan oleh Syariati dalam kalimat-
kalimat yang ditulisnya, apa yang mempengaruhi Syariati ketika ia mengatakan
demikian, dan apakah yang dikatakan oleh Syariati adalah sebuah fakta sejarah
ataukah hanya sebuah konteks bahasa dengan kemungkinan-kemungkinannya.
Sedangkang landasan psikolgis membantu penafsir menangkap dunia mental penulis
dan mengalami kembali pengalaman penulisnya.
Untuk memahami teks Syariati (Tugas Cendikiawan Muslim) kita perlu
memasuku dunia mental penulisnya lewat susunan kalimat-kalimat yang ditulisnya
atau bisa juga masuk ke dalam kulit penulis. Yang menjadi problem kemudian
adalah manakah yang lebih utama kalimat-kalimat yang dinyatakan oleh penulis
ataukah isi pikiran penulis? Terlihat sekilas dalam pemikiran Schleiermacher terkait
dengan hermeneutika terdapat dualitas antara bahasa dan penuturnya.
Memilih salah satu diantara keduanya menghasilkan konsekuensi yang
berbeda. Sekiranya isi pikiran lebih utama daripada bahasa yang dipakai untuk
menyampaikannya, interpretasi psikologis tentu akan mendapat porsi atau prioritas
atas interpretasi gramatis, karena orang menganggap bahasa secara khusus sebagai
sarana orang mengomunikasikan pikiran-pikirannya. Kita juga dapat berpendapat
sebaliknya, yaitu mengutamakan interpretasi gramatis, jika kita menganggap Syariati
dan tuturannya sacara khusus sebagai kesempatan bagi bahasa untuk menyatakan
dirinya. Pendirian Schleiermacher atas persoalan tersebut adalah bahwa kedua tugas
itu sama sekali setara. Kita memahami bahasa lewat pemakainya, tetapi pemakai
bahasa dapat dipahami lewat bahasa yang dipakainya. Sebagai misal, pikiran-pikiran
Syariati dan tulisan-tulisan yang mengungkapkannya memiliki kedudukan setara
dalam interpretasi. Kita memahami pendirian Syariati lewat teks yang ditulisnya, dan
teks itu dipahami lewat pendiriannya. Dengan kata lain, baik interpretasi gramatis
maupun interpretsi psikologis harus diperlakukan seolah-olah keduanya dapat saling
dipertukarkan.
Kedudukan setara antara interpretasi gramatis dan psikologis dalam
memahami makna tulisan-tulisan Syariati itulah yang kemudian dikenal dengan
istilah lingkaran hermeneutis, yang intinya adalah bahwa setiap bagian-bagian dapat
dipahami hanya dari keseluruhan yang mencakupinya, dan sebaliknya. Memasuki
dunia mental Syariati, yakni mengalami kembali pengalamannya adalah menjalani
lingkaran hermeneutis ini dalam interpretasi. Jika untuk memahami bagian-bagian,
kita harus lebih dulu memahami keseluruhan, lalu bagaimana memahami
keseluruhan? Disini Schleiermacher menjelaskan bahwa untuk memahami kata kita
harus lebih dahulu memahami kalimat. Untuk memahami kalimat kita harus lebih
dahulu memahami kata. Namun, di dalam praktik pemahaman makna, kita tidak bisa
mulai dari satu tititk tolak belaka, entah bagian atau keseluruhan, melainkan bagian-
75
bagian dan keseluruhan secara serentak saling menjelaskan sehingga makna itu
ditangkap. Itulah apa yang disebut Schleiermacher sebagai kekuatan divinatoris atau
intuitif. Yang dimaksud dengan kekuatan divinatoris adalah memahami teks dengan
cara mengambilalih posisi orang lain, penulis, agar dapat menangkap kepribadiannya
secara langsung.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: PT.
Rineka, 1993.
76