Pada praktikum kali ini, kami membuat formula obat sirup paracetamol dan sirup
difenhidramin HCl. Formula paracetamol ini termasuk ke dalam bentuk sediaan larutan. Obat
paracetamol memiliki tingkat kelarutan 1:10-30 (Dirjen BKAK, 2014) dimana untuk menjamin
sempurnanya zat aktif larut dalam sediaan, maka formula ini menggunakan salah satu teknik
peningkatan kelarutan yaitu dengan metode kosolvensi. Pelarut kosolven yang digunakan adalah
propilen glikol dengan tingkat kelarutan paracetamol di dalamnnya 1:9 dan juga gliserin
ditambahkan air sebagai pelarut (Dirjen BKAK, 2014) untuk memastikan zat aktif homogen dan
tidak menimbulkan pengendapan.
Pada formula difenhidramin HCl, formula tersebut juga merupakan bentuk sediaan larutan.
Hanya saja, karena tingkat kelarutan difenhidramin HCl yang mudah larut dalam air, sehingga
tidak diperlukan peningkatan kelarutan. Propilen glikol pada formula tersebut beritndak sebagai
pengawet anti mikrioba dan pelarut bagi zat-zat eksipien seperti mentol yang pada sediaan ini
digunakan sebagai perisa. Tingkat kelarutan mentol di dalam air adalah agak sukar larut dengan
perbandingan 1: 30-100, namun mudah larut dalam propilen glikol (Dirjen BKAK, 2014).
Peningkatan kelarutan metode kosolvensi menggunakan bahan cair lain yang memiliki
tingkat kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan air sehingga zat aktif dapat tetap larut
sempurna dalam sediaan. Adapun teknik peningkatan kelarutan dengan metode kosolvensi terdiri
dari dua cara:
1. Zat aktif dilarutkan dalam salah satu pelarut dengan kelarutan bahan berkhasiat
yang paling besar, kemudian tambahkan pelarut lain sekaligus.
2. Apabila kelarutan zat aktif di dalam masing-masing pelarut yang akan
dikombinasikan tidak tinggi, maka zat aktif dilarutkan sedikit demi sedikit ke dalam
pelarut campur tersebut.
Terdapat perbedaan antara formula 1 dan 2 sirup paracetamol. Pada formula 1 pemanis
yang digunakan dalam sediaan adalah sorbitol dan Na Sakarin, sedangkan pada formula 2 pemanis
yang digunakan adalah sirup simplex. Kelebihan dari formula 1 adalah pemanis yang digunakan
tidak memerlukan berat yang banyak dan sorbitol dalam hal ini dapat bertindak juga sebagai Anti
caps locking sehingga dapat mencegah terjadinya kristalisasi gula pada mulut botol. Namun
kekurangannya karena pemanis yang digunakan besifat sintetis sehingga kurang terasa alami
manisnya. Sedangkan pada formula 2 menggunakan pemanis alami yang dapat meninggalkan
kesan enak di mulut. Namun, dengan kadar yang banyak menyebabkan sediaan dapat
menimbulkan kristaliasi pada mulut botol karena tidak adanya bahan anti caps locking.
Sirup simpleks dapat dibuat dengan melarutkan 65mg Saccharum album yang ditambahkan
air murni hingga volume akhir tepat 100 ml. Campuran ini dapat menggunakan bahan pengawet
seperti metil paraben sebanyak 250mg tiap 100ml agar dapat disimpan lebih lama dan tidak perlu
ditambahkan pengawet jika untuk digunakan langsung. Cara pembuatannya untuk tiap 100ml sirup
simpleks dimulai dengan memanaskan aquades hingga mendidih, kemudian dimasukkan
saccharum album 65 mg ke dalam beaker beaker glass, selanjutnya setelah aquades mendidih,
tuangkan aquadest sampai volume 100ml ke dalam beaker yang berisi sacharum album sambil
terus di aduk sampai larut, lalu saring sirupus simpleks yang sudah larut agar bebas dari zat
pengotor dengan kain, dan terakhir simpan dalam wadah bersih yang tertutup. (Fornas, 1978)
Pada kedua formula, digunakan pasta anggur 10%. Bahan ini digunakan sebagai perisa dan
pewarna agar membuat tampilan sediaan jauh lebih menarik dan menutupi rasa pahit dari zaat
aktifnya. Pasta anggur 10% tiap 100ml dapat dibuat dengan memasukkan 10ml perisa anggur yang
ada di pasaran yang kemudian ditambahkan air murni hingga volume genap 100ml. Untuk
mengetahui kira kira jumlah air yang dibutuhkan untuk melarutkan suatu bahan, kita dapat
menggunakan perbandingan kelarutan suatu bahan yang terdapat pada literatur (FI V, USP, dll)
contoh kelarutan paracetamol pada literatur 1:10-30 maka pengalinya yang digunakan adalah
perbandingan yang terbesar yaitu 30 dengan syarat jumlah air yang digunakan cukup, hal ini lebih
disarankan agar proses pelarutannya lebih baik. Penyesuain fungsi dari eksipien yang tidak
tercantum konsentrasinya pada literatur (Misal HOPE). Maka fungsinya menyesuaikan dengan
sediaannya berdasarkan functional category yang ada pada literature. Contohnya larutan sirup
Paracetamol yang menggunakan viscosity increasing agent.
Dalam pembuatan sediaan cair, kita tentu menggunakan air murni sebagai pelarut pada
sediaan larutan dan juga sebagai fase pendispersi pada sediaan suspensi, emulsi hingga sediaan
semi solid. Pada formula ini air di-add hingga volume yang diinginkan. Cara penambahan air
hingga volume yang diinginkan ini tidak selamanya bisa menggunakan perhitungan volume total
dikurangi jumlah bahan lainnya. Hal ini hanya dapat digunakan jika bahan-bahan lain yang ada
dalam formula memiliki satuan yang sama yakni satuan volume. Jika berbeda-beda, cara yang
paling tepat untuk menetapkan jumlah air yang ditambahkan sesuai dengan volume yang
diinginkan adalah dengan mengkalibrasi terlebih dahulu wadah peracikan dengan air sebanyak
volume tersebut dan ditandai.
Dalam skala industri, proses pembuatan sediaan tidak dilakukan dengan menggunakan
botol, tetapi menggunakan gelas beaker. Pelarutan hingga penambahan airpun dilakukan dalam
gelas beaker karena yang diproduksi massal. Seorang farmasis juga harus memastikan in process
control pada sediaan meliputi kejernihan sediaan, organoleptis, dan cek pH larutan agar sesuai
dengan sayarat spesifikasi. Sediaan yang dihasilkan jernih dan benar-benar homogen baru boleh
dimasukan dalam botol. Saat sediaan telah dimasukkan ke dalam botol, tidak boleh lagi ada
penambahan bahan lain. Senyawa-senyawa yang ada didalamnya telah larut sempurna, warnanya
tidak terlalu pekat, baunya tidak tengik dan rasanya dapat menutupi rasa pahit dari zat aktif.
SEDIAAN SUSPENSI
Suspensi adalah sediaan cair dimana partikel yang tidak larut didispersikan secara
partikulat pada suatu medium pendispersi. Dalam farmasetika, kebanyakan suspensi menggunakan
medium air, namun ada pula yang menggunakan medium lain seperti organik atau minyak. Fase
terdispersi pada suspensi yang berukuran rata-rata sampai dengan 1 μm disebut dengan suspensi
koloid, sedangkan jika ukuran fase terdispersi >1 μm disebut dengan suspensi kasar. Formulasi
umum dalam suspensi adalah penggunaan zat aktif/eksipien dengan ukuran partikel yang
terkontrol. Zat eksipien yang biasa digunakan dalam suspensi adalah Suspending agent, Wetting
agent, dan Flocculating agent. Suspending agent juga bekerja sebagai viscosity modifier. Dengan
meningkatkan viskositas akan memperlambat terjadinya pengendapan pada suspensi. Wetting
agent atau bahan pembasah digunakan untuk meningkatkan aliran cairan pembawa di permukaan
partikel sehingga meningkatkan homogenitas dan distribusi partikel pada suspensi. Wetting agent
memudahkan zat yang tidak mudah terdispersi dalam medium dengan membasahi bagian
permukaan zat agar terdispersi. Wetting agent memiliki 2 golongan yaitu golongan surfakatan dan
golongan humektan. Selanjutnya adalah flocculating agent yang berfungsi mengatur derajat
flokulasi pada sediaan suspensi. Flocculating agent memiliki tiga golongan yaitu elektrolit,
surfaktan, dan polimer. Sehingga ketika terjadi pengendapan akan lebih mudah untuk
diresuspensikan. (Aulton, 2002)
Pada formula kali ini, Paracetamol dibuat dalam bentuk sediaan suspensi. Hal ini
disebabkan karena paracetamol memiliki sifat sukar larut dalam air dan memiliki jumlah kekuatan
sediaan yang lebih besar yaitu 250mg/5ml sehingga cukup sulit dilarutkan meskipun menggunakan
teknik kosolvensi seperti pada larutan. Jumlah parasetamol yang lebih besar ini pula juga
menyebabkan mengapa pada formula parasetamol dijadikan suspensi, karena akan lebih stabil jika
dijadikan suspensi dari pada dijadikan larutan. Dalam formula ini, zat aktif yaitu paracetamol
digunakan berlebih (2%) dan juga dalam bentuk micronize. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan
masa simpan dari obat, yang disebut dengan overaging. Syarat dari over aging tidak boleh lebih
dari batas maksimal kadar dalam sediaan. Pada USP dikatakan bahwa pada suspensi oral,
mengandung paracetamol tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110%. (The United States
Pharmacopeial Convention., 2008) Dan digunakan Paracetamol micronize dimaksudkan untuk
memperkecil ukuran paracetamol dalam upaya meningkatkan absorbsi obat dan untuk
meningkatkan laju disolusi paracetamol agar memenuhi syarat yang ditetapkan. Selain itu,
menggunakan zat aktif dengan partikel yang berukuran atau beridameter lebih kecil akan
mengurangi laju dari pengendapan suspensi.
Selain zat aktif, dalam formula umum sediaan suspensi diperlukan zat tambahan untuk
membentuk suatu suspensi. Zat tambahan dalam formula ini adalah sukrosa dalam formula ini
digunakan sebagai pemanis,Metil paraben digunakan sebagai pengawet, Na sitrat sebagai
alkalizing agent,gliserin dan sorbitol sebagai wetting agent, Na CMC dan tragakan sebagai
suspending agent, sunset yellow sebagai pewarna, pasta jeruk sebagai perasa dan aquades sebagai
medium pendispersi. Dalan formula ini Na Sitrat digunakan sebagai alkalizing karena sifat
parasetamol yang asam, pH parasetamol adalah 3,6 - 6,1, (Kementrian Kesehatan RI, 2014)
sedangkan pH stabilitasnya adalah 5,5-6,5 dan pH sediaannya adalah 4,0 – 6,9 (The United States
Pharmacopeial Convention., 2008) sehingga dibutuhkan alkalizing untuk menstabilkan pH
sediaan. Sorbitol dalam formula ini selain digunakan sebagai wetting agent dalam mendispersikan
parasetamol dapat juga digunakan sebagai anticapslocking untuk mencegah kristalisasi pemanis
pada leher botol. (Rowe, Sheskey, & Quinn, 2009) Kombinasi sunset yellow dan pasta jeruk
digunakan karena pasta jeruk dari segi warna kurang menarik, warnanya agak pucat sehingga
dibantu dengan pewarna sintetis seperti sunset yellow agar lebih menarik.
Pada formula selanjutnya ialah suspensi kering,sebagian besar obat yang disiapkan sebagai
suspensi kering untuk suspensi oral adalah antibiotik. Campuran kering dari suspensi oral
disiapkan secara komersial untuk mengandung obat, pewarna, rasa, pemanis, zat penstabil, zat
pensuspensi dan zat pengawet yang mungkin perlu untuk meningkatkan stabilitas formulasi.
(Pavane, Shirsat, Dhobale, Joshi, Dhembre, & Ingale, 2018) Zat aktif yang digunakan dalam
formula ini adalah Amoxicillin yang merupakan antibiotik. Amoxicillin sukar larut dalam air dan
merupakan golongan penisilin yang tidak stabil jika berada dalam larutan dalam jangka waktu
yang lama.
Pada praktikum kali ini Amoxicillin dibuat dalam bentuk suspensi kering karena bahan
aktif tidak stabil dalam penambahan air apabila ditambahkan dengan air akan terjadi penguraian.
Sehingga untuk menjaga stabilitas bahan aktif dalam sediaan obat dibuat serbuk atau granul dan
di direkonstitusi dahulu. Zat aktif amoxicillin dilebihkan 8% bertujuan untuk meningkatkan masa
simpan dari obat, yang disebut dengan overaging. Menurut Farmakope Indonesia V, Amoxicillin
untuk suspensi oral mengandung tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 120,0%.
(Kementrian Kesehatan RI, 2014)
Eksipien yang digunakan dalam formulasi ini adalah vanila kering dan sukrosa sebagai
perasa, dan Na CMC sebagai zat pensuspensi. Eksipien lainnya adalah dimetikon dan aerosil.
Dimetikon pada suspensi kering ini berfungsi sebagai antifoaming agent, dikarenakan saat
rekonstitusi sediaan berpotensi menghasilkan busa dan mengganggu dalam proses penggenapan
volume. Sehingga dimetikon berfungsi sebagai antifoaming agent agar ketika dicampurkan air
atau direkonstitusi tidak menimbulkan busa. Sedangkan aerosil pada formula suspensi kering ini
berfungsi sebagai anti-caking agent untuk mencegah terjadinya penggumpalan atau pengendapan
setelah direkonstitusi.
Sukrosa pada formula ini dibagi menjadi 3 bagian dengan bobot yang berbeda. Bobot yang
digunakan adalah 4 g, 16 g, dan 20 g untuk 200ml suspensi kering. Sukrosa dengan bobot 4 gram
digunakan untuk pencampuran dengan dimetikon yang meimiliki bobot paling kecil yaitu 0,04
gram. Sukrosa dengan bobot 16 gram digunakan untuk pencampuran dengan bahan eksipien
lainnya. Sedangkan sukrosa dengan bobot 20 gram diggunakan untuk mencampurkan zat aktif.
Pencampuran bahan dilakukan sedikit demi sedikit disebut dengan teknik doubling up untuk
memastikan seluruh bahan dapat tercampur dengan homogen. Teknik doubling up merupakan
teknik yang digunakan untuk memastikan campuran akhir yang homogen. Teknik ini dilakukan
dengan cara mentriturasi bagian terkecil terlebih dahulu, lalu selanjutnya pada setiap tambahan,
ditambahkan dengan jumlah yang kira-kira menggandakan massa yang sudah dicampurkan lalu
ditriturasi dengan tambahan sampai seluruh bahan habis tercampur.
Setelah pembuatan formula perlu dilakukan evaluasi untuk menentukan bahwa produk
dapat diedarkan atau tidak. Evaluasi stabilitas fisik pada suspensi formula Paracetamol 1 dan 2
meliputi delapan pemeriksaan. Yang pertama adalah uji organoleptis dengan menilai perubahan
bau, warna, dan rasa. Yang kedua adalah pengujian bobot jenis menggunakan piknometer. Yang
ketiga adalah pengujian viskositas menggunakan viskometer. Yang keempat adalah pengukuran
pH dengan pH meter yang nilainya perlu disesuaikan dengan pH stabilitas sediaan. Yang kelima
adalah volume sedimentasi untuk menentukan sistem suspensi yangterbentuk. Selanjutnya adalah
uji redispersi dan Freeze Thawcycling. Dan yang terakhir adalah pengujian distribusi ukuran
partikel menggunakan mikroskop. (Wahyuni, Syofyan, & Yunalti, 2017)
Terdapat beberapa pengujian untuk mengevaluasi suspensi kering. Yang pertama adalah pengujian
kadar air yang bertujuan untuk melihat kandungan air yang terdapat dalam serbuk suspensi. Yang
kedua adalah penentuan sudut baring yang bertujuan untuk memberikan nilai kualitatif dari gaya
kohesi internal dan efek hambatan yang mungkin dipakai pada pencampuran serbuk, pencetakan
tablet atau pemasukan kedalam cangkang atau wadah. Yang ketiga adalah penentuan waktu alir,
semakin kuat ketahanan partikel maka semakin lama waktu alirnya. Yang keempat adalah
penentuan bobot jenis dan porositas untuk memberikan informasi tentang jumlah udara yang
masuk selama pembuatan suatu sediaan. Yang kelima adalah pengujian stabilitas suspensi
dilakukan setelah direkonstitusi dengan menggunakan aquadest. Selanjutnya adalah uji
organoleptis dan homogenitas. Lalu terdapat pengujian terhadap viskositas dan sifat alir yang
diamati melalui viskometer dan rheogram. Kemudian ada pengujian pH suspensi dengan
menggunakan pH meter. Dan yang terakhir adalah penentuan volume sedimentasi yang bertujuan
memberi informasi tentang sistem suspensi yang terbentuk. (Nurlina, Tomagola, Hasyim, &
Rahman, 2014).
Salah satu alasan pembuatan suspensi oral adalah karena obat-obat tertentu tidak stabil
secara kimia bila ada dalam larutan tetapi stabil bila disuspensi. Dalam hal seperti ini suspensi oral
menjamin stabilitas kimia dan memungkinkan terapi dengan cairan. Umumnya bentuk cairan lebih
disukai daripada bentuk padat (tablet atau kapsul dari obat yang sama), karena mudah saat
meminumnya dan lebih mudah untuk memberikan dosis yang relatif besar, selain itu juga mudah
diberikan untuk anak-anak.(Ansel et al., 1995).
1. Bahan pembasah, berfungsi untuk meningkatkan dispersi bahan yang tidak larut.
3. Floculating agent, berfungsi untuk mengatur derajat flokulasi. bukan mencegah flokulasi
atau deflokulasi.
Pembahasan kali ini sediaan suspensi yang dibuat menggunakan formula paracetamol dan
amoxicillin. Saat menentukan jenis sediaan, data kelarutan dan kekuatan sediaan juga perlu
diperhatikan. Pada pembahasan sebelumnya, formula paracetamol dibuat larutan karena memiliki
kelarutan yang terbatas. Kelarutan paracetamol dapat ditingkatkan menggunakan beberapa metode
yaitu salah satunya dengan menggunakan metode kosolvensi, tetapi dengan catatan kekuatan
sediaannya tidak boleh terlalu besar, maka dari itu konsentrasi paracetamol dalam sediaan harus
dihitung untuk menentukan berapa banyak jumlah paracetamol yang bisa larut kemudian sisanya
bisa tidak dilarutkan dengan peningkat kelarutan. Untuk formula paracetamol kali ini memiliki
dosis 2 kali lebih besar dibandingkan dengan formula sebelumnya. Metode peningkatan kelarutan
juga tidak mampu untuk melarutkan paracetamol pada konsentrasi yang diinginkan sehingga
dibuat sediaan suspensi karena sulit untuk dilarutkan.
Jika dilihat dari sisi stabilitas: 1. Stabilitas fisik larutan > suspensi
Apabila suatu zat mudah terhidrolisis, maka zat tersebut tidak boleh diformulasikan
menjadi sediaan cair, kecuali formula tersebut dibuat menjadi sediaan rekonstitusi, contohnya
sirup kering, suspensi kering, powder for injection. Penggunaan paracetamol micronize pada
formula kali ini ditujukan untuk memperkecil ukuran paracetamol dalam upaya meningkatkan laju
disolusi paracetamol agar memenuhi syarat yang ditetapkan, penimbangan paracetamol juga di
lebihkan sebanyak 2%. Penimbangan bahan yang di lebihkan disini disebut juga overaging yang
bertujuan untuk meningkatkan masa simpan obat.
Pada formula paracetamol, gliserin dan sorbitol membantu paracetamol agar mudah
terdispersi dalam air atau dikenal dengan istilah wetting agent. Pada sediaan suspensi, suspending
agent bisa juga dianggap sebagai dispersing agent karna membantu zat aktif tetap terdispersi.
Penggunaan suspending agent bertujuan untuk meningkatkan viskositas dan memperlambat proses
pengendapan sehingga menghasilkan suspensi yang stabil (Nash, 1996). Suspensi stabil apabila
zat yang tersuspensi tidak cepat mengendap, harus terdispersi kembali menjadi campuran yang
homogen dan tidak terlalu kental agar mudah dituang dari wadahnya (Ansel et al., 1995). Dalam
penggunaan suspending agent konsentrasinya harus diatur supaya viskositas sediaan tidak terlalu
tinggi. Na sitrat yang terdapat pada formula paracetamol berfungsi sebagai alkalizing agent yang
dibutuhkan untuk menstabilkan pH dari paracetamol yang mana memiliki pH antara 3,6 sampai
6,1 sedangkan pH stabilitasnya 5,5 - 6,5. Pasta jeruk yang ada pada formula sebenarnya dapat
berfungsi sebagai flavoring dan coloring agent, tetapi karena warna yang diberikan oleh pasta jeruk
masih belum sesuai dengan warna yang diinginkan oleh formulator. maka ditambahkan sunset
yellow agar warna sediaan lebih menarik.
Formula selanjutnya yang digunakan dalam bahasan suspensi kali ini yaitu menggunakan
zat aktif amoxicillin. Amoxicillin sukar larut dalam air dan merupakan golongan penisilin yang
tidak stabil jika berada dalam larutan dalam jangka waktu yang lama. Oleh sebab itu, amoxicillin
dibuat dalam bentuk sediaan serbuk kering yang direkonstitusi terlebih dahulu sebelum digunakan
untuk menjaga stabilitasnya. Umumnya, suatu sediaan suspensi kering dibuat karena stabilitas zat
aktif di dalam pelarut air terbatas, baik stabilitas kimia atau stabilitas fisik. Umumnya antibiotik
mempunyai stabilitas yang terbatas di dalam pelarut air.
2. Suspensi kering secara teknik produksi masuk ke dalam sediaan padat/ powder.
Pada suspensi rekonstitusi, hal-hal yang harus diperhatikan untuk memproduksi sediaan
serbuk juga harus diperhatikan pada sediaan suspense kering. Salah satunya yaitu sifat alir serbuk.
Pengisian produk ke dalam botol juga harus dijamin homogen sehingga berat dari tiap botol
seragam (memenuhi syarat farmakope). Syarat mutu sediaan suspensi kering mengikuti syarat
mutu sediaan serbuk. Pemilihan bahan penting untuk diperhatikan. Tidak diperbolehkan untuk
menggunakan bahan secara sembarang. misalnya: talk bisa dipake untuk glidant tapi tidak sesuai
untuk sediaan suspensi krn sifatnya yang sukar didispersikan. Maka, syarat bahan yang digunakan
disesuaikan dengan sediaan suspensi. Pada formula ini, aerosil dipilih karena memiliki peran yg
positif untuk sediaan suspensi seperti anti caking, meningkatkan kemampuan dispersi serbuk saat
direkonstitusi,dan meningkatkan viskositas sediaan.
Granulasi berfungsi untuk memperbesar ukuran partikel serbuk guna memperbaiki sifat alir
dari sediaan, tetapi juga memiliki kerugian yaitu ukuran partikel yang terdispersi akan terlalu besar
sehingga secara penampilannya nanti kurang menarik. Untuk suspensi kering pemilihan
suspending agent yang mudah mengembang dilakukan dengan cara pengocokan saja. Jika
produksinya dengan skala besar alat yang digunakan bukan lumpang, tetapi sukrosanya tetap
dibagi menjadi beberapa bagian untuk menjamin homogenitas serbuk. Dalam teknik pencampuran
serbuk, dilarang mencampurkan bahan dalam jumlah kecil dengan bahan lain dalam jumlah yg
jauh lebih banyak, sebaiknya mencampur secara proporsional secara geometris atau doubling up.
Hasil akhir campuran serbuk bisa diayak untuk mendapatkan ukuran partikel yang seragam dan
mencegah penggumpalan serbuk, overaging juga digunakan disini. Berat serbuk tiap botol yang
dipergunakan untuk mendapatkan volume 60ml yaitu sebanyak 15 gram.
Berat serbuk mengacu kepada kadar amoxicillinnya, penetapan kadar amoxicillin dalam
campuran serbuk harus dilakukan terlebih dahulu karena berat serbuk mengacu kepada kadar
amoxicillinnya. Setiap botol harus mengandung amoxicilin = 60/5 x 125 mg = 1500 mg.
Perhitungan ini digunakan jika kadar yang diinginkan 100%. Jika ingin dilebihkan untuk overaging
maka berat amoxicillin menjadi 1620mg setiap botolnya.
Salah satu evaluasi penting yang harus dilakukan pada suspensi kering yaitu memperhatikan
seberapa cepat sediaan dapat di rekonstruksi atau disebut sebagai waktu rekonstruksi. Hal ini
penting untuk dilakukan guna menilai mutu dari sediaan. Untuk suspensi basah, dilakukan
penyaringan terlebih dahulu yang ditujukan untuk mencegah adanya gumpalan yang masuk ke
dalam botol sebelum tahap filling yang disebabkan oleh suspending agen. Amoxicillin merupakan
salah satu obat keras, maka seharusnya pada kemasan sediaan terdapat tulisan “harus dengan resep
dokter”.
SEDIAAN EMULSI
Sediaan emulsi merupakan sediaan cair yang terdiri dari dua cairan yang tidak bercampur
satu dengan yang lain. Dimana fase tersebut terdiri dari fase polar (biasanya sering disebut fase
air) dan fase nonpolar (fase minyak). Formula pada sediaan emulsi biasanya mengandung bahan-
bahan sebagai berikut: zat aktif, emulgator, pengawet, antioksidan. Khusus untuk emulsi oral
biasanya ada penambahan sweetening agent, flavoring agent, dan coloring agent untuk
memperbaiki rasa dan penampilan. Pada praktikum sediaan emulsi kali ini membahas tentang
sediaan emulsi oral minyak jarak dan juga sediaan emulsi topical.
Pada formula sediaan emulsi oral, umumnya memiliki tipe emulsi o/w untuk menutupi rasa
dan bau yang tidak enak dari minyak. Sama halnya dalam formula ini, dimana oleum ricini atau
minyak jarak memiliki fungsi sebagai zat aktif dan juga menjadi fase minyak yang kemudian akan
menjadi fase terdispersi dalam formula ini. Sirupus simpleks digunakan sebagai sweetening agent,
oleum citri sebagai flavoring agent, dan yellow collow sebagai coloring agent untuk memperbaiki
penampilan dan rasa dari sediaan emulsi oral minyak jarak karena akan digunakan dengan rute
pemberian oral. Kemudian nipagin atau methylparaben berfungsi sebagai agen antimikroba atau
pengawet untuk mencegah atau menghambat pertumbuhan mikroba dalam sediaan, yang dalam
melarutkannya dibantu oleh propilen glikol sebagai pelarutnya.
Dalam memformulasikan suatu sediaan emulsi tentu saja diperlukan adanya emulgator.
Dalam formula ini, emulgator yang dipilih adalah gom arab dan tragakan. Keduanya termasuk ke
dalam emulgator golongan koloid hidrofilik. Mekanisme kerjanya adalah dengan membentuk
lapisan multimolekular di sekitar antarmuka air dan minyak dari globul yang menjadikan
viskositas medium pendispersinya meningkat sehingga menghambat/mencegah penggabungan
globul-globul kecil dari fase terdispersi (oleum ricini) menjadi globul berukuran lebih besar dan
yang dapat memicu terjadinya coalesense (Aulton, 2002). Selain itu gom arab dan tragakan juga
dapat sedikit menurunkan tegangan antarmuka dari fase minyak dan fase air sehingga dapat
menjadi emulgator tunggal tanpa kombinasi dengan emulgator lainnya. Fase minyak dan bahan
bahan lainnya didispersikan/dicampurkan ke dalam air yang berfungsi sebagai medium
pendispersi. Komposisi bahan bahan tersebut sudah cukup untuk membuat sediaan emulsi oral ini.
Antioksidan tidak dibutuhkan karena minyak jarak sendiri cenderung bersifat stabil dan baunya
tidak akan berubah menjadi tengik kecuali jika dilakukan pemanasan dengan suhu tinggi (>300 oC).
Selain itu, minyak jarak juga tidak cocok jika ditambahkan atau dikombinasikan dengan agen
pengoksidasi kuat (HOPE 6th Edition).
Prosedur pembuatannya adalah dengan metode gom basah dan gom kering. Pada metode
gom basah, gom arab dikembangkan dulu dalam air dengan perbandingan 1:2 sambil diaduk cepat
sampai membentuk mucilage (seperti lender bening) kemudian ditambahkan oleum ricini sedikit
demi sedikit sambil terus di aduk hingga terbentuk corpus emulsi (berupa massa putih seperti susu
kental yang homogen). Baru kemudian bahan-bahan tambahan lain dicampurkan ke dalam korpus
emulsi ini dalam kondisi sudah berbentuk cair/terlarut. Lalu cukupkan volumenya sampai 300 ml
sambil terus dihomogenkan, kemudian dimasukkan ke dalam botol 100 ml. Untuk prosedur
pembuatan dengan metode gom kering, perbedaannya adalah tidak melewati fase pembentukkan
mucilage, melainkan langsung membentuk korpus emulsi diawali dengan mencampurkan minyak
dan emulgator sampai seluruh emulgator terbasahi kemudian tambahkan sedikit air lalu diaduk
cepat sampai terbentuk korpus emulsi ditandai dengan terbentuknya massa putih seperti susu yang
kental. Untuk step selanjutnya sama saja seperti metode gom basah. Perbandingan minyak: air:
emulgator yang digunakan umumnya adalah 4: 2: 1. Namun pada formula 2 yang menggunakan
tragakan, hanya dilakukan dengan prosedur gom basah dengan perbandingan minyak: air:
emulgator adalah 40:20:1.
Jika nilai perbandingan tersebut diubah, akan berpengaruh pada viskositas dari korpus
emulsi. Pada tragakan tidak menggunakan metode gom kering, karena sebenarnya metode gom
basah dan gom kering ini untuk mengembangkan emulgator gom arab. Perbedaan korpus dan
emulsi akhir terletak pada komponen penyusunnya. Pada korpus komponennya hanyalah fase
minyak, fase air dan juga emulgator. Sedangkan emulsi akhir adalah korpus yang sudah
ditambahkan bahan-bahan lain yang berfungsi untuk menunjang stabilitas dari sediaan emulsi
tersebut.
Selanjutnya membahas tentang sediaan emulsi topical. Pada emulsi topical umumnya
berupa emulsi setengah padat dan dapat ditemukan tipe emulsi o/w atau w/o. Namun pada formula
emulsi ini tipenya adalah o/w karena persentase fase air lebih banyak dibandingkan dengan
persentase fase minyaknya. Bahan-bahan yang digunakan pada sediaan emulsi topical ini adalah:
paraffin cair sebagai emollient, tween 80 sebagai emulgator yang bersifat hidrofilik, span 80
sebagai emulgator yang bersifat hidrofobik, cetil alcohol sebagai stiffening agent dan emulsifying
agent, asam stearate sebagai emulsifying agent dan solubilizing agent, nipagin/ methylparaben
sebagai pengawet yang dilarutkan dalam propilen glikol, TEA sebagai alkalizing agent sekaligus
emulsifying agent jika dikombinasikan dengan asam stearate, vitamin E sebagai antioksidan,
parfum sebagai pemberi aroma, dan aquadest sebagai medium pendispersinya. Pada sediaan
emulsi topical ini ditambahkan antioksidan karena paraffin cair mudah teroksidasi saat terpapar
panas dan cahaya. Maka diperlukan penambahan antioksidan, (dalam formula ini vitamin E) untuk
menghambat terjadinya proses oksidasi yang menyebabkan ketengikan (HOPE 6th Edition).
Emulgator utama yang digunakan dalam formula ini adalah tween 80 dan span 80. Kedua
emulgator tersebut termasuk ke dalam golongan surfaktan yang mekanisme kerjanya adalah
menurunkan tegangan antarmuka dari fase minyak dan fase air sehingga kedua fase tersebut dapat
bercampur. Selain kedua kombinasi emulgator tersebut, digunakan juga setil alcohol, asam
stearate, dan TEA sebagai emulgator. Meskipun kemampuannya relative rendah untuk menjadi
emulgator, namun bahan-bahan tersebut cukup untuk membantu menunjang stabilitas sediaan
emulsi topical ini.
Bahan bahan yang termasuk fase minyak adalah paraffin cair, span 80, setil alcohol, asam
stearate, dan vitamin E. Sedangkan untuk bahan-bahan yang termasuk fase air adalah tween 80,
propilen glikol, TEA, nipagin, dan aquadest. Kelarutan nipagin sebenarnya sukar larut dalam air,
namun tidak membuat nipagin termasuk ke dalam fase minyak. Hal tersebut karena nipagin
difungsikan sebagai pengawet yang mencegah/menghambat pertumbuhan mikroba dalam medium
pendispersinya yaitu air, maka nipagin termasuk ke dalam fase air yang akan dilarutkan dengan
propilen glikol.
Evaluasi sediaan pada sediaan emulsi meliputi uji organoleptis, uji stabilitas dipercepat
dengan sentrifugasi, penentuan tipe emulsi, pengukuran volume creaming dan indeks creaming
(uji stabilitas normal). Pada pengujian indeks creaming, semakin tinggi nilai indeks creaming yang
didapatkan, berarti sediaan emulsi yang diproduksi semakin tidak stabil.
Pada praktikum ini, akan dibahas evaluasi mutu sediaan cair. Tujuan dari praktikum ini
adalah agar dapat mengetahui dan menjelaskan jenis dan prosedur evaluasi mutu sediaan cair.
Suatu produk yang baik memiliki efikasi (khasiat) dan safety (keamanan) yang baik. Jadi
evaluasi mutu sediaan cair ini perlu dilakukan untuk menjamin khasiat dan keamanan produk,
maka diperlukan suatu upaya penjaminan mutu baik selama proses produksi maupun pada produk
akhir yang harus terdokumentasi dengan baik sebagai syarat produk tersebut dapat dipasarkan.
Mutu suatu produk harus memenuhi syarat-syarat resmi yang ditetapkan oleh pemerintah di mana
produk tersebut akan di pasarkan dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh industri yang
bersangkutan. Di Indonesia sendiri, setiap produk yang beredar harus memenuhi persyaratan
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang mengacu pada Farmakope Indonesia (FI) yang
dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan RI. Berikut ini merupakan beberapa evaluasi sediaan cair
oral yang tertera dalam FI IV:
Evaluasi Kimia meliputi : a. Identifikasi b. Penetapan kadar obat dalam sediaan. Evaluasi
Fisik meliputi: a. Organoleptis (termasuk kemasan) b. Kejernihan larutan (untuk sediaan larutan)
c. Viskositas d. Homogenitas (sistem dispersi) e. Distribusi ukuran partikel (sistem dispersi) f.
Volume terpindahkan g. Penetapan pH sediaan h. Berat jenis i. Keseragaman sediaan j. Uji disolusi
(sistem dispersi). Evaluasi Biologi meliputi: a. Uji batas mikroba
Uji potensi antibiotik secara mikrobiologi (untuk sediaan antibiotik). Selain evaluasi akhir
(end process control / EPC), pengawas selama proses (In process control / IPC) harus dilakukan
terutama pada tahap produk antara, produk ruahan, dan pengemasan sesuai dengan spesifikasi
produk masing-masing. Tujuannya yaitu untuk memantau hasil dan memvalidasi kinerja dari
proses produksi yang mungkin menjadi penyebab variasi karakteristik produk selama proses
berjalan. Spesifikasi IPC harus konsisten dengan spesifikasi produk. IPC meliputi identitas,
kekuatan, kemurnian, dan mutunya.
Pada praktikum ini, evaluasi mutu sediaan cair yang akan dibahas adalah sediaan larutan
paracetamol, sediaan suspensi paracetamol, suspensi kering amoxicillin, dan sediaan emulsi
minyak jarak.
Evaluasi mutu sediaan larutan paracetamol meliputi identifikasi, kadar obat, organoleptis,
kejernihan, homogenitas, penetapan pH sediaan, penetapan volume terpindahkan, berat jenis,
viskositas, dan uji batas mikroba.
Evaluasi yang pertama adalah identifikasi sediaan menggunakan kromatografi lapis tipis.
Tujuan dari identifikasi ini adalah untuk memastikan bahwa dalam sediaan larutan paracetamol
tersebut benar mengandung bahan obat paracetamol. Kriteria uji identifikasi ini adalah saat
diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis (KLT) retensi puncak larutan uji sesuai dengan
retensi puncak larutan baku paracetamol. Identifikasi larutan paracetamol ini juga dapat
menggunakan cara lain seperti HPLC dan dapat menggunakan sampel dengan konsentrasi yang
beragam juga. Paling penting dalam pengujian tersebut adalah profil yang dihasilkan oleh larutan
uji (sediaan larutan paracetamol) sama dengan larutan baku yang menunjukkan bahwa bahan obat
yang dimaksud benar terkandung dalam sediaan. Kriteria hasil uji yang menngunakan metode
HPLC juga akan menunjukkan puncak dengan waktu yang sama dengan baku pembanding.
Uji penetapan kadar sediaan paracetamol memiliki syarat sediaan harus Mengandung tidak
kurang dari 90,0 % dan tidak lebih dari 110,0 % dari jumlah yang tertera di etiket. Penetapan kadar
untuk sediaan larutan ini dilakukan sebagai uji resmi jika ada pertanyaan atau perdebatan mengenai
pemenuhan persyaratan terhadap standar resmi. Penetapan kadar penetapan kadar dilakukan
dengan cara Kromatografi cair kinerja tinggi seperti tertera pada Kromatografi. fase gerak :
Campuran air-metanol P (3:1) dibuat, kemudian saring dan awal udarakan. Jika perlu lakukan
penyesuian menunut Kesesuaian sistem seperti tertera pada Kromatografi. larutan baku yang
digunakan yaitu sejumlah Parasetamol BPFI ditimbang seksama, kemudian dilarutkan dalam Fase
gerak hingga kadan lebih kurang 0,01 mg per ml. Penetapan kadar sediaan parecetamol ini
berdasarkan Farmakope Indonesia V syarat kadar pada sediaan larutan paracetamol harus tidak
kurang dari 90,0 % dan tidak lebih dari 110,0 % dari jumlah yang tertera di etiket, jika kadar yang
terdapat pada sediaan paracetamo kurang atau lebih dari kadar yang telah di persyaratkan maka
sediaan tersebut tidak lulus uji, dan tidak dapat diedarkan.
Uji organoleptis Penglihatan yang berhubungan dengan warna kilap, ukuran dan bentuk,
sediaan. Indra peraba yang berkaitan dengan struktur,tekstur dan konsistensi dari sediaan.
Kemudian indra pembau, dijadikan sebagai suatu indikator terjadinya kerusakan pada produk,
misalnya ada bau busuk yang menandakan produk tersebut telah mengalami kerusakan. Lalu indra
pengecap yang berperan dalam hal kepekaan rasa, maka rasa manis, asin, asam, pahit, gurih, dan
pedas. (Fickri, 2018)
Uji kejernihan larutan ini dilakukan untuk memenuhi pesyaratan sebagai larutan.
Penetapan uji kejernihan ini menggunakan tabung reaksi alas datar dengan diameter dalam 15 –
25 mm, tidak berwarna, transparan dan terbuat dari kaca netral. Bandingkan larutan uji dengan
larutan suspensi padan an yang dibuat segar, setinggi 40 mm. Bandingkan kedua larutan di bawah
cahaya yang terdifusi 5 menit setelah pembuatan suspensi padanan dengan tegak lurus ke arah
bawah tabung menggunakan latar belakang berwarna hitam. Difusi cahaya harus sedemikian rupa
sehingga suspensi padanan; 1. Dapat dibedakan dari air dan suspensi padanan 2 dapat dibedakan
dari suspensi padanan 1. Larutan dianggap jernih apabila sama dengan air atau larutan yang
digunakan dalam pengujian dengan kondisi yang dipersyaratkan, atau jika opalasen tidak lebih
dari suspensi padanan 1. (FI V)
Pada sediaan larutan paracetamol dilakukan uji homogenitas. Uji ini dilakukan untuk
memastikan telah memenuhi syarat bahwa semua sirup yang diuji tidak memiliki gumpalan dan
endapan dalam larutan, hal ini karena tidak terdapat perbedaan sifat antara bahan dan zat aktif yang
digunakan. Pengujian dilakukan dengan mengamati sediaan, apakah ada partikel/endapan pada
larutan sirup. (Gunawan,2016)
Evaluasi volume terpindahkan dilakukan untuk memastikan bahwa sediaan larutan tersebut
telah memenuhi persyaratannya yaitu, volume rata-rata larutan yang diperoleh dari 30 wadah tidak
kurang dari 100% dari yang tertera di etiket, dan tidak lebih dari 1 dari 30 wadah volume yang
kurang dari 95%, tetapi tidak kurang dari 90% dari yang tertera pada etiket. (Emilia, Taurina, &
Fahrurroji, 2013) Adapun prosedur pengujiannya yaitu gelas ukur dengan volume 100 ml
disiapkan dalam keadaan kering dan bersih. Setelah itu sediaan larutan paracetamol dituang ke
dalam gelas ukur secara perlahan. Sediaan larutan tersebut didiamkan selama 30 menit, sampai
terbebas dari gelembung udara. Kemudian volume larutan diukur dan ditentukan dengan cara
akurat, hingga diperoleh volume rata-rata sediaan 100%. (FI IV)
Pada sediaan larutan hanya dilakukan uji volume terpindahkan, sedangkan untuk uji
keseragaman sediaan tidak dilakukan karena sediaan larutan yang dievaluasi merupakan sediaan
dengan wadah multiple unit (dosis ganda). Pada umumya uji keseragaman sediaan hanya
dilakukan untuk sediaan yang single unit.
Uji bobot jenis menggunakan alat piknometer yang sudah dibersihkan dan dikeringkan.
Piknometer kosong (W1) ditimbang, lalu isi dengan air suling, bagian luar piknometer dilap
sampai kering dan ditimbang (W2). Air suling tersebut dibuang, kemudian piknometer
dikeringkan dan diisi dengan cairan yang akan diukur bobot jenisnya pada suhu yang sama pada
saat pengukuran air suling, dan ditimbang (W3). (Fickri, 2018) persyaratan uji bobot jenis
merupakan hasil berupa hasil bobot jenis yang sesuai dengan monografi sediaan.
Uji viskositas sediaan larutan paracetamol. larutan paracetamol dalam formula ini
termasuk dalam cairan newton karena merupakan larutan sejati (larutan yang tidak mengandung
partikel yang tidak terlarut) dan tidak mengandung bahan koloid hidrofilik seperti Na CMC,
tragakan. Oleh karena itu uji viskositasnya dapat menggunakan viskosimeter bola jatuh dan
parameter uji yang diukur adalah waktu.
Uji batas mikroba merupakan evaluasi biologi yang dilakuakan untuk menentukan suatu
bahan atau sediaan memenuhi spesifikasi mutu secara mikrobiologi yang telah ditetapkan,
termasuk jumlah sampel yang akan digunakan dan interpretasi basil uji. Metode ini tidak dapat
diaplikasikan untuk produk yang mengandung mikroba viabel sebagai bahan aktif. Pengujian
dilakukan dengan metode Penyaringan Membran atau salah satu Metode Angka Lempeng yang
sesuai. Metode lain adalah Angka Paling Mungkin (APM) yang umum digunakan untuk produk
dengan tingkat kontaminasi rendah. Pemilihan metode pengujian berdasarkan beberapa faktor
antara lain jenis produk yang diuji, persyaratan yang ditentukan dan ukuran sampel yang memadai
untuk memperkirakan kesesuaian secara spesifik. (FI V)
Evaluasi mutu yang dilakukan pada suspensi paracetamol hampir sama dengan evaluasi
mutu pada sediaan larutan, tetapi hanya syaratnya yang berbeda. Selain itu, pada suspensi
paracetamol ini terdapat evaluasi tambahan yang tidak terdapat pada sedaiaan larutan, yaitu uji
distribusi ukuran parikel dan uji disolusi.
Pada kebanyakan suspensi sediaan farmasi yang baik, diameter partikel berkisar antara
1,00-50,00 μm, diameter partikel ini dapat dijadikan sebagai patokan saat pengembangan formula
nanti, sediaannya akan memiliki distribusi ukuran partikel yang ditetapkan sendiri. Ada beberapa
cara yang dapat digunakan untuk mengetahui ukuran suatu partikel, seperti metode ayakan (Sieve
anayses), Laser Diffraction (LAS), metode sedimentasi, Electronical Zone Sensing (EZS), analisa
gambar (mikrografi), metode kromatografi, Submicron aerosol sizing, dan counting (Barth, 1985).
Dari beberapa jenis metode yang bisa digunakan, Laser Diffraction (LAS) merupakan metode
yang dinilai lebih akurat dibandingkan dengan metode yang lain, terutama untuk sample-sampel
dalam orde nanometer maupun submikron.
Alat yang digunakan dalam metode ini adalah PSA. PSA menggunakan prinsip dynamic
light scattering (DLS). Metode ini juga dikenal sebagai quasi-elastic light scattering (QELS). Alat
ini berbasis Photon Correlation Spectroscopy (PCS). Metode LAS bisa dibagi dalam dua yaitu
metode basah dan kering. Metode basah menggunakan media pendispersi untuk mendispersikan
material uji. Metode kering memanfaatkan udara atau aliran udara untuk melarutkan partikel dan
membawanya ke sensing zone. Metode ini baik digunakan untuk ukuran yang kasar, dimana
hubungan antar partikel lemah dan kemungkinan untuk beraglomerasi (menggumpal) kecil.
Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA biasanya menggunakan metode basah. Metode ini
dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan metode kering. Terutama untuk sampel-sampel
dalam orde nanometer dan submicron yang biasanya memliki kecenderungan aglomerasi yang
tinggi. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga partikel tidak saling
beraglomerasi (menggumpal). Dengan demikian ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari
single particle. Selain itu hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran
dapat diasumsikan sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel.
Untuk uji distribusi ukuran partikel ini, jika obat sudah diproduksi secara rutin maka uji ini boleh
tidak dilakukan karena hasilnya tidak menjadi syarat Farmakope melainkan menjadi syarat industri
saja, sama dengan uji organoleptik yang hanya menjadi syarat industri saja.
Selanjutnya adalah uji disolusi, untuk uji ini ada yang menuliskannya di monografi ada
juga yang tidak, karena Farmakope sendiri tidak mempersyaratkannya untuk uji suspensi
paracetamol. Kalaupun masih mau mengerjakan, metodenya bisa mengacu pada tablet
paracetamol, untuk jumlah sediaan yang diuji bisa dilihat pada uji disolusi suspensi lain karena
jika tablet hanya menggunakan satu tablet pertabung.
Selanjutnya ada uji sedimentasi, uji ini dilakukan pada saat uji stabilitas rutin sediaan. Yang pasti
saat formula dikembangkan, uji ini dilakukan dan harus menunjukan stabilitas yang baik.
Begitupun saat validasi proses produksi awal-awal, sediaan ini harus diproduksi dengan hasil yang
reprodusibel.
Selanjutnya uji homogenitas, merupakan uji yang sangat wajib dilakukan untuk produksi ruah
sebelum lanjut pada proses filling. Uji homogenitas terbagi menjadi 2 yaitu, homogenitas secara
visual (fisik) dan homogenitas kadar obat. Untuk homogenitas secara visual caranya adalah
dilakukan pada produk ruah yang masih ada dalam tangki, jadi sampling diambil bagian atas,
tengah dan bawah tangki. Ini harus memenuhi syarat dimana kadar obat di titik-titik tersebut sama
sehingga saat dikemas kedalam botol, kadar obat tidak berbeda. Jadi uji homogenitas secara visual
ini juga merupakan uji penentu, jika secara visual sediaan sudah terlihat homogen maka bisa lanjut
pada kadarnya, namun jika dari visualnya saja terlihat tidak homogen (misalnya bagian bawah
terlihat partikel terdispersinya lebih banyak dari pada diatas) maka harus dihomogenkan terlebih
dahulu.
Selanjutnya adalah uji viskositas, uji ini menggunakan metode viskosimeter brokfield karena
termasuk kedalam cairan non newton. Uji viskositas ini harus ditetapkan ukuran spindel dan rpm
nya. Karena Non newton biasanya rentang viskositasnya lebih lebar.
Sediaan suspensi juga bukan termasuk cairan sejati, karena masih mengandung partikel-
partikel yang terdispersi. Cairan sejati sendiri adalah cairan yang tidak mengandung partikel tidak
larut yaitu seperti aquadest, gliserin, dan larutan seperti sirup.
Selanjutnya adalah uji keseragamans sediaan, karena kemasannya adalah multiple unit jadi
dalam kasus ini tidak dilakukan. Perbedaan uji antara sediaan paracetamol dosis tunggal dan dosis
ganda yaitu terdapat pada uji keseragaman sediaan. Dimana pada sediaan tunggal perlu dilakukan
uji keseragaman sediaan dengan menggunakan metode keseragaman bobot. Tujuan dilakukannya
uji keseragaman sediaan yaitu untuk menjamin konsistensi masing-masing satuan sediaan
mempunyai kandungan zat aktif yang sesuai dengan yang tertera pada etiket. Prosedur untuk uji
keseragaman bobot ini yaitu menimbang seksama sejumlah cairan yang dikeluarkan dari 10 wadah
satu per satu seperti penggunaan normal lalu hitung jumlah zat aktif dalam setiap wadah dari hasil
penetapan kadar. Setelah itu, hitung nilai penerimaan. Bedanya antara sediaan larutan dan sediaan
suspensi adalah : untuk larutan paracetamol dosis tunggal menggunakan kserseragaman bobot dan
untuk sediaan suspensi dosis tunggal menggunakan metode keseragaman kandungan. Perbedaan
antara keseragaman bobot dan keseragaman kandungan adalah : keseragaman bobot yang dihitung
banyaknya larutan dalam tiap wadah, misalnya 1 wadah mengandung 15 ml. Sedangkan
keseragaman kandungan yang diukur kadar obat dalam tiap wadah, misalnya tiap wadah
mengandung 25 mg zat aktif. Untuk sediaan cair tidak ditentukan oleh dosis melainkan oleh bentuk
sediaannya. Larutan atau sistem dispersi.
Pada praktikum selanjutnya evaluasi mutu sediaan cair dari suspense kering amoxicillin.
Evaluasi mutu sediaan suspense kering amoxicillin terdapat tiga evaluasi yaitu evaluasi kimia
meliputi identifikasi dan penetapan kadar obat dalam sediaan, evaluasi fisika meliputi
organoleptis, waktu rekontruksi, viskositas, homogenitas, distribusi ukuran partikel, volume
terpindahkan,penetapan pH sediaan, berat jenis, keseragaman sediaan, dan uji disolusi, kemudian
evaluasi biologi meliputi uji batas mikroba dan uji batas antibiotic secara mikrobiologi
Evaluasi yang pertama yaitu identifikasi sediaan dengan menggunakan Kromatografi Lapis
Tipis. Tujuannya untuk memastikan zat aktif yang digunakan adalah amoxicillin. Saat
diidentifikasi resistensi puncak larutan uji harus sesuai dengan resistensi puncak larutan baku
amoxicillin dengan demikian zat yang diujikan memenuhi kriteria. Evaluasi selanjutnya yaitu
penetapan kadar amozicillin dalam sediaan dimaksud untuk menghitung kuantitas dalam mg
amoxicillin dalam setiap ml larutan suspense yang diambi . Syaratnya yaitu kadar zat aktif tidak
kurang dari 90,0 persen dan tidak lebih ari 120,0 persen. penetapan kadar dilakukan dengan
menggunakan Krometografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dengan car a Kolom kromatografi
berukuran 25 cm x 4 mm dan detektor dengan kekuatan 230 nm disetimbangkan dengan fase gerak
dengan laju alirnya kurang lebih 1,5 ml/menit sampai mencapai kondisi konstan. Suntikkan sampel
dengan injektor secara terpisah untuk masing-masing wadah dengan jumlah yang sama (kurang
lebih 10 l) larutan baku dan larutan uji.ke dalam kromatograf, atau gunakan autosampler.
Kemudian program gradien dimulai, rekam kromatogram dan nalisa kromatogram dengan
mengukur respons puncak utama (FI V)
Uji organoleptis memiliki tujuan untu menjamin sediaan larutan yang dibuat tidak
mengalami perubahan bau, warna, dan rasa dari yang sudah ditentukan. Prinsip dari evaluasi
organoleptik adalah mengamati perubahan penampilan larutan dari segi bau, warna, dan rasa.
Penafsiran hasil berupa larutan memenuhi syarat bila tidak terjadi perubahan dari standar yang
sudah ditetapkan. (Fatmawaty, Nisa, & Reski, 2015). uji yang dilakukan meliputi bau, warna,
dan rasa dari sediaan suspensi kering sehingga diketahui tampilan dari sediaan tersebut dalam
keadaan baik (FI IV). Selanjutnya yaitu uji rekontruksi Semakin cepat waktu rekontruksi maka
sediaan tersebut semakin baik. Caranya yaitu serbuk yang sudah ada dalam botol. ditambahkan air
sejumlah yg dibutuhkan untuk rekonstitusi. sesuai anjuran dalam label. terus dikocok dan hitung
waktunya. Pada penetapan waktu rekonstitusi yaitu dimulai dari aquadest dimasukkan ke dalam
botol hingga serbuk terdispersi sempurna dalam sediaan dengan waktu yang baik adalah <30 detik.
Uji volume terpindahkan. Uji ini dilakukan untuk sediaan dengan wadah multiple unit
(dosis ganda)sedangkan keseragaman sediaan hanya dilakukan untuk sediaan yang single unit.
dilakukan untuk memastikan bahwa sediaan larutan tersebut telah memenuhi persyaratannya yaitu,
volume rata-rata larutan yang diperoleh dari 30 wadah tidak kurang dari 100% dari yang tertera di
etiket, dan tidak lebih dari 1 dari 30 wadah volume yang kurang dari 95%, tetapi tidak kurang dari
90% dari yang tertera pada etiket. (Emilia, Taurina, & Fahrurroji, 2013). Caranya yaitu gelas ukur
dengan volume 100 ml disiapkan dalam keadaan kering dan bersih. Setelah itu sediaan dituang ke
dalam gelas ukur secara perlahan. Sediaan larutan tersebut didiamkan selama 30 menit, sampai
terbebas dari gelembung udara. Kemudian volume larutan diukur dan ditentukan dengan cara
akurat, hingga diperoleh volume rata-rata sediaan 100%. (FI IV).
Untuk uji kadar air dilakukam dengan menimbang serbuk sebanyak 5 gram, masukkan
serbuk kedalam cawan penguap.Panaskan serbuk pada suhu (>0 derajat-70 derajat) selama 30
menit didalam oven sampai bobotnya konstan , timbang kembali ,hitung kadar airnya, dan untuk
mengetahui bobot sudah konstan dimasukkan ke oven tunggu 30 menit. keluarkan simpan dulu di
desikator sampai dingin lalu timbang. catat. masukan lagi ke oven. lakukan hal yg sama. jika hasil
penimbangannya tidak lebih dari 0.025 g berarti sudah konstan. kalau masih lebih masukan lag ike
oven. ulangi hal yang sama
Penetapan pH sediaan dilakukan dengan tujuan mengetahui pH untuk mengetahui
kesesuaiannya dengan persyaratan yang telah disesuaikan. Prinsipnya adalah pengukuran terhadap
pH larutan menggunakan pH meter yang telah dikelibrasi dengan larutan dapar. Penafsiran hasil
berupa nilai pH yang sesuai dengan persyaratan pH pada monografi. (Fatmawaty, Nisa, & Reski,
2015). Dikarenaka sediaan digunakan dengan oral maka pH harus sesuaidengan kondisi lambung.
Untuk pH sediaan suspensi kering amoxixilin yaitu 5,0 dan 7,5. Metodenya adalah Evaluasi pH
sediaan menggunakan pH meter. Sediaan suspensi kering yang telah direkonstitusi dimasukan
kedalam erlenmeyer. Celupkan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi kedalam sediaan
suspensi. Biarkan beberapa menit hingga pH meter terendam secara sempurna.
Berat jenis. Tujuannya adala menjamin sediaan memiliki berat jenis yang sesuai dengan
spesifikasi dari produk yang telah ditetapkan yaitu P <1,00 g/cm 3 (FI IV). Pengerjaan dilakukan
dengan Menggunakan alat piknometer yang sudah dibersihkan dan dikeringkan. Piknometer
kosong (W1) ditimbang, lalu isi dengan air suling, bagian luar piknometer dilap sampai kering
dan ditimbang (W2). Air suling tersebut dibuang, kemudian piknometer dikeringkan dan diisi
dengan cairan yang akan diukur bobot jenisnya pada suhu yang sama pada saat pengukuran air
suling, dan ditimbang (W3). (Fickri, 2018)
Uji disolusi dilakukan dengan menentukan kecepatan disolusi suatu zat, menggunakan alat
kecepatan disolusi suatu zat, dan menerangkan factor-faktor yang memperngaruhi kecepatan
disolusi zat. Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan alat uji disolusi tipe 2 (dayung), medium
disolusi air sebanyak 900 mL, kecepatan pengadukan 100 rpm, dan pada suhu 370C ± 0,5. Produk
uji disolusi yaitu dimasukkan air ke dalam bak alat uji disolusi sampai tanda, dipasang labu disolusi
dan diisi dengan 900 mL media disolusi. Ditentukan suhu dan kecepatan putaran dayung uji
disolusi yaitu pada 370C ± 0,5 dengan kecepatan putaran dayung 100 rpm. Pengaduk dayung diatur
jaraknya sebesar 2,5 cm ± 0,2 dari dasar labu. Setelah suhu stabil, granul atau tablet dimasukkan,
dan alat uji disolusi dijalankan. Pencuplikan dilakukan dengan pada menit ke 15, 30 45 dan pada
jam ke- 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 dan 12 dengan mengambil 5 mL larutan media disolusi. Untuk
setiap selesai pencuplikan dilakukan penambahan larutan media disolusi dengan volume yang
sama dengan volume pencuplikan. Larutan sampel kemudian diencerkan dengan aqua destilata
dan ditentukan serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang maksimum.
Uji batas mikroba Pengujian ini dirancang untuk menentukan suatu bahan atau sediaan
memenuhi spesifikasi mutu secara mikrobiologi yang telah ditetapkan, termasuk jumlah sampel
yang akan digunakan dan interpretasi basil uji. Metode ini tidak dapat diaplikasikan untuk produk
yang mengandung mikroba viabel sebagai bahan aktif. (FI V). Syaratnya yaitu jika tidak
ditemukan koloni dalam enceran awal 1:10 nyatakan hasil pengujian sebagai kurang dari 10
mikroba per ml specimen (FI IV).Pengujian dilakukan dengan metode Penyaringan Membran atau
salah satu Metode Angka Lempeng yang sesuai. Metode lain adalah Angka Paling Mungkin
(APM) yang umum digunakan untuk produk dengan tingkat kontaminasi rendah. Pemilihan
metode pengujian berdasarkan beberapa faktor antara lain jenis produk yang diuji, persyaratan
yang ditentukan dan ukuran sampel yang memadai untuk memperkirakan kesesuaian secara
spesifik. (FI V).
Untuk pengujian terakhi yaitu uji potensi antibiotik. Pengujian ini hanya untuk zat
aktifyang memiliki aktifitas farmakologi sebagai antibiotik contohnya amoxicilliin.Aktifitas
(potensi) antibiotika dapat ditunjukkan pada kondisi yang sesuai dengan efek daya hambatnya
terhadap mikroba. Suatu penurunan aktifitas antimikroba juga akan dapat menunjukkan perubahan
kecil yang tidak dapat ditunjukkan oleh metode kimia, sehingga pengujian secara mikrobiologi
atau biologi biasanya merupakan standar untuk mengatasi keraguan tentang kemungkinan
hilangnya aktifitas antimikroba.(Triastuti Rahayu. 2010). untuk metodenya Uji antibiotik untuk
suspensi kering dengan bahan aktif Amoxicillin dapat diuji dengan metode Lempeng Silinder.
Cawan petri yang telah diberi lempeng silinder yang berisi antibiotik selanjutnya diinkubasi
selama 16-18 jam dengan suhu 320C sampai 350C.
Untuk pengujian emulsi tidak berbeda dengan pengujian sediaan lainnya. Namun untuk
pengujian emulsi tidak ada uji kejernihan seperti pengujian larutan, tidak ada pengujian antibiotik
seperti suspensi kering, dalam emulsi juga tidak ada uji disolusi seperti suspensiEvaluasi yang
dilakukan pada emulsi minyak jarak antara lain. Secara kimia, secara fisika, dan secara biologi.
Secara kimia terdiri dari identifikasi dan penetapan kadar. Adapun Syarat dari identifikasi adalah
warna merah yang dihasilkan menunjukkan bahwa emulsi tersebut adalah emulsi minyak jarak.
Untuk pengujian emulsi ini tidak berbeda dengan pengujian sediaan lainnya, namun pada
pengujian emulsi tidak terdapat uji kejernian seperti pengujian larutan, tidak ada pengujian
antibiotic seperti suspense kering dan juga dalam sediaan emulsi tidak terdapat uji disolusi seperti
suspensi. Tipe emulsi pada sediaan emulsi minyak jarak ini adalah tipe W/O yaitu air yang
terdispersi dalam minyak. Evaluasi yang dilakukan pada emulsi minyak jarak ini antara lain yaitu:
evaluasi secara kimia, secara fisika dan secara biologi. Secara kimia terdiri dari identifikasi dan
penetapan kadar. Adapun syarat dari identifikasi ini adalah warna merah yang menunjukan nbahwa
adanya minyak jarak, dan pada penetapan kadar memiliki syarat dilakukan dengan menggunakan
metode kromatografi dengan persyaratan emulsi minyak jarak mengandung tidak kurang dari
90,0% dan tidak lebih dari 120% dari jumlah minyak castor yang terteta pada table.selanjutnya
yaitu dikalakuakn uji secara fisika meliputi uji secara organoleptis, uji viskositas, uji homogenitas,
distribusi ukuran partikel, volume tervindahkan, penetapan pH sediaan, berat jenis, keseragaman
sediaan, sifat air dan pengukuran volume creaming dan index creaming. Pertama yang dilakukan
pada uji secara gisika ini adalah uji organoleptis dimana persyaratannya meliputi warna, bau
maupun rasa sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan. Dalam artian dalam melakukan uji
uji organoleptic warna, bau maupun rasa harus sesuai dengan formula sediaan yang tersedia.
Misalnya dalam sediaan emulsi minyak jarak ini mempunyai warna kuning, bau lemah, rasa manis,
bentuk cairan kental. Selanjutnya yaitu dilakukan uji homogenitas dengan persyaratan yang harus
dipenuhi adala sediaan harus mencapai homogenitas yang telah ditetapkan. Untuk uji viskositas
persyaratannya adalah perkiraan kekentalan dalam sensistoke pada suhu kamar, untuk eter yaitu
0,2; pada air 1; minyak tanah 2,5; minyak mineral 20-70 dan pada madu 10.000, sebenarnya untuk
nilai viskositas bisa varistif, sesuai dengan sfesifikasi saat pengembangan formulanya sendiri. pada
uji distribusi ukuran partikel dengan syarat ukuran globul berkisae 0,25-10 mikro.uji pH, pH yang
harus dicapai adalah berkisar antara 5-7 sesuai dengan pH saluran cerna. Pengujian bbot jenis
berkisar antara 0,957 dan 0,961. Selanjutnya yaitu uji volume tervindahkan yaitu dengan
persyaratan volume rata-rata campuran larutan, emulsi yang diperoleh dari10 wadah tidak kurang
dari 100%, dan tidak satupun volume wada kurang dari 95% dari volume pada etiket. Uji
keseragaman sediaan dilakukan dengan persyaratan Keseragaman sediaan memenuhi syanat jika
nilai penerimaan 10 unit sediaan pertama tidak kunang atau sama dengan L1%. Jika nilai
penenimaan lebih besar dan L1%, lakukan pengujian pada 20 unit sediaan tambahan, dan hitung
nilai penenimaan. Memenuhi syarat jika nilai penerimaan akhir dari 30 unit sediaan lebih kecil
atau sama dengan L1% dan tidak ada satu unitpun kurang dan [1 - (0,01)(L2)]M atau tidak satu
unitpun lebih dan [1 + (0,01)(L2)]M sepenti tertera pada Perhitungan nilai penerimaan dalam
Keseragaman kandungan atau Keragaman bobot. Kecuali dinyatakan lain Li adalah 15,0 dan L2
adalah 25,0. Dengan sifat alir emulsi minyak jarak ini memiliki sifat alir non newton, sifat alir ini
terbagi atas dua sift alir yaitu: yang dipengaruhi oleh waktu dan tidak dipengaruhi oleh waktu. Dan
pengukuran volume creaming dan index creamingnya yaitu dapat diukur volume creaming setelah
terbentuk sediaan emulsi dengan hari atau waktu yang sudah ditentukan untuk mengukurnya.
Selanjutnya itu uji evaluasi secara biologi, uji evalusi biologi ini hanya melakukan uji batas
mikroba saja dengan persyaratan produk harus mengandung zat antimikroba ± 20% saja.
Uji volume terpindahkan. Uji ini dilakukan untuk sediaan dengan wadah multiple unit
(dosis ganda)sedangkan keseragaman sediaan hanya dilakukan untuk sediaan yang single unit.
dilakukan untuk memastikan bahwa sediaan larutan tersebut telah memenuhi persyaratannya yaitu,
volume rata-rata larutan yang diperoleh dari 30 wadah tidak kurang dari 100% dari yang tertera di
etiket, dan tidak lebih dari 1 dari 30 wadah volume yang kurang dari 95%, tetapi tidak kurang dari
90% dari yang tertera pada etiket. (Emilia, Taurina, & Fahrurroji, 2013). Caranya yaitu gelas ukur
dengan volume 100 ml disiapkan dalam keadaan kering dan bersih. Setelah itu sediaan dituang ke
dalam gelas ukur secara perlahan. Sediaan larutan tersebut didiamkan selama 30 menit, sampai
terbebas dari gelembung udara. Kemudian volume larutan diukur dan ditentukan dengan cara
akurat, hingga diperoleh volume rata-rata sediaan 100%. (FI IV).
Pada evaluasi mutu sediaan suspensi dan larutan terdapat perbedaan pada uji keseragaman
sediaan pada dosis tunggal dan sediaan multiple unit. Pada umumnya untuk sediaan larutan
parasetamol dosis tunggal digunakan metode keragaman bobot dan untuk sediaan suspensi
parasetamol dosis tunggal digunakan metode keseragaman kandungan.
Pada dasarnya baik keragaman bobot atau keseragaman kandungan dua-duanya ditujukan
untuk melihat sediaannya seragam kadarnya atau tidak. hanya saja cara ujinya berbeda.
Keragaman bobot yang dilakukan adalah mengukur berat dari isi wadah. setelah itu dihitung dalam
berat sediaan yg diperoleh mengandung zat aktif berapa banyak melalui mengkonversikannya
dengan data penetapan kadar. Misalnya dalam 1 sachet berisi 5 ml sediaan larutan, kemudian
dikonversi ke berat. Pada saat uji keragaman bobot akan didapat data berat tiap sachet dari 10
sachet. Berat dari masing-masing isi sachet dibagi dengan berat 5 ml dikali kadar obat dalam 5 ml,
maka dari perhitungan tersebut akan didapat data kadar obat tiap sachet dari 10 sachet ini. Setelah
itu, dihitung nilai penerimaannya. Jika keseragaman kandungan secara langsung dilakukan
pengukuran kadar obat tiap sachet. hasil akhir dapat 10 data kadar obat dari 10 sachet, kemudian
di hitung nilai penerimaannya. Pada sediaan multiple dosis biasanya hanya dilakukan uji volume
terpindahkan sedangkan untuk uji keseragaman sediaan hanya untuk sediaan dosis tunggal.
MODUL 5
EVALUASI MUTU SEDIAAN CAIR
5.1. KOMPETENSI
Setelah mengikuti modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan jenis dan
prosedur evaluasi mutu sediaan cair.
28
b. Uji potensi antibiotik secara mikrobiologi (untuk sediaan antibiotik)
Catatan: yang dicetak tebal merupakan evaluasi mutu yang tidak tercantum dalam
monografi sediaan.
Selain evaluasi akhir (end process control / EPC), pengawas selama proses (In process
control / IPC) harus dilakukan terutama pada tahap produk antara, produk ruahan, dan
pengemasan sesuai dengan spesifikasi produk masing-masing. Tujuannya yaitu untuk
memantau hasil dan memvalidasi kinerja dari proses produksi yang mungkin menjadi
penyebab variasi karakteristik produk selama proses berjalan. Spesifikasi IPC harus
konsisten dengan spesifikasi produk. IPC meliputi identitas, kekuatan, kemurnian, dan
mutunya.
Larutan Parasetamol
No. Parameter Uji Syarat
1. Identifikasi
2.
3.
4. dst
Prosedur:
1. Identifikasi
2. Dst
Jika ada prosedur yang sama, maka bisa ditulis “sama dengan sediaan …”
29
Apakah hasil uji volume terpindahkan tersebut:
a. Lulus uji
b. Gagal uji
c. Lanjut uji 20 botol.
Jika jawabannya c., silahkan buat contoh hasil uji untuk 20 botol berikutnya!
2. Jika larutan parasetamol dan suspensi parasetamol dikemas dalam kemasan dosis
tunggal 5 ml, maka uji apa yang berbeda dengan kemasan dosis ganda 60 mL? dan apa
perbedaan uji untuk larutan dan suspensi?
30
MODUL 6
SEDIAAN SETENGAH PADAT
6.1. KOMPETENSI
Setelah mengikuti modul ini, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Menjelaskan formulasi sediaan setengah padat
2. Menjelaskan cara pembuatan sediaan setengah padat
31
2. Tahap terjadinya proses partisi bahan aktif ke dalam masing-masing lapisan kulit yang
ditentukan oleh koefisien partisi bahan aktif terhadap komponen pada setiap lapisan
kulit.
3. Tahap difusi bahan aktif melalui lapisan kulit ditentukan oleh kecepatan difusi melalui
membran setiap lapisan kulit.
4. Tahap terjadinya pengikatan bahan aktif dengan komponen stratum korneum, lapisan
epidermis dan dermis, atau terjadinya mikroreservoir pada lapisan lemak pada daerah
subkutan.
5. Tahap eliminasi melalui aliran darah, kelenjar limfa, atau cairan jaringan.
Selain tahap-tahap di atas, absorpsi perkutan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
lain seperti antara lain: umur dan kondisi kulit, daerah pemberian kulit, aliran darah, efek
metabolisme pada ketersediaan hayati pemberian secara topikal, dll. Perlu juga ditentukan
profil farmakokinetika obat yang berhubungan dengan absorpsi, distribusi, metabolisme,
dan ekskresi.
Untuk menentukan parameter keberhasilan rute pemberian obat melalui kulit perlu
dilakukan percobaan secara in vitro dan in vivo.
32
Pemilihan bahan pembawa berdasarkan pada sifat zat aktif yang akan digunakan dan
keadaan kulit tempat pemberian sediaan topikal tersebut. Bahan pembawa sediaan topikal
pada umumnya dapat dikelompokkan dalam:
1. Bahan untuk memperbaiki konsistensi
2. Pengawet, untuk menghindari pertumbuhan mikroorganisme
3. Dapar, untuk menjaga stabilitas zat aktif yang dipengaruhi pH
4. Pelembab, sebagai pelembut kulit pada pemakaian
5. Antioksidan, mencegah reaksi oksidasi fase minyak
6. Pengkompleks, mencegah penguraian zat akibat adanya sesepora logam
7. Peningkat penetrasi, meningkatkan absorpsi zat aktif melalui kulit
Fungsi bahan pembawa adalah untuk meningkatkan atau membantu proses penetrasi
perkutan bahan aktif. Selain itu, tergantung sifat bahan pembawa yang digunakan pada
umumnya berfungsi sebagai protektif (melindungi kulit), emolient (pelembut kulit), serta
dapat mendinginkan kulit, sedangkan sifat nonspesifik lain adalah dapat bersifat oklusif
dan astringent.
Inkompatibilitas (ketidaktercampuran) bahan pembawa dapat menyebabkan
terjadinya beberapa hal sebagai berikut:
1. Bahan obat menjadi tidak aktif
2. Dapat menyebabkan reaksi samping yang tidak diinginkan pada kulit seperti iritasi kulit
dan alergi
3. Pengikatan bahan aktif yang terlalu kuat dalam bahan pembawa sehingga kecepatan
pelepasan zat aktif dari sediaan sangat lambat
33
Setelah dipanaskan masukkan ke dalam mortir hangat, aduk homogen sampai dingin
dan terbentuk masa setengah padat.
Tambahkan basis yang sudah dingin sedikit-sedikit ke dalam bahan berkhasiat, aduk
sampai homogen dan tercampur rata.
2. Metode triturasi
Timbang bahan berkhasiat yang akan digunakan, gerus halus sesuai dengan ukuran
partikel yang dikehendaki.
Timbang basis setengah padat, campurkan satu sama lain dengan metode
pencampuran geometris, sambil digerus dalam mortir hingga homogen.
Tambahkan basis yang sudah tercampur sedikit-sedikit ke dalam mortir yang sudah
berisi bahan berkhasiat.
Aduk sampai homogen dan tercampur rata.
Evaluasi Sediaan
1. Penentuan viskositas sediaan
2. Uji homogenitas
3. Uji stabilitas krim
a. Stabilitas fisika
b. Stabilitas biologi
c. Stabilitas kimia
4. Uji bobot yang dapat dikeluarkan dari kemasan
5. Penentuan kadar zat aktif dalam sediaan
34
No. Formula Skala (g/100 g)
1. Betametason (digunakan betametason valerat
dengan dilebihkan 10%) * 0,10
2. Vitamin E oily 0,02
3. Vaselin putih 79,34
4. Setostearil alkohol 3,00
5. Setomakrogol 1000 2,50
6. Parafin cair 15,00
*hitung berat betametason valerat yang dibutuhkan dibandingkan terhadap berat
betametason dan setelah dilebihkan
Prosedur pembuatan
1. Lelehkan bahan No. 3 dalam fat-melting vessel pada suhu 60oC, tambahkan bahan
No. 4 dan 5, dan aduk sampai terlihat jernih.
2. Transfer ke dalam Becomix pada suhu 60oC. aduk dengan kecepatan 9 rpm di
bawah vakum 0,4-0,6 bar. Dinginkan sampai 40o – 45oC.
3. Tambahkan bahan No. 1, 2, dan 6 ke dalam wadah stainless steel dan homogenkan
selama 3 menit. Transfer bubur ke step 2.
4. Aduk di bawah vakum pada suhu 40o – 45oC.
5. Transfer ke dalam wadah penyimpanan. Lakukan IPC.
6. Setelah lulus uji IPC, lakukan pengisian ke dalam kemasan tube 5 g.
Prosedur Pembuatan
1. Fase Minyak
Panaskan bahan No. 2 dan 3 pada suhu 70oC ± 2 oC dalam mixer sampai meleleh.
Dinginkan sampai suhu 45oC sambil diaduk.
35
2. Dispersi obat
a. Dispersikan bahan No. 1 ke dalam bahan No. 4 (1:4) pada suhu 50 oC dalam
water bath dengan bantuan homogenizer. Disperse obat harus lembut dan
tidak ada partikel kasar.
b. Tambahkan dispersi obat kedalam mixer tahap 1.
c. Bilas wadah dengan sisa bahan No. 4 pada suhu 50 oC kemudian masukkan
hasil bilasan ke dalam mixer.
3. Pencampuran akhir
a. Aduk dengan kecepatan tinggi di bawah vakum 0,4 – 0,6 bar pada suhu 45
o
C ± 2 oC selama 30 menit sampai homogen.
b. Dinginkan hingga suhu 25oC - 30 oC sambil terus diaduk. Lakukan IPC.
c. Pindahkan massa salep ke dalam drum stainless steel yang dilapisi kantong
polietilen. Simpan sampai selesai pemeriksaan IPC.
d. Lakukan pengisian ke dalam wadah tube 5 gram.
Prosedur Pembuatan
1. Fase Minyak
Masukkan bahan No. 5, 6, dan 7 ke dalam fat-melting vessel dan lelehkan pada
suhu 70 oC. Jaga suhu pada 70 oC ± 2 oC.
36
2. Fase air
a. Panaskan bahan No. 8 dalam mixer pada suhu 90 oC. Dinginkan hingga suhu 70
o
C.
b. Tambahkan bahan No. 2 ke dalam bahan No. 8 pada suhu 70 oC dan aduk
sampai larut.
c. Tambahkan bahan No. 4 ke dalam mixer tadi dan campur. Jaga suhu pada 70 oC
± 2 oC.
3. Fase krim
a. Tambahkan fase minyak melalui saringan stainless steel ke fase air dalam
mixer sambil diaduk pada kecepatan 10 – 12 rpm, mode manual, dan suhu 70
o
C ± 2 oC.
b. Homogenkan pada kecepatan rendah dengan pengadukan 10 – 12 rpm, vakum
0,4 – 0,6 bar, suhu 70 oC ± 2 oC selama 10 menit.
c. Dinginkan hingga suhu 50 oC dengan pengadukan.
4. Fase Obat
a. Panaskan 16,9 g bahan No. 3 pada suhu 50 oC dalam water bath.
b. Dispersikan bahan No. 1 ke dalam bahan No. 3 (poin 4.a) dengan bantuan
homogenizer. Homogenkan dua kali dengan homogenizer untuk membuat
disperse yang halus. Dispersi harus halus dan tidak mengandung partikel kasar
seperti pasir.
c. Tambahkan fase obat (poin 4.b) ke dalam basis krim (poin 3.c) dalam mixer.
5. Pencampuran akhir
a. Homogenkan dengan kecepatan tinggi selama 15 menit pada suhu 45 oC sambil
terus diaduk pada kecepatan 10 – 12 rpm.
b. Dinginkan hingga suhu 25 oC – 30 oC sambil terus diaduk. Lakukan IPC.
c. Pindahkan massa krim yang sudah jadi ke dalam drum stainless steel yang
dilapisi dengan kantong polietilen. Tunggu hingga hasil uji IPC selesai dan
lulus uji.
d. Lakukan pengisian ke dalam wadah tube 5 gram.
37
Formula sediaan gel
Manufacturing Directions
The viscosity of this composition is about 1000 cP.
1. Weigh approximately 90% of the item 7 into a stainless steel kettle.
2. Add item 4 and 5. Stir with a propeller mixer.
3. At room temperature, add item 2 to step 1 with continued stirring. Mix until
dissolved.
4. While continuing to mix, add item 1 to step 2. Mix until dissolved.
5. While continuing to mix, add item 3 slowly to step above, avoiding clumping.
6. Mix vigorously at room temperature until a homogen and lump-free dispersion is
achieved.
7. While mixing, add sufficient item 6 to achieve a pH of 5.3 – 5.7. Mix until
homogen.
8. Add the remaining item 7 to make 100% and mix until homogen. Do IPC.
9. Unload in stainless steel drum lined with polythene bag. Store until released by
QC.
10. Fill to 5 g tube.
38
MODUL 7
EVALUASI MUTU SEDIAAN SETENGAH PADAT
7.1. KOMPETENSI
Setelah mengikuti modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan jenis dan
prosedur evaluasi mutu sediaan setengah padat.
Salep betametason
No. Parameter Uji Syarat
1. Identifikasi
2.
3.
4. dst
Prosedur:
1. Identifikasi
2. Dst
Jika ada prosedur yang sama, maka bisa ditulis “sama dengan sediaan …”
39
PENDAHULUAN
PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAAN FARMASI 1
Dosen Pengajar:
1. Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt.
2. Sabrina, Ph.D., Apt.
3. Estu Mahanani, M.Si., Apt.
4. Andi Sri Suriati Amal, M.Sc., Apt.
Sistem Penilaian
Formatif : 30% (Jurnal + pretest + responsi)
UTS : 30%
UAS : 40%
1
Pelaksanaan Praktikum
1. Pembagian kelompok
Satu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing kelompok
mempunyai penanggung jawab.
2. Teknis pelaksanaan praktikum
Berhubung dengan kondisi wabah Covid-19, praktikum TSF 1 diselenggarakan
secara online dengan metode responsi. Mahasiswa ditugaskan untuk membuat
jurnal praktikum dan mencari video produksi atau simulasinya sesuai dengan tema
modul yang akan dipelajari. Jurnal dikumpulkan sehari sebelum pelaksanaan
responsi.
3. PreTest/post test
Sewaktu-waktu akan diberikan pretest atau post tes pada saat responsi
4. Responsi
Responsi diselenggarakan setiap pekan. Setiap kelas akan mendapatkan 1 dosen
untuk meresponsi. Pada saat responsi, dosen dan mahasiswa akan mendiskusikan
jurnal praktikum dan video yang sudah disiapkan sebelumnya. Mahasiswa wajib
mempersiapkan diri untuk mengikuti responsi.
5. Jurnal praktikum
- Masing-masing peserta praktikum diwajibkan untuk membuat jurnal praktikum
pada setiap praktikum dengan cara diketik.
- Mahasiswa yang tidak membuat jurnal atau belum selesai tidak diperkenankan
ikut responsi sampai jurnalnya selesai.
- Isi jurnal praktikum :
Tujuan praktikum
Formula
Sifat fisiko kimia dan fungsi masing-masing komponen formula (langsung
tuliskan pustakanya)
Penimbangan bahan
Bagan alur kerja
Pustaka
6. Laporan praktikum
2
Mahasiswa wajib membuat laporan praktikum yang dikumpulkan sehari setelah
responsi. Laporan praktikum berisi sama dengan jurnal ditambah:
Pembahasan (hasil diskusi pada saat responsi)
Pustaka
3
MODUL 1
PREFORMULASI
1.1. KOMPETENSI
Setelah mengikuti modul ini, mahasiswa diharapkan mampu melakukan penelusuran
data preformulasi dari pustaka. Untuk itu, mahasiswa perlu menguasai dua hal yaitu data
apa saja yang harus ditelusuri dan pustaka apa saja yang dapat diakses untuk mendapatkan
data tersebut.
4
BAGAN PEMBUATAN RANCANGAN PREFORMULASI
1.3. TUGAS
Buat preformulasi senyawa obat yang tertera pada tabel! Data preformulasi meliputi:
SIFAT KIMIA
5
Struktur molekul
Bobot molekul
Kelarutan
pH larutan
pKa
pH stabilitas
pH sediaan
Kp / log P
Stabilitas
METODE ANALITIK
Identifikasi
Penetapan kadar
SIFAT FISIKA
Pemerian
Sifat kristal/
polimorfisme
Ukuran partikel
Titik leleh
SIFAT TERAPEUTIK
Indikasi
6
Target pasien
PRODUK ORIGINATOR
Merek
Kekuatan
sediaan
Formula
Profil produk
Produk
competitor yang
lain
Hubungan dosis,
kelarutan, dan
stabilitas
Kesimpulan
bentuk sediaan
KELAS KELOMPOK
1 2 3 4 5 6
A DIPHENHYDRAMINE AMOXICILIN CTM CEFIXIME PHENOBARBITAL IBUPROFEN
HCL
7
MODUL 2
SEDIAAN LARUTAN
2.1. KOMPETENSI
Setelah mengikuti modul ini, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Menjelaskan formulasi sediaan larutan oral
2. Menjelaskan cara pembuatan sediaan larutan oral
8
Dalam sediaan larutan pada umumnya ditambahkan flavour untuk memperbaiki
penampilan sediaan dan mempermudah pemberian terutama pada anak-anak. Flavour
terdiri atas empat rasa utama yang dapat dirasakan oleh indera perasa yaitu: pahit, manis,
asam, dan asin yang dapat ditutup dengan flavour sbb:
Asin, ditutup dengan vanilla, mint, peach, maple.
Pahit, ditutup dengan rasa kacang, coklat, kombinasi mint, dan NaCl dalam
konsentrasi kecil.
Manis, disertai penawar rasa buah dan vanilla.
Asam, ditutup dengan rasa jeruk, raspberry, strawberry.
Pemanis selalu ditambahkan dalam sediaan larutan oral untuk meningkatkan cita
rasa. Sukrosa merupakan bahan pemanis yang banyak dipakai karena secara kimia dan
fisika stabil dalam pH larutan 4,0 – 8,0. Dalam pemakaian sering dikombinasikan dengan
sorbitol, gliserin, dan poliol yang lainnya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kristal gula pada penyimpanan. Kristalisasi terjadi pada daerah leher botol yang dikenal
dengan istilah ‘cap locking’. Pemanis sintetis yang sering digunakan antara lain sakarin
dengan kadar kemanisan 250 – 500 x sukrosa. Di dalam sediaan farmasi penggunaannya
terbatas, karena memberikan rasa pahit setelah pemakaian. Pemanis sintetis aspartam
mempunyai kadar kemanisan sekitar 200 x sukrosa tanpa memberikan rasa pahit setelah
pemakaian.
Selain flavour dan pemanis, pewarna ditambahkan untuk memperbaiki penampilan
sediaan larutan. Zat warna yang digunakan tertentu sesuai dengan ketentuan penggunaan
zat warna khusus untuk obat.
Bahan peningkat kelarutan perlu ditambahkan jika jumlah obat yang akan dilarutkan
tidak cukup larut dalam medium pelarutnya. Golongan elektrolit lemah dan senyawa
nonpolar sering menunjukkan kelarutan yang tidak begitu baik dalam air. Oleh karena itu,
diperlukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan kelarutan zat berkhasiat yang bisa
dilakukan antara lain dengan penggunaan pelarut campur (kosolven), pengontrolan pH,
solubilisasi miselar, dan kompleksasi. Bila peningkat kelarutan yang ditambahkan berupa
alkohol sebagai pelarut campur, maka sediaan tersebut disebut eliksir. Pelarut campur
lainnya yang dapat digunakan adalah gliserol, propilenglikol, sorbitol, dan lainnya. Upaya
peningkatan kelarutan dengan kosolvensi lebih banyak digunakan dibandingkan dengan
cara yang lainnya. Prinsip dasar penambahan pelarut campur sebagai bahan peningkat
9
kelarutan suatu zat adalah sifat polaritas dari bahan yang akan dilarutkan maupun bahan
pelarutnya.
Pemilihan pelarut non air yang dapat bercampur dengan air terbatas, karena sifat
pelarut tersebut tidak inert dan dapat terjadi iritasi. Untuk memperkirakan kelarutan suatu
zat dalam pelarut campur perlu dilihat harga konstanta dielektriknya. Suatu pelarut campur
yang ideal mempunyai harga konstanta dielektrik diantara 25 hingga 80. Kombinasi
pelarut campur yang banyak digunakan dalam sediaan farmasi adalah campuran antara
alkohol-air atau pelarut lain yang sesuai, antara lain sorbitol, gliserin, propilenglikol, dan
polietilenglikol.
Prosedur pembuatan sediaan eliksir secara umum sama dengan pembuatan sediaan
larutan sejati. Yang berbeda adalah cara melarutkan bahan berkhasiatnya. Ada dua cara
melarutkan bahan berkhasiat ke dalam pelarut campur:
1. Bahan berkhasiat dilarutkan dalam salah satu pelarut dengan kelarutan bahan berkhasiat
yang paling besar, kemudian tambahkan pelarut lain sekaligus.
2. Apabila kelarutan bahan berkhasiat di dalam masing-masing pelarut yang akan
dikombinasikan tidak tinggi, maka zat aktif dilarutkan sedikit demi sedikit ke dalam
pelarut campur tersebut.
Penambahan bahan pembantu yang lainnya dalam sediaan sirup berdasarkan data
preformulasi dan disesuaikan dengan sifat bahan berkhasiat yang akan dibuat.
10
*Paracetamol digerus terlebih dahulu kemudian ditimbang
Prosedur Pembuatan
F1
1. Masukkan propilen glikol ke dalam gelas beker, panaskan dalam penangas air
bertemperatur 40oC sambil diaduk dengan pengaduk magnetik.
2. Tambahkan parasetamol ke dalam propilen glikol. Aduk hingga homogen.
3. Tambahkan gliserol, dan sebagian aquades. Aduk hingga parasetamol larut
sempurna.
4. Tambahkan sakarin dan sorbitol ke dalam larutan di atas. Aduk hingga larut.
5. Tambahkan pasta anggur. Aduk hingga larut. Genapkan dengan aquadest hingga
volume yang diinginkan.
6. Evaluasi organoleptis dan kejernihan sediaan.
7. Masukkan ke dalam botol sebanyak 60 ml
F2
1. Masukkan propilen glikol ke dalam gelas beker, panaskan dalam penangas air
bertemperatur 40oC sambil diaduk dengan pengaduk magnetik.
2. Tambahkan parasetamol ke dalam propilen glikol. Aduk hingga homogen.
3. Tambahkan gliserol, dan sebagian aquades. Aduk hingga parasetamol larut
sempurna.
4. Tambahkan syrupus simplex ke dalam step 1. Aduk hingga homogen.
5. Tambahkan pasta anggur. Aduk hingga larut. Genapkan dengan aquadest hingga
volume yang diinginkan.
6. Evaluasi organoleptis dan kejernihan sediaan.
7. Masukkan ke dalam botol sebanyak 60 ml
11
B. Formula Difenhidramin HCl Sirup
No. Bahan Jumlah (mg/5 ml)
1. Difenhidramin HCl 12,5
2. Syrupus simplex 1000
3. Natrium Benzoat 12
4. Asam sitrat monohidrat 4,4
5. Natrium sitrat 7,6
6. Natrium Sakarin 5
7. Propilen glikol 250
8. Mentol 1,25
9. Pasta anggur 5
10. Aquades qs ad 5 ml
Prosedur Pembuatan
1. Masukkan 200 ml bahan 10 ke dalam gelas beker, didihkan dan dinginkan hingga
40-50 oC.
2. Larutkan bahan 3 – 5 ke step 1. Aduk hingga larut.
3. Dalam gelas beker terpisah, larutkan bahan 1 ke dalam 50 ml bahan 10. Aduk
hingga larut. Masukkan ke dalam step 1. Aduk homogen.
4. Dalam gelas beker terpisah, larutkan bahan 6 ke dalam 50 ml bahan 10. Aduk
hingga larut. Masukkan ke dalam step 1. Aduk homogen.
5. Tambahkan bahan 2 ke step 1. Aduk homogen.
6. Campurkan bahan 7 – 9 dan aduk hingga larut. Tambahkan ke step 1. Aduk
homogen.
7. Genapkan volume larutan hingga 500 ml.
8. Cek pH larutan, organoleptis, dan kejernihan sediaan.
9. Masukkan ke dalam botol sebanyak 60 ml.
Catatan:
Kalibrasi gelas beker utama sampai volume 500 ml dengan aquadest.
Buat syrupus simplex terlebih dahulu dan jangan lupa disaring dengan kain. Buat
perhitungan dan penimbangannya di jurnal.
12
Siapkan pasta anggur dan flavour yang akan digunakan. Buat perhitungan dan
penimbangannya di jurnal.
13
MODUL 3
SEDIAAN SUSPENSI
3.1. KOMPETENSI
Setelah mengikuti modul ini, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Menjelaskan formulasi sediaan suspensi oral
2. Menjelaskan cara pembuatan sediaan suspensi
Bahan-bahan yang terkandung dalam sediaan suspensi tidak jauh berbeda dengan
sediaan larutan, hanya saja dalam sediaan suspensi ditambahkan zat tambahan lain untuk
menjaga stabilitas fisik sediaan seperti bahan pensuspensi, bahan pembasah, dan
flocullating agent. Hal ini terkait dengan proses pendispersian serbuk yang melalui tiga
14
tahap yaitu tahap pembasahan serbuk, tahap pendistribusian serbuk, dan tahap stabilisasi
serbuk yang sudah terdispersi.
1. Bahan pembasah
Bahan pembasah berfungsi untuk meningkatkan dispersi bahan yang tidak larut. Ada
tiga jenis pembasah yang bisa digunakan, yaitu golongan surfaktan, golongan pelarut,
dan golongan koloid hidrofilik. Surfaktan terutama HLB 7-9 bekerja dengan
memperkecil sudut kontak antara partikel zat padat dan cairan pendispersi sehingga
lebih mudah dibasahi. Golongan pelarut seperti alkohol, polietilen glikol, gliserin, dan
propilen glikol bekerja dengan cara menggantikan udara di permukaan serbuk dan
meningkatkan penetrasi pembawa ke dalam serbuk. Koloid hidrofilik seperti akasia,
tragakan, alginat, xanthan gum, dan turunan selulosa akan berperan sebagai koloid
pelindung dengan cara melapisi partikel padat hidrofob dengan lapisan
multimolekularnya. Hal ini akan memberikan sifat hidrofilik pada permukaan partikel
padat sehingga lebih mudah dibasahi.
Surfaktan kationik dan anionik efektif digunakan untuk bahan berkhasiat dengan zeta
potensial positif dan negatif, sedangkan surfaktan nonionik lebih baik sebagai bahan
pembasah karena mempunyai rentang pH yang cukup besar dan toksisitasnya yang
rendah. Konsentrasi surfaktan yang digunakan di bawah harga KMK, karena apabila
terlalu tinggi dapat terjadi solubilisasi, busa, dan memberikan rasa yang tidak enak.
2. Bahan pensuspensi
Bahan pensuspensi dikelompokkan menjadi 4 kelompok yang digunakan
berdasarkan tipe dispersi, konsentrasi yang dibutuhkan dan sifat fisika kimia bahan
yang didispersikan. Fungsi dari bahan pensuspensi adalah untuk mencegah
pengendapan partikel terdispersi berdasarkan sifat rheologi dari sediaan suspensi dan
meningkatkan viskositas larutan. Bahan pensuspensi terbagi menjadi beberapa
golongan, yaitu:
Derivat selulosa larut air: Na CMC, metil selulose (MC), dll.
Polisakarida: Acacia gum, Na alginat, tragakan, starch, dll.
Tanah liat (Clay): bentonit, Al-Mg Silikat, dll.
Sintetik: Carbomer (carboxy vinyl polymer), colloidal silicon dioxide
15
Bahan pensuspensi yang ideal adalah:
Dapat merubah sifat fisik larutan pembawa
Viskositas sediaan tinggi pada saat disimpan
Viskositas tidak cepat berubah oleh pengaruh suhu dan pada penyimpanan
Tahan terhadap pengaruh elektrolit dan tidak terurai pada rentang pH yang besar
Dapat bercampur dengan bahan berkhasiat dan bahan pembantu lain
Nontoksis
3. Flocullating agent
Partikel padat yang terdispersi akan mengalami deflokulasi atau flokulasi tergantung
dari sifat partikelnya. Partikel yang mengalami deflokulasi secara fisik akan
memberikan penampilan yang baik, tetapi kemungkinan untuk terjadinya caking cukup
besar. Sedangkan partikel yang mengalami flokulasi, secara fisik penampilannya
kurang baik, tetapi kemungkinan untuk terjadinya caking sangat kecil.
Oleh karena itu, partikel terdispersi harus diatur zeta potensialnya agar memberikan
penampilan baik secara fisik tetapi juga tidak mudah caking. Surfaktan, clay, polimer
hidrofilik, dan elektrolit biasa digunakan untuk mengatur flokulasi partikel terdispersi
ini.
16
Pembuatan suspensi tanpa granulasi
1. Timbang masing-masing zat sebanyak yang dibutuhkan
2. Tara botol sebanyak volume yang akan dibuat, keringkan
3. Gerus masing-masing zat dan campurkan sampai homogen
4. Timbang campuran sediaan sebanyak serbuk yang dibutuhkan untuk volume suspensi
60 mL.
5. Masukkan ke dalam botol, kemudian rekonstitusi dan evaluasi
Apabila diperlukan pembasah untuk zat yang hidrofob, maka penambahan zat
pembasah dilakukan dengan cara disemprotkan ke dalam masa granul. Sebagai cairan
pengikat dipakai pelarut yang mudah menguap.
17
7. Waktu rekonstitusi
Prosedur Pembuatan
1. Tambahkan 120 ml aquades ke dalam gelas beker. Panaskan hingga 70oC.
2. Larutkan methyl paraben ke dalam aquades tadi, aduk dengan pengaduk magnetik
(M1).
3. Tambahkan sukrosa ke dalam M1, aduk hingga larut. Turunkan suhu M1 hingga
50-55oC.
4. Tambahkan Na Sitrat ke dalam M1, aduk hingga larut, saring dan bilas saringan
dengan aquades.
5. Dispersikan Na CMC/tragakan ke dalam 120 ml aquades panas 70oC dalam gelas
beker menggunakan overhead stirer, aduk hingga Na CMC/tragakan larut dan
mengembang (M2). Masukkan M1 ke dalam M2, aduk hingga homogen.
18
6. Campurkan gliserin, sorbitol dan 60 ml aquades dingin dalam gelas beker yang lain
menggunakan pengaduk magnetik. Tambahkan parasetamol dan aduk hingga
homogen (M3).
7. Tambahkan M3 ke dalam campuran M1 dan M2, aduk hingga homogen dengan
overhead stirer. Bilas wadah M3 dengan aquades, masukkan ke dalam campuran.
Aduk hingga homogen. Cek homogenitas suspensi yang dihasilkan.
8. Tambahkan pasta jeruk dan sunset yellow hingga rasa dan warna yang diinginkan.
Aduk hingga homogen.
9. Cek pH suspensi 5,70,5. Adjust dengan 20% larutan asam sitrat atau Na sitrat.
10. Tambahkan aquades hingga mencapai volume 600 ml. Aduk hingga homogen.
11. Cek homogenitas suspensi.
12. Saring suspensi melalui saringan 630 mikron (dispensasi).
13. Kemas dalam botol 60 ml.
19
2. Tambahkan no. 4 dan no. 6-9 ke dalam lumpang tadi. Aduk hingga homogen (M1).
3. Campurkan no. 5 dan no. 1 dalam lumpang yang lain. Aduk hingga homogen (M2).
4. Campurkan M1 ke dalam M2. Aduk hingga homogen. Ayak dengan ayakan mesh
20.
5. Masukkan sejumlah serbuk untuk suspensi ke dalam botol 100 ml untuk 60 ml
sediaan yang sudah dikalibrasi 60 ml.
Evaluasi Sediaan
Tambahkan aquades ke dalam botol hingga tanda kalibrasi dan rekonstitusi dengan cara
membolak-balikkan botol secara teratur. Hitung waktu yang dibutuhkan untuk
merekonstitusi serbuk tersebut dari awal pengocokan hingga diperoleh sediaan yang
homogen. Amati homogenitas suspensi dan kekentalannya!
20
MODUL 4
SEDIAAN EMULSI
4.1. KOMPETENSI
Setelah mengikuti modul ini, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Menjelaskan formulasi sediaan emulsi
2. Menjelaskan cara pembuatan sediaan emulsi
2. Bahan pembantu
a. Emulgator: terdapat berbagai macam emulgator tergantung dari mekanismenya
dalam proses stabilisasi emulsi. Golongan pertama adalah emulgator koloid
hidrofilik yang membentuk film multimolekular yang kuat di sekeliling globul
minyak. Koalesen dapat dicegah karena adanya barier hidrofilik antara globul
minyak dan fase air. Contoh dari emulgator golongan pertama ini adalah golongan
polisakarida dan derivatnya seperti gom arab, tragakan, natrium alginat, kitosan,
metil selulosa, natrium karboksi metil selulosa, dll.
Golongan yang kedua adalah golongan surfaktan yang bekerja dengan cara
menurunkan tegangan antarmuka. Surfaktan memiliki gugus polar dan nonpolar
yang akan berasosiasi di permukaan globul membentuk film monolayer yang kuat
21
yang merupakan barier bagi globul-globul tersebut agar tidak terjadi koalesensi.
Stabilitas emulsi akan meningkat dengan meningkatnya viskositas dan kekuatan film
pada permukaan globul.
Surfaktan terdiri dari beberapa tipe yaitu: anionik, kationik, zwitterionik, amfoterik,
dan non-ionik. Surfaktan ionik dapat mempengaruhi daya interaksi listrik dari
masing-masing globul. Karakteristik gugus surfaktan ditentukan dari harga HLB
yang dapat menggambarkan sifat hidrofobisitas dan hidrofilisitas surfaktan tersebut.
Kombinasi surfaktan dengan harga HLB rendah dan harga HLB tinggi yang
ditambahkan dalam suatu formula emulsi adalah untuk mendapatkan harga HLB
yang mendekati harga HLB butuh minyak yang digunakan. Untuk menghitung
konsentrasi masing-masing surfaktan dipakai perhitungan aligasi atau aljabar
sederhana, dengan memasukkan harga HLB surfaktan dan harga HLB butuh minyak.
Persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah surfaktan sbb:
Misalnya akan digunakan kombinasi surfaktan A dengan harga HLB A dan surfaktan
B dengan harga HLB B dengan konsentrasi total surfaktan sebanyak 5 %.
Rumus:
(A x a) + (B x (5 – a) = HLB butuh minyak x 5
Akan diperoleh nilai a yaitu konsentrasi surfaktan A, sedangkan konsentrasi
surfaktan B diperoleh dari selisih konsentrasi total surfaktan dengan konsentrasi
surfaktan A (5 – a).
Golongan yang ketiga adalah emulgator partikel padat terbagi halus. Partikel padat
ini diadsorpsi pada antarmuka minyak/air, membentuk film koheren yang secara
fisik mencegah koalesen globul yang terdispersi. Jika partikel padat ini terbasahi
oleh air maka akan membentuk emulsi o/w, dan sebaliknya jika partikel padat
terbasahi oleh minyak maka akan membentuk emulsi w/o. Contoh emulgator
golongan ini adalah bentonit, veegum, Mg-Al trisilikat.
23
Campurkan emulgator dengan minyak. Setelah homogen tambahkan air. Biasanya
komposisi minyak : air : emulgator = 4 : 2 : 1 (tergantung jenis minyak dan
emulgator) untuk emulsi minyak ikan menggunakan emulgator gom aram. Aduk
hingga terbentuk massa ‘opaque’ yang menandakan korpus sudah jadi.
Tambahkan bahan-bahan lain (dalam bentuk terlarut) sedikit-sedikit sambil terus
diaduk.
Tambahkan sisa air sampai volume yang ditentukan sambil terus diaduk.
Masukkan ke dalam tabung sedimentasi dan amati kecepatan sedimentasi yang
terjadi.
24
No. Formula Jumlah (mg/5ml)
F1 F2
1. Ol. Ricini 2000 2000
2. Gom arab 500 -
3. Tragakan - 100
4. Syrupus simplex 500 500
5. Propilen glikol 500 500
6. Ol. Citrus 0,25 gtt 0,25 gtt
7. Yellow color 5 5
8. Nipagin 6,5 6,5
9. Aquadest ad 5ml 5ml
Prosedur Pembuatan
A. (Gom Basah)
1. Timbang dan takar semua bahan
2. Campur gom arab dengan aquadest 2 kalinya, aduk hingga terbentuk mucilago dengan
homogenizer pada kecepatan 700 rpm. Sambil terus diaduk tambahkan oleum ricini
sedikit demi sedikit sampai terbentuk corpus emulsi (berupa massa putih susu kental
homogen) (M1).
3. Larutkan nipagin ke dalam propilen glikol (M2).
4. Masukkan syrupus simplex dan M2 ke dalam M1 sedikit demi sedikit sambil terus
diaduk.
5. Campurkan yellow color dan sisa air hingga homogen (M3).
6. Sambil terus diaduk tambahkan M3 ke dalam M1 hingga homogen (M3).
7. Tambahkan ol. citrus ke dalam M1, aduk hingga homogen. Genapkan volume emulsi
hingga 300 ml dan aduk lagi hingga homogen.
8. Masukkan ke dalam botol 100 ml.
9. Evaluasi sediaan emulsi.
B. Gom Kering
1. Timbang dan takar semua bahan
2. Campur gom arab dengan oleum ricini hingga terdispersi homogen dengan
homogenizer pada kecepatan 400 rpm. Naikkan kecepatan menjadi 700 rpm lalu
tambahkan aquades 2x berat gom arab secara sekaligus sampai terbentuk corpus
emulsi (berupa massa putih susu kental homogen) (M1).
25
3. Prosedur selanjutnya sama dengan gom basah.
Catatan:
Untuk F2 hanya dibuat dengan metode gom basah, di mana tragakan dikembangkan
dengan aquadest 20x nya.
Prosedur Pembuatan
1. Panaskan fase minyak dan fase air pada suhu 60-70oC. Pastikan semua fase berada
dalam fase cair (fase padat sudah melebur atau melarut). Untuk fase minyak, lebur
bahan yang memiliki TL lebih tinggi terlebih dahulu.
2. Campurkan fase minyak ke fase air secara sekaligus sambil diaduk dengan
homogenizer dengan kecepatan 700 rpm. Suhu pengadukan tetap dipertahankan
60-70oC sampai diperoleh emulsi yang homogen.
26
3. Turunkan suhunya sampai 40oC lalu tambahkan parfum sambil diaduk.
4. Masukkan 50 ml ke dalam botol.
5. Evaluasi sediaan
Evaluasi Sediaan
1. Evaluasi tipe emulsi
Tipe emulsi ditentukan dengan metoda pengenceran dengan air sedikit-sedikit. Jika
emulsi dapat diencerkan dengan air maka tipe emulsi tersebut adalah o/w.
2. Uji sentrifugasi
Sentrifugasi sediaan emulsi dan amati hasilnya apakah terjadi pemisahan fasa atau
tidak. Ukur indeks creaming.
3. Uji organoleptis
Amati bau, rasa, dan warna sediaan emulsi yang dihasilkan.
4. Uji stabilitas fisik
Masukkan 50 ml sediaan emulsi ke dalam tabung sedimentasi. Ukur tinggi awal
sediaan emulsi (h0). Amati pembentukan creaming ataupun koalesen. Ukur tinggi
creaming dan tinggi serum setiap hari sampai hari ke-7. Hitung indeks creaming.
5. Pengukuran ukuran globul
Ukuran globul diamati dengan menggunakan mikroskop. Teteskan sampel emulsi
di atas kaca objek, kemudian tutup dengan kaca penutup. Amati dengan mikroskop
dan ukur distribusi ukuran globulnya.
27