Anda di halaman 1dari 22

LAPAROSCOPIC GONADECTOMY IN

COMPLETE ANDROGEN INSENSITIVITY


SYNDROME : A CASE REPORT

Oleh :
Elizabeth Dian Novita
PPDS Tahap IIIB

Pembimbing
dr. H. Agus Surur As’adi, SpOG(K)

Departemen Obstetri dan Ginekologi


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUP Fatmawati
Jakarta, November 2019
DAFTAR ISI

COVER.....................................................................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

BAB II ILUSTRASI KASUS............................................................................................2

2.1 IDENTITAS................................................................................................................2

2.2 ANAMNESIS..............................................................................................................2

2.3 PEMERIKSAAN FISIK...............................................................................................3

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG.................................................................................4

2.5 DIAGNOSIS ...............................................................................................................7

2.6 TATALAKSANA .......................................................................................................7

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................................

3.1 Kehamilan Kembar .....................................................................................................8

3.2 Twin Reversed Arterial Perfusion Sequence (TRAP) / Acardiac twin.........................9

3.2.1 Pemeriksaan Ultrasonografi (USG).......................................................................11

3.2.2 Prognosis dan Tatalaksana.....................................................................................12

BAB IV DISKUSI .................................................................................................................15

BAB V KESIMPULAN ........................................................................................................18

REFERENSI ..........................................................................................................................19

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

Saat ini kehamilan kembar sudah jauh lebih umum dibandingkan dengan masa lalu.
Sejak tahun 1980, terjadi peningkatan jumlah kehamilan kembar hingga 75%. 1 Hal ini
disebabkan oleh penggunaan obat-obatan infertilitas yang dapat berkomplikasi
menjadi kehamilan kembar. Selain itu, kemajuan medis juga berperan dalam membuat
kehamilan kembar. Akan tetapi, kehamilan ini juga memiliki komplikasi seperti
malformasi janin, kelahiran prematur, perbedaan berat lahir, lilitan tali pusat,
kematian janin intrauterine, twin-to-twin transfusion syndrome (TTS) dan twin
reversed arterial perfusion syndrome (TARS). 2 Terdapat 2 jenis kehamilan kembar
yaitu kehamilan identik dan kehamilan fraternal (non-indentik). Kehamilan identik
terjadi ketika satu embrio dibuahi oleh sperma dan satu ovum yang selanjutnya
terbelah menjadi dua embrio. Setiap embrio disebut dengan monozigot. Kembar non
indentik terjadi ketika dua ovum yang dihasilkan dalam satu kali silus mentruasi dan
masing-masing dibuahi oleh sperma. Kedua embrio yang dihasilkan disebut dengan
dizigot.1

Arcadiac twin merupakan komplikasi yang unik dari kehamilan kembar dan terjadi
hanya pada kehamilan monozigot. Angka kejadiannya 1 dari 35.000 kehamilan
kembar dan terjadi 1 dari 100 kehamilan monozigot. 1 kehamilan ini merupakan twin
reversed arterial perfusion syndrome (TARS), dimana janin resipien memiliki
kelainan pada jantung dan struktur pembuluh darah dan membuat anastomosis
1
vascular arteri-arteri dan vena-vena. Hal ini dapat disebabkan karena perubahan
tekanan peredaran darah pada saat embryogenesis. Pada janin normal atau yang sering
disebut dengan janin “pemompa” akan memompakan darah yang terdeoksigenasi ke
janin akardia melalui arteri umbilikalis sehingga menyebabkan kerja jantung menjadi
lebih tinggi dan selanjutnya dapat mengakibatkan gagal jantung pada janin pemompa.
Apabila tidak diberikan tatalaksana yang baik maka sekitar 50-70% dapat
mengakibatkan kematian janin intrauterine.3
BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1 IDENTITAS
Nama: Ny DW
Usia : 30 tahun
RM : 863393
Datang ke poliklinik tanggal 05 Desember 2016

2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama (05/12/2016)
Pasien datang untuk kontrol kehamilan

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengaku hamil 6 bulan. Hari pertama haid terakhir (HPHT) 13/06/2016.
Taksiran Persalinan 20/03/2017. Saat ini sesuai dengan 25-26 minggu. Pasien rujukan
RSUD depok dengan kehamilan kembar dan denyut jantung negative pada kedua
janin. Pasien control kehamilan di RSAB harapan kita. Dikatakan ibu dalam keadaan
baik tidak ada penyakit penyerta seperti tekanan darah tinggi atau diabetes mellitus.
Riwayat USG 3 kali, dikatakan ibu dengan kehamilan kembar, satu janin arcadia dan
satu janin normal. Kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien merasakan
gerakan janin melambat. Kemudian pasien memeriksakan keluhan tersebut ke RSUD
depok dan dikatakan denyut janin kedua sudah tidak ada. Selanjutnya pasien kembali
control kehamilan ke RSAB harapan kita dan diputuskan untuk dilakukan terminasi
perabdominam. Keluhan keluar air-air tidak ada, mulas-mulas tidak ada, lender darah
tidak ada, Gerakan janin tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Keluarga


Riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, asma, dan alergi disangkal.
Riwayat kehamilan kembar ada pada nenek pasien.
Riwayat Pernikahan, Riwayat Obstetri, Riwayat KB, dan Sosial
Riwayat pernikahan
Pasien menikah 1x, tahun 2004

Riwayat menstruasi
Siklus normal, 28 hari, 5-7 hari haid per bulan, 3-4 kali ganti pembalut perhari,
dysmenorea tidak ada

Riwayat obstetri
G3P2A0
1. 2004, laki-laki, spontan, ditolong oleh bidan, berat lahir 3300 gram
2. 2009, perempuan, spontan, ditolong oleh dokter, berat lahir 3000 gram
3. hamil ini

Riwayat kontrasepsi
DMPA setiap 3 bulan

Riwayat sosial
Pekerjaan ibu : ibu rumah tangga, suami karyawan swasta

2.3 Pemeriksaan Fisik


(07/12/2016)
Kesadaran compos mentis, Keadaan umum baik

Tanda vital:
tekanan darah 110/60, Frekuensi Nadi 80x/menit , Frekuensi pernapasan 20x/menit,
Suhu 36oC, Tinggi badan 158, berat badan 64 kg, IMT pra kehamilan: 25.6 kg/m2

Status generalis:
Mata: konjungtiva tidak anemis dan tidak ikterik
Dada: pergerakan simetris statis dan dinamis
Jantung: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Paru-paru: vesikuler pada seluruh lapang paru, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen: membuncit sesuai kehamilan
Ekstremitas: akral hangat, edema tidak ada, CRT <2”

Status obstetri:
Tinggi fundus uteri 30 cm, kehamilan gemelli, kontraksi tidak ada, DJJ I tidak ada,
DJJ II tidak ada.
Inspeksi: vulva-uretra tenang
Inspekulo: porsio licin, OUE tertutup, fluor negatif, fluksus negatif
Vaginal touche: tidak dilakukan

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium 05/12/16
dpl 12.3/36.2/11250/193000
MCV 90
MCH 31
MCHC 34
retikulosit 3.06
OT/PT 29/32
Ur/Cr 16/0.4
PT 9.9 (11.9)
aPTT 30.8 (31.8)
GDS 68
Anti HIV Non-reactive
HbSAg Non-reactive

USG Fetomaternal
10/11/16 22/11/16 5/12/16
B A B A B A
Plasenta Korpus depan Korpus depan Korpus depan
Sekat positif Positif positif
DJJ negati 150 negatif positif negatif negatif
f
BPD 52.8 57.6 53.2
HC 19.1 20.4 216
AC 17.2 17.3 226
FL 40 38.9 44.3 45.1
TBJ 506 gr 585 gr 837
MVP 1.7 3.47 0.5 2.4
Arteri S/D 4.19 S/D S/D 4.4
umbilikali RI 0.77 2.15 RI 0.74
s PI 1.33 RI 0.53
Lain-lain Spine Lensa + Janin Lambung Janin Janin
+ Nasal arcaria N arcadi IUFD
bone + Massa Lensa N a
Spine 11.8x8. Bibir N
normal 4 4CHV N
Rocker RVOT N
bottom - LVOT N
Diafragma
N
Lambung
N
Ginjal N
4CHV N
bibir N
ekstremita
sN
Hamil 22 minggu 23-24 minggu Hamil 25-26
minggu

Gambar USG FM 10/11/2016


Janin A Janin B

Janin A: S/D 4.19, RI 0.77, PI 1.33


Gambar USG FM 22/11/2016
Janin A

LVOT, RVOT dalam batas normal, S/D 4.4, RI 0.74

Janin B

S/D 2.15, RI 0.53


Gambar USG FM 05/12/2016
Janin A IUFD, Janin B arcadia

Fetoskopi 11/11/2016
Dilakukan laser fetoskopi pada anastomosis, denyut jantung bayi A 143, bayi B
negatif

2.5 Diagnosis
G3P2 hamil 25-26 minggu, kehamilan gemili, janin A IUFD, janin B arcadia

2.6 Tata Laksana


Rencana terapi:
Ampisillin Sulbactam 2x 1.5 gr iv
Rencana terminasi
Terminasi perabdominam, operasi seksio cesarea
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kehamilan Kembar


Kehamilan kembar dapat terbagi menjadi kehamilan dizigotik (fraternal) atau
monozigot (identik). Kembar dizigot terjadi ketika dalam satu sikus haid,
menghasilkan dua ovum yang selanjutnya masing-masing dari ovum tersebut
dibuahi oleh sperma. Sedangkan kembar monozigot merupakan hasil dari
pembagian satu ovum yang terpisah dan selanjutnya terjadi pembuahan. Ada
perbedaan yang nyata pada kedua jenis kehamilan tersebut. Jumlah kejadian
kehamilan monozigot cukup konstan di seluruh dunia sekitar 1 dari 250
kehamilan. Kembar dizigot lebih banyak terjadi dibandingkan kembar monozigot.
Hal tersebut dipengaruhi ras, keturunan, paritas.4 Pada kehamilan monozigot
dapat dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan korionisitasnya yang
dipengaruhi waktu pembelahannya, yaitu (gambar 1): 4
 Diamnionik / dikorion, pembelahan yang terjadi dalam 3 hari pertama,
setiap janin akan dikeliling oleh amnion dan korion.
 Diamnionik / monokorion, pembelahan yang terjadi antara 3-8 hari
setelah pembuahan. Korion sudah mulai berkembang, sedangkan amnion
belum. Sehingga setiap janin akan dikelilingi oleh satu amnion dan
memiliki satu chorion yang mengelilingi kedua janin.
 Monoamnion / monokorion, pembelahan yang terjadi antara 9-12 hari
(kejadiaanya sebesar 1%). Pada kehamilan ini, memiliki satu plasenta,
satu amnion dan satu korion. Risiko komplikasi kembar siam cukup tinggi
pada jenis pembelahan ini, janin dapat menyatu dalam sejumlah cara yang
paling umum pada daerah dada dan / atau perut. Angka kejadiannya 1
dibandingkan 70.000 kelahiran dan memiliki risiko kematian hingga 50%
Gambar 1. Korionisitas pada kehamilan kembar. 4

Gambaran korionisitas dapat ditentukan dari pemeriksaan ultrasonografi trimester


pertama. Dua plasenta yang terpisah merupakan penanda dizigot. Identifikasi
korionisitas pada kehamilan dengan plasenta tunggal cenderung lebih sulit.
Ketebalan membran ≥2 mm cenderung mengarah pada kehamilan dikorion.
Gambaran lambda sign (area triangular) antara membran menandakan dikorion
dan gambatan T sign merupakan penanda monokorion.1

Gambar 2. Gambaran ultrasonografi lambda sign (A) dan T sign (B)

3.2 Twin Reversed Arterial Perfusion Sequence (TRAP)/Acardiac twin


Twin reversed arterial perfusion sequence (TRAP sequence) atau arcadiac twin
merupakan salah satu komplikasi yang jarang terjadi dari kehamilan multiple
monokorionik.1,4 Terdapat teori yang menyatakan bahwa janin acardia terjadi
karena fertilisasi dari badan polar (polar body).5 Angka kejadian TRAP adalah
1% dari kehamilan monozigot dengan 1/35.000 hingga 1/50.000 kelahiran.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2015 melaporkan kejadian TRAP adalah
2.6% dari kehamilan kembar monokorion dan terjadi pada 1/9500-11.000
kehamilan.6

Pada kehamilan normal, aliran darah akan memasuki sirkulasi janin melalui arteri
umbilikalis namun pada TRAP, sirkulasi darah yang masuk ke janin arcadia
berasal dari arteri umbilikalis janin yang normal. Hal ini disebabkan terjadi
anastomosis arteri-arteri dan vena-vena. Janin arcaria akan mendapatkan suplai
darah dari janin normal sehingga sering disebut dengan “janin pemompa”.
Biasanya pada janin pemompa memiliki anatomi yang normal walaupun tetap
memberikan darah ke janin arcadia. Janin pemompa akan memberikan darah
yang tereoksigenasi melalui arteri umbilikalis sehingga dapat menyebab
kardiomegali dan gagal jantung pada janin pemompa (gambar 3). 1,5 Janin
pemompa memiliki risiko mengalami kerja jantung yang berlebihan sehingga
terjadi gagal jantung kongestif dengan hepatosplenomegali. Mortalitas pada janin
pemompa bervariasi antara 50% hingga 75%.7

Gambar 3. Sirkulasi darah Twin reversed arterial perfusion (TRAP)4


Pada janin akardia akan memiliki bentuk yang abnormal terutama pada tubuh bagian
atas (perut hingga kepala). Malformasi yang dapat terjadi dibagi menjadi beberapa
kategori yaitu: (gambar 4)

1. Acardius anceps: perkembangan janin dari ektremitas bawah, abdomen dan


sebagian kepala dan wajah
2. Arcadius acephalus: perkembangan janin dari ektremitas bawah hingga
panggul. Daerah dada hingga kepala tidak berkembang
3. Arcadius amorphous: perkembangan berbentuk massa amorf tanpa ada organ
yang dapat dikenali
4. Acardius acormus: ada beberapa perkembangan kranial

Gambar 4. Acardius anceps


(kiri), Arcadius acephalus (kiri) dan Arcadius amorphous (kanan)

3.2.1 Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Dalam mendiagnosis kasus TRAP diperlukan pemeriksaan ultrasonografi dengan


menemukan janin akardia. Hal yang penting untuk dicari yaitu struktur jantung
normal dan terdapat abnormalitas struktur tubuh lain meliputi anensepalus,
omfalocele, dan tidak adanya ekstremitas atas. Pada kebanyakan kasus akan
ditemukan adanya edema pada jaringan lunak dan kista menyerupai higroma yang
sering ditemukan pada kulit.8,9 Pada janin akardia dapat ditemukan kelainan defek
cranium sebagian atau komplit seperti anensefalus atau holoprosensefalus.7
Sekitar 74% kasus TRAP merupakan monokorion diamnion yaitu terdapat selapis
membran yang memisahkan kantung janin akardia dengan janin pemompa. Pada
pemeriksaan Doppler dapat terlihat aliran darah terbalik pada arteri umbilikalis
janin acardia, dimana aliran darah mengalir dari plasenta menuju janin akardia.9

Perbedaan resistive index pada aliran arteri umbilikalis pada janin pemompa
dengan janin akardia dapat dijadikan penanda baik buruknya prognosis dari janin
pemompa. Perbedaan >0.2 berkaitan dengan prognosis yang baik untuk janin
pemompa. Perbedaan resisrensi index <0.05 berkaitan dengan prognosis yang
buruk untuk janin pemompa.4

Janin akardia sering terjadi salah diagnosis menjadi janin anensefalus. Pada
pemeriksaan ultrasonografi, tidak adanya struktur tubuh yang jelas dan
banyaknya jaringan lunak tubuh menandakan janin akardia. Janin akardia juga
sering didiagnosis menjadi kematian janin tunggal dalam rahim (IUFD). Janin
yang cenderung tumbuh menjadi besar adalah janin akardia. Penggunaan mode
color flow Doppler juga dapat membedakan janin IUFD dan TRAP. Pada janin
akardia dapat terlihat aliran darah arteri umbilikalis.9

3.2.2 Prognosis dan Tatalaksana

Permasalahan perinatal utama untuk kasus trap yaitu gagal jantung kongestif dan
hydrops pada janin pemompa, selain itu sering terjadi hidramnion dan kelahiran
yang prematur. Pada 49 kasus acardiac twin, kemungkinan terjadi kematian
perinatal hingga 55 %. Prinsip tatalaksana pada kelainan TRAP yaitu dengan
meningkatkan prognosis pada janin “pemompa”.
Indikasi prognosis yang buruk, yaitu:

 Rasio berat janin akardia lebih besar dari 0.70 gram dibandingkan dengan
janin pemompa. hal ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus rasio
berat (grams) = (-1.66 x panjang badan) + (1.21 x panjang badan2)
Pada sebuah penelitian, ketika rasio berat badan arcadiac melebihi 0.70,
maka risiko untuk terjadi kehamilan premature (90%) dan hidramnion
(40%)
 Hidramnion ( perhitungan dengan single pocket ≥8 cm)
 Gagal jatung pada janin pemompa dapat terlihat dengan menggunakan
pemeriksaan dopler. Gambaran yang terlihat meliputi absent end diastolic
atau reversed diastolic pada aliran arteri umbilikalis, pulsatile pada aliran
darah vena umbilikalis dan atau aliran darah balik dari duktus venosus.
 Hydrops pada janin pemompa
 Monoamniotik

Untuk melanjutkan kehamilan dengan gangguan TRAP, disarankan dilakukan


pemeriksaan USG setiap minggu untuk mengevaluasi kondisi janin pemompa, apakah
terdapat tanda-tanda hydops fatalis dan kelainan dalam pemeriksaan dopler pada arteri
umbilikalis, vena umbilikalis dan duktus venosus. Pemeriksaan USG dapat dilakukan
dua kali seminggu apabila terdapat tanda-tanda pre-hydrops seperti terdapat cairan
pada salah satu cavitas maupun efusi pleura. Pada pasien yang memiliki risiko tinggi
terjadinya kelahiran preterm, dapat diberikan pematangan paru pada usia kehamilan
24-34 minggu.

Apabila ditemukan satu atau lebih tanda-tanda prognosis yang buruk, maka dapat
dilakukan intervensi antenatal, terminasi kehamilan dan atau ekspektan managemen.
Pada zaman dahulu, intervensi antenatal meliputi amnioreduction pada janin
pemompa. pada kehamilan 18-27 minggu, target penatalaksanaan dengan mengoklusi
tali pusat janin arcadia dengan menggunakan teknik laser ablation, bipolar cord
coagulation, and radiofrequency ablation (RFA), yang dilakukan dengan anastesi
lokal.

Prosedur laser dan bipolar koagulasi atau ablasi


Laser dan bipolar coagulase dilakukan pada bagian tali pusat yang berada dekat
dengan plasenta bed. Tatalaksana laser dengan memasukkan fetoscope sebesar 2-3
mm ke dalam rongga ketuban dengan guidance dari USG. Idealnya, fetoskopi
dimasukkan kedalam kantung amnion dari janin arcadia akan tetapi pada beberapa
kasus ada daerah yang dilarang untuk dilakukan fetoskopi karena perlekatan tali
plasenta pada janin normal. Penembakan laser dilakukan pada anastomosis arteri-
arteri atau langsung pada tali pusat janin arcadia langsung. Pada beberapa kasus, tali
pusat yang akan dilakukan laser fetoskopi terlalu tipis untuk dilakukan koagulasi
dehingga disarankan untuk menggunakan instrument bipolar pada tali pusat janin
arcadia. Setelah dilakukan prosedur yang telah disebutkan, evaluasi selanjutnya
dengan mengguanakan USG dopler untuk melihat prognosis pada janin pemompa.

Rencana persalinan
Waktu persalinan pada usia kehamilan 34-36 minggu. Selain itu, persalinan juga
tergantung dari kondisi kompensasi dari janin pemompa. apakah terdapat gagal
jantung atau tanda-tanda prognosis yang buruk pada janin pemompa. cara persalinan
secara operasi Caesar dilakukan apabila ditemukan adanya malpresentasi,
nonreassuring fetal status, IUGR pada janin pemompa, monoamniotik twins dan atau
kontraindikasi untuk persalinan pervaginam seperti placenta previa
BAB IV
DISKUSI

Ny. DW, 30 tahun datang pertama kali ke poliklinik RSAB Harapan Kita dengan
rujukan kehamilan kembar dan janin kedua dengan arcadia pada usia kehamilan 25-26
minggu (sesuai dengan HPHT). Dari riwayat obstertrik, kehamilan kali ini
merupakan kehamilan ke tiga dengan riwayat persalinan normal pada kehamilan
sebelumnya. Pasien tidak ada keluhan apapun pada saat kunjungan pertama kali.
Gerakan janin juga dirasakan aktif. Dari status generalis dan obstetrik dalam batas
normal. Pemeriksaan laboratorium juga masih dalam batas normal. Pada
permeriksaan USG dilakukan 3 kali yaitu usg pertama (10/11/2016) S/D 4.19; RI
0.77; PI 1.33 pada janin kedua (janin pemompa). Pada janin pertama ditemukan spine
namun tidak ditemukan adanya perkembangan cranium. USG kedua (22/11/2016) S/D
4.4; RI 0.74. pada USG ketiga (05/12/16) ditemukan IUFD pada janin pemompa.
diputuskan untuk dilakukan terminasi kehamilan pada pasien. Sebelumnya pasien
sempat dilakukan laser fetoskopi untuk koagulasi pada tali pusat arcadia.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kehamilan arcadia/TRAP merupakan


kasus yang jarang terjadi, yaitu 1/35.000 hingga 1/50,000 kelahiran. Patofisiologi
pada kasus ini sampai saat ini masih belum bisa dipastikan. Hipotesis yang sampai
saat ini masih digunakan yaitu gangguan aliran darah pada saat embryogenesis
sehingga membuat anastomosis pada arteri-arteri dan vena-vena. Bila dilihat dari
alirah darah janin arcadia, aliran darah yang dipompakan mengandung sedikit oksigen
melalui anastomosis yang terbentuk. Sedangakan janin memompa mencoba terus
mempakan darah ke janin arcadia dan tubuhnya sendiri sehingga dapat terjadi
komplikasi terjadinya gagal jantung.

TRAP dapat didiagnosis dengan USG sejak trimester pertama dengan melihat aliran
darah janin arcadia yang menuju janin pemompa. pada trimester kedua juga dapat
dilhat dengan tidak adanya perkembangan cranium pada janin arcadia. Klasifikasi
janin arcadia terbagi berdasarkan pembentukan jantung arcadia, yaitu hemicardius
(pembentukan jantung yang tidak sempurna) dan holocardius (tidak terbentuk jantung
sama sekali). Klasifikasi lain berdasarkan pembentukan morfologi janin arcadia,
yaitu: acardius anceps (8%), arcadius acephalus (62%), Arcadius amorphous (25%)
dan Acardius acormus (5%). Pada pasien ini diagnosis ditegakkan dengan
menggunakan USG pada usia kehamilan 22 minggu, yaitu dengan tidak
ditemukannya adanya perkembangan cranium pada janin arcadia dan dapat
diklasifikasikan dalam holocardius, acardius ancephalus karena tidak ditemukan
adanya perkembangan jantung dan ditemukan perkembangan hingga panggul saja.
Prognosis pada klasifikasi ini secara umum lebih baik dibandingkan dengan
klasifikasi lain seperti arcadius amorhous yang dapat terus berkembang lebih besar
dari janin pemompa.

Prognosis pada kasus ini dapat dilihat dari rasio berap janin arcadia dibandingkan
dengan janin pemompa. Pada kasus ini dilakukan pengukuran berat janin arkada
dengan menggunakan rumus terpanjang janin yaitu 11.8 cm, didapatkan beraj janin
sebesar 149 gram. Rasio berat badan janin akardia-janin pemompa menjadi 25%.
Rasio berat pada pasien ini kurang dari 70% sehingga angka kejadian komplikasi pada
kehamilan lebih rendah dibandingakan rasio yang lebih dari 70%.

Rencana tatalaksana selanjutnya pada pasien ini yaitu harus dilakukan evaluasi
kejadian komplikasi pada janin pemompa. Komplikasi pada janin pemompa berupa
gagal jantung dan polihidramnion yang disebabkan janin pemompa memberikan
aliran darah pada janin akardia dengan darah yang terdeoksigenasi melalui arteri
umbilikalis. Evaluasi dengan ultrasonografi dilakukan untuk menilai kesejahteraan
janin sebaiknya dilakukan 1x/minggu. Penilaian ultrasonografi dilakukan hinggga
2x/minggu jika terdapat tanda-tanda pre-hidrops (contoh akumulasi cairan hanya pada
satu kompartemen). Pada kasus ini tidak ditemukan adanya polihidramnion yaitu
MVP ≥8. Cairan ketuban masih dalam batas normal, MVP sebesar 3. Gagal jantung
janin dievaluasi dengan myocardial performance index atau dikenal dengan sebutan
Tei index. MPI index merupakan isovolumetric contraction time + isovolumetric
relaxation time/ ejection time. MPI menilai fungsi sistolik dan diastolik jantung.
Semakin tinggi nilai MPI maka semakin tinggi derajat disfungsi ventrikel dan
kardiomiopati.

Pada kasus ini pasien dilakukan laser fetoskopi, mengingat kehamilan sudah
memasuki trimester kedua dan prosedur invasif dapat menjadi pilihan pada kehamilan
trimester kedua dimana ukuran janin dan pembuluh darah umbilikus masih lebih
kecil. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hecker, K., dkk. pada kasus arcadia
yang dilakukan laser fetoskopi, angka survival rate janin pemompa yang dilakukan
prosedur ini sebesar 82%. Dilaporkan angka keberhasilan bila dilakukan pada usia
kehamilan 16-27 minggu sebesar 65% dan berhasil melahirkan hingga usia kehamilan
diatas 37 minggu tanpa adanya ketuban pecah dini. Pada kunjungan terakhir pasien
ini, didapatkan IUFD pada janin kedua sehingga diputuskan untuk terminasi. Menurut
penelitian Hecker, K., dkk. dilaporkan pula 2 kasus dengan janin IUFD, hal ini sulit
dijelaskan penyebabnya, apakah merupakan komplikasi dari prosedur laser fotoskopi
atau berasal dari penyakitnya yang bertambah berat. Adapun komplikasi yang dapat
terjadi yaitu perdarahan pembuluh darah plasenta atau pecahnya pembuluh darah dan
ketuban pecah dini. Namun kemungkinan IUFD pada pasien ini hingga saat ini masih
belum dapat disimpulkan. Menurut penelitian oleh Van Allen, dkk., menyatakan
angka perinatal mortality rate dari janin pemompa sebesar 50-75 %.
BAB V
KESIMPULAN

Pasien didiagnosis dengan Twin reversed arterial perfusion sequence (TRAP


sequence) atau akardia. Kasus ini termasuk kasus yang jarang terjadi. Diagnosis
TRAP sequence ditegakkan berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi.
Kemungkinan IUFD pada pasien ini belum dapat disimpulkan apakah merupakan
komplikasi dari laser fetoskopi atau bukan. Akan tetapi tidak ditemukan adanya
tanda-tanda komplikasi prosedur fetoskopi seperti pecahnya pembuluh darah
yang dapat terlihat dari plasenta setelah lahir. Tindakan dan evaluasi yang
dilakukan pada pasien ini sudah tepat mengingat angka perinatal mortality rate
dari janin pemompa bila tidak dilakukan tatalaksana sebesar 50-75 %.
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS, Hoffman BL, et al. Multifetal
Pregnancy. 2014. In: Williams obstetrics [Internet]. New York: McGrawHill. 24. [891-913].
2. Bianchi DW, Crombleholme TM, D'Alton ME, Malone FD. Fetology diagnosis and
management of the fetal patient. New York: McGrawHill Medical; 2010.
3. Luesley DM, Kilby MD. 2016. In: Obstetrics & Gynaecology: an evidence-based text for
MRCOG [Internet]. Boca Raton: CRC Press Taylor & Francis Group. 3rd [263-6].
4. Gemert Mv, Wijngaard Jvd, Vandenbussche F. Twin reversed arterial perfusion sequence is
more common than generally accepted. Birth Defects Res A Clin Mol Teratol.
2015;103(7):641-3.
5. Mastrobattista JM, Lucas MJ. Diagnosis and management of twin reversed arterial perfusion
(TRAP) sequence [updated 18 november 2016; cited 2016 27 November].
6. Mastrobattista JM, Lucas MJ. Diagnosis and management of twin reversed arterial perfusion
(TRAP) sequence. 2016 27 november 2016.
7. Pagani G, D'Antonio F, Khalil A, Papageorghiou A, Bhide A, Thilaganathan B. Intrafetal laser
treatment for twin reversed arterial perfusion sequence: cohort study and meta-analysis.
Ultrasound Obstet Gynecol. 2013;42 (1):6-14.
8. Cabassa P, Fichera A, Prefumo F, Taddei F, Gandolfi S, Maroldi R, et al. The use of
radiofrequency in the treatment of twin reversed arterial perfusion sequence: a case series and
review of the literature. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2013;166(2):127-32.
9. Pepe F, Teodoro MC, Luca C, Privitera F. Conservative management in a case of
uncomplicated trap sequence: a case report and brief literature review. J Prenat Med.
2015;9(3-4):29-34.
10. Moore T, Gale S, Benirschke K. Perinatal outcome of forty-nine pregnancies complicated by
acardiac twinning. Am J Obstet Gynecol. 1990;163(3):907.
11. Davey B, Szwast A, Rychik J. Diagnosis and management of heart failure in the fetus.
Minerva Pediatr. 2012;64(5):471-92.
12. Jelin E, Hirose S, Rand L, Curran P, Feldstein V. Perinatal outcome of conservative
management versus fetal intervention for twin reversed arterial perfusion sequence with a
small acardiac twin. Fetal Diagn Ther 2010;27:138-41.
13. Pepe F, Teodoro MC, Luca C, Privitera F. Conservative management in a case of
uncomplicated trap sequence: a case report and brief literature review. Journal of Prenatal
Medicine. 2015;9(3/4):29-34.

Anda mungkin juga menyukai