Anda di halaman 1dari 9

DISKUSI KASUS

POLIFARMASI

OLEH:
Zenitra Hizba Rosyadita
1113103000025

PEMBIMBING:
dr. Alyya Siddiqa, SpFK
dr. Syahidah, Sp. FK

KEPANITERAAN KLINIK GERIATRI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018
BAB I
ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama pasien : Ny. SW


No Rekam Medik : 146203
Alamat : Ciputat Timur
Jenis kelamin : Perempuan
Status perkawinan : Janda
Umur : 63 tahun
Jumlah anak : 3 orang
Jumlah cucu : 2 orang
Agama : Islam
Suku bangsa : Sunda
Pendidikan : SD
Tanggal masuk : 14 September 2018
Tanggal pemeriksaan : 17 September 2018
Resume
Pasien Ny.SW 63 tahun datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 minggu
SMRS, sesak semakin memberat 2 hari SMS, sesak dirasakan pasien jika aktivitas
ringan seperti menyapu dan mengepel dan akan berkurang jika istrirahat. Sesak
tidak disertai dengan nyeri dada, mual, muntah, dan keringat dingin. Pasien jika
malam hari sering terbangun karena sesak yang dirasakannya dan jika tidur harus
memakai 2 bantal atau lebih.
Selain itu, pasien mengeluh nyeri perut bagian kiri atas, nyeri akan hilang jika
pasien makan dan memakan makanan yang manis, nyeri akan bertambah jika
pasien makan makanan pedas, pasien juga cepat kenyang, kembung, mual tanpa
muntah. Riwayat muntah dan BAB berdarah disangkal. Pasien memiliki riwayat
maag sejak pasien muda. Riwayat hipertensi disangkal oleh pasien. pasien
memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 14 tahun yang lalu rutin kontrol ke
puskesmas dan minum obat teratur.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien dengan tekanan darah 180/90
mmHg, nyeri tekan epigastrium (+), tampak aistes , shiffting dullness (+), teknik
gelombang cairan (+), tampak edema pada kedua tungkai dan tangan, dan terdapat
tanda pitting edema (+) di kedua tungkai. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan
hasil GDS 221 gr/dL, pada ekokardiografi ditemukan hasil adanya gelombang QS
pada lead V4 dan V5 dan T inversi pada lead I dan aVL, dan pada pemeriksaan
rontgen thoraks didapatkan kesan kardiomegali dan efusi pleura

Daftar Masalah

 ADHF pada CHF NYHA kelas III et causa CAD, dd HHD


 Hipertensi grade II tidak terkontrol
 Diabetes melitus tipe 2
 Sindrom Dispepsia
 Iatrogenik
 Karies Gigi
 Impecunity

Diagnosis Medik
ADHF pada CHF NYHA kelas III et causa CAD, dd HHD
Hipertensi grade II tidak terkontrol
Diabetes Militus Tipe 2
Sindrom Dyspepsia

Diagnosis Psikiatri
Tidak ada

Diagnosis Fungsional
Impairment :Impairment of Cardiovascular, impairment of gastrointestinal
tract, impairment of endocrine
Disability : Gangguan jantung, gangguan pencernaan, gangguan metabolime
tubuh, dan gangguan tekanan darah
Handicap : Ketergantungan ringan untuk melakukan aktivitas sehari-hari
Sindrom Geriatri pada Ny. SW
1. Iatrogenik
2. Impecunity
Tatalaksana
Farmakologi
- O2 NK 3 liter per menit
- Per-oral
 Valsartan 1 x 160mg p.o
 Omeprazole tablet 2 x 20mg p.o

 spironolakton 1x25 mg

- Parenteral
 Furosemide 2 x 40mg i.v
 Ranitidine 2 x 50 mg bolus i.v
- Terapi diabetes
Inj Novorapid 3x15 Unit
Inj Lantus 1x10 Unit

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
BAB II
KAJIAN FARMAKOLOGI
1. Valsartan 1x160 mg p.o
Valsartan merupakan obat hipertensi golongan Angotensin Receptor
Blocker (ARB) yang bekerja menghambat reseptor AT1 (di otot polos
pembuluh darah dan jantung),sehingga menghambat vasokonstriksi, sekresi
aldosteron, rangsangan saraf simpatis, stimulasi jantung, hipertrofi otot polos
pembuluh darah dan jantung. ARB tidak mempengaruhi bradikinin sehingga
tidak ada batuk kering seperti pada ACE inhibitor.
Efek samping ARB antara lain hipotensi, dan hiperkalemia. Dosis awal
20-40mg bid dan dosis maksimal 160 sedangkan untuk sedian ada tab 40mg
dan 80mg. Harga obat valsartan sekitar Rp. 5.644/tablet.
ARB efektif menurunkan tekanan darah pada pasien gagal jantung dan
menurunkan risiko hospitalisasi serta kematian prematur pada pasien dengan
ejeksi fraksi < 40%. Obat ini sudah tepat diberikan pada pasien, dimana pasien
ini menderita gagal jantung dan hipertensi. Berdasarkan PERKI tahun 2015
bahwa pengobatan pasien gagal jantung dengan hipertensi lini pertamanya
adalah diberikan golongan ACE inhibitor atau ARB, kemudian lini ke-2
betabloker, dan lini ke-3 adalah MRA. Selain itu, golongan ARB yang
diberikan jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa darah, serta
asam urat. Hal ini sudah sangat sesuai dengan pasien ini yang menderita
diabetes melitus juga.

2. Furosemid 2x40 mg iv
Diuretik kuat yang sering digunakan pada pasien gagal jantung adalah
furosemid. Tujuan utama dari pengobatan diuretik adalah untuk
menghilangkan retensi cairan. Diuretik umumnya dikombinasi dengan diet
rendah garam. Setelah retensi cairan teratasi, pengobatan harus dipertahankan
untuk mencegah terjadinya overload berulang.
Pasien mungkin menjadi tidak responsif terhadap dosis tinggi obat diuretik
jika mengkonsumsi sejumlah besar diet natrium, konsumsi agen yang dapat
memblokir efek diuretik (seperti NSAID) atau memiliki penurunan yang
signifikan dari fungsi ginjal atau perfusi.
Furosemid terikat pada protein plasma, penghantaran obat ke tubulus
melalui infiltrasi terbatas. Obat ini dimetabolisme di hati. Eksresi di urum
dalam bentuk tidak berubah, sisanya terkonjugasi dengan asam glukoronat di
ginjal.
Efeks samping utama diuretik adalah kehilangan cairan dan elektrolit
terutama berpengaruh pada kalium dan magnesium yang akan berpengaruh
pada aritmia jantung. Selain itu fursemud dapat menyebabkan hipotensi dan
azotemia. Selain itu furosemid dapat menyebabkan hiperurisemia karena
terjadi peningkatan reabsorbsi asam urat sehingga memicu terjadinya
serangan gout.
Furosemid dapat berinteraksi dengan obat digitalis atau obat antiaritmia
hal ini disebabkan karena hipokalemi. Pemberian furosemid dengan
aminoglikosida, sefalosporin dapat meningkatkan nefortoksik. Selain itu obat
ini berinteraksi dengan warfarin dan klofirat melalui pergeseran ikatan
dengan protein. Menurunkan klirensi litium. Adanya konsumsi NSAID dan
kortikosteroid menghambat kerja furosemid.
Pasien ini menerima furosemid untuk CHF, hal ini sesuai dengan guidelin
yang dikeluarkan PERKI. Namum perlu diperhatikan efek samping dari
fursemid yaitu hiperurisemua dan hipokalemi. Pengobatan furosemid 2x40
mg diharapkan dapat mempercepat evakuasi cairan yang overload di tubuh
sehingga mengurangi gejala yang diderita oleh pasien. Selain itu, penting
dilakukan balans cairan dan pemeriksaan elektrolit serial pada pasien ini.

3. Omeprazole tab 2x20 mg po Ranitidine 2x50 mg iv


Pada dasarnya pemberian PPI bersama antagonis reseptor H2 (ranitidin)
memiliki efek kerja yang sama yaitu antisekresi asam lambung. Sehingga
pemberian kedua obat tersebut bersamaan tidak disarankan.Obat anti sekresi
asam lambung yang memiliki efek paling besar adalah PPI (Proton Pump
Inhibitor) dibandingkan dengan antasida dan antagonis H2.PPI lebih
signifikan dibandingkan antagonis reseptor H2 terkait penghilang rasa nyeri
akibat dispepsia dan efikasinya lebih cepat karena lebih efektif mengontrol
sekresi asam lambung. Selain itu PPI bekerja dalam waktu yang cukup lama
dapat mencapai lebih dari 24 jam, dan efeknya sampai 3 hari sedangkan AH 2
biasanya bekerja hanya sampai 12 jam.
Pada pasien ini sebaiknya hanya diberikan ranitidin 2x50 mg, karena pada
pasien geriatri produksi asam lambung mulai menurun sehingga dengan
pemberian ranitidin sudah cukup untuk mengatasi gejala dispesia.

4. Inj novorapid 3x5U


Inj lantus 1x10 U
Pada dasarnya tidak semua pasien yang dirawat di rumah sakit
memerlukan terapi insulin. Bagi mereka dengan penyakit ringan yang
kendali glukosa darahnya tercapai dengan OHO yang biasa digunakan
sebelum dirawat di rumah sakit, maka terapi OHO dapat diteruskan tanpa
harus menggantinya dengan insulin. Dilihat dari derajat keparahan
penyakit, target glukosa darah dan pemantauannya, terapi insulin pada
pasien diabetes yang menjalani rawat inap dibagi menjadi 2 bagian besar,
yaitu:
a. Pasien DM dengan penyakit kritis
Yaitu pasien yang menjalani penyakit berat dan mengancam
keselamatan pasien dalam waktu 24 jam.
b. Pasien DM dengan penyakit non kritis
Yaitu pasien DM yang tidak mengalami penyakit berat dan dirawat
di perawatan non-intensif, tetapi memerlukan regulasi glukosa
darah yang optimal dan cepat
Berdasarkan konsensus DM dari Perkeni pada tahun 2015 pada
penggunaan insulin di pasien rawat inap yang sebelumnya tidak
mendapatkan terapi insulin maka terapi insulin dimulai dengan insulin
prandial 3 kali 5-10 U perhari. Hal ini sudah sesuai dengan pasien ini yang
diberikan novorapid 3x5 U.
Namun, pada pasien ini diberikan insulin lantus 1x10 Unit. Hal ini
tidak sesuai dengan guideline PERKENI. Seharusnya dilakukan
pemeriksaan gula darah puasa terlebih dahulu. Jika hasil gula darah puasa
menunjukan hasil yang tinggi maka diberikan insulin long acting seperti
lantus untuk mengontrol gula darah basal.

5. Spironolakton 1x25 mg p.o


Obat ini merupakan golongan antagonis aldosteron atau diuretik hemat
kalium yang bekerja menghambat kanal Na/K yang bekerja sebagai
anatgonis kompetitif sehingga sekresi kalium dan reabsorbsi natrium
dihambat. Dengan demikian diikuti dengan pengeluar air ke tubulus ginjal
kemudian dikeluarkan melalui urin.
Pengobatan ini sudah sesuai dengan guideline PERKI 2015, jika
pemberian diuretik kuat atau furosemid keadaan kongesti belum teratasi
maka diberikan golongan antagonis aldosteron, pada pasien ini diberikan
spironolakton 1x25 mg po. Namun harus diperhatikan balans cairan dan
elektrolit pada pasien ini, karna pemberian spironolakton dan furosemid
akan meningkatkan risiko hipotensi terutama pada pasien geriatri dan perlu
diperhatikan fungsi ginjal. Pemberian spironolakton sudah tepat
dikombinasikan dengan pemberian furosemid karena akan menghambat
sekresi kalium. Namun interaksi antara spironolakton dengan valsartan
(golongan ARB) perlu diperhatikan kadar kalium karena kedua obat ini
akan meningkatkan kadar kalium. Sehingga perlu dilakukan monitoring
kadar kalium pada pasien ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I dan III. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing; 2009
2. Martono H Hadi, Pranaka H Hadi. Buku Ajar Geriatri. Edisi IV. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2011
th
3. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology. 10 ed. New York:
McGraw-Hill; 2007.
4. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 10 2010/2011.
5. American Heart Association. Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care: Acute Coronary
Syndromes. 2010.
6. PERKI. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung edisi pertama. 2015
7. PERKI. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular
edisi pertama. 2015.
8. PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe
2 di Indonesia 2015. Jakarta: PB Perkeni; 2015.
9. Talley NJ, Vakil N. Guidelines for the management of dyspepsia: practice
guidelines by American College of Gastroenterology. Am J Gastroenterol.
2005.

Anda mungkin juga menyukai