Anda di halaman 1dari 3

Pada praktikum teknologi sediaan steril, praktikan membuat formulasi Cairan Infus Asam

Amino. Tujuan dari sediaan infus adalah untuk menggantikan cairan atau memenuhi kebutuhan
cairan dan elektrolit dalam tubuh serta sebagai tindak pengobatan dan pemberian makanan (total
parenteral nutrition). Cairan Infus Asam Amino terdiri atas asam amino esensial dan non esensal
yang dibutuhkan oleh tubuh. Dalam formulasi infus asam amino kali ini, digunakan beberapa
macam asam amino esensial dan non esensial, yaitu isoleusin, lisin, leusin, metionin, triptofan,
valin, trenoin, fenilalanin, alanin, arginin, glisin, prolin, dan histidin. Pemilihan asam amino
esensial dan non esensial dalam formulasi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan pasien.Infus
asam amino biasanya diberikan pada pasien sakit yang sedang dalam perawatan di rumah sakit,
khususnya pasien yang mengalami hipoproteinemia, luka bakar, dan pasca operasi.
Produk Cairan Infus Asam Amino akan menghasilkan 221,8 kkal dan memiliki 40,7 gram
protein. Tonisitas yang dihasilkan oleh produk Cairan Infus Asam Amino adalah 820,8 mOsmol/L.
Hal tersebut berarti bahwa larutan bersifat hipertonis. Walaupun cairan intravena yang diinginkan
adalah larutan yang isotonis, untuk meminimalisasi trauma pada pembuluh darah. Namun kondisi
hipertonis dari LVP infus asam amino diizinkan karena aliran darah pada tempat injeksi tinggi
sehingga obat yang masuk bisa langsung diencerkan. Karena bersifat hipertonis, maka
pemberiannya melalui infus dengan kecepatan lambat yang disesuaikan dengan kondisi pasien.
Pembuatan sediaan kami dilakukan dengan teknik aseptis, dimana sediaan tidak mengalami
sterilisasi panas pada tahap akhir. Hal ini dilakukan karena asam amino merupakan senyawa yang
tidak tahan terhadap panas dan pada dekstrosa akan terjadi reaksi Maillard pada suhu tinggi. Untuk
menghindari ketidakstabilan sediaan karena suhu, maka praktikan membuat produk dengan teknik
aseptis.
Penyimpanan sediaan disarankan pada suhu 25℃ (pada suhu ruang). Hal tersebut untuk
mencegah terjadinya reaksi Maillard. Reaksi Maillard sendiri adalah reaksi dekomposisi yang
ditandai dengan perubahan larutan dari jernih menjadi coklat akibat interaksi karbohidrat dengan
asam amino tertentu, misalnya lisin. Penyimpanan dalam suhu dingin dalam lemari pendingin
dapat mencegah dan meminimalisir terjadinya reaksi tersebut dengan lebih baik. Produk juga harus
dihindarkan dari cahaya dan panas yang berlebihan.
Wadah yang digunakan untuk produk Cairan Infus Asam Amino adalah wadah kaca tipe
II bening berupa botol infus volume besar (500 mL). Hal ini berdasarkan kebaikan sifat dari kaca,
antara lain tidak berinteraksi secara kimia dengan zat pengisi dan tidak mengabsorpsi serta melepas
zat-zat kimia; kaca merupakan bahan yang tidak permeabel (tidak mudah bocor); dengan
penutupan yang benar maka keluar atau masuknya gas dapat diabaikan; wadah kaca mudah dalam
pencucian saat pengisian karena permukaannya yang halus, kaku, kuat dan stabil dalam bentuk;
tahan terhadap tusukan dan jernih sehingga dapat memungkinkan pemeriksaan isi.
Dilakukan evaluasi untuk memastikan apakah sediaan yang dihasilkan memenuhi syarat
evaluasi, praktikan melakukan evaluasi terhadap sediaan Cairan Infus Asam Amino yang telah
dibuat. Evaluasi yang dilakukan yaitu meliputi evaluasi In Process Control Selama proses
pembuatan (IPC) dan Post Process Control (PPC) evaluasi setelah produk tersebut dihasilkan.
Pada evaluasi IPC, mula-mula dilakukan evaluasi terhadap pemeriksaan pH dengan
indikator universal, diperoleh pH sediaan yaitu pH 6, sedangkan pada pemeriksaan pH dengan pH
meter, diperoleh pH sediaan yaitu pH 6,04. Pada uji kejernihan, sediaan infus asam amino
memperlihatkan warna larutan yang jernih dan bebas dari partikel-partikel bebas yang
mengambang dalam larutan.
Setelah produk akhir dihasilkan, dilakukan evaluasi PPC. Mula-mula dilakukan
karakterisasi secara organoleptis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan
tetap berwarna jernih. Uji keseragaman, menunjukkan sediaan cairan infus asam amino memiliki
volume yang seragam. Uji kebocoran dilakukan secara visual, dimana sediaan yang telah
dimasukkan ke dalam botol yang ditutup dicoba dibalik dan hasilnya tidak terjadi kebocoran.

Pada sediaan infus asam amino seharusnya dilakukan uji partikulat, uji volume
terpindahkan, uji sterilitas, pirogenitas dan endotoksin. Namun, uji-uji tersebut belum dapat
dilakukan oleh praktikan karena keterbatasan alat dan waktu.
Anonim. 2007. US Pharmacopoeia 30-NF 25. United State : The United State
Pharmacopoeial Convention.
Anonim. 2009. British Pharmacopoeia 2009. London : The British Pharmacopoeia
Commission Secretariat.
Collet, Diana M, et al. Pharmaceutical Practice. New York : Churchill Livingstone. Hal :
241-253.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta
: Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta
: Depertemen Kesehatan Republik Indonesia.
Katcher, Brian S., et al. 1978. Applied Therapeutics : The Clinical Use of Drugs.
Spokane : Applied Therapautics.
Lachman, Leon, et al. 1984. Pharmaceutical Dosage Form : Parenteral Medication
volume 1. New York : Marcel Dekker, Inc.
Lachman, Leon, et al. 1984. Pharmaceutical Dosage Form : Parenteral Medication
volume 2. New York : Marcel Dekker, Inc.
Lund, Walker. 1994. The Pharmaceutical Codex, Twelfth Edition. London : The
Pharmaceutical Press. Hal : 608-618.
Murray, RF, Granner OK, Rodwell V. 1995.Harper’s Review of Biochemistry. Jakarta :
Buku Kedokteran. Hal : 623.
Stefanus L. 2006. Formulasi Steril. Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta
Swarbrick, James. 1995. Encyclopedia of Pharmaceutical Technology. New York :
Marcel Dekker, Inc.
Trisel, Lawrence A. 2003. Handbook of Injectable Drug. 12th ed. American Society of
Health-System Pharmacists.

Anda mungkin juga menyukai