Oleh :
170160100111052
Pembimbing :
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
TINJAUAN PUSTAKA
6) Anastesi anterior palatine nerve block dan infiltrasi pada mucobuccal fold regio 24,
dilanjutkan pemeriksaan anastesi
7) Apabila sudah teranastesi lakukan ekstraksi sisa akar gigi 24 menggunakan bein dan tang
8) Kuretase pada soket 24 disertai irigasi NS hingga seluruh dinding kista luruh dan terasa keras
(menyentuh dinding tulang alveolar)
9) Suturing pada regio 24 sebanyak 1 jahitan pada bagian oklusal
nj
Foto kontrol H+7 post enukleasi kista radikular
Pembahasan
Kista adalah suatu rongga patologis pada jaringan keras atau lunak tubuh yang umumnya
dibatasi epitel dan berisi cairan atau bahan bersifat semi solid. Kista radikular atau kista periapikal
adalah kista yang disebabkan oleh inflamasi periapikal dari pulpa nekrosis, kista radikular berasal dari
sisa epitel sel Malassez dalam jaringan periodontal, dimana sisa epitel sel Malassez ini merupakan
bagian dari selubung Hertwig akar yang tidak aktif yang berada dekat dengan ligament periodontal,
yang dikarenakan radang kronis akibat inflamasi oleh pulpa nekrosis yang akhirnya sisa epitel sel
Malassez menjadi terpacu untuk berproliferasi membentuk suatu massa di dalam tulang. Proliferasi
epitel di bagian tepi massa tersebut terus berlangsung karena memperoleh nutrisi yang cukup dari
jaringan sekitarnya sehingga massa semakin membesar. Bagian tengah massa tersebut kekurangan
nutrisi sehingga terjadi nekrosis dan lisis yang menyebabkan terbentuknya massa dengan rongga berisi
cairan di dalamnya. Tekanan akibat pertumbuhan massa yang semakin besar beserta tekanan hidrostatik
cairan di dalam rongganya mengakibatkan erosi tulang di sekitar massa semakin luas yang akhirnya
terbentuk suatu rongga patologis berdinding epitel dan berisi cairan yang disebut kista. Kista radikular
merupakan 60 – 70% dari seluruh kista rongga mulut. Patogenesis kista radikular terdiri dari tiga fase
berbeda yaitu fase inisiasi, fase formasi, dan fase pembesaran.
Terdapat dua teori utama tentang pembentukan kavitas kista. Teori pertama adalah nutritional
deficiency theory, teori ini berdasarkan asumsi bahwa sel pusat dari untai epitelial dipindahkan dari
sumber nutrisinya dan mengalami nekrosis dan degenerasi likuefaksi, produk akumulasinya memicu
granulosit neutrofil ke area nekrosis. Mikrokavitas ini berisi sel epitel degenerasi, sel infiltrasi, dan
cairan jaringan menyatu membentuk kavitas kista yang berisi epitel stratified. Teori kedua adalah
abscess theory, teori ini berpendapat bahwa tepi epitel berproliferasi membatasi kavitas abses yang
dibentuk dari nekrosis jaringan dan lisis karena sifat alami sel epitelial pada permukaan jaringan ikat
yang terekspos. Selama fase ketiga kista berkembang, namun mekanisme pastinya belum diketahui.
Secara umum dipercaya melalui mekanisme osmosis. Adanya jaringan nekrosis pada lumen kista
memicu granulosit neutrofil, yang berekstravasasi dan bertransmigrasi melalui tepi epitelial ke kavitas
kista. Produk lisis dari sel yang mati pada lumen kista melepaskan jumlah molekul yang lebih besar.
Alhasil, tekanan osmotik pada cairan kista meningkat lebih tinggi daripada tekanan osmotik dari cairan
jaringan sekitar. Cairan jaringan sekitar kemudian berdifusi ke kavitas kista dan meningkatkan tekanan
hidrostatik intraluminal di atas tekanan kapiler. Peningkatan tekanan intrakista dapat mengarah ke
resorpsi tulang dan ekspansi kista. Namun, fakta bahwa kista poket apikal dengan lumen terbuka
terhadap saluran akar nekrosis dapat menjadi penentang terbesar bahwa tekanan osmotik adalah faktor
potensial dalam perkembangan kista radikular. Selanjutnya, adapula peningkatan bukti yang mendukung
mekanisme molekular ekspansi kista. Limfosit T dan makrofag pada dinding kista dapat memberikan
sumber terus menerus akan sitokin dan metabolit resorbtif tulang. Adanya molekul efektor efektif seperti
MMP-1 dan MMP-2 juga telah dilaporkan pada dinding kista.
Pada pasien Tn. S tampak radiolusensi pada apikal gigi 24 yang berbatas radiopaque, selain itu
pada gingival bukal gigi 24 juga tampak adanya fistula, namun tidak tampak adanya pembesaran dan
pada palpasi tidak ada kelainan. Anastesi yang diberikan adalah anastesi campuran lidokain dan
pehakain dengan perbandingan 1 : 1 dikarenakan adanya riwayat hipertensi yang diderita pasien. Daerah
operasi dijaga kesterilannya selama operasi. Setelah anastesi berjalan, dilakukan ekstraksi gigi 24 yang
merupakan kemungkinan etiologi dari kista radikular, gigi 24 didapatkan karies pada oklusalnya hingga
mencapai ruang pulpa. Segera setelah ekstraksi gigi 24, darah dan cairan kista tampak keluar dan
dilakukan irigasi dengan normal saline (NS) selama proses yang diikuti dengan kuretase dinding kista
hingga bersih. Pada kasus ini tampak kista radikukar yang terjadi merupakan eksaserbasi dengan fase
akut, hal ini serupa seperti yang dilaporkan Joshi N et al (2011) bahwa kasus jangka panjang dapat
mengalami eksaserbasi akut pada lesi kista dan menunjukkan tanda dan gejala seperti pembengkakan,
mobilitas gigi, dan pergerakan gigi yang belum erupsi. Kuretase dilakukan pada seluruh bagian dinding
dalam tulang alveolar yang berbatasan dengan dinding kista hingga terasa keras (tidak terasa adanya
dinding kista yang tersisa pada dinding tulang alveolar), hal ini dilakukan untuk menghindari
kemungkinan rekurensi dari kista radikular. Terakhir dilakukan kontrol perdarahan dan pasien diberi
instruksi pasca operasi termasuk instruksi untuk kontrol H+1, H+3, dan H+7.
Proses penyembuhan luka terdiri dari tiga fase dasar yaitu fase inflamatori, fase proliferative atau
fibroplastik, dan fase remodeling. Fase inflamatori terjadi segera setelah jejas terjadi dan biasanya
berlangsung hingga 3 – 5 hari, pada fase ini terjadi vasokonstriksi platelet membantu terbentuknya blood
clot untuk menjaga hemostasis dan menyediakan matriks sementara untuk migrasi sel. Makrofag yang
teraktivasi meleaska sitokin dan fibroblast menginisiasi pembentukan jaringan granulasi dengan
mendegradasi matriks ekstraseluler, faktor pembekuan darah juga dilepaskan yang menginisiasi
berbagai efektor termasuk komplemen, plasminogen, dan kinin. Setelah hemostasis terjadi,
vasokonstriksi digantikan oleh periode vasodilatasi yang dimediasi oleh histamine, prostaglandin, kinin,
dan leukotrien. Peningkatan permeabilitas vascular membuat plasma darah dan mediator sel lainnya
dapat berdiapedesis dan mengisi ruang ekstraseluler, tampak manifestasi klinis seperti kemerahan,
pembesaran, panas, dan nyeri. Jumlah dan aktivitas makrofag menurun pada H+5 jejas, dan berlanjut
untuk memodulasi proses penyembuhan luka hingga selesai. Pada fase proliferative atau fibroblastik,
dimulai paling awal H+3 jejas dan berlangsung hingga 3 minggu, fase ini dibedakan dengan adanya
pembentukan jaringan granulasi pink yang berisi sel inflamatori, fibroblast, dan vaskularisasi dalam
matriks yang longgar. Langkah awal yang penting pada fase ini adalah pembentukan mikrovaskularisasi
local untuk menyuplai oksigen dan nutrisi untuk meregenerasi jaringan. Angiogenesis dari vaskulatur
yang rusak dipicu hipoksia luka dan juga native growth factor khususnya VEGF, FGF-2, dan TNF-β.
Aliran sitokin memediasi fase proliferative yang adekuat, dengan adanya pembentukan mikrosirkulasi
lokal dan pembentukan matriks ekstraseluler dan kolagen imatur, sel epidermal bermigrasi lateral di
bawah clot fibrin dan jaringan granulasi mulai terbentuk di bawah epitelium. Pada jejas mukosa sel
epitel bermigrasi langsung ke permukaan lembab yang terekspos di atas clot fibrin (bukan di bawah
eksudat kering atau scab). Fase proliferatif kemudian secara progresif diganti oleh fase remodeling dan
penguatan jaringan parut imatur, fase ini dapat berlangsung hingga beberapa tahun dan meliputi
keseimbangan antara degradasi dan pembentukan matriks. Penyembuhan pada tulang mirip seperti yang
terjadi pada kulit hanya ia juga meliputi proses kalsifikasi matriks jaringan ikat dan ia sembuh melalui
regenerasi dibanding repair. Penyembuhan pada soket ekstraksi merupakan contoh penyembuhan pada
tulang dengan second intention, dimana isi jaringan protraksi dan defek jaringan dengan jaringan
granulasi dan ikat. Pembentukan clot mulai 24-48 am awal dimana terjadi pelebaran pembuluh darah
dalam sisa ligamen periodontal diikuti oleh migrasi leukosit dan pembentukan lapisan fibrin. Pada
minggu pertama clot membentuk scaffold sementara untuk migrasi sel inflamatori. Pada minggu kedua
clot berlanjut tersusun melalui fibroplasia dan pembuluh darah baru berpenetrasi ke pusat clot ketiga
soket ekstraksi terisi jaringan granulasi dan tulang terkalsifikasi rendah mulai terbentuk pada perimeter
jejas. Remodeling tulang aktif melalui deposisi dan resorpsi terus berlangsung hingga beberapa minggu.
Pada pasien tampak adanya hiperemi yang dilihat pada kontrol H+1 dan H+5 dimana hal ini
sesuai dengan fase inflamasi yang terjadi pada proses penyembuhan luka. Tampak pula jaringan
nekrosis pada sekitar daerah operasi yang berwarna putih jala. Debris yang ada di sekitar dan pada
daerah operasi dibersihkan dengan irigasi H2O2 untuk mengangkat debris ke permukaan dan normal
saline untuk membantu mengembalikan fisiologis jaringan. Pada kontrol H+7 sudah tidak tampak
hiperemi dan pasien tidak ada keluhan. Pasien mengikuti instruksi yang diberikan dan meminum obat
sesuai anjuran. Pasien diresepkan obat ciprofloxacin karena pasien alergi penisilin, dan pasien tidak
mengeluhkan adanya reaksi alergi. Pasien juga tidak mengeluhkan terdapat demam H+2 hingga H+3
operasi dan luka juga tidak ada keluhan. Pada kontrol H+7 didapatkan jahitan pasien hilang yang
dirasakan pasien lepas saat makan kemarin sore sehingga pasien hanya dilakukan irigasi H 2O2 dan
instruksi pasien.
Daftar Pustaka
Peterson LJ, Ellis E, Hupp JR, and Tucker MR. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 6th ed.
St. Louis: Mosby, 2013
Miloro M, Ghali GE, Larsen P, Waite P. Peterson’s Principles of Oral and Maxilofacial Surgery. 3rd ed.
PMPH : USA, 2014
Joshi N, Sujan S, Rachappa M. An unusual case report of bilateral mandibular radicular cysts.
Contemporary Clinical Dentistry. 2011
Balaji SM. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. New Delhi: Elsevier, 2007
Fragiskos DF. Oral Surgery. Berlin: Springer, 2007