Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman
Spesies dari Tagetes dikenal dengan nama Inggris marigold, tumbuh sebagai
tanaman hias tahunan. Varietas spesies dari Tagetes digunakan secara luas sebagai
tanaman hias, namun pada banyak negara di bagian timur, bunganya digunakan
sebagai sarana persembahyangan (Vasudevan et al., 1997). Pada umumnya
masyarakat Bali menggunakan bunga marigold untuk keperluan upacara
keagamaan, sehingga banyak masyarakat Bali yang menanam sendiri untuk
memenuhi kebutuhannya.

2.1.1 Klasifikasi

Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Asterales
Suku : Compositae
Marga : Tagetes

(Bharathi et al.., 2014)


2.1.2 Nama Lain
Tagetes erecta dikenal dengan nama lain di belahan dunia, diantaraya bunga
tahi ayam, kenikir, randa kencana dan ades (Indonesia), amarello (Filipina),
African Marigold, Astec Marigold, American Marigold, Big Marigold (Inggris)
(BPTP, 2015).

2.1.3 Deskripsi
Tanaman marigold merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Selatan
dan saat ini telah dibudidayakan hampir di seluruh dunia. Tanaman marigold
merupakan salah satu tanaman yang cocok ditanam di Indonesia karena syarat

5
6

tumbuhnya sangat cocok dengan keadaan lingkungan di Indonesia. Syarat tumbuh


tersebut diantaranya marigold dapat tumbuh pada kondisi yang cukup dengan
paparan sinar matahari, ditanam pada tanah yang memiliki pH netral, serta
lingkungan yang memiliki pengairan yang baik (Winarto, 2010).
Budidaya tanaman marigold di Bali telah banyak dilakukan, salah satunya
yaitu budidaya yang dilakukan pada perkebunan Bali Gemitir yang berlokasi di
Desa Baturiti, Kabupaten Tabanan. Budidaya tanaman marigold umumnya
dilakukan dengan menggunakan benih. Benih-benih yang telah matang tersebut
diperoleh dari bunga marigold yang tua serta telah kering. Proses budidaya juga
terbilang sangat mudah untuk dilakukan yaitu benih hanya disebar atau disemai
pada media tanam dengan jarak tanam 20 – 40 cm. Tanaman marigold pada
musim kemarau dan kondisi lingkungan yang panas sangat memerlukan air yang
cukup. Hal tersebut dikarenakan lingkungan yang demikian mampu menyebabkan
air dalam tanah yang menjadi kebutuhan tanaman mengalami penguapan
(Sriandani, 2011).

2.1.4 Morfologi
a. Akar

Akar dari tanaman marigold merupakan akar tunggang yang merupakan ciri
dari tanaman kelas Dicotyledoneae (tumbuhan biji belah). Akar tersebut berwarna
putih kekuningan serta memiliki rambut akar yang berguna untuk mengambil
nutrisi serta air yang terdapat di dalam tanah. Tanaman marigold pada umumnya
tumbuh tegak ke atas dengan tinggi berkisar 0,6 m - 1,3 m (Sukarman dan
Chumaidi, 2010)
b. Daun
Marigold memiliki bentuk tulang daun menyirip. Daun tersebut berbentuk
lanset, tepi beringgit dengan ujung yang meruncing. Bunga dari tanaman marigold
dapat tumbuh hingga diameter bunga 7,5 – 10 cm (Winarto, 2010).
c. Batang
Batangnya berwarna putih kehijauan jika pucuknya masih muda dan jika
sudah dewasa berwarna hijau, tumbuh tegak dan bercabang-cabang. Tinggi
tanaman ini berkisar 30 cm hingga 120 cm. Pada sekujur batangnya, tumbuh daun
7

majemuk yang berujung runcing dan tepinya bergerigi. Batangnya tumbuh tegak
dan bercabang-cabang. Lapisan terluarnya merupakan epidermis batang. Bagian
batang yang disebut korteks, disusun oleh parenkim korteks. (Anonim II, 2007).
d. Bunga
Bunga marigold memiliki bentuk yang menyerupai cawan serta memiliki
warna mencolok yaitu oranye dan kuning cerah. Bunga memiliki organ bunga
yang lengkap yaitu putik dan benang sari (Winarto, 2010).

Gambar 2. 1 Bunga dan Tanaman Marigold


(Bali Gemitir, 2015; KAU Agri, 2013)
2.1.5 Kandungan Kimia
Bunga marigold merupakan tanaman dari keluarga Asteraceae yang tersebar
luas di seluruh dunia dengan berbagai spesies dan biasa digunakan sebagai
tanaman hias. Bunga marigold diketahui mengandung senyawa karotenoid seperti
lutein, beta-karoten, alfa-karoten, zeaxantin, antraxantin dan alfa-kriptoxantin.
Bunganya berwarna kuning diduga mengandung lutein dalam jumlah besar karena
lutein merupakan pigmen berwarna kuning, namun senyawa karotenoid yang
terdapat dalam tumbuhan masih berupa karotenoid ester(Hadden et al, 1999).
Beberapa penelitian tentang Kandungan dari bunga marigold diantaranya dari
penelitian Gopi G et al. (2012)., Tereschuck M et al. (1997)., dan Perich M et al.
(1995) bahwa tanaman Tagetes erecta menghasilkan unsur kimia seperti
thiophenes, flavonoid, karotenoid dan triterpenoid serta terbukti mengandung
quercetagetin, glukosida dari quercetagetin, fenolat, asam syringic, methyl-3,5-
dihydroxy-4- 8 methoxy benzoate, quercetin, thienyl dan etil gallate. Dua
8

kandungan utama yang ada di bunga marigold. adalah flavonoid dan karotenoid
(Vasudevan et al., 1997).
Karotenoid lutein ester, khususnya, telah diidentifikasi sebagai komponen
pigmen utama pada bunga marigold (Gong et al., 2012). Bunga marigold juga
dapat digunakan sebagai sumber karotenoid. Karotenoid yang berasal dari ekstrak
bunga marigold secara komersial digunakan sebagai pewarna dan suplemen
makanan. Salah satu karotenoid yang sering dijumpai adalah lutein. Ekstrak bunga
gumitir yang dianalisis dengan LC-MS telah diketahui mengandung lutein
(Breithaupt et al., 2002). Lutein adalah oksikarotenoid, atau xantofil, yang
mengandung 2 kelompok akhir siklik (satu beta dan satu cincin alfa-ionone) dan
struktur isoprenoid C-40 dasar yang umum untuk semua karotenoid dan
merupakan salah satu unsur utama dan pigmen utama Tagetes erecta. Marigold
adalah salah satu sumber lutein yang paling pekat yaitu 80-90% lutein
(Quackenbush and Miller, 1972).
Karotenoid adalah pigmen alami yang berkontribusi pada karakteristik
warna kuning, oranye, dan kemerahan dari jaringan tanaman termasuk daun, buah,
sayuran, dan bunga. Mereka memainkan peran penting dalam fotosintesis,
photoprotection, perkembangan, sebagai hormon stres, dan molekul pensinyalan
pada tanaman. Selain itu, warna-warna ini berfungsi untuk menarik agen
penyerbuk dan penyebar benih. Beberapa karotenoid berperan sebagai prekursor
vitamin A, yang merupakan antioksidan yang efisien dan penting untuk nutrisi
manusia. Karena properti ini, konsumsi makanan kaya karotenoid dianggap
menawarkan perlindungan terhadap beberapa jenis kanker, kerusakan kulit akibat
sinar UV, penyakit Berikut analisis fitokimia Tagetes erecta (Devika and Justin,
2012). Flavonoid adalah metabolit sekunder yang diperkirakan menghasilkan
beberapa efek bermanfaat bagi kesehatan manusia melalui sifat antioksidan dan
khelat (Heim et al., 2002; Ĉíž et al., 2010). Tabel hasil analisis fitokimia bunga
marigold (Basavaraj, 2011).
9

Tabel II. 1 Hasil Analisis Fitokimia Bunga Marigold


Ethanolic extract of flowers of
Tests
Tagetes erecta
Alkaloid Negative
Carbohydrates Negative
Flavonoid Positive
Steroid Positive
Triterpenoids Positive
Proteins Positive
Saponin Negative
Tannin Positive

2.1.5 Khasiat

Sejumlah spesies marigold dilaporkan memiliki penggunaan terapeutik pada


berbagai penyakit, seperti keluhan kulit, luka bakar dan luka bakar, konjungtivitis
dan penglihatan yang buruk, ketidakteraturan menstruasi, varises, wasir, ulkus
duodenum, dan lain-lain. (Wichtl & Bisset, 1994; Ćetković et al., 2004).
Bunga marigold digunakan dalam karangan bunga untuk kepentingan
masyarakat dan agama di negara-negara Timur. Setelah penggunaan spiritual
tersebut biasanya langsung dibuang. Bagian yang berbeda dari tanaman Tagetes
erecta termasuk bunga digunakan pada obat rakyat. Bunganya terutama digunakan
untuk menyembuhkan penyakit mata, pilek, konjungtivitis, batuk, bisul, tumpukan
darah dan untuk memurnikan darah (Manjunath, 1969; Kirtikar et al., 1994;
Ghani, 2003).
Diketahui aktivitas antioksidan dari bunga marigold dilihat dari nilai IC50
beberapa penelitian. Pada hasil penelitian valvoya et al. (2012) didapat IC50 dari
ekstrak bunga Marigold seperti yang tertera pada tabel dibawah ini
10

Tabel II. 2 IC50 Ekstrak Bunga Marigold


(Valvoya et al., 2012)
Sample DPPH assay IC50 (µg/mL)
Methanol Extract 7,5±0,1
Ethanol Extract 7,6±0,1
Petroleum ether fraction 100,1±12,4
Chloroform fraction 23,1±0,2
Ethyl acetate fraction 4,3±0,4
Α-Tocopherol 3,5±0,2

Tagetes erecta (Asteraceae), yang umumnya dikenal sebagai marigold,


ditanam untuk tujuan pengobatan dan tanaman hias di seluruh dunia. Selain itu,
sifat nematocidal, fungicidal, dan insektisida ekstrak dari spesies ini telah
ditunjukkan pada beberapa penelitian. Ekstrak yang berasal dari spesies Tagetes
telah terbukti mengerahkan beragam tindakan farmakologis, termasuk anti-
bakteri, antimikroba, anti-oksidan, hepatoprotektif, penyembuhan luka, dan
aktivitas larvisida (Yunji et al., 2017).
Pada masa lalu, tanaman Marigold banyak digunakan sebagai tanaman obat
dalam penyembuhan luka. Tanaman ini sangat populer sebagai tanaman taman
dan menghasilkan minyak atsiri (minyak Tagetes) yang sangat aromatik. Minyak
atsiri ini biasa digunakan dalam peracikan parfum bermutu tinggi. Semua bagian
tanaman ini termasuk bunganya digunakan dalam pengobatan rakyat untuk
menyembuhkan berbagai penyakit (Bharathi et al..,2014). Daun Marigold
dilaporkan efektif terhadap masalah ginjal, nyeri otot, bisul, dan luka. Daun
ditumbuk digunakan sebagai obat luar untuk bisul dan peradangan kulit. Tanaman
ini dilaporkan memiliki sifat antioksidan, antimikotik, aktivitas analgesik dan 18
senyawa aktif lainnya yang diidentifikasi dengan GC-MS. Senyawa yang
teridentifikasi tersebut merupakan terpenoid (Rhama and Madhavan 2011). Bunga
Marigold berguna dalam penyembuhan demam, epilepsi, astringent, karminatif,
obat perut, kudis, dan keluhan hati dan juga digunakan dalam penyakit mata serta
untuk memurnikan darah. Jus bunga Marigold diberikan sebagai obat
penggumpalan darah dan juga digunakan dalam rematik, pilek, dan bronkitis
11

(Kirtikar and Basu, 1987; Ghani, 1998).. Rhama and Madhavan (2011)
melaporkan aktivitas anti bakteri dari Marigold dengan pelarut yang berbeda
terhadap bakteri Alcaligens faecalis, Bacillus cereus, Campylobacter coli,
Escherchia coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, Proteus
vulgaris, Streptococcus mutans dan Streptococcus pyogenes. Flavonoid yang
memiliki aktivitas anti bakteri terhadap semua strain diuji dan menunjukkan zona
inhibisi maksimum untuk Klebsiella pneumoniae (29,50 mm) (Priyanka et al..,
2013).
Sedangkan pada hasil penelitian Phrutivorapongkul dkk. (2013) ekstrak
bunga marigold memiliki IC50 3,70 μg/mL. Tingkat kekuatan antioksidan
dikatakan sangat kuat bila memiliki IC50 <50 μg/mL jadi dapat dikatakan ekstrak
etanol bunga marigold memiliki intensitas antioksidan sangat kuat
(Phrutivorapongkul dkk. 2013).

Tabel II. 3 Tingkat Kekuatan Antioksidan


(Blois MS, 1958).

2.2 Antioksidan
Di dalam tubuh kita terdapat senyawa yang disebut antioksidan yaitu
senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas, seperti: enzim SOD (Superoksida
Dismutase), gluthatione, dan katalase. Antioksidan juga dapat diperoleh dari
asupan makanan yang banyak mengandung vitamin C, vitamin E dan betakaroten
serta senyawa fenolik. Bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan
alami, seperti rempah-rempah, coklat, biji-bijian, buah-buahan, sayur-sayuran
seperti buah tomat, pepaya, jeruk dan sebagainya (Prakash, 2001).
Tubuh manusia tidak mempunyai cadangan antioksidan dalam jumlah
berlebih, sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih maka tubuh membutuhkan
12

antioksidan eksogen. Adanya kekhawatiran akan kemungkinan efek samping yang


belum diketahui dari antioksidan sintetik menyebabkan antioksidan alami menjadi
alternatif yang sangat dibutuhkan (Sunarni, 2005).
Senyawa antioksidan memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh
terhadap pengaruh buruk yang disebabkan radikal bebas. Radikal bebas diketahui
dapat menginduksi penyakit kanker, arteriosklerosis dan penuaan, disebabkan
oleh kerusakan jaringan karena oksidasi (Kikuzaki dan Nakatani, 1993).
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau
reduktan. Senyawa antioksidan memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu
menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah
terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat
menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang
sangat reaktif (Winarsi, 2007). Fungsi antioksidan adalah menetralisasi radikal
bebas, sehingga tubuh terlindungi dari penyakit degeneratif.(Tapan, 2005).

2.2.1 Klasifikasi Antioksidan


Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu antioksidan
enzimatis dan antioksidan non-enzimatis:
1. Antioksidan enzimatis merupakan antioksidan endogenus (terdapat dalam
tubuh) misalnya enzim superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation
peroksidase dimana enzim-enzim ini bekerja dengan cara melindungi
jaringan dari kerusakan oksidatif yang disebabkan radikal bebas oksigen
seperti anion superoksida (O2-•), radikal hidroksil (•OH) dan hIdrogen
peroksida (H2O2).
2. Antioksidan non-enzimatis merupakan antioksidan eksogenus banyak
ditemukan dalam sayur-sayuran dan buah-buahan dan masih dibagi menjadi
dua kelompok lagi yaitu: Antioksidan larut lemak seperti tokoferol,
karotenoid, flavonoid, quinon, bilirubin. Antioksidan larut air seperti asam
askorbat, asam urat, protein pengikat logam, protein pengikat heme.
Antioksidan digolongkan menjadi 3 kelompok, berdasrkan mekanisme
kerjanya, yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder, dan antioksidan tersier.
a. Antioksida Primer (Antioksidan Endogenus)
13

Antioksidan primer disebut juga antioksidan enzimatis yaitu suatu senyawa


yang bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru,
atau mengubah radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang
reaktif. Antioksidan primer meliputi enzim superoksida dismutase (SOD),
katalase, glutation peroksidase (GSH-PX), dan glutation reduktase (GSH-R).
Enzim tersebut bekerja dengan cara melindungi jaringan dari kerusakan oksidatif
yang disebabkan oleh radikal bebas oksigen seperti anion superoksida (O2- ),
radikal hidroksil (OH), dan hidrogen peroksida (H2O2).
b. Antioksidan Sekunder (Antioksidan Eksogenus)
Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan non-enzimatis. Antioksidan
non-enzimatis banyak ditemukan dalam sayuran dan buah-buahan. Komponen
yang bersifat antioksidan dalam sayuran dan buah-buahan meliputi vitamin C,
vitamin E, β-karoten, flavonoid, isoflavon, flavon, antosianin, katekin, dan
isokatekin. Kerja sistem antioksidan non-enzimatis yaitu dengan cara memotong
reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas. Akibatnya, radikal bebas tidak akan
bereaksi dengan komponen seluler.
c. Antioksidan Tersier
Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-Repair dan metionin
sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler
yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang terinduksi
senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya Single dan Double strand baik
gugus non-basa maupun basa.(Winarsi,2007)

2.2.2 Antioksidan menetralisir radikal bebas


Antioksidan dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang dapat menghambat
atau memperlambat proses oksidasi. Oksidasi adalah jenis reaksi kimia yang
melibatkan pengikatan oksigen, pelepasan hydrogen, atau pelepasan elektron.
Proses oksidasi adalah peristiwa alami yang terjadi di alam dan dapat terjadi
dimana-mana tak terkecuali di dalam tubuh kita. Antioksidan ini secara nyata
mampu memperlambat atau menghambat oksidasi zat yang mudah teroksidasi
meskipun dalam konsentrasi rendah (Krisnadi, 2015).
14

Antioksidan juga sesuai didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang


melindungi sel dari efek berbahaya radikal bebas oksigen reaktif jika berkaitan
dengan penyakit, radikal bebas ini dapat berasal dari metabolisme tubuh maupun
faktor eksternal lainnya seperti polusi udara (Krisnadi, 2015).
Antioksidan merupakan nutrisi alami yang ditemukan dalam buah-buahan dan
sayuran tertentu, dan telah terbukti dapat melindungi sel-sel manusia dari
kerusakan oksidatif dan memberikan keuntungan lainnya, antara lain :
• Menguatkan kekebalan tubuh agar tahan terhadap flu, virus, dan infeksi.
• Mengurangi kejadian semua jenis kanker.
• Mencegah terjadinya glukoma dan degenerasi makular.
• Mengurangi risiko terhadap oksidasi kolestrol dan penyakit jantung.
• Anti-penuaan dari sel dan keseluruhan tubuh.

Gambar 2. 2 Cara kerja antioksidan


(Krisnadi,2015)

Mengkonsumsi lebih banyak antioksidan membantu tubuh untuk menetralisir


radikal bebas berbahaya. Antioksidan berperan menetralisir radikal bebas dengan
“menyumbangkan” elektron sehingga membuatnya stabil kembali. Diperkirakan
ada lebih dari 4.000 senyawa dalam makanan yang berfungsi sebagai antioksidan.
Yang paling banyak dipelajari adalah beta karoten (pro vitamin A), vitamin C,
15

vitamin E, asam fenolik, selenium, klorofil, karotenoid, flavonoid, glutasion,


koenzim Q10, melatonin dan likopen (Krisnadi, 2015).
2.2.3 Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan atom atau molekul elektron yang tidak
berpasangan sehingga mengakibatkan sifatnya sangat tidak stabil.( Robert, 2008).
Hal ini karena radikal bebas mempunyai satu elektron atau lebih yang tidak
berpasangan pada kulit luar. Elektron pada radikal bebas sangat reaktif dan
mampu bereaksi dengan protein, lipid, karbohidrat, atau asam deoksiribonukleat
(DNA) sehingga terjadi perubahan struktur dan fungsi sel. Jika radikal bebas
sudah terbentuk dalam tubuh, maka akan terjadi reaksi berantai dan menghasilkan
radikal bebas baru. Reaksi ini dapat berakhir jika ada molekul yang memberikan
elektron yang dibutuhkan oleh radikal bebas tersebut atau dua buah gugus radikal
bebas membentuk ikatan non-radikal.(Kartika, 2010).
Senyawa radikal bebas di dalam tubuh dapat merusak asam lemak tak jenuh
ganda pada membran sel. Akibatnya, dinding sel menjadi rapuh. Senyawa oksigen
reaktif ini juga mampu merusak bagian dalam pembuluh darah sehingga
meningkatkan pengendapan kolesterol dan menimbulkan arterosklerosis, merusak
basa DNA sehingga mengacaukan sistem info genetika, dan berlanjut pada
pembentukan sel kanker (Winarsi,2007).
Radikal bebas adalah produk alamiah hasil metabolisme sel. Radikal bebas
sama alamiahnya dengan kita menghirup udara. Biasanya, tubuh memiliki sistem
pertahanan alami untuk menetralisir radikal bebas agar tidak berkembang dan
menjadi berbahaya bagi tubuh. Namun, pengaruh lingkungan dan kebiasaan buruk
seperti radiasi ultraviolet, polusi, kebiasaan mengkonsumsi “junk food” dan
merokok, dapat membuat sistem pertahanan tubuh kewalahan menghadapi radikal
bebas yang berjumlah besar (Krisnadi, 2015).
Proses masuknya radikal bebas ke dalam tubuh dapat dilihat pada gambar 2.3
16

Gambar 2. 3 Proses masuknya radikal bebas ke dalam tubuh


(Krisnadi, 2015)

Berbagai penelitian menunjukan bahwa radikal bebas yang berlebihan dapat


memicu dan memperparah penyakit jantung, penyakit infeksi, tumor dan kanker,
penyakit mata (seperti katarak dan glukoma), penyakit kulit (seperti alergi dan
dermatitis), dan lainnya serta mempercepat proses penuaan (Krisnadi, 2015).

2.2.4 Penuaan
Penuaan (aging) merupakan fenomena biologis kompleks yang sering
diikuti oleh perubahan sosial ekonomi yang mana mengakibatkan dampak besar
pada kondisi nutrisi dan kebutuhan pada orang tua dimana disabilitas meningkat
seiring dengan terjadinya penuaan. Lebih dari sepertiga orang terbatas pada
kondisi kronis dan tidak mampu untuk melakukan aktivitas utama (Oliveira et al.,
2010). Apabila faktor-faktor penyebab penuaan dapat dihindari, proses penuaan
tentu dapat dicegah, diperlambat bahkn mungkin dihambat dan kualitas hidup
dapat dipertahankan (Pangkahila,2007) Proses penuaan tidak terjadi begitu saja
dengan langsung menampakan perubahan fisik dan psikis. Proses penuaan dapat
berlangsung melalui tiga tahap sebagai berikut (Pangkahila, 2011):
1. Tahap subklinik (usia 25-35 tahun): Pada tahap ini, sebagian besar hormon
di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormon
17

dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas dapat merusak sel dan
DNA mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari
luar, karena itu pada usia ini dianggap usia muda dan normal.
2. Tahap transisi (usia 35-45 tahun): Pada tahap ini kadar hormon menurun
sampai 25%. Massa otot berkurang sebanyak satu kilogram tiap tahunnya.
Pada tahap ini orang mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua.
Kerusakan oleh radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik yang dapat
mengakibatkan penyakit seperti kanker, radang sendi, berkurangnya
memori, penyakit jantung koroner dan diabetes.
3. Tahap klinik (usia 45 tahun ke atas): Pada tahap ini penurunan kadar hormon
terus berlanjut yang meliputi DHEA, melatonin, growth hormon,
testosteron, estrogen dan juga hormon tiroid. Terjadi penurunan bahkan
hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin dan mineral.
Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami
kegagalan.
Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal
bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan
kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas
adalah DNA, lemak dan protein (Suryohudoyo, 2000).
Interaksi antara molekul oksigen maupun nitrogen dengan radikal bebas
lainnya dapat membentuk RONS (Reactive Oxygen/ Nitrogen Species).
Peningkatan produksi RONS dapat terjadi antara lain akibat terpapar polutan dari
lingkungan luar, asupan gizi yang berlebihan, atau aktivitas fisik yang berlebihan,
atau secara ringkasnya dapat disimpulkan bahwa keadaan dimana terjadi
peningkatan konsumsi oksigen dapat berakibat terjadinya peningkatan produksi
RONS (Wellman dan Bloomer, 2009). Radikal bebas juga merusak kolagen dan
elastin atau protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel dan elastis.
Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada
daerah wajah, di mana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam
akibat paparan yang lama oleh radikal bebas.
Penuaan dan penyakit yang berhubungan dengan umur dikarenakan adanya
kerusakan oksidatif yang berlangsung lama dan dapat dipicu juga karena faktor
18

genetik dan lingkungan. Sejak saat inilah keterlibatan radikal bebas dalam
mempengaruhi penuaan meningkat secara progresif dan menjadi salah satu teori
pada proses penuaan (Wickens, 2011).

2.3 Kulit
Kulit adalah organ terbesar dari tubuh dan meliputi wilayah yang sangat luas.
Ketebalan kulit bervariasi di berbagai bagian tubuh. Sel-sel kulit yang paling tipis
pada wajah; ini penting untuk penggunaan kosmetik yang harus mampu
menembus kulit (Young, 1972). Kulit menutupi seluruh tubuh dan melindungi
dari berbagai jenis rangsangan eksternal dan kerusakan serta dari hilangnya
kelembapan. Luas permukaan kulit orang dewasa sekitar 1,6 m2 (Mitsui, 1997).

2.3.1 Struktur kulit


Kulit terdiri atas tiga lapisan, yaitu: lapisan epidermis, dermis, dan
hipodermis. Epidermis merupakan lapisan luar tipis kulit. Epidermis terdiri atas
lima lapisan, yaitu:
1. Stratum germinativum atau stratum basale
Lapisan ini terdiri dari satu lapis sel, yang terletak paling dekat dengan dermis
di bawahnya. Stratum basale berisi beberapa jenis sel, yaitu:
a. Sel-sel punca: yang membelah dan memperbaharui populasi sel punca serta
menghasilkan sel anak (keratinosit).
b. Keratinosit: sel paling banyak pada lapisan ini. Sel ini membelah 3 – 6 kali
sebelum bergerak ke atas menuju stratum spinosum.
c. Melanosit: sel-sel penghasil pigmen (melanin). Terdapat 1 melanosit untuk
setiap 4 – 10 keratinosit basal. Jumlah melanosit sama pada setiap orang,
namun aktivitasnya jauh lebih tinggi pada orang berkulit gelap.
d. Sel-sel Merkel: sel-sel neuroendokrin yang jarang ada, yang berperan
sebagai mekanoreseptor „taktil‟ yang beradaptasi lambat. Sel-sel ini paling
banyak di bibir dan lidah, namun sulit diidentifikasi karena memiliki
tampilan serupa dengan melanosit.
19

2. Stratum spinosum
Lapisan ini terdiri dari beberapa lapis keratinosit, dan beberapa sel
Langerhans.
a. Keratinosit: mengubah ekspresi keratin saat berdiferensiasi. Filamen-
filamen keratin di dalam sel untuk memperkuat hubungan sel-sel dan
membuat hubungan erat antar sel.
b. Sel-sel Langerhans: merupakan sel penyaji antigen khusus (sel
dendritik) yang menyusun sekitar 3 – 6% sel pada lapisan stratum
spinosum. Saat sel ini terpapar oleh benda asing/ antigen, sel-sel ini
bermigrasi keluar epitel dan menuju kelenjar getah bening regional
untuk menginisiasi respons imun.
3. Stratum granulosum
Lapisan ini terletak pada bagian atas stratum spinosum. Lapisan ini berisi
keratinosit yang telah bergerak ke atas dan selanjutnya berdiferensiasi menjadi sel
bergranul. Sel-sel ini menekan lipid khusus pada granula intraselular menuju
celah antar sel-sel mati (skuama) pada lapisan di atasnya. Saat bergerak ke atas,
sel-sel ini mulai kehilangan nukleus dan organel sitoplasmanya, kemudian mati.
Sel-sel mati menjadi „skuama‟ berkeratin dari lapisan teratas.
4. Stratum lusidum
Lapisan ini merupakan lapisan kelima yang kadang-kadang ditemukan pada
kulit tebal di antara lapisan stratum granulosum dan stratum korneum. Lapisan ini
tipis dan transparan serta sulit teridentifikasi pada potongan histologis rutin.
5. Stratum korneum
Lapisan ini merupakan lapisan teratas dan terluar, dan terdiri dari sel-sel mati,
yang menjadi datar dan tampak seperti pengelupasan kulit (atau skuama). Sel-sel
ini berisi lapisan keratin yang kuat yang berikatan silang, pada bagian dalam
terikat pada lipid khusus, dan pada bagian luar membentuk sawar anti-air yang
kuat. Skuama akhirnya mengelupas (Peckham, 2014).
Dermis terdiri dari jaringan ikat dan bantal tubuh, yang memiliki komponen
yaitu kolagen, serat elastis dan matriks extrafibrillar. Di dalam dermis terdapat
folikel rambut, papila rambut, kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar
20

sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf (Latifah &
Tranggono, 2007).

Gambar 2. 4 Lapisan Epidermis


Lapisan dermis berfungsi untuk proteksi, sensasi, dan termoregulasi. Lapisan
ini berisi saraf, pembuluh darah, dan fibroblas yang menyekresi matriks
ekstraselular, dan serat (kolagen dan elastin). Lapisan ini juga berisi kelenjar
keringat (pada bagian tepi dengan hipodermis), yang membuka keluar menuju
permukaan kulit. Kolagen dan elastin memberikan kekuatan dan daya regang pada
kulit (Peckham, 2014).
a. Lapisan hipodermis atau lapisan subkutan adalah kelanjutan dermis atas
jaringan ikat longgar, berisi sel-sel lemak di dalamnya. Lapisan ini
merupakan bantalan untuk kulit, isolasi untuk mempertahankan suhu tubuh
dan tempat.
b. penyimpanan energi (Anderson, 1996). Lapisan hipodermis berisikan
jaringan adiposa dan kelenjar keringat. Jaringan adiposa ini penting untuk
fungsi metabolisme seperti produksi trigliserida dan vitamin D. Arteri
yang menyuplai kulit ditemukan di lapisan dalam pada hipodermis. Pada
kondisi dingin, aliran darah menuju kapiler superfisial pada kulit dikurangi
untuk mempertahankan suhu inti tubuh. Pada kondisi panas, aliran darah
ke kulit meningkat dan darah pada kapiler superfisial mengalami
pendinginan oleh evaporasi keringat pada permukaan kulit (Peckham,
2014).
21

Gambar 2. 5 Penampang Dermis


Lapisan hipodermis atau lapisan subkutan adalah kelanjutan dermis atas
jaringan ikat longgar, berisi sel-sel lemak di dalamnya. Lapisan ini merupakan
bantalan untuk kulit, isolasi untuk mempertahankan suhu tubuh dan tempat
penyimpanan energi (Anderson, 1996). Lapisan hipodermis berisikan jaringan
adiposa dan kelenjar keringat. Jaringan adiposa ini penting untuk fungsi
metabolisme seperti produksi trigliserida dan vitamin D. Arteri yang menyuplai
kulit ditemukan di lapisan dalam pada hipodermis. Pada kondisi dingin, aliran
darah menuju kapiler superfisial pada kulit dikurangi untuk mempertahankan suhu
inti tubuh. Pada kondisi panas, aliran darah ke kulit meningkat dan darah pada
kapiler superfisial mengalami pendinginan oleh evaporasi keringat pada
permukaan kulit (Peckham, 2014).
22

Gambar 2. 6 Struktur kulit


(Peckham,2014)

2.3.2 Fungsi kulit


Kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga homeostasis
tubuh. Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi proteksi, absorpsi,
ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), dan pembentukan
vitamin D (Djuanda, 2007). Kulit juga sebagai barier infeksi (Gambar 2.7) dan
memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan (Harien, 2010).
23

Gambar 2. 7 Fisiologi Kulit


(Yahya, 2005)
a. Fungsi proteksi
Kulit menyediakan proteksi terhadap tubuh dalam berbagai cara sebagai
berikut:
1) Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas, dan zat kimia.
2) Lipid yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari permukaan kulit dan
dehidrasi, selain itu juga mencegah masuknya air dari lingkungan luar tubuh
melalui kulit.
3) Sebum yang berminyak dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan rambut dari
kekeringan serta mengandung zat bakterisid yang berfungsi membunuh bakteri di
permukaan kulit.
4) Pigmen melanin melindungi dari efek dari sinar UV yang berbahaya. Pada
stratum basal, sel-sel melanosit melepaskan pigmen melanin ke sel-sel di
sekitarnya. Pigmen ini bertugas melindungi materi genetik dari sinar matahari,
sehingga materi genetik dapat tersimpan dengan baik. Apabila terjadi gangguan
pada proteksi oleh melanin, maka dapat timbul keganasan.
5) Selain itu ada sel-sel yang berperan sebagai sel imun yang protektif. Yang
pertama adalah sel Langerhans, yang merepresentasikan antigen terhadap
mikroba. Kemudian ada sel fagosit yang bertugas memfagositosis mikroba yang
masuk melewati keratin dan sel Langerhans (Martini, 2006).
24

b. Fungsi absorpsi
Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material larut-lipid seperti
vitamin A, D, E, dan K, obat-obatan tertentu, oksigen dan karbon dioksida
(Djuanda, 2007). Permeabilitas kulit terhadap oksigen, karbondioksida dan uap air
memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Selain itu
beberapa material toksik dapat diserap seperti aseton, CCl4, dan merkuri (Harien,
2010). Beberapa obat juga dirancang untuk larut lemak, seperti kortison, sehingga
mampu berpenetrasi ke kulit dan melepaskan antihistamin di tempat peradangan
(Martini, 2006).
Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi,
kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan dapat berlangsung
melalui celah antarsel atau melalui muara saluran kelenjar, tetapi lebih banyak
yang melalui sel-sel epidermis daripada yang melalui muara kelenjar (Tortora
dkk., 2006).
c. Fungsi ekskresi
Kulit juga berfungsi dalam ekskresi dengan perantaraan dua kelenjar
eksokrinnya, yaitu kelenjar sebasea dan kelenjar keringat:
1) Kelenjar sebasea
Kelenjar sebasea merupakan kelenjar yang melekat pada folikel rambut
dan melepaskan lipid yang dikenal sebagai sebum menuju lumen (Harien, 2010).
Sebum dikeluarkan ketika muskulus arektor pili berkontraksi menekan kelenjar
sebasea sehingga sebum dikeluarkan ke folikel rambut lalu ke permukaan kulit.
Sebum tersebut merupakan campuran dari trigliserida, kolesterol, protein, dan
elektrolit. Sebum berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri, melumasi dan
memproteksi keratin (Tortora dkk., 2006).
2) Kelenjar keringat
Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 mL air dapat
keluar dengan cara menguap melalui kelenjar keringat tiap hari (Djuanda, 2007).
Seorang yang bekerja dalam ruangan mengekskresikan 200 mL keringat
tambahan, dan bagi orang yang aktif jumlahnya lebih banyak lagi. Selain
mengeluarkan air dan panas, keringat juga merupakan sarana untuk
25

mengekskresikan garam, karbondioksida, dan dua molekul organik hasil


pemecahan protein yaitu amoniak dan urea (Martini, 2006).
Terdapat dua jenis kelenjar keringat, yaitu kelenjar keringat apokrin dan
kelenjar keringat merokrin.
1. Kelenjar keringat apokrin terdapat di daerah aksila, payudara dan pubis,
serta aktif pada usia pubertas dan menghasilkan sekret yang kental dan bau
yang khas (Djuanda, 2007). Kelenjar keringat apokrin bekerja ketika ada
sinyal dari sistem saraf dan hormon sehingga sel-sel mioepitel yang ada di
sekeliling kelenjar berkontraksi dan menekan kelenjar keringat apokrin.
Akibatnya kelenjar keringat apokrin melepaskan sekretnya ke folikel
rambut lalu ke permukaan luar (Tortora dkk., 2006).
2. Kelenjar keeringat merokrin (ekrin) terdapat di daerah telapak tangan dan
kaki. Sekretnya mengandung air, elektrolit, nutrien organik, dan sampah
metabolism (Harien, 2010). Kadar pH-nya berkisar 4,0−6,8 dan fungsi dari
kelenjar keringat merokrin adalah mengatur temperatur permukaan,
mengekskresikan air dan elektrolit serta melindungi dari agen asing
dengan cara mempersulit perlekatan agen asing dan menghasilkan
dermicidin, sebuah peptida kecil dengan sifat antibiotik (Djuanda, 2007).
d. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis (Djuanda,
2007). Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan Ruffini di
dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan Krause yang
terletak di dermis, badan taktil Meissner terletak di papila dermis berperan
terhadap rabaan, demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di epidermis.
Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di epidermis. Saraf-
saraf sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya di daerah yang erotik (Tortora
dkk., 2006).
e. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
Kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) melalui
dua cara: pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran darah di pembuluh
kapiler (Djuanda, 2007). Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat
dalam jumlah banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga
26

panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah, tubuh
akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit pembuluh darah
(vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas oleh tubuh (Harien,
2010).
f. Fungsi pembentukan vitamin D
Sintesis vitamin D dilakukan dengan mengaktivasi prekursor 7 dihidroksi
kolesterol dengan bantuan sinar ultraviolet (Djuanda, 2007). Enzim di hati dan
ginjal lalu memodifikasi prekursor dan menghasilkan kalsitriol, bentuk vitamin D
yang aktif. Calcitriol adalah hormon yang berperan dalam mengabsorpsi kalsium
makanan dari traktus gastrointestinal ke dalam pembuluh darah (Tortora dkk.,
2006).
Walaupun tubuh mampu memproduksi vitamin D sendiri, namun belum
memenuhi kebutuhan tubuh secara keseluruhan sehingga pemberian vitamin D
sistemik masih tetap diperlukan.Pada manusia kulit dapat pula mengekspresikan
emosi karena adanya pembuluh darah, kelenjar keringat, dan otot-otot di bawah
kulit (Djuanda, 2007).
5. Fungsi lain
Kulit juga berperan dalam menunjukkan kondisi emosional, seperti memerah,
dan ketakutan (pucat dan rambut tegak), dan dapat digambarkan sebagai organ
penanda emosi. Kulit juga mensintesis vitamin D melalui kerja sinar UV pada
prekursor vitamin-D di kulit (Mitsui, 1997).
2.4 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif
yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan
minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa
aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara
ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000). Ekstraksi cair-cair (liquid extraction,
solvent extraction): solute dipisahkan dari cairan pembawa (diluen) menggunakan
solven cair. Campuran diluen dan solven ini adalah heterogen ( immiscible, tidak
saling campur), jika dipisahkan terdapat 2 fase, yaitu fase diluen (rafinat) dan fase
solven (ekstrak).
27

Fase rafinat = fase residu, berisi diluen dan sisa solut.

Fase ekstrak = fase yang berisi solut dan solven.

Pemilihan solven menjadi sangat penting, dipilih solven yang memiliki sifat
antara lain:
a. Solut mempunyai kelarutan yang besar dalam solven, tetapi solven sedikit atau
tidak melarutkan diluen;
b. Tidak mudah menguap pada saat ekstraksi;
c. Mudah dipisahkan dari solut, sehingga dapat dipergunakan kembali;
d. Tersedia dan tidak mahal.

2.4.1 Metode Maserasi


Pembagian metode ekstraksi menurut DitJen POM (2000) yaitu :
A. Cara dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut


dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan
(kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga
sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel maka larutan
terpekat didesak keluar.

2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan
pengembangan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya terus-menerus
sampai diperoleh ekstrak (perkolat). Cara perkolasi lebih baik dibandingkan
dengan cara maserasi karena:
- Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi
dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan derajat
perbedaan konsentrasi.
28

- Ruangan diantara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat


mengalir cairan penyari. Karena kecilnya saluran kapiler tersebut, maka kecepatan
pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan
perbedaan konsentrasi.

B. Cara Panas

1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama
waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya
pendingin balik.
2. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru dan
yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur
yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50 0C.
4. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya dilakukan untuk menyari zat
kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Proses ini
dilakukan pada suhu 90 0C selama 15 menit.
5. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik
didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-100 0C.

2.5 Gel
Gel merupakan sediaan semipadat digunakan pada kulit, umumnya sediaan
tersebut berfungsi sebagai pembawa pada obat-obat topikal, sebagai pelunak kulit,
atau sebagai pembalut pelindung atau pembalut penyumbat (oklusif) (Lachman et
al, 1994). Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat yang terdiri dari
29

suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul
yang besar dan saling diresapi cairan (Ansel, 1989).
Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel-gel farmasetik
meliputi gom alam tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta bahan-
bahan sintetis dan semisintetis seperti metil-selulosa, hidroksietilselulosa,
karboksimetilselulosa, dan karbopol yang merupakan polimer vinil sintetis dengan
gugus karboksil yang terinosasi (Lachman et al, 1994). Penampilan gel adalah
transparan atau berbentuk suspensi partikel koloid yang terdispersi, dimana
dengan jumlah pelarut yang cukup banyak membentuk gel koloid yang
mempunyai struktur tiga dimensi. Terbentuknya gel dengan struktur tiga dimensi
disebabkan adanya cairan yang terperangkap, sehingga molekul pelarut tidak
dapat bergerak. Sifat gel yang sangat khas (Lieberman et al, 1996) yaitu :
1. Dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat mengabsorsi
larutan yang mengakibatkan terjadi penambahan volume.
2. Sineresis, suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi dalam massa
gel. Gel bila didiamkan secara spontan akan terjadi pengerutan dan cairan
dipaksa keluar dari kapiler meninggalkan permukaan yang basah.
3. Bentuk struktur gel resisten terhadap perubahan atau deformasi atau aliran
viskoelastis. Struktur gel dapat bermacam-macam tergantung dari
komponen pembentuk gel.

2.5.1 Karakteristik Gel


Zat pembentuk gel yang ideal untuk sediaan farmasi dan kosmetik ialah
inert, aman dan tidak bereaksi dengan ko3m ponen farmasi lain. Pemilihan bahan
pembentuk gel dalam setiap formulasi bertujuan membentuk sifat seperti padatan
yang cukup baik selama penyimpanan yang dengan mudah dapat dipecah bila
diberikan daya pada sistem. Misalnya, dengan pengocokan botol, memencet tube
atau selama aplikasi topikal (Lieberman et al, 1996).

2.5.2 Klasifikasi Gel


Klasifikasi gel didasarkan pada pertimbangan karakteristik dari masing-
masing kedua fase gel dikelompokkan pada gel organik dan anorganik
30

berdasarkan sifat fase koloidal. Magma bentonit merupakan contoh dari gel
anorganik, sedangkan gel organik sangat spesifik mengandung polimer sebagai
pembentuk gel. Selanjutnya dibagi-bagi berdasarkan sifat-sifat kimia molekul
organik yang terdispersi. Kebanyakan gom alam seperti gom arab, karagen dan
gom xantan adalah polisakharida anionik sejumlah selulosa yang merupakan hasil
sintesa, merupakan pembentuk gel yang efektif seperti hidroksipropil selulosa dan
metilhidroksipropil selulosa. Sifat pelarut akan menentukan apakah gel
merupakan hidrogel (dasar air) atau organo gel (dengan pelarut bukan air).
Sebagai contoh adalah magma bentonit dan gelatin merupakan hidrogel,
sedangkan organo gel adalah plastibase yang merupakan polietilen berbobot
molekul rendah yang dilarutkan dalam minyak mineral dan didinginkan secara
cepat. Gel padat dengan konsentrasi pelarut rendah dikenal sebagai xero gel,
sering dihasilkan dengan cara penguapan pelarut, sehingga menghasilkan
kerangka gel (Lieberman et al, 1996).
Zat-zat pembentuk gel digunakan sebagai pengikat dalam granulasi, koloid
pelindung dalam suspensi, pengental untuk sediaan oral dan sebagai basis
supositoria. Secara luas sediaan gel banyak digunakan pada produk obat-obatan,
kosmetik dan makanan juga pada beberapa proses industri. Pada kosmetik yaitu
sebagai sediaan untuk perawatan kulit, sampo, sediaan pewangi dan pasta gigi
(Herdiana, 2007).
Dasar gel yang umum digunakan adalah gel hidrofobik dan gel hidrofilik.
1. Dasar gel hidrofobik
Dasar gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik, bila
ditambahkan ke dalam fase pendispersi, hanya sedikit sekali interaksi antara
kedua fase. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara
spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus (Ansel,
1989).
2. Dasar gel hidrofilik
Dasar gel hidrofilik umumnya terdiri dari molekul-molekul organik yang besar
dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi. Istilah
hidrofilik berarti suka pada pelarut. Umumnya daya tarik menarik pada pelarut
dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari tidak adanya daya tarik menarik dari
31

bahan hidrofobik. Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat dan
memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 1989). Gel hidrofilik umummnya
mengandung komponen bahan pengembang, air, humektan dan bahan pengawet
(Voigt, 1994).

2.5.3 Keuntungan Sediaan Gel


Beberapa keuntungan sediaan gel (Voigt, 1994) adalah sebagai berikut:
- Kemampuan penyebarannya baik pada kulit .
- Efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit .
-Tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis
-Kemudahan pencuciannya dengan air yang baik
- Pelepasan obatnya baik Tingginya kandungan air dalam sediaan gel dapat
menyebabkan terjadinya kontaminasi mikrobial, yang secara efektif dapat
dihindari dengan penambahan bahan pengawet.
Untuk upaya stabilisasi dari segi mikrobial di samping penggunaan bahan-
bahan pengawet seperti dalam balsam, khususnya untuk basis ini sangat cocok
pemakaian metil dan propil paraben yang umumnya disatukan dalam bentuk
larutan pengawet. Upaya lain yang diperlukan adalah perlindungan terhadap
penguapan yaitu untuk menghindari masalah pengeringan. Oleh karena itu untuk
menyimpannya lebih baik menggunakan tube. Pengisian ke dalam botol,
meskipun telah tertutup baik tetap tidak menjamin perlindungan yang memuaskan
(Voigt, 1994).

2.5.4 Kekurangan Gel


Kekurangan sediaan gel (Lachman, 1994) sebagai berikut:
 Untuk hidrogel: harus menggunakan zat aktif yang larut di dalam air
sehingga diperlukan penggunaan peningkat kelarutan seperti surfaktan agar
gel tetap jernih pada berbagai perubahan temperatur, tetapi gel tersebut
sangat mudah dicuci atau hilang ketika berkeringat
 Kandungan surfaktan yang tinggi dapat menyebabkan iritasi dan harga lebih
mahal
32

2.6 Masker Gel Peel off


Masker wajah adalah sediaan kosmetik untuk perawatan kulit wajah. Masker
wajah memiliki manfaat sebagai pemberi kelembaban, mengembalikan tekstur
kulit, memberi nutrisi pada kulit, melembutkan kulit, membersihkan pori-pori
kulit, mencerahkan warna kulit, mengendurkan otot-otot wajah dan
menyembuhkan jerawat (Irawati dan Sulandjari, 2013; Utami, 2014).
Salah satu jenis masker wajah adalah masker gel peel off (Shai et al., 2009).
Masker gel peel off merupakan masker yang terbuat dari bahan polimer yaitu
polivinil alkohol dan (Shai et al., 2009). Masker ini membentuk tembus terang
(transparan) pada kulit. Bahan dasar atau basis adalah bersifat jelly dari gum, dan
latex, dan biasanya dikemas dalam bentuk tube. Penggunaannya langsung
diratakan pada kulit wajah (Muliyawan dan Suriana,2013).. Keunggulan masker
peel off off yaitu dapat memberikan sensasi dingin hal ini dikarenakan lambatnya
proses penguapan air pada kulit namun tidak menghambat fungsi respiration
sensibilis karena tidak melapisi permukaan kulit secara kedap serta tidak
menyumbat pori-pori kulit, pemakaian dilakukan pada bagian tubuh yang
berambut, daya sebar dan daya lekat baik, serta mampu melepaskan zat aktif
dengan baik (Lieberman and Banker, 1989; Voigt, 1994).
Adapun cara mengangkatnya dengan cara mengelupas, diangkat pelan – pelan
secara utuh mulai dagu keats sampai kejidat dan berakhir di dahi (Muliyawan dan
Suriana,2013). Masker diaplikasikan pada permukaan kulit dengan cara dioleskan,
ditunggu mengering, mengeras dan membentuk lapisan tipis, fleksibel serta
transparan biasanya 15-30 menit kemudian dikelupas seperti pada gambar
33

Gambar 2. 8 Cara Menggunakan Masker Gel Peel off


(Shai et al.., 2009)

2.7 Tinjauan Basis/Komponen Masker Gel Peel off

2.7.1 PVA (Polivinil alcohol)

Gambar 2. 9 Struktur kimia polivinil alcohol (Rowe et al. 2009)

Sinonim : Airvol; Alcotex; Elvanol; Gelvatol; Gohsenol; Lemol;


Mowiol; Polyvinol; PVA; vinyl alcohol polymer.
Pemerian : Serbuk granular berwarna putih atau krem
Kelarutan : Larut dalam air, sedikit larut dalam etanol (95%)
Inkompatibilitas : Dengan bahan pengoksidasi seperti kalium permanganate
Penggunaan :Pembentuk lapisan film, lubrikan, agen penstabil,
meningkatkan viskositas
PVA adalah polimer sintetik yang berupa serbuk berbentuk granul
berwarna putih dan tidak berbau, dibuat dengan polimerisasi vinil asetat yang
diikuti dengan hidrolisis parsial dari gugus ester. PVA dapat digunakan sebagai
34

filming agent dan agen peningkat viskositas. PVA digunakan sebagai filming
agent karena dapat membentuk lapisan yang dapat dikelupas setelah mengering.
Film agent memiliki kemampuan untuk membentuk film setelah pelarutnya
menguap. Viskositas dan kekuatan film bervariasi, tergantung pada derajat
saponifikasi dan polimerisasi (Rowe dkk., 2009). Polivinil alkohol memiliki sifat
tidak berwarna, padatan termoplastik yang tidak larut pada sebagian besar pelarut
organik dan minyak, tetapi larut dalam air bila jumlah dari gugus hidroksil dari
polimer tersebut cukup tinggi (Harper & Petrie, 2003).
Secara komersial, polivinil alkohol adalah plastik yang paling penting
dalam pembuatan film yang dapat larut dalam air. Hal ini ditandai dengan
kemampuannya dalam pembentukan film, pengemulsi, dan sifat adesifnya.
Polivinil alkohol memiliki kekuatan tarik yang tinggi, fleksibilitas yang baik, dan
sifat penghalang oksigen yang baik (Ogur, 2005). Hodgkins & Taylor (2000)
melaporkan polivinil alcohol banyak diaplikasikan dalam bidang kesehatan
(biomedical), bahan pembuat deterjen, lem dan film.
PVA berperan dalam memberikan efek peel off karena memiliki sifat
adhesive sehingga dapat memebentuk lapisan film yang mudah dikelupas setelah
kering (Brick et al., 2014). Dalam kosmetik, konsentrasi polivinil alkohol yang
digunakan sekitar 7-10% yang diketahui bersifat tidak iritasi terhadap kulit dan
mata. Polivinil alkohol digunakan sebagai pembentuk lapisan film masker wajah
gel peel off dengan rentang konsentrasi 10-16% (Lestari dkk., 2013). Pada
Pembentukan gelling agent rentang PVA yang digunakan adalah 10 – 20 %
(Swarbrick, 2007)
35

Tabel II. 4 Spesifikasi Farmakope Untuk Polivinil Alcohol (Rowe Et Al., 2006)
Test PhEur 2005 USP 28
Viscosity - +
pH 4,5-6,5 5.0-8.0
Loss on drying ≤5.0% ≤5.0%
Residue on ignition ≤1.0% ≤2.0%
Water soluble substances - ≤0.1%
Degree of hydrolysis - ≤0.1%
Organic volatile impurities - +
Assay - 85.00-115.0%

2.7.1 PEG (Polietilen glikol)

Gambar 2. 10 Struktur kimia Polietilen glikol


(Rowe et al., 2006)

Sinonim : Carbowax; Carbowax Sentry; Lipoxol; Lutrol E; Pluriol


E; polyoxyethylene glycol
Pemerian : Nilai polietilen glikol 200-600 adalah cairan; Nilai 1000 dan
di atas adalah padatan pada suhu kamar. Nilai cairan (PEG
200-600) terjadi sebagai cairan yang jernih, tidak berwarna
atau sedikit berwarna kuning, kental. Mereka memiliki bau
sedikit tapi khas dan rasa pahit dan sedikit terbakar. PEG
600 dapat terjadi sebagai padatan pada suhu kamar. Nilai
padat (PEG> 1000) berwarna putih atau putih putih, dan
berkisar konsistensi dari pasta sampai serpih lilin. Mereka
memiliki bau samar dan manis..
36

Kelarutan : Semua kadar polietilena glikol larut dalam air dan 37


tercampur dalam semua proporsi dengan polietilena glikol
lainnya (setelah mencair, jika perlu). Larutan encer dengan
kadar molekul tinggi dapat membentuk gel. Polietilena glikol
cair larut dalam aseton, alkohol, benzena, gliserin, dan glikol.
Polietilen glikol padat larut dalam aseton, diklorometana,
etanol (95%), dan metanol; mereka sedikit larut dalam
hidrokarbon alifatik dan eter, namun tidak larut dalam lemak,
minyak tetap, dan minyak mineral.
Inkompatibilitas : Nilai polietilen glikol cair dan padat mungkin tidak sesuai
dengan beberapa zat pewarna. Migrasi dari polietilen glikol
dapat terjadi dari pelapis film tablet, yang menyebabkan
interaksi dengan komponen inti.
Penggunaan : Dasar salep; plasticizer; pelarut; basis supositoria; pelumas
tablet dan kapsul Polietilen glikol (PEG) disebut juga makrogol,
merupakan polimer sintetik dari oksietilen dengan rumus
struktur H(OCH2CH2)nOH, dimana n adalah jumlah rata-rata
gugus oksietilen (Leuner and Dressman, 2000). PEG dibuat
menjadi bermacam-macam panjang rantainya. Bahan ini
terdapat dalam berbagai macam berat molekul dan yang paling
banyak digunakan adalah polietilen glikol 200, 400, 600, 1000,
1500, 1540, 3350, 4000, dan 6000. Pemberian nomor
menunjukkan berat molekul rata -rata dari masing-masing
polimernya. PEG yang memiliki berat molekul rata-rata 200,
400 dan 600 berupa cairan bening tidak berwarna dan
mempunyai berat molekul rata-rata lebih dari 1000 berupa lilin
putih, padat. PEG merupakan polimer larut air, polimer ini tidak
berwarna, tidak berbau dan kekentalannya berbeda-beda
(Norvisari, 2008).

PEG mempunyai sifat stabil, mudah larut dalam air hangat, tidak beracun,
non-korosif, tidak berbau, tidak berwarna, memiliki titik lebur yang sangat tinggi
(580°F), tersebar merata, higoskopik (mudah menguap) dan juga dapat mengikat
37

pigmen. Sifat PEG yang lunak dan rendah racun membuatnya banyak
dipergunakan sebagai dasar obat salep, dan pembawa dari bahan obat. Sifat PEG
yang larut dalam air menyebabkan bahan obat mudah terlepas dan terserap pada
kulit lebih cepat dari minyak yang teremulsi dalam air (Safitri, 2010). Penggunaan
PEG sebagai pelarut juga dapat meningkatkan distribusi (penyebaran) obat
didalam tubuh manusia (Sweetman, 2009).

Tabel II. 5 Spesifikasi Polyethylene glycol dari JP, 2001


(Rowe et al., 2006)

Tabel II. 6 Spesifikasi Polyethylene glycol dari PhEur, 2005


( Rowe et al., 2006)

PEG-1500 adalah bahan kimia yang berwarna putih seperti lilin, parrafin,
sebagai benda padat pada suhu kamar, tidak beracun, tidak berkarat, tidak berbau,
inert, tidak mudah terhidrolisis, tidak membantu pertumbuhan jamur dan dapat
dikombinasikan berdasarkan bobot molekulnya (Sweetman, 2009).

Anda mungkin juga menyukai