Adhitya Sigit Fanani - 201957049
Adhitya Sigit Fanani - 201957049
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Oleh:
ADHITYA SIGIT FANANI
201957049
Identitas nasional menunjukkan ciri suatu bangsa yang majemuk dan plural.
Kemajemukan itu terbentuk dari unsur-unsur pembentuk identitas yaitu suku
bangsa, agama, kebudayaan dan bahasa.
1. Suku Bangsa. Dilihat dari populasi suku bangsa Indonesia saat ini
diperkirakan lebih dari 210 juta orang. Suku yang terbanyak ialah suku Jawa
dan Melayu. Lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah suku jawa, hal
ini dapat dilihat dari kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Sisanya adalah
suku Makasar-Bugis (3,68%), Batak (2,04 %), Bali (1,88%), Aceh (1,44%).
Etnis seperti Tionghoa diperkirakan 2,8 %. Suku Dayak dan suku-suku
lainnya dapat dilihat pada suatu wilayah tertentu.
2. Agama. Islam, Katolik, Hindu, Bhuda dan Kong Hu Cu adalah agama yang
berkembang di Indonesia. Islam adalah agama yang paling banyak dianut
oleh masyarakat, yang dikenal dengan masyarakat agamis. Oleh karena itu
Indonesia adalah Negara multi agama, tidak heran Indonesia rawan terhadap
konflik agama dan disintegrasi bangsa.
3. Kebudayaan. Samalah halnya dengan agama, kebudayaan di Indonesia
dijadikan pedoman dan patokan dalam bertindak. Kebudayaan merupakan
patokan nilai-nilai etika dan moral, baik yang bersifat ideal maupun yang
operasional.
4. Bahasa. Sejak sumpah pemuda tahun 1928 diproklamerkan. Bahasa
Indonesia merupakan bahasa persatuan. Bahasa Indonesia merupakan
bahasa yang dikembangkan dari bahasa melayu dan menjadi bahasa
penghubung. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, bahasa Indonesia
menjadi bahasa Nasional.
Untuk menghindari perbedaan pertentangan maka dibentuk satu sistem yang
selaras (harmonis). Istilah ini dikenal di Indonesia adalah integrasi. Hal ini
diperlukan untuk keadilan, kesatuan dan persatuan pemerintah, tidak membedakan
ras, suku, agama dan bahasa. Keadilan kesatuan dan persatuan yang dibina adalah
untuk stabilitas politik, demi tercapainya Negara yang aman makmur dan tentram.
Konsep bhineka tunggal ika dirumuskan berdasarkan realitas sosio-kultural
masyarakat Indonesia.
1. Kesadaran untuk membangun masyarakat baru di atas unsurunsur etnisitas,
keagamaan, dan kedaerahan, sesungguhnya sudah berlangsung lama.
2. Berbagai pengalaman sejarah telah dialami bangsa Indonesia. Proses
pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia-pun telah lama
berlangsung. –
3. Simbolisasi historis dan sosio cultural “Bhineka Tunggal Ika” pada
dasarnya merupakan simbol dan identitas yang berakar dari sejarah dan
realitas sosial masyarakat Indonesia.
Telah lama dipahami bahwa struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh-oleh ciri
utama:
Pertama, secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan bahwa kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan suku, agama, adat istiadat dan kedaerahan.
Kedua, secara vertical, Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya
perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik antar etnis diberbagai kelompok
masyarakat dunia (bersifat mondial)- menurut Stephen Ryan.
1. Pertama : berakhirnya perang dingin disatu sisi membawa dampak Positif,
tetapi disisi lain mendorong konflik antar etnis dibanyak Negara ketiga.
2. Kedua : Pembangunan ekonomi yang tidak merata dalam suatu Negara
terdiri dari masyarakat mejemuk diyakini pula telah mendorong terjadinya
konflik etnis.
3. Ketiga : Permasalahan yang dialami oleh Negara sedang berkembang tidak
selalu menyangkut masalah ekonomi, tetapi lebih dari itu, juga kemampuan
membangun kesadaran kebangsaan sebagai suatu Negara-bangsa yang
bersatu.
Dalam ke-Bhineka-an, persoalan penting yang dihadapi bangsa Indonesia
adalah integrasi nasional. Integrasi diartikan dengan integrasi kebudayaan, integrasi
sosial dan pluralisme. Integrasi kebudayaan berarti penyesuaian antar dua atau lebih
kebudayaan (cultural traits) mereka yang berbeda atau yang bertentangan, agar
dapat dibentuk menjadi suatu sistem kebudayaan yang selaras (harmonis). Cara
penanggulangan konflik adalah melalui modifikasi dan koordinasi dari unsur-unsur
kebudayaan baru dan lama. Integrasi nasional merupakan penyatuan bagian-bagian
yang berbeda dari suatu masyarakat menjadi suatu keseluruhan yang lebih utuh atau
memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu
bangsa. Dalam arti ini integrasi sama dengan asimilasi dan pembaharuan atau
penyatupaduan dari kelompok masyarakat yang asalnya berbeda, menjadi suatu
kelompok besar dengan cara melenyapkan perbedaan dan jati diri masing-masing.
Pada masyarakat yang telah berbaur itu, perbedaan tersebut sudah tidak ada lagi.
Kelompok atau individuindividu yang masing-masing asalnya mempunyai
kebudayaan dan jati diri yang berbeda, menjadi suatu kelompok baru dengan
kebudayaan jati diri bersama. Untuk mewujudkan integritas nasional diiperlukan
kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku,
agama, bahasa dan sebagainya. Upaya dalam membangu keadilan, kesatuan dan
persatuan bangsa merupakan pembinaan stabilitas politik yang harus terwujud
dalam komposisi pemerintahan dan parlemen. Pada akhirnya persatuan dan
kesatuan bangsa inilah yang dapat lebih menjamin terwujudnya Negara yang
makmur, aman dan tentram.
9. Multikulturalisme dan Demokrasi Pancasila
Multikulturalisme dapat dipahami sebagai seperangkat idea atau gagasan yang
menghasilkan aliran yang berpandangan bahwa terdapat variasi budaya di dalam
masyarakat, perbedaan budaya tersebut perlu diakui dan dihormati, bukan hanya
perbedaan antar-budaya, tetapi juga dalam satu budaya. Multikulturalisme adalah
sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Sepanjang sejarahnya, bangsa Indonesia
berdiri kokoh karena ditopang oleh berbagai perbedaan. Dengan demikian,
perbedaan-perbedaan yang ada meliputi suku, ras, budaya, bahasa, agama,
golongan atau keanekaragaman lainnya menjadi tugas bangsa Indonesia untuk
menjaga, dan melestarikan segala perbedaan tersebut.
Istilah multikulturalisme itu sendiri mencakup tiga unsur, pertama terkait
dengan kebudayaan, kedua merujuk kepada pluralitas kebudayaan, ketiga adalah
cara tertentu untuk merespon pluralitas tersebut. Multikulturalisme lambat laun
menjadi kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan-perbedaan
kebudayaan warga negara Indonesia sehingga dikembangkan sikap toleran dan
menghargai kebudayaan lain yang menjadi inti bagi terwujudnya integrasi. Dengan
kata lain, toleransi, kerukunan, dan saling menghargai bukan datang dari
pemaksaan struktur-struktur seperti yang mungkin terjadi pada integrasi sosial
pluralisme, melainkan datang dari nilai-nilai budaya setiap masyarakat yang ada.
Namun, dalam kenyataan, perbedaan justru masih saja menjadi sumber konflik
yang masih tetap terjadi di beberapa tempat di Indonesia, terutama bila berhadapan
dengan kepentingan yang saling bertolak belakang antara satu kultur dengan kultur
yang lain. Maka dari itu, minimal akan disajikan beberapa point untuk
menunjukkan langka preventif dalam arti bukan menghilangkan sepenuhnya
persoalan miltikulturalisme, tetapi minimal meminimalisir persoalan tersebut:
yakni, perlunya multikulturalisme sebagai salah satu etika politik [dalam
perpolitikannya selalu diperjuangkan usaha untuk menjadikan multikulturalisme
sebagai sebuah kekayaan bangsa, karena itu harus dihargai], dan yang kedua adalah
perlunya terselenggaranya pendidikan berbasis multikulturalisme di berbagai
tempat di Indonesia.
Masalah multikulturalisme bisa dijelaskan dengan fakta bahwa setiap warga
negara jika dipandang sebagai subjek hukum bukanlah individu-individu abstrak
yang tercerabut dari akar-akar sosialnya. Pengakuan terhadap hak-hak budaya
kelompok etnis terutama golongan minoritas perlu diberikan sebagai prakondisi
menuju pembentukan warga negara yang bisa melampui identitas atniknya (post
ethnic condition). Cita-cita kedaulatan rakyat dalam semangat kekeluargaan yang
memberi ruang bagi multikulturalisme ini bergema kuat dalam sanubari bangsa
Indonesia sebagai pantulan dari pengalaman pahit penindasan kolonial dan tradisi
gotong-royong dalam masyarakat Indonesia.
Penciptaan suatu tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural adalah
sesuatu yang tidak mudah. Dalam ideologi multikulturalisme, kelompok-kelompok
budaya berada dalam kesederajatan, demokratis, dan toleransi yang sejati.
Masyarakat majemuk belum pasti dapat dinyatakan sebagai masyarakat
multikultural karena di dalamnya terdapat hubungan antar kekuatan masyarakat
yang memiliki bermacam-macam budaya yang tidak simetris yang hadir dalam
bentuk dominasi, hegemoni, dan konstestasi. Bagi masyarakat Indonesia yang telah
melewati reformasi, konsep masyarakat multikultural bukan hanya sebuah wacana,
tetapi konsep ini merupakan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena
dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
kesejahteraan masyarakat.
Keragaman budaya menjadi modal sekaligus petensi konflik. Keragaman
budaya pada dasarnya adalah memperkaya khasanah bangsa dan menjadi modal
berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun, dalam
kenyataannya kondisi aneka budaya sangat berpotensi memecah-belah dan menjadi
potensi bagi terjadinya konflik dan kecemburuan sosial (konflik yang
mengatasnamakan agama, antar suku, antar golongan, antar etnis, radikalisme, antar
ras), semakin mekarnya gejala primordialisme, sektarianisme, separatisme, gerakan
radikal islam atau isis yang menggugat pancasila yang berujung pada menipisnya
semangat nasionalisme kebangsaan.
Pancasila sebagai dasar negara dapat menjadi rujukan bersama dalam
kemajemukan dan perbedaan. Pancasila sebagai rujukan hidup bersama perlu
dioperasionalisasi:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Menerima kemajemukan tafsir atas sila tersebut, menjamin agar tidak ada
diskriminasi atas nama agama, menjamin kebebasan beragama dan pluralisme
ekpresi keagamaan.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab:
Menjaga persatuan bangsa berdasarkan semangat kemanusiaan, penegakan Hak
Asasi Manusia (HAM), menolak segala bentuk diskriminasi berdasarkan suku,
agama, ras, jender, umur, dan status sosial.
3. Persatuan Indonesia
Mengakui dan menghormati perbedaan budaya dengan mengupayakan
menguatnya perekat sosial hidup bersama.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan
Perwakilan.
Pembuatan komitmen dengan tidak ragu-ragu terhadap demokrasi. Demokrasi
sangat perlu ditegakkan dengan pasti, diperlukan pengembangan mekanisme
demokratis yang semakin nyata menyalurkan aneka aspirasi dan kepentingan
rakyat banyak.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Pengentasan kemiskinan serta kementasan segenap diskriminasi terhadap
minoritas perlu dihapus dari bumi Indonesia.
Pembentukan masyarakat multikultural Indonesia yang sehat
sebagaimana yang dicita-citakan pancasila tidak bisa secara atau trial and error,
namun sebaliknya diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan
berkesinambungan. Kemungkinan strategi penting dalam mencapai upaya di atas
adalah diadakan pendidikan multikulturalisme berwawasan kebangsaan yang
diselenggarakan dalam keluarga, masyarakat luas, sekolah, membangun sekolah
lintas suku, agama diberbagai daerah dengan melibatkan banyak orang, terlebih
khusus membangun sekolah multikulturalisme di daerah atau ditempat di mana
ada rawan konflik. Secara sederhana, pendidikan multikultural dapat
didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam
meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu
ataupun masyarakat secara keseluruhan.
Pendidikan multikulturalisme melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan
pandangan dasar bahwa sikap indifference dan recognition berakar tidak hanya
dari ketimpangan struktural rasial, paradigma pendidikan multikultural
mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan
keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang sosial,
budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Istilah pendidikan
multikultural dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif yang
menggambarkan isu-isu dan masalah pendidikan berkaitan dengan masyarakat
multikultural, yang mencakup subyek-subyek seperti toleransi, tema-tema
tentang perbedaan etnokultural, agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian
konflik dan mediasi, Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, pluralitas, dan
kemanusiaan yang universal.
10. Kontribusi Akademis terhadap Dampak Globalisasi
Globalisai di bidang budaya ditandai dengan kemajuan menuju
keseragaman. Dalam hal ini, media massa, terutama televisi, mengubah dunia
menjadi sebuah “dusun global”. Informasi dan gambaran peristiwa yang terjadi di
tempat yang sangat jauh dapat ditonton jutaan orang pada waktu hampir
bersamaan, sehingga pengalaman budaya, seperti selera, persepsi, dan pilihan
relatif sama. Di samping itu, muncul juga bahasa Inggris sebagai bahasa global
yang berperan sebagai alat komunikasi profesional di bidang bisnis, ilmu
pengetahuan, komputer, teknologi, transportasi, dan digunakan sebagai alat
komunikasi pribadi dalam berpergian. Di bidang teknologi komputer, program
yang sama digunakan di seluruh dunia sebagai pola umum dalam menyusun dan
memproses data serta informasi. Akhirnya, tradisi budaya pribumi atau lokal
semakin terkikis dan terdesak, serta menyebabkan budaya konsumen atau budaya
massa model Barat menjadi budaya universal yang menjalar ke seluruh dunia.
Budaya global juga ditandai dengan adanya integrasi budaya lokal ke dalam
suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi dasar
dalam pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan-
kebebasan ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam
kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan
memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Proses integrasi masyarakat ke
suatu tatanan global yang dianggap tidak terelakan inilah yang akan menciptakan
suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jaringan komunikasi internasional yang
begitu luas dengan batas-batas yang tidak begitu jelas. Dengan demikian, selain
arus orang dan barang, arus informasi merupakan suatu keuntungan dan sekaligus
suatu ancaman yang sangat berbahaya. Misalnya, terbentuknya diversitas,
pembentukan nilai jangka panjang, dan hilangnya humanitas perikemanusiaan.
Melalui internet, orang juga dengan bebas dapat mengakses gambar-gambar
tubuh manusia secara vulgar, dan bahkan dengan adegan-adegan yang dapat
merusak pikiran manusia. Fenomena globalisasi memang sudah tidak dapat
dihindari lagi oleh siapapun, kecuali dia sengaja mengungkung diri menjauhi
interaksi dan komunikasi dengan yang lain. Hanya saja yang perlu disadari dan
mendapat catatan, di samping globalisasi membawa manfaat, namun juga
mendatangkan madlarat. Oleh karena itu, harus pandai-pandai menyikapinya,
misalnya, jikalau nilai-nilai yang terdapat dalam globalisasi itu positif maka
tidaklah salah untuk mengambilnya, sebaliknya jika hal itu memang negatif maka
harus dapat membendungnya.
Sebagai akademisi yang memiliki wawasan serta integritas yang baik harus
mampu dalam menyikapi pengaruh-pengaruh globalisasi yang menginfiltrasi
budaya bangsa serta mengubah attitude masyarakat menjadi emosional.
Konstribusi yang dapat doitawarkan secara akademik adalah sebagai berikut:
1. Sosial Control Vs Kebijakan
Aktifitas dan gerakan mahasiswa harus disesuaikan dengan makna
etimologinya, maha dan siswa, tentunya memiliki makna yang besar dalam
memberikan sumbangsih terhadap lingkungan keluarga, sekolah maupun
masyarakat dan pemerintah. Seseorang yang sudah menyandang gelar
mahasiswa diharuskan secara mandiri dapat beradaptasi dan
melakukan control sosiologis dimanapun, kapanpun, dan dalam keadaan
apapun.
Peran mahasiswa sebenarnya yang juga sudah tercantum dalam Tri
Dhharma Perguruan Tinggi, yakni Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian di
Masyarakat. Dalam bidang pendidikan bukan hanya datang, masuk, duduk dan
diam, kemudian pulang, melainkan apa usaha sebagai seorang mahasiswa
dalam menganalisis dalam perkembangan kebijakan pendidikan, dan reform
geverment adalah bagaimana memberikan ide-ide dan gagasan-gagasan
melalui media koran, majalah, buletin baik terkait fenomena sosial yang aktual
dan faktual.
2. Agent of Chage Vs Problem Solver
Mahasiswa harus mampu menjadi pelopor gerakan
pembaharuan (reform movement) dalam bidang apapun, bukan hanya sesuai
dengan program studinya masing-masing, melainkan pembaharuan dalam
sistem, pola dan model gerakan sosial akademik kemahasiswaan yang sesuai
dengan kondisi dan keadaan yang ada. Inilah sebenar tantangan globalisasi
kepada bangsa Indonesia dengan menuntut mahasiwa untuk lebih aktif, kreatif
dan inovatif serta memiliki visi kedepan yang jelas dan sejelas-jelasnya untuk
masa depan anda. Konsep visioner dan futuristis itu sepertinya penting bagi
anda yang ingin sukses dimasa yang akan datang, sesuai apa yang pernah
disampaikan oleh dale carnagie bahwa salah satu ciri orang besar adalah selalu
berpikir di masa yang akan datang, bukan yang lalu atau sekarang, globalisasi
memberikan beberapa pilihan.
Mahasiswa mempunyai peran penting dalam ikut serta menyelesaikan
permasalahan dilingkungan masyarakatnya, lebih-lebih permasalahan yang
ada pada tingkat apartur pemerintah Indonesia saat ini yang belum secara
proporsional melaksanakan tugasnya dengan profesional. Secara keseluruhan
budaya kampus adalah budaya yang berakhlak mulia. Kampus semestinya
menjadi pelopor dari perubahan kebudayaan secara totalitas yang bukan hanya
nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga tempat persemaian dari
pengembangan nilai-nilai akhlak kemanusiaan. Selain berperan aktif sebagai
pelopor pembaharuan dalam kampus, mahasiswa juga harus tetap menjaga
nilai-nilai akhlaq dengan konsep memanusiakan manusia dalam arti bahwa
setiap mahasiswa punya hak dan kewajiban masing-masing dengan tetap
memberikan kesempatan secara profesional dalam ikut serta membangun
peradaban modern yang tetap menjunjung kultur akademik.
3. Keaktifan Berorganisasi
Salah satu upaya dalam membangun, mengasah dan mengembangkan
pola pikir, mental, public speaking, public relation, pengalaman akademik,
serta upaya strategis dan taktis guna mencapai puncak prestasi sebagai praktisi
kreatif, dengan menjadikan organisasi sebagai bagian wadah yang memiliki
visi dan misi jelas dan terarah dengan lebih komunikatif dan elegan.
Organisasi merupakan suatu wadah dalam mengembangkan skill dan
kompetensi diri dengan pola pikir yang lebih maju, kritis, adaptif dan
komunikatif serta demokratis. Efektifitas pola kaderisasi internal maupun
ekternal juga sangat mempengaruhi pola pikir, dan masa depan mahasiswa
secara konstruktif. Bagaimanapun, untuk memahami suatu organisasi dimasa
depan kita membutuhkan kontruksi pola pikir tentang organisasi yang muncul
pada realita kehidupan.