Anda di halaman 1dari 3

Syahril Gunawan Bitu

B011171120

Tugas Hukum Pajak

Pengaturan Parkir di Kota Makassar masih terus menjadi persoalan. Kebijakan Smart


Parking Pemerintah Kota Makassar, seperti pemberlakukan Terminal Parking Elektronik
(TPE), tidak menjadi solusi dalam penerapannya, khususnya bagi Juru Parkir. Perusahaan
Daerah (PD) Parkir Makassar Raya, sebagai pengelolah parkir tepi jalan umum, mengalami
banyak persoalan, baik dari segi kebijakan maupun management kelembagaan hingga persoalan
dugaan Korupsi.
PD Parkir sebagai Perusahaan Daerah, diberikan kewenangan mengelolah Parkir Tepi
Jalan (Perda No. 17 Tahun Tentang Parkir Tepi Jalan). Walaupun pada prakteknya, PD Parkir
berdasarkan pengamatan lapangan, dibeberapa titik sering kali memungut retribusi hingga ke
area Front Toko yang sebenarnya telah ditarik pajak sebesar 30% setiap bulannya oleh Badan
Pendapatan Daerah (Bapenda).
TPE telah diberlakukan di beberapa titik di Wilayah Makassar sejak bulan Maret 2019
lalu, PD Parkir menggandeng pihak ketiga (Swasta) – PT. Kinarya dalam
pengelolaan TPE sehingga mengubah status hubungan Juru Parkir dengan Perusda ini yang
tadinya mitra menjadi karyawan dari PT. Kinarya. Para Juru Parkir yang telah dipaksa
menggunakan TPE, diupah hanya sebesara Rp. 50.000/hari atau 1.500.000,-/bulan, dengan
tekanan target setoran sebesar 200.000,-/hari.
Apabila setoran mereka tidak mencapai tarket konsekuensinya Juru Parkir akan terkena
Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak. Bahkan terdapat Juru Parkir yang harus berhenti
akibat tidak tahu mengoperasikan alat Parkir, yang membuktikan jika kebijakan ini sangatlah
dipaksakan dan merugikan Juru Parkir yang telah bertahun tahun mengelolah Parkir yang ada,
bahkan sebelum PD Parkir dilahirkan sebagai Perusda Kota Makassar.
Kebijakan TPE ini, dianggap tidak memberikan kesejahteraan pada Juru Parkir, yang
justru merampas ruang penghidupan mereka selama ini, yang pada dasarnya PD Parkir tidak
pernah menyediakan lahan parkir dan hanya meng-klaim lahan yang sudah dikelolah Juru Parkir
selama ini. Belum lagi masalah tarif setoran parkir diberbagai lokasi terus mengalami kenaikan
hingga Rp. 50.000,-, dari Rp. 200.000,- menjadi Rp. 250.000,-/hari, bahkan dibeberapa titik
harus naik hingga Rp. 300.000,-/hari.
Ditambah lagi dengan seringnya terjadi penggembokan kendaraan parkir oleh dishub di
lahan parkir seperti yang terjadi di jalan Pengayoman, padahal Juru parkir menjalankan
perkerjaannya sesuai dengan Perda no 17 tahun 2006 yaitu parkir di tepi jalan dengan syarat
membayar retribusi kepada pihak PD parkir. PD parkir sebagai pihak penerima retribusi
perparkiran di Kota Makassar justru tidak bertanggung jawab dan malah menyalahkan juru
parkir. Belum lagi pembagian atribut yang tidak merata serta korupsi ditubuh PD. Parkir
Makassar Raya yang hingga hari ini belum menemukan titik terang.
PD Parkir Makassar Raya pada Rabu, 13 Februari 2020, kembali mengundang juru
parkir untuk melakukan sosialisasi terkait rencana pemasangan alat parkir elektronik oleh pihak
ketiga (swasta). Dalam sosialisasi tersebut, Juru Parkir menyampaikan penolakan terkait
rencana pemasangan alat parkir elektoronik, karena hal pemberlakuan TPE bukanlah solusi,
justru malah sudah terbukti menjadi masalah bagi Juru Parkir.
Berbagai aksi penolakan yang dilakukan juru parkir Makassar tak menghentikan
rencana PD Parkir yang memaksakan pemasangan alat parkir elektoronik. Sesuai rencana, alat
parkir elektoronik akan dipasang di dua jalan, yakni: Jalan Pengayoman dan Jalan Boulevard.
Sebanyak 182 titik parkir dan tukang parkir yang tersebar di jalan Boulevard dan Pengayoman
menolak rencana tersebut. Juru Parkir selama ini tidak pernah dilibatkan langsung dalam
menentukan kebikana parkir di Makassar, padahal merekalah salah satu tulang punggung yang
menyumbang Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar.
Faktanya adalah pemerintah mengambil kebijakan ini dikarenakan melihat potensi yang
tinggi dari sektor parkir ini sehingga mampu memberikan pemasukan yang lebih banyak lagi
bagi daerah, dan karena tidak terealisasinya retribusi parkir tepi jalan umum sesuai dengan
rencana, kebocoran diduga terjadi pada tingkatan juru parkir, hal lain yang memperburuk
kondisi ini, seperti adanya oknum lain yang menjadi juragan tidak resmi dari para juru parkir
juga menjadi alasan diambilnya kebijakan ini.
Pada banyak laman media pemerintah menyatakan bahwa pengambilan kebijakan ini
tidak serta merta menghilangkan profesi juru parkir namun yang tidak disebutkan adalah target
setoran yang harus dicapai para juru parkir yang jelas-jelas memberatkan mereka. Dari beberapa
fakta yang dipaparkan diatas sebenarnya dapat diambil jalur tengah agar kebijakan ini tetap
dapat dijalankan dan hak para juru parkir dapat dilindungi.
Menghilangkan setoran wajib para juru parkir seharusnya bisa menjadi langkah yang
tepat karena pada dasarnya juru parkir tidak menjadi faktor penentu banyak tidaknya pengguna
parkir. Memberikan sosialisasi terkait penggunaan penggunaan alat parkir elektronik juga akan
menghilangkan kekhawatiran para juru parkir yang beranggapan bahwa apabila tidak dapat
mengoperarisakn alat tersebut maka tidak akan dipekerjaan, selanjutnya para juru parkir yang
kemudian menjadi karyawan pihak swasta sebagaimana yang dipaparkan diatas dilindungi hak-
haknya melalui peraturan perusahaan yang memiliki dasar hukum yang jelas yakni uu
ketenagakerjaan, dan sebagaimana yang diatur dalam UU ketenagakerjaan bahwa para pekerja
dalam hal ini juru parkir wajib menerima upah sesuai UMP (upah Minimum Provinsi).

Anda mungkin juga menyukai