Anda di halaman 1dari 12

DESAIN PRIMER PADA PCR GEN VIRUS EPSTEIN-BARR

Oleh :
Nama : Latifah Ambar Lestari
NIM : B1A018149
Rombongan : II
Kelompok :1
Asisten : Rahmah Adinda Nur Azkiya

LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2020
I. PENDAHULUAN

Primer adalah suatu oligonukleotida (biasanya 16 hingga 30 nukleotida) yang


dapat digunakan untuk mengawali dalam mengamplifikasi sekuen DNA. Amplifikasi
sekuen DNA dengan PCR pada dasarnya menggunakan primer-primer yang
berhibridisasi pada utas DNA yang berlawanan. Orientasi arah pemanjangan dari
primer mengarah ke dalam melewati daerah sekuen DNA diantara dua primer yang
digunakan. Produk DNA yang disintesis dari satu primer berfungsi sebagai DNA
template (cetakan) bagi primer yang lain (Aris 2000). Dimer primer merupakan
produk dari pemanjangan primer baik dengan dirinya sendiri atau dengan primer
lainnya pada PCR, karena produk dimer primer mengandung sekuens satu atau kedua
sekuens primer dan sekuens komplementernya, mereka menyediakan template yang
sangat baik untuk amplifikasi lebih lanjut. Dimer primer harus dibuat sekecil
mungkin agar produk primer yang dihasilkan lebih optimal, jika tidak simer primer
dapat mendominasi PCR dan menyita primer dari target sebenarnya pada DNA
template (McPherson & Moller, 2006).
Syarat primer yang baik adalah memiliki panjang basa oligonukleotida antara
18-24 basa, selanjutnya memiliki urutan basa-basa spesifik untuk melekat pada DNA
cetakan, selain itu tidak terdapat basa-basa yang berkomplemen pada ujung 3’
sehingga terjadi dimer, dan komposisi basa sitosin dan guanin adalah 50% dari
seluruh basa. Selanjutnya dua primer yang di pasangkan memiliki suhu melting yang
tidak berbeda jauh (Madej 1991). Primer biasa merupakan sepasang oligonukleotida,
antara 15 –25 basa atau mer yang digunakan untuk mengamplifikasi fragmen yang
berada diantaranya. Syarat mendesain primer biasa diantaranya kedua primer
hendaknya tidak mengalami self annealing sehingga sekuen sepasang primer tidak
saling komplemen, lalu khususnya pada ujung 3’, tidak terjadi primer-dimer, dan
kedua primer sebaiknya tidak mempunyai basa nukleotida T pada ujung 3’ -nya
karena akan menyebabkan mismatch (Innis 1990).
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode molekular untuk
menggandakan potongan DNA hingga berjuta kali lipat dalam waktu yang relatif
singkat. Penggandaan tersebut tidak terlepas dari penggunaan enzim dan sepasang
primer bersifat spesifik terhadap DNA target yang akan dilipatgandakan. Sehingga
nantinya dapat digunakan untuk keperluan lain yang berkaitan dengan DNA.
Komponen-komponen yang harus ada dalam proses PCR antara lain DNA cetakan
yaitu potongan DNA yang akan dilipatgandakan, primer yaitu suatu potongan atau
sequence dari oligonukleotida pendek yang digunakan untuk mengawali sintesis
DNA, deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP,
dan enzim DNA polimerase yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis
rantai DNA, dan senyawa bufer (Erlich, 1989). Reaksi rantai polimerase (PCR) telah
banyak diterapkan pada penyakit diagnosis, identifikasi spesies, inspeksi higienis,
dan lain-lain. PCR telah menjadi salah satunya teknik yang paling penting dalam
bioteknologi, biologi molekuler dan DNA nanoteknologi (Fan et al., 2018). Secara
singkat menurut Sambrook et al. (1989) metode PCR menginkubasi sampel dalam
tiga suhu berbeda yakni untuk memisahkan potongan DNA pada suhu 90–95˚C, suhu
40–60˚C terjadi penempelan primer pada DNA cetakan, dilanjutkan dengan sintesis
DNA pada suhu 70–75˚C.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pemeriksaan PCR adalah
ketepatan susunan primer PCR yang digunakan karena akan menentukan sensitifitas
dan spesifisitas pemeriksaan. Primer PCR dapat didesain menggunakan bantuan
program komputer, baik online maupun offline, misalnya Primer BLAST, IDT,
PerlPrimer, Primer3 dan lain sebainya. Primer PCR juga bisa didesain secara
manual dengan tetap memperhatikan beberapa ketentuan yang berlaku. Penggunaan
program komputer dapat mempermudah kita dalam merancang primer secara cepat
sesuai dengan kebutuhan, misalnya GC Clamp, Tm, panjang primer, panjang produk
dan lain sebagainya. Akan tetapi, untuk beberapa kasus seperti pada gen dengan
karakteristik khusus, misalnya homologi sekuens DNA yang sangat tinggi antar atau
interspesies dan variasisekuens yang sangat tinggi intraspesies atau target menjadi
hambatan tersendiri. Dalam hal ini, desain primer PCR secara manual bisa menjadi
pilihan, kendati pada umumnya tetap membutuhkan bantuan program komputer
untuk analisis lebih lanjut (Sunarno & Novriani, 2016).
Tujuan dari praktikum kali ini adalah melakukan deteksi virus dengan teknik
polymerase chain reaction (PCR) pada genom virus Epstein-Barr melalui desain
primer yang memenuhi kriteria optimal primer.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2.1. Langkah Pertama


Langkah yang dilakukan untuk membuat desain primer yang pertama yaitu
buka https://www.ncbi.nlm.nih.giv, setelah itu pilih Gene pada kotak yang tersedia
disebelah search, kemudian ketik LMP-1 pada kotak search dan klik search.

Gambar 2.2. Langkah Kedua


Kemudian akan muncul tampilan seperti gambar di atas, lalu pilih LMP-1
[Human herpesvirus 4 type 2 (Epstein-Bar virus type 2)], setelah itu akan muncul
tampilan informasi mengenai gen virus tersebut.
Gambar 2.3. Langkah Ketiga
Setelah muncul tampilan informasi mengenai gen virus tersebut seperti
gambar di atas, kemudian klik GenBank yang terletak dibagian kanan bawah.

Gambar 2.4. Langkah Keempat


Kemudian akan muncul tampilan seperti gambar di bawah ini, lalu klik
FASTA.
Gambar 2.5. Langkah Kelima
Kemudian akan muncul sekuens dari gen virus tersebut. Panjang primer yang
dibutuhkan adalah 268 bp, dalam satu baris sekuens terdapat 70 bp sehingga dapat
dimabil 4 baris sekuens. Kemudian salin 4 baris sekuens tersebut.

Gambar 2.6. Langkah Keenam


Kemudian masuk ke dalam web Primer3 Input seperti gambar di atas,
pindahkan sekuens yang telah disalin pada kotak yang tersedia. Setelah itu ceklist
pada bagian pick left primer or use left primer below dan pick right primer or use
right primer below.
Gambar 2.7. Langkah Ketujuh
Kemudian scroll ke bawah, pada bagian Product Size Ranges hapus bagian
yang tidak diperlukan, primer yang dibutuhkan yaitu hanya 268 bp. Kemudian klik
Pick Primers.

Gambar 2.8. Langkah Kedelapan


Kemudian akan muncul seperti tampialn di atas, salin left primer dan
pindahkan ke software PerlPrimer.
Gambar 2.9. Langkah Kesembilan
Salin juga right primer dan pindahkan ke software PerlPrimer.

Gambar 2.10. Langkah Kesepuluh


Pindahkan left primer dan right primer pada software PerlPrimer pada bagian
Primers seperti gambar di atas, kotak bagian atas untuk left primer dan bagian bawah
untuk right primer, kemudian klik Calculate Tm.
Gambar 2.11. Hasil Desain Primer
Berdasarkan gambar hasil primer di atas dapat diketahui bahwa suhu melting
(Tm) primer pada primer forward sebesar 61,73 °C dan pada primer reverse sebesar
62,57 °C, kandungan rata (G+C) primer forward dan primer reverse adalah 55%,
ukuran primer 20 bp, struktur sekunder internal primer berupa nilai dG primer
forward - reverse (-0,36 kcal/mol), reverse – reverse (-0,08 kcal/mol) masih dalam
kisaran dG = -3,0 – 0 kcal/mol, dan terdapat repeat (CTC), hal ini menunjukan
bahwa primer spesifik untuk gen virus epstein-barr karena telah memenuhi kriteria
primer yang opyimal. Menurut Sasmita et al. (2014), syarat primer yang baik adalah
primer melting temperature (Tm) atau suhu leleh merupakan temperatur yang
diperlukan oleh primer untuk mengalami disosiasi / lepas ikatan, umumya suhu leleh
yang baik berkisar antara 55-80˚C. Kandungan G+C secara umum yang diikuti oleh
sebagian besar program desain primer adalah menggunakan persen basa G dan C
antara 40% hingga 60%. Panjang primer yang digunakan pada penelitian berbeda-
beda, namun tetap meminimalkan ukuran primer. Panjang primer berkisar 18-30
basa, didasarkan pada pertimbangan kombinasi acak yang mungkin ditemukan pada
satu urutan genom.
Reaksi PCR sebaiknya tidak mengandung secondary structures berupa
hairpin atau dimer. Stabilitas secondary structure ditentukan oleh energi bebas (ΔG)
dan suhu lelehnya. Hal ini menyebabkan primer tidak dapat menempel dengan
template DNA. Hairpin adalah struktur yang dibentuk oleh basis pasangan asam
polynucleic antara urutan komplementer untai tunggal baik DNA maupun RNA.
Terbentuknya struktur loop /hairpin pada primer sebaiknya dihindari, namun sangat
sulit untuk memperoleh primer tanpa memiliki struktur haripin. Hairpin pada ujung
3' dengan ΔG(energy yang dipelukan untuk memecah struktur hairpin) = -2 kcal/mol
dan hairpin internal dengan ΔG = -3 kcal/mol masih dapat ditoleransi. Primer yang
berikatan dengan primer lainnya yang sejenis disebut dengan self-dimer. Self-dimer
pada ujung 3’ dengan ΔG = -5 kcal/mol dan self- dimer pada bagian internal dengan
ΔG= -6 kcal/mol masih dapat ditoleransi. Primer yang berikatan dengan primer
pasangannya (reverse dan forward) disebut dengan Cross-Dimer. Cross-dimer pada
ujung 3’ dengan ΔG= -5 kcal/mol dan self-dimer pada bagian internal dengan ΔG=
-6 kcal/mol masih dapat ditoleransi. Selain itu, Perulangan yang cukup panjang
dengan basa sama (lebih dari tiga basa berurutan sama, misal basa
AGCGGGGGATG memiliki 5 basa berurutan G) harus dihindari karena dapat
menyebabkan terjadinya breathing pada primer dan mispirming, sehingga proses
penempelan primer menjadi sulit. Primer sebaiknya juga tidak memiliki urutan
pengulangan dari 2 basa dan maksimum pengulangan 2 basa sebanyak 4 kali masih
dapat di toleransi (Sasmita et al., 2014).
Prinsip-prinsip untuk desain primer sebagai berikut, primer harus sepenuhnya
komplementer hanya dengan target amplikon bukan dnegan amplikon yang bukan
target, hindari pengikatan dua primer, dan tidak terbentu hairpin dalam primer.
Selain struktur sekunder pada primer, struktur dalam DNA templat juga sangat
mempengaruhi efisiensi amplifikasi PCR. Struktur sekunder yang rumit banyak
terdapat dalam genom DNA. Misalnya, urutan berulang terbalik di prokariota dan
eukariota dapat menyebabkan terbentuknya hairpin (dalam untai tunggal DNA) atau
cruciforms (dalam DNA untai ganda). Lebih lanjut, interaksi jangka panjang dalam
genom juga dapat membentuk struktur sekunder (dan juga tersier) yang rumit. Jadi,
sangat sulit sepenuhnya menghindari penggunaan situs terstruktur sekunder untuk
pengikatan primer. Harus mencatat bahwa struktur jepit rambut yang terbentuk
secara intramolekul, yang lebih rentan terbentuk dibandingkan dengan pengikatan
primer antarmolekul dengan templat (Fan et al., 2018)
III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa


primer yang dihasilkan memenuhi kriteria primer yang optimal dengan suhu
melting (Tm) primer pada primer forward sebesar 61,73 °C dan pada primer
reverse sebesar 62,57 °C, kandungan rata (G+C) primer forward dan primer
reverse adalah 55%, ukuran primer 20 bp, struktur sekunder internal primer
berupa nilai dG primer forward - reverse (-0,36 kcal/mol), reverse – reverse (-
0,08 kcal/mol) masih dalam kisaran dG = -3,0 – 0 kcal/mol
B. Saran

Saran untuk praktikum kali ini yaitu diharapkan langkah-langkah


pembuatan desain primer dilakukan secara baik dan teliti agar tidak ada langkah
yang mungkin terlewat, sehingga tidak ada kesalahan dari hasil desain primer.
DAFTAR PUSTAKA

Aris, T. W., 2000. Inverse Polymerase Chain Reaction. Jurnal Hayati. 7(4), pp. 121-
123.

Erlich, H. A., 1989. Polymerase Chain Reaction. Journal of Clinical Immunology 9:


437−447.
Fan, H., Wang, J., Komiyama, M. & Liang, X., 2018. Effects of Secondary
Structures Of DNA Templates On The Quantification of qPCR. Journal of
Biomolecular Structure and Dynamics, 37(11), pp. 2867-2874.
Innis,M. A., Gelfand, D. H., Sninsky,J. J. & White T J., 1990. PCR Protocols A
Guide To Methods and Applications. New York: Academic Press Inc.
Madej R. 1991. Polymerase Chain Reaction : Application to the Clinical Laboratory,
Laboratory Roche Diagnostic Research, p. 23-32, 45-49.
McPherson, M. J. & Moller, S.G., 2006. PCR Second Edition. New York: Taylor &
Francis Group.
Sambrook, J., Fritsch, E.F. & Maniatis, T., 1989. Molecular Cloning: A Laboratory
Manual. 2nd edition. New York: Cold Spring Harbor Laboratory Press.
Sasmito, D. E. K., Kurniawan, R. & Muhimmah, I., 2014. Karakteristik Primer pada
Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk Sekuensing DNA. Journal
Nasional Informatika Medis (SNIMed), 1(5), pp. 93-102.

Sunarno & Novriani, H., 2016. Desain Primer PCR Secara Manual untuk
Amplifikasi Gen dtx Bakteri Penyebab Difteri dengan Masalah Homologi
Sekuens DNA. Jurnal Indon Med Assoc, 12(66), pp. 544-550.

Anda mungkin juga menyukai