Anda di halaman 1dari 14

TUGAS FARMAKOLOGI

KONJUNGTIVITIS

Oleh :
Sinyo Abdinyo

1965050090

KEPANITERAAN FARMASI DAN FARMAKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

PERIODE 04 MEI – 13 JUNI 2020

JAKARTA
Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah proses inflamasi akibat infeksi atau non-infeksi pada
konjungtiva yang ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler, dan eksudasi. Di
Indonesia konjungtivitis menduduki peringkat 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak pada
tahun 2009. Dari 135.749 pasien yang berkunjung ke poli mata, 73% adalah kasus
konjungtivitis. (1)(2)
Berdasarkan penyebabnya konjungtivitis dibagi menjadi konjungtivitis bakteri,
konjungtivitis virus, dan konjungtivitis alergi. Konjungtivitis bakteri dibagi berdasarkan onset
dan keparahannya menjadi hiperakut, akut dan kronis. Neisseria gonorrhoeae merupakan
penyebab utama konjungtivitis bakteri hiperakut yang biasanya mengenai neonatus dan orang
dewasa yang aktif berhubungan seksual. Konjungtivitis bakteri hiperakut ditandai dengan
onset yang mendadak, sekret yang profus kental dan berwana kuning kehijauan, hiperemi
konjungtiva yang hebat dan kemosis. Jika tidak ditangani secara tepat maka konjungtivitis
bakteri hiperakut ini dapat menyebabkan kekeruhan kornea, perforasi kornea dan
endoftalmitis. Pada konjungtivitis bakteri kronis tanda dan gejala timbul lebih dari 3 minggu
dan sering terjadi kekambuhan. Hiperemi dan sekret yang timbul biasanya ringan sampai
sedang (3)
Konjungtivitis bakteri akut didefinisikan sebagai konjungtivitis yang berlangsung
kurang dari 3 minggu, dan merupakan penyakit mata yang paling sering ditemui oleh dokter
umum. Konjungtivitis bakteri akut dapat disebabkan oleh S. aureus, Staphylococcus
epidermidis, H. influenzae, Streptococcus pneumoniae, Streptococus viridans, Moraxella
catarrhalis dan bakteri gram negative dari usus. Penyebab konjungtivitis bakteri paling sering
di dunia adalah S. aureus. Sindroma imunodefisiensi dan imunosupresi sistemik dapat
menjadi predisposisi dari konjungtivitis bakteri akut. Konjungtivitis bakteri mudah menular
dari satu mata ke mata sebelahnya dan juga mudah menular ke orang lain melalui kontak
langsung dan benda yang kontak dengan mata.(4)
Beberapa tanda dan gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri akut adalah onset
yang akut dari kemerahan, rasa mengganjal, perih dan timbul secret; mengenai kedua mata
meskipun biasanya satu mata terinfeksi 1-2 hari sebelum mata yang lain; pada saat bangun
tidur kelopak mata sering lengket dan susah untuk membuka mata akibat sekret yang
menumpuk; hiperemi konjungtiva yang difus; sekret pada awalnya berair mirip konjungtivitis
viral tetapi kemudan menjadi mucopurulent. (4) Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu
sembuh sendiri. Tanpa diobati, infeksi dapat berlangsung selama 10-14 hari, sedangkan jika
diobati memadai berlangsung 1-3 hari, kecuali konjungtivitis stafilokokus (yang dapat
berlanjut menjadi blefarokonjungtivitis dan memasuki fase kronis).
Konjungtivitis bakteri akut dapat menimbulkan komplikasi jika tidak ditangani secara
tepat. Komplikasi yang dapat timbul seperti keratitis, ulkus kornea dan uveitis yang dapat
menyebabkan kebutaan. Ulserasi kornea dapat terjadi pada infeksi N. kochii, N. meningitides,
H. aegyptius, S. aureus, dan M. catarrhalis. Bahkan pada kasus konjungtivitis meninges dapat
berakhir menjadi sepsis dan meningitis yang mengancam jiwa karena konjungtiva merupakan
gerbang masuk meningokokus ke dalam darah dan meninges.
Terapi spesifik konjungtivitis tergantung pada temuan antigen mikrobiologisnya.
Dokter dapat memulai terapi dengan antibiotika topikal spectrum luas, sambil menunggu
hasil laboratorium. (misal polymixin-trimethoprim). Pada sekret yang purulent selain
pemberian terapi farmakologis, saccus konjungtiva harus dibilas dengan larutan saline agar
dapat menghilangkan sekret konjungtiva.(3)
Contoh Kasus:
Pasien atas nama Tn.Yono 14 tahun datang ke RSU UKI dengan keluhan mata merah sebelah
kiri sejak empat hari yang lalu disertai rasa mengganjal seperti kemasukan pasir dan banyak
mengeluarkan kotoran mata. Ketika pagi hari saat bangun pasien sulit membuka kelopak
mata kiri karena lengket, tidak ditemukan keluhan mata berair dan silau saat melihat cahaya.
TINJAUAN PUSTAKA
Konjungtivitis Bakteri
1. Polimiksin B Sulfat(5)

Farmakokinetik
Dexamethasone / neomycin / polymyxin B: Cukup diserap setelah aplikasi oftalmik untuk
memberikan efek farmakologis.
Farmakodinamik
Polymyxin B hanya aktif terhadap bakteri gram negatif terutama Pseudomonas
aeruginosa. Deksametason adalah kortikosteroid dengan aktivitas glukokortikoid; itu
digunakan secara topikal terutama untuk tindakan anti-inflamasi. Neomycin adalah
antibiotik aminoglikosida spektrum luas yang digunakan secara topikal untuk pengobatan
infeksi pada kulit, telinga dan mata karena stafilokokus yang rentan dan organisme lain.
Indikasi
Kondisi inflamasi okular steroid konjungtiva palpebral & bulbar, kornea & segmen
anterior bola mata, & di mana terdapat infeksi bakteri atau risiko infeksi okular bakteri.
Polymyxin B sulfate 6,000 IU, neomycin sulfate 3.5 mg, dexamethasone 1 mg, 1-2 tetes
frekuensi 4-6x/hari selama 3-4 hari.
Kontraindikasi
Hipersensitif. Keratitis herpes simpleks epitel (keratitis dendritik), vaccinia, varisela &
penyakit virus kornea & konjungtiva lainnya. Penyakit jamur pada struktur okular.
Efek Samping
Sensitisasi alergi. Peningkatan TIO, infeksi sekunder.
Interaksi Obat
-

2. Gentamisin(5)

Farmakokinetik
Gentamicin tidak mengalami perubahan bentuk karena tidak dimetabolisme oleh tubuh
Farmakodinamik
Gentamicin memiliki efek bakterisidal terhadap bakteri Gram-positif (Staphylococcus sp)
dan bakteri Gram-negatif (Citrobacter sp, Enterobacter sp, Escherichia coli, Klebsiella
sp, Proteus sp, Serratia sp, Pseudomonas aeruginosa). Gentamicin menghambat sintesis
protein bakteri dengan cara berikatan pada ribosom prokariotik subunit 30s dan 50s.
Indikasi
Infeksi Mata, Otitis Eksterna, Infeksi Saluran Kemih, Infeksi Kulit, Infeksi Intraabdomen
atau Sepsis Gram Negatif
Kontraindikasi
Gentamicin dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap
gentamicin maupun obat golongan aminoglikosida lainnya akibat kecenderungan reaksi
sensitivitas silang pada obat golongan aminoglikosida. Obat ini mengandung sodium
metabisulfite. Reaksi alergi ringan hingga anafilaksis dapat timbul dipicu sulfite tersebut.
Efek Samping
Efek samping gentamicin yang pernah dilaporkan antara lain gangguan vestibular,
neuropati perifer, atau peningkatan kadar kreatinin transien.
Interaksi Obat
Gentamicin dapat mengalami interaksi dengan beberapa obat-obatan mengakibatkan
penurunan ekskresi obat, peningkatan risiko perdarahan, dan nefrotoksik. Koadministrasi
gentamicin dengan acarbose, paracetamol, abacavir, allopurinol, alprazolam, aztreonam,
dan cidofovir akan menurunkan laju ekskresi sehingga meningkatkan kadar serum obat.
Risiko perdarahan meningkat pada koadministrasi warfarin dengan gentamicin.

3. Kloramfenikol(5)(6)

Farmakokinetik
Penyerapan: Mudah diserap dengan konsentrasi plasma puncak setelah 1 atau 2 jam
(oral).
Distribusi: Didistribusikan secara luas ke dalam jaringan dan cairan, CSF (hingga 50%
bahkan tanpa adanya meningitis), mata (air dan cairan vitreous); melintasi plasenta dan
memasuki ASI. Pengikatan protein: 60%.
Metabolisme: Dihidrolisis menjadi obat bebas dalam saluran GI (palmitat); hati dengan
konjugasi dengan asam glukuronat, paru-paru dan ginjal setelah pemberian parenteral
(natrium suksinat).
Ekskresi: Melalui urin (30% tidak berubah sebelum hidrolisis, 5-10% dari dosis oral),
melalui empedu (3%), melalui feses (1% sebagai bentuk tidak aktif); 1,5-4 jam (waktu
paruh eliminasi).
Farmakodinamik
Kloramfenikol menghambat sintesis protein bakteri dengan mengikat subunit 50-an dari
ribosom bakteri, sehingga mencegah pembentukan ikatan peptida oleh peptidil
transferase. Ini memiliki kedua tindakan bakteriostatik dan bakterisida terhadap H.
influenzae, N. meningitidis dan S. pneumoniae.
Durasi: Tifoid: 8-10 hari; meningitis: 7-10 hari; abses otak: Hingga 4 minggu.
Indikasi
Indikasi chloramphenicol adalah sebagai antibiotik alternatif pada infeksi berat yang
mikroorganisme penyebabnya masih suseptibel dengan obat ini, atau apabila pengobatan
dengan antimikroba lain yang lebih tidak toksik tidak tersedia atau tidak dapat diberikan.
Chloramphenicol juga diindikasikan sebagai pengobatan topikal terhadap infeksi
superfisial pada telinga luar dan infeksi superfisial pada mata.
Infeksi mata dengan dosis dewasa: Tanamkan 1 tetes larutan 0,5% setiap 2 jam. Tambah
interval dosis setelah perbaikan. Untuk melanjutkan perawatan setidaknya 48 jam setelah
penyembuhan lengkap. Kurangi dosis begitu gejalanya terkontrol atau oleskan salep 1%
3-4 kali sehari.
Kontraindikasi

Beberapa kontraindikasi chloramphenicol adalah:

 Individu dengan riwayat hipersensitivitas atau reaksi toksik terhadap chloramphenicol


(untuk kasus konjungtivitis)

 Individu yang mengalami penyakit pada sumsum tulang atau gangguan hematologi

 Individu dengan porfiria

 Penggunaan sebagai profilaksis pada infeksi ringan

 Kehamilan dan menyusui

 Neonatus usia < 1 minggu

 Bayi lahir prematu

Efek Samping
- Gejala GI; perdarahan;
- neuritis perifer dan optik, gangguan penglihatan, kebutaan;
- ensefalopati, kebingungan, delirium, depresi mental, sakit kepala.
- Hemolisis pada pasien dengan defisiensi G6PD.
- aplikasi oftalmik: Reaksi hipersensitivitas termasuk ruam, demam, dan angioedema.
Tetes telinga: Ototoksisitas.
- Berpotensi Fatal: Penekan sumsum tulang dan anemia aplastik yang ireversibel.
Neutropenia, trombositopenia. Sindrom bayi abu-abu. Jarang, anafilaksis.
Interaksi Obat
Interaksi obat chloramphenicol dengan makrolida (misalnya azithromycin) dapat
menimbulkan inhibisi kompetitif sehingga menurunkan efektivitas kedua obat.
Chloramphenicol yang digunakan bersamaan dengan sulfonilurea (misalnya
glibenclamide) dapat menyebabkan pemanjangan efek hipoglikemik. Penggunaan
chloramphenicol bersama warfarin akan meningkatkan efek warfarin, sehingga
meningkatkan risiko perdarahan. enggunaan bersama phenytoin akan meningkatkan
konsentrasi plasma phenytoin, sehingga meningkatkan risiko toksisitas.

Konjungtivitis Viral
1. Patanol (Olopatadin)(5,7)

Farmakokinetik
Pemberian okular topikal dengan paparan sistemik minimal. Oral memiliki waktu paruh
dalam plasma adalah sekitar 3 jam, dan eliminasi didominasi melalui ekskresi ginjal.
Sekitar 60-70% dari dosis pulih dalam urin sebagai obat induk. Dua metabolit, mono-
desmethyl dan N-oksida, terdeteksi pada konsentrasi rendah dalam urin.

Farmakodinamik
Olopatadine adalah penghambat pelepasan histamin dari sel mast dan antagonis H1
histamin yang relatif selektif yang menghambat reaksi hipersensitivitas langsung in vivo
dan in vitro tipe 1 termasuk penghambatan efek yang diinduksi histamin pada sel epitel
konjungtiva manusia. Olopatadine tidak memiliki efek pada reseptor alfa-adrenergik,
dopamin, dan muskarinik tipe 1 dan 2 serotonin. Setelah pemberian okular topikal pada
manusia, olopatadine terbukti memiliki paparan sistemik yang rendah. Dua penelitian
pada sukarelawan normal (total 24 subyek) diberi dosis bilateral dengan larutan
ophthalmic olopatadine 0,15% sekali setiap 12 jam selama 2 minggu menunjukkan
konsentrasi plasma secara umum di bawah batas kuantisasi pengujian (<0,5 ng / ml).
Sampel di mana olopatadine dapat diukur biasanya ditemukan dalam 2 jam setelah dosis
dan berkisar 0,5-1,3 ng / ml. Waktu paruh dalam plasma adalah sekitar 3 jam, dan
eliminasi didominasi melalui ekskresi ginjal. Sekitar 60-70% dari dosis pulih dalam urin
sebagai obat induk. Dua metabolit, mono-desmethyl dan N-oksida, terdeteksi pada
konsentrasi rendah dalam urin.
Indikasi
Gejala pada konjungtivitis
Kontraindikasi
Hipersensitivitas pada komposisi obat
Efek Samping
- Saraf: Sakit kepala
- Mata: Astenia, pengelihatan kabur, rasa terbakar atau menyengat, terasa kering, terasa
mengganjal, hiperemis, keratitis, hipersensitifitas.
Interaksi Obat
olopatadine tidak menghambat reaksi metabolik yang melibatkan isoenzim sitokrom P-
450 1A2, 2C8, 2C9, 2C19, 206, 2E1 dan 3A4. Hasil ini menunjukkan bahwa olopatadine
tidak mungkin menghasilkan interaksi metabolik dengan zat aktif lain yang diberikan
secara bersamaan.

Konjungtivitis Alergi
1. Emedastin(2,5)

Farmakokinetik
Absorpsi secara minimal topical daerah konjungtiva hingga sklera dan dieliminasi setelah
10 jam penetesan.
Farmakodinamik
Emedastin bekerja untuk reseptor antagonis selektif histamin (H1) untuk penggunaan
tetes mata.
Indikasi
Konjungtivitis alergi
Dosis Dewasa: 0,05% emedastine tetes mata 1 x 4 tetes/hari
Kontraindikasi
Hipersensitifitas, Post Op
Efek Samping
Saraf: sakit kepala, asthenia
Mata: blurred vision, seperti terasa terbakar, tidak nnyama, hiperemis
Interaksi Obat
-

2. Betamethasone(1,5)

Farmakokinetik
Topikal kortikosteroid dapat diserap melalui kulit dalam keadaan normal. Proses absorpsi
betamethasone melalui jalur perkutaneus dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya
adalah kondisi epidermal dan pengangkutnya di dalam tubuh. Pemberian betamethasone
topikal secara lokal akan tetap diabsorpsi dan secara sistemik disebarkan ke seluruh
tubuh. 64% betamethasone yang diserap akan mengikat protein (globulin dan albumin)
sehingga disebut transkortin. Selama terikat dalam protein, kortikosteroid belum menjadi
bentuk aktif. Dalam dosis rendah atau normal, kortikosteroid dapat diikat dengan protein,
namun dalam dosis tinggi, sebagian kortikosteroid beredar dalam bentuk bebas.
Betamethasone dimetabolisme di dalam hepar. Dalam bentuk steroid adrenokortikal aktif,
sintetik kortikosteroid akan diubah menjadi ikatan ganda di posisi 4,5 dan membentuk
kelompok keton pada C 3. Penambahan atom oksigen dan hidrogen oleh proses konjugasi
akan mengubah kortikosteroid menjadi larut air, betamethasone memiliki waktu paruh
sekitar 5 hingga 6 jam. Betamethasone yang telah melalui proses enzimatik di dalam
hepar akan diubah dalam bentuk larut air sehingga dapat dibuang melalui urin dan sekresi
empedu.
Farmakodinamik
Betamethasone topikal mengurangi inflamasi dengan cara menstabilisasi membran
liposomal leukosit, mencegah pelepasan asam hidrolase dari leukosit, menghambat
akumulasi makrofag pada area yang radang mengurangi adhesi leukosit pada endotel
kapiler, mengurangi permeabilitas dinding kapiler dan edema, menurunkan komponen
komplemen, antagonis terhadap aktivitas histamin dan pelepasan kinin dari substrat, dan
mengurangi proliferasi fibroblas, deposisi kolagen, dan pembentukan jaringan parut
Indikasi
Indikasi betamethasone topikal adalah manifestasi inflamasi seperti kemerahan, gatal,
eczema, dan pruritus pada kulit yang disebabkan oleh alergi dan inflamasi.
Kontraindikasi

Betamethasone dikontraindikasikan pada keadaan-keadaan berikut:


 Hipersensitifitas pada kortikosteroid lainnya dan bahan campurannya
 Lesi kulit oleh virus, bakteri, jamur, dan infeksi parasite
 Tidak boleh diberikan pada lesi kulit akibat reaksi vaksin, biasanya vaksin
tuberkulosis.

Efek Samping

Efek samping dapat dibagi menjadi efek samping lokal dan sistemik. Efek samping lokal
di antaranya :
 Kulit menjadi kering, perasaan terbakar dan gatal
 Kulit menjadi lebih tipis
 Kulit atrofi, striae, acne dan dermatitis perioral
 Hipertrikosis
 Gangguan pigmen kulit
 Proses penyembuhan luka menjadi lebih lama
 Eksaserbasi infeksi kulit, terutama jamur
Efek samping sistemik :
 Supresi HPA Axis (Hipotalamik-pituitari-adrenal axis)
 Hiperglikemik dan diabetes melitus
 Gangguan pada mineralkortikoid seperti hipokalsemia dan edema
 Glaukoma

Interaksi Obat
Corticorelin : Efektifitas corticorelin akan berkurang bila dikombinasi dengan
kortikosteroid
Corticosteroid : Meningkatkan resiko efek samping bila dikombinasi dengan sesama
kortikosteroid topikal yang lain.
Hialuronidase : Kortikosteroid akan mengurangi efektifitas hialuronidase
Ceritinib : Efek samping hiperglikemik yang disebabkan ceritinib akan
meningkat bila dikombinasi dengan kortikosteroid
3. Cetrizine(5)

Farmakokinetik
Obat cetirizine memiliki farmakokinetik berupa absorpsi gastrointestinal yang baik,
menjalani siklus enterohepatik, dan diekskresikan sebagian besar ke urine. Cetirizine
diabsorpsi cepat setelah konsumsi per oral. Bioavailabilitas obat >70%. Konsentrasi
puncak tercapai dalam waktu sekitar satu jam, dan masa kerja obat sekitar 12‒24 jam.
Konsumsi obat bersama makanan, dapat memperlambat waktu pencapaian konsentrasi
puncak obat dalam plasma darah.
Sebagian kecil obat cetirizine dimetabolisme di hati, terutama oleh enzim CYP3A4,
dan obat mengikuti siklus enterohepatik. Selain itu, cetirizine juga dimetabolisme secara
terbatas oleh oxidative O-dealkylation menjadi suatu metabolit yang aktivitas
antihistaminnya dapat diabaikan. Sekitar 93% cetirizine dalam plasma darah terikat
protein. Distribusi obat terbatas hingga pada lokasi ekstraseluler dimana terdapat reseptor
H1, dan pada sel-sel yang bersifat inflamasi seperti mastosit, basofil, eosinofil, dan
limfosit. Sebagai antihistamin generasi kedua, hanya terdapat sedikit konsentrasi obat
cetirizine yang mampu melewati sawar otak. Hal ini menyebabkan efek sedasi yang
minimal dibandingkan antihistamin generasi pertama seperti diphenhydramine. Walau
demikian, efek sedasi cetirizine merupakan yang terkuat dibandingkan obat antihistamin
generasi kedua lainnya. Waktu paruh eliminasi obat adalah sekitar 8,3 jam. Ekskresi
cetirizine, sebagian besar sekitar 70% dikeluarkan melalui urine, dimana sekitar
separuhnya sebagai obat dalam bentuk tidak berubah. Sebagian kecil obat, yaitu sekitar
10% dibuang ke feses.
Farmakodinamik
Mekanisme kerja obat cetirizine pada konstriksi otot polos seperti pada kondisi
spasme bronkus akibat reaksi alergi, adalah dengan menginhibisi efek histamin pada otot
polos tersebut. Kerja obat terhadap terjadinya vasokonstriktor histamin adalah dengan
memberikan efek vasodilator dengan cara mengaktivasi reseptor H1 pada sel-sel
endotelial.
Cetirizine juga bekerja dengan menghalangi peningkatan permeabilitas kapiler, dan
edema yang disebabkan oleh pelepasan histamin. Selain itu, kerja obat yang menekan aksi
histamin pada saraf akhir, akan mengurangi rasa gatal dan kemerahan pada kulit akibat
reaksi alergi. Kompetisi obat dengan histamin yang melepaskan sitokin dan eicosanoids
yang bersifat inflamasi, pada reseptor-reseptor H1 di sel-sel efektor akan menurunkan
reaksi inflamasi tersebut.
Cetirizine menunjukkan selektivitas tinggi terhadap reseptor H1, sehingga tidak
memiliki efek terhadap reseptor muskarinik serta hanya menunjukkan efek
antiserotonergik dan antikolinergik minimal yang dapat diabaikan. Hal ini berlawanan
dengan kerja antihistamin generasi pertama, yaitu selektivitas buruk terhadap reseptor dan
sering berinteraksi dengan reseptor-reseptor amines, menimbulkan efek antimuskarinik,
anti ɑ-adrenergic, dan antiserotonin.
Cetirizine merupakan substrat P-glycoprotein (gP) yang terbatas kemampuannya
dalam melintasi sawar otak. Karenanya, sangat sedikit kadar obat terikat pada reseptor
histamin serebral, sehingga efek sedasi obat minimal.
Indikasi
Cetirizine, atau yang juga ditulis sebagai setirizin dapat diindikasikan untuk mengatasi
gejala reaksi alergi. Sediaan obat cetirizine tetes mata 0,24% diberikan pada pasien usia
≥2 tahun, satu tetes dua kali sehari untuk mengobati mata gatal berasosiasi dengan
konjungtivitis alergi. Walau demikian, sediaan cetirizine tetes mata ini tidak tersedia di
Indonesia.
Kontraindikasi
Kontraindikasi cetirizine, atau yang juga dikenal sebagai setirizin, adalah pada seseorang
yang memiliki riwayat hipersensitivitas dengan obat ini. Peringatan pada pengguna obat
ini untuk tidak mengemudikan kendaraan, atau mengoperasikan mesin karena risiko efek
samping sedasi.
Efek Samping
Literatur menyatakan bahwa cetirizine memberikan efek sedatif yang minimal, atau
dikatakan nonsedatif. Walau demikian, efek sedasi dilaporkan terjadi pada hingga 14%
pasien yang menggunakan cetirizine. Efek sedasi ini lebih tinggi dibanding antihistamin
generasi kedua lain seperti loratadine dan fexofenadine.

Efek samping yang umum adalah:


 Saluran pencernaan: mulut terasa kering, nyeri tenggorokan, mual, muntah, nyeri
lambung, konstipasi, diare
 Saluran pernapasan: batuk
 Lainnya: rasa kepala melayang, insomnia, merasa lelah, sakit kepala

Interaksi Obat
Interaksi obat cetirizine dengan obat golongan antidepresan, seperti trazodone,
mirtazapine, venlafaxine, dapat meningkatkan efek sedasi obat golongan antidepresan
tersebut. Sedangkan interaksi cetirizine dengan alkohol, obat penenang seperti diazepam,
fenobarbital, lorazepam, atau obat sedasi lainnya dapat meningkatkan efek depresi sistem
saraf pusat.

Keratitis jamur

1. Ketokonazole(1,8)

Farmakokinetik
Ketoconazole memiliki kemampuan rendah untuk larut dalam air. Penyerapan ke dalam darah
sangat bervariasi bergantung pada kadar keasaman (semakin asam semakin baik penyerapannya
dalam darah) sehingga penyerapan akan lebih baik bersamaan dengan makan.[1,6] Rata-rata
konsentrasi ketoconazole dalam darah 3.5 ug/mL dalam waktu 1 hingga 2 jam.
Ketoconazole dapat didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh melalui ikatan albumin, namun
rendah dalam CSF. Setelah diabsorsi, ketoconazole tablet dikonversi menjadi metabolit inaktif.
Metabolisme ketoconazole terjadi di liver menjadi bentuk metabolit inaktifnya. Beberapa
penelitian mengemukakan adanya keterlibatan pada sitokrom isoenzim P450 dan beberapa
transporter seperti CYP3A4, CYP2C9, CYP2C19, P-gp, UGT1A1, dan UGT2B7. Ketoconazole
adalah salah satu zat yang menghambat kerja CYP3A4.
Ketoconazole dieliminasi di hepar dengan melakukan oksidasi, dealkilasi dan hidroksilasi
aromatik pada cincin imidazole dan piperazine dengan menggunakan enzim microsomal dari
hepar.[7] Ketoconazole memiliki waktu paruh (t ½) 7 hingga 10 jam.[1] Secara oral, ketoconazole
akan mencapai dosisi maksimum di serum sekitar 4.2- 6.2 µg/mL pada dewasa dalam keadaan
sehat. Secara topikal, ketoconazole akan mencapai kadar sekitar 0 – 20.7 ng/mL. Rata-rata, 13%
dari dosis yang diminum akan dieksresikan ke urin.[1,6] Sedangkan eksresi terbesar adalah
melalui cairan empedu yang dialirkan ke intestinal lalu sebanyak 57% dibuang ke feses. Sisa dari
ketoconazole di dalam tubuh tidak mengalami perubahan dan tetap di dalam tubuh.

Farmakodinamik
Ketoconazole adalah obat azole oral pertama yang digunakan oleh klinisi untuk mengobati
infeksi fungal. Ketoconazole bekerja dengan memblok sintesis dari ergosterol (salah satu
komponen dari membrane sel fungal) melalui inhibisi pada sitokrom P-450 pada enzim lanosterol
14α – demetilase. Karena enzim tersebut diinhibisi, maka lanosterol tidak dapat melakukan
konversi menjadi ergosterol pada sel membran fungal.[2] Ergosterol yang tidak dapat terbentuk
dan semakin tipis pada dinding membran sel akan menyebabkan struktur dan fungsi pada
membran sel menjadi lemah.

Indikasi

Kontraindikasi
- Hipersensitif.
- Penggunaan bersamaan dengan substrat CYP3A4 (misalnya cisapride,
dofetilide, dronedarone, quinidine, Disopiramid, pimozide, sertindole,
mizolastine, lurasidone, quetiapine, metadon, Ranolazine, eplerenone,
halofantrine, triazolam, alprazolam, midazolam, nisoldipin, felodipine,
irinotecan, everolimus, sirolimus , paritaprevir / ombitasvir, saquinavir /
ritonavir), HMG-CoA reductase (misalnya simvastatin, lovastatin), alkaloid
ergot (misalnya ergotamine, ergometrine); colchicine, telithromycin,
clarithromycin, fesoterodine dan solifenacin.
- Ggn hati akut atau kronis.
- Kehamilan (dengan sindrom Cushing) dan laktasi (oral).
Efek Samping
Oral: Obat ini dapat menyebabkan pusing dan mengantuk, jika terkena, jangan
mengemudi atau mengoperasikan mesin.
Topikal: Hindari penggunaan sampo dalam waktu 48 jam setelah menerapkan,
meluruskan atau melambaikan persiapan. Hindari paparan api terbuka atau sumber nyala
lainnya selama atau setelah aplikasi.
Interaksi Obat
- Peningkatan risiko hiperkalemia dan hipotensi dengan eplerenone.
- Peningkatan risiko hepatotoksisitas dan perpanjangan interval QTC dengan
telithromycin dan clarithromycin
- Peningkatan risiko edema dan CHF dengan felodipine dan nisoldipine.
- Peningkatan risiko kerusakan hati dengan parasetamol. Dapat mengurangi
absorpsi dengan antasida, antimuskarinik, PPI, antagonis reseptor H2.
- Dapat menurunkan konsentrasi plasma dengan induser CYP3A4 (mis.
Rifampisin, rifabutin, carbamazepine, fenitoin, isoniazid, nevirapine,
mitotane).
- Dapat meningkatkan tingkat serum dengan inhibitor CYP3A4 (mis. Darunavir
dan fosamprenavir yang dikuatkan dengan ritonavir).
- Dapat meningkatkan konsentrasi plasma buprenorfin, alfentanil, fentanyl,
oxycodone, digoxin, apixaban, warfarin, cilostazol, repaglinide, praziquantel,
saxaliptin, isavuconazole, eletriptan, buspirone, aripiprazole, midolidol,
medolone, risid, IV verapamil, aliskiren, bosentan, domperidone, naloxegol,
ciclosporin, budesonide, deksametason, fluticasone, sildenafil, vardenafil,
cinacalcet, ibrutinib, busulfan, docetaxel, vinca alkaloid (misalnya vincristine).
- Dapat meningkatkan risiko perpanjangan interval QTc dengan haloperidol,
salmeterol, ebastine, pasireotide, dan tolterodine.
Daftar Pustaka
1. Journal IN. Memutus Mata Rantai Penularan Konjungtivitis Bakteri Akut. Idea Nurs J.
2016;7(3):62–5.
2. Ramadhanisa A. Conjunctivitis Bakterial Treatment in Kota Karang. J Medula Unila.
2014;3(2):1–7.
3. Paul Riordan-Eva, FRCS Frco, John P.Whitcher MdM. Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology. Diana Susa. ECG Medical Publisher; 2009. 1–23, 290–300 p.
4. Prof.dr.H. Sidarta Ilyas S., dr.Sri Rahayu Yulianti S. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FK
UI; 2017.
5. Tim P, Penyusunan P, Negara TLe, Lembaran T, Republik N. FARMAKOPE
FARMASI INDONESIA v. 2014;
6. Chloramphenicole [Internet]. 2020. Available from:
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/chloramphenicol/?
type=brief&mtype=generic
7. Patanol [Internet]. 2020. Available from:
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/patanol/?type=brief
8. Jacobs D. General Ophthalmology [Internet]. Vol. 108, Archives of Ophthalmology.
1990. 1392 p. Available from: http://archopht.jamanetwork.com/article.aspx?
doi=10.1001/archopht.1990.01070120040020

Anda mungkin juga menyukai