Anda di halaman 1dari 49

PENGARUH LAYANAN KONSELING KELOMPOK TERHADAP

PERILAKU VANDALISME DI SMP NEGERI 17 KENDARI

PTBK

OLEH

DWI LESTARI
A1Q1 15 133

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020

1
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ............................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah .................................................................. 4
1.3 Rumusan Masalah................................................................ 4
1.4 Tujuan Penelitian.................................................................. 4
1.5 Manfaat Penelitian................................................................ 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Vandalisme ......................................................................... 6
2.1.1 Definisi Vandalisme ......................................................... 6
2.1.2 Bentuk-bentuk Vandalisme .............................................. 7
2.1.3 Ciri-ciri Vandalisme ........................................................ 10
2.1.4 Faktor-faktor penyebab Vandalisme ................................ 12
2.1.5 Dampak Negatif Vandalisme ............................................ 14
2.1.6 Upaya Penanggulangan Vandalisme ................................. 15
2.2 Konseling Kelompok ........................................................... 18
2.2.1 Definisi Konseling Kelompok ....................................... 18
2.2.2 Fungsi Konseling Kelompok ......................................... 20
2.2.3 Tujuan Konseling Kelompok ......................................... 21
2.2.4 Manfaat Konseling Kelompok........................................ 23
2.2.5 Struktur Layanan Konseling Kelompok ......................... 24
2.2.6 Dinamika dalam Konseling Kelompok .......................... 27
2.2.7 Peranan dan Keterampilan Pemimpin Kelompok ........... 28
2.2.8 Tahapan Konseling Kelompok ...................................... 31
2.2.9 Kebihan dan Kekurangan Konseling Kelompok ............. 35
2.3 Penelitian Relevan .............................................................. 40
2.4 Kerangka Pikir Penelitian .................................................... 41
2.5 Hipotesis Penelitian ............................................................. 44

1
i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini masyarakat khususnya remaja banyak melakukan aktivitas

yang bersifat merusak atau menyimpang seperti mencoret-coret tembok pagar,

dinding fasilitas umum, aksi pengambilan dan aksi perusakan terhadap fasilitas

umum dan lain-lain dianggap merugikan bagi masyarakat karena mengganggu

dan merusak keindahan.

Vandalisme adalah bentuk dari perilaku menyimpang yang sering

dilakukan oleh sekelompok anak remaja atau di sekolah biasanya dilakukan oleh

siswa. Aksi vandalisme di sekolah mungkin dinilai sebagai bentuk ekspresi

dan kreatifitas dalam berseni oleh pelakunya. Namun kegiatan vandalism di

sekolah seperti melukis dilakukan di dinding tembok, meja, kursi, dan kaca

sekolah. Kegiatan vandalisme di sekolah juga meliputi merusak fasilitas sekolah

seperti memecahkan pot bunga, merusak meja dan kursi, menginjak-injak bunga

di taman sekolah. Perilaku-perilaku tersebut merupakan perilaku menganggu dan

merusak keindahan sekolah.

Vandalisme memiliki bentuk yang beragam sebagaimana dijelaskan oleh

Lase (2003: 3) yaitu : aksi coret-coret (graffiti), memotong (cutting), memetik

(plucking), mengambil (taking), dan merusak (destroying). Perilaku-perilaku

tersebut umumnya dilakukan oleh siswa di sekolah. Vandalisme memiliki

dampak buruk baik bagi orang lain maupun bagi lingkungan fisiknya, dampak

buruk yang ditimbulkan oleh aksi vandalisme adalah: (1) perusakan lingkungan, (2)

1
2

mengganggu ketertiban dan (3) mengganggu kenyamanan orang lain (Suhardi,

2018: 28).

Berdasarkan studi awal yang dilakukan oleh peneliti pada SMP Negeri

17 Kendari ditemukan beberapa bentuk vandalisme yang dilakukan oleh siswa.

Berdasarkan observasi ditemukan beberapa coretan pada meja dan kursi, di

beberapa tempat seperti di tembok belakang sekolah juga banyak coretan-

coretan dan gambar yang dibuat siswa, terdapat beberapa bunga di sekolah yang

dipetik oleh siswa dan bahkan ada beberapa bunga dan pohon dilingkungan

sekolah dipatahkan. Hal ini dikuatkan oleh penjelasan salah satu guru yang

menyatakan bahwa perilaku vandalisme tersebut biasa dilakukan oleh siswa

sejak dulu dan sekarang juga masih ada siswa yang melakukannya. Sedangkan

berdasarkan studi pada buku kasus yang ada di ruang bimbingan dan konseling

terdapat siswa yang melakukan pelanggaran yaitu berupa vandalisme yaitu

dengan melakukan coretan-coretan atau perusakan pada fasilitas sekolah.

Sebenarnya perilaku vandalism yang dilakukan oleh siswa memiliki

banyak motif seperti dikemukakan oleh Safitri (2012: 45) yaitu karena ikut-

ikutan teman, faktor keluarga, faktor media sosial, dan faktor lingkungan

masyarakat. Vandalisme juga merupakan perilaku sebagai bentuk penyaluran

ekpresi kemarahan, kreativitas atau keduanya sebagaimana dijelaskan oleh Kim

& Bruchman (Simanjuntak, 2012: 15) mengungkapkan bahwa vandalisme

adalah penodaan atau perusakan yang menarik perhatian, dan dilakukan

sebagai ekspresi kemarahan, kreativitas, atau keduanya.


3

Vandalism yang dilakukan siswa cukup mengganggu karena dapat

merusak keindahan dan membuat kerusakan. Berbagai upaya pencegahan dan

pengentasan dapat dilakukan sebagaimana dikemukakan oleh Goldstein

(Widiastuti, 2010 : 6-8) menawarkan beberapa strategi pencegahan vandalisme,

yaitu sebagai berikut : target hardening, aAccess control, deflecting offenders,

controlling facilitators, surveillance, target removal, removing inducements,

rule setting dan counselling.

Pada penelitian ini peneliti tertarik untuk membantu mengatasi perilaku

vandalisme siswa melalui layanan konseling kelompok. Layanan konseling

kelompok adalah salah satu layanan dalam bimbingan dan konseling. Shertzer &

Stone dalam Wibowo (2005: 32) mengemukakan bahwa dalam konseling

kelompok terdapat proses terapeutik seperti pengungkapan pikiran dan perasaan

secara leluasa, orentasi pada kenyataan, pembukaan diri mengenai perasaan-

perasaan mendalam yang dialami, saling percaya, saling perhatian, saling

pengertian dan saling mendukung.

Konseling kelompok bagi siswa sangat bermanfaat sekali karena

melalui interaksi dengan semua anggota kelompok mereka memenuhi kebutuhan

psikologis, seperti kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan teman-teman

sebaya dan diterima oleh mereka, kebutuhan untuk bertukar pikiran dan berbagai

perasaan, kebutuhan menemukan nilai-nilai kehidupan sebagai pegangan dan

kebutuhan untuk menjadi lebih independen serta lebih mandiri (Winkel dan

Hastuti, 2007: 593).


4

Layanan konseling kelompok memiliki manfaat yang sangat positif, salah

satunya adalah dalam merubah perilaku siswa. Melalui konseling kelompok

anggota kelompok dapat belajar perilaku baru yang sesuai dengan aturan dan

kebiasaan yang benar melalui situasi kelompok, sehingga siswa memperoleh

penanganan terhadap perilaku bermasalah yang dialaminya seperti vandalisme,

memperoleh dukungan baik dari pemimpin kelompok maupun dari sesama

anggota kelompok dalam membantu mengatasi vandalisme kepada perilaku

positif yang bermanfaat.

Berbagai permasalahan vandalisme siswa di atas, mendorong peneliti

untuk melakukan penelitian di SMP Negeri 17 Kendari dengan judul “Pengaruh

Layanan Konseling Kelompok Terhadap Perilaku Vandalisme Di SMP Negeri

17 Kendari”.

1.2 Pembatasan Masalah

Agar masalah penelitian dapat lebih fokus pada tujuan penelitian, maka

masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya meneliti layanan bimbingan

kelompok dan vandalisme siswa di SMP Negeri 17 Kendari.

1.3 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah layanan

bimbingan kelompok berpengaruh dalam menurunkan vandalisme siswa SMP

Negeri 17 Kendari ?.
5

1.4 Tujuan Penelitian

Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh layanan konseling

kelompok dalam menurunkan perilaku vandalisme siswa SMP Negeri 17

Kendari.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan yang

bermanfaat bagi pendidikan umumnya dan bagi bimbingan dan konseling

khususnya mengenai konseling kelompok dan vandalisme siswa.

1.5.2 Manfaat Praktis

a. Penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi pihak sekolah, khususnya

bagi kepala sekolah agar dalam merumuskan program-program sekolah dan

khususnya bagi bimbingan dan konseling menjadi lebih baik dalam

menangani vandalisme yang dilakukan oleh siswa.

b. Penelitian ini bermanfaat bagi siswa agar semakin menyadarkan bahwa

perilaku vandalisme merupakan perilaku buruk dan merusak, sehingga siswa

tidak melakukannya lagi.

c. Penelitian ini bermanfaat bagi guru bimbingan dan konseling, bahwa salah

satu layanannya yaitu layanan konseling kelompok dapat digunakan dalam

mengatasi perilaku vandalisme.

d. Penelitian ini, dapat dijadikan sebagai salah satu bahan reverensi yang relevan

khususnya tentang vandalisme siswa dan upaya mengatasinya.


6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Vandalisme

2.1.1 Definisi Vandalisme

Vandal berasal dari bahasa Latin vandalus yang memiliki pengertian:

pertama, suatu anggota dari Negara Jerman Timur yang membinasakan Gaul,

Spanyol, Afrika Utara dan merampok Roma pada tahun 455 M. Dari pengertian

tersebut ditonjolkan sifat kelompok yang bersifat merusak. Kedua, orang yang

di luar ketidaksukaan atau ketidak tahuannya merusak atau menganggu,

menginginkan barang milik orang lain yang belum dipunyai khususnya barang

yang indah atau artistic. Kata sifat vandal adalah vandalis (vandalic) dan

vandalisme (vandalism) merupakan tindakan atau perbuatan vandal

(https://id.wikipedia.org/wiki/Vandal).

Cohen’s dalam Cooze (1995: 40) menyatakan bahwa vandalisme “studies

on vandalisme against physical objects have been conducted mostly in the

broad framework of criminology, employing concepts and theories from social

psychology and sociology, particularly in the 1970s and 1980s”.

Vandalisme adalah tindakan perusakan terhadap lingkungan atau norma yang

berlaku. Biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, perilaku vandal

itu sendiri umumnya tengah mengalami gangguan kejiwaan sebagai akibat

kondisi sosial ekonomi yang tidak kondusif atau dapat juga diakibatkan oleh

kurangnya perhatian orang-orang sekitarnya terutama keluarga.

6
7

Bruchman dalam Simanjuntak (2012: 15) menyatakan bahwa vandalisme

adalah penodaan atau perusakan yang menarik perhatian, dan dilakukan

sebagai ekspresi kemarahan, kretivitas atau keduanya. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia kata vandalisme berasal dari kata dasar vandal yang berarti

perusak, kemudian mendapat akhiran “isme” maka mengundang arti

perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang-barang

berharga lainnya. Vandalism sebagai suatu tindakan yang secara langsung

atau tidak langsung merusak keindahan alam, kelestarian alam dan

merugikan alam. Dengan cara merusak keindahan dan kelestarian alam

remaja yang mempunyai sikap vandalisme merasa ada kepuasan jiwa (Laksono

dalam Suhardi, 2018).

Vandalisme adalah perilaku agresif yang disebabkan oleh siswa dan

menyebabkan kerusakan fasilitas sekolah, dan itu akan diukur sesuai dengan

tingkat yang dimiliki siswa pada kuisioner penelitian (Thawabieh, 2010: 43).

Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli di atas dapat disimpulkan

bahwa vandalisme merupakan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh

individu atau siswa seperti menganggu atau merusak berbagai objek lingkungan

fisik maupun lingkungan buatan, baik milik pribadi, milik orang lain maupun

fasilitas milik umum yang berakibat pada rusaknya pemandangan atau

keindahan alam.

2.1.2 Bentuk-bentuk Vandalisme

Tindakan vandalisme memiliki bentuk-bentuk yang beragam, Goldstein

dalam Aminudin dan Kasanah (2017: 4) membagi bentuk vandalisme menjadi


8

enam yaitu aquisitive, tactical, play, ideological, vindicate, malicious. Keenam

subjek tersebut tidak melakukan bentuk vandalisme yang sama, namun dari

keenam subjek tersebut mereka memiliki satu bentuk tindakan vandalisme yang

sama. Disini peneliti hanya menjelaskan tiga subjek saja karena beberapa subjek

memiliki makna yang sama, yaitu :

1. Ideological

Tindakan vandalisme yang didasarkan pada sebuah ideology untuk

menyampaikan sebuah pesan tertentu seperti mengambar tembok dengan

slogan- slogan tertentu atau nama sebuah geng. Contohnya : Az melakukan

tiga bentuk vandalisme, vandalisme yang dilakukan Az yaitu play,

ideological, dan vindicate. Az melakukan vandalisme untuk iseng-iseng dan

bersenang-senang dengan temannya ketika mereka berkumpul. Az merasa

senang saat melakukan tindakan vandalisme. Tindakan vandalisme Az yang

dilakukannya yaitu ideological, Az melakukan tindakan vandalisme

menuliskan nama gengnya di jembatan atau di tembok dengan tujuan

menyampaikan pesan bahwa gengnya adalah salah satu geng besar yang

berada di DIY.

2. Vindicate

Aksi perusakan yang bertujuan untuk balas dendam. Jadi aksi

vandalisme ini bertujuan bukan untuk mendapatkan suatu barang, namun

semata-mata hanya bertujuan untuk membalas dendam. Tujuan Az

melakukan vandalisme yaitu balas dendam terhadap geng lain yang telah
9

menumpuk atau menghapus symbol atau nama geng yang telah dibuat oleh

dirinya dan teman-temannya di tembok dan di jembatan.

3. Malicious

Aksi perusakan yang merupakan ekspresi dari keputusasaan, kemarahan

dan ketidak puasan terhadap sesuatu. Bentuk vandalisme malicious

merupakan bentuk karena merasa kecewa dan tidak puas jika tim sepak bola

yang didukungnya mengalami kekalahan.

Lase (2003: 3) mengungkapkan perilaku vandalisme yang tampak

dalam kehidupan siswa dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Aksi coret-coret (graffiti)

Corat-coret ini umumnya berobyekkan tembok, jembatan, halte bis,

bangunan, telepon umum, wc umum dan sebagainya.

2. Memotong (cutting)

Memotong pohon, tanaman, kembang yang dijumpainya dengan

berbagai alasan.

3. Memetik (plucking)

Memetik kembang, daun dan buah tanaman orang lain tanpa alasan yang

berarti.

4. Mengambil (taking)

Barang, tanaman, aksesoris lingkungan dan sebagainya meskipun pada

hakekaktnya tak bermakna untuk dimiliki, mungkin barang atau benda


10

tersebut terlalu besar, terlalu kuat, kurang keras, kurang dingin, terlalu aneh

dan sebagainya.

5. Merusak (destroying)

Merusak tatanan lingkungan yang sudah tersusun rapi misalnya

mencogkel, memindahkan, membuang sampah disembarang tempat bahkan

kencing di depan rumah orang dan sebagainya.

Siswa yang melakukan vandalisme merupakan bentuk dari rasa iseng dan

sarana untuk mencari perhatian terhadap orang lain. Rasa iseng ini timbul

karena kurang mendapat hiburan seperti kurang bermain karena membantu

pekerjaan orang tua. Siswa yang mengalami vandalisme dengan alasan

iseng bisa melampiaskan dengan membuat kerajinan tangan sehingga energi

yang dikeluarkan disalurkan ke hal yang positif. Sedangkan siswa yang

melakukan vandalisme karena alasan mencari perhatian, sebaiknya peserta didik

mencari perhatian dengan kegiatan positif dengan mengembangkan potensi

akademik maupun bakat sehingga menjadi siswa yang menonjol di sekolah

tetapi menonjol dalam hal positif sehingga dapat menginsipirasi peserta didik

lainnya.

2.1.3 Ciri-ciri Vandalisme

Hurlock (Romadhony, 2017) mengemukakan perilaku vandalisme siswa

tampak dalam bentuk aksi corat-coret, pemotongan, pemetikan, pengambilan dan

perusakan. Adapun aksi corat-coret yang dilakukan siswa dilakukan pada meja,

kursi, dinding, jendela, pintu, papa, kantin dan kamar mandi. Bentuk coretan

yang dituliskan bermacam-macam salah satunya adalah: identitas siswa,


11

labeling, komunitas. Selain tulisan adapun garis tak beraturan dan gambar

tokoh kartun.

Lase dalam Safitri (2012: 107) ciri-ciri vandalisme yaitu :

1. Vandalisme konflik dimana objek dapat dirubah sehingga menjadi alat

untuk perilaku yang dikehendaki (perilaku bermain) misalnya, perilaku

coret-coret dinding atau property lain

2. Leverage vandalism yaitu vandalisme mengungkit / membongkar sesuatu

untuk mengetahui bagaimana suatu objek/alat bekerja

3. Curiosity vandalism misalnya vandalisme memecah jendela hanya

untuk mengetahui apa yang terdapat di dalamnya.

4. Irresistible temptation vandalism yaitu vandalisme dalam bentuk godaan

tentang suatu yang menarik, misalnya pohon yang rusak dalam proses

mengetahui sejauh mana pohon tersebut dapat dibengkokan atau melempar

botol pada suatu tebing hanya untuk melihat bagaimana botol itu pecah

5. No other way to d o it vandalism misalnya seseorang buang air kecil

sembarangan seperti di tempat umum.

Laksono dalam Safitri (2012: 107) menjelaskan vandalisme adalah

suatu tindakan secara langsung atau tidak merusak keindahan dan kekerasan

alam. Dikatakan tersebut diatas bahwa vandalisme yang umum dijumpai

adalah dalam bentuk coret-coret dan hari ke hari cenderung meningkat.

Sasarannya biasa adalah lingkungan alami dan binaan, seperti tempat-tempat

parawisata, kamar-kamar, candi dan sebagainya. Sehingga dari sudut pandang

ekologis dan estetika merusak keindahan lingkungan.


12

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

perilaku vandalisme memiliki karakteristik dan ciri sebagai berikut: 1) Merusak

barang atau benda di lingkungan atau milik orang lain 2) Mengambil benda

dan tidak mengembalikan pada tempatnya 3) Mencoret dinding dan pada tempat

yang tidak semestinya 4) Memetik bunga-pohon di taman dan menghilangkan

keindahan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan ciri-ciri yang

dikemukakan Lase (Safitri, 2012: 107) yaitu: 1) vandalisme konflik, 2) leverage

vandalism, 3) curiosity vandalis, 4) irresistible temptation vandalism, dan 5)

no other way to d o it vandalism.

2.1.4 Faktor-faktor Penyebab Vandalisme

Penelitian yang dilakukan oleh Safitri (2012) menunjukkan terdapat

beberapa faktor penyebab perilaku vandalisme yaitu:

1. Teman Sebaya

Pengaruh kelompok dari remaja yang sama usianya biasanya akan mudah

untuk ditiru remaja dengan melakukan konformitas atau tindakan meniru

perilaku yang sama dalam satu kelompok agar diterima dalam kelompok

tersebut. Konformitas oleh remaja dilakukan karena remaja takut dibuang

oleh kelompoknya dan tidak mempunyai. Sesuai dengan tugas perkembangan

remaja yang memulai kehidupan bersosialisasi, hal ini sangat biasa dalam

lingkup usia remaja agar bisa diterima dalam sebuah kelompok. kelompok

remaja ini sering melakukan tantangan untuk menunjukkan “kekuatan” atau

“keberanian” dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dan penghormatan

dari anggota kelompoknya atau dari kelompok lain.


13

2. Keluarga

Kondisi keluarga yang tidak sehat dapat menyebabkan remaja mencari

pelampiasan atau jalan keluar dari perasaan tertekannya. Dalam sebuah

penelitian, remaja yang menghabiskan waktu senggang di rumah dan lebih

sering menghabiskan waktu di jalanan cenderung lebih besar peluangnya

untuk melakukan perilaku vandalisme, terutama remaja laki-laki.

3. Media Massa

Sejak berkembangnya alat elektronik atau gadget, semua kalangan usia

semakin mudah mengakses internet. Apalagi remaja pada jaman sekarang

bisa kita lihat sudah memiliki gadget dengan fitur-fitur yang canggih. Fitur-

fitur ini jika diakses tanpa pengawasan orang tua dapat menjadi menyebab

perilaku remaja yang memberontak dan melakukan tindakan-tindakan yang

melanggar norma. Akses internet yang semakin cepat membuat remaja dapat

mengakses gambar, video dan hal-hal lainnya yang mengarah pada perilaku

vandalisme, adegan-adegan dalam film yang disukainya juga dapat

mempengaruhi remaja untuk melakukan vandalisme.

4. Lingkungan Masyarakat

Lingkungan masyarakat yang longgar tentang norma dan aturan-aturan

yang mengikat dapat mempengaruhi remaja untuk melakukan kenakalan. Saat

remaja melakukan pelanggaran kecil dan tidak ada penindakan dari orang-

orang dewasa, remaja akan berusaha melakukan tindakan pelanggaran yang

lebih besar.
14

Faktor-faktor penyebab pelaku vandalisme antara lain: 1) pengaruh

pergaulan dari teman-teman sebaya, mereka merasa nyaman dengan teman-

teman sebaya membuat subyek mengikuti tindakan vandalisme, 2) karena

pengaruh keluarga diantaranya: a) kurangnya kasih sayang dan perhatian

sehingga melakukan vandalisme sebagai suatu tindakan pelarian, b) adanya

kasih sayang yang berlebihan sehingga tidak pernah melarang anaknya

melakukan vandalisme, 3) pengaruh media masa subyek melakukan vandalisme

karena terpengaruh dari film dan video game, 4) adanya sikap

masyarakat/lingkungan membiarkan vandalisme sehingga vandalisme dianggap

bebas karena belum ada teguran oleh lingkungan. Dalam hal ini sebenarnya

masyarakat juga tidak berkenan adanya tindakan vandalisme, namun pada

umumnya vandalisme dilakukan pada saat malam hari yang tidak diketahui

lingkungan, baru pagi hari masyarakat mengetahuinya (Salmah, 2015: 15).

2.1.5 Dampak Negatif Vandalisme

Banyak di antara para remaja yang tidak mengetahui dampak buruk dari

aksi vandalism ini yang tentunya sangat merugikan baik dirinya sendiri maupun

orang lain. Dampak buruk yang ditimbulkan oleh aksi vandalisme adalah:

Pertama, perusakan lingkungan. Kedua, mengganggu ketertiban. Ketiga,

mengganggu kenyamanan orang lain (Suhardi, 2018: 28).

Banyak diantara para siswa yang tidak mengetahui dampak buruk dari

aksi vandalisme ini yang tentunya sangat merugikan baik dirinya sendiri

maupun orang lain.Dampakburuk yang ditimbulkan oleh aksi vandalisme

menurut Elnadi (2018: 47) adalah :


15

1. Perusakan lingkungan, dari pengertian diatas kita mengetahui bahwa

vandalisme adalah tindakan perusakan terhadap segala sesuatu yang indah

atau terpuji. Maka dari itu dengan adanya aksi ini maka lingkungan

yang seharusnya indah terawat akan rusak dan terbengkalai.

2. Mengganggu ketertiban, tidak hanya rusaknya lingkungan,

namun ketertiban juga akan terganggu akibat adanya ulah aksi vandalisme

ini karena pada dasarnya remaja yang melekukan vandalisme akan

melanggar tata tertib yang ada sehingga tujuan mereka untuk melakukan

vandalisme pun tercapai.

3. Mengganggu kenyamanan orang lain, remaja yang berulah vandalisme

tentunya akan menggangu kenyamanan orang lain. Misalnya

perusakan fasilitas umum yang disebabkan oleh aksi vandalisme

remaja, maka hal ini akan mengganggu kenyamanan orang lain yang akan

menggunakan fasilitas tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa vandalisme

merupakan perilaku yang sangat merugikan baik bagi diri sendiri, bagi orang

lain dan lingkungan.

2.1.6 Upaya penanggulangan Vandalisme

Perilaku vandalisme merupakan perilaku negative karena dapat merusak

keindahan dan juga merusak fasilitas umum lainnya. Hal ini tentunya akan

merugikan orang lain dan masyarakat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan kepada siswa SMP se-Kabupaten

Sampang yang dilakukan oleh Romadhony (2014), beberapa upaya


16

penanggulangan vandalisme pada siswa SMP yaitu pemberian layanan

informasi secara klasikal mejadi cara pertama dalam pemberian pemahaman dan

pencegahan kepada siswa agar tidak melakukan tindakan vandalisme disekolah,

namun ada juga yang memasukkan siswa kedalam ekstrakulikuler sebagai

bentuk pencegahan sekolah dan pemberian skoring kepada siswa yang ditemui

melakukan vandalisme. Upaya pengentasan yang dilakukan yaitu dengan

melakukan konseling baik individu maupun kelompok dan jika diperlukan

akan ada pemanggilan orang tua. Upaya pemeliharaan yang dilakukan adalah

melakukan pemantauan dan memaksimalkan piket kelas. Adapun hambatan

yang ditemui menunjukkan hal yang sama yaitu kurangnya rasa memiliki

siswa sehingga siswa tidak ikut serta dalam menjaga kebersihan fasilitas umum.

Dengan memahami kategori vandalisme maka strategi pencegahannya

bisa dibuat sesuai dengan permasalahan yang ada. Upaya pencegahan tindakan

vandalisme, diperlukan pemahaman mengenai perilaku-perilaku yang

membentuknya. Pendekatan pencegahan yang efektif adalah dengan cara

menggabungkan beberapa strategi menjadi satu. Goldstein (Widiastuti, 2010 :

6-8) menawarkan beberapa strategi pencegahan vandalisme, yaitu sebagai

berikut :

1. Target Hardening

Yaitu penggunaan alat-alat atau materi pembatas yang dirancang untuk

menghambat perusakan, seperti memasang kaca anti pecah dan teralis jendela

agar tidak dapat dijangkau oleh pelaku vandalisme.


17

2. Access Control

Yaitu strategi dengan memanfaatkan elemen arsitektural dan alat-alat

mekanis-elektronis sebagai upaya mengontrol arus masuk ruangan misalnya

dengan motion detector, metal detector, dan closed- circuit televisions (CCTV).

3. Deflecting Offenders

Merujuk pada usaha yang terencana untuk mengubah tindakan

perusakan menjadi kegiatan yang positif dengan cara mengubah lingkungan

secara fisik, misalnya dengan memanfaatkan papan graffiti dan program seni

mural.

4. Controlling Facilitators

Mengendalikan tindakan vandalisme melalui perubahan lingkungan

dengan cara mengurangi akses terhadap sasaran perusakan seperti dengan

memberi papan petunjuk dan membatasi penjualan cat semprot.

5. Surveillance

Surveillance atau pengawasan, terdiri dari pengawasan yang dilakukan

secara resmi yaitu dengan menempatkan polisi atau pengawas bayaran dan

pengawasan secara alamiah oleh pemilik rumah, pejalan kaki, dan orang yang

melakukan pekerjaan di sekitarnya.

6. Target Removal

Yaitu menyingkirkan dan mengurangi akses terhadap target vandalisme

seperti telepon umum dan halte bus.

7. Removing Inducements
18

Merujuk pada upaya mengganti atau memperbaiki target vandalisme

dengan segera atau membersihkan tempat-tempat yang telah dicoret-coret.

8. Rule Setting

Dengan cara mengumumkan pernyataan mengenai perilaku yang bisa dan

tidak bisa diterima berserta konsekuensinya. Pelanggaran terhadap perilaku

bisa dikenai sanksi berupa denda, hukuman fisik dan sebagainya.

9. Counselling

Dengan cara memberikan bimbingan langsung kepada mereka yang

memiliki kebiasaan melakukan tindakan vandalisme. Dapat juga dengan

melakukan publisitas, yaitu bisa digunakan untuk menginformasikan mengenai

suatu masalah publik seperti vandalisme melalui iklan anti vandalisme, poster,

slogan anti vandalisme, pin dan kaos bertuliskan anti vandalisme dan

sebagainya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa salah satu upaya

dalam upaya pencegahan dan pengentasan vandalisme yaitu melalui pemberian

konseling kepada pelaku vandalisme.

2.2 Konseling Kelompok

2.2.1 Definisi Konseling Kelompok

Prayitno dan Amti (2004, 311) mengutarakan konseling kelompok adalah

konseling perorangan yang dilaksanakan di dalam suasana kelompok.

Keunggulan konseling kelompok ialah dinamika interaksi sosial yang dapat

berkembang dengan intensif dalam suasana kelompok yang justru tidak dapat

dijumpai dalam konseling perorangan.


19

Senada dengan teori di atas, Latipun (2005: 118) mengemukakan

pengertian konseling kelompok merupakan salah satu bentuk konseling dengan

memanfaatkan kelompok untuk membantu, memberi umpan balik (feedback)

dan pengalaman belajar. Konseling kelompok dalam prosesnya menggunakan

prinsip-prinsip dinamika kelompok (group dynamic).

Selanjutnya Natawidjaja (2007: 7) mengemukakan konseling kelompok

(group counseling) sebagai suatu proses pertalian (interpersonal relationship)

antara kemampuan konseli untuk menghadapi dan mengatasi persoalan atau hal-

hal yang menjadi kepedulian masing-masing konseli melalui pengembangan

pemahaman, sikap, keyakinan, dan perilaku konseli yang tepat dengan cara

memanfaatkan suasana kelompok.seorang atau beberapa konselor dengan

sekelompok konseli yang dalam proses pertalian itu konselor berupaya

menumbuhkan dan meningkatkan.

Shertzer & Stone dalam Wibowo (2005: 32) mengemukakan pengertian

konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis yang

terpusat pada pemikiran dan perilaku yang disadari. Proses itu mengandung ciri-

ciri terapeutik seperti pengungkapan pikiran dan perasaan secara leluasa,

orentasi pada kenyataan, pembukaan diri mengenai perasaan-perasaan

mendalam yang dialami, saling percaya, saling perhatian, saling pengertian dan

saling mendukung.

Corey dalam Maba (2018: 14) menyatakan bahwa konseling kelompok

adalah proses bantuan berorientasi masalah yang diberikan kepada anggota


20

untuk menemukan kekuatan untuk meringankan masalah yang berasal

dari interaksi dinamis dalam kelompok.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konseling

kelompok adalah konseling perorangan yang dilaksanakan dalam suasana

kelompok yang didalamnya terdapat interaksi antara konselor dengan klien

dalam upaya menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan konseli untuk

menghadapi dan mengatasi persoalan dalam rangka memecahkan permasalahan

yang dialami oleh klien.

2.2.2 Fungsi Konseling Kelompok

Nurihsan (2007: 49) mengatakan bahwa konseling kelompok bersifat

pencegahan dan penyembuhan. Konseling kelompok bersifat pencegahan dalam

arti bahwa individu yang dibantu mempunyai kemampuan normal atau

berfungsi secara wajar di masyarakat, tetapi memiliki beberapa kelemahan

dalam kehidupanya sehingga mengganggu kelancaran berkomunikasi dengan

orang lain. Sedangkan konseling kelompok bersifat penyembuhan dalam

pengertian membantu individu untuk dapat keluar dari persoalan yang

dialaminya dengan cara memberikan kesempatan, dorongan, juga pengarahan

kepada individu untuk mengubah sikap dan perilakunya agar selaras dengan

lingkungannya.

Adhiputra dalam Lubis dan Hasnida (2016: 54) menyebutkan bahwa

secara konseptual konseling kelompok merupakan upaya bantuan kepada

individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan pengembangan,


21

dan diarahkan kepada pemberian kemudahan dalam rangka pertumbuhan dan

perkembangannya.

Berdasarkan penjelasan fungsi konseling kelompok di atas dapat

disimpulkan bahwa konseling kelompong memiliki fungsi dalam hal

memberikan pemahaman, fungsi pencegahan, fungsi penyembuhan, fungsi

pengembangan, fungsi penyaluran, fungsi adaptasi, fungsi fasilitasi, fungsi

pemeliharaan dan fungsi perbaikan.

2.2.3 Tujuan Konseling Kelompok

Kurnanto (2013: 12) menjelaskan tujuan pelaksanaan konseling kelompok

bagi konseli adalah dapat mengembangkan berbagai keterampilan yang pada

intinya meningkatkan, berbagai macam keterampilan dalam mengelola diri

maupun keterampilan berinteraksi dengan orang lain seperti kepercayaan diri

(self confidence) dan kepercayaan terhadap orang lain.

Corey (Natawidjaja, 2007: 8) menjelaskan konseling kelompok memiliki

maksud-maksud preventif dan juga remedial. Ini artinya bahwa konseling

kelompok dimaksudkan memberikan bantuan yang sifatnya pencegahan agar

klien tidak mengalami suatu masalah dan ketika klien sudah mengalami masalah

maka tujuan konseling kelompok bersifat memperbaiki atau mengatasi

permasalahan yang dialami klien.

Selain itu krumboltz dalam Lubis dan Hasnida (2016: 55) menyebutkan

tujuan konseling kelompok terbagi menjadi tiga jenis, yakni sebagai berikut:

1. Mengubah penyesuaian tingkah laku yang salah. Penyesuaian perilaku

yang salah adalah perilaku yang secara psikologis mengarah pada perilaku
22

patologis. Penyesuaian perilaku yang salah inilah yang akan dirubah

menjadi perilaku yang sehat yang tidak mengandung indikasi adanya

hambatan atau kesulitan mental.

2. Belajar membuat keputusan. Belajar membuat keputusan tidak mudah

dilakukan oleh klien padahal hal tersebut harus dilakukan sebagai bagian

dari tujuan konseling.

3. Mencegah timbulnya masalah. Tujuan konseling adalah mencegah agar

masalah tidak menimbulkan hambatan dikemudian hari, mencegah agar

masalah yang dihadapi cepat terselesaikan, dan mencegah agar masalah

tidak menimbulkan gangguan.

Sedangkan Wibowo (2005: 20) mengemukakan tujuan dari konseling yaitu

pengembangan pribadi, pembahasan dan pemecahan masalah pribadi yang

dialami oleh masing-masing anggota kelompok, agar terhindar dari masalah dan

masalah terselesaikan dengan cepat melalui bantuan anggota kelompok yang

lain.

Sukardi (2002: 49) mengemukakan tujuan pelaksanaan konseling

kelompok meliputi: 1) melatih anggota kelompok agar berani berbicara dengan

orang banyak, 2) melatih anggota kelompok dapat bertenggang rasa terhadap

teman sebayanya, 3) dapat mengembangkan bakat dan minat masing-masing

anggota kelompok dan 4) mengentaskan permasalahan-permasalahan kelompok.

Jadi tujuan utama konseling kelompok adalah :

1. Melatih anggota kelompok untuk berani berbicara;

2. Mencegah dan mengatasi masalah yang dialami oleh anggota kelompok;


23

3. Mengembangkan sikap tenggang rasa diantara sesama anggota kelompok;

4. Mengembangkan minat dan bakat yang dimiliki masing-masing anggota

kelompok, dan

5. Membantu anggota kelompok menumbuhkan dan mengembangkan

kemampuan dan kemandirian konseli dalam menyelesaikan persoalan-

persoalan atau tantangan-tantangan perkembangan yang dihadainya kini dan

persoalan serupa dimasa yang akan datang.

2.2.4 Manfaat Konseling Kelompok

Winer (Latipun, 2008: 183) mengemukakan interaksi kelompok memiliki

kelompok pengaruh untuk kehidupan individual karena kelompok dapat

dijadikan sebagai media terauoik, menurutnya interaksi kelompok dpat

meningkatkan pemahaman diri dan baik untuk perubahan tingkah laku

individual. George dan Cristiani dalam Latipun (2008: 183), manfaat

kelompok sebagai proses belajar dan upaya membantu klien dalam pemecahan

masalah-masalahnya sebagai berikut:

1. Konselor dapat memberikan layanan konseling kepada lebih banyak klien

2. Konseling kelompok menyediakan hubungan antara pribadi dimana untuk

bekerja pada klien masalah interpersonal memiliki kesempatan untuk

mempraktikan perilaku baru.

3. Klien memiliki kesempatan untuk mempraktekan perilaku baru.

4. Memungkinkan klien untuk menempatkan masalah mereka dalam perspektif

dan untuk memahami bagaimana mereka sama dan berbeda dari orang lain

satu sama lain.


24

5. Klien membentuk keterampilan sistem pendukung

6. Klien belajar komunikasi antar pribadi

7. Klien diberi kesempatan dengan baik menerima bantuan.

Natawidjaja (2007: 38), menyatakan manfaat konseling kelompok

sebagai berikut :

1. Dapat mengemukakan hal-hal yang penting bagi dirinya

2. Memperoleh balikan yang cepat dari anggota kelompok lain dan pimpinan

kelompok dalam mengelami suatu kesempatan untuk menguji suatu perilaku

baru

3. Meningkatkan kepercayaan diri.

4. Berdasarkan uraian dari beberapa ahli, maka dapat disimpulkan manfaat

layanan konseling kelompok yaitu agar anggota kelompok memperoleh

pemahaman tentang dirinya, orang lain dan lingkungannya dan mampu

menentukan pilihannya secara tepat, arif dan bijaksana.

2.2.5 Struktur Layanan Konseling Kelompok

1. Jumlah Anggota Kelompok

Yalom (Latipun, 2008: 123) menjelaskan konseling kelompok umumnya

beranggota berkisar antara 4 sampai 12 orang. Berdasarkan berbagai hasil

penelitian menunjukan bahwa apabila jumlah anggota kelompok kurang dari 4

orang dinamika kelompok menjadi kurang hidup, sebaliknya jika anggota

kelompok lebih dari 12 orang maka konselor akan kewalahan mengelola

kelompok karena jumlah anggota terlalu banyak.


25

Lubis dan Hasnida (2016: 78) menjelaskan dalam menentukan jumlah

anggota kelompok, konselor dapat menetapkannya dengan mempertimbangkan

kemampuan dan pertimbangan keefektivan proses konseling. Sebagai

kesimpulan dari teori diatas dalam penelitian ini konseling kelompok dapat

dilakukan dengan jumlah peserta minimal empat (4) orang dan maksimal

delapan (8) orang dan dalam pemilihan peserta kelompok, dilakukan dengan

mempertimbangkan karakteristik peserta agar tidak mengganggu proses

konseling.

Sedangkan menurut Hartinah (2009: 86) menjelaskan terdapat setidaknya

5 hal yang harus diperhatikan yaitu : Hubungan antar anggota kelompok, tujuan

bersama, adanya hubungan langsung antara basar kelompok dengan sifat

kehidupan kelompok, itikad dan sikap para anggota dan kemandirian anggota

kelompok.

2. Hubungan Antara Anggota Kelompok

Saling dinamis antara anggota kelompok berarti masing-masing anggota

tersebut berkepentingan untuk terlibat dalam suasana hubungan tersebut,

khususnya suasana perasaan yang tumbuh di dalam kelompok seperti rasa

diterima atau ditolak, rasa cinta atau benci, rasa berani atau takut, semua

menyangkut reaksi atau tanggapan anggota berdasarkan keterlibatan saling

hubungan.

3. Tujuan Bersama
26

Para anggota kelompok dalam hal ini perlu merumuskan secara bersama

tujuan kelompok yang hendak dicapai. Tujuan tersebut harus kongkrit dan jelas

sehingga proses menuju pencapaian tersebut menjadi jelas bag semua anggota.

4. Sifat kelompok

Lubis dan hasnida (2016: 79) menyebutkan ada dua macam sifat kelompok

yang terdapat dalam konseling kelompok, yaitu: (a) Sifat terbuka, dikatakan

sifat terbuka karena pada kelompok ini dapat menerima kehadiran anggota baru

satiap saat sampai batas yang telah ditetapkan, (b) Sifat tertutup, bersifat

tertutup maksudnya adalah konselor tidak memungkinkan masuknya klien baru

untuk bergabung dalam kelompok yang telah terbentuk.

5. Adanya hubungan langsung antara basar kelompok dengan sifat kehidupan

kelompok

Konseling kelompok sangat berbeda dalam hal keanggotaan terutama dari

besaran anggota kelompok. Dalam bimbingan kelompok anggota dapat

mencapai siswa dalam jumlah satu kelas sedangkan dalam konseling kelompok

jumlah anggota kelompok jumlahnya dibawah 10 orang. Jumlah anggota

kelompok yang sedikit sangat berkaitan dengan efektifitas pelaksanaan

konseling kelompok.

6. Itikad dan sikap para anggota

Itikad baik dalam arti tidak mau menang sendiri, tidak sekedar

menanggapi dan menyerang pendapat anggota kelompok yang lain adalah hal

yang penting. Para anggota kelompok perlu mengembangkan sikat memberikan


27

kesempatan yang cukup bagi anggota kelompok dalam mengemukakan

pendapatnya.

7. Kemandirian anggota kelompok

Salah satu tujuan konseling kelompok adalah membentuk sikap mandiri

anggota. Setiap anggota kelompok memiliki peranan dalam mengembangkan

dan mewujudkan kemandirian masing-masing dan juga membantu anggota

lainnya untuk mencapai kemandiriannya.

8. Waktu pelaksanaan

Lubis dan Hasnida (2016: 80) menjelaskan batas akhir pelaksanaan

konseling kelompok sangat ditentukan seberapa besar permasalahan yang

dihadapi kelompok. Secara alami masalah yang tidak terlalu kompleks

membutuhkan penanganan masalah yang lebih cepat bila dibandingkan dengan

masalah yang kompleks dan rumit

Sedangkan Latipun (2008: 124) menjelaskan secara umum konseling

kelompok yang bersifat jangka pendek (short term group counseling)

membutuhkan waktu pertemuan 8 sampai 20 pertemuan, dengan frekuensi

pertemuan antara satu sampai tiga kali dalam seminggunya, dan dari durasinya

antara 60 sampai 90 menit setiap pertemuan.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dalam penelitian ini

konseling kelompok akan dilaksanakan dengan menggunakan sifat kelompok

terbuka dan intensitas pertemuan minimal sebanyak 5 kali, frekuensi pertemuan

3 kali dalam seminggu dengan durasi selama 60 menit.

2.2.6 Dinamika dalam Konseling Kelompok


28

Kelompok yang baik adalah apabila dalam kelompok tersebut diwarnai

oleh semangat tinggi, dinamis, hubungan yang harmonis, kerjasama yang baik,

serta saling mempercayai diantara anggota kelompok. Dalam konseling

kelompok pun seharusnya terjadi hal tersebut dan akan terwujud jika para

anggota saling bersikap sebagai kawan, menghargai, mengerti, dan menerima

tujuan bersama (Hartina, 2009: 62).

Dinamika kelompok adalah merupakan jiwa yang menghidupkan dan

menghidupi suatu kelompok (Prayitno, 2004: 23). Melalui dinamika kelompok

setiap anggota kelompok diharapkan dapat dan mampu tegak sebagai perorangan

yang sedang mengembangkan dirinya dalam hubungannya dengan orang lain.

Hal terebut berarti bahwa kedirian seseorang lebih ditonjolkan daripada

kehidupan kelompok secara umum.

Beberapa aspek dinamika kelompok menurut Hartinah (2009: 64) yaitu

komunikasi dalam kelompok, konflik dalam kelompok, kekuatan dalam

kelompok, kohesi kelompok, pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.

Sedangkan Glading (Natawidjaja, 2007: 68) menggamarkan dinamika

kelompok sebagai kekuatan dalam kelompok yang mungkin menguntungkan

atau merugikan. Dengan memahami kekuatan yang ada dalam kelompok,

pemimpin dapat melihat sifat-sifat kelompok dan bagaimana interaksi antara

para anggota kelompok dan juga dengan pemimpin kelompok. Dinamika

kelompok dipengaruhi oleh harapan-harapan dalam anggota, derajat pemahaman

anggota tentang bagaimana harus bertingkah laku dalam kelompok adalah juga

faktor yang dapat mengembangkan dinamika kelompok


29

2.2.7 Peranan dan Keterampilan Pemimpin Kelompok

Hartinah (2009: 125) menjelaskan 6 peranan pemimpin kelompok dalam

konseling kelompok yaitu.

“1) pemimpin kelompok dapat memberikan bantuan, pengarahan, ataupun

campur tangan langsung terhadap kegiatan kelompok. Campur tangan

tersebut meliputi hal-hal yang bersifat isi dari yang dibicarakan dan

proses kegiatan itu sendiri; 2) pemimpin kelompok memusatkan

perhatian pada suasana perasaan yang berkembang dalam kelornpok

itu baik perasaan anggota-anggota tertentu maupun keseluruhan kelompok.

Pemimpin kelompok dapat menanyakan suasana perasaan yang dialami

itu; 3) jika kelompok tersebut tampaknya kurang menjurus ke arah yang

dimaksudkan, pemimpin kelompok perlu memberikan arah yang

dimaksudkan; 4) pemimpin kelompok juga perlu memberikan tanggapan

(umpan balik) tentang berbagai hal yang terjadi dalam kelompok: baik

yang bersifat isi maupun proses kegiatan kelompok; 5)Pemimpin

kelompok juga diharapkan mampu mengatur lalu lintas kegiatan

kelompok sebagai pemegang aturan permainan (menjadi pendamai,

mendorong kerjasama, dan kebersamaan); dan 6) selain itu, pemimpin

kelompok harus bertindak sebagai penjaga agar apapun yang terjadi di

dalam kelompok tidak merusak ataupun menyakiti satu orang atau

lebih anggota kelompok sehingga ia atau mereka menjadi menderita

karenanya. Sifat kerahasiaan dari kegiatan kelompok tersebut dengan


30

segenap isi dan kejadian-kejadian yang timbul di dalamnya juga menjadi

tanggung jawab pemimpin kelompok”.

Corey dalam Natawidjaja (2007: 86) menjelaskan bahwa pada dasarnya

pemimpin kelompok mempunyai peranan memfasilitasi interaksi antara para

anggota kelompok, membantu mereka saling belajar, membantu anggota

membangun tujuan pribadi, dan mendorong mereka menerjemahkan wawasan

menjadi rencana kongkret yang melibatkan mereka dalam mengambil tindakan

diluar kelompok.

Dalam penjelasannya tersebut, Corey menyatakan sekurang-kurangnya ada

4 peran utama pemimpin kelompok yaitu: 1) memfasilitasi terjadinya proses

interaksi diantara sesama anggota kelompok, 2) pemimpin kelompok juga

beupaya membantu para anggota kelompok untuk saling belajar satu sama

lainnya khususnya interpersonal learning, 3) membantu anggota kelompok

mengembangkandan merumuskan tujuan-tujuan pribadinya masing-masing juga

merupakan bagian tak terpisahkan dari fungsi dan peran utama pemimpin

kelompok, dan 4) pemimpin kelompok perlu mendorong para anggota kelompok

untuk menterjemahkan wawasan dan pemikiran mereka hingga menjadi rencana

yang kongkrit serta melibatkan tindakan dan upaya di luar kelompok.

Berikutnya tentang keterampilan pemimpin kelompok adalah sebagai

berikut.

Natawidjaja (2007:89) menjelaskan beberapa keterampilan yang harus

dimiliki oleh pemimpin kelompok sebagai berikut.

1. Pengalaman individu.
31

2. Pengalaman dengan kelompok.

3. Merencanakan dan mengorganisir keterampilan.

4. Pengetahuan mengenai topik.

5. Pengetahuan yang baik tentang masalah dan dilema manusia, dan

6. Pemahaman yang baik tentang teori konseling.

Menurut Hartinah (2009: 124) mengemukakan, agar konseling kelompok

dapat berjalan dengan efektif maka seorang pemimpin kelompok perlu

menguasai keterampilan sebagai berikut.

1. Kehendak mempelajari dan usaha untuk mengenal dan mempelaja dinamika

kelompok, fungsi-fungsi konselor, dan hubungan yang bai antar orang-orang

di dalam suatu kelompok.

2. Kesediaan menerima orang lain, yaitu orang-orang yang menjad anggota

kelompok, tanpa pamrih pribadi.

3. Kehendak untuk dapat didekati dan membantu tumbuhnya hubunga yang

baik antar anggota kelompok.

4. Kesediaan menerima berbagai pandangan dan sikap yang berbeda.

5. yang barangkali sangat berlawanan dengan pandangan pemimpi kelompok

(konselor).

6. Pemusatan perhatian terhadap suasana perasaan dan sikap seluruh

7. anggota kelompok dan konselor sendiri.

8. Penimbulan dan pemeliharaan hubungan yang baik antar-anggota

kelompok.
32

9. Pengarahan yang teguh demi tercapainya tujuan bersama yang telah

ditetapkan.

10. Keyakinan akan kemanfaatan proses dinamika kelompok sebagai

wahana untuk membantu para anggota.

11. Rasa humor, bahagia, dan rasa puas; baik yang dialami oleh konselor sendiri

maupun orang lain.

2.2.8 Tahapan Konseling Kelompok

Menurut Corey dan Yalom (Lubis dan Hasnida, 2016: 80) tahapan

konseling kelompok terbagi atas enam bagian, yaitu:

1. Prakonseling

Tahapan prakonseling dianggap sebagai tahap persiapan pembentukan

kelompok. Konselor akan menawarkan program yang dapat dijalalankan untuk

mencapai tujuan. Konselor juga perlu menekankan bahwa pada konseling

kelompok yang paling utama adalah keterlibatan klien untuk berpartisipasi

dalam keanggotaanya dan tidak sekedar hadir dalam kelompok.

2. Tahap Permulaan

Tahap ini ditandai dengan dibentuknya struktur kelompok. Adapun

manfaat dibentuknya struktur kelompok ini adalah agar anggota kelompok

dapat memahami yang ada dalam kelompok. Konselor dapat menegaskan

kembali tujuan yang harus dicapai dalam konseling. Hal ini agar klien sadar

akan makna kehadirannya terlibat dalam kelompok. Selain itu, klien

diperkenankan untuk memperkenalkan diri oleh ketua kelompok. Pada saat


33

inilah klien menjelaskan tentang dirinya dan tujuan yang ingin dicapainya

dalam proses konseling.

3. Tahap Transisi

Tahap ini disebut sebagai tahap peralihan. Hal umum yang sering terjadi

pada tahap ini adalah suasana ketidaksinambungan dalam diri masing-

masing anggota kelompok. Konselor diharapkan dapat membuka permasalahan

masing-masing anggota kelompok sehingga masalah tersebut dapat bersama-

sama dirumuskan dan diketahui penyebabnya. Walaupun anggota kelompok

mulai terbuka satu sama lain, tetapi dapat pula terjadi kecemasan, resistensi,

konflik dan keengganan anggota kelompok membuka diri. Oleh karena itu,

konselor harus dapat mengontrol dan mengarahkan anggotanya untuk merasa

nyaman.

4. Tahap Kerja

Tahap kerja sering disebut tahap kegiatan. Tahap ini dilakukan setelah

permasalahan anggota kelompok diketahui penyebabnya sehingga konselor

dapat melakukan langkah selanjutnya, yaitu menyusun rencana tindakan. Pada

tahap ini anggota kelompok diharapkan telah membuka dirinya lebih jauh dan

menghilangkan defensifnya, adanya perilaku modelling yang diperoleh

dari tingkah laku baru serta belajar untuk bertanggung jawab dari tingkah

lakunya. Akan tetapi, pada tahap ini dapat saja terjadi konfrontasi antar

anggota dan transferensi. Dan peran konselor dalam hal ini adalah berupaya

menjaga keterlibatan dan kebersamaan anggota kelompok secara aktif.

5. Tahap Akhir
34

Tahap ini adalah tahapan dimana anggota kelompok mulai mencoba

perilaku baru yang telah mereka pelajari dan dapatkan dari kelompok. Umpan

balik adalah hal penting yang sebaiknya dilakukan oleh masing-masing

anggota kelompok. Hal ini dilakukan untuk menilai dan memperbaiki perilaku

kelompok apabila belum selesai. Oleh karena itu, tahap akhir ini dianggap

sebagai tahap melatih diri klien untuk melakukan perubahan. Konselor dapat

memastikan waktu yang tepat untuk mengakhiri proses konseling. Apabila

anggota kelompok merasakan bahwa tujuan telah tercapai dan telah terjadi

perubahan perilaku, maka proses konseling dapat segera diakhiri.

6. Pasca konseling

Pada tahap ini sebaiknya konselor menetapkan adanya evaluasi sebagai

bentuk tindak lanjut dari konseling kelompok. Konselor dapat menyusun

rencana baru atau melakukan perbaikan pada rencana yang dibuat sebelumnya.

Atau dapat melakukan perbaikan pada cara pelaksanaanya.

Wibowo (2005: 86) mengemukakan ada 4 tahapan dalam konseling

kelompok sebagai berikut.

1. Tahap Permulaan (begining stage), pada tahapan ini yang terjadi meliputi:

perkenalan antar anggota kelompok dan pemimpin kelompok, pelibatan diri

anggota kelompok dalam kegiatan konseling kelompok, menyusun agenda

dan tujuan yang akan dicapai, membuat dan menyepakati norma kelompok

dan penggalian ide dan perasaan.

2. Tahap Transisi (transition stage), masa ini ini merupakan kelanjutan dari

tahap pembentukan. Yang harus dilakukan pemimpin kelompok adalah


35

membantu anggota kelompok untuk mengenali dan mengatasi hambatan,

kegelisahan, keengganan, sikap mempertahankan diri dan ketidaksabaran

yang timbul pada saat ini.

3. Tahap Kegiatan (working stage), pada tahap ini anggota kelompok belajar

hal-hal baru, melakukan diskusi tentang berbagai topik, atau melakukan

saling berbagi rasa dan pengalaman. Anggota kelompok mulai menjalankan

agenda yang telah ditetapkan, mereka mulai mengubah perilaku yang kurang

sesuai dengan yang dikehendakinya, proses kerja kelompok berjalan sesuai

dengan kadar masalah yang dialami anggota, pada tahap ini kelompok benar-

benar mengarah pada tujuan yang ingin dicapai. Tahap ini dapat dianggap

berhasil jika semua solusi yang dipertimbangkan dan diuji menurut

konsekuensinya dapat diwujudkan.

4. Tahap Pengakhiran (termination stage), pada tahap ini yang terpenting adalah

menjelaskan arti dari pengalaman mereka dan membuat keputusan mengenai

tingkah laku mereka yang mereka inginkan untuk dilakuka di luar kelompok

dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan menurut Natawidjaja (2007: 117), tahapan konseling kelompok

meliputi : tahap awal, tahap pertengahan, dan tahap akhir konseling. Pada tahap

awal merupakan tahap perkenalan dan memasukkan anggota kelompok

kedalamsatu kelompok, pada tahap awal ini juga perlu untuk merencanaan

metode untuk mencapau tugas utama dan memperhatikan hubungan sosial dalam

kelompok. Kemudian pada tahap pertengahan ini kelompok mencoba untuk

menyelesaikan tujuan-tujuannya, dalam tahap ini konseli belajar materi-materi


36

baru, diskusi dengan baik tentang berbagai topik personal. Sedangkan pada

tahap pengakhiran ditujukan dan diarahkan pada review berbagai permasalahan

yang telah dilakukan hingga memperoleh poin-poin keputusan.

2.2.9 Kelebihan dan Kekurangan Konseling Kelompok

1 Kelebihan Konseling Kelompok

Winkel (2005: 594-595) menyatakan kelebihan konseling kelompok bagi

konseli, antara lain:

a. Terpenuhinya beberapa kebutuhan, antara lain kebutuhan untuk

menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya dan dapat diterima oleh

mereka, kebutuhan untuk bertukar pikiran dan berbagai perasaan, kebutuhan

menemukan nilai-nilai kehidupan sebagai pegangan; dan kebutuhan untuk

menjadi lebih independen serta lebih mandiri.

b. Dalam suasana konseling kelompok mereka mungkin merasa lebih mudah

membicarakan persoalan mendesak yang mereka hadapi daripada dalam

konseling individual; lebih rela menerima sumbangan pikiran dari seorang

rekan konseli atau dari konselor yang memimpin kelompok itu daripada bila

mereka berbicara dengan seorang konselor dalam konseling individual;

lebih bersedia membuka isi hatinya bila menyaksikan bahwa banyak

rekannya tidak malu-malu untuk berbicara secara jujur dan terbuka; lebih

terbuka terhadap tuntutan mengatur tingkah lakunya supaya terbina

hubungan sosial yang lebih baik, dan merasa lebih bergembir adalam hidup
37

karena menghayati suasana kebersamaan dan persatuan yang lebih

memuaskan bagi mereka daripada komunikasi dengan anggota keluarganya

sendiri. Dan

c. Bagi konselor manfaat dari konseli kelompok antara lain kesempatan untuk

mengobservasi perilaku para konseli yang sedang berinteraksi satu sama

lain; membuktikan dirinya sebagai orang yang bersedia melibatkan diri

dalam seluk beluk kehidupan orang muda dengan ikut berbicara sebagai

partisipan dalam diskusi dan bukan sebagai orang yang ingin berkuasa;

meyakinkan para konseli akan kegunaan layanan konseling, sehingga

diantara para konseli ada yang ingin melanjutkan hubungan dengan konselor

dalam wawancara konseling individual; dan dapat melayani lebih banyak

orang daripada bila hanya tersedia kesempatan untuk berkonseling secara

individual.

Wibowo (2005: 41), mengemukakan kelebihan konseling kelompok

cukup banyak yaitu.

a. Kepraktisan.

b. Anggota kelompok dapat berlatih perilaku baru.

c. Dalam konseling kelompok terdapat kesempatan luas untuk berkomunikasi

dengan teman-teman mengenai segala kebutuhan yang terfokus pada

pengembangan pribadi, pencegahan dan pengentasan masalah yang dialami

setiap anggota kelompok.

d. Anggota kelompok memiliki kesempatan untuk saling memberi bantuan,

menerima bantuan dan berempati dengan tulus dalam konseling kelompok.


38

e. Konseling kelompok memberikan kesempatan yang luas agar anggota

mempelajari keterampilan sosial baru.

f. Motivasi manusia bisa muncul dari kelompok kecil salah satunya melalui

konseling kelompok.

g. Konseling kelompok merupakan miniatur situasi sosial, sehingga individu

dapat mempelajari perilaku baru, mencoba, mempraktekkan dan menguasai

perilaku baru ini dalam situasi yang hampir sama dengan lingkungan.

h. Konseling kelompok sangat sesuai bagi siswa yang membutuhkan untuk

belajar lebih memahami orang lain dan lebih menghargai orang lain,

membutuhkan bertukar pikiran dan perasaan.

i. Melalui konseling kelompok individu mencapai hubungan dengan cara-cara

yang produktif dan inovatif.

j. Dalam konseling kelompok, interaksi antar individu antar anggota

kelompok adalah merupakan suatu yang khas yang tidak mungkin terjadi

dalam konseling individual.

k. Konseling kelompok dapat merubah wilayah penjajagan awal bagi anggota

kelompok untuk memasuki konseling individual.

Jadi kelebihan konseling kelompok yaitu kepraktisan, anggota kelompok

dapat berlatih dan mengembangkan perilaku yang diinginkan, antar anggota

kelompok dapat saling memotivasi, melatih keterampilan hubungan sosial yang

baru, dan dpat mengembangkan pola hubungn yng produktif dan inovatif.

a. Kekurangan Konseling Kelompok

Wibowo (2005: 47) mengemukakan beberapa kelemahan dari konseling

kelompok sebagai berikut.


39

“tidak semua siswa cocok berada dalam kelompok, tidak semua siswa

beredia untuk bersikap terbuka dan jujur mengemukakan isi hatinya

kepada teman-temannya dalam kelompok, persoalan pribadi satu atau

dua orang mungkin tidak mendapat perhatian dan tanggapan yang

cukup, siswa sering mengharapkan terlalu banyak dari kelompok, sering

kelompok bukan dijadikan sebagai sarana berlatih tetapi dijadikan

tujuan, peran konselor menjadi lebih menyebar dan kompleks, dan sulit

untuk dibina kepercayaan apalagi jika norma dan aturan kelompok

kurang jelas”.

Menurut Latipun (2005: 154-155), beberapa kelemahan konseling

kelompok adalah :

a. Setiap klien perlu berpengalaman konseling individual, baru bersedia

memasuki konseling kelompok.

b. Konselor akan menghadapi masalah lebih kompleks pada konseling

kelompok dan konselor secara spontan harus dapat memberi perhatian kepada

setiap klien.

c. Kelompok dapat berhenti karena masalah “proses kelompok”.

d. Kekurangan informasi individu yang mana yang lebih baik ditangani dengan

konseling kelompok dan yang mana yang sebaiknya ditangani dengan

konseling individual.

e. Seseorang sulit percaya kepada anggota kelompok, akhirnya perasaan, sikap,

nilai dan tingkah laku tidak dapat di “bawa” ke situasi kelompok.


40

Sedangkan menurut Winkel (2005: 593-595) kelemahan konseling

kelompok, yaitu :

a. Suasana dalam kelompok boleh jadi dirasakan oleh satu–dua anggota

kelompok sebagai paksaan moral untuk membuka isi hatinya seperti banyak

teman yang lain; padahal mereka belum siap atau belum bersedia untuk

sebegitu terbuka dan jujur, apalagi jika hal-hal yang akan dikatakan terasa

memalukan bagi dirinya sendiri.

b. Persoalan pribadi satu-dua anggota kelompok mungkin kurang mendapat

perhatian dan tanggapan sebagaimana mestinya, karena perhatian kelompok

terfokus pada suatu masalah umum atau karena perhatian kelompok terpusat

pada persoalan pribadi konseli yang lain; senagai akibatnya, satu-dua konseli

tidak akan merasa puas.

c. Bagi konselor sendiri pun lebih sulit memberikan perhatian penuh pada

masing-masing konseli dalam kelompok, karena perhatiannya mau tak mau

terbagi atas beberapa orang yang semuanya menuntut diberi porsi perhatian

yang wajar.

d. Khusus di Indonesia konselor dapat menghadapi kendala budaya yang

mempersulit kedudukannya sebagai partisipan dalam diskusi kelompok.

e. Ada siswa dan mahasiswa yang mengalami kesulitan untuk mengungkapkan

perasaan dan pikirannya secara terbuka (self-assertiveness) bila hadir

seseorang yang secara spontan dipandang sebagai pemegang otoritas

(authority figure).

Dapat disimpulkan bahwa kelemahahan konseling kelompok adalah

kondisi perindividu kurang memperoleh perhatian, adanya kendala budaya


41

yang sering muncul dan harus dilakukan oleh konselor yang benar-benar

terampil.

2.3 Penelitian Relevan

Beberapa penelitian yang telah lebih dulu dilakukan dan relevan dengan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Romadhony (2017) dengan judul Studi

Tentang Perilaku Vandalisme Serta Penanganannya pada Siswa di SMP

Negeri Se-kecamatan Sampang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya

penanganan dan hambatan yang dilakukan menangani vandalisme siswa di

sekolah yaitu pemberian layanan informasi secara klasikal mejadi cara

pertama dalam pemberian pemahaman dan pencegahan kepada siswa agar

tidak melakukan tindakan vandalisme disekolah, namun ada juga yang

memasukkan siswa kedalam ekstrakulikuler sebagai bentuk pencegahasn

sekolah dan pemberian skoring kepada siswa yang ditemui melakukan

vandalisme. Upaya pengentasan yang dilakukan yaitu dengan melakukan

konseling baik individu maupun kelompok dan jika diperlukan akan ada

pemanggilan orang tua. Upaya pemeliharaan yang dilakukan adalah

melakukan pemantauan dan memaksimalkan piket kelas. Adapun hambatan

yang ditemui menunjukkan hal yang sama yaitu kurangnya rasa memiliki

siswa sehingga siswa tidak ikut serta dalam menjaga kebersihan fasilitas

umum. Jadi salah satu upaya untuk mengatasi perilaku vandalisme siswa

yaitu melalui layanan konseling kelompok yang dilakukan oleh guru

bimbingan dan konseling.


42

2. Penelitian yang dilakukan oleh Aminuddin dan Kasanah (2017) dengan

judul Kreatifitas Media Bimbingan dan Konseling untuk Mengatasi Perilaku

Vandalisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam menggunakan

media konselor harus kreatif dalam penyampian atau pembuatan dan

pemilihan media agar pesan yang disampaikan tepat sasaran dan efisien.

Vandalisme adalah perilaku menyimpang yang memiliki karakteristik,

merusak, mengambil, mencoret atau menghilangkan keindahan pada suatu

tempat atau suatu benda. Di sekolah kita sering menjumpai meja yang

dicoret, bunga yang dipetik dan dinding yang diberi gambar-gambar tidak

bermakna. Itu adalah sebagian kecil pemandangan dari perilaku

vandalisme. Vandalisme terjadi karena kurangnya perhatian guru dan

aparatur sekolah sehingga anak-anak bebas melakukan ekspresinya dan

tidak dapat membedakan perbuatan mereka benar atau salah, di sisi

mereka itu adalah perbuatan yang kreatif namun dalam masyarakat

yang lebih luas itu perbuatan merusak dan menyimpang dari norma dan

tata tertib yang ada.

2.4 Kerangka Pikir

Vandalisme merupakan bentuk dari perilaku menyimpang yang sering

dilakukan oleh sekelompok anak remaja. Aksi vandalisme mungkin dinilai

sebagai bentuk ekspresi dan kreatifitas dalam berseni oleh pelakunya. Namun

kegiatan melukis di tempat umum seperti dilakukan di tembok pasar, boks

telepon umum, pagar, aksi pengambilan, aksi perusakan dan lain-lain dianggap

mengganggu bagi masyarakat karena merusak keindahan. Lase dalam Safitri


43

(2012: 107) mengemukakan ciri-ciri vandalisme yaitu (1) Vandalisme konflik,

(2) Leverage vandalism, (3) Curiosity vandalism, (4) Irresistible temptation

vandalism dan (5) No other way to d o it vandalism.

Perilaku vandalisme memiliki banyak penyebab seperti dikemukakan

oleh Salmah ( 2015: 15) yaitu: 1) pengaruh pergaulan dari teman-teman

sebaya, mereka merasa nyaman dengan teman-teman sebaya membuat subyek

mengikuti tindakan vandalisme, 2) karena pengaruh keluarga diantaranya: a)

kurangnya kasih sayang dan perhatian sehingga melakukan vandalisme sebagai

suatu tindakan pelarian, b) adanya kasih sayang yang berlebihan sehingga tidak

pernah melarang anaknya melakukan vandalisme, 3) pengaruh media masa

subyek melakukan vandalisme karena terpengaruh dari film dan video game,

4) adanya sikap masyarakat/lingkungan membiarkan vandalisme sehingga

vandalisme dianggap bebas karena belum ada teguran oleh lingkungan. Dalam

hal ini sebenarnya masyarakat juga tidak berkenan adanya tindakan

vandalisme, namun pada umumnya vandalisme dilakukan pada saat malam

hari yang tidak diketahui lingkungan, baru pagi hari masyarakat

mengetahuinya.

Goldstein (Widiastuti, 2010 : 6-8) menawarkan beberapa strategi

pencegahan vandalisme, salah satunya yaitu melalui pemberian konseling.

Dengan cara memberikan bimbingan langsung kepada mereka yang

memiliki kebiasaan melakukan tindakan vandalisme. Dapat juga dengan

melakukan publisitas, yaitu bisa digunakan untuk menginformasikan mengenai

suatu masalah publik seperti vandalisme melalui iklan anti vandalisme, poster,
44

slogan anti vandalisme, pin dan kaos bertuliskan anti vandalisme dan

sebagainya.

Pada SMP Negeri 17 Kendari, perilaku vandalisme juga dilakukan oleh

para siswa diantaranya adalah mencoret-coret meja dan kursi, dinding kelas,

tiang bangunan sekolah, pintu kelas dan fasilitas lainnya. Selain itu juga tidak

jarang siswa merusak fasilitas sekolah seperti menendang pintu, pot bunga,

melemparkan penghapus, spidol dan fasilitas fisik lainnya.

Perilaku vandalisme tersebut perlu ditangani dengan segera, oleh karena

itu peneliti bermaksud mengatasi masalah vandalisme oleh siswa melalui

konseling kelompok. Konseling kelompok adalah suatu kegiatan yang

dilakukan oleh sekelompok orang dengan memanfaatkan dinamika kelompok

yang dengannya semua peserta dalam kegiatan kelompok saling berinteraksi,

bebas mengeluarkan pendapat, menanggapi, memberi saran, dan lain

sebagainya. Dengan adanya interaksi tersebut diharapkan terdapat proses

bantuan dalam meringankan maupun mengatasi kesulitan belajar yang dialami

oleh siswa (Prayitno dalam Purwanita, 2012: 3).

Dengan diberikan konseling kelompok maka siswa menyadari bahwa

vandalisme yang selama ini dilakukannya adalah perilaku yang buruk karena

merusak fasilitas sekolah dan juga tentu akan merugikan orang lain. Selain itu

siswa dapat mengarahkan kreativitasnya pada hal-hal yang positif yaitu dengan

menyalurkan pada hal-hal yang positif.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan kerangka piker berikut ini.

Bagan 2.1
45

Kerangka Pikir Penelitian

Vandalism Konseling Vandalism


e Tinggi Kelompok e Rendah

2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir penelitian di atas dapat dirumuskan hipotesis

penelitian yaitu “Layanan bimbingan kelompok berpengaruh terhadap perilaku

vandalisme siswa SMP Negeri 17 Kendari.


46

DAFTAR PUSTAKA

Aminudin, Mayong TW & Kasanah, Uswatun. 2017. Kreativitas Media


Bimbingan dan Konseling untuk Mengatasi Perilaku Vandalisme.
Prosiding SNBK: Vol.1 No.1 Mei 2017.
Elnadi, Isran. 2018. Vandalisme Koleksi di Unit Pelayanan Teknis (UPT)
Perpustakaan Universitas. Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi: Vol.2
No.1.
G. Roy Mayer. (1983). Preventing school vandalism and improving discipline: a
three year study. Journal of behavior analysis.

Hartinah, Sitti. 2009. Konsep Dasar Bimbingan Kelompok. Bandung: PT Replika


Aditama.
Kurnanto, M. Edi. 2013. Konseling Kelompok. Bandung: Alfabeta.
Lase, Jason. 2003. Pengaruh Lingkungan Keluarga Dan Sekolah Terhadap
Vandalisme Siswa. Jakarta: Program Pasca Sarjana FKIP Universitas
Indonesia.
Latipun. 2008. Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan. Malang : UMM Press.
Lumongga Lubis, Namora dan Hasmida. 2011. Memahami Dasar-dasar
Konseling Dalam Teori dan Praktik. Jakarta : Kencana Prenada Media
Group.
Natawidjaja, Rochman. 2007. Konseling Kelompok: Konsep Dasar dan
Pendekatan. Bandung: Rizqi Press.
Nurihsan, Ahmad Juntika. 2007. Bimbingan dan Konseling Dalam Berbagai
Latar Kehidupan. PT. Refika Aditama.
47

Prayitno dan Amti, Erman. 2004. Layanan bimbingan dan konseling kelompok.
Padang: Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan.
Prayitno. 2004. Buku Seri Bimbingan dan Konseling Layanan Bimbingan
dan Konseling Kelompok (Dasar dan Profil). Jakarta : Ghalia Indonesia.
Romadhony, Muhammad Tsabit. 2017. Studi Tentang Perilaku Vandalisme Serta
Penanganannya Pada Siswa Di Smp Negeri Se-Kecamatan Sampang.
Jurnal BK Unesa: vol.7 no 1. 2017.
Simanjuntak, Natanael. 2012. Kemunculan Vandalisme dan Kemunculan Seni
Grafitti di Ruang Bawah Jalan Layang. Jakarta: Skripsi UI.
Safitri, Ani. 2018. Pengaruh Budaya Hedonisme Terhadap Timbulnya
Vandalisme Siswa Smk Tri Dharma 3 Dan Smk Yktb 2 Kota Bogor. Jurnal
Teknologi Pendidikan Vol. 1. No. 2 Juli 2012
Salmah Sri, 2015. Perilaku Vandalisme Remaja di Yogyakarta. Jurnal Media
Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, 39 ( 1), 15- 29.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D). Bandung: CV. Alfabeta.
Suhardi, 2018. Model Manajemen Pendidikan Karakter (Studi Kasus Vandalism
Siswa Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah 10 Wedi Klaten). Surakarta:
IAIN Surakarta.
Sukardi, Dewa Ketut . 2002. Manajemen Bimbingan dan konseling di Sekolah.
Bandung: Alfabeta. 
Thawabieh, Ahmad Mahmoud dan Mohammed.Ahmad Al-rofo. (2010).
Vandalism at Boys Schools in Jordan. Int J Edu Sci, 2 (1), 41-46.

Wibowo, Mungin Eddy. 2005. Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang:


UPT Unnes Press.
Widiastuti, Wahyu. 2010. Strategi Peningkatan Kepedulian Mahasiswa Terhadap
Fasilitas Belajar Mengajar. Jurnal Akses: Vol.7 No.2 Hal 72-151.
Winkel, WS dan Hastuti, Sri. 2007. Bimbingan dan Konseling di Institusi
Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi.

https://id.wikipedia.org/wiki/Vandal

Anda mungkin juga menyukai