TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman
Spesies dari Tagetes dikenal dengan nama Inggris marigold, tumbuh sebagai
tanaman hias tahunan. Varietas spesies dari Tagetes digunakan secara luas sebagai
tanaman hias, namun pada banyak negara di bagian timur, bunganya digunakan
sebagai sarana persembahyangan (Vasudevan et al., 1997). Pada umumnya
masyarakat Bali menggunakan bunga marigold untuk keperluan upacara
keagamaan, sehingga banyak masyarakat Bali yang menanam sendiri untuk
memenuhi kebutuhannya.
2.1.1 Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Asterales
Suku : Compositae
Marga : Tagetes
2.1.3 Deskripsi
Tanaman marigold merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Selatan
dan saat ini telah dibudidayakan hampir di seluruh dunia. Tanaman marigold
merupakan salah satu tanaman yang cocok ditanam di Indonesia karena syarat
5
6
2.1.4 Morfologi
a. Akar
Akar dari tanaman marigold merupakan akar tunggang yang merupakan ciri
dari tanaman kelas Dicotyledoneae (tumbuhan biji belah). Akar tersebut berwarna
putih kekuningan serta memiliki rambut akar yang berguna untuk mengambil
nutrisi serta air yang terdapat di dalam tanah. Tanaman marigold pada umumnya
tumbuh tegak ke atas dengan tinggi berkisar 0,6 m - 1,3 m (Sukarman dan
Chumaidi, 2010)
b. Daun
Marigold memiliki bentuk tulang daun menyirip. Daun tersebut berbentuk
lanset, tepi beringgit dengan ujung yang meruncing. Bunga dari tanaman marigold
dapat tumbuh hingga diameter bunga 7,5 – 10 cm (Winarto, 2010).
c. Batang
Batangnya berwarna putih kehijauan jika pucuknya masih muda dan jika
sudah dewasa berwarna hijau, tumbuh tegak dan bercabang-cabang. Tinggi
tanaman ini berkisar 30 cm hingga 120 cm. Pada sekujur batangnya, tumbuh daun
7
majemuk yang berujung runcing dan tepinya bergerigi. Batangnya tumbuh tegak
dan bercabang-cabang. Lapisan terluarnya merupakan epidermis batang. Bagian
batang yang disebut korteks, disusun oleh parenkim korteks. (Anonim II, 2007).
d. Bunga
Bunga marigold memiliki bentuk yang menyerupai cawan serta memiliki
warna mencolok yaitu oranye dan kuning cerah. Bunga memiliki organ bunga
yang lengkap yaitu putik dan benang sari (Winarto, 2010).
kandungan utama yang ada di bunga marigold. adalah flavonoid dan karotenoid
(Vasudevan et al., 1997).
Karotenoid lutein ester, khususnya, telah diidentifikasi sebagai komponen
pigmen utama pada bunga marigold (Gong et al., 2012). Bunga marigold juga
dapat digunakan sebagai sumber karotenoid. Karotenoid yang berasal dari ekstrak
bunga marigold secara komersial digunakan sebagai pewarna dan suplemen
makanan. Salah satu karotenoid yang sering dijumpai adalah lutein. Ekstrak bunga
gumitir yang dianalisis dengan LC-MS telah diketahui mengandung lutein
(Breithaupt et al., 2002). Lutein adalah oksikarotenoid, atau xantofil, yang
mengandung 2 kelompok akhir siklik (satu beta dan satu cincin alfa-ionone) dan
struktur isoprenoid C-40 dasar yang umum untuk semua karotenoid dan
merupakan salah satu unsur utama dan pigmen utama Tagetes erecta. Marigold
adalah salah satu sumber lutein yang paling pekat yaitu 80-90% lutein
(Quackenbush and Miller, 1972).
Karotenoid adalah pigmen alami yang berkontribusi pada karakteristik
warna kuning, oranye, dan kemerahan dari jaringan tanaman termasuk daun, buah,
sayuran, dan bunga. Mereka memainkan peran penting dalam fotosintesis,
photoprotection, perkembangan, sebagai hormon stres, dan molekul pensinyalan
pada tanaman. Selain itu, warna-warna ini berfungsi untuk menarik agen
penyerbuk dan penyebar benih. Beberapa karotenoid berperan sebagai prekursor
vitamin A, yang merupakan antioksidan yang efisien dan penting untuk nutrisi
manusia. Karena properti ini, konsumsi makanan kaya karotenoid dianggap
menawarkan perlindungan terhadap beberapa jenis kanker, kerusakan kulit akibat
sinar UV, penyakit Berikut analisis fitokimia Tagetes erecta (Devika and Justin,
2012). Flavonoid adalah metabolit sekunder yang diperkirakan menghasilkan
beberapa efek bermanfaat bagi kesehatan manusia melalui sifat antioksidan dan
khelat (Heim et al., 2002; Ĉíž et al., 2010). Tabel hasil analisis fitokimia bunga
marigold (Basavaraj, 2011).
9
2.1.5 Khasiat
(Kirtikar and Basu, 1987; Ghani, 1998).. Rhama and Madhavan (2011)
melaporkan aktivitas anti bakteri dari Marigold dengan pelarut yang berbeda
terhadap bakteri Alcaligens faecalis, Bacillus cereus, Campylobacter coli,
Escherchia coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, Proteus
vulgaris, Streptococcus mutans dan Streptococcus pyogenes. Flavonoid yang
memiliki aktivitas anti bakteri terhadap semua strain diuji dan menunjukkan zona
inhibisi maksimum untuk Klebsiella pneumoniae (29,50 mm) (Priyanka et al..,
2013).
Sedangkan pada hasil penelitian Phrutivorapongkul dkk. (2013) ekstrak
bunga marigold memiliki IC50 3,70 μg/mL. Tingkat kekuatan antioksidan
dikatakan sangat kuat bila memiliki IC50 <50 μg/mL jadi dapat dikatakan ekstrak
etanol bunga marigold memiliki intensitas antioksidan sangat kuat
(Phrutivorapongkul dkk. 2013).
2.2 Antioksidan
Di dalam tubuh kita terdapat senyawa yang disebut antioksidan yaitu
senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas, seperti: enzim SOD (Superoksida
Dismutase), gluthatione, dan katalase. Antioksidan juga dapat diperoleh dari
asupan makanan yang banyak mengandung vitamin C, vitamin E dan betakaroten
serta senyawa fenolik. Bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan
alami, seperti rempah-rempah, coklat, biji-bijian, buah-buahan, sayur-sayuran
seperti buah tomat, pepaya, jeruk dan sebagainya (Prakash, 2001).
Tubuh manusia tidak mempunyai cadangan antioksidan dalam jumlah
berlebih, sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih maka tubuh membutuhkan
12
2.2.4 Penuaan
Penuaan (aging) merupakan fenomena biologis kompleks yang sering
diikuti oleh perubahan sosial ekonomi yang mana mengakibatkan dampak besar
pada kondisi nutrisi dan kebutuhan pada orang tua dimana disabilitas meningkat
seiring dengan terjadinya penuaan. Lebih dari sepertiga orang terbatas pada
kondisi kronis dan tidak mampu untuk melakukan aktivitas utama (Oliveira et al.,
2010). Apabila faktor-faktor penyebab penuaan dapat dihindari, proses penuaan
tentu dapat dicegah, diperlambat bahkn mungkin dihambat dan kualitas hidup
dapat dipertahankan (Pangkahila,2007) Proses penuaan tidak terjadi begitu saja
dengan langsung menampakan perubahan fisik dan psikis. Proses penuaan dapat
berlangsung melalui tiga tahap sebagai berikut (Pangkahila, 2011):
1. Tahap subklinik (usia 25-35 tahun): Pada tahap ini, sebagian besar hormon
di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormon
17
dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas dapat merusak sel dan
DNA mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari
luar, karena itu pada usia ini dianggap usia muda dan normal.
2. Tahap transisi (usia 35-45 tahun): Pada tahap ini kadar hormon menurun
sampai 25%. Massa otot berkurang sebanyak satu kilogram tiap tahunnya.
Pada tahap ini orang mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua.
Kerusakan oleh radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik yang dapat
mengakibatkan penyakit seperti kanker, radang sendi, berkurangnya
memori, penyakit jantung koroner dan diabetes.
3. Tahap klinik (usia 45 tahun ke atas): Pada tahap ini penurunan kadar hormon
terus berlanjut yang meliputi DHEA, melatonin, growth hormon,
testosteron, estrogen dan juga hormon tiroid. Terjadi penurunan bahkan
hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin dan mineral.
Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami
kegagalan.
Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal
bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan
kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas
adalah DNA, lemak dan protein (Suryohudoyo, 2000).
Interaksi antara molekul oksigen maupun nitrogen dengan radikal bebas
lainnya dapat membentuk RONS (Reactive Oxygen/ Nitrogen Species).
Peningkatan produksi RONS dapat terjadi antara lain akibat terpapar polutan dari
lingkungan luar, asupan gizi yang berlebihan, atau aktivitas fisik yang berlebihan,
atau secara ringkasnya dapat disimpulkan bahwa keadaan dimana terjadi
peningkatan konsumsi oksigen dapat berakibat terjadinya peningkatan produksi
RONS (Wellman dan Bloomer, 2009). Radikal bebas juga merusak kolagen dan
elastin atau protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel dan elastis.
Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada
daerah wajah, di mana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam
akibat paparan yang lama oleh radikal bebas.
Penuaan dan penyakit yang berhubungan dengan umur dikarenakan adanya
kerusakan oksidatif yang berlangsung lama dan dapat dipicu juga karena faktor
18
genetik dan lingkungan. Sejak saat inilah keterlibatan radikal bebas dalam
mempengaruhi penuaan meningkat secara progresif dan menjadi salah satu teori
pada proses penuaan (Wickens, 2011).
2.3 Kulit
Kulit adalah organ terbesar dari tubuh dan meliputi wilayah yang sangat luas.
Ketebalan kulit bervariasi di berbagai bagian tubuh. Sel-sel kulit yang paling tipis
pada wajah; ini penting untuk penggunaan kosmetik yang harus mampu
menembus kulit (Young, 1972). Kulit menutupi seluruh tubuh dan melindungi
dari berbagai jenis rangsangan eksternal dan kerusakan serta dari hilangnya
kelembapan. Luas permukaan kulit orang dewasa sekitar 1,6 m2 (Mitsui, 1997).
2. Stratum spinosum
Lapisan ini terdiri dari beberapa lapis keratinosit, dan beberapa sel
Langerhans.
a. Keratinosit: mengubah ekspresi keratin saat berdiferensiasi. Filamen-
filamen keratin di dalam sel untuk memperkuat hubungan sel-sel dan
membuat hubungan erat antar sel.
b. Sel-sel Langerhans: merupakan sel penyaji antigen khusus (sel
dendritik) yang menyusun sekitar 3 – 6% sel pada lapisan stratum
spinosum. Saat sel ini terpapar oleh benda asing/ antigen, sel-sel ini
bermigrasi keluar epitel dan menuju kelenjar getah bening regional
untuk menginisiasi respons imun.
3. Stratum granulosum
Lapisan ini terletak pada bagian atas stratum spinosum. Lapisan ini berisi
keratinosit yang telah bergerak ke atas dan selanjutnya berdiferensiasi menjadi sel
bergranul. Sel-sel ini menekan lipid khusus pada granula intraselular menuju
celah antar sel-sel mati (skuama) pada lapisan di atasnya. Saat bergerak ke atas,
sel-sel ini mulai kehilangan nukleus dan organel sitoplasmanya, kemudian mati.
Sel-sel mati menjadi „skuama‟ berkeratin dari lapisan teratas.
4. Stratum lusidum
Lapisan ini merupakan lapisan kelima yang kadang-kadang ditemukan pada
kulit tebal di antara lapisan stratum granulosum dan stratum korneum. Lapisan ini
tipis dan transparan serta sulit teridentifikasi pada potongan histologis rutin.
5. Stratum korneum
Lapisan ini merupakan lapisan teratas dan terluar, dan terdiri dari sel-sel mati,
yang menjadi datar dan tampak seperti pengelupasan kulit (atau skuama). Sel-sel
ini berisi lapisan keratin yang kuat yang berikatan silang, pada bagian dalam
terikat pada lipid khusus, dan pada bagian luar membentuk sawar anti-air yang
kuat. Skuama akhirnya mengelupas (Peckham, 2014).
Dermis terdiri dari jaringan ikat dan bantal tubuh, yang memiliki komponen
yaitu kolagen, serat elastis dan matriks extrafibrillar. Di dalam dermis terdapat
folikel rambut, papila rambut, kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar
20
sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf (Latifah &
Tranggono, 2007).
b. Fungsi absorpsi
Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material larut-lipid seperti
vitamin A, D, E, dan K, obat-obatan tertentu, oksigen dan karbon dioksida
(Djuanda, 2007). Permeabilitas kulit terhadap oksigen, karbondioksida dan uap air
memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Selain itu
beberapa material toksik dapat diserap seperti aseton, CCl4, dan merkuri (Harien,
2010). Beberapa obat juga dirancang untuk larut lemak, seperti kortison, sehingga
mampu berpenetrasi ke kulit dan melepaskan antihistamin di tempat peradangan
(Martini, 2006).
Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi,
kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan dapat berlangsung
melalui celah antarsel atau melalui muara saluran kelenjar, tetapi lebih banyak
yang melalui sel-sel epidermis daripada yang melalui muara kelenjar (Tortora
dkk., 2006).
c. Fungsi ekskresi
Kulit juga berfungsi dalam ekskresi dengan perantaraan dua kelenjar
eksokrinnya, yaitu kelenjar sebasea dan kelenjar keringat:
1) Kelenjar sebasea
Kelenjar sebasea merupakan kelenjar yang melekat pada folikel rambut
dan melepaskan lipid yang dikenal sebagai sebum menuju lumen (Harien, 2010).
Sebum dikeluarkan ketika muskulus arektor pili berkontraksi menekan kelenjar
sebasea sehingga sebum dikeluarkan ke folikel rambut lalu ke permukaan kulit.
Sebum tersebut merupakan campuran dari trigliserida, kolesterol, protein, dan
elektrolit. Sebum berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri, melumasi dan
memproteksi keratin (Tortora dkk., 2006).
2) Kelenjar keringat
Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 mL air dapat
keluar dengan cara menguap melalui kelenjar keringat tiap hari (Djuanda, 2007).
Seorang yang bekerja dalam ruangan mengekskresikan 200 mL keringat
tambahan, dan bagi orang yang aktif jumlahnya lebih banyak lagi. Selain
mengeluarkan air dan panas, keringat juga merupakan sarana untuk
25
panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah, tubuh
akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit pembuluh darah
(vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas oleh tubuh (Harien,
2010).
f. Fungsi pembentukan vitamin D
Sintesis vitamin D dilakukan dengan mengaktivasi prekursor 7 dihidroksi
kolesterol dengan bantuan sinar ultraviolet (Djuanda, 2007). Enzim di hati dan
ginjal lalu memodifikasi prekursor dan menghasilkan kalsitriol, bentuk vitamin D
yang aktif. Calcitriol adalah hormon yang berperan dalam mengabsorpsi kalsium
makanan dari traktus gastrointestinal ke dalam pembuluh darah (Tortora dkk.,
2006).
Walaupun tubuh mampu memproduksi vitamin D sendiri, namun belum
memenuhi kebutuhan tubuh secara keseluruhan sehingga pemberian vitamin D
sistemik masih tetap diperlukan.Pada manusia kulit dapat pula mengekspresikan
emosi karena adanya pembuluh darah, kelenjar keringat, dan otot-otot di bawah
kulit (Djuanda, 2007).
5. Fungsi lain
Kulit juga berperan dalam menunjukkan kondisi emosional, seperti memerah,
dan ketakutan (pucat dan rambut tegak), dan dapat digambarkan sebagai organ
penanda emosi. Kulit juga mensintesis vitamin D melalui kerja sinar UV pada
prekursor vitamin-D di kulit (Mitsui, 1997).
2.4 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif
yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan
minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa
aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara
ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000). Ekstraksi cair-cair (liquid extraction,
solvent extraction): solute dipisahkan dari cairan pembawa (diluen) menggunakan
solven cair. Campuran diluen dan solven ini adalah heterogen ( immiscible, tidak
saling campur), jika dipisahkan terdapat 2 fase, yaitu fase diluen (rafinat) dan fase
solven (ekstrak).
27
Pemilihan solven menjadi sangat penting, dipilih solven yang memiliki sifat
antara lain:
a. Solut mempunyai kelarutan yang besar dalam solven, tetapi solven sedikit atau
tidak melarutkan diluen;
b. Tidak mudah menguap pada saat ekstraksi;
c. Mudah dipisahkan dari solut, sehingga dapat dipergunakan kembali;
d. Tersedia dan tidak mahal.
1. Maserasi
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan
pengembangan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya terus-menerus
sampai diperoleh ekstrak (perkolat). Cara perkolasi lebih baik dibandingkan
dengan cara maserasi karena:
- Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi
dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan derajat
perbedaan konsentrasi.
28
B. Cara Panas
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama
waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya
pendingin balik.
2. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru dan
yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur
yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50 0C.
4. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya dilakukan untuk menyari zat
kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Proses ini
dilakukan pada suhu 90 0C selama 15 menit.
5. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik
didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-100 0C.
2.5 Gel
Gel merupakan sediaan semipadat digunakan pada kulit, umumnya sediaan
tersebut berfungsi sebagai pembawa pada obat-obat topikal, sebagai pelunak kulit,
atau sebagai pembalut pelindung atau pembalut penyumbat (oklusif) (Lachman et
al, 1994). Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat yang terdiri dari
29
suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul
yang besar dan saling diresapi cairan (Ansel, 1989).
Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel-gel farmasetik
meliputi gom alam tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta bahan-
bahan sintetis dan semisintetis seperti metil-selulosa, hidroksietilselulosa,
karboksimetilselulosa, dan karbopol yang merupakan polimer vinil sintetis dengan
gugus karboksil yang terinosasi (Lachman et al, 1994). Penampilan gel adalah
transparan atau berbentuk suspensi partikel koloid yang terdispersi, dimana
dengan jumlah pelarut yang cukup banyak membentuk gel koloid yang
mempunyai struktur tiga dimensi. Terbentuknya gel dengan struktur tiga dimensi
disebabkan adanya cairan yang terperangkap, sehingga molekul pelarut tidak
dapat bergerak. Sifat gel yang sangat khas (Lieberman et al, 1996) yaitu :
1. Dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat mengabsorsi
larutan yang mengakibatkan terjadi penambahan volume.
2. Sineresis, suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi dalam massa
gel. Gel bila didiamkan secara spontan akan terjadi pengerutan dan cairan
dipaksa keluar dari kapiler meninggalkan permukaan yang basah.
3. Bentuk struktur gel resisten terhadap perubahan atau deformasi atau aliran
viskoelastis. Struktur gel dapat bermacam-macam tergantung dari
komponen pembentuk gel.
berdasarkan sifat fase koloidal. Magma bentonit merupakan contoh dari gel
anorganik, sedangkan gel organik sangat spesifik mengandung polimer sebagai
pembentuk gel. Selanjutnya dibagi-bagi berdasarkan sifat-sifat kimia molekul
organik yang terdispersi. Kebanyakan gom alam seperti gom arab, karagen dan
gom xantan adalah polisakharida anionik sejumlah selulosa yang merupakan hasil
sintesa, merupakan pembentuk gel yang efektif seperti hidroksipropil selulosa dan
metilhidroksipropil selulosa. Sifat pelarut akan menentukan apakah gel
merupakan hidrogel (dasar air) atau organo gel (dengan pelarut bukan air).
Sebagai contoh adalah magma bentonit dan gelatin merupakan hidrogel,
sedangkan organo gel adalah plastibase yang merupakan polietilen berbobot
molekul rendah yang dilarutkan dalam minyak mineral dan didinginkan secara
cepat. Gel padat dengan konsentrasi pelarut rendah dikenal sebagai xero gel,
sering dihasilkan dengan cara penguapan pelarut, sehingga menghasilkan
kerangka gel (Lieberman et al, 1996).
Zat-zat pembentuk gel digunakan sebagai pengikat dalam granulasi, koloid
pelindung dalam suspensi, pengental untuk sediaan oral dan sebagai basis
supositoria. Secara luas sediaan gel banyak digunakan pada produk obat-obatan,
kosmetik dan makanan juga pada beberapa proses industri. Pada kosmetik yaitu
sebagai sediaan untuk perawatan kulit, sampo, sediaan pewangi dan pasta gigi
(Herdiana, 2007).
Dasar gel yang umum digunakan adalah gel hidrofobik dan gel hidrofilik.
1. Dasar gel hidrofobik
Dasar gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik, bila
ditambahkan ke dalam fase pendispersi, hanya sedikit sekali interaksi antara
kedua fase. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara
spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus (Ansel,
1989).
2. Dasar gel hidrofilik
Dasar gel hidrofilik umumnya terdiri dari molekul-molekul organik yang besar
dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi. Istilah
hidrofilik berarti suka pada pelarut. Umumnya daya tarik menarik pada pelarut
dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari tidak adanya daya tarik menarik dari
31
bahan hidrofobik. Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat dan
memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 1989). Gel hidrofilik umummnya
mengandung komponen bahan pengembang, air, humektan dan bahan pengawet
(Voigt, 1994).
filming agent dan agen peningkat viskositas. PVA digunakan sebagai filming
agent karena dapat membentuk lapisan yang dapat dikelupas setelah mengering.
Film agent memiliki kemampuan untuk membentuk film setelah pelarutnya
menguap. Viskositas dan kekuatan film bervariasi, tergantung pada derajat
saponifikasi dan polimerisasi (Rowe dkk., 2009). Polivinil alkohol memiliki sifat
tidak berwarna, padatan termoplastik yang tidak larut pada sebagian besar pelarut
organik dan minyak, tetapi larut dalam air bila jumlah dari gugus hidroksil dari
polimer tersebut cukup tinggi (Harper & Petrie, 2003).
Secara komersial, polivinil alkohol adalah plastik yang paling penting
dalam pembuatan film yang dapat larut dalam air. Hal ini ditandai dengan
kemampuannya dalam pembentukan film, pengemulsi, dan sifat adesifnya.
Polivinil alkohol memiliki kekuatan tarik yang tinggi, fleksibilitas yang baik, dan
sifat penghalang oksigen yang baik (Ogur, 2005). Hodgkins & Taylor (2000)
melaporkan polivinil alcohol banyak diaplikasikan dalam bidang kesehatan
(biomedical), bahan pembuat deterjen, lem dan film.
PVA berperan dalam memberikan efek peel off karena memiliki sifat
adhesive sehingga dapat memebentuk lapisan film yang mudah dikelupas setelah
kering (Brick et al., 2014). Dalam kosmetik, konsentrasi polivinil alkohol yang
digunakan sekitar 7-10% yang diketahui bersifat tidak iritasi terhadap kulit dan
mata. Polivinil alkohol digunakan sebagai pembentuk lapisan film masker wajah
gel peel off dengan rentang konsentrasi 10-16% (Lestari dkk., 2013). Pada
Pembentukan gelling agent rentang PVA yang digunakan adalah 10 – 20 %
(Swarbrick, 2007)
35
Tabel II. 4 Spesifikasi Farmakope Untuk Polivinil Alcohol (Rowe Et Al., 2006)
Test PhEur 2005 USP 28
Viscosity - +
pH 4,5-6,5 5.0-8.0
Loss on drying ≤5.0% ≤5.0%
Residue on ignition ≤1.0% ≤2.0%
Water soluble substances - ≤0.1%
Degree of hydrolysis - ≤0.1%
Organic volatile impurities - +
Assay - 85.00-115.0%
PEG mempunyai sifat stabil, mudah larut dalam air hangat, tidak beracun,
non-korosif, tidak berbau, tidak berwarna, memiliki titik lebur yang sangat tinggi
(580°F), tersebar merata, higoskopik (mudah menguap) dan juga dapat mengikat
37
pigmen. Sifat PEG yang lunak dan rendah racun membuatnya banyak
dipergunakan sebagai dasar obat salep, dan pembawa dari bahan obat. Sifat PEG
yang larut dalam air menyebabkan bahan obat mudah terlepas dan terserap pada
kulit lebih cepat dari minyak yang teremulsi dalam air (Safitri, 2010). Penggunaan
PEG sebagai pelarut juga dapat meningkatkan distribusi (penyebaran) obat
didalam tubuh manusia (Sweetman, 2009).
PEG-1500 adalah bahan kimia yang berwarna putih seperti lilin, parrafin,
sebagai benda padat pada suhu kamar, tidak beracun, tidak berkarat, tidak berbau,
inert, tidak mudah terhidrolisis, tidak membantu pertumbuhan jamur dan dapat
dikombinasikan berdasarkan bobot molekulnya (Sweetman, 2009).